e-ISSN : 2527-8320
Jurnal Akuntansi dan Manajemen (JAM)
Bagian Pengelola Jurnal dan Publikasi (BPJP) Volume 19 Number 02 (Oktober 2022)
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia Jakarta https://doi.org/10.36406/jam.v19i01.533
Submitted : 25 Januari 2022 Revision : 29 September 2022 Published: 04 Oktober 2022
I. PENDAHULUAN
Permasalahan tindak kecurangan dari tahun ke tahun semakin banyak ditemukan bahkan di beberapa
negara termasuk di Indonesia yang seolah-olah sangat biasa terjadi. Tindakan kecurangan yang paling
banyak terjadi adalah di sektor industri ataupun sektor pemerintahan sehingga menjadikan hal tersebut
sebagai salah satu pusat perhatian masyarakat, dan salah satu tindakan kecurangan yang sangat sering
dilakukan adalah tindak korupsi. Menurut Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) Indonesia
Chapter tahun 2016 yang bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pencegahan Kejahatan Kerah Putih
(P3K2P) STIE Perbanas Surabaya melakukan penelitian tentang fraud yang terjadi di Indonesia
mengatakan bahwa dalam penelitiannya banyak responden setuju dengan pernyataan tindakan korupsilah
yang paling sering terjadi di Indonesia. Responden juga menyatakan bahwa kerugian terbesar ada pada
tindak pidana korupsi dengan kerugian setiap tindakan korupsi rata-rata sebesar Rp. 100 juta hingga Rp.
500 juta rupiah perkasus (Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) Indonesia Chapter, 2016).
Transparancy International melakukan survei terhadap Instansi Sektor Publik di Indonesia dikarenakan di
kalangan masyarakat Instansi Sektor Publik masih identik dengan image koruptif. Salah satu instansi sektor
publik yang identik dengan image koruptif adalah Direktorat Jendral Pajak. Menurut Global Corruption
Barometer tahun 2017, Direktorat Jendral Pajak menempati posisi keempat sebagai lembaga yang memiliki
image koruptif di Indonesia.
Masyarakat di Indonesia masih mempertanyakan profesionalisme, moral dan perilaku etis profesi
pegawai pajak. Dikarenakan dari tahun ke tahun semakin banyak tindak korupsi yang dilakukan oleh
pegawai pajak dan hal ini akan sangat berdampak terhadap penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Menurut Faradiza (2017) pegawai pajak membuat masyarakat kehilangan kepercayaan dan citra pegawai
pajak menjadi kurang baik dikarenakan tindak korupsi yang banyak di lakukan oleh oknum pegawai pajak.
Hal tersebut akan berdampak kepada tidak optimalnya penerimaan pajak untuk negara. Maka dari itu
sebaiknya Direktorat Jendral Pajak menerapkan mekanisme whistleblowing untuk mengembalikan
kepercayaan masyarakat terhadap Direktorat Jendral Pajak.
Asas dalam pembuatan whistleblowing, yakni asas pencegahan, deteksi dini, dan penanganan efektif.
Untuk mencegah tindakan korupsi juga bisa dilakukan dengan mengedepankan pendekatan Tindak Pidana
Fiskal terhadap pegawai pajak. Pendekatan fiskal ini tidak menghapuskan kewenangan Direktorat Jendral
Pajak untuk menjatuhkan hukuman disiplin atau meneruskan kasusnya kepada penegak hukum. Hasil dan
perkembangan penanganan laporan juga senantiasa dikomunikasikan dengan whistleblower. Kemudian
dalam penerapan whistleblowing juga diperlukan beberapa faktor pendukung untuk seseorang dalam
menerapkan whistleblowing sehingga tidak akan ada lagi kecurangan yang terjadi di instansi perpajakan.
