Anda di halaman 1dari 68

Hasil Survei Data Mengenai Regulasi yang Mengatur Perencanaan,

Perancangan, dan Pembangunan Terhadap Pemukiman dan Bangunan Sekitar


Wilayah Kota Banda Aceh dan Provinsi Aceh

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 6

AYUNDA AULIA RAHMA 1904104010106


FURQAN AMIRRUL SIDDIQ 2104104010069
TASYA NAZILA 2104104010076
MUHAMMAD IQBAL 2104104010122

PROGRAM STUDI ASRITEKTUR


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2023
DAFTAR GAMBAR
DOKUMENTASI

Hasil Observasi Data Peraturan di Kantor Satker Pelaksanaan Prasarana Permukiman Provinsi
Aceh, yang beralamatkan pada Jl. Moh. Taher No.45, Lueng Bata, Kec. Lueng Bata, Kota Banda Aceh,
Aceh 23123.

Gambar. 1 Dokumentasi Wawancara bersama Kepala Satker


Pelaksanaan Prasarana Permukiman Provinsi Aceh

Gambar. 2 Referensi Data yang Diberikan


DAFTAR LAMPIRAN

Regulasi Seputar Perencanaan, Perancangan, dan Pembangunan Terhadap


Pemukiman dan Bangunan Sekitar Wilayah Kota Banda Aceh dan Provinsi Aceh

I. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2011 Tentang


Perumahan dan Kawasan Permukiman.

II. Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2018 Tentang (Perubahan Atas
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009) Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009- 2029

III. Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 45 Tahun 2021 Tentang Pengesahan
Rencana Tapak (Site Plan) Perumahan

IV. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 54/PRT/1991 Tentang Pedoman


Teknik Pembangunan Perumahan Sangat Sederhana

V. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor: 29/PRT/M/2006 Tentang


Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung
I. Regulasi Seputar Perencanaan, Perancangan, dan Pembangunan pada
Lingkup Perumahan dan Permukiman Berdasarkan UU RI No. 1 Tahun
2011 Tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 1 TAHUN 2011

TENTANG

PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN

BAB V

PENYELENGGARAAN PERUMAHAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 19

1) Penyelenggaraan rumah dan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan


rumah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia bagi peningkatan dan
pemerataan kesejahteraan rakyat.

2) Penyelenggaraan rumah dan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah dan/atau setiap orang untuk
menjamin hak setiap warga negara untuk menempati, menikmati, dan/atau
memiliki rumah yang layak dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan
teratur.

Pasal 20

1) Penyelenggaraan perumahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 meliputi:


a. perencanaan perumahan;

b. pembangunan perumahan;

c. pemanfaatan perumahan;

dan d. pengendalian perumahan.

2) Perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup rumah atau


perumahan beserta prasarana, sarana, dan utilitas umum.

3) Rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibedakan menurut jenis dan
bentuknya.

Bagian Kedua

Jenis dan Bentuk Rumah

Pasal 21

1) Jenis rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dibedakan


berdasarkan pelaku pembangunan dan penghunian yang meliputi:

a. rumah komersial;

b. rumah umum;

c. rumah swadaya;

d. rumah khusus;

dan e. rumah negara

2) Rumah komersial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diselenggarakan


untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

3) Rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diselenggarakan


untuk memenuhi kebutuhan rumah bagi MBR.
4) Rumah swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diselenggarakan
atas prakarsa dan upaya masyarakat, baik secara sendiri maupun berkelompok.

5) Rumah khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d diselenggarakan


dalam rangka memenuhi kebutuhan rumah untuk kebutuhan khusus.

6) Rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mendapatkan


kemudahan dan/atau bantuan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

7) Rumah swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat memperoleh
bantuan dan kemudahan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

8) Rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dan huruf e disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.

Pasal 22

(1) Bentuk rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dibedakan
berdasarkan hubungan atau keterikatan antarbangunan.

(2) Bentuk rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. rumah tunggal;

b. rumah deret dan;

c. rumah susun.

(3) Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36
(tiga puluh enam) meter persegi.

Bagian Ketiga

Perencanaan Perumahan

Paragraf 1
Umum

Pasal 23

(1) Perencanaan perumahan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah.

(2) Perencanaan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a. perencanaan dan perancangan rumah; dan

b. perencanaan prasarana, sarana, dan utilitas umum perumahan.

(3) Perencanaan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan


bagian dari perencanaan permukiman.

(4) Perencanaan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup rumah
sederhana, rumah menengah, dan/atau rumah mewah.

Paragraf 2

Perencanaan dan Perancangan Rumah

Pasal 24

Perencanaan dan perancangan rumah dilakukan untuk:

a. menciptakan rumah yang layak huni;

b. mendukung upaya pemenuhan kebutuhan rumah oleh masyarakat dan


pemerintah; dan

c. meningkatkan tata bangunan dan lingkungan yang terstruktur.

Pasal 25

Perencanaan dan perancangan rumah dilakukan oleh setiap orang yang memiliki
keahlian di bidang perencanaan dan perancangan rumah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 26

(1) Hasil perencanaan dan perancangan rumah harus memenuhi persyaratan teknis,
administratif, tata ruang, dan ekologis.

(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan syarat bagi
diterbitkannya izin mendirikan bangunan.

(3) Perencanaan dan perancangan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian dari perencanaan perumahan dan/atau permukiman.

Pasal 27

Ketentuan lebih lanjut mengenai perencanaan dan perancangan rumah sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, dan Pasal 26 diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat

Pembangunan Perumahan

Paragraf 1

Umum

Pasal 32

(1) Pembangunan perumahan meliputi:

a. pembangunan rumah dan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan/atau

b. peningkatan kualitas perumahan.

(2) Pembangunan perumahan dilakukan dengan mengembangkan teknologi dan


rancang bangun yang ramah lingkungan serta mengembangkan industri bahan
bangunan yang mengutamakan pemanfaatan sumber daya dalam negeri dan
kearifan lokal yang aman bagi kesehatan.

(3) Industri bahan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi
Standar Nasional Indonesia.

Pasal 33

(1) Pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan perizinan bagi badan hukum
yang mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR.

(2) Pemerintah daerah berwenang mencabut izin pembangunan perumahan terhadap


badan hukum yang tidak memenuhi kewajibannya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kemudahan perizinan dan tata cara
pencabutan izin pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 34

(1) Badan hukum yang melakukan pembangunan perumahan wajib mewujudkan


perumahan dengan hunian berimbang.

(2) Pembangunan perumahan skala besar yang dilakukan oleh badan hukum wajib
mewujudkan hunian berimbang dalam satu hamparan

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk badan
hukum yang membangun perumahan yang seluruhnya ditujukan untuk
pemenuhan kebutuhan rumah umum.

(4) Dalam hal pembangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada
badan hukum untuk mendorong pembangunan perumahan dengan hunian
berimbang.

Pasal 35
(1) Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah
sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.

(2) Ketentuan mengenai hunian berimbang diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 36

(1) Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak dalam satu
hamparan, pembangunan rumah umum harus dilaksanakan dalam satu daerah
kabupaten/kota.

(2) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mempunyai akses menuju pusat pelayanan atau tempat kerja.

(3) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan
daerah.

(4) Pembangunan perumahan dengan hunian berimbang sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) dilakukan oleh badan hukum yang sama.

Pasal 37

Ketentuan lebih lanjut mengenai perumahan skala besar dan kriteria hunian
berimbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 diatur
dengan Peraturan Menteri.

Paragraf 2

Pembangunan Rumah

Pasal 38

(1) Pembangunan rumah meliputi pembangunan rumah tunggal, rumah deret,


dan/atau rumah susun.
(2) Pembangunan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikembangkan
berdasarkan tipologi, ekologi, budaya, dinamika ekonomi pada tiap daerah, serta
mempertimbangkan faktor keselamatan dan keamanan.

(3) Pembangunan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
setiap orang, Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah.

(4) Pembangunan rumah dan perumahan harus dilakukan sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah.

Pasal 39

(1) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bertanggung jawab dalam


pembangunan rumah umum, rumah khusus, dan rumah negara.

(2) Pembangunan rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibiayai melalui anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah.

(3) Rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
barang milik negara/daerah dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.

Pasal 40
(1) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (1), Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menugasi dan/atau membentuk
lembaga atau badan yang menangani pembangunan perumahan dan
permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Lembaga atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab:
a. membangun rumah umum, rumah khusus, dan rumah negara;
b. menyediakan tanah bagi perumahan; dan
c. melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan pemastian kelayakan hunian.
Pasal 41
(1) Pembangunan rumah negara dilakukan untuk mewujudkan ketertiban
penyediaan, penghunian, pengelolaan, serta pengalihan status dan hak atas
rumah yang dimiliki negara.

(2) Pembangunan rumah negara diselenggarakan berdasarkan pada tipe dan kelas
bangunan serta pangkat dan golongan pegawai negeri di atas tanah yang sudah
jelas status haknya.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembangunan, penyediaan, penghunian,


pengelolaan, serta pengalihan status dan hak atas rumah yang dimiliki negara
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 42

(1) Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap
proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan
jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(2) Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:

a. status pemilikan tanah;

b. hal yang diperjanjikan;

c. kepemilikan izin mendirikan bangunan induk;

d. ketersediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum; dan

e. keterbangunan perumahan paling sedikit 20% (dua puluh persen).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem perjanjian pendahuluan jual beli
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Pasal 43

(1) Pembangunan untuk rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun, dapat
dilakukan di atas tanah:
a. hak milik;

b. hak guna bangunan, baik di atas tanah negara maupun di atas hak pengelolaan;
atau

c. hak pakai di atas tanah negara.

(2) Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi dengan
kredit atau pembiayaan pemilikan rumah.

(3) Kredit atau pembiayaan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dibebani hak tanggungan.

(4) Kredit atau pembiayaan rumah umum tidak harus dibebani hak tanggungan.

Pasal 44

(1) Pembangunan rumah tunggal, rumah deret, rumah susun, dan/atau satuan rumah
susun dapat dibebankan jaminan utang sebagai pelunasan kredit atau
pembiayaan.

(2) Pelunasan kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah tunggal, rumah
deret, atau rumah susun.

Pasal 45

Badan hukum yang melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau
rumah susun tidak boleh melakukan serah terima dan/atau menarik dana lebih
dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli, sebelum memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2).

Pasal 46

Ketentuan mengenai rumah susun diatur tersendiri dengan undang-undang.


