Anda di halaman 1dari 81

BAB I

Tipologi Dalam Arsitektur

1.1 Pengertian Type


Kata ‘type’ berasal dari bahasa Yunani ‘typos’ yang berarti indicative of ,
applicable to. Dan banyak juga variasi-variasi dari kata tersebut yang mempunyai arti yang
hampir sama yaitu ‘model, ‘matriks’, ‘impression’, ‘mold’, dan ‘’relief’1.
Dalam buku ‘Ordering Space’ type adalah A type is a kind of thing and an exemplar of a
kind of thing. Type is conceptual construct that distinguishes similar from dissimilar so
that we know that something is this kind of thing, not that kind of thing 2. Yang dalam
terjemahan bebasnya disini tipe adalah gambaran dari apa yang kita pikirkan, dan juga tipe
adalah konsep rancang dari suatu similar (analogi) dan dissimilar (methapor) sehingga kita
mengetahui sesuatu yang kita ketahui sesuatu bukan berasal dari sesuatu.
Secara harfiah, tipologi adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu mengenai
tipe. Arti Tipe ini sendiri juga dapat diberi pengertian, dan pengertian inipun dapat ditinjau
dari berbagai disiplin ilmu dan pendapat dari perorangan. Dalam bidang arsitektur terdapat
juga perbedaan pengertian mengenai tipologi. Perbedaan tersebut pada dasarnya
disebabkan oleh intepretasi yang berbeda tentang arti dari kata “tipe”.
Menurut Micha Bandini, kata tipologi bermakna penyelidikan mengenai tipe. Tipologi
memperhatikan aspek dari buatan manusia yang dapat dikelompokkan/ diklasifikasikan
berdasarkan karakteristik yang menjadi sifat dasarnya yang membuat mereka mirip,
Sedangkan pengertian klasifikasi disini menurut Doran dan Hodson adalah:
A classification (….) allocate entitties to initially undefine classes so that individuals in
class are in some sense close to each other. A first basic distinction is made between
“classification” in this sense and “identification” or “assigment” where a new entity is
placed in one of a number of already defined groups. A further immediate distinction needs
to be emphasized between classification and “ordination” where units are located in a
siries. Archeologists refer to ordination as “seriation”.

Tipe digunakan sebagai sesuatu yang mempunyai wujud atau gambaran ,tetapi ada
juga yang digunakan hanya sebagai hayalan. Tipe-tipe yang ada dapat kita gunakan
sebagai penunjuk atau pengenalan karakteristik terhadap apa saja yang berada di bumi ini,
1
Laupen, Bernard,dkk,1997, Design and Analysis, Van Nostrand Reinhold, Rotterdam, hal 133.
2
Frank A. Karen, Schneekloth A,Lynda, 1994, Ordering Space, Types in Architecture and Design, Von
Nostrand Reinhold, USA, hal. 10.
10
misalnya menunjukkan tipe jembatan-jembatan, bangunan, maupun makhluk hidup. Hal ini
dihadirkan agar memudahkan kita sebagai perencana atau arsitek untuk mencari image
awal dan juga akhir pada suatu hasil karya. Konsep dari tipe sebagai ide adalah untuk
mengetahui arsitektur sebagai ilmu praktis, teori dan penelitian.
Tipe dalam arsitektur dikenal pada abad ke-18 , disini tipe dikenal sebagai model
walaupun sebenarnya antara tipe dan model mempunyai perbedaan yang tidak cukup untuk
dimengerti.. Dalam hal ini tipe lebih dikenal sebagai more or less vague atau sesuatu yang
abstrak, sedangkan model lebih menitikberatkan pada apa yang ada, seringkali model
dipahami sebagai tampilan dari seni yang mana model itu dijadikan suatu karya seni
tersendiri.
Di dalam pemahaman arsitektur kita sering terjebak dengan pengertian arsitektural
type dan building type, yang sebetulnya mempunyai perbedaan dalam pengertian kata
tersebut. Building type seringkali digunakan untuk mengklasifikasikan bangunan-
bangunan terhadap fungsi-fungsi desain untuk objek-objek arsitektur misalnya
rumah,sekolah dll, contoh lainnya adalah Neufert dan Pevsner membuat buku tentang
building types, sedangkan Architectural Type diartikan sebagai sebuah ide inclusivis dari
fungsi terhadap bentuk, hayalan-hayalan, lebih memperlihatkan kepada metode philosofi
seperti teori-teori, kebenaran, dll.

1.2. Tipologi dalam Arsitektur.


Tipologi adalah studi dari tipe-tipe yang seringkali ditemukan dalam berbagai
literatur dimana tipologi itu sendiri disejajarkan dengan tipe. Hanya saja tipologi lebih
sering dianggap sebagai pengumpul dari tipe-tipe atau proses dari tipe itu sendiri. Tetapi
hal ini tidak akan mengurangi pengertian dan keterkaitan antara tipe dan tipologi.
Dalam disain suatu karya arsitektur untuk karya apa saja kita akan dihadapkan pada
bentuk yang merupakan wujud dari beberapa tipe yang kita sudah dan akan kita kenal.
Pemikiran tentang tipologi ini secara cermat diangkat oleh sejarahwan arsitektur Anthony
Vidler dalam tulisannya “The Third Typology”. Dia mengamati, bahwa pada abad ke 18
muncul tipologi arsitektur pertama yang bersumber dari gubuk primitif sebagai akibat
usulan Laugier. Tipologi kedua tidak lagi mengandalakan bentuk, tetapi pada proses
sebagaimana usul Le Corbusier dan kawan-kawan di abad ini, sedangkan tipologi ketiga
adalah yang dipelopori kelompok Neo Rationalis. Bila kedua tipologi sebelumnya banyak

11
mengandalakan inspirasinya dari gejala yang ada di luar arsitektur, maka yang ketiga ini
justru kembali pada unsur-unsur arsitektural sebagai tipe.

Penganut pemikiran tipologi sebagai cikal bakal arsitektur berkembang makmur di Italia
dengan kelompok dengan kelompok Tendenza yang di dalamnya terdapat Aldo Rossi.
Dalam bukunya yang terkenal “The Architecture of the City”, Rossi mengacu pada konsep
tipe Quatremere de Quincy yang memahami tipe sebagai asal usul dari suatu yang
mengendung unsur-unsur dasar saja, lebih longgar bergerak karena dari situ berkembang
macam-macam model.

Dengan membuka jalan tipologi secara kreatif ini, pendekatan melalui kajian bentuk-
bentuk yang pernah hadir dan cara analogikan perancangan juga berkembang lebih jauh.
Secara lebih sungguh-sungguh para pakar juga menaruh perhatian dalam membaca unsur-
unsur dasar pembentuk bangunan sebagai obyek arsitektur. Apa arti sebuah dinding,
sebuah tiang, sebuah lantai, dan sebuah bukaan menjadi target kajian yang dapat kita
kelompokkan ke dalan kajian tipologis.

Konsep tipe dan tipologi oleh Joseph Rykwert dalam “On Adam’s House in Paradise”,
dibawa kembali sebagai inti kajian arsitektur. Bila ingin mencari cikal bakal arsitektur, kita
perlu menelusurinya hingga ke gubuk primitif (primitive hut) sebagai suatu konsep. Jadi
kajian gubuk primitive perlu menjadi inti kajian arsitektur. Kajian Rykwert membuka suatu
wawasan lain dalam pencaharian konsep. Namun tipologi yang dia tawarkan tidak
membantu banyak terhadap metode penyelesaian perancangan, melainkan pengolahan
pikiran dalam beragumen.

Selanjutnya menurut Karen (1994) dalam bahasannya tentang tipe dan tipologi,
mengemukakan bahwa tipe menyerupai aspek klasifikasi, yaitu menggabungkan
karakteristik yang sama dari kelompok karya arsitektur yang mana masing-masing karya
tersebut secara detail berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Definisi tipe ada dua
kelompok konsep utama, yaitu kelompok satu menganggap tipe sebagai properti bentuk
geometris, dan kelompok kedua, tipe dipandang sebagai atribut bentuk yang berhubungan
dan dihubungkan dengan kegunaan dan perkembangan kesejarahan. Sekaitan dengan studi
maka tipe dianggap sebagai properti bentuk geometris.

12
Tipologi geometris secara mudah dipahami sebagai klasifikasi yang didasarkan pada
konfigurasi, yaitu karakteristik bentuk Euclidian. Passanti (1963). Arsitektur Nias dalam
hal ini dapat dibedakan dalam tiga tipe rumah yaitu : tipe Nias Selatan, tipe Nias Tengah,
dan tiep Nias Utara, di mana setiap tipe mempunyain karakteristik pada denah dan bentuk
atapnya.

Karen (1994), menyebutkan bahwa tipologi geometri berguna untuk memahami teks-teks
historis mengenai arsitektur yang memberikan referensi tentang geometri denah, tampang
dan ruang. Tipologi digunakan sebagai alat untuk menganalisa obyek. Dengan tipologi,
suatu obyek arsitektur dapat dianalisa perubahan-perubahannya yang berkaitan dengan
bangun dasar, sifat dasar, serta proses perkembangan bangun dasar tersebut. Selain itu
tipologi juga dapat digunakan untuk menerangkan perubahan-perubahan dari suatu tipe,
karena suatu tipe akan memiliki ciri-ciri tertentu yang membedakannya dari tipe yang lain.

 Leon Krier, mengatakan tipe adalah suatu bentuk formal elemen dari sebuah
komposisi, bangunan yang telah selesai merupakan hasil dari proses asembling sebuah
tipologi melalui seleksi komponen-komponennya.
 Rossi berpendapat bahwa tipe menunjukkan sebuah pendekatan autobiografi yang
tergantung pada pengalaman pribadi, memori dan impressi.
 Qutremere de Quincy, mengatakan bahwa sebuah tipe tersebut dapat dilihat dari
beberapa pengertian dasar yaitu :
* Terdapat perbedaan antara tipe dan model
* Merupakan sebuah hubungan antara obyek dan
historical presedent-nya
* Penekanan antara sebuah bentuk dengan
kegunaannya
 Argan, mengatakan bahwa sebuah struktur internal pada sebuah bangunan yang
menyatukan keseluruhan komponen adalah berdasarkan dari tipe yang sama, sehingga
bentuk struktur internal pada bangunan menyatakan suatu kesamaan dari beberapa obyek.
 Muratori dan Aymonino, menemukan bahwasanya dari analisa terhadap bentuk
dari kota yang berhubungan dengan tipologi bangunan.

13
 Anthony Vidler, mengatakan bahwa tipologi bangunan adalah sebuah studi
penyelidikan tentang penggabungan elemen-elemen yang memungkinkan untuk
mendapatkan suatu klasifikasi organisme arsitektural melalui tipe-tipe.
 Oechlin, menyatakan tentang sebuah konsep dari sebuah tipe menyarankan bahwa
sebuah obyek arsitektur adalah merupakan sesuatu yang utuh dan memiliki keunikan
tersendiri dan mempunyai perbedaan dengan karya lainnya.

 Guido Francescato, melihat pengertian tipologi didasari dari pendapat yang


disampaikan oleh Quatremere, Rossi dan Krier serta Argan.
 Oleh Francescato, dikatakan bahwa pengertian tipe terlebih dahulu didefinisikan,
karena banyak sekali perbedaan dari pengertian tentang tipe tersebut.
 Keseharian memperlihatkan bahwa tipe diartikan sebagai kelas dan kategori, dan
pada bidang arsitektur berarti klasifikasi.
 Bentuk merupakan unsur pokok dari tipe, dimana pada unsur bentuk terjadinya
ambiguitas cukup besar sekali, tetapi sekaligus merupakan tempat dimana gagasan tentang
tipe banyak ditemukan.
 Tipologi dan bentuk mempunyai perbedaan antara lain; tipologi berfungsi untuk
mengkategorikan sebuah bangunan dilihat dari fungsi, struktur, teknologi dan dari bentuk
itu sendiri, sedangkan bentuk memiliki esensi dari tipe tetapi memiliki spektrum yang
berbeda, dimana tipe bersifat lebih abstrak.

Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa klasifikasi sebagai pengelompokan


sesuatu obyek berdasarkan tingkatan tertentu, atau mengelompokkan obyek, mengacu pada
tingkatan yang telah diketahui, sedangkan menurut Budi A Sukada, Tipologi adalah
penelusuran asal-usul terbentuknya obyek-obyek arsitektural yang terdiri dari tiga tahap,
yaitu:
1. Menentukan “bentuk-bentuk dasar” (formal structure) yang ada di dalam tiap obyek
arsitektur.
2. Menentukan “sifat-sifat dasar” (propeties) yang dimiliki oleh setiap obyek arsitektural
berdasarkan bentuk dasar yang ada padanya.
3. Mempelajari proses perkembangan bentuk dasar tersebut sampai pada perwujudannya
saat ini.

14
Bentuk dasar yang dimaksud di sini adalah unsur-unsur geometrik utama seperti
segitiga, segi empat, lingkaran dan elips; berikut segala variasi masing-masing unsur
tersebut. Dan yang dimaksud dengan sifat dasar ialah hal-hal (feature) seperti: memusat,
memencar, simetris, statis, sentris, dan sebagainya. Beberapa sifat dasar tertentu dengan
sendirinya (inherent). Misalnya: sebuah bujur sangkar mempunyai sifat dasar “statis”,
sedangkan lingkaran mempunyai sifat dasar “memusat”, dan sebaginya
Dari pendapat yang telah diungkapkan di depan, maka dalam arsitektur, Tipologi
dapat dibuat dengan cara mengelompokan obyek arsitektur dalam suatu klasifikasi tipe
berdasarkan kesamaan/ kemiripan dalam hal-hal tertentu yang dimiliki obyek arsitektural
tersebut. Kesamaan tersebut dapat berupa :
 Kesamaan bentuk dasar/ sifat-sifat dasar sesuai dengan bentuk dasar obyek
tersebut.
 Kesamaan fungsi obyek-obyek tersebut.
 Kesamaan asal-usul/ perkembangan dan latar belakang sosial masyarakat obyek
tersebut berada, termasuk gaya atau langgamnya.

1.3. Tipologi dalam Fungsi Arsitektur


Arsitektur yang dapat disaksikan pada sekeliling lingkungan yang ada, sangatlah
beraneka ragam. Keaneka ragaman itu menjadi lebih rumit lagi dengan dikenalnya
bermacam-macam penggolongan dan penyebutan. Misalnya kompleks kampus Universitas
Sam Ratulangi Manado ini. Ditinjau dari segi penggunaan, kampus ini menjadi
segolongan dengan kampus Universitas Indonesia ataupun dengan kampus Universitas
Pelita Harapan Banten, yakni sebagai sebuah bangunan pendidikan tinggi. Tetapi dari
perlanggaman ketiganya jelas berbeda karena Unsrat lebih Internasional Style, UI – depok
mencoba mengindonesia sedangkan Universitas Pelita Harapan mengarah ke Post Modern
dengan sedikit sentuhan Purna Modern.
Dari tinjauan adaptasi dengan iklim tropis kampus Unsrat yang paling adaptif
sedangkan Pelita Harapan yang paling tidak adaptif. Daftar bisa diperpanjang lagi, tetapi
kiranya contoh-contoh di atas telah menunjukkan bahwa sebuah bangunan bisa
digolongkan ke dalam sedemikian banyak penggolongan. Di antara sedemikian banyak
kemungkinan penggolongan ini, tipologi bangunan adalah salah satu bentuk penggolongan
yang dikenal oleh dunia arsitektur. Tipologi berguna bagi arsitektur karena dapat menjadi

15
alat untuk mempertanggungjawabkan dan menjelaskan arsitektur dengan pola penalaran
ilmiah.
Menurut buku Time saver Standart – Building Types, bangunan dikelompokkan ke
dalam 10 kelompok atau jenis bangunan. Antara lain:
1. residential
2. educational
3. cultural
4. health
5. religious
6. govermental and public
7. commercial
8. transportation
9. industrial
10. recreation and entertainment
11. miscellaneous
Tipe-tipe bangunan tersebut banyak dijumpai di mana saja. Buku tersebut
menyelenggarakan pengelompokkan dari beberapa jenis bangunan menjadi sepuluh
kelompok bangunan. Kelompok inilah yang dalam sebutan lain dinamakan ‘tipe’
bangunan. Tipe-tipe bangunan dibentuk bukan atas dasar wujud bangunan tetapi atas dasar
‘keserupaan’ dalam jenis dan corak kegiatan, atau lebih tepat lagi adalah atas dasar
peruntukan serta pendayagunaan dari suatu bangunan. Jikalau memang demikian halnya,
dapat kemudia dikatakan bahwa tipologi adalah pengetahuan mengenai pengelompokan
sesuatu atas dasar rampatan keserupaan (common similarities). Keserupaan yang menjadi
dasar dari tipologi memang tidak hanya keserupaan dalam peruntukan, sebab dapat dengan
bebasnya menyelenggarakan dan menetapkan butir/pokok keserupaan.
Apabila Time Saver’s Standart dengan jeals menyebut ‘types’, Bruce Allsopp
mengatakan ‘jenis’. Penyebutan memangberbeda, tetapi sama sekali tidak berbeda dalam
isi dan maksudnya yaitu menyelenggarakan pengelompokan/penjenisan atas dasar
keserupaan-keserupaan tertentu.
Kalau memang demikian halnya, dapatkah disebutkan dengan pasti macam dan
jumlah tipologi yang ada di dunia arsitektur? Jawaban yang pasti yang bisa dikemukakan
adalah ‘tidak demikian mudah’. Dengan demikian jelas, dalam hal tipologi sepenuhnya
mengesampingkan ihwal wujud rinupa (visual form) dari bangunan, sebab dalam tipologi

16
akan berihwal dengan pola, sistem, tatanan, dan raut/bangun (shape). Berikut ini adalah
beberapa tipologi yang dapat ditemukan dalam dunia arsitektur.

Tipe konstruksi Tipe pintu, jendela dan peranginan


Tipe lahan, tanah dan topografi Tipe ketinggian bangunan
Tipe atap Tipe organisasi bangunan
Tipe pondasi Tipe bahan bangunan
Tipe raut bangunan Tipe peruntukan bangunan
Tipe cara sirkulasi Tipe ketahanan/ umur bangunan
Tipe kualitas bangunan Tipe bukaan pada bangunan
Tipe berbagai sistem utilitas bangunan
Tabel Jenis Tipologi Dalam Arsitektur

1.4. Tipologi Menurut Para Ahli


1. Guido Francescato
Guido Francescatto (1994), memberikan pengertian tipologi sebagai sebuah wacana untuk
membuat suatu pengetahuan yang di dapat dari sebuah karya arsitektur menjadi suatu
rumusan yang dapat dipakai sebagai pedoman dalam pelestarian dan pengembangan
konstruksi arsitektur. Di dalam membuat suatu pengertian tipologi, Francescatto merujuk
pada beberapa pengertian tentang tipologi antara lain yang disampaikan menurut Krier dan
Rossi (1982). Krier dan Rossi mengatakan bahwa ‘tipe’ menunjukkan sebuah pendekatan
secara “otobiografi” yang tergantung pada pengalaman pribadi, memori dan impressi,
dimana pernyataan ini juga dipertegas oleh Moneo (1978) yang menyatakan tipe
merupakan pensejajaran antara memori dan akal. Selanjutnya Moneo mengemukakan
bahwa karya Rossi didasarkan pada tipe-tipe yang terlahir dalam imajinasi arsitek, yang
mencerminkan “suatu masa lalu yang mungkin belum ada”. Ini adalah suatu wawasan yang
krusial, karena pandangan resmi tentang tipe dimana dasar-dasarnya harus dicari dalam
sejarah masa lalu.
Selanjutnya Francescatto melihat dari pemikiran yang disampaikan oleh
Quatremere de Quincy, bahwa ada sebuah gagasan penting dari pengertian tipe yaitu
bahwa tipe adalah sesuatu yang membatasi dan sekaligus membebaskan. Membatasi,
karena perancang tidak bisa menghindari kekangan-kekangan yang dikenakan oleh faktor
sosial dan lingkungan fisik, sedangkan membebaskan, karena mereka tidak dipaksa untuk
17
begitu saja mengulang model-model historis. Signifikansi pemikiran ini menjadi tampak
ketika menghadapi dilema yang terus menerus dihadapi oleh perancang-perancang :
apakah harus menghasilkan bentuk-bentuk yang sudah biasa atau menemukan bentuk-
bentuk baru. Hal ini tentu saja merupakan sebuah rumusan yang sangat abstrak, kompleks
dan agak ambigu. Tetapi ini juga mengesankan dan persuasif karena, dalam keruwetan dan
kekaburannya, mencerminkan tiadanya kepastian, saling pengaruh dan seringkali
bertentangan, serta kesulitan untuk memprediksi hasil-hasil yang pada hakekatnya
mendeskripsikan suatu karya arsitektur. Ambiguitas rumusan Quatremere tidak perlu
diartikan dalam arti negatif, hal ini juga ditegaskan oleh Khan (1991), yang mana
diungkapkan adanya suatu penafsiran berdasarkan pada konsep kontemporer tentang
struktur metaforis. Khan (1991) menunjukkan adanya nilai kritis yang melekat dalam
hubungan antara lawan-lawan/perlawanan yang dirasakan/dipersepsi, sebagai contoh
misalnya konfensi dan inofasi atau kemiripan/kesamaan dan perbedaan, dimana hubungan
tersebut sangat penting bagi produksi bentuk atau karya arsitektur.

Merujuk kepada pengertian-pengertian di atas yang di sampaikan oleh Krier dan


Rossi (1982) dan Quatremere de Quincy maka Guido Francescatto (1994) membuat suatu
pengertian tentang ‘tipe’ dimana untuk memiliki suatu wacana tentang tipe, istilah itu
harus terlebih dahulu didefinisikan. Tipe memiliki banyak pengertian, dimana antara
pengertian yang satu dengan pengertian yang lain menunjukkan suatu perbedaan. Dalam
pembicaraan sehari-hari, tipe itu sinonim dengan kelas dan kategori. Selanjutnya di dalam
bidang Arsitektur terdapat juga perbedaan pengertian mengenai tipe, sehingga ada suatu
kecenderungan penyalahgunaan pemahaman dalam Arsitektur dan desain dimana kata
‘tipe’ lebih diartikan sebagai suatu istilah klasifikasi. Dalam literatur profesional, orang
menemukan penafsiran-penafsiran tentang tipe yang berkisar dari yang relatif sederhana
hingga yang lebih ambigu dan abstrak.

Ketika terasosiasikan dengan kategori-kategori umum kegunaan atau konstruksi, tipe


mudah dipahami sebagai suatu istilah taksonomi fungsional atau struktural. Misalnya,
jurnal-jurnal profesional secara rutin mengklasifikasi liputan mereka tentang tipe-tipe
bangunan dengan ekspresi/pernyataan seperti “perpustakaan”, “rumah sakit”, atau “pusat
perbelanjaan”. Sama halnya, teknologi yang dipakai dalam suatu bangunan, dapat
menawarkan sesuatu yang lain dalam membuat sistem klasifikasi.
18
Selanjutnya bila melihat bentuk suatu bangunan, bukanlah sesuatu yang sentral bagi
kegunaan-kegunaan tipe ini. Meskipun ada suatu harapan bahwa bentuk bangunan rumah
sakit seharusnya tidak tampak sama seperti pusat perbelanjaan, atau suatu teknologi akan
menanamkan aspek-aspek formal tertentu yang menyolok kepada bangunan tersebut.
Bangunan tersebut memiliki perbedaan-perbedaan terutama yang berkaitan dengan bentuk
bangunan, misalnya antara bentuk rumah sakit dengan pusat perbelanjaan. Tujuan jenis-
jenis tipologi ini adalah untuk mengkategorikan bangunan-bangunan menurut fungsi atau
teknologi struktural, bukan berdasarkan bentuk.

