DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 6
Hasil Observasi Data Peraturan di Kantor Satker Pelaksanaan Prasarana Permukiman Provinsi
Aceh, yang beralamatkan pada Jl. Moh. Taher No.45, Lueng Bata, Kec. Lueng Bata, Kota Banda Aceh,
Aceh 23123.
II. Qanun Kota Banda Aceh Nomor 2 Tahun 2018 Tentang (Perubahan Atas
Qanun Kota Banda Aceh Nomor 4 Tahun 2009) Tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Kota Banda Aceh Tahun 2009- 2029
III. Peraturan Walikota Banda Aceh Nomor 45 Tahun 2021 Tentang Pengesahan
Rencana Tapak (Site Plan) Perumahan
TENTANG
BAB V
PENYELENGGARAAN PERUMAHAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 19
Pasal 20
b. pembangunan perumahan;
c. pemanfaatan perumahan;
3) Rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibedakan menurut jenis dan
bentuknya.
Bagian Kedua
Pasal 21
a. rumah komersial;
b. rumah umum;
c. rumah swadaya;
d. rumah khusus;
7) Rumah swadaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dapat memperoleh
bantuan dan kemudahan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
8) Rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d
dan huruf e disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
Pasal 22
(1) Bentuk rumah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (3) dibedakan
berdasarkan hubungan atau keterikatan antarbangunan.
a. rumah tunggal;
c. rumah susun.
(3) Luas lantai rumah tunggal dan rumah deret memiliki ukuran paling sedikit 36
(tiga puluh enam) meter persegi.
Bagian Ketiga
Perencanaan Perumahan
Paragraf 1
Umum
Pasal 23
(2) Perencanaan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
(4) Perencanaan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup rumah
sederhana, rumah menengah, dan/atau rumah mewah.
Paragraf 2
Pasal 24
Pasal 25
Perencanaan dan perancangan rumah dilakukan oleh setiap orang yang memiliki
keahlian di bidang perencanaan dan perancangan rumah sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
(1) Hasil perencanaan dan perancangan rumah harus memenuhi persyaratan teknis,
administratif, tata ruang, dan ekologis.
(2) Persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan syarat bagi
diterbitkannya izin mendirikan bangunan.
(3) Perencanaan dan perancangan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
merupakan bagian dari perencanaan perumahan dan/atau permukiman.
Pasal 27
Bagian Keempat
Pembangunan Perumahan
Paragraf 1
Umum
Pasal 32
(3) Industri bahan bangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi
Standar Nasional Indonesia.
Pasal 33
(1) Pemerintah daerah wajib memberikan kemudahan perizinan bagi badan hukum
yang mengajukan rencana pembangunan perumahan untuk MBR.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk kemudahan perizinan dan tata cara
pencabutan izin pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 34
(2) Pembangunan perumahan skala besar yang dilakukan oleh badan hukum wajib
mewujudkan hunian berimbang dalam satu hamparan
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan untuk badan
hukum yang membangun perumahan yang seluruhnya ditujukan untuk
pemenuhan kebutuhan rumah umum.
(4) Dalam hal pembangunan perumahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dapat memberikan insentif kepada
badan hukum untuk mendorong pembangunan perumahan dengan hunian
berimbang.
Pasal 35
(1) Pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah
sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah.
Pasal 36
(1) Dalam hal pembangunan perumahan dengan hunian berimbang tidak dalam satu
hamparan, pembangunan rumah umum harus dilaksanakan dalam satu daerah
kabupaten/kota.
(2) Pembangunan rumah umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus
mempunyai akses menuju pusat pelayanan atau tempat kerja.
(3) Kemudahan akses sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan peraturan
daerah.
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai perumahan skala besar dan kriteria hunian
berimbang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36 diatur
dengan Peraturan Menteri.
Paragraf 2
Pembangunan Rumah
Pasal 38
(3) Pembangunan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh
setiap orang, Pemerintah, dan/atau pemerintah daerah.
(4) Pembangunan rumah dan perumahan harus dilakukan sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah.
Pasal 39
(2) Pembangunan rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dibiayai melalui anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau
anggaran pendapatan dan belanja daerah.
(3) Rumah khusus dan rumah negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menjadi
barang milik negara/daerah dikelola sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 40
(1) Dalam melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39
ayat (1), Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menugasi dan/atau membentuk
lembaga atau badan yang menangani pembangunan perumahan dan
permukiman sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Lembaga atau badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab:
a. membangun rumah umum, rumah khusus, dan rumah negara;
b. menyediakan tanah bagi perumahan; dan
c. melakukan koordinasi dalam proses perizinan dan pemastian kelayakan hunian.
Pasal 41
(1) Pembangunan rumah negara dilakukan untuk mewujudkan ketertiban
penyediaan, penghunian, pengelolaan, serta pengalihan status dan hak atas
rumah yang dimiliki negara.
(2) Pembangunan rumah negara diselenggarakan berdasarkan pada tipe dan kelas
bangunan serta pangkat dan golongan pegawai negeri di atas tanah yang sudah
jelas status haknya.
Pasal 42
(1) Rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun yang masih dalam tahap
proses pembangunan dapat dipasarkan melalui sistem perjanjian pendahuluan
jual beli sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
(2) Perjanjian pendahuluan jual beli sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
setelah memenuhi persyaratan kepastian atas:
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai sistem perjanjian pendahuluan jual beli
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 43
(1) Pembangunan untuk rumah tunggal, rumah deret, dan/atau rumah susun, dapat
dilakukan di atas tanah:
a. hak milik;
b. hak guna bangunan, baik di atas tanah negara maupun di atas hak pengelolaan;
atau
(2) Pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat difasilitasi dengan
kredit atau pembiayaan pemilikan rumah.
(3) Kredit atau pembiayaan pemilikan rumah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat dibebani hak tanggungan.
(4) Kredit atau pembiayaan rumah umum tidak harus dibebani hak tanggungan.
Pasal 44
(1) Pembangunan rumah tunggal, rumah deret, rumah susun, dan/atau satuan rumah
susun dapat dibebankan jaminan utang sebagai pelunasan kredit atau
pembiayaan.
(2) Pelunasan kredit atau pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan untuk membiayai pelaksanaan pembangunan rumah tunggal, rumah
deret, atau rumah susun.