BAB VI

PENYELENGGARAAN KAWASAN PERMUKIMAN

Bagian Kesatu

Umum

Pasal 56

(1) Penyelenggaraan kawasan permukiman dilakukan untuk mewujudkan wilayah


yang berfungsi sebagai lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan yang terencana, menyeluruh, terpadu, dan
berkelanjutan sesuai dengan rencana tata ruang.

(2) Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


bertujuan untuk memenuhi hak warga negara atas tempat tinggal yang layak
dalam lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur serta menjamin kepastian
bermukim.

Pasal 57

Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56


mencakup lingkungan hunian dan tempat kegiatan pendukung perikehidupan
dan penghidupan di perkotaan dan di perdesaan.

Pasal 58

(1) Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57


wajib dilaksanakan sesuai dengan arahan pengembangan kawasan permukiman
yang terpadu dan berkelanjutan.

(2) Arahan pengembangan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat


(1) meliputi:

a. hubungan antarkawasan fungsional sebagai bagian lingkungan hidup di luar


kawasan lindung;

b. keterkaitan lingkungan hunian perkotaan dengan lingkungan hunian perdesaan;


c. keterkaitan antara pengembangan lingkungan hunian perkotaan dan
pengembangan kawasan perkotaan;

d. keterkaitan antara pengembangan lingkungan hunian perdesaan dan


pengembangan kawasan perdesaan;

e. keserasian tata kehidupan manusia dengan lingkungan hidup;

f. keseimbangan antara kepentingan publik dan kepentingan setiap orang; dan

g. lembaga yang mengoordinasikan pengembangan kawasan permukiman.

(3) Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


dilakukan melalui:

a. pengembangan yang telah ada;

b. pembangunan baru; atau

c. pembangunan kembali.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai arahan pengembangan kawasan permukiman


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 59

(1) Penyelenggaraan lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 57 dilakukan melalui:

a. pengembangan lingkungan hunian perkotaan;

b. pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan; atau

c. pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan.

(2) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perkotaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:

a. peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian perkotaan dengan


memperhatikan fungsi dan peranan perkotaan;
b. peningkatan pelayanan lingkungan hunian perkotaan;

c. peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum lingkungan


hunian perkotaan;

d. penetapan bagian lingkungan hunian perkotaan yang dibatasi dan yang didorong
pengembangannya;

e. pencegahan tumbuhnya perumahan kumuh dan permukiman kumuh; dan

f. pencegahan tumbuh dan berkembangnya lingkungan hunian yang tidak


terencana dan tidak teratur.

(3) Penyelenggaraan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:

a. penyediaan lokasi permukiman;

b. penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; dan

c. penyediaan lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan


ekonomi.

Pasal 60

(1) Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung


jawab dalam penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perkotaan,
pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan, dan pembangunan kembali
lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.

(2) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perkotaan, pembangunan


lingkungan hunian baru perkotaan, dan pembangunan kembali lingkungan
hunian perkotaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
pemerintah daerah.

(3) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat membentuk atau
menunjuk badan hukum.

(4) Pembentukan atau penunjukan badan hukum ditetapkan oleh bupati/walikota


sesuai dengan kewenangannya.
(5) Khusus untuk wilayah DKI Jakarta, pembentukan atau penunjukan badan
hukum ditetapkan oleh gubernur.

Pasal 61

(1) Penyelenggaraan lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 57 dilakukan melalui:

a. pengembangan lingkungan hunian perdesaan;

b. pembangunan lingkungan hunian baru perdesaan; atau

c. pembangunan kembali lingkungan hunian perdesaan.

(2) Penyelenggaraan pengembangan lingkungan hunian perdesaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup :

a. peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian perdesaan dengan


memperhatikan fungsi dan peranan perdesaan;

b. peningkatan pelayanan lingkungan hunian perdesaan;

c. peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas umum lingkungan


hunian perdesaan;

d. penetapan bagian lingkungan hunian perdesaan yang dibatasi dan yang didorong
pengembangannya;

e. peningkatan kelestarian alam dan potensi sumber daya perdesaan; dan

f. pengurangan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan.

(3) Penyelenggaraan pembangunan lingkungan hunian baru perdesaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:

a. penyediaan lokasi permukiman;

b. penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; dan

c. penyediaan lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan


ekonomi.
Pasal 62

(1) Pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud


dalam Pasal 59 ayat (1) huruf c dan pembangunan kembali lingkungan hunian
perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1) huruf c dimaksudkan
untuk memulihkan fungsi lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.

(2) Pembangunan kembali dilakukan dengan cara:

a. rehabilitasi;

b. rekonstruksi; atau

c. peremajaan.

(3) Pembangunan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap melindungi
masyarakat penghuni untuk dimukimkan kembali di lokasi yang sama sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 63

Penyelenggaraan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat


(1) dilaksanakan melalui tahapan:

a. perencanaan;

b. pembangunan;

c. pemanfaatan; dan

d. pengendalian.

Bagian Kedua

Perencanaan Kawasan Permukiman

Pasal 64
(1) Perencanaan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah.

(2) Perencanaan kawasan permukiman dimaksudkan untuk menghasilkan dokumen


rencana kawasan permukiman sebagai pedoman bagi seluruh pemangku
kepentingan dalam pembangunan kawasan permukiman.

(3) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk memenuhi
kebutuhan lingkungan hunian dan digunakan untuk tempat kegiatan pendukung
dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

(4) Perencanaan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang.

(5) Dokumen rencana kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh bupati/walikota.

(6) Perencanaan kawasan permukiman harus mencakup:

a. peningkatan sumber daya perkotaan atau perdesaan;

b. mitigasi bencana; dan

c. penyediaan atau peningkatan prasarana, sarana, dan utilitas umum.

Pasal 65

Perencanaan kawasan permukiman terdiri atas perencanaan lingkungan hunian


perkotaan dan perdesaan serta perencanaan tempat kegiatan pendukung
perkotaan dan perdesaan yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Pasal 66

(1) Perencanaan lingkungan hunian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


65 dilakukan melalui:

a. perencanaan pengembangan lingkungan hunian perkotaan;

b. perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan; atau


c. perencanaan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan.

(2) Perencanaan pengembangan lingkungan hunian perkotaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:

a. penyusunan rencana peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian perkotaan


dengan memperhatikan fungsi dan peranan perkotaan;

b. penyusunan rencana peningkatan pelayanan lingkungan hunian perkotaan;

c. penyusunan rencana peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas


umum lingkungan hunian perkotaan;

d. penyusunan rencana pencegahan tumbuhnya perumahan kumuh dan


permukiman kumuh; dan

penyusunan rencana pencegahan tumbuh dan berkembangnya lingkungan hunian


yang tidak terencana dan tidak teratur

(3) Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:

a. penyusunan rencana penyediaan lokasi permukiman;

b. penyusunan rencana penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum


permukiman; dan

c. penyusunan rencana lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan


kegiatan ekonomi.

(4) Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (3) meliputi perencanaan lingkungan hunian baru skala
besar dengan Kasiba dan perencanaan lingkungan hunian baru bukan skala besar
dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum.

(5) Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (3) didahului dengan penetapan lokasi pembangunan
lingkungan hunian baru yang dapat diusulkan oleh badan hukum bidang
perumahan dan permukiman atau pemerintah daerah.
(6) Lokasi pembangunan lingkungan hunian baru sebagaimana dimaksud pada ayat
(5) ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota.

(7) Penetapan lokasi pembangunan lingkungan hunian baru sebagaimana dimaksud


pada ayat (5) dilakukan berdasarkan hasil studi kelayakan;

a. rencana pembangunan perkotaan atau perdesaan;

b. rencana penyediaan tanah; dan

c. analisis mengenai dampak lalu lintas dan lingkungan

Pasal 67

(1) Perencanaan lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal


65 dilakukan melalui:

a. pengembangan lingkungan hunian perdesaan;

b. pembangunan lingkungan hunian baru perdesaan; atau

c. pembangunan kembali lingkungan hunian perdesaan.

(2) Perencanaan pengembangan lingkungan hunian perdesaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf a mencakup:

a. penyusunan rencana peningkatan efisiensi potensi lingkungan hunian perdesaan


dengan memperhatikan fungsi dan peranan perdesaan;

b. penyusunan rencana peningkatan pelayanan lingkungan hunian perdesaan;

c. penyusunan rencana peningkatan keterpaduan prasarana, sarana, dan utilitas


umum lingkungan hunian perdesaan; dan

d. penyusunan rencana penetapan bagian lingkungan hunian perdesaan yang


dibatasi dan yang didorong pengembangannya; dan e. penyusunan rencana
peningkatan kelestarian alam dan potensi sumber daya perdesaan.

(3) Perencanaan pembangunan lingkungan hunian baru perdesaan sebagaimana


dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup:
a. penyusunan rencana penyediaan lokasi permukiman;

b. penyusunan rencana penyediaan prasarana, sarana, dan utilitas umum


permukiman; dan

c. penyusunan rencana penyediaan lokasi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan


sosial, dan kegiatan ekonomi.

Pasal 68

(1) Perencanaan pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 66 ayat (1) huruf c dan perencanaan pembangunan
kembali lingkungan hunian perdesaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67
ayat (1) huruf c dimaksudkan untuk memulihkan fungsi lingkungan hunian
perkotaan dan perdesaan.

(2) Perencanaan pembangunan kembali dilakukan dengan cara:

a. penyusunan rencana rehabilitasi;

b. penyusunan rencana rekonstruksi; atau

c. penyusunan rencana peremajaan.

Pasal 69

(1) Perencanaan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 65 meliputi perencanaan jasa pemerintahan, pelayanan
sosial, kegiatan ekonomi, dan prasarana, sarana, dan utilitas umum.

(2) Perencanaan tempat kegiatan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 70

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam


perencanaan pengembangan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan,
pembangunan lingkungan hunian baru perkotaan dan perdesaan, dan
pembangunan kembali lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan.
Bagian Ketiga

Pembangunan Kawasan Permukiman

Pasal 71

(1) Pembangunan kawasan permukiman harus mematuhi rencana dan izin


pembangunan lingkungan hunian dan kegiatan pendukung.

(2) Pembangunan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum.

Pasal 72

Pembangunan kawasan permukiman terdiri atas pembangunan lingkungan hunian


perkotaan dan perdesaan serta pembangunan tempat kegiatan pendukung
perkotaan dan perdesaan.

Pasal 73

(1) Pembangunan lingkungan hunian perkotaan dan perdesaan sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 72 dilakukan melalui:

a. pelaksanaan pengembangan lingkungan hunian;

b. pelaksanaan pembangunan lingkungan hunian baru; atau

c. pelaksanaan pembangunan kembali lingkungan hunian.