Sebaliknya, bentuk adalah suatu unsur pokok tipe pada ujung yang berlawanan dalam
spektrum definisi itu. Pada ujung inilah tempat di mana terjadinya ambiguitas yang
terbesar, tetapi juga tempat dimana gagasan yang paling berguna tentang tipe itu
ditemukan. Tetapi disini tipe tetap mempertahankan memakai suatu aspek klasifikasi ;
artinya sebuah tipe bertugas menggabungkan karakteristik invariant suatu kelompok karya-
karya/pekerjaan arsitektural yang masing-masing (dalam detil) berbeda antar satu tipe
dengan tipe lainnya. Para penulis-penulis yang berbeda telah menawarkan definisi-definisi
yang berbeda pula. Terdapat dua kelas utama konsep-konsep yang dapat dilihat
diantaranya: tipe dianggap sebagai suatu sifat geometris dan tipe dipandang sebagai suatu
atribut relasional bentuk yang terkait dengan perkembangan historis dan kegunaannya.

Selanjutnya Francescato mengklasifikasikan tipe ke dalam konsep tipologi yaitu:


 Typologi Geometric3.
Adalah klasifikasi yang mudah dimengerti karena berdasarkan konfigurasi-konfigurasi
bentuk, yang dalam hal ini bentuk-bentuk dari Euclidean. Sering digunakan dalam
arsitektur.

 Typologi Relational4.
Adalah rangkuman ide dari hubungan antara bentuk arsitektural dan utility atau
kegunaan. Hubungan ini membedakan antara arsitektur dan kebohongan dari inti
kegiatan, tetapi telah menjadi kesukaran tersendiri untuk mengidentifikasi dan
menggambarkan bagaimana bayangan tipe yang dimaksud.
3
Franck A. Karen, 1994, Ordering Space, Type in Architecture and Design, Van Nostrand Reinhold,
USA, hal. 255.
4
Ibid, hal. 255.
19
Dalam tipologi ini banyak dibahas akan pengaruh langgam dan fungsi didalam
mengklasifikasikan suatu tipologi, contoh neoclassical, baroque, rococo, simbol dari
romantik, kadang-kadang juga melihat seni dengan mimesis, imitation nature, dll.

 Tipologi Functional.5
Dalam tipologi ini terdapat dua pandangan yang termasuk kategori tipologi ini:
a. Klasifikasi bangunan-bangunan termasuk di dalamnya fungsi bangunan itu.
b. Kapasitas bangunan dilihat dengan model bangunan.
Tipologi ini memakai fungsi sebagai tipe-tipe standard atau model yang dapat kita lihat
di dalam beberapa buku, misalnya E. Neufert menulis buku tentang data-data arsitektur
yang di dalamnnya terdapat tipe-tipe dari fungsi arsitektur. Misalnya apabila kita ingin
mendisain sekolah maka bagian buku mengenai sekolahlah yang kita baca.
Guido Francescato, akhirnya menyatakan bahwasanya tipe menunjukan beberapa
makna antara lain :
1. Dalam suatu hal tipe sinonim dengan klas dan kategori, dan dalam sisi arsitektur dan
disain terlihat seperti suatu klasifikasi.
2. Dalam sebuah wacana profesional tipe tersebut mempunyai suatu cakupan dari hal-hal
yang bersifat jelas sampai dengan hal-hal yang bersifat ambiguous dan abstrak.
3. Konsep tipe yang didapatkan berdasarkan ide konsep arsitektur adalah merupakan
sebuah ide yang berhubungan dengan pembuatan sebuah karya/ wujud arsitektur
(praxis), pemikiran terhadap sebuah karya arsitektur (theory), dan pengetahuan di
bidang arsitektur (research).
4. Kategori dalam konstruksi terkait dengan suatu klasifikasi struktur terhadap suatu
fungsi.
5. Tipologi berfungsi untuk mengkategorikan sebuah bangunan yang dilihat dari
fungsi,struktur, teknologi dan dari bentuk.

5
Laupen Bernard, dkk, 1997, Design and Analysis, VanNostrand Reinhold, USA, hal. 137.
20
2. Roderick J. Lawrence
Tipe pada umumnya mengacu pada suatu jenis, kelas, atau kategori orang-orang
atau benda-benda yang mempunyai beberapa karakteristik yang sama, sehingga
memungkinkan untuk mengidentifikasi tipe-tipe pada bangunan tertentu, benda-benda,
peristiwa-peristiwa, setting-setting dan orang-orang yang mempunyai kerakteristik tertentu
atau yang spesifik. Karakteristik tersebut dapat digarisbawahi sebagai bentuk umum dari
rencana atau desain suatu tipe yang sejenis atau lebih yang dapat dibedakan antara satu
bentuk dengan bentuk lainnya.

Tipe menurut kamus bahasa Inggris Oxford, yang pertama mempunyai arti sebagai sesuatu
yang dapat dilambangkan dan yang kedua sebagai sesuatu yang memiliki signifikansi
simbolik. Dari pengertian tersebut tipologi dapat diartikan:
 Sebagai suatu studi tentang penampilan simbolik yang mempunyai makna
misalnya makna yang berasal dari sebuah kitab suci.
 Selain itu tipologi dapat diartikan sebagai suatu studi tentang
klasifikasi/golongan yang mempunyai karakter; di mana klasifikasi/golongan dapat berupa
karya manusia, perilaku dan karakteristik-karakteristik sesuai dengan tipe-tipe tertentu.

Pengertian tentang tipe dan tipologi di atas, lebih menekankan pada sifat multi
dimensional, yang mencakup pada kerangka/susunan pemikiran bersifat spiritual yang
dapat dipahami oleh manusia walaupun tersembunyi atau teragawi serta kerangka/susunan
material yang dapat dipahami secara nyata. Selain itu pengertian tentang tipe diatas dapat
diartikan secara arsitektural dimana pengertian tersebut juga didasari oleh dua kerangka
diatas baik kerangka spiritual maupun kerangka material, dimana kedua-duanya harus
dipelajari untuk dapat mengidentifikasi sifat multi dimensional dari tipe-tipe bangunan
yang diletakkan pada lingkungan yang sebenarnya, misalnya arsitektur Minahasa yang
berada pada suatu lingkungan kebudayaan Minahasa. Proses identifikasi tersebut jika
diterapkan untuk studi-studi tentang lingkungan bangunan, maka tipe arsitektur dapat
digunakan sebagai suatu alat analisis. Penafsiran ini berasal dari suatu tinjauan umum
tentang wacana mengenai tipe dan tipologi dalam beberapa disiplin ilmu pengetahuan
sosial dan alam (Lawrence 1986).

21
Selanjutnya Lawrence (1994), berpendapat bahwa pada prinsipnya tipe-tipe
kemasyarakatan dan tipe-tipe bangunan dapat dinyatakan secara kontekstual, di mana
kedua tipe tersebut dapat diekspresikan dan ditransmisikan berdasarkan pada kerangka
pengetahuan yang dapat dipahami secara langsung untuk menghasilkan serta mereproduksi
kultur manusia pada umumnya, termasuk tipe-tipe bangunan pada khususnya. Praktek-
praktek individu dan kelompok bisa terkait dengan peran-peran, tanggung jawab, dan
kewajiban dari rangkaian orang-orang di dalam masyarakat, termasuk perancang, pembuat,
pemilik, dan pemakai lingkungan yang dibangun.

Teori-teori yang menggunakan pengertian tipe dan tipologi diantaranya filosofi, tata
bahasa, dan ilmu pengetahuan alam. Khususnya pada bidang pengetahuan alam sejak dulu
manusia telah menggunakannya terutama pada ilmu tumbuh-tumbuhan, geologi dan ilmu
hewan. Hal ini pernah digunakan oleh Arsitoteles dalam membuat suatu klasifikasi pada
400 binatang untuk ditempatkan pada tipe-tipe atau klas-klasnya. Sejak saat itu,
penggunaan tipologi yang digunakan sebagai suatu cara untuk mengklasifikasikan spesies-
spesies baik tumbuh-tumbuhan atau hewan bukan saja sebagai sebuah perkembangan
pengetahuan manusia tetapi tipologi juga digunakan untuk menghasilkan suatu klasifikasi
dari komponen-kompenen ekosistem secara menyeluruh.
Penafsiran tentang tipe-tipe organik di atas yang umumnya dipakai pada saat ini sebagian
besar berasal dari kontribusi para ahli diantaranya Etienne Geoffrey Saint-Hilaire (1772-
1844) dalam ilmu pengetahuan alam, dan juga Bertrand Russel (1872-1970) dalam filosofi,
serta Max Weber (1864-1920) dalam ilmu pengetahuan sosial. Kesamaan kontributor-
kontributor tersebut terletak pada penafsiran mereka tentang tipe sebagai suatu alat analisis
untuk dapat diterapkan pada metode studi yang sistematis. Meskipun jenis-jenis kontribusi
ini jarang dikutip dalam wacana arsitektural tentang tipe, kontribusi-kontribusi ini layak
mendapat perhatian cermat karena sejumlah alasan antara lain :
1. Secara kolektif, bahwa prinsip-prinsip klasifikasi dipakai dalam berbagai
bidang atau disiplin untuk mengidentifikasi sebuah tatanan menurut rangkaian
kategori-kategori yang tersendiri. Dari perspektif ini , kelas atau suatu tipe dapat
dinyatakan dalam suatu kerangka/susunan yang spiritual yang tersembunyi serta
dapat mendefinisikan batas-batas konstektual antara kategori -kategori orang,
setting, objek, dan peristiwa. Akibatnya, dapat diambil suatu rumusan bahwa semua
tipe disusun oleh manusia dan hal tersebut tidak hanya terbatas pada tipe-tipe

22
arsitektural. Durkheim dan Mauss (1903) sebagai orang pertama yang menerapkan
konsep tipe untuk mengidentifikasi pengurutan/penataan terhadap komponen-
komponen material dan non material pada suatu lingkungan, di mana mereka
berdua sangat perduli dengan pengklasifikasian simbolis dari suatu jenis religius
atau moral dan hubungannya dengan sistem kekerabatan serta sistem-sistem
keturunan di dalam masyarakat-masyarakat tertentu.
2. Meskipun kontribusi Durkheim dan Mauss terlihat tidak banyak memiliki
relefansi dalam perkembangan pemahaman kita tentang lingkungan terbangun, hal
ini sangat perlu untuk diperhatikan karena kontribusi pengklasifikasian simbolis
dari Durkheim dan Mauss walaupun kurang dikenal tetapi dapat menjangkau lebih
jauh lagi terhadap kontribusi yang pernah dilakukan oleh sekelompok ilmuwan
yang mengkaji klasifikasi simbolis dengan mengkaitkan tatanan ruang, arti dan
kegunaan bangunan (Needham 1973, Markus 1987). Beberapa penulis lain telah
menafsirkan bahwa klasifikasi sosial dapat digunakan sebagai pondasi dari tipe-tipe
atau klas-klas orang-orang, setting, objek-objek, dan peristiwa-peristiwa. Seperti
yang telah dilakukan oleh Tambiah (1969), yang melakukan studi etnografi dimana
di dalam studi ini Tambiah melakukan deskripsi dan penafsiran terhadap klasifikasi
manusia dan non manusia yaitu aturan perkawinan, jenis kelamin dan kategori
ruang di dalam rumah. Studi Etnografi yang dilakukan Tambiah menunjukkan
bahwa tindakan, rencana, produk manusia yang berkaitan dengan konstruksi dan
lingkungan yang terbangun, mencakup dimensi kemasyarakatan yang meliputi
organisasi sosial dan sistem klasifikasi. Pendekatan tersebut dapat dipergunakan
dalam melakukan identifikasi dari dimensi antropologis tipe yang implisit dan
eksplisit, sehingga karakteristik bahan bangunan dapat secara eksplist terkait
dengan para pembuat dan pembangun pada suatu lingkungan bangunan tertentu.
Melihat kedua kontribusi di atas, maka pemahamannya dapat juga dipakai untuk
membantu memperkaya orientasi dan penafsiran tentang tipe di dalam bidang arsitektur.
Sebagai contoh (Alamsyah, 2001) Rumah Adat Nias Selatan dan Rumah Adat Nias Utara
yang merupakan dua buah bentuk bangunan arsitektural dan memiliki suatu lingkungan
bangunan yang di dasarkan atas kebudayaan, dan tatanan sosial masyarakat yang sama,
sangat memungkinkan untuk dilakukan suatu pengklasifikasian simbolis dari suatu jenis
religius atau moral dan hubungannya dengan sistem kekerabatan serta sistem-sistem
keturunan di dalam masyarakat Nias. Hal ini di dasarkan atas pengaruh faktor kebudayaan

23
masyarakat Nias yang sangat identik dengan sistem pembangunan atau perwujudan kedua
bangunan tersebut.

Selain itu penjelasan kontribusi-kontribusi diatas mempunyai suatu pengertian bahwa di


dalam melakukan pendeskripsian tipe terhadap sebuah obyek, lebih menitik beratkan
kepada permasalahan tipe-tipe kemasyarakatan dari lingkungan obyek tersebut. Hal
tersebut dilakukan karena untuk mewujudkan suatu bentuk bangunan perananan
masyarakat baik itu pemilik, perencana dan pemakai serta lingkungannya sangat
menentukan dan mempengaruhi hasil akhir dari perwujudan bangunan tersebut secara
menyeluruh. Kemudian pada tahap berikutnya pendeskripsian tipe suatu bangunan menitik
beratkan pada penguraian terhadap penataan fisik ruang-ruang serta komponen-komponen
material dan non material pada suatu bentuk bangunan. Pernyataan di atas dipertegas oleh
Habraken, bahwa konsep melakukan pendeskripsian tentang tipe sebuah bangunan,
merupakan sebuah sarana untuk melakukan suatu pengklasifikasian bangunan ke dalam
tipe-tipe tertentu serta menunjukkan asal-usul historis dari suatu bangunan. Tipe-tipe dapat
terbangun didasarkan atas pengaruh masyarakat dan kultur masyarakat lingkungan tempat
bangunan tersebut berada. Pengaruh kultur masyarakat ini harus dikaji untuk lebih
memahami sifat multidimensional tipe-tipe arsitektur. Untuk mencapai tujuan tersebut,
tindakan, maksud, dan rencana-rencana masyarakat yang terkait dengan konstruksi dan
penggunaan lingkungan bangunan bisa terkait dengan sederetan luas dimensi
kemasyarakatan itu sendiri, termasuk komunikasi interpersonal dan organisasi sosial

Perkembangan bangunan dapat menimbulkan peningkatan minat terhadap


pengklasifikasian bangunan-bangunan tertentu dalam kaitan dengan kriteria-kriteria estetis,
fungsional, material dan kriteria lain, termasuk klas sosial kelompok-kelompok pemakai
bangunan. Pada hakekatnya, sebagaimana yang ditunjukkan oleh Lawrence (1986),
klasifikasi sosial dapat tersampaikan melalui tatanan-tatanan yang digunakan untuk
mewujudkan suatu bangunan tersebut sehingga dapat membedakan antara bangunan yang
satu dengan jenis bangunan lainnya, dan juga kelompok orang-orang yang berada pada
lingkungan bangunan tersebut. Studi-studi demikian dapat mengilustrasikan bagaimana
klasifikasi sosial umumnya dipakai secara implisit atau eksplisit untuk menyampaikan
gagasan, nilai-nilai, dan maksud tentang produk suatu bangunan dan proses-proses
perwujudan bangunan pada umumnya, serta bangunan tempat tinggal pada khususnya.

24
Lagipula, ketika konsep tipe itu didefinisikan dalam wacana ini, maka tipe dapat digunakan
sebagai suatu alat analisis untuk mengidentidentifikasi dimensi yang saling terkait antara
yang sudah dipahami secara langsung maupun pada pengetahuan dan konvensi sosial yang
dimiliki bersama, terutama yang terkait dengan penataan ruang, arti, dan penggunaan
lingkungan bangunan.

Pendekatan tipologi yang akan melakukan alat analitis yang dipaparkan di dalam konteks
ini oleh Lawrence pernah diterapkan melalui suatu studi pada lingkup perkotaan untuk
mengamati tentang perkembangan dari unit-unit tempat tinggal pada tiga kota di negara
Swiss. Di dalam studi tersebut Lawrence menggunakan perspektif-perspektif sinkronis
maupun diakronis untuk menunjukan bagaimana pengetahuan yang dimiliki bersama
antara kaidah-kaidah sosial dan aturan-aturannya yang terasosiasikan dengan tata letak,
arti dan penggunaan lingkungan pemukiman pada kota-kota (kota Geneva, Fribourg dan Le
Locle), yang mempunyai latar belakang budaya, ekonomi, geografi dan politik yang
berbeda.

Pada penelitian tersebut Lawrence melakukan pada dua studi yang saling terkait, studi
pertama melakukan suatu analisis yang ditinjau dari sejarah tentang perkembangan
perencanaan, arti dan penggunaan ruang-ruang publik yang dibuat secara kolektif maupun
pribadi pada hunian yang dibangun antara tahun 1860 – 1960. Analisis sejarah ini
mencakup dua studi yaitu studi longitudinal tentang ukuran dan komposisi rumah tangga
serta hak atas tanah, dan data-datanya didapatkan dari tiga sumber yaitu dari para arsitek
dan kunjungan ke lapangan, berasal dari sumber pemerintahan dan masyarakat serta
beberapa brosur-brosur dan surat kabar. Studi kedua mencakup penelitian yang dilakukan
pada 525 rumah tangga dimana analisis ditekankan pada rencana-rencana bangunan tempat
tinggal dan lingkungannya, aktifitas sehari-hari dari penghuni, asal-usul tempat tinggal,
unit-unit tempat tinggal, dan fasilitas-fasilitas pelayanan yang tersedia.

Beberapa kriteria yang digunakan Lawrence (1994) di dalam menempatkan tipologi


tersebut sebagai alat analisis melalui penelitian tipologi di atas yang dilakukan pada
beberapa rumah tinggal di Swiss adalah :
1. Konfensi stilistik yang terkait dengan komposisi tampak-tampak bangunan
(misalnya, klasik, neo-gothic, modern) yang merupakan pengetahuan para

25
profesional (arsitek, kontraktor). Dalam kriteria ini jarang ada pertimbangan
apapun tentang sudut pandang dari orang awam.
2. Variabel-variabel sosio ekonomi yang terkait dengan penghasilan dan status
profesional penduduk (misalnya klas pekerja, klas menengah, pekerja-pekerja
bangunan).
3. Klasifikasi penilaian tentang jumlah, ukuran, dan tata letak serta komposisi lantai
bangunan.
4. Tata letak dan konstruksi bangunan (misalnya konstruksi kayu, batu merah atau
berdinding batu).
5. Organisasi ruang pada tiap-tiap lantai dalam kaitan dengan sarana akses dari bidang
publik hingga bidang pribadi masing-masing unit tempat tinggal.
Kriteria-kriteria di atas yang digunakan Lawrence (1994) di dalam menempatkan tipologi
tersebut sebagai alat analisis melalui penelitian tipologi atas seratus jenis rumah tinggal di
Swiss tersebut ada beberapa yang sangat relevan untuk diterapkan di dalam penelitian
tipologi untuk rumah-rumah tradisional, tetapi ada beberapa bagian yang mungkin tidak
dapat dilakukan pada obyek penelitian rumah tradisional tersebut, dikarenakan Lawrence
melakukan penelitian terhadap seratus jenis rumah dalam lingkup perkotaan yang secara
nyata dapat memberikan suatu gambaran untuk dilakukan suatu pengklasifikasian. Berbeda
dengan apa yang dilakukan melakukan pendeskripsian terhadap bangunan Arsitektur
Minahasa atau Arsitektur Nusantara. Bila menggunakan dasar kriteria penelitian Lawrence
di atas, maka kriteria tersebut adalah :
1. Memberikan penjelasan tentang pengaruh adat istiadat, pola tatanan masyarakat
serta tingkatan di dalam kehidupan masyarakat yang dapat mempengaruhi
terbentuknya wujud bangunan.
2. Memberikan sebuah gambaran tentang karakteristik teknologi dan bahan
bangunan, struktur dari tipe-tipe bangunan dimana karakteristik tersebut sangat
terkait secara eksplisit pada lingkungan terutama pada suatu komunitas yang
membangun dan/atau menggunakan lingkungan bangunan tersebut.
Menerangkan tata letak bangunan terhadap lingkungan bangunan serta menentukan tipe
dari obyek dan menempatkannya secara benar dalam klasifikasi tipe yang sudah ada.
Selain itu melihat perkembangan-perkembangan dari tipe-tipe bangunan, dimana suatu tipe
tersebut memiliki ciri-ciri tertentu yang dapat membedakannya dengan tipe yang lain.

26
3. Anthony Vidler
Pemikiran tentang tipologi yang disampaikan oleh Anthony Vidler terdapat dalam
tulisannya yang berjudul “The Third Typology”. Dia mengamati, bahwa pada abad ke 18
muncul tipologi arsitektur pertama yang bersumber dari gubuk primitif sebagai akibat
usulan Laugier. Tipologi kedua tidak lagi mengandalkan bentuk, tetapi pada proses
sebagaimana usul Le Corbusier dan kawan-kawan di abad ini, sedangkan tipologi ketiga
adalah yang dipelopori kelompok Neo Rationalis. Bila kedua tipologi sebelumnya banyak
mengandalakan inspirasinya dari gejala yang ada di luar arsitektur, maka yang ketiga ini
justru kembali pada unsur-unsur arsitektural sebagai tipe.

Penganut pemikiran tipologi yang dianggap sebagai cikal bakal pemikiran di dalam ilmu
arsitektur berkembang makmur di Italia dengan kelompok Tendenza yang di dalamnya
terdapat Aldo Rossi. Dalam bukunya yang terkenal “The Architecture of the City”, Rossi
mengacu pada konsep tipe Quatremere de Quincy yang memahami tipe sebagai asal usul
dari suatu yang mengandung unsur-unsur dasar saja, lebih longgar bergerak karena dari
pemahaman inilah berkembang macam-macam model.

Dengan membuka jalan tipologi secara kreatif ini, pendekatan melalui kajian bentuk-
bentuk yang pernah hadir yang dianalogikan ke dalam sebuah perancangan juga
berkembang lebih jauh lagi. Secara lebih sungguh-sungguh para pakar juga menaruh
perhatian dalam membaca unsur-unsur dasar pembentuk bangunan sebagai obyek
arsitektur. Apa arti sebuah dinding, sebuah tiang, sebuah lantai, dan sebuah bukaan
menjadi target kajian yang dapat kita kelompokkan ke dalan kajian tipologi.

Tipologi bangunan adalah sebuah studi penyelidikan tentang penggabungan elemen-


elemen yang memungkinkan untuk mencapai/mendapatkan suatu klasifikasi organisme
arsitektural melalui tipe-tipe. Klasifikasi mengindikasikan suatu perbuatan
meringkas/meng-ihtisarkan, antara lain mengatur penamaan yang berbeda, yang masing-
masing dapat diidentifikasikan pada dirinya sendiri, dan menyusun dalam klas-klas untuk
mengidentifikasikan data umumnya dan memungkinkan membuat perbandingan pada
kasus khusus, klasifikasi tidak memperhatikan pengembangan suatu thema pada suatu saat
tertentu, melainkan berurusan dengan contoh-contoh konkrit dari suatu tema tunggal dalam
suatu periode/masa yang terikat oleh komponen dari karakteristik yang tetap/konstan

27
(misalnya rumah bergaya Gothik). Hal itu menjadi instrumen pemberi tanda dari
gejala/fenomen, yang membandingkan istilah-istilah yang berbeda dalam hubungannya
dengan bentuk-bentuk bangunan. Pada dasarnya tipologi berlandaskan kepada
kemungkinan mengelompokkan beberapa obyek karena mempunyai kesamaan sifat dasar.
Bahkan bisa dikatakan juga tipologi berarti tindakan berfikir dalam kerangka
pengelompokkan.