Pasal 45
Badan hukum yang melakukan pembangunan rumah tunggal, rumah deret, dan/atau
rumah susun tidak boleh melakukan serah terima dan/atau menarik dana lebih
dari 80% (delapan puluh persen) dari pembeli, sebelum memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2).
Pasal 46
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 56
Pasal 57
Pasal 58
c. pembangunan kembali.
Pasal 59
d. penetapan bagian lingkungan hunian perkotaan yang dibatasi dan yang didorong
pengembangannya;
Pasal 60
(3) Pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat membentuk atau
menunjuk badan hukum.
Pasal 61
d. penetapan bagian lingkungan hunian perdesaan yang dibatasi dan yang didorong
pengembangannya;
a. rehabilitasi;
b. rekonstruksi; atau
c. peremajaan.
(3) Pembangunan kembali sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tetap melindungi
masyarakat penghuni untuk dimukimkan kembali di lokasi yang sama sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 63
a. perencanaan;
b. pembangunan;
c. pemanfaatan; dan
d. pengendalian.
Bagian Kedua
Pasal 64
(1) Perencanaan kawasan permukiman harus dilakukan sesuai dengan rencana tata
ruang wilayah.
(3) Pedoman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) digunakan untuk memenuhi
kebutuhan lingkungan hunian dan digunakan untuk tempat kegiatan pendukung
dalam jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
(4) Perencanaan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan setiap orang.
(5) Dokumen rencana kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan oleh bupati/walikota.
Pasal 65
Pasal 66
Pasal 67
Pasal 68
Pasal 69
(2) Perencanaan tempat kegiatan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 70
Pasal 71
(2) Pembangunan kawasan permukiman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan/atau badan hukum.
Pasal 72
Pasal 73
a. pembangunan permukiman;
(2) Pembangunan tempat kegiatan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 75
TENTANG
Pasal 1
6. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara,
termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia
dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya;
9. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang dalam suatu wilayah yang
meliputi peruntukan ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang untuk
fungsi budi daya;
10. Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Banda Aceh yang selanjutnya disingkat
RTRWK adalah rencana mengatur struktur dan pola pemanfaatan ruang wilayah
Kota yang merupakan hasil dari kegiatan perencanaan tata ruang;
11. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang;
13. Pengaturan penataan ruang adalah upaya pembentukan landasan hukum bagi
Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat dalam penataan ruang;
14. Pembinaan penataan ruang adalah upaya untuk meningkatkan kinerja penataan
ruang yang diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan
masyarakat;
15. Pelaksanaan penataan ruang adalah upaya pencapaian tujuan penataan ruang
melalui pelaksanaan perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang;
16. Pengawasan penataan ruang adalah upaya agar penyelenggaraan penataan ruang
dapat diwujudkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
17. Pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan struktur ruang dan pola
ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan
program beserta pembiayaannya;
18. Pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata
ruang;
19. Kawasan adalah wilayah yang memiliki fungsi utama lindung atau budidaya;
20. Kawasan lindung adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama
melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan
sumber daya buatan;
21. Kawasan budidaya adalah wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk
dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya
manusia, dan sumber daya buatan;
22. Kawasan strategis kota adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan
karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota
terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan;
23. Kawasan perumahan adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, berupa kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat
tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung
perikehidupan dan penghidupan;
24. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan
dan makhluk hidup termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lain;
25. Daya Dukung Lingkungan Hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk
mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya;
26. Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disingkat DAS adalah suatu wilayah
tertentu yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu kesatuan dengan sungai
dan anak-anak sungainya yang berfungsi menampung air yang berasal dari curah
hujan dan sumber air lainnya dan kemudian mengalirkannya melalui sungai
utama ke laut;
31. Rencana Struktur Tata Ruang adalah rencana yang menggambarkan susunan
unsur-unsur pembentuk zona lingkungan alam, lingkungan sosial dan
lingkungan buatan yang digambarkan secara hirarkis dan berhubungan satu
sama lain;
32. Ruang terbuka hijau yang selanjutnya disebut RTH adalah area memanjang/jalur
dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat
tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja
ditanam;
33. Sistem internal perkotaan adalah struktur ruang dan pola ruang yang mempunyai
jangkauan pelayanan pada tingkat internal perkotaan;
35. Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
36. Izin pemanfaatan ruang adalah izin yang dipersyaratkan dalam kegiatan
pemanfaatan ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
37. Pusat Kota yang selanjutnya disebut PK adalah suatu kawasan yang merupakan
satu kesatuan wilayah Kota sebagai pusat konsentrasi kegiatan Kota yang
terbentuk secara fungsional dalam rangka pencapaian daya guna pelayanan kota;
38. Sub Pusat Kota yang selanjutnya disebut SPK adalah bagian dari suatu kesatuan
wilayah kota yang terbentuk secara fungsional dalam rangka pencapaian daya
guna pelayanan dan fasilitas umum kota;
39. Pusat Lingkungan adalah suatu kawasan pelayanan terkecil yang terbentuk
secara fungsional dalam rangka pencapaian pelayanan dan fasilitas umum kota;
40. Jalan Raya Utama yang berfungsi sebagai Arteri Primer (Regional), adalah
merupakan jalan-jalan raya yang sedikit sekali mempunyai jalan keluar-masuk
ke daerah atau kepekarangan kanan-kirinya dan berfungsi menghubungkan