(2) Pelaksanaan pembangunan lingkungan hunian baru sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) huruf b mencakup:

a. pembangunan permukiman;

b. pembangunan prasarana, sarana, dan utilitas umum permukiman; dan

c. pembangunan lokasi pelayanan jasa pemerintahan dan pelayanan sosial.


Pasal 74

(1) Pembangunan tempat kegiatan pendukung perkotaan dan perdesaan


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 72 meliputi pembangunan jasa
pemerintahan, pelayanan sosial, kegiatan ekonomi, dan prasarana, sarana, dan
utilitas umum.

(2) Pembangunan tempat kegiatan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 75

Pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya bertanggung jawab dalam


pelaksanaan pengembangan lingkungan hunian, pembangunan lingkungan
hunian baru, dan pembangunan kembali lingkungan hunian.
II. Regulasi Pemerintahan Daerah Aceh Dalam Mengatur Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Berdasarkan Qanun Kota Banda Aceh
Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Atas (Qanun Kota Banda Aceh
Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda
Aceh Tahun 2009- 2029)

QANUN KOTA BANDA ACEH

NOMOR 2 TAHUN 2018

TENTANG

Perubahan Atas Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009


Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh
Tahun 2009- 2029

Pasal 1

Dalam Qanun ini yang dimaksud dengan:

1. Kota adalah Kota Banda Aceh;

2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Banda Aceh;

3. Walikota adalah Walikota Banda Aceh;

4. Dewan Perwakilan Rakyat Kota yang selanjutnya disingkat DPRK adalah


Dewan Perwakilan Rakyat Kota Banda Aceh;

5. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan dalam


bidang penataan ruang;

6. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia
dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya;

7. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang;


8. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat permukiman dan sistem jaringan
prasarana dan sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan sosial ekonomi
masyarakat yang secara hirarkis memiliki hubungan fungsional;

9. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk
fungsi budi daya;

10. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh yang selanjutnya disingkat
RTRWK adalah rencana mengatur struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah
Kota yang merupakan hasil dari kegiatan perencanaan tata ruang;

11. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;

12. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan,


pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang;

13. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang;

14. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan
ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat;

15. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang
melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang;

16. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang
dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

17. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola
ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya;

18. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata
ruang;
19. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya;

20. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan;

21. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan;

22. Kawasan strategis kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota
terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan;

23. Kawasan perumahan adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, berupa kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan;

24. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan
dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain;

25. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;

26. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS adalah suatu wilayah
tertentu yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu kesatuan dengan sungai
dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah
hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai
utama ke laut;

27. Orang adalah orang perseorangan dan/atau korporat;

28. Masyarakat adalah orang perorangan, kelompok orang termasuk masyarakat


hukum adat atau badan hukum;
29. Peran masyarakat adalah berbagai kegiatan masyarakat yang timbul atas
kehendak dan prakarsa masyarakat untuk berminat dan bergerak dalam
penyelenggaraan penataan ruang;

30. Pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup adalah upaya


sadar dan terencana yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumber daya,
ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan dan
mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan;

31. Rencana Struktur Tata Ruang adalah rencana yang menggambarkan susunan
unsur-unsur pembentuk zona lingkungan alam, lingkungan sosial dan
lingkungan buatan yang digambarkan secara hirarkis dan berhubungan satu
sama lain;

32. Ruang terbuka hijau yang selanjutnya disebut RTH adalah area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam;

33. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai
jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan;

34. Peraturan zonasi adalah ketentuan yang mengatur tentangpersyaratan


pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya dan disusun untuk setiap
blok/zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam rencana rinci tata ruang;

35. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia;

36. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;

37. Pusat Kota yang selanjutnya disebut PK adalah suatu kawasan yang merupakan
satu kesatuan wilayah Kota sebagai pusat konsentrasi kegiatan Kota yang
terbentuk secara fungsional dalam rangka pencapaian daya guna pelayanan kota;
38. Sub Pusat Kota yang selanjutnya disebut SPK adalah bagian dari suatu kesatuan
wilayah kota yang terbentuk secara fungsional dalam rangka pencapaian daya
guna pelayanan dan fasilitas umum kota;

39. Pusat Lingkungan adalah suatu kawasan pelayanan terkecil yang terbentuk
secara fungsional dalam rangka pencapaian pelayanan dan fasilitas umum kota;

40. Jalan Raya Utama yang berfungsi sebagai Arteri Primer (Regional), adalah
merupakan jalan-jalan raya yang sedikit sekali mempunyai jalan keluar-masuk
ke daerah atau kepekarangan kanan-kirinya dan berfungsi menghubungkan
daerah-daerah dan kota-kota satu sama lainnya, dan yang juga melewati bagian
luar kota-kota itu;

41. Jalan Utama yang berfungsi sebagai Jalan Arteri Sekunder, adalah jalan-jalan
di dalam wilayah Kota, yang mehubungkan lalu-lintas atau pusat kegiatan
dalam Kota dan dibatasi jalan keluar masuk ke kanan dan kiri dan menyalurkan
lalu-lintas campuran yang berat;

42. Jalan Kolektor, adalah jalan yang menghubungkan bagianbagian utama di


dalam Kota atau sebagai penghubung dengan jalan-jalan utama di dalam Kota;

43. Jalan Lokal/Jalan Lingkungan, merupakan jalan yang melayani suatu


lingkungan atau yang menghubungkan suatu lingkungan dengan jalan
kolektor;

44. Kota Jasa adalah kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan provinsi,
pusat perdagangan, pusat kegiatan keagamaan Islam, pusat pendidikan, pusat
kesehatan, pusat wisata dan sejarah, serta kegiatan pelayanan lainnya;

45. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disebut KDB adalah angka
prosentase berdasarkan perbandingan antara seluruh luas lantai dasar bangunan
dengan luas lahan/tanah perpetakan/kawasan yang dikuasai dengan rencana
Kota;

46. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disebut KLB adalah angka
perbandingan antara jumlah seluruh luas lantai seluruh bangunan terhadap luas
tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana
Kota;
47. Garis Sempadan Bangunan yang selanjutnya disebut GSB adalah jarak bebas
minimum dari bidang terluar suatu masa bangunan terhadap batas lahan yang
dikuasai, batas tepi jalan, sungai dan pantai, antar masa bangunan lainnya,
rencana saluran, jaringan listrik tegangan tinggi, jaringan pipa gas dan
sebagainya;

48. Ruang Milik Jalan yang selanjutnya disebut RUMIJA adalah merupakan ruang
sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh
Pembina Jalan dengan suatu hak tertentu sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;

49. Rencana Rinci adalah rencana tindak lanjut dari rencana umum yang berisikan
program penataan ruang dengan kedalaman materi perencanaan yang bersifat
detail dan teknis, seperti Rencana Detail, Rencana Teknik Ruang Kota,
Rencana Rinci Kawasan Strategis, dan rencana lainnya yang lebih teknis;

50. Rencana Detail Tata Ruang Kota yang selanjutnya disingkat RDTRK adalah
rencana pemanfaatan ruang Bagian Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan secara
terperinci yang disusun untuk penyiapan perwujudan ruang dalam rangka
pelaksanaan program-program pembangunan perkotaan;

51. Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disebut IMB adalah perizinan
yang diberikan oleh Pemerintah Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun baru, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan
gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang
berlaku;

52. Central Bussiness Distric yang selanjutnya disingkat CBD adalah wilayah yang
melayani perdagangan dengan skala pelayanan regional dan kota;

53. Banda Aceh Outer Ring Road yang selanjutnya disingkat BORR adalah ruas
jalan lingkar Kota yang menghubungkan satukawasan dengan kawasan
lainnya;

54. Kawasan Pertahanan Keamanan adalah kawasan yang ditetapkan untuk


kepentingan pertahanan negara;
55. Kawasan Pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata
atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai
pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi,
sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan
hidup serta pertahanan dan keamanan;

56. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan yang bersifat skala
internasional, nasional atau beberapa provinsi;

57. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantaidari titik pasang tertinggi
ke arah darat;

58. Sempadan Sungai adalah ruang yang tidak diperkenankan didirikan bangunan
diatasnya yang dibatasi oleh garis batas luar daerah sempadan;

59. Kawasan Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan


pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari
praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran yang
dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan;

60. Kawasan Rawan Bencana adalah kawasan dengan kondisi atau karakteristik
geologis, biologis, hidrologis, klimatologi dan geografis pada suatu wilayah
untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah,
meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi
dampak buruk bahaya tertentu;

61. Sistem transportasi darat kota adalah sistem jaringan transportasi darat yang
terdiri atas jaringan jalan nasional, jalan propinsi, jalan kota, jaringan jalur
kereta api, dan jaringan transportasi sungai, danau, dan penyeberangan;

62. Jaringan jalan kota adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala
bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel;
63. Transportasi darat adalah segala bentuk transportasi menggunakan jalan untuk
mengangkut penumpang atau barang;

64. Sistem jaringan sumber daya air merupakan sistem sumber daya air pada setiap
wilayah sungai dan cekungan air tanah;

65. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau leh daerah aliran sungai dan/atau pulau pulau kecil yang luasnya
kurang dari atau sama dengan 2000 km²;

66. Insentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap
pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang;

67. Disentif adalah perangkat untuk mencegah, membatasi pertumbuhan, atau


mengurangi kegiatan yang tidak sejalan dengan rencana tata ruang.

BAB III

RUANG LINGKUP

PENATAAN RUANG KOTA

Pasal 3

Lingkup wilayah perencanaan tata ruang kota adalah seluas 6.136 Ha atau luasan
berdasarkan digitasi pada Citra Satelit seluas 5.903 Ha yang terdiri dari 9
(sembilan) kecamatan, 90 (sembilan puluh) gampong.

BAB V

RENCANA STRUKTUR RUANG KOTA

Pasal 13

(1) Dalam Sistem Perkotaan Nasional, Kota ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan
Wilayah (PKW) (Dihapus)
(2) Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, hirarki Kota ditetapkan sebagai
Pusat Kegiatan Nasional (PKN).

Pasal 14

(1) Rencana struktur ruang Kota meliputi:

a. rencana pengembangan sistem pusat pelayanan;


b. rencana kependudukan;
c. rencana pengembangan sistem jaringan transportasi;
d. rencana pengembangan sistem jaringan energi;
e. rencana pengembangan sistem jaringan telekomunikasi;
f. rencana pengembangan sistem jaringan utilitas;
g. rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan jalan
pejalan kaki; (Dihapus)
h. rencana jalur evakuasi bencana;
i. rencana ruang perparkiran; dan
j. rencana jaringan sumber daya air.