4. Budi A. Sukada
Untuk dapat membahas tipologi secara tuntas, perlu dikemukakan dahulu pengertian yang
terkandung dalam kata “arsitektur”, karena demikian banyaknya pengertian yang dimiliki
oleh kata tersebut. Secara tipologis, arsitektur mempunyai pengertian suatu aktifitas yang
menghasilkan obyek tertentu, yang disebut “obyek arsitektural”. Selanjutnya sejalan
dengan pernyataan tersebut maka tipologi pada dasarnya mempunyai sebuah pemahaman
sebagai usaha untuk melakukan penelusuran tentang asal-usul terbentuknya obyek-obyek
arsitektural yang harus melalui tiga tahap terdiri dari:
a. Menentukan bentuk dasar (formal structures) yang ada dalam tiap obyek
arsitektural. Yang dimaksud dengan bentuk dasar ialah unsur-unsur geometri utama
seperti segitiga, segi empat, lingkaran dan elips, berikut segala variasi masing-
masing unsur tersebut.
b. Menentukan sifat dasar (properties) yang dimiliki oleh setiap obyek
arsitektural berdasarkan bentuk dasarnya, misalnya memusat, memencar, simetris,
statis, sentris dan sebagainya.
Mempelajari proses perkembangan bentuk dasar sampai perwujudannya saat ini.

28
1.5. Interpretasi Kajian Tipologi
Dalam “TYPE AND THE POSSIBILITY OF AN ARCHITECTURAL
SCOLARSHIP” Francescatto, Guido (1994)

Kesimpulan Definisi tipologi memiliki dua kelompok konsep utama, yaitu kelompok
Definisi satu menganggap tipe sebagai properti bentuk geometris, dan kelompok
kedua, tipe dipandang sebagai atribut bentuk yang berhubungan dan
dihubungkan dengan kegunaan dan perkembangan kesejarahan. Sekaitan
dengan studi maka tipe dianggap sebagai properti bentuk goemetris.
Francescatto (1994), menyebutkan bahwa tipologi geometri berguna untuk
memahami teks-teks historis mengenai arsitektur yang memberikan
referensi tentang geometri denah, tampang dan ruang. Tipologi digunakan
sebagai alat untuk menganalisa obyek. Dengan tipologi, suatu obyek
arsitektur dapat dianalisa perubahan-perubahannya yang berkaitan dengan
bangun dasar, sifat dasar, serta proses perkembangan bangun dasar
tersebut. Selain itu tipologi juga dapat digunakan untuk menerangkan
perubahan-perubahan dari suatu tipe, karena suatu tipe akan memiliki ciri-
ciri tertentu yang membedakannya dari tipe yang lain. Oleh karena itu
PENGERTIAN TIPOLOGI

dengan tipologi akan memudahkan di dalam mengenali geometri dari


Guido Francescatto (1994)

sebuah karya arsitektur. Dalam menentukan sebuah bangunan untuk


memasukkannya ke dalam sebuah tipe, sebaiknya dilakukan
penggambaran dari tipe masa lalu/ sejarahnya/ asalnya, sehingga dapat
dilihat penyimpangan yang dilakukan terhadap tipe yang ada sekarang.
Dan alat ukur yang dipergunakan untuk menguji adalah sebuah tipe dasar/
masa lalu, yang memiliki suatu bentuk yang dihasilkan dari norma-norma
tertentu yang telah diuji fungsi dan kemampuannya dalam sebuah proses
disain dan pengoperasiannya untuk menghasilkan sebuah obyek tertentu,
sehingga dalam hal ini tipe dapat membantu menemukan/ mendefinisikan
keaslian/ kealamiahan sebuah obyek.

Perspektif Pengertian tipologi Francescatto dibangun berdasarkan dari beberapa


Teori pengertian tipologi yang disampaikan oleh Krier dan Rossi dan
Quatremere de Quincy. Francescatto memberikan pengertian tipologi
sebagai sebuah wacana untuk membuat suatu pengetahuan yang di dapat
dari sebuah karya arsitektur menjadi suatu rumusan yang dapat dipakai
sebagai pedoman dan pengembangan konstruksi arsitektur. Seperti Krier,
Rossi dan Quincy yang menunjukkan bahwa tipe selalu bergantung
kepada pengalaman pribadi, memori dan impressi . Oleh karena itu
perspektif pengertian tipologi dari Francescatto lebih menekankan pada
penggunaan tipe sebagai pedoman di dalam perancangan atau desain
untuk menghasilkan bentuk-bentuk baru yang berorientasi pada pemikiran
yang dihasilkan oleh bentuk-bentuk dasar yang harus dicari dalam sejarah
masa sebelumnya (bentuk-bentuk historis).

29
Konteks Teori Fokus utama dari pengertian tipologi Francescatto adalah menempatkan
tipe dalam arsitektur sebagai suatu klasifikasi, dimana tipe dapat
dipergunakan sebagai suatu konsep arsitektur di dalam mewujudkan
sebuah karya arsitektur. Tipologi juga dapat dipergunakan sebagai alat
untuk mengkatagorikan pengembangan sebuah bangunan yang dilihat dari
fungsi, struktur, teknologi serta dari bentuknya dan sejarah masa lalu.
Berdasarkan pernyataan diatas dan di dasarkan atas pengertian Krier, Rossi
dan Quincy maka Francescatto juga menempatkan pengertian tipologi di
dalam konteks sejarah dan asal usul dari sebuah bentuk karya arsitektur
yang digunakan sebagai kritik ke masa depan terhadap terwujudnya sebuah
tipe yang baru sehingga dapat dilihat perubahan-perubahan,
pengembangan-pengembangan selanjutnya pada masa yang akan datang.

Kedudukan Tipologi digunakan sebagai suatu alat analisis oleh Francescatto dapat
Teori di didudukan didalam ANALOGI BAHASA POLA. Hal ini disebabakan
dalam pengertian teori tersebut menempatkan dan menganggap tipe sebagai
PENGERTIAN TIPOLOGI

Roderick J. Lawrence (1994)

Analogi properti bentuk geometris, dan kelompok kedua, tipe dipandang sebagai
Teori atribut bentuk yang berhubungan dan dihubungkan dengan kegunaan dan
perkembangan kesejarahan. Sekaitan dengan studi maka tipe dianggap
sebagai properti bentuk goemetris
Kedudukan Definisi pengertian tipologi Lawrence didasarkan yang didasarkan pada
Teori di dalam perspektif sosial masyarakat. Hal ini dapat membuktikan bahwa teori
Paradigma tersebut dapat di dudukan pada PARADIGMA MITOLOGI DAN
Teori KOSMOLOGI, ESTETIKA, SOSIAL DAN KULTUR. Hal tersebut
didasarkan atas pengertian teori yang dijelaskan diatas bahwa perspektif
pengertian tipologi dari Francescatto lebih menekankan pada penggunaan
tipe sebagai pedoman di dalam perancangan atau desain untuk
menghasilkan bentuk-bentuk baru yang berorientasi pada pemikiran yang
dihasilkan oleh bentuk-bentuk dasar yang harus dicari dalam sejarah masa
sebelumnya (bentuk-bentuk historis).
Cara Kerja Melakukan identifikasi melalui penelusuran tentang :
Teori 1. geometri denah, tampang dan ruang obyek arsitektur
terhadap 2. menganalisa perubahan-perubahannya yang berkaitan dengan bangun
kasus dasar, sifat dasar,
Arsitektur di 3. menganalisi proses perkemba
Indonesia ngan bangun
dasar tersebut.
Konsekuensi Mempunyai kemampuan untuk memberikan dan menemukan suatu
terhadap pengetahuan-pengetahuan dari obyek arsitektural tertentu dimana
arsitektur pengetahuan-pengetahuan dari sejarah dan asal usul bentuk bangunan
dasar dapat digunakan dan diterapkan dalam desain bangunan-bangunan
sejenis selanjutnya

30
Kesimpulan Pengertian tipologi Vidler lebih menekankan pada sebuah studi
Definisi tentang penyelidikan dari penggabungan elemen-elemen yang
memungkinkan untuk mencapai/mendapatkan suatu klasifikasi
organisme arsitektural melalui tipe-tipe. Kegiatan klasifikasi dari
beberapa bangunan adalah mengindikasikan suatu perbuatan
meringkas/meng-ihtisarkan, antara lain mengatur penamaan-
penamaan yang berbeda pada bangunan dasar, yang masing-masing
dapat diidentifikasikan pada dirinya sendiri, dan menyusun dalam
klas-klas untuk mengidentifikasikan data umumnya dan
memungkinkan membuat perbandingan pada kasus.
PENGERTIAN TIPOLOGI

Perspektif Pemikiran tentang tipologi yang disampaikan oleh Anthony Vidler


Tipologi terdapat pada tulisannya yang berjudul “The Third Typology”.
Anthony Vidler (1976)

Anthony Vidler adalah seorang sejarahwan arsitektur, hal ini juga


yang menyebabkan bahwa pengertian tipologi yang dibangun oleh
Vidler didasarkan atas spesialisasinya sebagai seorang sejarahwan.
Sejalan dengan beberapa pengertian tipologi yang disampaikan oleh
kelompok Tendenza yang di dalamnya terdapat Aldo Rossi, maka
perspektif tipologi Vidler juga menitik beratkan pengertian tipologi
di dasarkan untuk memahami tipe sebagai sesuatu yang memiliki
masa lalu/ sejarahnya/ dan asal-usulnya dari suatu yang mengandung
unsur-unsur dasarnya saja. Lebih jelasnya, perpektif tipologi Vidler
berada pada pengertian keilmuan sejarah.

Konteks Dikarenakan perspektif pengertian tipologi Vidler berada pada


Tipologi perspektif sejarah maka untuk melihat pengertian tipologi tersebut
dalam bidang arsitektur maka Vidler juga melakukan penajaman
pengertian tipologi melalui konteks yang juga didasarkan atas
konteks pengertian yang disampaikan oleh kelompok Tendenza yaitu
melakukan pendeskripsian klasifikasi terhadap karya arsitektur
khususnya pada beberapa bangunan-bangunan seri yang berada pada
lingkup perkotaan.

Pengertian Menempatkan pengertian tipologi Vidler terhadap obyek kasus, maka


yang dapat penelusuran identifikasi hanya dapat melakukan suatu
Anthony Vidler (1976)

memenuhi pengklasifikasian organisme arsitektural dari bangunan, melalui


pembahasan kesamaan-kesamaan sifat dasar bangunan. Pengklasifikasian
obyek kasus organisme arsitektural melalui kesamaan-kesamaan sifat dasar dari
bangunan yang berbeda sangat mungkin dilakukan bahkan dapat
ditelusuri beberapa persamaan-persamaan dari sifat dasar bangunan
tersebut. Dasar yang paling mendukung dari penelusuran diatas
antara lain didasarkan bahwa kedua bangunan tersebut berada pada
satu kebudayaan yang sama, namun kegiatan penelusuran identifikasi
diatas tidak dapat meletakan kedua bangunan tersebut kedalam dua
tipe bangunan yang berbeda.

31
Pengertian Ada faktor yang tidak dapat ditempatkan di dalam penelusuran
yang tidak identifikasi obyek kasus yaitu faktor yang berusaha untuk mencari
PENGERTIAN
dapat perbandingan yang mampu memberikan suatu gambaran tentang
TIPOLOGI

memenuhi komponen dan karakteristik yang konstan/tetap dari suatu


pembahasan perkembangan periode/masa perjalanan bangunan tersebut. Sehingga
obyek kasus berdasarkan faktor tersebut kedua bangunan belum dapat dikatakan
sebagai dua tipe bangunan yang berbeda. Penyebab utama dari
keterbatasan diatas disebabkan bahwa tidak dapat memberikan suatu
gambaran tentang perkembangan dari suatu periode atau masa
perjalanan sejarah terbentuknya bangunan tersebut.

Kesimpulan Pengertian tipologi Sukada lebih menekankan pada pengklasifikasian


Definisi berdasarkan penelusuran terhadap asal-usul terbentuknya obyek-
obyek arsitektural yang terdiri dari tiga tahap yaitu menentukan
bentuk dasar (formal structures), menentukan sifat dasar (properties),
mempelajari proses perkembangan bentuk dasar.

Perspektif Melihat pengertian Tipologi Sukada diatas, sangat sulit ditemukan


PENGERTIAN TIPOLOGI

Tipologi perspektif dari pengertian tipologi tersebut. Namun bila menelusuri


pengertian tipologi tersebut, maka dapat dipastikan bahwa
Budi A. Sukada (1989).

pengertian tersebut dibangun berdasarkan gabungan dari beberapa


perspektif diantaranya perspektif sejarah arsitektur dan perspektif
properti bentuk dasar geometris arsitektur. Untuk perspektif sejarah
arsitektur dapat dilihat pada usaha untuk menentukan sifat dasar dan
mempelajari proses perkembangan bentuk dasar, dimana kedua
faktor tersebut sama dengan faktor-faktor yang ditetapkan oleh
Vidler di dalam pengertian tipologinya. Sedangkan di dalam
perspektif properti bentuk dasar geometris arsitektur di tandai dengan
melakukan suatu pemaparan tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan bentuk dasar bangunan.

Konteks Selanjutnya berdasarkan pengertian tipologi yang disampaikan oleh


Tipologi Sukada diatas, konteks yang digunakan didalam mengemukakan
pengertian tersebut lebih menekankan dan sudah lebih mengarah
pada konteks arsitektur. Hal ini dapat dilihat dari faktor-faktor yang
mendasari pengertian tersebut lebih mengarah pada fisik bangunan.

Pengertian Menempatkan pengertian tipologi Sukada dalam melakukan


yang dapat pengidentifikasian obyek kasus, maka yang dapat digunakan dan
PENGERTIAN TIPOLOGI

memenuhi memenuhi dalam pembahasan obyek kasus yaitu melakukan


pembahasan pendeskripsian klasifikasi kedua bangunan tersebut yang bertujuan
obyek kasus memberikan gambaran yang jelas tentang kesamaan-kesamaan yang
bersifat fisik antara lain kesamaan-kesamaan berdasarkan bentuk
dasar, dan sifat dasar. Namun kesamaan-kesamaan yang di dapat dari
penelusuran identifikasi kedua bangunan tersebut hanya sebagai
penggambaran bahwa kedua bangunan tersebut berada pada
kebudayaan yang sama, tetapi bukan sebagai patokan bahwa kedua
bangunan tersebut berada pada klas yang sama. Tetapi bila
identifikasi dilakukan pada masing-masing rumah adat dari obyek
kasus dengan melakukan penyandingan pada bentuk bangunan
sejenis, maka dapat saja ditemukan bahwa kedua bangunan tersebut
berada konteks tipe yang berbeda satu dengan yang lainnya.

32
Pengertian Ada satu pengertian dari pengertian tipologi Sukada yang tidak dapat
yang tidak ditempatkan di dalam pembahasan obyek kasus yaitu melihat suatu

Budi A. Sukada (1989).


dapat perkembangan dari masing-masing bentuk tersebut. Seperti pada
memenuhi pengertian-pengertian tipologi yang lainnya bahwa untuk melihat
pembahasan proses perkembangan dari bentuk dasar bangunan, harus didasarkan
obyek kasus pada bentuk asal yang diikuti dengan bentuk-bentuk seri dari
bangunan-bangunan yang akan ditempatkan pada suatu klasifikasi
tipe bangunan. Oleh karena itu untuk melihat proses perkembangan
dari bentuk dasar bangunan tidak dapat dilakukan, hal ini disebabkan
oleh ketidaktersedian seri bangunan yang menyertai bentuk dasar di
dalam obyek kasus.

1.6. Kesimpulan Kajian TIPOLOGI

LAWRENCE FRANCESCATTO VIDLER SUKADA


Alat Analisis Pedoman di dalam Suatu konsep yang Usaha untuk
perancangan untuk digunakan untuk menelusuri asal-
menghasilkan bentuk- melakukan usul/ awal mula
TIPOLOGI SEBAGAI
MENEMPATKAN

bentuk baru yang pendeskripsian obyek terbentuknya obyek


berorientasi pada atas dasar kesamaan arsitektural
pemikiran yang karakter bentuk
dihasilkan oleh bentuk- dasarnya.
bentuk dasar yang harus
dicari dalam sejarah
masa sebelumnya
(bentuk-bentuk
historis).

LAWRENCE FRANCESCATTO VIDLER SUKADA

33
Melakukan Melakukan Melakukan Melakukan identifikasi
identifikasi melalui identifikasi melalui identifikasi melalui yang berusaha
penelusuran tentang : penelusuran tentang : penelusuran tentang : menelusuri asal-
1. pengaruh adat 1. geometri pengklasifikasian usul/awal mula
istiadat dan pola denah, tampang organisme terbentuknya obyek-
tatanan dan ruang arsitektural dari obyek arsitektural
masyarakat. obyek arsitektur obyek bangunan, yang ditempuh
2. karakteristik 2. menganalisa melalui kesamaan- melalui tiga tahap
teknologi dan perubahan- kesamaan sifat dasar yaitu :
bahan bangunan, perubahannya dari beberapa 1. menentukan
CARA KERJA TIPOLOGI

struktur dari tipe- yang berkaitan bangunan. bentuk dasar


tipe bangunan dengan bangun (formal
3. tata letak dasar, sifat structures),
bangunan dasar, 2. menentukan
terhadap 3. menganalisi sifat dasar
lingkungan proses (properties)
bangunan perkemba 3. mempelajari
4. menentukan tipe ngan bangun proses
dari obyek dan dasar tersebut. perkembangan
menempatkannya bentuk dasar.
secara benar
dalam klasifikasi
tipe yang sudah
ada.
5. melihat
perkembangan-
perkembangan
dari tipe-tipe
bangunan

Mempunyai Mempunyai Mempunyai Mempunyai


kemampuannya kemampuan untuk kemampuan untuk kemampuan untuk
untuk mendapatkan memberikan dan memberikan suatu memberikan
faktor-faktor yang menemukan suatu gambaran gambaran yang jelas
KONSEKUENSI TERHADAP

berpengaruh pengetahuan- identifikasi terhadap tentang


ARSITEKTUR/ KASUS

terhadap pembentuk pengetahuan dari obyek bangunan asal-usul/awal mula


wujud bangunan obyek arsitektural melalui terbentuknya obyek-
yang di dasarkan tertentu dimana pengidentifikasian obyek arsitektural
pada pengaruh- pengetahuan- organisme melalui identifikasi
pengaruh sosial pengetahuan dari arsitektural terutama terhadap bentuk
masyarakat sejarah dan asal usul elemen-elemen yang dasar dan sifat dasar
diantaranya adat bentuk bangunan terdapat pada dari kedua bangunan
istiadat, pola tatanan dasar dapat struktur dan rumah adat tersebut
masyarakat serta tata digunakan dan konstruksi bangunan
letak bangunan diterapkan dalam serta sifat dasar
terhadap lingkungan desain bangunan- bangunan secara
bangunan tersebut bangunan sejenis menyeluruh.
berada. selanjutnya

1.7. Konsep Perancangan Arsitektur Dekonstruksi Melalui Tipologi dan Makna


“In architecture, concepts can either precede or follow projects or buildings. In
other worlds, a theoritical concepts may be either apllied to a project or derived
from it”.

34
(Bernard Tschumi).

Dalam perencanaan dan perancangan arsitektur dapat dipakai berbagai bentuk dan
pendekatan teori dan konsep dalam menyelesaikan suatu skenario perencanaan sehingga di
dalam menghadapi suatu rancangan tentu saja dapat mempermudah metode disain yang
akan diselesaikan. Kesempatan ini maka konsep yang akan diambil adalah pendekatan
perancangan dengan memakai konsep tipologi pada arsitektur dekonstruksi
Pada pertengahan abad ke-18 menurut pandangan Anhony Vidler, ada dua
pengertian typology yang diperbincangkan dalam produksi arsitektur. Yang pertama
dikembangkan berdasar filsafat Pencerahan kaum rasionalis yang diformulasikan oleh
Abbe Laugier, bahwa dasar perancangan tipologis secara alamiah harus diketemukan
melalui model permukiman primitif. Paradigma typology ini dibangun berdasarkan
kepercayaan adanya tatanan rasional daripada alam semesta atau kosmologi, yang
menjadikan setiap elemen arsitektur sebagai bagian dari tatanan alam juga; seolah-olah
mulai dari kolom bangunan sampai dengan kota semuanya paralel dengan rantaian yang
ada pada kosmologi.
Typology yang kedua muncul karena tuntutan kebutuhan untuk mengatasi persoalan
produksi massal, dan ide ini, diperjelas oleh Le Corbusier bahwa typology bisa berupa
objek produksi massal yang melihat bahwa elemen dari kolom rumah sampai dengan kota
sebagai analogis, karena rasionalisme ilmu pengetahuan dan sistem produksi teknologi
adalah wujud nyata daripada bentuk yang paling progresif.
Namun pada kenyataannya, type itu sebenarnya berevolusi, semakin kaya dan
semakin kuat suatu type sebagai suat konvensi arsitektural akan bertahan. Type dapat
dilahirkan kembali atau musnah kembali pada saat masyarakat mengalmi perubahan yang
dramatis.
Type harus dibedakan dengan model atau sebuah obyek yang direproduksi secara
mekanikal. Arsitektur dengan demikian bukan hanya dapat diselesaikan oleh type tetapi
juga diproduksi melaluinya. Melalui proses perancangan dengan mengidentifikasi
programm dan type dengan segala representasi simbolik, makna dan isinya.
Proses disain adalah sebuah cara bagaimana membawa elemen-elemen sebuah
typology, ide-ide dari arsitektur formal ke dalam sebuah kondisi khusus yang mampu
memberikan karakter karya arsitektur yang tunggal atau dekonstruksi.
Sehingga arsitek dapat mentransformasikan ke dalam arsitektur dekonstruksi dengan:
- mengektrapolasikan melalui type dan mengubah kegunaannya atau fungsi.
35
- Mendistorsi type dengan menstransformasikan skala.
- Menumpangtindihkan type-type yang berbeda untuk mernciptakan type baru.
- Mencampur dua type dengan menambah ciri-ciri dari yang satu dengan yang lain.
- Memperluas suatu ciri dari typology tertentu melalui perubahan skala.
Bernard Tschumi memberikan beberapa pendekatan untuk mendekonstruksikan program
disain dalam perencanaan dan perancangan:
1. Crossprogramming:
Menggunakan sebuah konfigurasi spatial tertentu untuk sebuah progranm yang yang
tidak dimaksudnya. Misalnya bangunan gereja untuk enterteiment.
2. Transprograming:
Mengkombinasikan dua buah program terlepas apakah keduanya saling menunjang
atau tidak di dalam masing-masing konfigurasi spatial yang telah ada.
Misalnya: Planetarium dikombinasikan dengan toko obat.
3. Disprogramming:
Mengkombinasikan dua program sehingga program A dapat mengkontaminasi program
B dan dari B muncul konfigurasi berikutnya. A dan B dapat saling mengkonfigurasi
spatial.
Misalnya bangunan perumahan memunculkan pasar kaget tetapi keduanya saling
membutuhkan di dalam satu lahan.
Dengan demikian maka typology akan mempengaruhi konsep dasar pemikiran suatu karya
arsitektur dengan memakai suatu pendekatan arsitektur yang diwakilinya. Dan ini jelas
mempengaruhi perencanaan dan perancangan Arsitektur.