daerah-daerah dan kota-kota satu sama lainnya, dan yang juga melewati bagian
luar kota-kota itu;
41. Jalan Utama yang berfungsi sebagai Jalan Arteri Sekunder, adalah jalan-jalan
di dalam wilayah Kota, yang mehubungkan lalu-lintas atau pusat kegiatan
dalam Kota dan dibatasi jalan keluar masuk ke kanan dan kiri dan menyalurkan
lalu-lintas campuran yang berat;
44. Kota Jasa adalah kota yang berfungsi sebagai pusat pemerintahan provinsi,
pusat perdagangan, pusat kegiatan keagamaan Islam, pusat pendidikan, pusat
kesehatan, pusat wisata dan sejarah, serta kegiatan pelayanan lainnya;
45. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disebut KDB adalah angka
prosentase berdasarkan perbandingan antara seluruh luas lantai dasar bangunan
dengan luas lahan/tanah perpetakan/kawasan yang dikuasai dengan rencana
Kota;
46. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disebut KLB adalah angka
perbandingan antara jumlah seluruh luas lantai seluruh bangunan terhadap luas
tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana
Kota;
47. Garis Sempadan Bangunan yang selanjutnya disebut GSB adalah jarak bebas
minimum dari bidang terluar suatu masa bangunan terhadap batas lahan yang
dikuasai, batas tepi jalan, sungai dan pantai, antar masa bangunan lainnya,
rencana saluran, jaringan listrik tegangan tinggi, jaringan pipa gas dan
sebagainya;
48. Ruang Milik Jalan yang selanjutnya disebut RUMIJA adalah merupakan ruang
sepanjang jalan yang dibatasi oleh lebar dan tinggi tertentu yang dikuasai oleh
Pembina Jalan dengan suatu hak tertentu sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang berlaku;
49. Rencana Rinci adalah rencana tindak lanjut dari rencana umum yang berisikan
program penataan ruang dengan kedalaman materi perencanaan yang bersifat
detail dan teknis, seperti Rencana Detail, Rencana Teknik Ruang Kota,
Rencana Rinci Kawasan Strategis, dan rencana lainnya yang lebih teknis;
50. Rencana Detail Tata Ruang Kota yang selanjutnya disingkat RDTRK adalah
rencana pemanfaatan ruang Bagian Wilayah Kota/Kawasan Perkotaan secara
terperinci yang disusun untuk penyiapan perwujudan ruang dalam rangka
pelaksanaan program-program pembangunan perkotaan;
51. Izin Mendirikan Bangunan yang selanjutnya disebut IMB adalah perizinan
yang diberikan oleh Pemerintah Kota kepada pemilik bangunan gedung untuk
membangun baru, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat bangunan
gedung sesuai dengan persyaratan administratif dan persyaratan teknis yang
berlaku;
52. Central Bussiness Distric yang selanjutnya disingkat CBD adalah wilayah yang
melayani perdagangan dengan skala pelayanan regional dan kota;
53. Banda Aceh Outer Ring Road yang selanjutnya disingkat BORR adalah ruas
jalan lingkar Kota yang menghubungkan satukawasan dengan kawasan
lainnya;
56. Pusat Kegiatan Nasional yang selanjutnya disebut PKN adalah kawasan
perkotaan yang berfungsi untuk melayani kegiatan yang bersifat skala
internasional, nasional atau beberapa provinsi;
57. Sempadan Pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai, yang lebarnya
proporsional dengan bentuk dan kondisi fisik pantaidari titik pasang tertinggi
ke arah darat;
58. Sempadan Sungai adalah ruang yang tidak diperkenankan didirikan bangunan
diatasnya yang dibatasi oleh garis batas luar daerah sempadan;
60. Kawasan Rawan Bencana adalah kawasan dengan kondisi atau karakteristik
geologis, biologis, hidrologis, klimatologi dan geografis pada suatu wilayah
untuk jangka waktu tertentu yang mengurangi kemampuan mencegah,
meredam, mencapai kesiapan dan mengurangi kemampuan untuk menanggapi
dampak buruk bahaya tertentu;
61. Sistem transportasi darat kota adalah sistem jaringan transportasi darat yang
terdiri atas jaringan jalan nasional, jalan propinsi, jalan kota, jaringan jalur
kereta api, dan jaringan transportasi sungai, danau, dan penyeberangan;
62. Jaringan jalan kota adalah prasarana transportasi darat yang meliputi segala
bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang
diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas
permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di atas
permukaan air, kecuali jalan kereta api, jalan lori, dan jalan kabel;
63. Transportasi darat adalah segala bentuk transportasi menggunakan jalan untuk
mengangkut penumpang atau barang;
64. Sistem jaringan sumber daya air merupakan sistem sumber daya air pada setiap
wilayah sungai dan cekungan air tanah;
65. Wilayah sungai adalah kesatuan wilayah pengelolaan sumber daya air dalam
satu atau leh daerah aliran sungai dan/atau pulau pulau kecil yang luasnya
kurang dari atau sama dengan 2000 km²;
66. Insentif adalah perangkat atau upaya untuk memberikan imbalan terhadap
pelaksanaan kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang;
BAB III
RUANG LINGKUP
Pasal 3
Lingkup wilayah perencanaan tata ruang kota adalah seluas 6.136 Ha atau luasan
berdasarkan digitasi pada Citra Satelit seluas 5.903 Ha yang terdiri dari 9
(sembilan) kecamatan, 90 (sembilan puluh) gampong.
BAB V
Pasal 13
(1) Dalam Sistem Perkotaan Nasional, Kota ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan
Wilayah (PKW) (Dihapus)
(2) Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Aceh, hirarki Kota ditetapkan sebagai
Pusat Kegiatan Nasional (PKN).
Pasal 14
(2) Rencana struktur ruang kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digambarkan
dalam peta Rencana Struktur Ruang Wilayah Kota Tahun 2029 dengan tingkat
ketelitian 1 : 10.000 sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang
merupakan bagian tidak terpisahkan dari Qanun ini.
Bagian Kesatu
Pasal 15
Pasal 16
a. 2 (dua) PK;
b. 2 (dua) SPK; dan
c. 9 (sembilan) Pusat Lingkungan.
(2) PK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a memiliki fungsi pelayanan
PK, wilayah kota, dan daerah sekitar lingkup regional;
(3) SPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b melayani SPK sesuai dengan
orientasi dan tingkat aksesibilitasnya;
(4) Pusat lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c melayani
lingkungan sesuai dengan orientasi dan tingkat aksesibilitasnya.
Pasal 17
(2) Rencana pengembangan SPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1)
huruf b adalah sebagai berikut:
a. SPK Lamteumen melayani wilayah Kecamatan Meuraxa dan Jaya Baru; dan
b. SPK Ulee Kareng melayani wilayah Kecamatan Ulee Kareng dan Syiah Kuala.
a. Lampulo;
b. Neusu;
c. Jambo Tape;
d. Jeulingke;
e. Kopelma;
f. Lueng Bata;
g. Mibo;
h. Blang Oi; dan
i. Lampoh Daya.