(2) Rencana struktur ruang kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan
dalam peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kota Tahun 2029 dengan tingkat
ketelitian 1 : 10.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.

Bagian Kesatu

Rencana Pengembangan Sistem Pusat Pelayanan

Pasal 15

Pengembangan wilayah fungsional Kota dibagi menjadi 4 (empat) Wilayah


Pengembangan meliputi :
a. Wilayah Pengembangan PK Lama yang meliputi wilayah Kecamatan
Baiturrahman, Kuta Alam dan Kuta Raja, berfungsi sebagai pusat kegiatan
perdagangan regional dan pemerintahan;
b. Wilayah Pengembangan PK Baru meliputi wilayah Kecamatan Banda Raya
dan Lueng Bata berfungsi sebagai pusat kegiatan olah raga (sport centre),
terminal AKAP dan AKDP, perdagangan dan jasa serta pergudangan;
c. Wilayah Pengembangan Keutapang meliputi wilayah Kecamatan Meuraxa,
Jaya Baru dan sebagian Banda Raya berfungsi sebagai pusat kegiatan
pelabuhan dan wisata;
d. Wilayah Pengembangan Ulee Kareng meliputi wilayah Kecamatan Syiah
Kuala dan Ulee Kareng, berfungsi sebagai pusat pelayanan pendidikan,
kesehatan dan kegiatan lain yang komplementer dengan kedua kegiatan
tersebut.

Pasal 16

(1) Struktur pusat pelayanan Kota yang akan dikembangkan meliputi

a. 2 (dua) PK;
b. 2 (dua) SPK; dan
c. 9 (sembilan) Pusat Lingkungan.

(2) PK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki fungsi pelayanan
PK, wilayah kota, dan daerah sekitar lingkup regional;
(3) SPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b melayani SPK sesuai dengan
orientasi dan tingkat aksesibilitasnya;
(4) Pusat lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c melayani
lingkungan sesuai dengan orientasi dan tingkat aksesibilitasnya.

Pasal 17

(1) Rencana pengembangan PK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)


huruf a adalah sebagai berikut :

a. PK Lama Pasar Aceh/Peunayong melayani wilayah Kecamatan Meuraxa, Kuta


Raja, Kuta Alam, Ulee Kareng, Syiah Kuala dan sebagian Baiturrahman; dan
b. PK Baru Batoh/Lamdom melayani wilayah Kecamatan Jaya Baru, Banda
Raya, Lueng Bata dan sebagian Baiturahman;

(2) Rencana pengembangan SPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf b adalah sebagai berikut:

a. SPK Lamteumen melayani wilayah Kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru; dan
b. SPK Ulee Kareng melayani wilayah Kecamatan Ulee Kareng dan Syiah Kuala.

(3) Rencana pengembangan Pusat Lingkungan sebagaimana dimaksud dalam


Pasal 16 ayat (1) huruf c adalah sebagai berikut:

a. Lampulo;
b. Neusu;
c. Jambo Tape;
d. Jeulingke;
e. Kopelma;
f. Lueng Bata;
g. Mibo;
h. Blang Oi; dan
i. Lampoh Daya.

Pasal 17 A

(1) Kawasan Mesjid Raya Baiturrahman dan Kawasan PeunayongKeudah akan


dilakukan pengembangan.
(2) Pengembangankawasan Mesjid Raya Baiturrahman sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:

a. bagian utara sebagai ruang terbuka, dan wisata sejarah yang terintegrasi dengan
Krueng Aceh;
b. bagian selatan sebagai pelayanan umum yang terintegrasi untuk mendukung
penataan pengembangan kawasan Mesjid Raya;
c. bagian timur sebagai pelayanan umum yang terintegrasi untuk mendukung
penataan pengembangan kawasan Mesjid Raya; dan
d. bagian barat sebagai pelayanan umum yang terintegrasi untuk mendukung
penataan pengembangan kawasan Mesjid Raya.
(3) Pengembangan kawasan Peunayong-Keudah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yaitu pengembangan sebagai Central Bussiness Distric (CBD) Peunayong
yang meliputi:

a. pengembangan terminal Keudah sebagai pusat bisnis yang terintegrasi dengan


terminal angkutan umum dan angkutan masa lainnya; dan
b. pembangunan jembatan penyeberangan pedestrian antara kawasan Keudah
dengan kawasan Peunayong yang melintasi Krueng Aceh.
III. Regulasi Pemerintahan Kota Banda Aceh dalam Pengesahan Rancangan
Rencana Tapak (Site Plan) Perumahan Berdasarkan Peraturan Walikota
Banda Aceh No. 45 Tahun 2021
BAB 1
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Walikota ini yang dimaksud dengan:


1. Kota adalah Kota Banda Aceh.
2. Pemerintah Kota adalah Pemerintah Kota Banda Aceh.
3. Walikota adalah Walikota Banda Aceh.

4. Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman yang selanjutnya disebut


Dinas Perkim adalah Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman
Kota Banda Aceh.

5. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan


Permukiman Kota Banda Aceh.

6. Dinas Pekerjaan Umurn dan Penataan Ruang yang selanjutnya disingkat Dinas
PUPR adalah Dinas Perkeiaan Umum da.n Penataan Ruang Kota Banda Aceh.
7. Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya
disingkat DPMPTSP adalah Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Kota Banda Aceh.

8. Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah yang selanjutnya disingkat
Satpol PP dan WH adalah Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah
Kota Banda Aceh.

9. Rencana Tata Ruang Wilayah yang selanjutnya disingkat RTRW adalah


Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh.
10. Rencana Detail Tata Ruang yang selanjutnya disingkat RDTR adalah Rencana
Detail Tata Ruang Kota Banda Aceh.
11. Perusahaan Daerah Air Minum yang selanjutnya disingkat PDAM adalah
Perusahaan Daerah Air Minum Kota Banda Aceh.
12. Perumahan adalah kumpulan rurnah sebagai bagian dari pennukiman, baik
perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi prasarana, sarana, dan utilitas
umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah layak huni.
13. Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang
layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat
penghuninya serta aset bagi pemiliknya.
14. Perumahan horizontal adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tingal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan
prasarana dan sarana lingkungan.
15. Perumahan Vertikal adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam
suatu lingkungan yang terbagi dalam bagianbagian yang distrukturkan secara
fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-
satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah yang
berfungsi untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda
bersama dan tanah bersama.
16. Prasarana adalah kelengkapan dasar fisik lingkungan hunian yang memenuhi
standar tertentu utuk kebutuhan bertempat tinggal yang layak, sehat, aman dan
nyaman.
17. Sarana adalah fasilitas dalam lingkungan hunian yang berfungsi untuk
mendukung penyelenggaraan dan kehidupan sosial, budaya dan ekonomi.
18. Utilitas adalah pelayanan seperti air bersih, air limbah, gas, listrik dan telepon,
yang pada umumnya diperlukan untuk beroperasinya suatu bangunan dan
lingkungan permukima.n.
19. Penyerahan prasarana, sarana dan utilitas umum adalah penyerahan berupa
tanah dengan bangunan dan/atau tanah

tanpa bangunan dalam bentuk aset dan tanggung jawab pengelolaan dari
pengembang kepada Pemerintah Kota.
20. Rencana tapak (site plan) adalah gambar 2 (dua) dimensi yang menunjukkan
detail dari rencana yang akan dilakukan terhadap sebuah kaveling tanah, baik
menyangkut rencana jalan, utilitas air bersih, listrik dan air kotor, fasilitas
umum dan fasilitas sosial.
21. Tim Teknis rencana tapak (site plan) adalah tim yang terdiri dari pejabat pada
Dinas Teknis untuk melakukan pemeriksaan dan penelitian secara teknis
terhadap permohonan pengesahan rencana tapak (site plan) rinci.
22. Tim Survei rencana tapak (site plan) adalah Tim yang terdiri dari Pelaksana
pada Dinas Teknis unuk melaksanakan peninjauan lapangan (survei) terhadap
permohonan pengesahan rencana tapak (site plan) rinci.
23. Pemohon adalah orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum.
24. Jalan adalah jalur yang direncanakan atau digunakan untuk lalu lintas
kendaraan dan orang.
25. Garis sempadan adalah garis batas pengamanan luar yang ditarik pada jarak
tertentu sejajar dengan as jalan, tepi luar kepala jembatan, tepi sungai, tepi
saluran, kaki tanggul, tepi danau/ rawa/ situ, tepi waduk, tepi mata air, tepi
sungai pasang surut, tepi pantai, as jalan kereta api, jaringan tenaga listrik, pipa
minyak, pipa gas, dan cerobong pembakaran gas yang merupakan batas antara
bagian kaveling/ pekarangan/ lahan yang disebut daerah sempadan yang boleh
dan yang tidak boleh didirikan bangunan/ dilaksanakannya kegiatan.
26. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/ atau buatan berupa jaringan
pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan
dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.
27. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah bilangan
pokok atas perbandingan antara luas lantai dasar bangunan dengan luas
kaveling/persil.
28. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah bilangan
pokok atas perbandingan antara total luas lantai bangunan dengan luas
kaveling/ persil.
29. Garis Sempadan Sungai yang selanjutnya disingkat GSS adalah garis maya di
kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan
sungai.
30. Garis Sempadan Bangunan yang selanjutnya disebut GSB adalah garis yang
diatasnya atau sejajar dibelakangnya dapat didirikan bangunan.
31. Kaveling adalah sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat bangunan atau
terdapat bangunan sebagai tempat tinggal / atau tempat kegiatan lainnya milik
pribadi atau badan termasuk parit, selokan, pagar, riol dan lain sebagainya.
32. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disingkat RTH adalah area memanjang/
jalur dan/ atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka,
tempat tumbuh tanaman...
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
33. Ruang Milik Jalan yang selanjutnya disebut Rumija adalah Ruang Milik Jalan
dan sejalur tanah tertentu di luar Ruang Milik Jalan yang dibatasi oleh tanda
batas Ruang Milik Jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan
keluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran
Ruang Milik Jalan pada masa yang akan datang.
34. Perkerasan Jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang
digunakan untuk melayani beban lalu lintas.
35. Drainase adalah lengkungan atau saluran air dipermukaan atau di bawah tanah,
baik yang terbentuk secara alami maupun dibuat manusia.
36. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah
Persetujuan Bangunan Gedung Kota Banda Aceh.
37. Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya
disingkat PBB-P2 adalah Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan
Perkotaan Kota Banda Aceh.
38. Sistem kering adalah sistem jaringan utilitas pemadam kebakaran yang tidak
terkoneksi langsung ke sumber air.