36
BAB II

MORFOLOGI ARSITEKTUR

Morfologi Arsitektur selalu berkenaan dengan syntax yaitu susunan bentuk


konstruksi secara struktural. Untuk mengetahui Morfologi Arsitektur lebih jauh lagi maka
di bawah ini akan diterangkan beberapa faktor yang terdapat pada Morfologi Arsitektur.

2.1. Tinjauan Bentuk


D.K. Ching (1979) dalam bahasannya tentang bentuk mengemukakan :
Visual properties of form : shape, size, color, texture, position,
orientation, visual inertia.
Maksudnya adalah bahwa suatu bentuk secara visual memiliki : bangun, ukuran, warna,
tekstur, posisi, orientasi dan visual inertia. Selanjutnya dikemukakan pula :
Shape: the prinsipal identifying characteristics of form; shape result
from the spesific configuration of a forms surfaces and edges.
37
Prinsip dalam mengidentifikasi karakteristik suatu bentuk adalah melalui shape atau
bangunnya. Karena bangun membangunkan hasil konfigurasi yang spesifik dari suatu
bentuk, permukaan dan batas tepinya, sedangkan Rob Krier (1988) mengemukakan :

The basic forms of the elements are : regular or geometric, irregular or


chaotic, or a mixture of both.

Kedua pendapat tersebut prinsipnya mengemukakan bahwa bentuk mempunyai : bangun,


ukuran, warna, tekstur, posisi, orientasi dan visual inertia dan bentuk dasar terdiri dari
elemen-elemen: teratur atau geometris, tidak teratur atau kacau maupun campuran dari
keduanya. Sebagai contoh pada Arsitektur Jawa yang disebutkan pada naskah
Ismunandar, Hamzuri maupun dalam naskah Kawruh Kalang dapat menunjukkan ciri-ciri
bentuk teratur seperti tersebut diatas. Pada ke-tiga naskah disebutkan bahwa, arsitektur
Jawa mempunyai empat macam bentuk, yaitu: Tajug, Joglo, Limasan dan Kampung.
Perbedaan ke-empat bentuk tersebut secara langsung dapat dikenali melalui bentuk
atapnya. Perbedaan bentuk atap itu dikarenakan adanya perbedaan komposisi
konstruksinya. Bentuk mempunyai hubungan dengan konstruksi, seperti disebutkan oleh
Krier (1988) dalam bukunya architectural composition bahwa keberadaan bentuk tidak
terlepas dari konstruksi yang digunakan.

Dalam konteks bahasan geometri konstruksi maka Shape adalah konfigurasi bentuk yang
terdiri dari permukaan dan batas dari permukaan konstruksi tersebut atau dapat disebut
sebagai bangun dari konstruksi. Selanjutnya Ching (1979) mengemukakan
“From geometri we know the regular shape to be the circle, triangle and the
square”.
Dari geometri dapat dilihat bangun yang teratur, dapat bebangun lingkaran, segitiga dan
bujur sangkar. Dalam mengidentifikasi sebuah bentuk (form) maka kita melihat
konfigurasi shape atau bangun yang terdiri dari unsur-unsur geometri yaitu : titik, garis,
bidang dan volume (Krier,1988)

Menurut Chernikov (dalam tipologi geometri oleh Josef Prijotomo) bentuk memiliki
elemen-elemen, 1).elemen bidang terdiri : elemen linier dan bidang , 2). Elemen ruang,
terdiri : bidang, permukaan dan volume . Elemen linier secara absolut mendominasi posisi

38
di dalam semua representasi bentuk. Sebagai sebuah elemen linier dapat diklasifikasikan
dengan cara sebagai berikut :
 Mengikuti karakter gerakan, dari titik menjadi garis : lurus, patah, kurve ,
campuran.
 Mengikuti petunjuk arah : vertikal, horizontal, diagonal.
 Mengikuti posisi : garis pada bidang, garis pada ruang
 Menurut derajad keteraturan: teratur dan tidak teratur
 Mengikuti hubungan dengan garis lain : berpotongan, tidak berpotongan, jalin
menjalin.

Elemen elemen linier ini dapat menciptakan figur. Semua kemungkinan kombinasi dari
elemen linier atau garis dapat digunakan untuk mengekspresikan ide-ide dalam rangkaian
konstruksi. Selain dari itu menurut Chernikov dalam bahasannya tentang decontruction
bentuk juga mempunyai elemen-elemen planar, suatu komposisi dari elemen linier adalah
bebangun bidang yang mana elemen-elemen linier tersebut terdistribusi pada sebuah
bidang permukaaan.
2.2. Tinjauan Ukuran dan Proporsi
Unsur-unsur struktur konstruksi suatu bangunan dipakai untuk menyalurkan beban melalui
tiang-tiang vertikal ke sistem pondasi bangunan. Ukuran dan proporsi unsur-unsur ini
langsung berkaitan dengan tugas struktur yang diperlihatkan dan oleh karenanya dapat
menjadi indikator visual dari ukuran.
Menurut pendapat Langenhin bahwa
“Proportion” is not a “l’art pour l’art”, that means, something only
technical issue, but the core and key of beauty, the connection between the
visible and (currently) invisible, the key to bring unity to variety and variety
into unity,etc., and at least a glimmer of devine harmony and perfectness in
a total unperfect material world.”

Ini dapat dikatakan bahwa proporsi itu, tidak hanya suatu persoalan teknikal, tetapi
merupakan inti dan kunci dari keindahan, kunci yang menghasilkan kesatuan pada
keberagaman dan keberagaman di dalam kesatuan. Dan setidak-tidaknya mendefinisikan
harmoni. Dipertegas oleh Scholfield (1958), bahwa :

39
The first thing to be made clear is that we are concerned only with visual
proportion, with the relationships of the shapes and sizes of objects which
please the eye.

Itu berarti bahwa proporsi merupakan keteraturan yang konsisten diantara hubungan
hubungan elemen-elemen bagunan dengan keseluruhannya pada konstruksi visual.
Sedangkan medan garap proporsi adalah proporsi visual, yaitu pertalian antara bangun
(shape) dan besaran ukuran (sizes) dari obyek, Dengan demikian dapat dikatakan
hubungan elemen-elemen konstruksi bangunan secara keseluruhan pada konstruksi visual
akan menentukan proporsi.

Jika proporsi merupakan hubungan perbandingan diantara ukuran elemen-elemen pada


bangunan itu sendiri, maka skalanya ditentukan oleh perbandingan ukuran relatifnya
terhadap bentuk-bentuk lain di sekelilingnya, seperti disebutkan oleh D.K. Ching (1979)
sebagai berikut :

Size is the real dimension of form its length, width, and depth; while these
dimensions determine the proportions of form, its scale is determined by its
size relative to other forms in its context.

2.3. Tinjauan Orientasi Bentuk


Ching (1979) dalam bukunya Architecture : Form Space and Order yang
membahas tentang bentuk, menyebutkan bahwa orientasi adalah posisi relatif suatu bentuk
terhadap bidang dasar, arah mata angin atau terhadap pandangan seseorang yang
melihatnya. Bangunan dapat diamati secara frontal dari arah depan sebagai tampak depan
dan dari samping sebagai tampak samping. Sebagai contoh dalam bangunan Jawa
penamaan bagi masing-masing tampak frontal yang merupakan tampak depan disebut arah
pamanjang, sedangkan yang merupakan tampak samping dinamakan dengan arah
panyelak.
Penggunaan sebutan pamanjang dan panyelak ini diberlakukan pula bagi segenap
penentuan bagian bangunan yang letaknya searah dengan masing-masing arah itu. Jadi
penyebutan unsur-unsur konstruksi bangunan mengikuti sebutan tersebut sesuai dengan
perletakannya. Dilihat dari arah depan dan arah samping tampilan bangunan Jawa
menunjukkan kesetangkupan (symmetry) pada masing-masing tampaknya. Keadaan yang

40
sedemikan itu memberi peluang pula bagi bangunan Jawa untuk mengenal adanya bagian
ngajeng-wingking dan kiwa-tengen. (Prijotomo,1995). Ini untuk menetapkan arah depan-
belakang serta kiri-kanan dari arsitektur Jawa yang akan mengalami transformasi.

2.4. Tinjauan Geometri


Geometri seperti yang disebut oleh Prijotomo dalam diktatnya tentang tipologi
geometri, merupakan sebuah bidang pengetahuan rasional mengenai rupa dan bangun dari
benda dan alam. Di sini geometri dapat diperlakukan seperti matematika dan bahasa yaitu
sebagai salah satu bentuk media/alat yang dimiliki manusia untuk mengkomunikasikan
pikirannya. Jikalau bahasa adalah alat untuk berkomunikasi dengan huruf dan ujaran, dan
matematika adalah alat berkomunikasi dengan bentuk bilangan dan lambang-lambang
matematikal tertentu, maka geometri adalah alat berkomunikasi dengan menggunakan rupa
dan bangun.. Rob Krier (1988) dalam bahasannya mengenai komposisi arsitektur
menyebutkan bahwa geometri dapat dikategorikan menjadi: bentuk yang teratur dan tidak
teratur serta mempunyai unsur-unsur titik, garis, bidang, solid, ruang interior dan ruang
exterior.
Misalnya di dalam Arsitektur Minahasa mempunyai rupa dan bangun dan
mempunyai unsur-unsur geometris yang dapat dilihat dari tampilannya yang teratur.
Selanjutnya Prijotomo menyebutkan bahwa, pada umumnya rupa dari geometri dapat
dikelompokkan menjadi rupa dwimatra dan rupa yang trimatra. Dalam merinci rupa-rupa
geometrika yang teratur, kerangka pikir matematikal adalah kerangka pikir yang dapat
digunakan. Dengan demikian geometri dapat digunakan untuk merinci rupa dan bangun
dari arsitektur Jawa yang mempunyai rupa dan bangun yang teratur.

Menurut Paul Jacques Grillo (1960), dalam bukunya Form, Function & Design dan
ditulis kembali oleh Prijotomo dalam diktat tipologi geometri, menyederhanakan benda
geometri menjadi dua macam, yaitu benda yang memiliki garis/batang/rusuk yang
discontinuous dan yang satu lagi adalah yang continuous. Penetapan ini dilakukan oleh
Grillo dengan memperhatikan garis/sisi/rusuk/batang yang ada disetiap bangun dan
geometri. Segenap geometri di mana batang/sisinya terpatah-patah disebut sebagai
geometri discontinuous, seperti misalnya persegi panjang, bujur sangkar, kubus dan
piramida. Di situ terjadinya sudut merupakan penentu pokok bagi keberadaan dari
kelompok geometrika yang discontinuous tadi. Dalam matematika, geometrika yang

41
discontinuous ini ditangani oleh aritmetika dan aljabar elementer. Jikalau batang/garis dari
geometri tidak menghasilkan sudut-sudut, tetapi menghasilkan lengkungan (curve), maka
disini geometri itu dikatakan oleh Grillo sebagai yang continuous.

Seperti dikatakan Antoniades (1990), bahwa geometri memberikan kepada kita


kemampuan untuk mengenali dengan baik bentuk-bentuk yang mengandung unsur
geometris, menyelesaikan masalah yang selalu muncul dalam bentuk-bentuk geometris,
sehingga memberikan kita serangkaian bentuk-bentuk yang siap pakai yang dapat di
sesuaikan dalam berbagai macam variasi.

2.5. Tinjauan Tipologi


Istilah “tipologi” dalam kaitannya dengan studi tentang tipe sering dijumpai dalam literatur
sebagai sinonim dengan “type”, digunakan untuk menunjuk pada kelompok tipe atau
kumpulan tipe atau proses yang berpusat pada tipe. “Type” diturunkan dari kata Yunani
“typos” secara ekstrem menunjukkan keluasan makna dan dapat diaplikasikan pada
berbagai nuansa, konsep tipe seperti halnya ide, adalah berhubungan dengan pembuatan
atau pembentukan arsitektur (praxis), berkaitan dengan pemikiran tentang arsitektur (teori)
dan berkaitan dengan pengetahuan dalam arsitektur (riset). Karen (1994) dalam
bahasannya tentang tipe dan tipologi, mengemukakan bahwa tipe menyerupai aspek
klasifikasi, yaitu menggabungkan karakteristik yang sama dari kelompok karya arsitektur
yang mana masing-masing karya tersebut secara detail berbeda antara yang satu dengan
lainnya. Definisi tipe ada dua kelompok konsep utama, yaitu kelompok satu menganggap
tipe sebagai properti bentuk geometris, dan kelompok kedua, tipe dipandang sebagai
atribut bentuk yang berhubungan dan dihubungkan dengan kegunaan dan perkembangan
kesejarahan. Sekaitan dengan studi maka tipe dianggap sebagai properti bentuk geometris.

Tipologi geometris secara mudah dipahami sebagai klasifikasi yang didasarkan pada
konfigurasi, yaitu karakteristik bentuk Euclidian (Karen,1994), sebagai contoh Arsitektur
Jawa dalam hal ini dapat dibedakan menjadi empat tipe, yaitu tipe Tajug, tipe Joglo, tipe
Limasan, dan tipe Kampung. Penyebutan tipe dalam arsitektur Jawa langsung menunjuk
pada nama yang melekat. Setiap tipe secara geometris mempunyai karakteristik pada denah
dan bentuk atapnya.

42
Selanjutnya Karen (1994), menyebutkan bahwa tipologi geometri berguna untuk
memahami teks-teks historis mengenai arsitektur yang memberikan referensi tentang
geometri denah, tampang dan ruang. Tipologi digunakan sebagai alat untuk menganalisa
objek. Dengan tipologi, suatu objek arsitektur dapat dianalisa perubahan-perubahannya
yang berkaitan dengan bangun dasar, sifat dasar, serta proses perkembangan bangun dasar
tersebut. Selain itu tipologi juga dapat digunakan untuk menerangkan perubahan-
perubahan dari suatu tipe, karena suatu tipe akan memiliki ciri-ciri tertentu yang
membedakannya dari tipe yang lain.

2.6. Tinjauan Transformasi


Transformasi merupakan kata yang berasal dari bahasa Inggris transformation yang berarti
perubahan (bentuk). Dengan lebih baku namun masih kurang memasyarakat, kata tersebut
di Indonesiakan menjadi “pemalihan” oleh Josef Prijotomo dalam penjelasannya mengenai
tipologi geometri yang merujuk pada Gerry Stevens (1990). Di sini sesuatu bentuk-
arsitektur dan/atau ruang arsitektur diberi kesempatan untuk berubah maupun beralih.
Sedangkan menurut Antoniades (1990) dalam bukunya Poetict Of Architecture, Theory of
design, dalam bahasannya tentang kreatifitas berarsitektur, transformasi didefinisikan
sebagai proses perubahan bentuk dimana sebuah bentuk dapat mencapai tingkatan tertinggi
dengan jalan menanggapi banyaknya pengaruh-pengaruh eksternal dan internal. Dengan
demikian perubahan bentuk pada arsitektur Jawa dari tipe ke tipe yang lainnya kemudian
dari tipe ke beberapa sub tipe dapat diuraikan melalui transformasi.
Selanjutnya Josef Prijotomo dalam diktatnya mengenai tipologi geometri,
mengemukakan bahwa pengubahan adalah ihwal membuat sebuah benda asal berubah
menjadi benda jadian yang memperlihatkan adanya serangkaian perbedaan dari benda
asalnya. Pengubahan ini ada dua macam yakni yang pertama pengubahan yang menjadikan
benda jadian sudah tidak memperlihatkan/memiliki kesamaan dan/atau keserupaan dengan
benda asalnya. Kemungkinan pengubahan yang kedua adalah yang menjadikan benda
jadian berbeda dari benda asalnya tetapi perbedaan itu masih menunjukkan adanya
petunjuk-petunjuk akan benda asalnya, sedangkan Antoniades (1990) menyebutkan bahwa
ada tiga buah strategi utama dalam transformasi, yaitu :
 Strategi Tradisional : evolusi progresif dari sebuah bentuk melalui penyesuaian
langkah demi langkah terhadap batasan-batasan:
- Eksternal : site, view, orientasi, arah angin, kriteria lingkungan

43
- Internal : fungsi, program ruang, kriteria struktural
- Artistik : kemampuan, kemauan dan sikap arsitek untuk memanipulasi bentuk,
berdampingan dengan sikap terhadap dana dan kriteria pragmatis lainnya
 Strategi peminjaman : meminjam dasar bentuk dari lukisan, patung, obyek,
benda-benda lain, dan mempelajari properti dua dan tiga dimensinya sambil
terus menerus mencari kedalaman interpretasinya dengan memperhatikan
kelayakan aplikasi dan validitasnya. Transformasi peminjaman ini adalah
‘pictorial transferring’ (pemindahan rupa) dan dapat pula dikualifikasikan
sebagai ‘pictorial metaphor’ (metafora rupa).
 De-konstruksi atau De-komposisi: sebuah proses dimana sebuah susunan yang
ada dipisahkan untuk dicari cara baru dalam kombinasinya dan menimbulkan
sebuah kesatuan baru dan tatanan baru dengan strategi struktural dan komposisi
yang berbeda.
Seperti disebutkan pada latar belakang bahwa perubahan dari suatu tipe menjadi tipe dan
sub tipe yang lainnya terjadi karena penggubahan dari geometrinya yaitu terutama
penggubahan pada kerangka atau konstruksi bangunan. Dalam pembahasan geometrika
dan penggubahannya, Mark Wigley mengemukakan pendapat yang dikutip oleh Prijotomo
dalam Tipologi Geometri sebagai berikut :

 Architecture has always been a central cultural institution valued above


all for its provision of stability and order. These qualities are seen to arise
from the geometric purity of its formal composition.
 The architect has always dreamed of pure form, of producing object from
which all instability and disorder have been excluded. Buildings are
constructed by taking simple geometric forms – cubes, cylinders, spheres,
cones, pyramids, and so on—and combining them into stable ensembles (fig1.)
following compositional rules which prevent any one form from conficting
with another. No form is permitted to distort another, all potential conflict is
resolved. The form contribute harmoniously to a unified whole. This
consonant geometric structure becomes the physical structure of the building,
its formal purity is seen as guaranteeing struktural stability.
 Having produced this basic structure, the architecture elaborates it into
final design in a way that preserves itspurity. Any deviation from the
structural order, any impurity, is seen as threatening the formal values of
harmony, unity, and stability, and is therefore insulated from the structure by
being treated as mere ornament. Architecture is a conservative discipline that
produces pure form and protect it from contamination.

44
Kutipan tersebut memperlihatkan bahwa geometrika dan aturan pengkomposisian
merupakan isu dan titik kunci dari penghadiran arsitektur. Kelihatan sekali bagaimana
suatu geometrika harus ditangani oleh perancang. Selanjutnya Josef Prijotomo
menguraikan dari kutipan di atas untuk mengantarkan kedalam pengolahan dan
penggubahan geometrika menjadi rerangka fisik bangunan. Disebutkan bahwa cita-cita
dari penggubahan arsitektur adalah menghadirkan stabilitas dan ketertiban (order).
Meskipun dalam menggubah arsitektur itu hanya menggarap geometrika saja, cita-cita itu
tak dapat dikurangi atau dikesampingkan begitu saja, tak peduli apakan geometrika yang
dipilih untuk digubah itu adalah geometrika pokok (simple form) ataukah geometrika yang
lainnya. Bagaimanakah stabilitas dan ketertiban itu terhadirkan?. Yakni dengan
mengkonstruksi geometrika pokok itu ke dalam serangkaian kombinasi sehingga menjadi
sebuah gabungan atau paduan (ensemble) yang stabil. Manakala geometrika yang terpadu
itu didayagunakan lebih lanjut untuk menggubah bentuk aritektur dan ruang arsitektur.
Selanjutnya perlu digaris bawahi pendapat Wigley tentang fungsi olah geometrika dalam
konstelasi arsitektur secara keseluruhan. Dalam kutipan di atas Wigley mengatakan bahwa
paduan geometrika (The consonant geometric structure) itu mampu menjadi rerangka
ragawiah dari bangunan sekaligus mampu memberikan jaminan atas terciptanya stabilitas
struktural dari bangunan.

Terdapat beberapa teknik dalam melakukan transformasi geometri seperti yang


dikemukakan oleh Steadman (1983) dalam bukunya Architectural Morphology dalam
bahasannya tentang transformasi geometri, bahwa pokok persoalan yang paling mendasar
di dalam morphologi adalah pemecahan , yang lengkapnya ditulis sebagai berikut :
“The splitting into something discrete and something continuous seems to
me a basic issue in all morphology, and the morphology of ornament and
crystals establishes a paragon by the clearcut way in which this
distinction is carried out”.

Dalam hal ini sebuah bentuk dapat dipisahkan diantara sesuatu yang mempunyai ciri-ciri
sendiri dan sesuatu yang menerus/berlanjut dengan masih membawa sifat-sifat asli yang
dimiliki
Beberapa yang terkenal digambarkan oleh Albert Durer dengan menggunakan
metode sifat-sifat dari geometrika yang menjelaskan proporsi dari wajah dan kepala
manusia. perbedaan wajah mungkin menghasilkan perubahan jarak relatif garis-garis grid.

45
Garis-garis grid dapat dirubah dengan prubahan sudut diantara koordinat-koordinat.
Dk.Ching (1979) dalam Architecture : form space and order, menyebutkan hal itu sebagai
dimensional transformation yaitu meliputi : pemanjangan sumbu dan pengubahan sisi
(untuk yang 2-matra) atau rusuk (untuk yang 3-matra).
Ide yang sama dibangun oleh D’Arcy W.Thompson (1961); dalam salah satu
bukunya ‘On Biological Morphology On Growth and Form’ dan “on the Theory of
transformations or the comparison of related forms” yang diungkap dalam buku
Morphology Architecture (Steadman;1983) yaitu membandingkan karakter bentuk dari
binatang-binatang yang mempunyai klas yang sama, hal ini digunakan untuk membuat
beberapa deformasi tipe-tipe dari sistem koordinat empat persegi panjang : dengan
sederhana membuat pembesaran (enlargement) dan pengurangan (reduction), dengan
peregangan atau penguluran (stretching) sepanjang salah satu axis atau lainnya, dengan
pemotongan (shearing), dengan pelbagai transformasi yang berhubungan dengan logaritma
dimensi dari grid, dan selanjutnya bentuk-bentuk kurva yang berbeda dari grid dengan satu
pusat atau lebih.
Beberapa peneliti seperti Eastman, March serta Steadman (1983) menyebutkan
permulaan melakukan transformasi :
We will start with plans organised according to a rectangular
geometry, for the sake simplicity-although the coordinate method is by
no means confined to the description of rectangular forms, as we have
seen from these biological applications.

Pada mulanya transformasi dilakukan dengan mengorganisir denah menurut


geometri empat persegi panjang untuk kepentingan penyederhanaan meskipun metode
koordinat bukan berarti melahirkan diskripsi empat persegi panjang, seperti yang terlihat
pada aplikasi biologi dan geometri lain dapat menambah argumentasi pada waktunya.
Dengan mengabaikan ketebalan dinding dan pembukaan pintu-jendela, konstruksi
direpresentasikan dengan hanya menggunakan satu garis, menentukan sistem koordinat
atau grid pada denah.

Selanjutnya Steadman melakukan perubahan bangun dengan pedoman pada prinsip


kesimetrisan, seperti disebutkan sebagai berikut :

46
The basic consepts of ... symmetry are those of rotations, such as the
symmetry of flower; of inversion, as in the difference between the right
hand and the left hand; and the combination of these with each other and
with direct movements in space.