Pasal 17 A
a. bagian utara sebagai ruang terbuka, dan wisata sejarah yang terintegrasi dengan
Krueng Aceh;
b. bagian selatan sebagai pelayanan umum yang terintegrasi untuk mendukung
penataan pengembangan kawasan Mesjid Raya;
c. bagian timur sebagai pelayanan umum yang terintegrasi untuk mendukung
penataan pengembangan kawasan Mesjid Raya; dan
d. bagian barat sebagai pelayanan umum yang terintegrasi untuk mendukung
penataan pengembangan kawasan Mesjid Raya.
(3) Pengembangan kawasan Peunayong-Keudah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yaitu pengembangan sebagai Central Bussiness Distric (CBD) Peunayong
yang meliputi:
Pasal 1
6. Dinas Pekerjaan Umurn dan Penataan Ruang yang selanjutnya disingkat Dinas
PUPR adalah Dinas Perkeiaan Umum da.n Penataan Ruang Kota Banda Aceh.
7. Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu yang selanjutnya
disingkat DPMPTSP adalah Dinas Penanaman Modal Dan Pelayanan Terpadu
Satu Pintu Kota Banda Aceh.
8. Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah yang selanjutnya disingkat
Satpol PP dan WH adalah Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah
Kota Banda Aceh.
tanpa bangunan dalam bentuk aset dan tanggung jawab pengelolaan dari
pengembang kepada Pemerintah Kota.
20. Rencana tapak (site plan) adalah gambar 2 (dua) dimensi yang menunjukkan
detail dari rencana yang akan dilakukan terhadap sebuah kaveling tanah, baik
menyangkut rencana jalan, utilitas air bersih, listrik dan air kotor, fasilitas
umum dan fasilitas sosial.
21. Tim Teknis rencana tapak (site plan) adalah tim yang terdiri dari pejabat pada
Dinas Teknis untuk melakukan pemeriksaan dan penelitian secara teknis
terhadap permohonan pengesahan rencana tapak (site plan) rinci.
22. Tim Survei rencana tapak (site plan) adalah Tim yang terdiri dari Pelaksana
pada Dinas Teknis unuk melaksanakan peninjauan lapangan (survei) terhadap
permohonan pengesahan rencana tapak (site plan) rinci.
23. Pemohon adalah orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum.
24. Jalan adalah jalur yang direncanakan atau digunakan untuk lalu lintas
kendaraan dan orang.
25. Garis sempadan adalah garis batas pengamanan luar yang ditarik pada jarak
tertentu sejajar dengan as jalan, tepi luar kepala jembatan, tepi sungai, tepi
saluran, kaki tanggul, tepi danau/ rawa/ situ, tepi waduk, tepi mata air, tepi
sungai pasang surut, tepi pantai, as jalan kereta api, jaringan tenaga listrik, pipa
minyak, pipa gas, dan cerobong pembakaran gas yang merupakan batas antara
bagian kaveling/ pekarangan/ lahan yang disebut daerah sempadan yang boleh
dan yang tidak boleh didirikan bangunan/ dilaksanakannya kegiatan.
26. Sungai adalah alur atau wadah air alami dan/ atau buatan berupa jaringan
pengaliran air beserta air di dalamnya, mulai dari hulu sampai muara, dengan
dibatasi kanan dan kiri oleh garis sempadan.
27. Koefisien Dasar Bangunan yang selanjutnya disingkat KDB adalah bilangan
pokok atas perbandingan antara luas lantai dasar bangunan dengan luas
kaveling/persil.
28. Koefisien Lantai Bangunan yang selanjutnya disingkat KLB adalah bilangan
pokok atas perbandingan antara total luas lantai bangunan dengan luas
kaveling/ persil.
29. Garis Sempadan Sungai yang selanjutnya disingkat GSS adalah garis maya di
kiri dan kanan palung sungai yang ditetapkan sebagai batas perlindungan
sungai.
30. Garis Sempadan Bangunan yang selanjutnya disebut GSB adalah garis yang
diatasnya atau sejajar dibelakangnya dapat didirikan bangunan.
31. Kaveling adalah sebidang tanah yang diatasnya tidak terdapat bangunan atau
terdapat bangunan sebagai tempat tinggal / atau tempat kegiatan lainnya milik
pribadi atau badan termasuk parit, selokan, pagar, riol dan lain sebagainya.
32. Ruang Terbuka Hijau yang selanjutnya disingkat RTH adalah area memanjang/
jalur dan/ atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka,
tempat tumbuh tanaman...
tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam.
33. Ruang Milik Jalan yang selanjutnya disebut Rumija adalah Ruang Milik Jalan
dan sejalur tanah tertentu di luar Ruang Milik Jalan yang dibatasi oleh tanda
batas Ruang Milik Jalan yang dimaksudkan untuk memenuhi persyaratan
keluasan keamanan penggunaan jalan antara lain untuk keperluan pelebaran
Ruang Milik Jalan pada masa yang akan datang.
34. Perkerasan Jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang
digunakan untuk melayani beban lalu lintas.
35. Drainase adalah lengkungan atau saluran air dipermukaan atau di bawah tanah,
baik yang terbentuk secara alami maupun dibuat manusia.
36. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG adalah
Persetujuan Bangunan Gedung Kota Banda Aceh.
37. Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan yang selanjutnya
disingkat PBB-P2 adalah Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan
Perkotaan Kota Banda Aceh.
38. Sistem kering adalah sistem jaringan utilitas pemadam kebakaran yang tidak
terkoneksi langsung ke sumber air.
BAB 11
TUJUAN DAN RUANG LINGKUP
Bagian Kesatu
Tujuan
Pasal 2
Bagian Kedua
Ruang Lingkup
Pasal 3
(1) Pengesahan rencana tapak (site plan) Perumahan berlaku untuk kegiatan di
bidang perumahan mencakup kegiatan:
a. pembangunan perumahan baru; dan
b. pengembangan/perluasan perumahan yang sudah ada.
(2) Pengesahan rencana tapak (site plan) perumahan berlaku untuk:
a. pengurusan PBG perumahan horizontal dan vertikal; dan
b. pemecahan kaveling untuk kepentingan komersial.
Pasal 4
a. ketentuan...
a. ketentuan lokasi;
b. ketentuan rencana tapak;
c. ketentuan kualitas rumah;
d. ketentuan administrasi perizinan; dan
e. ketentuan pengawasan dan pengendalian.