Beberapa faktor yang dapat mendukung whistleblowing tersebut adalah intensitas moral, sifat
machiavellian dan keseriusan pelanggaran. Intensitas moral merupakan seberapa besar penilaian seseorang
terhadap sesuatu yang dilakukan, semakin banyak tindakan positif yang dilakukan maka semakin besar pula
moral yang dimiliki oleh orang tersebut. Sifat machiavellian adalah tindakan seseorang untuk
memanipulasi orang lain dalam situasi yang melibatkan dua orang atau lebih. Tingkat keseriusan
pelanggaran adalah seberapa besar kerugian yang dialami atas tindakan yang dilakukan dan yang dimaksud
dengan Whistleblowing adalah merupakan tindakan penyampaian suatu informasi yang berkaitan dengan
tindak kecurangan yang akan membahayakan kerahasiaan perusahaan, instansi atau keselamatan tempat
kerja.
Penelitian yang dilakukan oleh Ridho (2016) yang membahas Pengaruh Komitmen Profesional,
Locus of Control, Keseriusan Pelanggaran dan Suku Bangsa Terhadap Intensi Whistleblowing. Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah pegawai negeri sipil bagian keuangan di Satuan Kerja
Perangkat Daerah (SKPD) DKI Jakarta. Jumlah sampel dalam penelitian ini sebanyak 86 responden
dikarenakan cukup untuk mempresentasikan jumlah akuntan di 7 SKPD. Metode pemilihan sampel
penelitian adalah convenience sampling. Data-data di peroleh dari penelitian lapangan, data yang digunakan
adalah data primer dan objek penelitian adalah bagian keuangan di Satuan Kerja Pemerintahan Daerah
(SKPD) DKI Jakarta. Metode statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif, uji
kualitas data, uji asumsi klasik dan uji hipotesis dengan menggunakan perangkat lunak SPSS (Statistical
Package for Social Sciences) dan selanjutnya menggunakan metode analisis regresi linier berganda. Hasil
dari penelitian ini mengungkapkan bahwa komitmen profesional, locus of control dan suku bangsa tidak
berpengaruh terhadap intensi whistleblowing, sedangkan keseriusan pelanggaran berpengaruh terhadap
intensi whistleblowing.
Nugraha (2017) yang membahas Pengaruh Komitmen Profesional, Lingkungan Etika, Sifat
Machiavellian dan Personal Cost Terhadap Intensi Whistleblowing dengan Retaliasi sebagai Variabel
Moderating. Metode pemilihan sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling dan
sampel dalam penelitian ini adalah auditor internal 7 perusahaan perbankan yang berada di kota Pekanbaru
yang minimal bekerja selama 1 tahun. Penelitian ini menggunakan metode metode analisis regresi linier
berganda. Data dalam penelitian ini diolah dengan SPSS versi 20. Hasil penelitian ini mengungkapkan
bahwa komitmen profesional, lingkungan etika, sifat machiavellian dan personal cost berpengaruh terhadap
intensi whistleblowing. Kemudian komitmen profesional, lingkungan etika, sifat machiavellian dan
personal cost berpengaruh terhadap whistleblowing dengan dimoderasi retaliasi.
Demikian juga penelitian yang dilakukan oleh Riandi (2017) yang membahas Pengaruh Sifat
Machiavellian, Lingkungan Etika dan Personal Cost Terhadap Intensi Melakukan Whistleblowing. Sampel
penelitian ini adalah auditor internal yang bekerja pada Bank BRI di provinsi Riau. Pengambilan sampel
dalam penelitian ini menggunakan purposive sampling dan jenis data yang digunakan adalah data primer
yang berasal dari jawaban responden atas kuesioner yang dibagikan. Hasil penelitian ini mengungkapkan
bahwa sifat machiavellian, lingkungan etika dan personal cost berpengaruh terhadap intensi melakukan
whistleblowing.
Sedangkan metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif yang berupa skor atas
jawaban yang diberikan oleh responden terhadap pertanyaan-pertanyaan yang ada didalam kuesioner.
Pendekatan kuantitatif adalah metode yang digunakan untuk penyajian hasil penelitian dalam bentuk angka-
angka atau statistik (Sugiyono, 2016). Pada dasarnya, pendekatan kuantitatif dilakukan pada penelitian
inferensial (dalam rangka menguji hipotesis) dan menyandarkan kesimpulan hasilnya pada suatu
probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil. Dengan metode kuantitatif akan diperoleh signifikan
perbedaan kelompok atau signifikan hubungan antar variabel yang diteliti.