Konsep dasar dari simetri adalah rotasi, sebagaimana kesimetrisan dari bunga;
pembalikan, seperti di dalam perbedaan diantara tangan kanan dan tangan kiri dan
pengkombinasian ini dengan yang lainnya dan dengan pergerakan langsung di dalam
ruang

Steadman membagi kesimetrisan kedalam : simetri rotasi dan simetri refleksi. Bangun
memiliki sifat-sifat simetri rotasi jika bangun itu diputar di dalam bidang dengan sudut
tertentu melalui pusat rotasi, perputaran bangun tersebut memiliki bekas yang tidak
berubah. Jika suatu bangun memiliki simetri refleksi, harus dibayangkan sebagai satu set
cermin yang tegak lurus pada bidang kertas. Cermin memotong bidang di dalam sebuah
garis refleksi, jika bekas bangun tidak berubah dengan refleksi pada kaca, ini dapat
dikatakan memiliki simetri refleksi. Sebagai contoh Arsitektur Jawa yang terdapat pada
naskah yang diteliti hampir semuanya memperlihatkan prinsip-prinsip bangun yang simetri
sehingga metode kesimetrisan ini dapat dipergunakan untuk mengkaji bangun arsitektur
Jawa
Selanjutnya untuk menghasilkan dan menghitung susunan empat persegi panjang: dengan
metode pemotongan dan penambahan, seperti yang dikemukakan oleh Steadman (1983)
The first attempt historically to devise an algorithm for generating
rectangular dissection was I believe made by myself (Steadman, 1973),
and was conceived very much as a ‘cutting’ or, precisely, a dissection
method. In the original single rectangle, it is possible to make a cut in
either the ‘east-west’ or the’north-south’ sense so as to divide it into two
rectangular parts.
The next step is to take the dissection with two rectangles, and further
subdive one of its component rectangles, so as to give a dissection into
three rectangles.

Berikutnya Steadman menjelaskan dengan mengabaikan dimensi dapat pula dilakukan


pemotongan persegi panjang untuk menghasilkan beberapa kemungkinan susunan persegi
panjang pada batas tepi pemotongan.

47
GAMBAR 1.
DISSECTION DAN ADDITIVE
PENAMBAHAN PADA BATAS TEPI PEMOTONGAN

Teknik transformasi geometrika disebut pula oleh DK. Ching (1979) pada bukunya
Architecture : Form, Space & order, sebagai berikut:

 Dimensional transformation : meliputi : pemanjangan sumbu dan pengubahan sisi


(untuk yang 2-matra) atau rusuk (untuk yang 3-matra). Di sini skala dan proporsi
dijadikan pedomannya, maka pemalihannya dapat dilakukan dengan menggunakan
geometric system, arithmetic system dan harmonic system.
- Subtractive form
- Addititive form, meliputi spatial tention, edge-to-edge contact, face to face contact dan
interlocking
- Penggabungan geometrika seturut sumbu meliputi : cetralized, linear, radial, cluster
form, dan grid-form.

48
 Bila dua atau lebih geometrika diorganisasikan, dapat dilakukan dengan teknik-teknik :
space within a space, interlocking space, adjacent space, dan space linked by common
space.
 Bila dua atau lebih geometrika dihimpun, maka dengan mengunakan sumbu sebagai
pengontorl penghimpunanya dapat diselenggarakan dengan teknik : centralized, linear,
pin-wheel, cluster dan grid.

Lebih lanjut Rob Krier dalam bukunya Architectural Composition menyebutkan teknik
olah geometri sebagai berikut :
Dalam hal sebuah geometrika digarap, dapat ditempuh teknik-teknik kink, bent, fold,
divided, breaking, segmented, partial representation, superimposed, intertwined,
penetration, perspective representation, dan deformed alienation.
Teknik olah geometrika selanjutnya dapat pula dipergunakan untuk memberi variasi
bangun, agar arsitektur berkelanjutan seiring dengan kebutuhan manusia yang semakin
beraneka macam, yaitu teknik olah geometrika menurut Garry Stevens dalam : The
reasoning Architect (1990). Teknik-teknik tersebut antara lain adalah : Translation, glide
translation, rotation, dan reflection, teknik-teknik ini dapat digunakan untuk
menggandakan atau memperbanyak geometrika. Kemudian teknik-teknik olah geometrika
atau transformasi lain adalah : Isometries, similarities, perpectivity and projectivity.

BAB III
Simbol Dalam Arsitektur

3.1 Pengertian Simbol


Simbol atau simbolisasi dapat diartikan secara etimologis yang diambil dari kata kerja
Yunani (Pusat Penelitian LPUI, Proceeding Semiotik, 1992) sumballo (sumballein) yang
berarti: berwawancara, merenungkan, memperbandingkan, bertemu, melemparkan menjadi
satu, menyatukan, sedangkan dalam kamus bahasa Indonesia, simbol adalah identitas, dan
simbolisme adalah perihal pemakaian simbol (lambang) untuk mengekspresikan ide-ide.

49
Dalam arsitektur, istilah ‘simbol’ merupakan salah satu pendekatan rancangan yang
sering dipergunakan untuk memberikan makna bangunan. Kalau melihat perkembangan
simbol pada saat ini, penggunaan simbol sebagai fungsi pada bangunan sudah mulai
dicermati pada perkembangan arsitektur modern yaitu sekitar tahun enam puluhan sampai
tujuh puluhan (Jencks,1980) dan terus berkembang sampai saat ini dengan beragamnya
simbol sebagai identitas bangunan.

Peirce (Noth, 1990)


Peirce mengatakan bahwa simbol merupakan sebuah tanda yang menunjuk pada sebuah
objek menurut gambaran dari suatu aturan/konsepsi yang biasanya merupakan gabungan
dari ide-ide umum sehingga menyebabkan “simbol” itu dapat di interpretasikan terhadap
objek tersebut. Sebuah kata ‘Salib’, bahkan sebuah kata ‘gereja’ bisa merupakan simbol 1
(Jencks, 1980).

3.2. Pengertian Teori Semiotika


Semiotika dihadirkan untuk dapat diterapkan pada arsitektur, karena adanya
anggapan bahwa arsitektur adalah sebagai suatu “bahasa” yang memiliki “tanda”, disusun
menurut aturan tertentu, dengan pendekatan kualitatif. Sedangkan ada anggapan lain
mengatakan bahwa semiotika adalah ilmu yang mempelajari tanda, di dalamnya terdapat
simbol atau dengan kata lain berbicara simbol berarti juga berbicara semiotik (Pusat
Penelitian LPUI, Proceeding Semiotik, 1992).
Kehadiran Arsitektur Modern (pertengahan abad 20) yang bebas konteks (Tjahjono,
1992), dalam arti, kaidahnya dapat diterapkan di mana saja, tidak dapat secara langsung
memberi makna sebagaimana yang dimengerti oleh masyarakat setempat yang telah
memiliki suatu tradisi kuat. Dengan melihat semiotik maka para pakar akan dapat
mengharapkan makna dan cara mengoperasi suatu objek sehingga dapat dipelajari. Hal ini
juga dapat dilihat pemakaian semiotik dalam arsitektur, yaitu oleh para pakar yang hendak
mengangkat arsitektur ke tingkat yang lebih dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.
Sebagai contoh, elemen-elemen yang terdapat dalam interior dan eksterior rumah tinggal
adalah interpretasi dari simbol atau tanda yang mungkin saja berasal dari budaya, adat
istiadat, teknologi maupun material dan lainnya. Oleh karena itu perkembangan semiotik

1
Menurut Peirce, Gereja Gothic benar-benar merupakan sebuah simbol dari agama kristen, karena sebagian
besar masyarakat di Barat mempelajari bentuk bangunan gereja Gothic dengan agama Kristen.

50
pada arsitektur mulai disadari juga sebagai serangkaian tanda dan bahasa yang dapat
dipertanggung jawabkan perancangannya.
Semiotik sebagai kajian sistem tanda ini bisa dipakai dalam uraian arsitektur
semula memang hanya untuk menanggapi krisis makna yang dirasakan oleh beberapa
pakar arsitektur Eropa (Jencks, 1980). Namun dalam perkembangan selanjutnya uraian
semiotik tidak mendapat sambutan seantusias pada waktu hadir pertama kalinya. Ini terjadi
karena adanya perdebatan yang timbul akibat keterbatasan semiotik untuk kajian arsitektur
sebagai suatu disiplin ilmu dan kemustahilan arsitektur dilihat dari sistem ekspresinya
sebagai objek kajian semiotik.
Charles Jencks mengatakan bahwa (Jencks, 1980), esensi arsitektur pada tahun
enam puluhan adalah ‘ruang’, tujuh puluhan adalah ‘tempat’, dan delapan puluhan ada dua
arah, yaitu ‘lingkungan’, dan ‘bahasa’. Memang salah satu segi yang banyak di bahas pada
permulaan tahun delapan puluhan abad ke-20 adalah segi bahasa dan media komunikasi
arsitektur. Dalam segi ini akan dijumpai bahwa arsitektur dan semiotik akan saling
bersinggungan, terlihat seperti benang merah, sehingga dapat memahami apa arti dari
arsitektur terhadap bahasa arsitektur itu sendiri.

3.3. Pengertian Menurut Para Ahli Semiotik


1. Menurut Ferdinand de Saussure (Jencks, 1980)
Saussure mengatakan bahwa Semiologi2 merupakan Semiotika yang membicarakan
tentang (Jencks 1980): “……a science that studies the life of sign within society”.
Dalam hal ini objek yang dipakai oleh seseorang untuk mengungkapkan sesuatu kepada
orang lain adalah sebuah “tanda”, mengungkapkan sesuatu tersebut dalam peran gandanya
sebagai “petanda” atau signified dan sekaligus sebagai “penanda” atau signifier.
Lebih lanjut Saussure (Chandler, 2000) menyatakan bahwa hubungan antara signified dan
signifier dinyatakan dalam sign. Pemunculan dari signified dan signifier (gambar 1) dapat
dibolak-balik tergantung dari kepentingan penggunaannya.

2
Istilah semiologi lazim digunakan di Eropa Kontinental sedangkan di negara-negara Anglo Sakson
digunakan istilah semiotika.
51
SIGN

SIGNIFIED

SIGNIFIER

Gambar 2. Semiotika model Saussure (Chandler, 2000).

2. Menurut Charles Sanders Peirce (Jencks, 1980)


Peirce mendefinisikan Semiotik sebagai : “….the study, of patterned human behavior
in communication in all its modes”.
Dalam konteks ini, objek-objek yang digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi
dapat berperan sebagai “indeks”, “ikon” atau sebagai “simbol”, pada kesempatan yang
berlainan.
“Teori Trikonomi Semiotik Arsitektural” oleh Charles Sanders Peirce
sbb:
Indeks : adalah sesuatu yang mempunyai hubungan sebab akibat (existential
relatian) antara penanda dan petanda. Sebagai contoh, asap dengan api, jejak kaki
dengan kaki, dll. Di dalam arsitektur setiap tanda memiliki elemen-elemen
indikasinya masing-masing misalnya, sebuah pintu kaca menyatakan pintu itu
sendiri dan apa yang ada dibaliknya, arah yang menunjukkan sirkulasi, sebuah
perubahan iklim menunjukkan hubungan dengan angin, sebuah jendela
menunjukkan pemandangan.
Ikon : adalah lebih memperhatikan sebuah perbedaan ukuran penampang yang
berhubungan antara penanda dan petanda. Dapat dilihat pada kebanyakan bentuk
dalam arsitektur yang berhubungan dengan ‘fungsi’, misalnya, bentuk yang
menyerupai kue ‘pie’, bentuk tabung sebagai sirkulasi pada koridor, bentuk yang
struktural menunjukkan sebuah bentuk jembatan.
Stand penjual makanan ‘hot dog’ yang mempunyai bentuk menyerupai ‘hot dog’.
Dan dapat juga pemakaian bentuk dan material yang memperlihatkan kesan emosi
berlebihan misalnya pemakaian warna merah pada material yang menunjukkan
agresifitas.

52
Simbol : tanda yang hadir karena mempunyai hubungan yang sudah disepakati
bersama atau sudah mempunyai janjian (arbitrary relation) antara penanda dan
petanda. Misalnya pemakaian bentuk Doric pada kebanyakan bank di Eropa.

3. Semiotika model Charles Jencks (Jencks, 1980)


a. Penanda dan Petanda (signifiers and signifieds)
Tanda di dalam arsitektur seperti tanda lainnya yang memiliki dua bagian yang
besar yaitu expression atau ‘ekspresi’ (penanda) dan content atau ‘isi’, ‘makna’
(petanda).
Signifiers atau penanda sebagai kaidah ekspresi dapat berupa bentuk, ruang,
permukaan, volume, yang memiliki suprasegmental seperti warna, tekstur, kepadatan.
Selanjutnya terdapat level ke dua pada penanda (strukturalis sistem menurut
Saussurean), yang kadang sering juga sangat penting untuk wawasan arsitektur, akan
tetapi ini lebih kepada ekspresi (suara, bau, dapat di sentuh, kualitas keindahan, panas,
dll).
Signifieds atau petanda yang berhubungan mengenai ide atau pemahaman ide-ide yang
tidak terlalu dalam dan kompleks pengertiannya.
Belakangan ini yang sering di perbincangkan dalam arsitektur adalah pemikiran
mengenai signifieds yaitu konsep-konsep mengenai ruang dan dasar-dasar pemikiran
dari suatu konsep. Aspek sosial, adat istiadat dan kebudayaan juga telah masuk ke
dalam signifieds secara nyata atau samar. Semua ini akan masuk pada tingkat pertama
dalam arti iconological, sedangkan pada bagian tingkat kedua akan disebut iconology.
Kalau pada tingkat kedua lebih menunjuk pada simbolisasi nyata sedangkan pada
tingkat pertama lebih menunjuk pada suatu pesan.

Signified

Relation Relation

Actual function or
Signifier
Objects properties
Segitiga semiotik model Odgen - Richard ini diaplikasikan ke dalam arsitektur oleh Jencks
sehingga referent menjadi actual function or intended meaning, etc.

Gambar.3. Semiotika model Charles Jencks.


53
Antara penanda, petanda dan ‘sesuatu’ atau referent terdapat (R) ‘relation’ pada diagram
garis di atas mempunyai arti yang sangat penting untuk semiotika arsitektur ini, yang
mengacu pada indexical, iconic dan symbolic, yaitu berdasarkan klasifikasi dari Peirce.

b. Konotasi Denotasi (Connotative Denotative) (Jencks, 1980)


Denotasi merupakan suatu komunikasi bahasa terhadap arsitektur yang mempunyai arti
suatu objek arsitektur yang dapat diartikan sebagai bentuk yang menjadi satu dengan
lingkungannya, atau mempunyai arti yang betul, tepat atau sesuai dengan kebiasaan,
semua ini masuk dalam konteks fungsi. Makna denotasi ini bukan hanya mempunyai
arti hubungan antara bentuk dan fungsi tetapi juga menyangkut hubungan antara
konsep pemikiran konvensional yang saling mengikat antara fungsi dan bentuk. Dapat
dilihat misalnya sebuah interpretasi fungsi suatu tangga, yang menurut arti denotasi
adalah sebuah jalan yang menuju ke atas, akan tetapi bukan sampai di situ saja arti
denotasi ini, tetapi bagaimana menemukan sebuah konsep pemikiran yang akan tetap
melihat fungsi yang sebenarnya di dalam merancang sebuah tangga, tetapi lebih
memperhatikan atau mencari jalan terbaik terhadap bagaimana macam-macam bentuk
tangga dapat menyesuaikan dengan lingkungannya atau objeknya.
Konotasi berlainan arti terhadap denotasi, yaitu fungsi dari suatu objek arsitektur yang
mempunyai hubungan arti tidak sesuai dengan lingkungannya atau objeknya juga tidak
sesuai atau tidak tepat dengan pemikiran dari fungsinya. Tetapi kepastian konotasi
dapat dihadirkan dengan sesuatu yang lain, misalnya saja sebuah gua, menurut dugaan
Jencks gua merupakan permulaan dari arsitektur yang mempunyai fungsi denotasi
sebagai sebuah fungsi peneduh.

4. Semiotika model Odgen-Richard (Jencks, 1980)


C. K. Odgen dan I. A. Richard ini teori yang dikenal semantic triangle (gambar 3).
Terdiri dari puncak segitiga terdapat thought or reference, ‘possibility of access’, yaitu
suatu konsep atau pemikiran yang memungkinkan untuk masuk ke dalam suatu akses,
kemudian pada sisi lain berupa symbol yang menunjukkan fakta secara fisikal secara
tidak langsung, sedangkan pada sisi sebelah kanan yaitu referent menunjukkan
faktanya berupa tanda sesuai fungsinya.

54
Thought or reference

symbol referent
Gambar 4. Semantic Triangle C. K. Odgen dan I. A.Richard

Sisi kanan (referent) dapat dihilangkan apabila konsep pemikiran mencapai hasil akhir,
karena referent atau aktualisasi dari simbol atau konsep pemikiran, ini masih terlalu
luas bagi arsitektur, karena referent bisa saja kata, benda, atau lainnya yang masih
bersifat sangat umum.

5. Semiotika model Umberto Eco (Jencks, 1980)


Umberto Eco menganggap fungsi utama bangunan adalah sebagai “denotasi” dan
“konotasi”, dan memisahkan makna arsitektur menjadi makna “primer” dan makna
“sekunder”. Makna primer adalah makna yang disampaikan oleh perancangnya dan
makna sekunder kemudian timbul sesuai dengan interpretasi pengamatnya dan tidak
dalam pengendalian arsiteknya.
Fungsi utama dapat juga dikatakan sebagai tujuan dasar pembuatan bangunan atau
komponennya, sedangkan fungsi sekunder adalah dengan berbagai cara untuk
mewujudkannya yang disesuaikan dengan siapa yang memakainya, hal ini dipengaruhi
juga oleh kualitas tempat dan status obyek di sekitarnya. Semiotika fungsi bangunan
dan komponen pada kenyataannya tidak mudah dipraktekkan, penyebabnya bukan
teknis, melainkan historis/kesejarahan fungsi.
Sebuah hasil karya arsitektur dapat berdiri ribuan tahun lamanya, akan tetapi seringkali
terjadi perubahan fungsi, yang ditentukan sendiri oleh pemakainya tanpa berkonsultasi
langsung dengan arsiteknya karena sudah lama meninggal dunia, sehingga titik tolak
penilaian atas fungsi hasil karya arsitektur tetap bersifat relatif sifatnya, hanya berlaku
secara kontekstual, sebagai contoh dikemukakan kejadian-kejadian seperti yang
dikatakan oleh Eco, adalah sebagai berikut:
a. Ada karya arsitektur yang fungsi utamanya sudah hilang, dan fungsi
sekundernya masih dapat diimajinasikan serta dipakai untuk mempromosikan
fungsi utama yang baru.

55
b. Ada objek yang fungsi utamanya tidak hilang sepanjang waktu,
sedangkan fungsi sekundernya berubah-ubah sesuai konteksnya.
c. Ada karya arsitektur yang fungsi utama dan fungsi sekundernya sama
sekali hilang dan keduanya digantikan dengan fungsi-fungsi baru.
d. Ada objek yang fungsi utamanya tidak berlaku lagi sedangkan fungsi
sekundernya berubah total.
e. Ada objek yang fungsi sekundernya didukung oleh fungsi utama dari
objek yang berasal dari masa lalu, sedang fungsi utama objek tersebut tidak
berubah sepanjang masa.
Atas dasar permasalahan di atas, maka Umberto Eco mengusulkan agar para arsitek selalu
berpedoman pada penggubahan karya-karya pada fungsi primernya “fleksibel” dan
fungsi sekundernya “terbuka”, supaya apapun yang terjadi dikemudian hari, karya-
karya tersebut tetap berkualitas tinggi.

5. Semiotika model Hjemslev (Jencks, 1980)


Menurut Hjemslev arsitektur dibedakan menjadi dua paras atau tingkat yaitu : “paras
isi” (level of content) dan “paras ekspresi” (level of expression) dan kemudian
keduanya dibagi lagi menjadi sub “paras bentuk” (form) dan “paras substansi”
(substance) seperti diagram berikut:

Content s (substance)
f (form)
cultural units possible
Expression f
s
units
Gambar.5. Semiotika model Hjemslev.

 Substance of content (signified) adalah segenap “nilai-nilai, ide-ide dan filosofi” yang
melatar belakangi konsep perwujudan hasil karya arsitektur.
 Form of content (signified) adalah segenap himpunan konsep-konsep perencanaan dan
perancangan arsitektur yang akan ditransformasikan ke dalam karya/wujud arsitektur.

56
 Form of expression (signifier) adalah form of content yang diekspresikan ke dalam
bentuk fisik bangunan baik secara utuh maupun komponennya.
 Substance of expression adalah makna (meaning) yang hadir dibalik form of expression
wujud arsitektur.

3.4. Spesifikasi Kaidah-Kaidah Tanda dari Charles Jencks


Kaidah Arsitektur yang dirumuskan oleh Charles Jencks:
A. Kaidah isi (codes of content) termasuk dalam hubungannya dengan kepentingan
pemakai, arsitektur bisa dianggap sebagai:
1. Tanda jalan kehidupan (a way of life sign),
Yaitu menunjukkan tanda daerah asal suku, tanda kediaman dan
kenyamanan. Kode ini hampir spesifik pada arsitektur meskipun dibagi ke
dalam pemakaian, kepemilikan pribadi dan barang lainnya.
2. Tanda dari aktifitas bangunan (a sign of building activity),
yaitu menunjukkan proses sejarah terjadinya perubahan, keterlibatan
individu, pembelian dan penjualan dsb. Meskipun dihubungkan dengan
tanda pembentuk, jenis ini cukup jelas untuk membenarkan pemisahan.
3. Tanda dari konsep kepercayaan tradisional (a sign of traditional ideas and beliefs).
Ini menunjukkan pengertian yang paling dikenal di dalam sejarah
arsitektural tradisional sehingga akan menunjukkan sebagai iconography.
Semua tanda dalam sistem mengungkapkan dengan jelas daerah ini,
sehingga lebih spesifik pada arsitektur, tapi sifat pentingnya tidak
berkurang.
4. Tanda dari bermacam-macam fungsi (a sign of various functions including use, social
activity, structural capability, environment sekitarvicing, temperature, control and
building tasks such as church, library, factory etc).
termasuk di dalamnya adalah pemakai, aktifitas sosial, kemampuan
struktural, pelayanan lingkungan, kontrol temperatur dan fungsi bangunan
seperti gereja, perpustakaan, pabrik, dsb.
5. Tanda dari arti sosio-anthropologi (a sign of socio-anthropological meaning).
Proxemics, studi mengenai dimensi sosial-spatial (berhubungan dengan
ruang/tempat), menyatakan bagaimana arsitektur memberitahukan jarak
secara konvensional antara orang dan kelompok. Orang menjaga jarak ini

57
tanpa arsitektur, jadi tanda tidak khusus untuk bangunan, tetapi mungkin
sekitaringkali dimonopoli oleh arsitektur.
6. Tanda menunjukkan sebuah status (any city can be read as an economic class and
social icon),
menunjukkan tingkatan kelas ekonomi dan sosial keadaan kota atau
gedung dalam sebuah icon, meskipun dampaknya sedikit bagi orang yang
mengetahui status nilai tanah dan status nilai sosial dengan sistem
semiotik.
7. Tanda dari motivasi psychologi (a sign of psychological motivation),
kadang-kadang tersembunyi, kadang-kadang diperlihatkan, kadang-kadang
jelas. misalnya tanda seksual sering ditemukan tetapi jarang ditandakan.