BAB 11
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Tujuan

Pasal 2

Tujuan Pengesahan rencana tapak (site plan) adalah mewujudkan tertib


pembangunan perumahan dan kawasan permukiman demi menjamin
penyediaan perumahan yang layak bagi masyarakat dan peningkatan kualitas
lingkungan permukiman.

Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 3

(1) Pengesahan rencana tapak (site plan) Perumahan berlaku untuk kegiatan di
bidang perumahan mencakup kegiatan:
a. pembangunan perumahan baru; dan
b. pengembangan/perluasan perumahan yang sudah ada.
(2) Pengesahan rencana tapak (site plan) perumahan berlaku untuk:
a. pengurusan PBG perumahan horizontal dan vertikal; dan
b. pemecahan kaveling untuk kepentingan komersial.

Pasal 4

Pengaturan pengesahan rencana tapak (site plan) perumahan meliputi:

a. ketentuan...
a. ketentuan lokasi;
b. ketentuan rencana tapak;
c. ketentuan kualitas rumah;
d. ketentuan administrasi perizinan; dan
e. ketentuan pengawasan dan pengendalian.

BAB 111
KETENTUAN LOKASI

Pasai 5

(1) Lokasi pembangunan perumahan harus memenuhi persyaratan dan mendapat


rekomendasi dari Dinas PUPR.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sebagai berikut:
a. sesuai dengan arahan RTRW atau rencana rincinya yaitu peruntukan
pengembangan permukiman dan atau perumahan;

b. tidak diperbolehkan pada kawasan sempadan sungai dan mata air;


c. tidak diperbolehkan pada kawasan rawan bencana banjir;

d. lokasi harus sesuai dengan pola ruang yang telah ditetapkan pada RTRW/
RDTR•, dan
e. lokasi perumahan harus mempunyai akses dengan jaringan jalan utama kota/
jalan umum yaitu suatu jalan dengan lebar yang cukup sebagai jalan
penghubung.

BAB IV
KETENTUAN RENCANA TAPAK (SITE PLAN)

Pasal 6

(1) Setiap pemohon mengajukan permohonan pengesahan rencana tapak (site


plan) dalam hal:
a. pemohon tanah kaveling untuk perumahan dengan luas paling sedikit 1.000 m 2
(seribu meter persegi) dan/ atau dengan pembagian bidang tanah lebih mulai 5
(lima) kaveling harus mendapatkan pengesahan rencana tapak (site plan) pada
Dinas Perkim;
b. perubahan rencana tapak (site plan) perumahan paling sedikit 1.000 m2 (seribu
meter persegi) dengan batas maksimal revisi rencana tapak (site plan) sebanyak
1 (satu) kali pada lahan yang sama;
c. perubahan yang dimaksud pada ayat (1) huruf b apabila perubahan terhadap
penambahan luasan maupun pengurangan dan perubahan pada layout rencana
tapak; dan
d. pengembangan perumahan dengan hunian berimbang atau perumahan yang
seluruhnya ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan rumah.
(2) Luas wilayah perencanaan lebih besar dari 100 ha (seratus hektar), maka luas
lahan efektif paling besar 55% (lima puluh lima...lima persen), luas Iahan non
efektif yang berupa prasarana dan utilitas paling besar 30% (tiga puluh persen)
serta Iuas sarana paling kecil 15% (lima belas persen).
(3) Pemanfaatan ruang dalam Iuas prasarana dan utilitas tapak wajib
mengalokasikan:
a. minimal 10% (sepuluh persen) dari Iuas kaveling untuk sarana RTH publik
dalam bentuk taman lingkungan atau jalur hijau koridor jalan;

b. minimal 3% (tiga persen) untuk fasilitas umum/ sosial sekurang-kurangnya pos


keamanan, tempat ibadah, lapangan Olah raga, dan tempat penampungan/
pengelolaan sampah; dan
c. minimal 17% (tujuh belas persen) untuk jalan, saluran dan prasarana mitigasi
bencana.
(4) Ketentuan komposisi Iuas lahan efektif dan non efektif khususnya Koefisien
Dasar Bangunan (KDB) sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikecualikan
dalam hal terhadap suatu wilayah diatur tersendiri dalam Rencana Detail Tata
Ruang Kawasan (RDTRK)/ Peraturan Zonasi.
(5) Prasarana, sarana dan utilitas pada kawasan perumahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) meliputi:
a. prasarana, antara Iain:

1. jaringan jalan;
2. jaringan drainase;
3. jaringan saluran pembuangan air limbah; dan
4. tempat pembuangan sampah.
b. sarana, antara Iain:
I. sarana peribadatan;

2. sarana pertamanan, ruang terbuka hijau serta pemakaman; dan


3. sarana parkir.
c. utilitas, antara Iain:

1. jaringan air bersih;


2. jaringan listrik;
3. jaringan telepon;
4. jaringan gas;
5. jaringan transportasi;
6. fasilitas pemadam kebakaran; dan
7. sarana penerangan jalan umum.

Pasal 7

(I) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5)
untuk perumahan juga harus memenuhi ketentuan Iainnya, sebagai berikut:
a. luas kaveling minimal 72 rn2 (tujuh puluh dua meter persegi) dengan Iuas
bangunan minimal 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi) pada lantai I (satu)
dan bertingkat dengan luasan bangunan lantai 2 (dua) minimal 18 m2 (delapan
belas meter persegi); dan
b. luas kaveling di atas 72 ma (tujuh puluh dua meter persegi) dengan luas
bangunan minimal 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi).
(2) Persentase pembangunan perumahan dengan luasan kaveling minimal 72 m a
(tujuh puluh dua meter persegi) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilaksanakan dalam 1 (satu) hamparan disesuaikan dengan perencanaan telmis
tata ruang.

(3) Penyediaan prasarana, sarana dan utilitas sebagaimana dimaksud pada Pasal 6,
harus memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut:
a. disediakan tempat pembuangan sampah pada masingmasing unit rumah;
b. dipersiapkan sistem/ mekanisme pembuangan sampah di lingkungan
permukiman, misalnya dengan mempersiapkan WCP (Waste Collecting Point)
untuk perumahan di atas 25 (dua puluh lima) unit;
c. dipersiapkan sistem pengolahan air limbah untuk mengolah grey water dan
black water sesuai dengan SNI;
d. dipersiapkan lampu penerangan jalan di dalam lingkungan perumahan;
e. ketentuan mengenai instalasi listrik dan penyambungan listrik harus mengikuti
ketentuan yang berlaku pada PLN;
f. taman-taman yang direncanakan sebagai fasilitas umum harus dilengkapi
dengan tanaman peneduh;

g. kebutuhan fasilitas umum disesuaikan dengan jumlah penghuni dengan


perhitungan jumlah penghuni; dan
h. fasilitas umum dan taman-taman yang direncanakan terletak di lokasi yang
mudah dijangkau, dapat dimanfaatkan penghuni perumahan dan bukan
merupakan ruang sisa.

BAB V
PERSYARATAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS

Pasa.1 8

(1) Jalan di lingkungan perumahan melipud:


a. jalan masuk;
b. jalan utama;
c. jalan pembatas, dan
d. jalan pembantu.
(2) Jalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus sudah dilakukan perkerasan
jalan berupa aspal atau paving.
(3) Jalan masuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, merupakan jalan
yang menghubungkan jalan yang sudah ada dengan jalan Iokasi perumahan
dengan Rumija 8 m (delapan meter) sudah termasuk bahu jalan masing-masing
50 cm (lima puluh sentimeter).
(4) Jalan utama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan jalan
yang menghubungkan antara jalan lingkungan pembagi satu dengan jalan
lingkungan lainnya...
Iainnya dengan jalan masuk di dalam perumahan dengan lebar badan jalan paling
sedikit 6 m (enam meter) atau mengikuti ukuran rencana terhadap fungsi jalan
yang terhubung.

(5) Jalan pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, adalah jalan
menuju kaveling-kaveling dengan lebar badan jalan paling sedikit 6 m (enam
meter).
(6) Jalan pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, adalah jalan yang
menghubungkan antara jalan pembagi satu dengan jalan pembagi Iainnya
dengan lebar badan jalan paling sedikit 6 m (enam meter), dengan bahu jalan
kiri dan kanan masing-masing 50 cm (lima puluh sentimeter).
(7) Jalan buntu yang diperbolehkan ialah jalan buntu dengan ketentuan panjang
jalan maksimal 40 m (empat puluh meter) dan harus menyediakan ruang untuk
berputar kendaraan roda empat (culdesac) dan sudah dilakukan perkerasan
dengan aspal atau paving block.
(8) Setiap sudut persimpangan jalan harus dibuat lengkungan dengan jari-jari
lingkaran paling kurang dari 3 m (tiga meter).

Pasal 9

(1) Air bersih untuk lokasi perumahan bersumber dari PDAM.


(2) Air bersih yang bersumber dari PDAM sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
harus menyediakan subtank yang memiliki kapasitas minimal 1 m3 (satu meter
kubik).
(3) Pengambilan air bersih yang bersumber dari PDAM sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak boleh menyambung pompa hisap langsung ke water meter
PDAM.

Pasal 10

Drainase di lingkungan perumahan harus memenuhi syarat sebagai berikut:

a. desain drainase disesuaikan dengan luasan tangkapan air dan elevasi tanah
kawasan perumahan;
b. desain dasar saluran terbuka setengah lingkaran dengan diameter minimum 50
cm (lima puluh sentimeter);
c. desain saluran persegi dengan ukuran lebar minimum 50 cm (lima puluh
sentimeter) dengan kedalaman menyesuaikan dengan drainase lingkungan
yang tekoneksi;
d. bahan saluran terbuat dari beton, pasangan batu bata atau bahan Iain;
e. tidak boleh melebihi peil banjir di daerah tersebut;
f. kedalaman saluran disesuaikan dengan drainase lingkungan yang terkoneksi;

g. apabila saluran dibuat tertutup, perlu dibuatkan lubang kontrol berukuran 50


cm (lima puluh sentimeter) x 50 cm (lima puluh sentimeter) pada tiap
perubahan arah maupun yang langsung ke pembuangan;
h. saluran tertutup dapat terbuat dari PVC, beton, tanah liat dan bahan-bahan Iain;

i. buangan air limbah rumah tangga (asseneHng) harus diolah dan dilarang
dibuang langsung ke saluran drainase;

j. jika dalam I (satu) unit rumah tidak memungkinkan untuk dibangun sarana
pengolahan air limbah individual maka wajib menyediakan instalasi
pengolahan air limbah terpusat;
k. drainase perumahan harus terkoneksi dengan saluran terdekat; dan
I. aliran drainase harus mengalir ke saluran yang terkoneksi ke sungai atau saluran
pembuang terdekat.