BAB 111
KETENTUAN LOKASI
Pasai 5
d. lokasi harus sesuai dengan pola ruang yang telah ditetapkan pada RTRW/
RDTR•, dan
e. lokasi perumahan harus mempunyai akses dengan jaringan jalan utama kota/
jalan umum yaitu suatu jalan dengan lebar yang cukup sebagai jalan
penghubung.
BAB IV
KETENTUAN RENCANA TAPAK (SITE PLAN)
Pasal 6
1. jaringan jalan;
2. jaringan drainase;
3. jaringan saluran pembuangan air limbah; dan
4. tempat pembuangan sampah.
b. sarana, antara Iain:
I. sarana peribadatan;
Pasal 7
(I) Selain memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5)
untuk perumahan juga harus memenuhi ketentuan Iainnya, sebagai berikut:
a. luas kaveling minimal 72 rn2 (tujuh puluh dua meter persegi) dengan Iuas
bangunan minimal 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi) pada lantai I (satu)
dan bertingkat dengan luasan bangunan lantai 2 (dua) minimal 18 m2 (delapan
belas meter persegi); dan
b. luas kaveling di atas 72 ma (tujuh puluh dua meter persegi) dengan luas
bangunan minimal 36 m2 (tiga puluh enam meter persegi).
(2) Persentase pembangunan perumahan dengan luasan kaveling minimal 72 m a
(tujuh puluh dua meter persegi) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilaksanakan dalam 1 (satu) hamparan disesuaikan dengan perencanaan telmis
tata ruang.
(3) Penyediaan prasarana, sarana dan utilitas sebagaimana dimaksud pada Pasal 6,
harus memenuhi persyaratan teknis sebagai berikut:
a. disediakan tempat pembuangan sampah pada masingmasing unit rumah;
b. dipersiapkan sistem/ mekanisme pembuangan sampah di lingkungan
permukiman, misalnya dengan mempersiapkan WCP (Waste Collecting Point)
untuk perumahan di atas 25 (dua puluh lima) unit;
c. dipersiapkan sistem pengolahan air limbah untuk mengolah grey water dan
black water sesuai dengan SNI;
d. dipersiapkan lampu penerangan jalan di dalam lingkungan perumahan;
e. ketentuan mengenai instalasi listrik dan penyambungan listrik harus mengikuti
ketentuan yang berlaku pada PLN;
f. taman-taman yang direncanakan sebagai fasilitas umum harus dilengkapi
dengan tanaman peneduh;
BAB V
PERSYARATAN PRASARANA, SARANA DAN UTILITAS
Pasa.1 8
(5) Jalan pembagi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, adalah jalan
menuju kaveling-kaveling dengan lebar badan jalan paling sedikit 6 m (enam
meter).
(6) Jalan pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, adalah jalan yang
menghubungkan antara jalan pembagi satu dengan jalan pembagi Iainnya
dengan lebar badan jalan paling sedikit 6 m (enam meter), dengan bahu jalan
kiri dan kanan masing-masing 50 cm (lima puluh sentimeter).
(7) Jalan buntu yang diperbolehkan ialah jalan buntu dengan ketentuan panjang
jalan maksimal 40 m (empat puluh meter) dan harus menyediakan ruang untuk
berputar kendaraan roda empat (culdesac) dan sudah dilakukan perkerasan
dengan aspal atau paving block.
(8) Setiap sudut persimpangan jalan harus dibuat lengkungan dengan jari-jari
lingkaran paling kurang dari 3 m (tiga meter).
Pasal 9
Pasal 10
a. desain drainase disesuaikan dengan luasan tangkapan air dan elevasi tanah
kawasan perumahan;
b. desain dasar saluran terbuka setengah lingkaran dengan diameter minimum 50
cm (lima puluh sentimeter);
c. desain saluran persegi dengan ukuran lebar minimum 50 cm (lima puluh
sentimeter) dengan kedalaman menyesuaikan dengan drainase lingkungan
yang tekoneksi;
d. bahan saluran terbuat dari beton, pasangan batu bata atau bahan Iain;
e. tidak boleh melebihi peil banjir di daerah tersebut;
f. kedalaman saluran disesuaikan dengan drainase lingkungan yang terkoneksi;
i. buangan air limbah rumah tangga (asseneHng) harus diolah dan dilarang
dibuang langsung ke saluran drainase;
j. jika dalam I (satu) unit rumah tidak memungkinkan untuk dibangun sarana
pengolahan air limbah individual maka wajib menyediakan instalasi
pengolahan air limbah terpusat;
k. drainase perumahan harus terkoneksi dengan saluran terdekat; dan
I. aliran drainase harus mengalir ke saluran yang terkoneksi ke sungai atau saluran
pembuang terdekat.
Pasal 11
Pasal 12
GSB harus:
a. KDB per persil 40% (empat puluh persen) sampai dengan 60% (enam puluh
persen) dan KLB 1,2 (satu koma dua) sampai dengan 1,8 (satu koma delapan);
b. GSB terhadap jalan utarna ditentukan paling sedikit 4 m (empat meter) dari
tepi badan jalan;
c. GSB terhadap jalan buntu ditentukan paling sedikit 2 m (dua meter) dari tepi
badan jalan;
Pasai 13
Penyediaan fasilitas pemadam kebakaran jika terdapat lebih dari 25 (dua puluh
lima) unit rumah maka pengembang wajib menyiapkan jaringan pemadam
kebakaran dengan sistem kering berserta titik-titik hidrannya.
BAB vl
TATA CARA PENGESAHAN
RENCANA TAPAK (SITE PLAN) PERUMAHAN
Pasal 14
l. nama objek site plan dan gambar situasi lokasi (disertai koordinat);
b. ketentuan GSB dan jarak bebas minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12;
d. rencana pembangunan jaringan jalan dengan lebar Rumija atau Right of Way
(ROW) sebagaimana di maksud dalam Pasal 8; dan
e. tata letak akses masuk keluar (gate) perumahan.
(3) Ketentuan rencana tapak (site plan) sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Walikota ini.
Pasal 15
j. rekomendasi oleh Dinas PUPR perihal pemanfaatan ruang, bebas banjir dan
struktur bangunan untuk perumahan vertikal; dan
k. fotokopi surat keanggotaan dari asosiasi pengembang perumahan oleh
pemohon.
(2) Apabila penelitian administrasi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) terpenuhi, maka akan dilakukan survei terhadap lokasi oleh Tim Teknis dan
Tim Survei Dinas Perkim.