B. Kaidah ekspresi (codes of expression) atau pengungkapan dalam arsitektur sebagai:


1. Tanda manipulasi spatial (a sign of spatial manipulation) (yang berhubungan dengan
ruang/tempat).
Yaitu adanya permainan elemen-elemen arsitektur di dalam suatu ruang
atau dapat dikatakan juga adanya sentuhan akhir finishing yang dihadirkan
guna untuk menunjukkan identitas suatu ruang, misalnya dinding yang
diekspos atau dinding yang dipoles dan didisain khusus untuk
menunjukkan suatu gaya atau langgam tertentu atau bisa juga kaca yang
dipatri atau digambar yang dapat tembus cahaya sehingga membuat
suasana ruang menjadi sakral.
2. Tanda dari penutup permukaan (a sign of surface covering) (yang berhubungan
dengan dekorasi interior).

58
Melihat perpaduan yang baik antara ruang dengan disain perabot atau
interiornya sehingga akan menghidupkan suasana ruang tersebut. Misalnya
elemen-elemen perabot atau dekorasi seperti warna, tekstur, perabot dan
lainnya disusun dan ditata menjadi satu kesatuan yang utuh.
3. Tanda dari artikulasi formal (a sign of formal articulation) (yang berhubungan
dengan bentuk tiga dimensional).
Yaitu melihat pada volume, massa, densitas, dsb, akan tetapi tetap melihat
pada atau ketiga-tiganya mempunyai proporsi, skala, tekstur, bau, sifat
akustik, dsb., sehingga tetap tercipta suasana yang utuh dan proporsional.

BAB IV
Langgam Dalam Arsitektur

4.1. Pengertian Langgam


Langgam adalah sebutan yang diusulkan untuk mengganti istilah gaya yang dalam bahasa
Inggris disebut style. Sebutan baru ini diusulkan mengingat istilah ‘gaya’ memiliki dua
pengertian yang sangat berbeda satu dari yang lain, yakni gaya = power, force dan gaya =
style.
Langgam adalah rupa/wujud, aturan dan perlengkapan yang khas dari sesuatu masa/jaman
dan tempat yang tertentu. Jadi, langgam Minahasa adalah segenap rupa/wujud, aturan dan
perlengkapan (detil beserta nama-nama tertentu, seperti tangga minahasa, atap berventilasi
59
atau juga kolong lantai) dari masa nusantara. Dan jika pada arsitektur Jawa dikenal dengan
tumpangsari, ganja, atau sirah-gada, dalam hal ini dapat juga ditemui di Madura dan
Sumba langgam atap yang serupa dengan langgam Jawa (Joglo), tetapi memiliki aturan
dan perlengkapan yang berbeda, padahal saat aatu jaman berlakunya langgam Madura dan
langgam Sumba itu bersamaan dengan langgam Jawa.

4.2. Tertib Langgam


Tertib langgam menunjuk pada segenap tatanan, aturan, dan tertib yang diberlakukan pada
sesuatu rupa/wujud, sedemikian rupa sehingga rupa/wujud itu menjadi rupa/wujud tertentu
yang disebut Langgam. Dalam tertib langgam ini sering pula disertakan segenap
perlengkapan dari langgam tadi. Dengan kata lain, tertib langgam adalah komponen aturan
dan/atau perlengkapan dari sebuah langgam; di sini rupa/wujud dari langgam tidak
diikutsertakan. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Petungan di Primbon Jawa
maupun di Kawruh Kalang atau yang terdapat dalam Asta-Kosala dan Asta-Kosali di Bali
adalah contoh dari tertib langgam.

4.3. Lambang Budaya


Langgam yang telah dijadikan sebuah identitas dari sesuatu kebudayaan tertentu dapat
disebut sebagai lambang budaya, akan tetapi sebuah lambang budaya tidak hanya berupa
langgam-langgam arsitektur, sebab berbagai benda/artefak kebuyaan yang lain dapat pula
menjadi lambang budaya. Jadi, langgam adalah salah satu wujud dari lambang budaya.
Dalam hal langgam disebut sebagai lambang budaya, biasanya orang lebih banyak
memberikan perhatian kepada budaya, dan bukan pada rupa/wujud dari langgam. Ini
berbeda dari perhatian terhadap langgam, sebab dalam langgam perhatian terhadap
kebudayaan tidak dimutlakkan untuk disertakan. Dengan kata lain, sebutan lambang
budaya diberikan pada langgam bilamana seseorang berbicara tentang kebudayaan,
sedangkan orang menggunakan sebutan langgam manakala dia berbicara tentang arsitektur
dan kesenian.

4.4. Ragam/Corak
Sesuatu langgam biasanya memiliki serangkaian atau sejumlah varian dalam rupa/wujud,
aturan, dan perlengkapannya. Setiap varian langgam inilah yang disebut dengan corak atau
ragam. Langgam Joglo di Jawa misalnya, memiliki sejumlah corak/ragam seperti ragam

60
Joglo Tawon Boni, Joglo Mangkurat, dan Joglo Ceblokan. Sebutan corak dapat pula secara
khusus diberikan pada varian yang terdapat di sesuatu daerah tertentu, seperti Minahasa
Tondano, Minahasa Woloan dan Minahasa Likupang.

4.5. Lambang
Adalah setiap rupa atau wujud yang memiliki nilai dan makna tertentu. Sebetulnya antara
rupa/wujud yang memiliki nilai dan makna tertentu. Sebetulnya antara rupa/wujud dengan
nilai/makna itu tidak ada hubungan apapun, hanyalah kesepakatan dari sekelompok
masyarakat tertentu, yang memiliki pemilik lambang, yang menjadikan rupa/wujud
dipersatukan dengan nilai/maknanya.
Sebuah langgam memang dapat menjadi sebuah lambang tetapi bisa juga tidak. Sebaliknya
tidak setiap lambang adalah sebuah langgam, meskipun dalam sebuah lambang berlaku
segenap ketentuan tentang komponen langgam (rupa/wujud, aturan, perlengkapan).
Contohnya adalah bendera nasional Indonesia yang hanya berbeda dari bendera nasional
Polandia dalam hal perletakan warna merah dan putihnya.

4.6. Objek Sejarah


Dalam arsitektur, sejarah memiliki peran yang penting dalam kehadiran sesuatu
rupa/wujud arsitektur dan/atau bagian/bagiannya. Sejarah arsitektur Barat misalnya, salah
satu petunjuk bagi periodisasinya ditandai oleh perbedaan rupa/wujud arsitekturnya.
Dengan demikian sebuah langgam dengan serta merta adalah sebuah obyek sejarah,
walaupun tidak setiap obyek sejarah adalah sebuah langgam. Sementara itu langgam sering
pula dijadikan sebuah obyek sejarah dengan menjadikan langgam itu sebagai sebuah
rupa/wujud khas dari sesuatu periode kesejarahan tertentu. Dengan kata lain aspek
saat/masa yang melekat dalam pengertian langgam bisa digunakan utnuk menjadikan
langgam sebagai sebuah obyek sejarah.

4.7. Potensi dan Fungsi Langgam Dalam Arsitektur

61
Dengan memperhatikan segenap pengertiandari sebutan-sebutan di atas, maka sekiranya
kita akan melihat dengan jelas apa sajakah potensi dan fungsi dari langgam di dalam dunia
arsitektur, antara lain :
1. Langgam berpotensi untuk menunjukkan identitas lokalitas/regionalitas sesuatu
arsitektur.
2. Langgam berpotensi untuk menunjukkan periodisasi dari kesejarahan arsitektur
3. Langgam berpotensi untuk menjadi faktor ‘pengajeg’ dari upaya pengubahan
tampilan arsitektur.
4. Langgam berpotensi sebagai sumber gagasan atau tema dalam melakukan
penghadiran dan pengaturan arsitektur.

4.8. Langgam Untuk Perancangan Arsitektur


Perancangan arsitektur dapat dilihat sebagai sebuah pengolahan untuk menghadirkan
perwajahan dan penampilan yang beridentitas atau yang melambangkan budaya. Untuk
pengertian berarsitektur seperti itu, langgam dapat memiliki andil yang cukup besar.

4.9. Langgam dan Arsitektur yang Melambang


Kebanyakan arsitek dalam melaksanakan peng’arsitekturan’ rancangannya
meletakkan atau memperlakukan langgam sebagai sebuah lambang. Dalam hal ini langgam
itu menjadi sebuah sumber berarsitektur yang memiliki dua aspek dasar yang sangat erat
pertaliannya, tetapi sekaligus dua aspek yang saling terpisah.
Aspek pertama adalah aspek rupa dari langgam, yakni aspek langgam sebagai sebuah
benda rinupa, kasat-mata, wujud-wujud yang ragawi. Aspek kedua adalah aspek
makna/nilai/kandungan, yakni aspek langgam sebagai serangkaian aturan, langgam joglo.
Dalam aspek rupa dari langgam joglo itu adalah apa yang seringkali kita jumpai sebagai
bentuk joglo, yang adalah tumpukan dari dua buah trapesoid (dalam rupa yang trimatra),
atau sebagai tumpukan dari dua trapesoid (dalam rupa yang trimatra), atau sebagai
tumpukan dari dua trapesium (dalam rupa yang dwimatra). Dalam aspek nilai/makana

62
adalah aturan-aturan dari joglo, nilai yang tergolong sakral, sistem hirarki yang dikandung
dalam bentuk yang joglo.

rupa (form) bentukan Joglo


JOGLO ---------------------------------------- -----------------------------------------
makna (content / substance) aturan joglo/kesakralan/hirarki

Gambar 6 : Aspek-aspek Langgam dan contoh kasus Langgam Joglo

Rupa bentuk tangga Minahasa


Arsitektur Minahasa
Makna hirarki, fungsi

Gambar 7 : Aspek-aspek Langgam dan contoh kasus Langgam Minahasa


Dalam arsitektur Minahasa tidak dikenal adanya ‘aturan’ di dalam kaidah bentukan
arsitekturnya. Tetapi terbentuknya langgam berdasarkan hirarki dan fungsi.

Asas pertama
DALAM BERARSITEKTUR, ASPEK RUPA DAN ASPEK MAKNA
DARI LANGGAM TIDAK SALING DIPERKAITKAN; KEDUANYA ADALAH
ASPEK YANG SALING TERPISAH.

Di sini kiranya perlu pula dikemukakan adanya kompleks makna yang terdapat
dalam langgam. Kompleks makna ini ternyata menjadi kategori-kategori dalam pemberian
sebutan sebagaimana telah didefinisikan di depan. Kompleks makna ini perlu diketahui
agar perancangan yang diselenggarakan tidak memperadukkan pengertian yang berbeda.

Dengan penetapan adanya dua aspek langgam/lambang sebagaimana terlihat di


atas, langgam dapat dipergunakan untuk digarap sehingga menghasilkan sebuah arsitektur
yang melambang (atau arsitektur yang simbolik), atau arsitektur yang teridentitas (atau
arsitektur yang mencerminkan lokalitas/regionalitas tertentu). Namun begitu, harus
diperhatikan bahwa di sini penggubahan arsitektur itu seharusnya dilakukan dengan hanya
menggarap dan menggubah salah satu aspek langgam/lambang saja.

63
Asas kedua
DALAM MENGGARAP LANGGAM, ASPEK RUPA DAN ASPEK MAKNA
ADALAH DUA ASPEK YANG SALING TERPISAH. JADI, BUKAN
SEBUAH KESATUAN YANG SALING MENGIKAT.

Asas ketiga
PENGGARAPAN LANGGAM DALAM BERARSITEKTUR HANYA
DILAKUKAN TERHADAP SALAH SATU ASPEK SAJA. ASPEK LAINNYA
DIKESAMPINGKAN (TIDAK DIIKUTSERTAKAN) DALAM
PENGGARAPAN.

rupa/wujud/sosok

aspek wujud geometrika

LANGGAM

rerangka (structure)

aspek makna komensurasi / inkomensurasi

aturan/tertib (order)

Gambar 8. Hirarki Langgam

Di dalam praktek berarsitektur, penggarapan aspek-langgam seperti tersebutkan dalam


asas-asas di atas menunjukkan bahwa gubahan arsitektur yang terjadi pastilah akan
memperlihatkan pengubahan terhadap salah satu aspek-langgam, tetapi bersamaan dengan
itu terjadi pula pengajegan terhadap aspek langgam yang lain. Misalnya, kalau yang
digarap adalah aspek makna, maka dalam berarsitektur itu dilakukan pengubahan terhadap
aspek makna, sedangkan aspek rupa sama sekali tidak diubah. Demikian pula dengan hal
yang sebaliknya.

Asas keempat
OLEH KARENA PENGGARAPAN LANGGAM HANYA DILAKUKAN
TERHADAP SALAH SATU ASPEK-LANGGAM SAJA, MAKA ASPEK-
LANGGAM ITU HARUS MENGALAMI PENGUBAHAN-PENGUBAHAN.
DENGAN DEMIKIAN ASPEK LANGGAM INI BERFUNGSI SEBAGAI
UNSUR PERUBAHAN DALAM RANCANGAN ARSITEKTUR.

64
Asas kelima
ASPEK-LANGGAM YANG TIDAK DIGARAP DALAM PENGGUBAHAN
RANCANGAN DENGAN SENDIRINYA TAK AKAN MENGALAMI
PERUBAHAN. DENGAN DEMIKIAN ASPEK-LANGGAM YANG TAK
TERGARAP INI BERFUNGSI SEBAGAI UNSUR PERAJEGAN DALAM
RANCANGAN ARSITEKTUR.

Asas keenam
KARYA ARSITEKTUR YANG TERHASILKAN DARI PENGGUBAHAN
LANGGAM AKAN MEMPERLIHATKAN DUA KEADAAN SECARA
BERSAMAAN. DI SATU PIHAK KARYA INI MEMPERLIHATKAN
ADANYA PERUBAHAN, TETAPI DI PIHAK LAIN KARYA TADI
MEMPERLIHATKAN ADANYA PERAJEGAN.

4.10. Aturan dalam Langgam

Menurut John Summerson (1963), dalam buku The Classical Language of Architecture.;
dan Robert Venturi (1996), dalam buku Complexity and Contradiction in Architecture,
terdapat ‘bakuan’ atau kaidah dan aturan di dalam Langgam Arsitektur Modern, yaitu:
1. Terdapat sumber-sumber arsitektur tertentu yang ditetapkan sebagai bakuan,
patokan dan dasar dari penghadiran wujud dan tampilan, penataan dan komposisi.
2. Pembaruan-pembaruan dalam arsitektur, sebagaimana dikenali lewat hadirnya
langgam baru, sebagian terbesar ditandai oleh adanya (terlihatnya) keajegan
terhadap, sumber, dan sekaligus bersamaan dengan itu terjumpai pula
perubahan/perbedaan dari sumbernya. Jadi terjadilah salah satu manifestasi dari
paradoks arsitektur yakni: ‘perubahan dan perajegan’. Pada kondisi inilah
arsitektur Barat itu menjalani tradisi berarsitekturnya, yakni tradisi untuk
menghadirkan perubahan tanpa meninggalkan sumbernya.
3. sekaitan dengan butir 2) di atas, perkembangan arsitektur barat dapat dibedakan ke
dalam beberapa jenis perkembangan, yakni: pertama, perkembangan yang
menekankan pada perubahan dengan memperhatikan upaya perajegan, sebagai
contoh adalah arsitektur Barok, arsitektur Purna-modern; kedua, perkembangan
yang menekankan perajegan dengan mengadakan upaya-upaya
pengubahan/penyesuaian, sebagai contoh: arsitektur Neo-klasik dan arsitektur
Renaisance; ketiga, perubahan yang diupayakan untuk menghapuskan atau

65
meniadakan keajegannya, sebagai contoh: arsitektur Modern, arsitektur Neo-
modern dan arsitektur Gothik.
4. sumber arsitektur diberi beberapa sebutan, di antaranya adalah sebutan sebagai
arsitektur kalasik, sebagai tipe langgam (klasik) ini berarti bahwa di samping
arsitektur dan tipe langgam kasik terdapat pula sumber-sumber lain. Dan memang
demikian adanya, sebab ada pula arsitektur vernacular, arsitektur missi-Spanyol
(Spanish-mission), ataupun arsitektur Islam.

4.11. Strategi Perlanggaman dalam Perancangan Arsitektur


Perancangan arsitektur dapat dilihat sebagai sebuah pengolahan untuk
menghadirkan perwajahan dan penampilan yang beridentitas atau yang melambang
budaya. Untuk pengertian seperti itu langgam dapat memiliki andil yang cukup besar.
Kebanyakan arsitek dalam melaksanakan pengarsitekturan rancangannya meletakkan atau
memperlakukan langgam sebagai sebuah lambang. Dalam hal ini, langgam itu menjadi
sebuah sumber berarsitektur yang memiliki dua aspek dasar yang sangat erat pertaliaannya,
tetapi sekaligus dua aspek yang saling terpisah. Aspek pertama adalah ‘aspek rupa’ dari
langgam, yakni aspek langgam sebagai sebuah benda rupa, kasat mata, wujud-wujud
ragawi. Aspek kedua adalah aspek ‘nilai / makna / kandungan’, yakni aspek langgam
sebagai serangkaian aturan, tertib, nilai-nilai, simbol-simbol dan makna.
Sehubungan dengan masalah ini Josef Prijotomo mengemukakan beberapa asas
penggunaan dan penggarapan langgam dalam perancangan arsitektur.
1) dalam berarsitektur, aspek rupa dan aspek makna dari langgam tidak saling
diperkaitkan; keduanya adalah aspek yang saling terpisah. Dalam langgam
diketemukan adanya kompleks makna, yang perlu diketahui agar perancangan yang
diselenggarakan tidak mencampuradukkan pengertian yang berbeda. Dengan
penetapan adanya dua aspek langgam/lambang, maka lambang dapat dipergunakan
untuk menghasilkan sebuah arsitektur yang melambang (arsitektur yang simbolik),
atau arsitektur yang beridentitas (arsitektur yang mencerminkan
lokolitas/regionalitas tertentu). Namaun begitu, harus diperhatikan bahwa
pengubahan arsitektur itu seharusnya dilakukan dengan hanya menggarap dan
mengubah salah satu aspek langgam atau lambang saja.
2) dalam menggarap langgam, aspek rupa dan aspek makna adalah dua aspek yang
saling terpisah, bukan sebuah kesatuan yang saling mengikat.

66
3) penggarapan langgam dalam berarsitektur hanya dilakukan terhadap salah satu
aspek saja, aspek lainnya dikesampingkan (tidak diikut sertakan) dalam
penggarapan.
4) oleh karena penggarapan langgam hanya dilakukan terhadap salah satu aspek
langgam saja, maka aspek langgam itu harus mengalami pengubahan-pengubahan.
Dengan demikian aspek langgam ini berfungsi sebagai unsure perubahan dalam
rancangan arsitektur.
5) aspek langgam yang tidak digarap dalam pengubahan rancangan dengan sendirinya
tak akan mengalami perubahan. Dengan demikian aspek-langgam yang tak
tergarap ini berfungsi sebagai unsure perajegan dalam rancangan arsitektur.
6) karya arsitektur yang terhasilkan dari pengubahan langgam akan memperlihatkan
dua keadaan secara bersamaan. Disatu pihak karya ini memperlihatkan adanya
perubahan, tetapi dipihak lain karya tadi memperlihatkan adanya perajegan.

Ada beberapa strategi perlanggaman dalam berarsitektur, namun sebelum menetapkan


strategi yang dipakai, perlu disadari bahwa dalam menggarap perancangan dalam tautan
Lambang Budaya ini, perancang harus sudah mengakrabi hal-hal dan unsur-unsur yaitu: 1)
perbedaan dan persamaan antara ‘kesan’ dan ‘suasana’, dimana yang satu berkaitan dengan
wujud dan yang lain berkaitan dengan ruang. Kesan dan suasana tak akan tergarap bila
perancang tidak menggarap permukaan-permukaan dari segala bagian arsitektur, dan 2)
memiliki pengenalan yang baik terhadap tatanan (=Order) dan langgam arsitektur.
Keduanya merupakan ‘bahan dasar’ dari unsur-unsur arsitektur.
Adapun strategi yang dapat diambil dalam merancang bentukan yang mampu
melambangkan budaya adalah sebagai berikut;
1). Menurut R. A. Wondoamiseno :
Perhatian dicurahkan pada berbagai kemungkinan yang terjadi apabila unsur rupa dari dua
unsur yang berbeda dicoba untuk dipertemukan. Dengan berpegang pada sisi tinjau bahwa
arsitektur modern/kontemporer (AMK) berpeluang untuk dilokalkan (sebuah sikap yang
melawan dogma modernisme itu sendiri), dalam konteks bahasan AML dapat diganti
dengan AMinahasa), strategi yang dapat dilakukan sebagai berikut:
 Penempelan unsur rupa Arsitektur Masa Lalu (AML) pada Arsitektur Masa Kini
(AMK).
 Elemen fisik AML menyatu di dalam AMK.

67
 Elemen wujud AML tidak terlihat jelas dalam AMK.
 Wujud/sosok AML mendominasi AMK.
 Ekspresi wujud/sosok AML menyatu di dalam AMK.

Dalam penggunaan strategi ini tingkat keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh


kemampuan perancang untuk mengolah masing-masing langgam dalam pertemuannya. Di
samping ditentukan oleh dukungan pemahaman perancang terhadap tatanan (Order) dan
karakteristik masing-masing langgam yang dipertemukan. Agar AM (Arsitektur
Minahasa) menyatu di dalam AMK dan bukan merupakan tempelan belaka, maka antara
AM dan AMK secara visual harus merupakan kesatuan (unity). Untuk mendapatkan
kesatuan oleh Wondoamiseno dikemukakan tiga syarat utama yaitu: adanya dominasi,
adanya pengulangan dan adanya kesinambungan dalam komposisi sebagaimana kaidah-
kaidah estetika rancangan.

2). Menurut Josef Prijotomo :


Dengan mengambil dua atau lebih budaya, akan memberi beberapa kemungkinan
penggarapan dengan menggunakan sudut tinjau purna modernisme (catatan: istilah budaya
dan/atau kebudayaan dalam kemungkinan-kemungkinan ini dapat saja diganti dengan
Arsitektur; A dapat diartikan budaya Asing, dan B dapat diartikan sebagai budaya
Minahasa) :
 mencontoh gaya dan kebudayaan A tanpa melakukan pemaduan/pertemuan dengan
budaya B, sehingga dapat pula disebut penjiplakan/pengkopian budaya A.
 hanya mengambil (baca: membuang) sebagian saja bagian-bagian dari kebudayaan
A. yang terhasilkan adalah sebuah arsitektur A yang kehilangan beberapa
bagiannya.
 memadu, mencampur, menjejerkan, atau mengintegrasikan sebagian dari
kebudayaan A dengan sebagian dari gaya dan kebudayaan B.
 menghadirkan gaya dan kebudayaan A sebagai tempelan pada gaya kebudayaan B
(penempelan dari fragmen atau bagian dari gaya dan kebudayaan A).
 sepenuhnya meninggalkan gaya dan kebudayaan A, karena yang dipakai adalah
gaya dan budaya B.
 sepenuhnya meninggalkan gaya dan kebudayaan A, karena yang dipakai adalah
gaya dan budaya B.
68
 menghadirkan gaya dan kebudayaan B, tetapi melakukan ubah-suai (modification)
terhadapnya, sehingga bisa memancarkan kesan, nuansa, atau suasana kebudayaan
A (di sini unsur rupa dari kebudayaan A tidak ditampilkan).
 tidak menghadirkan gaya dan kebudayaan A maupun B, karena yang diambil
adalah justru gaya dan kebudayaan C.