Pasal 11

Penyediaan jaringan listrik harus memperhatikan:


a. menyediakan tiang listrik sebagai penerangan jalan yang ditempatkan pada
area rumija pada Sisi jalur hijau yang tidak menghalangi sirkulasi pejalan kaki
di trotoar;
b. titik lampu jalan harus disediakan dengan penempatan titik lampu setiap jarak
IOO m (seratus meter); dan
c. penerangan jalan yang disediakan memiliki kuat penerangan 500 (lima ratus)
lux dengan tinggi minimal dan Iebih tinggi dari 5 m (lima meter) dari muka
tanah.

Pasal 12

GSB harus:
a. KDB per persil 40% (empat puluh persen) sampai dengan 60% (enam puluh
persen) dan KLB 1,2 (satu koma dua) sampai dengan 1,8 (satu koma delapan);
b. GSB terhadap jalan utarna ditentukan paling sedikit 4 m (empat meter) dari
tepi badan jalan;

c. GSB terhadap jalan buntu ditentukan paling sedikit 2 m (dua meter) dari tepi
badan jalan;

d. GSS tidak bertanggul di dalam kawasan perkotaan ditentukan:


I. paling sedikit berjarak IO m (sepuluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung
sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau
sama dengan 3 m (tiga meter) ;
2. paling sedikit berjarak IO m (sepuluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung
sungai sepanjang alur sungai, dalam hal kedalaman sungai kurang dari atau
sama dengan 3 m (tiga meter) sampai dengan 20 m (dua puluh meter); dan
3. paling sedikit berjarak 30 m (tiga puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung
sungai sepanjang alur sungai, dalarn hal kedalaman sungai kurang dari 20 m
(dua puluh meter).
e. GSS tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan, ditentukan paling sedikit
berjarak IOO m (seratus meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai;
f. GSS kecil tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan, ditentukan paling
sedikit berjarak 50 m (lima puluh meter) dari tepi kiri dan kanan palung sungai
sepanjang alur sungai;

g. GSS bertanggul di dalam kawasan perkotaan, ditentukan paling sedikit


berjarak 3 m (tiga meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai;

h. GSS bertanggul di luar kawasan perkotaan, ditentukan paling sedikit beijarak


5 m (lima meter) dari tepi luar kaki tanggul sepanjang alur sungai.

Pasai 13

Penyediaan fasilitas pemadam kebakaran jika terdapat lebih dari 25 (dua puluh
lima) unit rumah maka pengembang wajib menyiapkan jaringan pemadam
kebakaran dengan sistem kering berserta titik-titik hidrannya.

BAB vl
TATA CARA PENGESAHAN
RENCANA TAPAK (SITE PLAN) PERUMAHAN

Pasal 14

(1) Ketentuan umum gambar rencana tapak (site plan) meliputi:


a. tata letak beserta ketentuan teknis;
b. bentuk tapak harus sesuai dengan gambar pada buku sertifikat atau hasil
pengukuran teknis;
c. skala gambar menyesuaikan antara 1:2000 sampai 1:200;
d. digambar pada kertas HVS ukuran A3, A2 atau Al yang memuat keterangan
tentang:

l. nama objek site plan dan gambar situasi lokasi (disertai koordinat);

2. peta orientasi lokasi, arah mata anón dan skala;


3. detail potongan perkerasan jalan dan drainase skala gambar antara 1:200
sarnpai 1: 10;
4. batas bingkai gambar mengikuti margin 2 cm (dua sentimeter) inside dari garis
sisi kiri luar dan 1 cm (satu sentimeter) inside dari garis sisi atas, bawah dan
5. gambar pembagian petak atau kaveling dan kolom keterangan luas bangunan
dan luas tanah;
6. legenda atau keterangan gambar;
7. nama dan tanda tangan pemohon/ penanggung jawab;
8. nama dan tanda tangan perencana/ juru gambar;
9. nama dan tanda tangan untuk pejabat yang menyetujui; dan
10. nama dan tanda tangan untuk pejabat yang berwenang mengesahkan.
(2) Tata letak beserta ketentuan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf
a harus memuat sekurang kurangnya:
a. tata letak bangunan dengan prasarana dan sarana pendukungnya sesuai
komposisi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6;

b. ketentuan GSB dan jarak bebas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12;

c. tata letak RTH/tanaman fasilitas Umum;

d. rencana pembangunan jaringan jalan dengan lebar Rumija atau Right of Way
(ROW) sebagaimana di maksud dalam Pasal 8; dan
e. tata letak akses masuk keluar (gate) perumahan.
(3) Ketentuan rencana tapak (site plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Walikota ini.

Pasal 15

(1) Untuk mendapatkan pengesahan rencana tapak (site plan), pemohon


mengajukan surat permohonan melalui DPMPTSP dengan melampirkan:

a. fotokopi Kartu Tanda Penduduk (KTP) ;


b. surat kuasa asli bermaterai Oika dikuasakan);
c. fotokopi sertifikat/akta jual beli (apabila atas nama orang lain dilengkapi surat
pernyataan);

d. fotokopi akte pendirian perusahaan bagi pemohon yang berbadan hukum;

e. fotokopi surat pertimbangan teknis alih fungsi lahan pertanian untuk


perumahan apabila tanah yang diajukan merupakan tanah sawah yang
dikeluarkan oleh Dinas
PUPR;

f. fotokopi surat rekomendasi PDAM;


g. fotokopi Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan
Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPL) dan/atau Rekomendasi Lingkungan
(UKL-UPL atau AMDAL);
h. surat pernyataan asli bermaterai cukup bersedia menyerahkan prasarana,
sarana, dan utilitas perumahan bertahap atau sekaligus, apabila rencana
pembangunan dilakukan tidak bertahap;
i. rencana gambar site plan beserta softcopy AutoCAD (*.dwg);

j. rekomendasi oleh Dinas PUPR perihal pemanfaatan ruang, bebas banjir dan
struktur bangunan untuk perumahan vertikal; dan
k. fotokopi surat keanggotaan dari asosiasi pengembang perumahan oleh
pemohon.
(2) Apabila penelitian administrasi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terpenuhi, maka akan dilakukan survei terhadap lokasi oleh Tim Teknis dan
Tim Survei Dinas Perkim.
(3) Berdasarkan hasil survei lokasi sebagaimana dimaksud ayat (2), dibuatkan
berita acara survei.
(4) Apabila berita acara telah selesai dan terdapat revisi dari hasil rapat pada
persyaratan teknis maka berkas akan dikembalikan untuk diperbaiki sesuai
rekomendasi berita acara.

(5) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan teknis dan penilaian lapangan


sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperlukan perbaikan terhadap gambar
rencana tapak (Site plan) yang diajukan pemohon maka Tim Teknis rencana
tapak (Site plan) menyampaikan kepada pemohon untuk dilakukan perbaikan.
(6) Tim Teknis rencana tapak (Site plan) membuat draft keputusan pengesahan
rencana tapak (Site plan).
(7) Tim Teknis rencana tapak (Site plan) dan Tim Survei sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) ditetapkan Oleh Kepala Dinas.
(8) Pengesahan rencana tapak ditandatangani Oleh Kepala Dinas;

Pasal 16
(1) Apabila hasil survei lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3)
terpenuhi, diterbitkan pengesahan rencana tapak (Site plan).

(2) Jangka waktu penerbitan pengesahan rencana tapak (Site plan) maksimal 10
(sepuluh) hari kerja terhitung setelah berkas kelengkapan dipenuhi.
(3) Pengesahan rencana tapak (Site plan) berlaku seterusnya sejak diterbitkan,
selama tidak ada perubahan.

BAB VII
PENERBITAN PENGESAHAN PERUBAHAN
RENCANA TAPAK (SITE PLAN)

Pasal 17

(1) Perubahan rencana tapak (Site plan) meliputi:


a. tanpa perluasan lahan; dan
b. penambahan luas lahan.
(2) Persyaratan administrasi perubahan rencana tapak (Site plan) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan/kajian kepada Dinas Perkim; dan
b. surat pengesahan dan gambar rencana tapak yang lama.
(3) Persyaratan administrasi perubahan rencana tapak (Site plan) sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut:
a. mengajukan permohonan berupa kajian kepada Kepala Dinas dengan dilampiri
berkas-berkas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;

b. gambar pengesahan rencana tapak (Site plan) yang lama yang dilegalisir Oleh
pejabat yang berwenang;
c. data pendukung sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan Oleh Kepala Dinas;
dan

d. perubahan luasan rencana tapak (Site plan) di satu hamparan dijadikan satu
layout pada perubahan rencana tapak (Site plan) yang diajukan.

(4) Pengesahan terhadap perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


ditandatangani oleh Kepala Dinas.
(5) Penandatanganan legalisir rencana tapak (site plan) dilakukan oleh Dinas
Perkim melalui pejabat yang ditunjuk;
(6) Pemohon yang meminta legalisir rencana tapak (site plan), wajib menunjukkan
gambar rencana tapak (site plan) yang asli.

BAB VIII
KEWAJIBAN PENGEMBANG

Pasal 18

Dalam pembangunan dan pemanfaatan perumahan, pengembang atau pengelola


wajib:
a. menyelesaikan kewajiban pembayaran PBB-P2 dan retribusi lainnya sesuai
ketentuan; dan

b. menyerahkan prasarana, sarana, dan utilitas yang telah dibangun sesuai


rencana tapak (site plan) yang telah disahkan oleh Dinas Perkim kepada
Pemerintah Kota setelah selesai pembangunan.

BAB IX
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 19

(1) Pengawasan dan pengendalian dilakukan terkait aspek:


a. kesesuaian pembangunan fisik dengan rencana tapak (site plan) yang telah
disahkan; dan
b. kelengkapan dokumen perizinan.
(2) Temuan hasil pengawasan dan pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) ditindaklanjuti oleh Tim Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan
Perumahan.
(3) Tim Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan Perumahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) yang ditetapkan dengan Keputusan Walikota.