Uji Validitas
Uji validitas merupakan suatu alat untuk mengukur valid atau tidaknya suatu kuesioner (Ghozali,
2016). Suatu kuesioner bisa dikatakan valid apabila pernyataan yang ada didalam kuesioner dapat
mengungkapkan sesuatu yang dapat diukur oleh kuesioner. Uji signifikansi dapat dilakukan dengan cara
membandingkan r hitung dan r tabel untuk degree of freedom (df) = n – 2, dalam hal ini disebut sebagai
jumlah sampel sebanyak 88 , sig α yang akan digunakan adalah 0,05. Setelah itu, dilakukanlah pembadingan
antara r hitung dan r tabel. Jika hasilnya r hitung > r tabel maka pernyataan tersebut dinyatakan valid dan
jika r hitung < r tabel maka pernyataan tersebut dinyatakan tidak valid.
Uji Reliabilitas
Uji reliabilitas adalah uji kekonsistenan instrumen yang menghasilkan ukuran yang konsisten. Suatu
kuesioner dikatakan reliable atau handal jika jawaban dari responden terhadap pernyataan konsisten. Jika
suatu variabel memberikan nilai Cronbach Alpha > 0,60 maka variabel tersebut dikatakan reliabel.
Uji Normalitas
Menurut Ghozali (2018) uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam
suatu model regresi, variabel pengganggu atau residualnya berdistribusi normal atau tidak. Analisis grafik
dan analisis statistik adalah dua cara yang dapat dilakukan untuk mendeteksi variabel pengganggu atau
residualnya berdistribusi normal atau tidak. Didalam analisis grafik pengambilan keputusan dapat dilihat
dengan cara memperhatikan penyebaran titik-titik yang ada disekitar garis diagonal dan mengikuti arah
garis diagonal, maka dapat disimpulkan model regresi memenuhi asumsi normalitas. Kemudian didalam
analisis statistik uji normalitas dapat menggunakan Kolmogorov-Smirnov. Didalam KolmogorovSmirnov
terdapat kriteria nilai signifikan yaitu, jika nilai signifikan > 0,05 maka data berdistribusi normal sedangkan
jika nilai signifikan < 0,05 maka data berdistribusi tidak normal.
Uji Multikolonieritas
Uji multikolonieritas bertujuan untuk melihat ada atau tidaknya korelasi antara
variabel independen dalam suatu model regresi, jika ada korelasi diantara variabel independen,
maka hubungan antara variabel tersebut tidak ortogonal. Variabel ortogonal adalah variabel independen
yang mempunyai nilai korelasi antar variabel independen yang lain sama dengan nol (0). Jika nilai tolerance
≤ 0,1 dan nilai VIF ≤ 10 maka tidak terjadi multikolinieritas.
Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas adalah cara yang paling sering digunakan dalam menentukan apakah suatu
model terbebas dari masalah heteroskedastisitas atau tidak. Uji heteroskedastisitas juga bertujua untuk
menguji model regresi apakah terjadi ketidaksamaan varian dari residual satu pengamatan ke pengamatan
lain. yaitu hanya dengan melihat pada Scatter Plot yang selanjutnya dilihat apakah residual memiliki pola
tertentu atau tidak. Apabila ketika diuji ditemukan pola tertentu seperti (bergelombang, melebar, kemudian
menyempit) maka dinyatakan bahwa telah terjadi heteroskedastisitas dan sebaliknya apabila tidak ada pola
yang jelas, kemudian titik-titik menyebar diatas dan dibawah angka 0 pada sumbu Y, maka tidak terjadi
heteroskedastisitas (Ghozali, 2018).
Uji Statistik t
Uji statistik t menunjukkan seberapa jauh pengaruh dari masing-masing variabel independent
terhadap variabel dependen. Hal tersebut dilakukan untuk membandingkan t hitung dengan t tabel pada
level signifikan 0,05 dan df = n-k-1. Jika t hitung < t tabel atau sig > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa
Ho diterima dan H1 diterima. Justru sebaliknya apabila t hitung > t tabel dan sig < 0,05 maka H1 diterima
Ho ditolak.