4.12. Olah Langgam dan Lambang dalam Arsitektur


Langgam dan lambang adalah dua unsru arsitektur yang berbeda, namun memiliki
keserupaan.
Langgam menunjuk pada unsur rinupa dari arsitektur yang merupakan unsur
ornamental atau dekoratif. Unsur ini merupakan bagian dari arsitektur yang seringkali
dipergunakan untuk menunjuk pada jatidiri arsitektur, contoh : langgam Renaisans,
langgam modern, langgam Bali.
Lambang adalah unsur rinupa arsitektur yang memiliki makna atau nilai simbolik.
Di sini sesuatu unsur rinupa tidak cukup disebut sebagai lambang dan/atau nilai simbolik
yang melekat padanya, seperti misalnya nilai kultural, nilai kemasyarakatan, nilai
kesejarahan dan sebagainya. Contoh, monumen Yogya kembali melambangkan
kepahlawanan, Gereja Gothik melambangkan Tuhan sebagai sumber terang dunia;
Borobudur melambangkan empat jagad kehidupan manusia.

Dengan demikian, sebuah langgam dapat saja melambangkan sesuatu; sedangkan


lambang tidak harus ditampilkan oleh langgam.

4.13. Beberapa Pertimbangan dalam Olah Langgam dan Olah Lambang


1. Olah Langgam
1. olah langgam merupakan oleh wujud (‘bentuk’), dan oleh karena itu
mensyaratkan mutlaknya penggarapan rancangan secara grafis
2. olah langgam dilakukan dengan arahan agar:
* arsitektur memiliki wujud rinupa pada permukaannya
* arsitektur mampu menampakkan jati diri (etnik, budaya, historik)
3. olah langgam mensyaratkan ditetapkannya langgam asal/sumber. Langgam ini
tidak terbatas hanya pada yunani dan romawi, tetapi semua langgam yang
pernah hadir di arsitektur (bahkan langgam Art Deco dari awal modernisme)

69
4. meskipun olah langgam cenderung merupakan olah permukaan, hendaknya
dihindari pengolahan di mana langgam hadir sebagai tempelan.
5. tindakan pengolahan langgam tidak menolak pandangan bahwa olahan ini tak
ubahnya dengan kegiatan tatarias (make-up), namun bukan sekedar tatarias
demi kejelitaan melainkan tata rias demi fungsi jati diri dari arsitektur.
6. meskipun teknik-teknik oleh geometri dapat dipakai sebagai teknik olah
langgam, olah langgam itu sendiri bukanlah olah geometrika.
7. tidak memutlakkan keharusan untuk terkait dengan olah aktivitas dalam
bangunan, ataupun dengan jenis / tipe peruntukan bangunan.

2. Olah Lambang
1. olah lambang dilakukan dengan meletakkan dominasi perancangan pada fungsi
lambang budaya. Dengan demikian fungsi wadah kegiatan menjadi fungsi yang
subordinat terhadap fungsi lambang budaya tadi.
2. seperti halnya olah langgam, olah lambang juga memutlakkan pekerjaan rupa
grafis.
3. pengolahan dilakukan terhadap aspek rupa atau aspek makna dair lambang.
Dapat saja dilakukan terhadap kedua aspek tadi, asalkan yang terjadi adalah
wujud lambang yang berbeda dari lambang mula/asal. Jadi olah lambang
adalah kegiatan meniru (imitate, mimetic), bukannya menyalin (copy).
4. hasil olah lambang harus menjadikan lambang asal masih dapat ditangkap oleh
awam sebagai kenangan atau pun sebagai rupa nyata (lambang adalah
kepakatan kelompok, bukan temuan perorangan).
5. lambang sumber tidak harus berasal dari arsitektur.

Bagan umum langkah Olah Langgam

LANGGAM ASAL Pengubahan langgam :


 Strategi
 Teknik
* Jencks
* Summerson
LANGGAM BARU

Gambar 9. Bagan Umum Olah Langgam


70
4.14. Teknik Perlambangan
Di dalam teknik transformasi dan modifikasi disain perancangan arsitektur hal lain selain
melakukan ‘cara’ penelusuran transformasi melalui Tipologi Geometri, dapat pula
dilakukan dengan cara teknik Perlambangan dalam Arsitektur.
Dalam hal teknik perlambangan ini setidaknya dikenal 2 (dua) orang yang telah
memperlihatkan serangkaian teknik yang telah dipergunakan dalam arsitektur barat yaitu
John Summerson dan Robert Venturi.
Tetapi sebelum lebih dalam membahas ke dua arsitek tersebut ada baiknya kita juga
mengetahui teknik Perlambangan pada umumnya yang bisa juga dipakai, diantaranya
adalah :
a. mengubah matra yakni dari aslinya yang dwi-matra diubah menjadi tri-
matra, atau sebaliknya, yang asli tri-matra diubah menjadi dwi-matra.
b. Menghadirkan kembali warna dan tekstur, motif maupun pola/patra.
c. Mengubah ukuran melalui ‘pembengkakan’ ataupun melalui ‘pengkurusan’
dengan tidak mengubah proporsinya. Dalam hal-hal tertentu dapat saja proporsi
ikut diubah, namun ini mengandung resiko kehilangan ‘identitas’ yang cukup
besar.
d. Sambil tetap mengikuti tatanan, mengganti bagian-bagian rinupa yang ada
dari tatanan lama dengan beberapa unsur rinupa dari beberapa sumber arsitek
yang berbeda.
e. Melakukan penindihan (tumpang tindih) antara yang satu dengan yang lain.
Dalam menindih dapat disertai dengan pemuntiran, penggeseran, ataupun
pemencengan dari yang ditindihkan terhaap yang ditindih,

4.15. Teknik Perlambangan Budaya menurut John Summerson


John Summerson adalah penulis buku mengenai Arsitektur Klasik, sehingga aturan atau
teknik yang akan dibahas di bawah ini jelas pada ‘posisi’ Arsitektur Klasik, tetapi juga
dapat membantu ‘pengungkapan’ di dalam teori arsitektur lainnya.
Teknik perlambangan dari John Summerson adalah :
1. Ubah Fungsi
Sebuah unsur struktural yang tidak lagi dihadirkan sebagai struktur misalnya tiang.
Sebagai unsur arsitektur yang berfungsi untuk menerima beban dan
71
meneruskannnya, tiang ini dihadirkan kembali tetapi dengan membuang fungsi
tadi. Dalam keadaan terakhir ini, tiang tadi telah berubah menjadi sebuah pilaster,
yakni bentukan yang sama wujudnya dengan tiang tadi, tetapi tidak lagi berfungsi
sebagai penerima dan penerus beban. Meskipun kini telah menjadi pilaster, dia
bukanlah unsur yang non-fungsional. Sebab, seperti halnya tiang yang dapat
berfungsi sebagai unsur estetika, pilaster ini diperlukan kehadirannya karena fungsi
estetika ini. Dalam banyak kasus tidak sedikit unsur bentukan arsitektur dihadirkan
demi fungsi estetika dan fungsi pelambangan budaya dengan menghapuskan
fungsi-fungsi teknis dan mekanis dari unsur tadi.
2. Kombinasi Langgam
Pada sebuah tampang dilakukan penghadiran beberapa wujud langgam yang
berbeda. Misalnya, untuk tiang-tiang dipakai langgam Ionik sedangkan pada
pilasternya dipakaikan langgam Tuskana. Sementara itu, bagian lantai dasar
dinding luarnya diselesaikan dengan rustikasi yang sangat Renaisans dalam
perwatakannya. Jadi, di situ langgam yang berbeda tidak dikumpulkan pada satu
bagian saja (seperti yang terjadi pada langgam komposit). Lihat pula teknik
pencampuran, pelapisan, dan kombinasi yang kompleks.
3. Tertib-langgam sebagai Acuan
Tatanan yang ada dijadikan patokan dan acuan dalam menata gubahan yang
merupakan pembesaran atau pengecilan terhadap patokan dan acuan tadi. Contoh
yang dapat dikemukakan di sini adalah penetapan Portico sebagai patokan dan
acuan. Dengan memperkecil portico dapat diperoleh bingkai arsitektural dari pintu
dan jendela, dan bila diperbesar dapat diperoleh tampak depan dari bangunan.
4. Transposisi
Melakukan pemindahan tempat dari sesuatu unsur, misalnya langgam atau portico,
ke tempat lain dari tampang. Misalnya, portico yang lazimnya terletak di lantai
dasar diangkat penempatannya sehingga berada di lantai atas. Contoh lain,
rustikasi Renaisans yang biasanya diletakkan pada dinding luar dihadirkan pada
dinding dalam, malahan dapat pula hadir di dinding luar tetapi di sekujur tubuh
dinding luar.
5. Artikulasi
Sebuah unsur langgam dihadirkan sebagai ungkapan artikulasi dari gubahan
tampang.

72
6. Irrasionalitas
Sebuah unsur bentukan arsitektur, seperti misalnya langgam, yang aslinya hadri
dalam tampilan yang trimatra, kini dihadirkan secara dwimatra. Demikian pula
sebaliknya.
7. Memecah/menceraikan
Pediman-pediman dari arsitektur Renaisans dan Barok adalah contoh dari
pemecahan dan perceraian. Dalam contoh itu, yang dipecah/diceraikan hanyalah
ujung pedimean saja. Dalam kenyataannya, bisa saja pedimen itu dibelah dan
dipisahkan sekaligus potongannya dipisahkan satu dari yang lain.
8. Distorsi
Sebuah pediman yang aslinya rata seperti pada arsitektur Yunani digembungkan
atau dilengkungkan bagaikan busur panah. Jadi, salah satu sumbu yang lurus kini
dibuat menjadi bengkok. Arsitektur Barok, menggemari cara ini. Bandingkan ini
dengan irrasionalitas, reduksi atau eliminasi. Tapi, jangan dicampuradukkan
dengan eksagerasi.
9. Eksagerasi
Mempergemuk, memperamping, memperpanjang, memperlebar, dan segala
perbuatan mengubah ukuran dapat dimasukkan ke dalam eksagerasi. Di sini yang
diubah ukurannnya adalah unsur bentukan, sehingga dengan perubahan itu
proporsinya tidak lagi sesuai dengan proporsi asal. Bandingkan dengan tertib
langgam sebagai modul.
10. Inventive Modelling
Membentuk langgam dengan menggunakan permainan terang-gelap,
mempermainkan warna, tekstur dan sejenisnya. Di sini langgam dihadirkan dengan
teknik yang tidak ditempuh oleh langgam asli.
11. Pencampuran
Dua atau lebih unsur langgam dihadirkan bersamaan, dan pada tempat yang sama.
Salah satu contoh gampang untuk ini adalah langgam Komposif. Di situ kapital
Ionik ditempatkan di atas kapitak Korinthia sehingga pada satu buah kapital
terdapat dua buah kapital asal (Ionik dan Korinthia)
12. Pelapisan
Langgam yang satu ditumpangkan di depan langgam yang lain, sehingga salah satu
langgam menjadi latar-depan dan langgam yang lainnya menjadi latar-belakang.

73
13. Kombinasi yang Kompleks
Merupakan penggabungan dari pencampuran dan pengkominasian. Bisa pula di
situ ditambahkan teknik-teknik yang lain.
14. Langgam sebagai Tempelan
Meskipun merupakan teknik, tetapi termasuk ke dalam teknik yang tidak
dianjurkan, dan sebaiknya dihindari oleh perancang.
15. Reduksi atau Eliminasi
Yang dihadirkan bukan lagi langgam beserta segenap atributnya, tetapi hanyalah
outline-nya saja, dengan catatan bahwa melalui outline itu saja orang telah dapat
menangkap identitas langgam.

4.16. Teknik Perlanggaman menurut Robert Venturi

Teknik yang lebih langsung, dan sekaligus cukup rinci, sebenarnya dapat dilihat
dari buku Robert Venturi di atas. Berikut ini adalah teknik-teknik yang dikemukakan oleh
Venturi (ditafsir oleh penyusun, bukan asli dari venturi, dan hanya dipetik sebagian saja):
Teknik penyejarahan
1. juxtaposision
2. inflection
3. metamorhposis
4. the incissive separations
5. the exaggerated order, and therefore exaggerated unity
6. circumstantial oppositions in (their) compositions, a play of order and compromise
also supports the idea of renovation in bulding
7. contradictory combinations-choosing “incidents” and situations from common life
(so that) ordinary things should presented to the mind in unusual aspect

74
8. occasional variety and vitality (of our cities), (cannot the architect and planner) by
sligt adjustment to the conventional elements of the townscape, existing or
proposed, promote significant effects? By modifying or adding conventional
elements to still other conventional elements the can, by a twist of context gain a
maximum of effect through a minimum other conventional elements the can, by a
twist of context, gain a maximum of effect through a minimum of means, make us
see the same thins in a different way.
9. contradiction is adapted by accommodating and compromising its elements.
10. contradiction is juxtaposed by using, contrasting, superimposed or adjacent
elements
11. bold contradictions of monumentality and expediency
12. subtle compromise between order and circumstance
13. ambiguous rhythms and vibrant tensions
14. circumstantial exceptions
15. the exception becomes the rule
16. false complexity
17. variations adapted
18. contrast juxtaposed
19. violent adjacencies
20. contradictory directions
21. two dimensional juxtaposed contradiction
22. broken rhythms
23. ambiguous combinations of space and form
24. superimposition
25. superadjacencies and interpenetrations on the same plane
26. spatial depth in a flat wall
27. a wall containing spaces inside itself

4.17. Teori Ornamen dan Dekorasi sebagai Ragam Hias Arsitektur


Ornamen dan dekorasi sebagai bagian dari estetika terapan yang mencakup unsur
karya seni dan unsur desain. Dalam arsitektur istilah estetika terapan ini lebih spesifik
dapat disebut ‘ragam-hias arsitektur’, yakni segenap himpunan unsur-unsur karya seni dan
unsur desain yang dibubuhkan dan ditata dalam arsitektur. Pembubuhan dan penataan

75
tersebut diharapkan secara langsung maupun tidak langsung dapat menarik perhatian
pengamat atau sebagai pembentuk suasana dan identitasnya. Unsur-unsur ragam-hias
setelah ditata dalam suatu komponen arsitektur dapat disebut unsur tata-hias yang juga
sebagai pembentuk tata rupa arsitektural. Sebagai suatu kelengkapan arsitektur, ornamen
dan dekorasi secara khusus menjadi isu yang sangat penting dalam arsitektur modern,
terutama rasionalisme sebagai prinsip arsitektur kontemporer. Hal ini perlu diketahui
untuk dapat menetapkan suatu formulasi berimbang antara rasionalitas dan rasa dalam
melakukan reformasi ornamen dan dekorasi di masa datang.

a. Definisi / Pengertian :
Ragam-hias arsitektur sebagai himpunan berbagai jenis, corak, warna, dari elemen-
elemen hiasan/tata-hias secara garis besar dapat digolongkan menjadi dua kelompok, yaitu
ornamen dan dekorasi :

1) Ornamen :
 adalah setiap detail dari bentuk, tekstur dan warna yang mana dengan sengaja di
manfaatkan atau dibubuhkan untuk menarik perhatian pengamat, (Cyril M. Harris,
Dictionary of Architecture and Construction).
 adalah ragam-hias yang merupakan bagian integral dari konstruksi, lain kata bahwa
ornamen tersebut muncul sebagai akibat penyelesaian konstruksi yang disebut
tektonika, (Rangkuman Materi Kuliah Arsitektur Nusantara, S2-ITS, oleh Josef
Prijotomo).

2). Dekorasi :
 adalah gabungan dari beberapa material, perlengkapan, dan obyek atau benda yang
dipakai untuk menghias bangunan dalam rangka menghadirkan suatu suasana
(atmosphere) atau langgam (style) tertentu, (Cyril M. Harris, Dictionary of
Architecture and Construction).
 adalah unsur-unsur ragam-hias yang dipasang pada komponen-komponen
arsitektur, tapi bukan merupakan bagian integral dari konstruksi dan semata-mata
dipasang sebagai elemen estetis/tata-hias. Dalam kondisi seperti ini elemen-elemen
tersebut dapat dipasang dan dicopot/ditanggalkan kembali (Rangkuman Materi
Kuliah Arsitektur Nusantara S2-ITS, oleh Josef Prijotomo).
76
Bila ditinjau dari tata-cara/teknik tata-hias pada umumnya ada dua cara yang dapat
ditempuh, yakni pemahatan dan pembubuhan. Teknik pemahatan menunjuk pada
penggarapan komponen arsitektural yang dikatakan telah rampung, bila unsur tata-hias
juga telah terampungkan. Dalam teknik ini jelas ada penghapusan atau pembuangan
terhadap bagian permukaan komponen arsitektur. Sementara itu teknik pembubuhan
menunjuk pada pemberian unsur-unsur tata-hias pada bidang-bidang komponen arsitektur
yang dalam perwujudan akhirnya masih terkesan bahwa unsur-unsur tadi dihadirkan
setelah komponen arsitektural terampungkan. Dengan demikian antara bagia yang dipakai
untuk komponen arsitektural dengan bahan untuk unsur tata-hias tidak terlihat ada
perbedaan, bahkan hanya satu bahan yang menerus. Dapat disimpulkan bahwa teknik ini
ditempuh dalam rangka pembuatan keberadaan dari teknik yang dipakainya, oleh
karenanya setiap saat bisa saja dicopot atau ditanggalkan. Jadi teknik ini detempuh adalah
dalam rangka mendekorasi arsitektur.
Selain teknik tersebut di atas secara garis besar obyek ragam hias dalam
wujud/penampilannya dapat dibagi atas dua jenis yaitu :
 Konsepsual Obyek :
Adalah ornamen dan dekorasi yang ditampilkan berupa bagan dan berwujud
abstrak. Ornamen atau dekorasi tersebut dapat muncul sebagai akibat penyelesaian
konstruksi yang disebut tektonika, dalam bentuk pepalihan atau tata-hias abstrak
lainnya.

 Visual Obyek :
Adalah ornamen dan dekorasi yang ditampilkan secara tuntas/terselesaikan/real.
Ragam-hias ini sengaja dipasang pada komponen-komponen arsitektur dalam
bentuk ukiran atau tata-hias lainnya untuk menampilkan suasana tertentu.

4.18. Ragam Hias dan Jati Diri


Dalam upaya mengeneralisasi arsitektur tradisional di Indonesia, Jim Supangkat
menemukan ciri-ciri khasnya sebagai berikut :
 Hampir semua bangunan tradisional merupakan bangunan kayu.
 Hampir semua bangunan tradisional mempunyai tekanan pada atap.

77
 Hampir semua bangunan tradisional memperlihatkan struktur kerangka dengan
empat tiang penyangga utama yang dihubungkan dengan blandar.
 Dinding senantiasa berfungsi sebagai penyekat, dan mempunyai sifat-sifat ringan.
 Menggunakan sistem knock-down pada konstruksi kayunya.

Adanya unsur arsitektur yang selalu ada dan tampil tidak disebutkan oleh Jim
Supangkat sebagai faktor generalisasi adalah ‘ragam-hias’. Disitulah letak pembeda antara
arsitektur tradisonal yang satu dengan yang lainnya.

Demikian pula Josef Prijotomo, mengemukakan beberapa rampatan mengenai


ragam hias sebagai berikut:
 mengenai penempatan ragam-hias (ornamen dan dekorasi), di mana kehadirannya
dapat menjadi petunjuk bagi bagian-bagian mana dari bangunan memiliki tingkat
frekuensi kegiatan yang tinggi dan penting.
 nilai melambang (simbolik) dan sekaligus pembentuk jati-diri. Meskipun nilai
simboliknya sama atau serupa untuk beberapa daerah, namun setiap daerah akan
menggoreskannya dengan corak dan gaya daerah itu sendiri.
 dengan adanya nilai melambang serta tampilnya jati-diri lewat corak dan gaya,
ornamen dan dekorasi ini sekaligus merupakan sebagian dari ensiklopedia tentang
masyarakata pemilik dan penggunanya.
 karena ikatan dengan nilai lambang dan jati-diri itu maka, dalam berornamen dan
berdekorasi itu tidak menolak proses peniruan (dalam arti mimesis). Dengan tidak
ditolaknya peniruan itu tidak sedikit ornamen dan dekorasi menjadi terbuka bagi
stilisasi, hibrida, maupun pencampuran yang serasi dengan unsur-unsur baru.
Pendapat lain dari Prijotomo sendiri adalah dengan menghilangnya ragam hias kita akan
menyaksikan bangunan yang akan menampilkan sosok Melayu.....disitulah kita
saksikan peran yang demikian penting dari ragam hias. Ragam hias justru
berperan sebagai penunjuk utama dari jati diri.