(3) Berdasarkan hasil survei lokasi sebagaimana dimaksud ayat (2), dibuatkan
berita acara survei.
(4) Apabila berita acara telah selesai dan terdapat revisi dari hasil rapat pada
persyaratan teknis maka berkas akan dikembalikan untuk diperbaiki sesuai
rekomendasi berita acara.
Pasal 16
(1) Apabila hasil survei lokasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (3)
terpenuhi, diterbitkan pengesahan rencana tapak (Site plan).
(2) Jangka waktu penerbitan pengesahan rencana tapak (Site plan) maksimal 10
(sepuluh) hari kerja terhitung setelah berkas kelengkapan dipenuhi.
(3) Pengesahan rencana tapak (Site plan) berlaku seterusnya sejak diterbitkan,
selama tidak ada perubahan.
BAB VII
PENERBITAN PENGESAHAN PERUBAHAN
RENCANA TAPAK (SITE PLAN)
Pasal 17
b. gambar pengesahan rencana tapak (Site plan) yang lama yang dilegalisir Oleh
pejabat yang berwenang;
c. data pendukung sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan Oleh Kepala Dinas;
dan
d. perubahan luasan rencana tapak (Site plan) di satu hamparan dijadikan satu
layout pada perubahan rencana tapak (Site plan) yang diajukan.
BAB VIII
KEWAJIBAN PENGEMBANG
Pasal 18
BAB IX
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN
Pasal 19
BAB X
SANKSI
Pasal 20
BAB XI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 21
(1) Rencana tapak (site plan) yang telah disahkan sebelum Peraturan Walikota ini
diundangkan, dinyatakan tetap berlaku.
(2) Rencana tapak (site plan) yang sedang diproses pada saat Peraturan Walikota
ini diundangkan, maka prosesnya dilanjutkan dengan mengacu pada ketentuan
yang terdapat dalam Peraturan Walikota ini.
IV. Regulasi Seputar Perihal Pembangunan Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum No. 54/PRT/M/1991 Tentang Pedoman Persyaratan Teknik
Pembangunan Perumahan Sangat Sederhana
BAB I
KETENTUAN UMUM
Bagian Pertama
Pengertian
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
a. Perumahan sangat sederhana adalah sekelompok tempat kediaman yang pada
tahap awalnya dibangun dengan menggunakan bahan bangunan berkualitas
sangat sederhana dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan, utilitas umum
dan fasilitas sosial.
b. Lingkungan perumahan sangat sederhana adalah sebidang tanah dengan batas-
batas yang jelas, di mana di atasnya dibangun rumah sangat sederhana, termasuk
prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas sosial, yang secara keseluruhan
merupakan kesatuan tempat pemukiman.
Bagian Kedua
Maksud dan Tujuan
Pasal 2
(1) Pedoman Teknik pembangunan perumahan sangat sederhana dimaksudkan
untuk landasan perencanaan, pelaksaan dan pengawasan serta memudahkan
proses pengadaan dan pembangunan perumahan sangat sederhana beserta
lingkungannya.
(2) Pedoman Teknik pembangunan perumahan sangat sederhana bertujuan untuk
menjadi ukuran dan Batasan penentuan kebutuhan sekurang-kurangnya dalam
rangka usaha pembangunan rumah sangat sederhana, khususnya bagi
masyarakat berpenghasilan rendah dan sangat rendah, dan selanjutnya dapat
ditingkatkan kualitasnya menjadi rumah sederhana.
Bagian Ketiga
Ruang Lingkup
Pasal 3
Pedoman Teknik ini mempunyai ruang lingkup untuk pembangunan baru
perumahan sangat sederhana.
Bagian Keempat
Persyaratan Umum
Pasal 4
(1) Perencanaan, Pelaksanaan dan Pengawasan pembangunan perumahan sangat
sederhana beserta lingkungannya harus dilaksanakan oleh tenaga ahli dalam
bidangnya.
(2) Persyaratan-persyaratan administratip yang menyangkut penyediaan tanah,
perencanaan proyek serta legalitas dan bonafiditas perusahaan pembangunan
perumahan (developer) harus mengikuti ketentuan perundang-undangan yang
berlaku.
(3) Pembangunan perumahan sangat sederhana harus direncanakkan untuk
memungkinkan pembangunannya secara bertahap sekurang-kurangnnya
menjadi perumahan sederhana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan
yang berlaku.
BAB II
LINGKUNGAN PERUMAHAN SANGAT SEDERHANA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 5
(1) Pembangunan Perumahan sangat sederhana harus dibuat pada daerah yang
dalam jangka menengah dapat dikembangkan sebagai lingkungan perumahan
sederhana dan atau perumahan yang mempunyai tingkat lebih tinggi sehingga
dapat membentuk satu kesatuan lingkungan/Kawasan yang untuh.
(2) Dalam hal terdapat suatu Kawasan bukan perumahan (Kawasan industry atau
Kawasan lainnya) yang memerlukan dukungan perumahan bagi masyarakat
berpenghasilan rendah dan sangat rendah, dapat dibangun lingkungan
perumahan sangat sederhana yang prasarana lingkungan, utilitas umum dan
fasilitas sosialnya menjadi satu kesatuan dengan Kawasan yang didukungnya.
(3) Perencanaan dan pengembangan lingkungan perumahan sangat sederhana harus
selalu mempertimbangkan kemungkinan penggabungan dan pemanfaatan
prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas social Kawasan yang telah ada
dengan tidak mengurangi kualitas pelayanan Kawasan secara menyeluruh.
(4) Perencanaan dan pengembangan lingkungan perumahan sangat sederhana harus
mempertimbangkan keseimbangan lingkungan dan social serta dapat
mempertimbangkan kesepakataan untuk membina individu dan keluarga
sejahtera.
Bagian Kedua
Kriteria Pemilik Lokasi
Pasal 6
(1) Lokasi perumahan sangat sedeerhana harus berada pada daerah yang
peruntukannya dapat dikembangkan sebagai lingkungan perumahan sederhana
sesuai dengan rencana tata ruang yang berlaku, atau dii daerah yang ditumjuk
dengan sah oleh pemerintah daaerah setempat bila belum ada rencana tata ruang
yang diberlakukan.