Uji Statistik F
Menurut Ghozali (2018) uji statistik F digunakan untuk membuktikan variabel-variabel independen
secara simultan memiliki pengaruh terhadap variabel dependen. Tujuan dari uji statistik F adalah untuk
menguji keseluruhan variabel independen terhadap variabel dependen secara bebas dan signifikan. Uji
statistik mempunyai dasar pengambilan keputusan dalam pengujian yaitu dengan melihat F hitung > F tabel
atau nilai signifikansi F pada output hasil regresi, dimana jika nilai signifikansi yang didapat < 0,05 (α =
5%) maka model regresi dapat digunakan untuk memprediksi variabel dependen yang menandakan bahwa
semua variabel independent secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen atau bisa
dibilang hipotesis diterima. Justru sebaliknya apabila F hitung < F tabel atau signifikansi yang didapat >
0,05 maka dapat disimpulkan bahwa secara simultan variabel independen tidak berpengaruh secara
signifikan terhadap variabel dependen.
Koefisien Determinasi
Koefisien determinasi biasanya dituliskan dengan R2 yang juga menunjukkan seberapa kuat
hubungan antara X dan Y. Menurut Ghozali (2018) kelemahan yang paling mendasar dalam penggunaan
koefisien determinasi biasanya terhadap jumlah variabel independen yang dimasukan ke dalam model.
Kemudian setiap adanya tambahan satu variabel independen, maka akan terjadi peningkatan didalam R2
dan peningkatan tersebut tidak memperdulikan apakah variabel tersebut berpengaruh secara signifikan
terhadap variabel dependen. Maka untuk mencegah hal tersebut terjadi pada penelitian R Square yang harus
digunakan adalah R Square yang sudah disesuaikan atau bisa juga disebut dengan Adjust R Square, karena
harus disesuaikan dengan jumlah variabel yang digunakan dalam penelitian.
Berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa hasil perhitungan uji validitas dari seluruh variabel
penelitian menunjukkan bahwa seluruh butir pernyataan dinyatakan valid karena r hitung untuk semua item
pernyataan dari masing-masing variabel lebih besar dari r tabel pada taraf signifikansi (α) = 5% yaitu
sebesar 0,164. disimpulkan bahwa seluruh butir pernyataan dinyatakan shahih atau valid.
Uji Reliabilitas
Tabel 7. Hasil Uji Reliabilitas
Nilai
Total Reliabilitas Nilai
Variabel Keterangan
Item Cronbach’s Kritis
Alpha
Intensitas Moral 5 0,730 0,60 Reliabel
Sifat Machiavellian 5 0,794 0,60 Reliabel
Keseriusan 2 0,651 0,60 Reliabel
Pelanggaran 2 0,776 0,60 Reliabel
Intensi
5 0,826 0,60 Reliabel
Whistleblowing
Berdasarkan tabel. 7 hasil uji reliabilitas terhadap intensitas moral, sifat machiavellian, keseriusan
pelanggaran dan intensi whistleblowing diperoleh koefisien reliabilitas masing-masing adalah Intensitas
Moral sebesar 0,730, Sifat Machiavellian sebesar 0,794, Keseriusan Pelanggaran Kasus 1 sebesar 0,651,
Keseriusan Pelanggaran Kasus 2 sebesar 0,776 dan Intensi Whistleblowing sebesar 0,826. Nilai tersebut
lebih besar dari nilai kritisi yaitu sebesar 0,60, sehingga seluruh item pernyataan dinyatakan reliabel
(handal). Berdasarkan penjelasan tersebut menunjukkan bahwa setiap item pernyataan yang digunakan
akan memperoleh data yang konsisten dan apabila pernyataan tersebut diajukan kembali maka akan
diperoleh jawaban yang relative sama dengan jawaban sebelumnya.