78
BAB V
Arsitektur Modern dan
Arsitektur Post Modern

5.1. Arsitektur Modern


Kata Modern berasal dari kata Latin ‘modo’ yang berarti ‘barusan’, yaitu selalu memiliki
pengertian sesuatu yang baru atau mutakhir, termasuk di dalamnya sikap dan cara berpikir
serta cara bertindak sesuai dengan tuntutan jaman, sehingga sesuatu yang modern selalu
menjadi harapan yang ingin dicapai seseorang. Demikian pula arsitektur modern
diharapkan dapat melahirkan sesuatu nilai-nilai baru yang dapat memenuhi tuntutan
perwadahan dari aktifitas masyarakat yang selalu berkembang dan menginginkan
perbaikan
Untuk menentukan ‘limit’ dari perkembangan arsitektur modern tidaklah mudah, karena
setiap tahap perkembangan suatu jaman memiliki ide-ide baru dan pandangan yang

79
berbeda-neda terhadap apa yang dimaksudkan dengan modern. Sekitar tahun 1127, Suger
sebagai kepala biarawan merekonstruksi Basillika St. Denis di Paris. Gagasan arsitekturnya
belum pernah tampak sebelumnya, suatu ‘tampakan baru’ yang bukan Yunani dan juga
bukan Romawi dan bukan pula Romanesque. Suger sendiri tidak tahu menyebutnya,
hingga dia melirik istilah Latin, ‘opus modernum’. Kemudian kasus lainnya dapat dilihat
pada jaman Renaisance abad ke-17, para arsitek menyebutnya ‘modern’ untuk
membedakan dengan arsitektur Antiquity. Kapan sesungguhnya arsitektur modern mulai
berkembang setiap ahli dan penulis sejarah arsitektur memiliki sudut pandang sendiri-
sendiri.
Sekarang ini bila menyebutkan arsitektur modern berarti yang dimaksud adalah arsitektur
yang berkembang pada akhir abad ke-20 ini. Gagasan modernisme dalam arsitektur ini
berakar dan tumbuh semenjak akhir abad ke-19 di Eropa Barat, yang diakibatkan oleh
berbagai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada masa ini revolusi
industri berkembang dalam bentuk rasionalisasi dan penggunaan mesin secara besar-
besaran. Dari kegiatan ini terjadi ledakan tuntutan jenis/tipologi bangunan yang
sebelumnya tidak pernah ada, misalnya ruang pameran, pabrik, pertokoan besar, stasiun
kereta api, perkantoran, apartemen, bioskop, lapangan terbang dan hangar pesawat.
Berkaitan dengan msalah ini ada dua hal yang perlu dikemukakan yaitu :
1. Timbulnya sistem pabrikasi, di mana bahan bangunan dibuat di pabrik dan
penggunaan mesin-mesin, sehingga pembangunan dapat dilakukan dalam waktu
yang relatif singkat.
2. Terjadinya spesialisasi dan terpisahnya dua keahlian, yaitu arsitek dalam hal
fungsi, ruang dan bentuk di satu pihak dan ahli konstruksi dan struktur dalam hal
perhitungan dan pelaksanaan di pihak lain. Dan lebih menekankan pada
fungsionalisme dan purisme atau kemurnian.
Teori-teori dalam arsitektur terus berkembang, cenderung menekankan pada masalah
fungsi, dan teknologi sejalan dengan budaya modern dan industri. Pada awal tahun 1900-
an, gerakan yang menentang peniruan dan pengulangan bentuk kaidah dan dan teori lama
semakin meluas ke seluruh dunia. Pemasyarakatan fungsionalisme adalah meninggalkan
hiasan atau ornamen bentuk lama dan menonjolkankenyataan kemajuan teknologi,
konstruksi dan struktur bangunan semakin meluas.
Ornamen mulai diyakini sebagai wujud ‘kejahatan arsitektur’, karena tempelan dari ukiran
dianggap ‘kebenaran palsu’. Arsitek proto-rasionalis Austria Adolf Loos yang

80
mengetengahkan model dasar arsitektur modern melalui essei-nya yang sangat terkenal
berjudul ‘Ornament and Crime’. Selanjutnya konsep modernisme semakin mengkristal ke
arah rasionalisme dan fungsionalisme yang digali dari pencerahan (Aufklarung); sebuah
tendensi penggunaan akal budi dalam memenuhi persyaratan utilitarian agar seni
fungsional bagi masyarakat industri bisa dipenuhi.
Dalam pandangan arsitektur modern lebih lanjut (1910-1940-an), terjadi perubahan dalam
pola dan keindahan arsitektur, di mana keindahan timbul semata-mata oleh adanya fungsi
dari elemen-elemen bangunan. Oleh karenanya aliran ini disebut aliran ‘Arsitektur
Fungsionalisme’ dan sering juga disebut ‘rasionalisme’, karena berdasarkan rasio atau
pemikiran yang logis.
Teori bentuk dan konsep lama tentang keindahan, seni termasuk arsitektur masa lalu telah
ditinggalkan, dengan munculnya aliran Cubism. Prinsip dari aliran ini adalah menonjolkan
aspek ruang atau tiga-dimensional dan waktu, di mana hal ini belum pernah ada dalam
aliran klasik-tradisional. Hubungan dengan masa lalu berusaha diputus oleh para arsitek
modern, karena arsitektur tradisional dan klasik dianggap sebagai representasi dan
simbolisme dari penindasan yang dilakukan oleh feodalisme maupun totalitarianisme
arsitokrasi. Para arsitek modern kemudian melahirkan bentuk-bentuk baru yang ‘murni’
tanpa ornamen dan dekorasi selain komponen-komponen bangunan yang masing-masing
berfungsi, sehingga sering juga disebut aliran arsitektur murni atau ‘Purism’. Dalam
penerapan konsep fungsionalisme, purisme mewujudkan bangunan bersih tanpa ragam-
hias, sederhana berupa komposisi bidang, kotak, balok, dan kubus. Bangunan tidak
dipandang sebagai sesuatu hanya satu sisi dengan sisi lainnya lepas, tetapi merupakan satu
kesatuan bentuk yang utuh, sehingga sering juga disebut arsitektur Kubisme (Cubism).
Demikian selanjutnya arsitektur kubisme dan fungsionalisme dengan sangat cepat
berkembang di negara-negara Eropa, Amerika dan bahkan di Asia termasuk Indonesia.
Gerakan dan budaya avant-garde6 memberi kehidupan baru dalam teori,
perencanaan dan pelaksanaan arsitektural. Akhirnya arsitektur modern mengkristal

6
Avant-garde adalah berasal dari bahasa Perancis yang artinya pelopor atau barisan terdepan dalam istilah
kemiliteran. Dalam sejarah kebudayaan istilah tersebut dipakai untuk gerakan dibidang seni, muncul pada
abad ke 19 berkaitan dengan adanya modernisme radikal dalam kehidupan seni, “lepas” dari bentuk dan
gaya masa lampau (klasik) yang sudah berlangsung ratusan tahun. Pada abad ke 20, sebagai
perkembangan seni avant-garde di Barat, muncul berbagai aliran seni modern antara lain Cubism, fauvism,
Dada, existentialism. Pada masa ini pula di Itali muncul aliran futurim, di Jerman lahir aliran Blaue Reiter
(Blue Rider), dan di Belanda kelompok De Stijl menjadi pelopor gerakan modernisme dalam seni termasuk
seni bangunan. Banyak aliran modernisme lainnya timbul pada masa avant-garde dalam berekspresi seni
dan berpengaruh sangat besar pula dalam seni bangunan atau arsitektur.

81
menjadi suatu aliran, pada konggres CIAM tahun 1928 dengan nama ‘International Style’,
penyebarannya sebagai style baru sangat pesat keseluruh dunia.
Kondisi yang melatar-belakangi gerakan ini adalah :
1. Keberhasilan kapitalisme yang melahirkan kelompok menengah yang kaya;
mereka mencari lambang status sebagai orang kaya baru dengan menggunakan
kembali secara campur aduk gaya arsitektur klasik (historicism) yang
ornamental, sehingga arsitektur menjadi eklektik tanpa demengerti makna
sebenarnya (clasicism-manneris, neo-romanesque, neo-baroque, art-nouveau).
2. Kemajuan teknologi yang menghasilkan produk bahan bangunan baru seperti
baja, beton bertulang dan kaca, tetapi bahan ini tidak dianggap dan tidak
digunakan sebagai bahan arsitektur. Sebaliknya, kondisi perumahan buruh
pabrik di kota-kota industri Eropa tidak mengalami perubahan berarti,
keadaannya sangat buruk/kumuh, tidak manusiawi. Masalah kemanusiaan dan
sosial pada jaman ini muncul ditengarai sebagai produk lingkungan yang salah
dan tidak efisien, maka kondisi kehidupan manusia dapat ditingkatkan dengan
arsitektur yang baru (modern) untuk mendapatkan kembali ‘kebenaran yang
fundamental’. Menurut Le Corbusier arsitektur modern adalah reaksi yang
menentang humanitarian liberalism, reformist pluralism; utopia sosial yang
kabur. Dengan pandangan yang diterministik ia menyatakan, bahwa untuk
mengubah kondisi masyarakat agar tidak terjadi revolusi, maka harus ada
pembaruan (reformasi) dalam arsitektur modern.

Arsitek-Arsitek pada masa Arsitektur Modern, antara lain:


1. Louis Sullivan
Dengan konsep ‘ Form Follow Function’, meng-proklamirkan ‘Internasional Style’
2. Frank Llyod Wright
Dengan konsep dasar unsur alam yang dipadukan dengan ‘pengetahuan’ modern.
Karya : Falling Water, Bear Run, Pennsylvania 1936 dan The Solomon and
Guggenheim Museum, New York 1959.
3. Le Corbusier
Dengan konsep dasar penggubahan bentuk dan modern.
Karya : Chapel De Ronchamp, Villa Savoye, Villa di Poissy 1930 dan Gedung
Parlemen di Punjab India 1956

82
4. Walter Gropius
Dengan konsep dasar ketrampilan dan modern
Mendirikan sekolah Arsitektur pertama : Bauhaus pada tahun 1925 di Jerman
5. Ludwig Mies Van der Rohe
Dengan konsep dasar struktur dan modern.
Karya : Seagram Building, New York 1958, Crown Hall, Illinois Institute Of
technology, Chicago, Illinois, 1952

Pengaruh arsitektur Modern tidak hanya berkembang di negara-negara Barat saja tetapi
juga menjalar ke seluruh dunia termasuk Asia seperti Jepang. Salah satu tokoh arsitek yang
terkenal adalah Kenzo Tange dengan karya yang terkenalnya Nasional Gymnasium 1964
Olimpic Games, Jin’nan-cho, Shibuya Ward dan karya lainnya.

5.2. Kritik Terhadap Arsitektur Modern


Pada perkembangannya Arsitektur Modern didominasi oleh totalitarianisme arsitektural
yang tunggal. Pernyataan dari ‘Bentuk mengikuti fungsi’ adalah secara formal menyatakan
‘simplikasi bentuk adalah segala-galanya’, merupakan ‘cara’ arsitektur yang sudah
dikemas dalam bentuk komoditi ‘ekonomis’.
Prinsip disain arsitektur modern didominasi sistem sisi modular dengan kulit penutup
bangunan yang tipis dan sering tanpa artikulasi, misalnya ruang interior terbuka dengan
penyekat fleksibel yang tidak lagi mempersoalkan teori ruang universal yang, mengalir,
orientasi komposisional yang tak simetris dan tak hirarkis tetapi bebas dan seterusnya.
Misi reformasi sosial dari arsitektur modern telah pula dilupakan, usaha pembangunan
permukiman untuk masyarakat dikacaukan dengan perumahan massal. Metoda desain
yang rasional dikacaukan dengan menampakkan bangunan secara rasional. Arsitektur
sebagai obyek dipisahkan dari makna sosial, karena obyek dianggap ahistoris. Makna dan
bentuk tidak saling berkaitan, karena obyek tidak lagi bersubyek. Subyek dari arsitektur

83
dan desain kota bukan lagi masyarakat, tetapi para pemberi pekerjaan, yakni birokrasi dan
para kapitalis.
Demikianlah arah perkembangan arsitektur modern sampai tahun 1960-an telah
menghasilkan suatu karya arsitektur yang oleh Charles Jencks disebut :
1. Terlalu individualistik, abstrak dan tidak sesuai dengan kebutuhan real manusia
karena kuantitatif;
2. Logika mesin dan mekanisme industri menghasilkan lingkungan gedung-gedung
yang tinggi, transparan, monoton seragam. Kota terpenggal-penggal dalam zoning.

Dalam dasawarsa 1970-an perkembangan selanjutnya menemukan karakternya


lewat perdebatan di antara mereka (peserta debat) menganjurkan nilai-nilai yang lazim
mereka sebut ‘modernis’ oleh mereka dikatakan sebagai ‘post-modernis’. Dalam banyak
hal perdebatan ini sebanding dengan pertempuran langgam dari tahun 1920-an dan 1930-
an, yakni pertempuran antara ‘tradisionalisme progresif’ melawan ‘modernisme
revolusioner’.

5.3. Arsitektur Post Modern


Post-modernism adalah istilah untuk menyebut suatu masa atau zaman yang dipakai
berbagai displin untuk menguraikan bentuk budaya dari suatu titik pandang dan yang
berlawanan atau mengganti istilah modernisme. Karena salah satu bentuk ungkapan
bentuk fisik kebudayaan adalah seni, termasuk arsitektur, karena itu Post Modern lebih
banyak digunakan di kebudayaan.
Sebelumnya, dalam arsitektur, titik pandang ini tidak bisa digunakan namun sejak tahun
1970-an istilah ini mulai digunakan untuk menyebut gaya Eklektik yang memilih unsur-
unsur lama dari berbagai periode, terutama unsur klasik, yang dikombinasikan dengan
bentuk-bentuk yang kelihatan aneh. Kemungkinan besar Post Modern berkembang oleh
karena kejenuhan terhadap konsep fungsionalisme yang terlalu mengacu kepada fungsi.
Pemakaian elemen-elemen geometris sederhana terlihat sebagai suatu bentuk yang tidak
funsional tetapi lebih ditonjolkan sebagai unsur penambah keselarasan dalam komposisi
ataupun sebagai dekor.

84
Pada sekitar tahun 1978 di Belanda diadakan seminar Arsitektur Internasional, dan di
situlah pertama kali di ‘proklamasikan’, istilah Post Modern oleh Charles Jencks. Jencks
kemudian mengatakan bahwa pada saat itulah arsitektur sudah ‘mengakhiri’ masa
arsitektur modern dan melewati masa yang baru yaitu arsitektur Post Modern.
Lebih lanjut dikatakan oleh Jencks adalah istilah Post Modern dipakai untuk menyatakan
awal dari ‘modernisasi’. Bukunya pada tahun 1977 ‘The Language of Post Modern
Architecture’, menjadikannya terkenal sebagai analisis postmodernisme dan dan
berhubungan dengan ilmu arsitektur. Dalam buku itu Jencks mengatakan bahwa arsitektur
modernisme sudah mengalami ‘kematian’ pada tanggal 15 Juli 1972. Kemudian pada karya
buku selanjutnya, “what is Post Modernisme ?’ tahun 1986 dikembangkan arti atau
pemahaman postmodernisme secara budaya dan intelektual. Jencks menyebutkan
postmodernisme arsitektur dengan istilah ‘double couding’. Pandangannya tentang
Postmodernisme sebagai sebuah gerakan budaya secara umum dalam ilmu pengetahuan
kontemporer sebagus dalam seni, menghubungkan dengan ‘perbaikan’ postmodernisme
dari David Griffin.
Lahirnya Post Modern menurut Jencks ditandai dengan diledakkannya kompleks rumah
susun Pruitt Igoe oleh Departement of Housing and Urban Development Amerika Serikat
(di mana bangunan tersebut pernah mendapat penghargaan Design Award dari American
Institute of Architects) pada tanggal 15 Juli 1972 pada pukul 15:32, dinyatakan bahwa
Arsitektur Modern telah mati dan lahirlah arsitektur Post Modern.
Kemudian pada awal tahun 80-an, gaya Post Modern juga lebih banyak berkembang dan
dipakai untuk menggambarkan suatu bentuk dasar dalam berbagai anggapan tentang
hubungan antara arsitektur dan masyarakat. Yang dituntut adalah bahwa suatu bentuk dan
penampilan bangunan seharusnya merupakan hasil dari beberapa pendekatan logis dari
program, sifat bahan bangunan dan prosedur konstruksi (hal mana sudah banyak
diabaikan). Post Modern menjadi reaksi dari ilmu pengetahuan yang menjadi konsentrasi
manusia pada budaya rasionalisme yang berkembang di Barat baik di Eropa maupun
Amerika dalam abad terakhir ini. Bentuk lain dari ungkapan konsep Post Modern adalah
sebagai oposisi dari “gerakan modern”.
Secara tidak langsung, Post Modern lebih kurang seperti tujuan utama dari Avant Garde –
suatu gerakan pelopor pembaharuan dan kembali berintegrasi dengan idealisme zaman pra-
modern. Postmodernisme merombak konsep modernisme yang berusaha memutus
hubungan dengan masa seni dan arsitektur klasik.

85
Kadang-kadang Post Modern digambarkan seperti menganjurkan untuk memperbaiki
kembali arti arsitektur dengan kembali mengetengahkan elemen-elemen arsitektur
konvensional dan menjadi lebih pluralistik dengan memperluas perbendaharaan gaya dan
bentuk. Dapat dikatakan bahwa Historicim yang mengambil unsur-unsur lama baik yang
klasik maupun modern adalha awal dari pemikiran dan konsep dari Post Modern.
Berdasarkan refrensi historis dan kemampuan untuk mengadaptasi terjadi proses
pemulihan atau perbaikan dan kesinambungan, Post Modern berusaha membangun
lingkungan dan kembali memperkuat cita rasa tempat-tempat khas tertentu. Walau Charles
Jencks menyatakan aliran baru ini sekedar menampilkan bentuk-bentuk baru yang
menimbulkan kesan aneh dan sering kali melebih-lebihkan sensasi dengan menampilkan
berbagai macam atribut pada bangunan.
Tokoh-tokoh Arsitek Post Modern antara lain adalah :
 Michel Graves, dengan karyanya Portland Building.
 Charles Moore, dengan karyanya Piazza de Italia.
 Paul Rudoph, dengan karyanya School of Art di Yale, 1963.
 Paolo Soleri, dengan kota idealnya Arcosanti, Cordes Junction, Arizona.
 Louis Khan, dengan Salk Institute, La Jolla, California, 1965
 Arata Izosaki di Jepang, dll.
Gerakan serupa muncul di Jepang yang dipelopori oleh arsitek Jepang lainnya yaitu Kisho
Kurokawa yang menyebut gerakannya dengan “Metabolism Architecture”. Salah satu
karyanya yang monumental dan menjadi tanda gerakan ini adalah bangunan tinggi
Nagakin Capsule.

5.4. Perkembangan Arsitektur Post Modern di Indonesia Sejalan dengan


Perkembangan Politik di Indonesia.
Masa Post Modern di Indonesia baru saja kita lewati, yaitu dengan ‘tumbangnya’
‘penguasa tunggal’ dari rezim Suharto. Tepatnya pada tanggal 21 mei 1998 di Jakarta.
Dengan adanya perpindahan kekuasaan Politik dari Penguasa Tunggal ke arah ‘reformasi
atau perubahan’ mengakibatkan roda perkembangan politik juga ikut berubah. Pemikiran
‘singularisme’ dari rezim orde Baru juga ikut tumbang dan lahirlah pemikiran ‘pluralisme’
pada masa sesudah itu.
Dengan tumbangnya pemikiran ‘singularisme’ tersebut menuju ke pemikiran ‘pluralisme’,
maka era arsitektur juga menuju hal yang sama. Di negara ini perubahan politik
86
menyebabkan ikut berubahnya situasi perkembangan segala segmen yang berada di dalam
negara ini.

5.5. Arsitektur yang ber-‘Bhinneka Tunggal Ika’.


Pengertian adanya arsitektur yang mem-bhinneka di sini adalah mempunyai arti bahwa
keberagaman yang menjadi satu kesatuan. Jika sebelumnya pada masa Orde Baru ditandai
dengan berbeda-beda tetapi tetap satu dapat dilihat pada ‘hadirnya’ arsitektur yang berdiri
sendiri-sendiri.
Pada tahun 1983 terjadi peristiwa paling memalukan di dalam sejarah arsitektur Indonesia
yaitu di dalam Simposium Arsitektur Tradisonal yang berlangsung di Hotel Elmi Surabaya.
Pada waktu itu dikeluarkan pernyataan bahwa Arsitektur Indonesia itu mempunyai
perbedaan-perbedaan pada masing-masing bentukan ‘vernakulernya’ dengan demikian
maka ‘harus’ dibuat ‘aturan atau order’ terhadap masing-masing Arsitektur Indonesia
tersebut. Hasil akhir yang dikeluarkan pada waktu itu adalah dikeluarkannya buku
mengenai ‘Arsitektur Tradisonal Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Utara’, dll, di
Indonesia yang berjumlah 27 buah dan juga buku ‘Kompedium Sejarah Arsitektur
Indonesia’.
Banyaknya perubahan pluralisme menyebabkan perubahan pada politik yang berlangsung
sangat cepat. Dengan demikian perubahan-perubahan yangs angat cepat juga dapat dilihat
pada arsitektur di Indonesia saat ini.
Pluralisme sudah masuk di dalam perkembangan arsitektur Post Modern sudah melanda
Indonesia. Tercampur baurnya berbagai nilai dan gaya arsitektur dalam suasana
pertempuran antara yang tradisional/vernakuler dengan modern/universal; sikap antara
konservatif yang cenderung melestarikan dengan sikap modern revolusioner yang
cenderung mengubah tatanan yang sudah ada.
Dengan demikian maka lahirlah suatu masa arsitektur yang juga sering disebut dengan
‘kontemporer’, yaitu adanya kolaborasi-kolaborasi bentukan/formasi dan wujud/bentuk.
Nilai-nilai arsitektur dilihat ‘hanya’ dalam waktu yang sangat singkat.
Sekarang ini contohnya dapat dilihat pada Arsitektur yang berkembang di Manado. Gaya
atau style yang terjadi pada bangunan-bangunan saat ini contohnya yang sedang
berkembang di daerah Reklamasi pantai Manado adalah arsitektur yang berkembang
dengan memakai ‘gaya’ kontemporer dan bersifat sementara. Gaya ‘fashion’ pada daerah
reklamasi yang sedang berkembang di daerah Manado ini menunjukkan bahwa

87
kontemporer sedang berkembang dengan pesatnya dan mengikuti pemikiran ‘pluralisme’
yang sudah ada.
Budi Sukada mengatakan bahwa untuk memasukkan sebuah karya arsitektur ke dalam
kategori arsitektur Post Modern maka karya tersebut setidak-tidaknya harus memiliki enam
atau tujuh ciri-ciri Post Modern dari sekitar 30 tesis Post Modern Charles Jencks, antara
lain:
1. mengandung unsur-unsur komunikatif yang bersifat lokal atau populer
2. membangkitkan kembali kenangan historik
3. berkonteks urban
4. menerapkan kembali teknik ornamentasi
5. bersifat representasional
6. berwujud metaforik (dapat berarti bentuk lain)
7. dihasilkan dari partisipasi
8. mencerminkan aspirasi umum
9. bersifat plural
10. bersifat eklektik, dll.

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, Bhakti, 2001, Kajian Tipologi Arsitektur Rumah Adat Nias, Tesis Pasca
Sarjana Arsitektur ITS, Surabaya
Aminuddin, 1992, Metasemiotik Sebagai Dasar Signifikasi Teks Sastra, Procceding
Seminar Semiotik, LPUI, Jakarta
Bertens, Hans, 1996, ‘The Idea of Postmodern ; A History’, by Routledge, New York,
USA.
Bonta, Juan Pablo, 1979, Architecture and Its Intrepretation, Rizolli International
Publications, New York.
Broadbent, Geoffrey, Jencks, Charles, 1980, Signs, Symbols and Architecture, John Wiley
& Sons Ltd, New York.
Cahoone, Lawrance E., 1996, ‘From Modernisme To Postmodernisme’, Blackwell
Publisher.
Cyril M. Harris, Dictionary of Architecture and Construction, London

88
D., K, Ching, Francis, 1979, ‘Architecture : Form, Space and Order’, Van Nostrand
Reinhold, New York.
Franck Karen, and Lynda S, 1994, ‘Ordering Space; Types in Architecture and Design’,
Van Nostrand Reinhold, New York.
Jencks, Charles, and George Baird 1969, Meaning in Architecture, George
Braziller, New York.
Jencks, Charles, 1975, ‘The Rise of Post-Modern Architecture’, Architectural Association
Quarterly, New York.
Jencks, Charles, 1984, ‘The Language of Post-Modern Architecture’, Rizzoli, New York.
Jencks, Charles, 1997, ‘Theories And Manifesto’, Academy Edition, New York.
Kolb, David, 1990, ‘Postmodern Sophistications : Philosophy, Architecture and
Tradition’, The University of Chicago Press, Chicago, USA.
Leupen Bernard, 1997, ‘Design and Analysis’, Van Nostrand Reinhold, New York
Padovan, Richard, 1999, Proportion : Science, Philosophy, Architecture, E & FN SPON,
London and New York, USA.
Paul-Alan Johnson, 1994, ’The Theory Of Architecture’, Van Nostrand Reinhold, New
York.
Robert Venturi, 1977, ‘Complexity and Contradiction in Architecture’, Architectural
Press Ltd, London
Steadman, J. P., 1983, ‘Architectural Morphology : An Introduction to The Geometry of
Building Plans’, Pion, London.
Stevens, Garry, 1990, ‘The Reasoning Architect : Mathematics and Science in Design’,
McGraw-Hill International Editions, Singapore.
Sugiharto, I. Bambang, 1996, ‘Postmodernisme Tantangan Bagi Filsafat’, Kanisius,
Jakarta.
Summerson John, 1980, The Classical Language of Architecture, Thames and Hudson,
New York
Tungka, Aristotulus E., 2002, Kajian Simbol Dalam Arsitektur Gereja Protestan (GMIM)
di Manado, Tesis Pasca Sarjana Arsitektur ITS, Surabaya
Venturi Robert, 1977, Complexity and Contradiction in Architecture, The Architectural
Press, London
Vidler Anthony, 1976, ‘The Third Typology Opposition’, Winter The MIT Press.

89
Wondoamiseno Ra, 1991, Regionalisme dalam Arsitektur Indonesia, Sebuah Harapan,
Yayasan Rupadatu, Yogjakarta

Materi lainnya,
Prijotomo, Joseph, Materi Kuliah Pasca Sarjana Arsitektur ITS Surabaya, tidak
dipublikasikan.
Tungka, Aristotulus, 2004, Materi Kuliah Teori Arsitektur III Universitas Sam Ratulangi
Manado, tidak dipublikasikan.

90

Anda mungkin juga menyukai