(2) Luas tanah yang tersedia harus cukup bagi pembangunan perumahan sangat
sederhana sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) unit rumah dan dilengkapi
dengan prasarana lingkungan, utilitas umum dan fasilitas social atau dalam hal
bergabung dengan suatu lingkungan perumahan yang sudah ada dapat dibangun
kurang dari 50 (lima puluh) unit rumah.
(3) Lokasi perumahan sangat sederhana harus:
a. Bebas dari pencemaran air, udara dan gangguan suara atau gangguan lainnya,
baik yang ditimbulkan dari sumber daya buatan manusia maupun sumber daya
alam;
b. Dapat menjamin tercapainya tingkat kualitas lingkungan hidup yang sehat bagi
pembinaan individu dan masyarakat penghuni;
c. Mempunyai kondisi yang bebas dari banjir dan memiliki kemiringan tanah 0-
15% (nol sampai lima belas persen);
d. Menjamin adanya kepastian hukum atas status penguasaan tanah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bagian Ketiga
Persyaratan Teknik Kapling
Pasal 7
(1) Luas Kapling tidak boleh kurang dari 54 m² (lima puluh empat meter persegi),
dan tidak lebih dari 200 m² (dua ratus meter persegi).
(2) Penggunaan kapling sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperhitungkan
sesuai dengan Koefisien Dasar Bangunan (KBD) yang berlaku pada daerah
setempat.
Bagian Keempat
Prasarana Lingkungan
Pasal 8
Jalan Lingkungan untuk kendaraan harus mempunyai persyaratan:
a. Berfungsi sebagai jalan untuk kendaraan roda empat agar dapat masuk sampai
dengan tempat pemberhentian kendaraan yang dapat menyatu dengan tempat
parkir yang disediakan di lokasi khusus atau hanya membuat perkerasan di sisi-
sisi perkerasan jalan;
b. Berfungsi juga sebagai jalan untuk kendaraan yang diperlakukan dalam keadaan
darurat (antara lain: mobil pemadam kebakaran, ambulance);
c. Mempunyai daerah manfaat jalan (damaja) dengan lebar penampang sebesar-
besarnya 6 (enam) meter dan mempunyai lebar perkerasan jalan sekurang-
kurangnya 3 (tiga) meter dengan konstruksi dari bahan bangunan lokal yang
dinyatakan layak sebagai jalan lingkungan untuk kendaraan (antara lain dapat
digunakan segala jenis batuan, kerikil atau pasir batu sehingga tidak becek dan
mampu mendukung beban sesuatu dengan fungsinya);
d. Mempunyai bahu jalan dengan lebar penampang sekurang-kurangnya 40.00 cm
(empat pulu senti meter) yang harus dapat digunakan untuk penempatan tiang
listrik, jaringan prasarana lingkungan dan untilitas umum lainnya.
Pasal 9
Jalan lingkungan untuk perjalan kaki harus mempunyai persyaratan:
a. Berfungsi sebagai jalan untuk pejalan kaki yang menghubungkan antar rumah
maupun dari rumah ke jalan lingkungan kendaraan;
b. Berfungsi juga sebagai jalan untuk kendaraan pengangkut yang ditarik/didorong
pejalan kaki (antara lain: gerobak sampah, gerobak sayur dan gerobak roti);
c. Mempunyai daerah manfaat jalan (Damaja) dengan lebar penampang antara
2.80-3.60 cm (dua ratuss delapan puluh sampai dengan tiga ratus enam puluh
senti-meter), lebar perkerasan 1.20-2.00 cm (serratus dua puluh sampai dengan
dua ratus senti-meter) dengan kontruksi dari bahan bangunan lokal yang
dinyatakan layak sebagai jalan lingkungan untuk pejalan kaki (antara lain dapat
digunakan segala jenis batuan, kerikil atau pasir batu sehingga tidak becek dan
mampu mendukung beban sesuai dengan fungsinya).
d. Mempunyai bahu jalan dengan lebar penampang sekurang-kurangnya 40.00 cm
(empat puluh senti meter) yang harus dapat dipakai untuk penempatan tiang
listrik, jaringan utilitas dan jaringan prasarana lainnya.
Pasal 10
Sistem pembungan air limbah lingkungan mengikuti ketentuan pedoman teknik
pembangunan perumahan sederhana yang berlaku.
Pasal 11
(1) Saluran pembungan air hujan harus diperhitungkan secara teknis sehingga
lingkungan bebas dari genangan air dan harus mempunyai ukuran sekurang-
kurangnya:
- Lebar atas 30 cm (tiga-puluh senti-meter);
- Lebar bawah 20 cm (dua-puluh senti-meter);
- Tinggi 30 cm (tiga-puluh senti-meter).
(2) Pembutan saluran sekurang-kurangnya harus ditempati di sepanjang jalan, di
salah satu tepi sisi jalan atau di kedua tepi sisi jalan.
Pasal 12
(1) Air bersih pada tahap awal harus disediakan sekurang-kurangnya sumur untuk
umum atau dengan kran umum, sebelum ada sambungan ke rumah-rumah.
(2) Persyaratan lain bila sudah diperlukan harus mengikuti keetentuan pedoman
teknik pembangunan perumahan sederhana yang berlaku.
Pasal 13
Sistem pembangunan sampah lingkungan harus mengikuti ketentuan pedoman
teknik pembangunan perumahan sederhana yang berlaku.
Pasal 14
Jaringan listrik harus disediakan sampai masuk dalam lingkungan dan sambungan
rumah dapat diberikan pada setiap rumah atau setiap kelompok.
Bagian kelima
Fasilitas Sosial
Pasal 15
(1) Fasilitas Mandi, Cuci dan Kakus (MCK) harus mempuunyai persyaratan:
a. Pada tahap awal disediakan sekurang-kurangnya secara terpusat untuk melayani
umum, sebelum dapat dibuat MCK yang ada di setiap rumah;
b. Untuk 50 (lima puluh) unit rumah dibuat sekurang-kurangnya 8 (delapan) kakus,
4 (empat) kamar mandi dan 4 (empat) tempat cuci dibuat dengan dinding
setinggi 150 cm (seratus lima-puluh senti-meter), tanpa atap.
Pasal 16
Tempat bermain anak-anak harus direncanakan sedemikian rupa sehingga dapat
menjamin keselamatan bagi anak-anak yang memakainya dan dapat berfungsi
sebagai tempat rekreasi serta berkomunikasi antar masyarakat.