Unstandardized Residual
N 88
Mean 6,671
Normal Parametersa,b Std. Deviation 5,916
Absolute ,182
Most Extreme Positive ,105
Berdasarkan tabel uji non parametik Kolmogorov-Smirnov dapat disimpulkan bahwa nilai
signifikansi sebesar 0,093 hal ini berarti data memenuhi uji normalitas karena memiliki nilai signifikan
lebih besar dari 0,05 dan berdistribusi normal. Dengan demikian, asumsi atau persyaratan normalitas dalam
regresi sudah terpenuhi dan dapat dilakukan pengujian selanjutnya. Pengambilan keputusan melalui analisis
grafik adalah dengan melihat penyebaran titik-titik disekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis
diagonal, maka model regresi dapat dikatakan memenuhi asumsi normalitas.
Uji Multikolinearitas
Uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi ditemukan adanya
korelasi antar variabel bebas (variabel independen). Dalam model regresi yang baik seharusnya
tidak terjadi korelasi diantara variabel bebas. Jika variabel bebas saling berkorelasi maka variabel-
variabel ini tidak orthogonal. Variabel orthogonal adalah variabel bebas yang nilai korelasi antar
sesamanya sama dengan nol.
Tabel 9. Hasil Uji Multikolinearitas
Model Collinearity Statistics
Tolerance VIF
Komitmen_profesional ,467 4,165
Intensitas_moral ,536 3,342
1
Sifat_machiavellian ,559 4,109
Keseriusan_pelanggaran ,543 4,287
Berdasarkan table di atas nilai tolerance-nya melebihi dari 0,1 (10%) dan nilai VIF kurang dari 10
sehingga model regresi tidak mengalami multikolinearitas. Dapat disimpulkan bahwa tidak ditemukan
adanya hubungan atau korelasi antar variabel-variabel bebas dengan variabel terikat yang digunakan dalam
penelitian ini.
Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Jika variance dari
residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika
berbeda maka disebut heteroskedastisitas. Model regresi yang baik adalah model yang tidak terjadi
heteroskedastisitas atau terjadi homoskedastisitas.
Berdasarkan grafik scatterplot pada gambar diatas dapat dilihat bahwa titiktitik menyebar secara acak,
serta tersebar baik diatas maupun dibawah angka nol pada sumbu Y. Hal ini dapat diasumsikan bahwa tidak
terjadi heteroskedastisitas pada model regresi, sehingga model regresi layak dipakai.
Berdasarkan persamaan regresi tersebut menunjukkan nilai konstanta sebesar 0,608 yang diartikan
bahwa tanpa adanya variabel independen (Intensitas Moral, Sifat Machiavellian dan Keseriusan
Pelanggaran) maka variabel dependen (Intensi Whistleblowing) sudah mencapai nilai 0,608, dengan
katalain apabila pegawai pajak memiliki intensitas moral, sifat machiavellian dan mengetahui seberapa
besar keseriusan pelanggaran maka pegawai pajak akan terdorong untuk melakukan tindakan
whistleblowing. Sebaliknya apabila pegawai pajak tidak memiliki intensitas moral, sifat machiavellian dan
tidak mengetahui keseriusan pelanggaran yang terjadi maka tidak akan ada tindakan whistleblowing
sehingga tindakan kecurangan akan terus terjadi dan menyebabkan kerugian.
Variabel intensitas moral memiliki koefisien regresi sebesar 4,560 yang berarti bahwa apabila
variabel lain memiliki nilai konstan, maka setiap terjadinya kenaikan sebesar satu satuan terhadap nilai
variabel intensitas moral mengakibatkan terjadinya peningkatan nilai variabel intensi whistleblowing
sebesar 4,560 atau bisa juga dikatakan bahwa intensitas moral berpengaruh positif terhadap intensi
whistleblowing. Berdasarkan penjelasan tersebut jika dikaitkan dengan teori maka apabila pegawai pajak
yang memiliki intensitas moral ketika menemukan tindakan kecurangan disekitarnya, maka pegawai pajak
tersebut akan melaporkan tindakan whistleblowing dikarenakan pegawai pajak tersebut memiliki rasa
tanggung jawab untuk menjaga nama baik instansi, perusahaan dan organisasi.