BAB X
SANKSI
Pasal 20

Terhadap pengembang yang membangun perumahan dan/atau kawasan


perumahan tidak sesuai dengan rencana tapak (site plan) yang telah disahkan
dikenakan sanksi berdasarkan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 10 Tahun 2004
tentang Bangunan Gedung.

BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 21

(1) Rencana tapak (site plan) yang telah disahkan sebelum Peraturan Walikota ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku.

(2) Rencana tapak (site plan) yang sedang diproses pada saat Peraturan Walikota
ini diundangkan, maka prosesnya dilanjutkan dengan mengacu pada ketentuan
yang terdapat dalam Peraturan Walikota ini.
IV. Regulasi Seputar Perihal Pembangunan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No. 54/PRT/M/1991 Tentang Pedoman Persyaratan Teknik
Pembangunan Perumahan Sangat Sederhana

BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
a. Perumahan sangat sederhana adalah sekelompok tempat kediaman yang pada
tahap awalnya dibangun dengan menggunakan bahan bangunan berkualitas
sangat sederhana dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan, utilitas umum
dan fasilitas sosial.
b. Lingkungan perumahan sangat sederhana adalah sebidang tanah dengan batas-
batas yang jelas, di mana di atasnya dibangun rumah sangat sederhana, termasuk
prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial, yang secara keseluruhan
merupakan kesatuan tempat pemukiman.

Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan
Pasal 2
(1) Pedoman Teknik pembangunan perumahan sangat sederhana dimaksudkan
untuk landasan perencanaan, pelaksaan dan pengawasan serta memudahkan
proses pengadaan dan pembangunan perumahan sangat sederhana beserta
lingkungannya.
(2) Pedoman Teknik pembangunan perumahan sangat sederhana bertujuan untuk
menjadi ukuran dan Batasan penentuan kebutuhan sekurang-kurangnya dalam
rangka usaha pembangunan rumah sangat sederhana, khususnya bagi
masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah, dan selanjutnya dapat
ditingkatkan kualitasnya menjadi rumah sederhana.
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 3
Pedoman Teknik ini mempunyai ruang lingkup untuk pembangunan baru
perumahan sangat sederhana.

Bagian Keempat
Persyaratan Umum
Pasal 4
(1) Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan pembangunan perumahan sangat
sederhana beserta lingkungannya harus dilaksanakan oleh tenaga ahli dalam
bidangnya.
(2) Persyaratan-persyaratan administratip yang menyangkut penyediaan tanah,
perencanaan proyek serta legalitas dan bonafiditas perusahaan pembangunan
perumahan (developer) harus mengikuti ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Pembangunan perumahan sangat sederhana harus direncanakkan untuk
memungkinkan pembangunannya secara bertahap sekurang-kurangnnya
menjadi perumahan sederhana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.

BAB II
LINGKUNGAN PERUMAHAN SANGAT SEDERHANA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
(1) Pembangunan Perumahan sangat sederhana harus dibuat pada daerah yang
dalam jangka menengah dapat dikembangkan sebagai lingkungan perumahan
sederhana dan atau perumahan yang mempunyai tingkat lebih tinggi sehingga
dapat membentuk satu kesatuan lingkungan/Kawasan yang untuh.
(2) Dalam hal terdapat suatu Kawasan bukan perumahan (Kawasan industry atau
Kawasan lainnya) yang memerlukan dukungan perumahan bagi masyarakat
berpenghasilan rendah dan sangat rendah, dapat dibangun lingkungan
perumahan sangat sederhana yang prasarana lingkungan, utilitas umum dan
fasilitas sosialnya menjadi satu kesatuan dengan Kawasan yang didukungnya.
(3) Perencanaan dan pengembangan lingkungan perumahan sangat sederhana harus
selalu mempertimbangkan kemungkinan penggabungan dan pemanfaatan
prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas social Kawasan yang telah ada
dengan tidak mengurangi kualitas pelayanan Kawasan secara menyeluruh.
(4) Perencanaan dan pengembangan lingkungan perumahan sangat sederhana harus
mempertimbangkan keseimbangan lingkungan dan social serta dapat
mempertimbangkan kesepakataan untuk membina individu dan keluarga
sejahtera.

Bagian Kedua
Kriteria Pemilik Lokasi
Pasal 6
(1) Lokasi perumahan sangat sedeerhana harus berada pada daerah yang
peruntukannya dapat dikembangkan sebagai lingkungan perumahan sederhana
sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku, atau dii daerah yang ditumjuk
dengan sah oleh pemerintah daaerah setempat bila belum ada rencana tata ruang
yang diberlakukan.
(2) Luas tanah yang tersedia harus cukup bagi pembangunan perumahan sangat
sederhana sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) unit rumah dan dilengkapi
dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas social atau dalam hal
bergabung dengan suatu lingkungan perumahan yang sudah ada dapat dibangun
kurang dari 50 (lima puluh) unit rumah.
(3) Lokasi perumahan sangat sederhana harus:
a. Bebas dari pencemaran air, udara dan gangguan suara atau gangguan lainnya,
baik yang ditimbulkan dari sumber daya buatan manusia maupun sumber daya
alam;
b. Dapat menjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi
pembinaan individu dan masyarakat penghuni;
c. Mempunyai kondisi yang bebas dari banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-
15% (nol sampai lima belas persen);
d. Menjamin adanya kepastian hukum atas status penguasaan tanah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Persyaratan Teknik Kapling
Pasal 7
(1) Luas Kapling tidak boleh kurang dari 54 m² (lima puluh empat meter persegi),
dan tidak lebih dari 200 m² (dua ratus meter persegi).
(2) Penggunaan kapling sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperhitungkan
sesuai dengan Koefisien Dasar Bangunan (KBD) yang berlaku pada daerah
setempat.

Bagian Keempat
Prasarana Lingkungan
Pasal 8
Jalan Lingkungan untuk kendaraan harus mempunyai persyaratan:
a. Berfungsi sebagai jalan untuk kendaraan roda empat agar dapat masuk sampai
dengan tempat pemberhentian kendaraan yang dapat menyatu dengan tempat
parkir yang disediakan di lokasi khusus atau hanya membuat perkerasan di sisi-
sisi perkerasan jalan;
b. Berfungsi juga sebagai jalan untuk kendaraan yang diperlakukan dalam keadaan
darurat (antara lain: mobil pemadam kebakaran, ambulance);
c. Mempunyai daerah manfaat jalan (damaja) dengan lebar penampang sebesar-
besarnya 6 (enam) meter dan mempunyai lebar perkerasan jalan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) meter dengan konstruksi dari bahan bangunan lokal yang
dinyatakan layak sebagai jalan lingkungan untuk kendaraan (antara lain dapat
digunakan segala jenis batuan, kerikil atau pasir batu sehingga tidak becek dan
mampu mendukung beban sesuatu dengan fungsinya);
d. Mempunyai bahu jalan dengan lebar penampang sekurang-kurangnya 40.00 cm
(empat pulu senti meter) yang harus dapat digunakan untuk penempatan tiang
listrik, jaringan prasarana lingkungan dan untilitas umum lainnya.

Pasal 9
Jalan lingkungan untuk perjalan kaki harus mempunyai persyaratan:
a. Berfungsi sebagai jalan untuk pejalan kaki yang menghubungkan antar rumah
maupun dari rumah ke jalan lingkungan kendaraan;
b. Berfungsi juga sebagai jalan untuk kendaraan pengangkut yang ditarik/didorong
pejalan kaki (antara lain: gerobak sampah, gerobak sayur dan gerobak roti);
c. Mempunyai daerah manfaat jalan (Damaja) dengan lebar penampang antara
2.80-3.60 cm (dua ratuss delapan puluh sampai dengan tiga ratus enam puluh
senti-meter), lebar perkerasan 1.20-2.00 cm (serratus dua puluh sampai dengan
dua ratus senti-meter) dengan kontruksi dari bahan bangunan lokal yang
dinyatakan layak sebagai jalan lingkungan untuk pejalan kaki (antara lain dapat
digunakan segala jenis batuan, kerikil atau pasir batu sehingga tidak becek dan
mampu mendukung beban sesuai dengan fungsinya).
d. Mempunyai bahu jalan dengan lebar penampang sekurang-kurangnya 40.00 cm
(empat puluh senti meter) yang harus dapat dipakai untuk penempatan tiang
listrik, jaringan utilitas dan jaringan prasarana lainnya.

Pasal 10
Sistem pembungan air limbah lingkungan mengikuti ketentuan pedoman teknik
pembangunan perumahan sederhana yang berlaku.

Pasal 11
(1) Saluran pembungan air hujan harus diperhitungkan secara teknis sehingga
lingkungan bebas dari genangan air dan harus mempunyai ukuran sekurang-
kurangnya:
- Lebar atas 30 cm (tiga-puluh senti-meter);
- Lebar bawah 20 cm (dua-puluh senti-meter);
- Tinggi 30 cm (tiga-puluh senti-meter).
(2) Pembutan saluran sekurang-kurangnya harus ditempati di sepanjang jalan, di
salah satu tepi sisi jalan atau di kedua tepi sisi jalan.

Pasal 12
(1) Air bersih pada tahap awal harus disediakan sekurang-kurangnya sumur untuk
umum atau dengan kran umum, sebelum ada sambungan ke rumah-rumah.
(2) Persyaratan lain bila sudah diperlukan harus mengikuti keetentuan pedoman
teknik pembangunan perumahan sederhana yang berlaku.

Pasal 13
Sistem pembangunan sampah lingkungan harus mengikuti ketentuan pedoman
teknik pembangunan perumahan sederhana yang berlaku.
Pasal 14
Jaringan listrik harus disediakan sampai masuk dalam lingkungan dan sambungan
rumah dapat diberikan pada setiap rumah atau setiap kelompok.

Bagian kelima
Fasilitas Sosial
Pasal 15
(1) Fasilitas Mandi, Cuci dan Kakus (MCK) harus mempuunyai persyaratan:
a. Pada tahap awal disediakan sekurang-kurangnya secara terpusat untuk melayani
umum, sebelum dapat dibuat MCK yang ada di setiap rumah;
b. Untuk 50 (lima puluh) unit rumah dibuat sekurang-kurangnya 8 (delapan) kakus,
4 (empat) kamar mandi dan 4 (empat) tempat cuci dibuat dengan dinding
setinggi 150 cm (seratus lima-puluh senti-meter), tanpa atap.

Pasal 16
Tempat bermain anak-anak harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat
menjamin keselamatan bagi anak-anak yang memakainya dan dapat berfungsi
sebagai tempat rekreasi serta berkomunikasi antar masyarakat.