Pasal 17
Fasilitas sosial lain dapat disediakan sesuai dengan kebutuhan penghuni serta
memperhitungan upaya pemanfaatan kkeberadaan fasilitas social yang telah ada
di sekitar lokasi pperumahan sangat sederhana, serta harus mengikuti ketentuan
pedoman teknik pembangunan perumahan sederhana yang berlaku.
BAB III
RUMAH SANGAT SEDERHANA
Bagian Pertama
Umum
Pasal 18
(1) Pembangunan Rumah sangat sederhana harus memenuhi syarat Kesehatan yang
menjamin penghuni dapat hidup sehat dalam kegiatan sehari-hari secara layak
(2) Spesifikasi bahan bangunan harus memenuhhi syarat-syarat yang telah
ditetapkan dalam standard Nasional Indonesia sepanjang menggunakan bahan
yang sudah ada standardnya.
Bagian Kedua
Persyaratan Teknik Rumah
Pasal 19
Ukuran dan luas rumah harus mempunyai persyaratan:
a. Semua ukuran baik vertikal maupun horizontal harus berpedoman kepada
koordinasi modular;
b. Luas bangunan yang disediakan sekurang-kurangan 12 m² (dua belas meter-
persegi) dan seluas-luasnya 36 m² (tiga puluh enam meter-persegi).
Pasal 20
Besaran bangunan, jarak, bangunan, besaran ruang harus mengikuti ketentuan
pedoman teknik pembangunan perumahan sederhana yang berlaku.
Pasal 21
Ruang harus mempunyai persyaratan:
a. Ventilasi harus disediakan sehingga dapat menjamin adanya sirkulasi pertukaran
udara bersih/segar;
b. Penerangan ruang harus disediakan baik alami maupun buatan sesuai dengan
kebutuhan aktivitas penghuni dalam rumah.
Pasal 22
Kelengkapan bangunan harus mempunyai persyaratan:
a. Pembuangan air limbah dan air hujan dari setiap rumah tangga harus
diperhitungkan dapat disambungkan dengan sistem pembangunan air limbah
dan air hujan lingkungan serta tidak saling mencermari anntara rumah tangga
yang satu dengan yang lain;
b. Tempat sampah rumah tangga harus disediakan untuk setiap rumah atau
kelompok rumah tangga;
c. Penyedian listrik dapat disambung untuk setiap rumah atau setiap kelompok
rumah.
Pasal 23
Struktur komponen dan bahan bangunan harus mempunyai persyaratan:
a. Penggunaan bahan bangunan untuk kontruksi yang murah dapat terdiri dari baan
banguunan lokal atau lainnya yang kekuatannya memenuhi syarat teknik;
b. Permukaan lantai harus lebih tinggi 20 cm (dua-puluh senti meter) dari
permukaan halaman tertinggi dan harus rata, kering, mudah dibersihkan, tidak
menimbulkan debu, dan dapat diperkeras antara lain tanah dilapis dengan air
semen (soilcement), tras;
c. Dinding dapat dibuat dari bahan yang sekurang-kurangnya dapat melindungi
penghuni dari cuaca dan sinar matahari langsung, antara lain digunakan bahan
dari anyaman bambu atau sejenis yang dipasang sekurang-kurangnya 90.00 cm
(Sembilan puluh senti meter) di atas dinding dengan bahan tembok;
d. Dinding dapur, kamar mandi/kakus dengan ketinggian sekurang-kurangnya
setinggi 1.50 cm (satu koma lima puluh centi-meter);
e. Kerangka atap harus mempunyai kekuatan sendiri dan beban-beban lainnya
menggunakan bahan kayu atau bambu;
f. Penutup atap harus disesuaikan dengan kemampuan dari kerangka atap
plentong, keramik rakyat, seng gelombang atau asbes gelombang;
g. Langit-langit dapat ditiadakan dengan membuat kerangka atap dan penutupnya
lebih rapi.
BAB IV
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 24
(1) Peraturan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
(2) Hal-hal yang belum cukup diatur dalam peraturan Menteri ini akan ditetapkan
lebih lanjut oleh pihak yang berwenang.
(3) Peraturan Menteri ini disebar luaskan kepada yang bersangkutan untuk diketahui
dan dilaksanakan.
V. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 29/PRT/M/2006 Tentang
Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung
BAB 1
KETENTUAN UMUM
Bagian Kesatu
Pengertian
a. Bangunan gedung adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas
dan/atau di dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia
melakukan kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan
keagamaan, kegiatan usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus.
f. Pemilik bangunan gedung adalah orang, badan hukum, kelompok orang, atau
perkumpulan, yang menurut hukum sah sebagai pemilik gedung.
Pasal 2
(2) Pedoman Teknis ini bertujuan untuk terselenggaranya fungsi bangunan gedung
yang selamat, sehat, nyaman, dan memberikan kemudahan bagi penghuni
dan/atau pengguna bangunan gedung, serta efisien, serasi, dan selaras dengan
lingkungannya.
(3) Lingkup Pedoman Teknis ini meliputi fungsi, klasifikasi dan persyaratan teknis
bangunan gedung.
BAB II
Bagian Kesatu
Pasal 3
(2) Rincian fungsi dan klasifikasi bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)tercantum pada lampiran, yang merupakan satu kesatuan dalam
peraturan ini.
(3) Setiap orang atau badan hukum termasuk instansi
pemerintah, dalampenyelenggaraan pembangunan bangunan gedung
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) wajib memenuhi persyaratan teknis yang diatur dalam Peraturan ini.
Bagian Kedua
Pasal 4
(2) Rincian persyaratan teknis bangunan gedung sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tercantum pada lampiran peraturan ini merupakan satu kesatuan pengaturan
yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
Bagian Ketiga
Pasal 5
(1) Pelaksanaan persyaratan teknis bangunan gedung di daerah diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Daerah yang berpedoman pada Peraturan ini.
(2) Dalam hal daerah belum mempunyai Peraturan Daerah sebagaimana pada ayat
(1) maka pelaksanaan persyaratan teknis bangunan gedung berpedoman pada
Peraturan ini.
(3) Dalam hal daerah telah mempunyai Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sebelum Peraturan ini diberlakukan, maka Peraturan Daerah
tersebut harus menyesuaikan dengan Peraturan ini.
Pasal 6
BAB III
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 7