Variabel sifat machiavellian memiliki koefisien regresi sebesar 1,935 yang berarti bahwa apabila
variabel lain memiliki nilai konstan, maka setiap terjadinya kenaikan sebesar satu satuan terhadap nilai
variabel sifat machiavellian mengakibatkan terjadinya peningkatan terhadap nilai variabel intensi
whistleblowing sebesar 1,935 atau bisa juga dikatakan bahwa sifat machiavellian berpengaruh positif
terhadap intensi whistleblowing. Berdasarkan hasil tersebut jika dikaitkan dengan teori yaitu semakin besar
pegawai pajak mempunyai sifat machiavellian maka semakin besar juga keinginan pegawai pajak
melakukan tindakan whistleblowing. Pegawai pajak yang memiliki sifat machiavellian tidak akan
membiarkan nama baik instansi, perusahaan dan organisasinya tercemar buruk karena akan merugikan
berbagai pihak termasuk dirinya sendiri. Maka dari itu pegawai pajak yang memiliki sifat machiavellian
akan cenderung melakukan tindakan whistleblowing ketika adanya tindak kecurangan.
Variabel keseriusan pelanggaran memiliki koefisien regresi sebesar 2,087 yang berarti bahwa apabila
variabel lain memiliki nilai konstan, maka setiap terjadinya kenaikan sebesar satu satuan terhadap nilai
variabel keseriusan pelanggaran mengakibatkan terjadinya peningkatan terhadap variabel intensi
whistleblowing sebesar 2,087 atau bisa juga dikatakan bahwa keseriusan pelanggaran berpengaruh positif
terhadap intensi whistleblowing. Berdasarkan dengan hasil tersebut jika dikaitkan dengan teori yaitu
keseriusan pelanggaran akan sangat berdampak besar bagi suatu instansi, perusahaan dan organisasi maka
dari itu niat pegawai pajak untuk melakukan tindakan whistleblowing sangat tinggi. Hal tersebut dilakukan
untuk menjaga nama baik instansi, perusahaan dan organisasi. Bukan hanya itu saja, keseriusan pelanggaran
akan sangat merugikan instansi, perusahaan dan organisasi bahkan masyarakat pun akan sangat dirugikan.
Maka dari itu semakin tinggi tingkat keseriusan pelanggaran maka semakin tinggi juga niat pegawai pajak
dalam melakukan tindakan whistleblowing.
Uji Statistik t
Uji statistik t dilakukan dengan bertujuan untuk mengetahui apakah pengaruh masing-masing variabel
independen (X) terhadap variabel dependen (Y) yang dapat diuji pada tingkat signifikan 0,05. Berikut hasil
uji t yang dapat dilihat didalam tabel dibawah ini:
Berdasarkan tabel 11 diatas, dengan menggunakan analisis regresi linier berganda maka diperoleh hasil
variabel intensitas moral memperoleh nilai t hitung sebesar 2,682 nilai ini lebih besar dari nilai t tabel 1,66235
(t hitung > t tabel) dan nilai signifikansi pada tabel diatas sebesar 0,026 dimana lebih kecil dari 0,05 maka H 0
ditolak dan Ha diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa intensitas moral berpengaruh signifikan terhadap
intensi whistleblowing. Berdasarkan penjelasan tersebut jika dikaitkan dengan teori yaitu pegawai pajak
yang memiliki intensitas moral akan melakukan tindakan whistleblowing apabila adanya tindakan
kecurangan. Pegawai pajak yang memiliki intensitas moral cenderung menghindari tindakan yang
melanggar aturan atau norma dikarenakan mereka mengetahui dampak yang akan mereka terima apabila
melanggar peraturan atau norma yang berlaku. Maka dari itu pegawai pajak yang memiliki intensitas moral
yang tinggi akan melakukan tindakan whistleblowing untuk mencegah munculnya dampak yang merugikan
Variabel sifat machiavellian memperoleh nilai t hitung sebesar 1,829 nilai ini lebih besar dari nilai t tabel
1,66235 (t hitung > t tabel) dan nilai signifikansi pada tabel diatas sebesar 0,039 dimana lebih kecil dari 0,05
maka H0 ditolak dan Ha diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa sifat machiavellian berpengaruh
signifikan terhadap intensi whistleblowing. Jika dikaitkan dengan teori, pegawai pajak yang memiliki sifat
machiavellian tidak pernah akan membiarkan dirinya sendiri mengalami kerugian, apalagi kerugian tersebut
dilakukan oleh orang lain. Hal tersebut mendorong pegawai pajak untuk melakukan tindakan
whistleblowing.