Pasal 17
Fasilitas sosial lain dapat disediakan sesuai dengan kebutuhan penghuni serta
memperhitungan upaya pemanfaatan kkeberadaan fasilitas social yang telah ada
di sekitar lokasi pperumahan sangat sederhana, serta harus mengikuti ketentuan
pedoman teknik pembangunan perumahan sederhana yang berlaku.

BAB III
RUMAH SANGAT SEDERHANA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 18
(1) Pembangunan Rumah sangat sederhana harus memenuhi syarat Kesehatan yang
menjamin penghuni dapat hidup sehat dalam kegiatan sehari-hari secara layak
(2) Spesifikasi bahan bangunan harus memenuhhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan dalam standard Nasional Indonesia sepanjang menggunakan bahan
yang sudah ada standardnya.
Bagian Kedua
Persyaratan Teknik Rumah
Pasal 19
Ukuran dan luas rumah harus mempunyai persyaratan:
a. Semua ukuran baik vertikal maupun horizontal harus berpedoman kepada
koordinasi modular;
b. Luas bangunan yang disediakan sekurang-kurangan 12 m² (dua belas meter-
persegi) dan seluas-luasnya 36 m² (tiga puluh enam meter-persegi).

Pasal 20
Besaran bangunan, jarak, bangunan, besaran ruang harus mengikuti ketentuan
pedoman teknik pembangunan perumahan sederhana yang berlaku.

Pasal 21
Ruang harus mempunyai persyaratan:
a. Ventilasi harus disediakan sehingga dapat menjamin adanya sirkulasi pertukaran
udara bersih/segar;
b. Penerangan ruang harus disediakan baik alami maupun buatan sesuai dengan
kebutuhan aktivitas penghuni dalam rumah.

Pasal 22
Kelengkapan bangunan harus mempunyai persyaratan:
a. Pembuangan air limbah dan air hujan dari setiap rumah tangga harus
diperhitungkan dapat disambungkan dengan sistem pembangunan air limbah
dan air hujan lingkungan serta tidak saling mencermari anntara rumah tangga
yang satu dengan yang lain;
b. Tempat sampah rumah tangga harus disediakan untuk setiap rumah atau
kelompok rumah tangga;
c. Penyedian listrik dapat disambung untuk setiap rumah atau setiap kelompok
rumah.

Pasal 23
Struktur komponen dan bahan bangunan harus mempunyai persyaratan:
a. Penggunaan bahan bangunan untuk kontruksi yang murah dapat terdiri dari baan
banguunan lokal atau lainnya yang kekuatannya memenuhi syarat teknik;
b. Permukaan lantai harus lebih tinggi 20 cm (dua-puluh senti meter) dari
permukaan halaman tertinggi dan harus rata, kering, mudah dibersihkan, tidak
menimbulkan debu, dan dapat diperkeras antara lain tanah dilapis dengan air
semen (soilcement), tras;
c. Dinding dapat dibuat dari bahan yang sekurang-kurangnya dapat melindungi
penghuni dari cuaca dan sinar matahari langsung, antara lain digunakan bahan
dari anyaman bambu atau sejenis yang dipasang sekurang-kurangnya 90.00 cm
(Sembilan puluh senti meter) di atas dinding dengan bahan tembok;
d. Dinding dapur, kamar mandi/kakus dengan ketinggian sekurang-kurangnya
setinggi 1.50 cm (satu koma lima puluh centi-meter);
e. Kerangka atap harus mempunyai kekuatan sendiri dan beban-beban lainnya
menggunakan bahan kayu atau bambu;
f. Penutup atap harus disesuaikan dengan kemampuan dari kerangka atap
plentong, keramik rakyat, seng gelombang atau asbes gelombang;
g. Langit-langit dapat ditiadakan dengan membuat kerangka atap dan penutupnya
lebih rapi.

BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
(1) Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
(2) Hal-hal yang belum cukup diatur dalam peraturan Menteri ini akan ditetapkan
lebih lanjut oleh pihak yang berwenang.
(3) Peraturan Menteri ini disebar luaskan kepada yang bersangkutan untuk diketahui
dan dilaksanakan.
V. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 29/PRT/M/2006 Tentang
Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung

BAB 1

KETENTUAN UMUM

Bagian Kesatu

Pengertian

a. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan
keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.

b. Fungsi bangunan gedung meliputi fungsi hunian, keagamaan, usaha, sosial


dan budaya dan fungsi khusus adalah ketetapan mengenai pemenuhan
persyaratanadministratif dan persyaratan teknis bangunan gedung.

c. Klasifikasi bangunan gedung adalah klasifikasi dari fungsi bangunan gedung


berdasarkan pemenuhan tingkat persyaratan administratif dan persyaratan
teknisnya.

d. Persyaratan teknis bangunan gedung adalah ketentuan mengenai persyaratan


tata bangunan dan persyaratan keandalan bangunan gedung.

e. Penyelenggaraan bangunan gedung adalah kegiatan pembangunan yang


meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan konstruksi, serta kegiatan
pemanfaatan, pelestarian dan pembongkaran bangunan gedung.

f. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik gedung.

g. Pengguna bangunan gedung adalah pemilik bangunan gedung, dan/atau bukan


pemilik bangunan gedung berdasarkan kesepakatan dengan pemilik bangunan
gedung, yang menggunakan dan/atau mengelola bangunan gedung atau bagian
bangunan gedung sesuai dengan fungsi yang ditetapkan.

h. Masyarakat adalah perorangan, kelompok, badan hukum atau usaha dan


lembaga atau organisasi yang kegiatannya di bidang bangunan gedung,
termasuk masyarakat hukum adat dan masyarakat ahli, yang berkepentingan
dengan penyelenggaraan bangunan gedung.

i. Daerah adalah Kabupaten/Kota atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta pada


Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.

j. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut sebagai Pemerintah, adalah perangkat


Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari Presiden beserta para
menteri.

k. Pemerintah Daerah adalah kepala daerah kabupaten atau kota beserta


perangkat daerah otonom yang lain sebagai badan eksekutif daerah, kecuali
untuk Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalah Gubernur.
Bagian Kedua

Maksud, Tujuan dan Lingkup

Pasal 2

(1) Pedoman Teknis ini dimaksudkan sebagai acuan dalam pemenuhan


persyaratan teknis bangunan gedung untuk mewujudkan bangunan gedung
yang berkualitas sesuai dengan fungsinya, andal, serasi, selaras dengan
lingkungannya.

(2) Pedoman Teknis ini bertujuan untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung
yang selamat, sehat, nyaman, dan memberikan kemudahan bagi penghuni
dan/atau pengguna bangunan gedung, serta efisien, serasi, dan selaras dengan
lingkungannya.

(3) Lingkup Pedoman Teknis ini meliputi fungsi, klasifikasi dan persyaratan teknis
bangunan gedung.

BAB II

FUNGSI, KLASIFIKASI, DAN PERSYARATAN TEKNIS BANGUNAN


GEDUNG

Bagian Kesatu

Fungsi dan Klasifikasi Bangunan Gedung

Pasal 3

(1) Fungsi dan klasifikasi bangunan gedung meliputi persyaratan mengenai:

a. Fungsi dan penetapan fungsi bangunan gedung;

b. Klasifikasi bangunan gedung; dan

c. Perubahan fungsi dan/atau klasifikasi bangunan gedung.

(2) Rincian fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)tercantum pada lampiran, yang merupakan satu kesatuan dalam
peraturan ini.
(3) Setiap orang atau badan hukum termasuk instansi
pemerintah, dalampenyelenggaraan pembangunan bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memenuhi persyaratan teknis yang diatur dalam Peraturan ini.

Bagian Kedua

Persyaratan Teknis Bangunan Gedung

Pasal 4

(1) Persyaratan teknis bangunan gedung meliputi:

a. Persyaratan tata bangunan dan lingkungan yang terdiri dari:

1) Peruntukan lokasi dan intensitas bangunan gedung;

2) Arsitektur bangunan gedung;

3) Pengendalian dampak lingkungan;

4) Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL); dan

5) Pembangunan bangunan gedung di atas dan/atau di bawah tanah, air


dan/atau prasarana/sarana umum.

b. Persyaratan keandalan bangunan gedung yang terdiri dari:

1) Persyaratan keselamatan bangunan gedung;

2) Persyaratan kesehatan bangunan gedung;

3) Persyaratan kenyamanan bangunan gedung; dan

4) Persyaratan kemudahan bangunan gedung.

(2) Rincian persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum pada lampiran peraturan ini merupakan satu kesatuan pengaturan
yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini.

Bagian Ketiga

Pengaturan Pelaksanaan Persyaratan Teknis Bangunan Gedung

Pasal 5
(1) Pelaksanaan persyaratan teknis bangunan gedung di daerah diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Daerah yang berpedoman pada Peraturan ini.

(2) Dalam hal daerah belum mempunyai Peraturan Daerah sebagaimana pada ayat
(1) maka pelaksanaan persyaratan teknis bangunan gedung berpedoman pada
Peraturan ini.

(3) Dalam hal daerah telah mempunyai Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebelum Peraturan ini diberlakukan, maka Peraturan Daerah
tersebut harus menyesuaikan dengan Peraturan ini.
Pasal 6

(1) Dalam melaksanakan pembinaan bangunan gedung, Pemerintah melakukan


peningkatan kemampuan aparat Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota maupun masyarakat dalam memenuhi ketentuan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4 untuk terwujudnya penataan
bangunan gedung dan lingkungan, serta terwujudnya keandalan bangunan
gedung.

(2) Dalam melaksanakan pengendalian penyelenggaraan bangunan gedung


Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota wajib mengikuti Pedoman
Teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2.

(3) Terhadap aparat Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan/atau Kabupaten/Kota


yang bertugas dalam penentuan dan pengendalian bangunan gedung yang
melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3 dan Pasal 4 dikenakan sanksi
sesuai ketentuanperaturan perundang-undangan yang berlaku.

(4) Terhadap penyedia jasa konstruksi yang terlibat dalam penyelenggaraan


bangunan gedung yang melakukan pelanggaran ketentuan dalam Pasal 3 dan
Pasal 4 dikenakan sanksi dan atau ketentuan pidana sesuai ketentuan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.

BAB III

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 7

Semua peraturan pelaksanaan yang berkaitan dengan persyaratan teknis


bangunangedung sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan ini,
dinyatakan tetap berlaku.

Anda mungkin juga menyukai