Variabel keseriusan pelanggaran memperoleh nilai t hitung sebesar 2,203 nilai ini lebih besar dari nilai t
tabel 1,66235 (t hitung > t tabel) dan nilai signifikansi pada tabel diatas sebesar 0,000 dimana lebih kecil dari 0,05
maka H0 ditolak dan Ha diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa keseriusan pelanggaran berpengaruh
signifikan terhadap intensi whistleblowing. Jika dikaitkan dengan teori, keseriusan pelanggaran akan sangat
berdampak bagi suatu instansi, perusahaan atau organisasi apabila tidak dicegah, hal tersebut sangat
mendorong pegawai pajak untuk melakukan tindakan whistleblowing. Maka semakin tinggi tingkat
keseriusan pelanggaran maka semakin tinggi juga niat pegawai pajak untuk melakukan tindakan
whistleblowing.
Uji Statistik F
Uji secara simultan menggunakan uji F yaitu untuk mengetahui apakah variabel independen (Intensitas
Moral, Sifat Machiavellian dan Keseriusan Pelanggaran) secara simultan atau bersama-sama dapat
mempengaruhi variabel dependen (Intensi Whistleblowing).
Total 696,107 87
b. Dependent Variable: Intensi_whistleblowing
c. Predictors: (Constant), Intensitas _moral, Sifat_machiavellian, Keseriusan_pelanggaran
Sumber: Output SPSS (data diolah, 2020)
Berdasarkan kolom sig. (signifikan) pada tabel hasil uji F diatas, diperoleh sig. 0,023 lebih kecil dari
probabilitas 0,05 atau 0,023 < 0,05, maka H 0 ditolak dan Ha diterima. Maka dapat disimpulkan bahwa
Intensitas Moral, Sifat Machiavellian dan Keseriusan Pelanggaran berpengaruh signifikan terhadap Intensi
Whistleblowing. Berdasarkan penjelasan tersebut jika dikaitkan dengan teori yaitu ketika pegawai pajak
memiliki komitmen yang tinggi terhadap intensitas moral, sifat machiavellian dan melihat seberapa besar
tingkat keseriusan pelanggarannya akan sangat mendorong niat pegawai pajak untuk melakukan tindakan
whistleblowing. Hal tersebut akan sangat membantu bagi suatu instansi, perusahaan dan organisasi untuk
menghindari timbulnya niat seseorang untuk melakukan tindakan kecurangan
Square Estimate
Berdasarkan tabel 13 variabel intensitas moral, sifat machiavellian dan keseriusan pelanggaran secara
simultan (bersama-sama) berpengaruh terhadap intensi whistleblowing sebesar 0,755 atau 76% sedangkan
sisanya dipengaruhi oleh variabel lain diluar persamaan regresi ini atau variabel yang tidak diteliti. Bila
dikaitkan dengan teori yaitu intensitas moral, sifat machiavellian dan keseriusan pelanggaran akan sangat
mempengaruhi pegawai pajak untuk melakukan tindakan whistleblowing. Akan tetapi diluar faktor-faktor
yang digunakan dalam penelitian, ada juga sebagian faktor yang dapat mempengaruhi pegawai pajak dalam
melakukan intensi whistleblowing.
whistleblowing. Tindakan whistleblowing yang dilakukan oleh pegawai pajak mempunyai tujuan untuk
mencegah terjadi kerugian atau menjaga nama baik bagi suatu instansi, perusahaan atau organisasi. Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Prasetyo (2017) yang menunjukkan bahwa
keseriusan pelanggaran berpengaruh signifikan terhadap intensi whistleblowing.
Pengaruh Intensitas Moral, Sifat Machiavellian dan Keseriusan Pelanggaran Terhadap Intensi
Whistleblowing
Berdasarkan hasil perhitungan statistik pada tabel 5 bahwa diketahui diperoleh sig. 0,023 lebih kecil
dari probabilitas 0,05 atau 0,023 < 0,05. Maka H0 ditolak dan Ha diterima. Hal ini menunjukkan bahwa
secara simultan hasil dari penelitian ini mendukung mengenai Komitmen Profesional, Intensitas Moral,
Sifat Machiavellian dan Keseriusan Pelanggaran Terhadap Intensitas Whistleblowing. Maka dari itu dapat
dikatakan bahwa untuk mendorong pegawai pajak melakukan tindakan whistleblowing, pegawai pajak
harus memiliki komitmen profesional, intensitas moral dan sifat machiavellian serta mengetahui seberapa
besar tingkat keseriusan pelanggaran yang terjadi sehingga bisa mengurangi tindakan kecurangan yang
terjadi di instansi, perusahaan dan organisasi.
IV. SIMPULAN
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan hasil penelitian, intensitas moral berpengaruh signifikan terhadap intensi whistleblowing.
Semakin besar intensitas moral yang dimiliki pegawai pajak maka semakin besar juga keinginan
pegawai pajak dalam melakukan tindakan whistleblowing, dikarenakan nilai moral sangat berpengaruh
untuk mencegah terjadinya niat buruk.
2. Berdasarkan hasil penelitian, sifat machiavellian berpengaruh signifikan terhadap intensi
whistleblowing. Semakin besar sifat machiavellian yang dimiliki pegawai pajak maka semakin
berkeinginan kuat pegawai pajak tersebut melakukan tindakan whistleblowing, dikarenakan pegawai
pajak yang memiliki sifat machiavellian tidak akan membiarkan dirinya merasakan kerugian akibat
tindakan kecurangan.
3. Berdasarkan hasil penelitian, keseriusan pelanggaran berpengaruh signifikan terhadap intensi
whistleblowing. Keseriusan pelanggaran akan sangat berdampak besar bagi kerugian instansi,
perusahaan atau organisasi, semakin tinggi keseriusan pelanggaran maka semakin tinggi juga keinginan
seseorang untuk melakukan tindakan whistleblowing, dikarenakan untuk menjaga nama baik instansi,
perusahaan dan organisasi serta mencegah kerugian yang terjadi terhadap dirinya sendiri.
4. Berdasarkan hasil penelitian, komitmen profesional, intensitas moral, sifat machiavellian dan keseriusan
pelanggaran berpengaruh signifikan terhadap intensi whistleblowing. Dengan adanya komitmen
profesional, intensitas moral, sifat machiavellian dan mengetahui seberapa besar keseriusan pelanggaran
yang dilakukan maka semakin mengindikasikan pegawai pajak dalam melakukan tindakan
whistleblowing.
Keterbatasan Penelitian
Selama melakukan penelitian ini terdapat banyak keterbatasan yang dihadapi oleh peneliti dan
keterbatasan tersebut dirangkum sebagai berikut:
1. Ruang lingkup (penetapan wilayah) dalam penelitian ini sangat terbatas, dikarenakan hanya di wilayah
Jakarta Timur.
2. Dikarenakan kondisi saat dilakukannya penelitian ini sedang terjadi wabah, sehingga peneliti sangat
kesulitan untuk mendapatkan data sesuai dengan sampel yang sudah di tentukan dikarenakan adanya
sistem kerja WFO dan WFH.
DAFTAR PUSTAKA
Association of Certified Fraud Examiners. 2017. Survai Fraud Indonesia. ACFE Indonesia Chapter.
Dalton, D dk. 2012. The Join Effect of Machiavellinism and Ethical Environment on Whistleblowing.
Journal of Business Ethics. 117, 153-172.
Faradiza, Sekar Akrom dk. 2017. Pengaruh Sosialisasi dan Komitmen Profesi Pegawai Pajak. Jurnal Ilmu