MEMPENGARUHI KECENDERUNGAN
KECURANGAN KARYAWAN DALAM
PERSPEKTIF FRAUD TRIANGLE
(STUDI KASUS PADA PT. CMS)
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat pengaruh signifikan dari tekanan
financial, sistem pengendalian, dan budaya etis organisasi terhadap kecenderungan
kecurangan yang dilakukan karyawan pada PT. CMS. Sampel penelitian ini berjumlah 48
karyawan yang bekerja di PT. CMS. Teknik pengambilan sampel menggunakan sampling
jenuh. Penelitian ini menggunakan time horizon yaitu cross sectional. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif, dengan jenis penelitian deskriptif dan
asosiatif. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner, wawancara, dan
juga studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan antara
sistem pengendalian dengan kecenderungan kecurangan, tidak terdapat pengaruh signifikan
antara tekanan financial dengan kecenderungan kecurangan, dan tidak terdapat pengaruh
signifikan antara budaya etis organisasi dengan kecenderungan kecurangan. Hasil studi ini
memberikan saran bahwa sistem pengendalian yang diterapkan hendaknya
mempertimbangakan kebermanfaatannya untuk mengendalikan keamanan aset dan informasi
organisasi untuk mencegah terjadinya kecurangan karyawan, serta perusahaan perlu
mempertimbangkan masalah pelanggaran etis yang pernah dilakukan karyawan sebagai
dasar pengembangan budaya etis dalam organisasi dan mengimplementasikan prinsip-prinsip
Good Corporate Governance (GCG).
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang baik dalam bidang perekonomian, politik,
teknologi informasi, maupun sosial budayanya. Dalam bidang perekonomian, Indonesia banyak
mengalami masalah. Salah satu permasalahan serius yang sedang dialami bangsa Indonesia ialah
maraknya praktik korupsi dan tindak kecurangan akuntansi (fraud) lainnya yang banyak terjadi dalam
lingkungan bisnis. Menurut Pristiyanti (2012), berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2010, dapat diketahui bahwa Indonesia
menduduki peringkat pertama sebagai Negara terkorup di Asia Pasifik. Skala yang digunakan adalah
0-10, di mana 0 berarti sangat bersih, dan 10 berarti sangat korup. Korupsi di Indonesia menduduki
skor sebesar 9,27. Dengan kata lain, perilaku kecurangan di Indonesia sudah sangat marak dan sudah
menjadi budaya yang tidak etis lagi dalam lingkungan bisnis.
Menurut Thoyibatun (2012), fraud diindikatorkan dengan adanya perilaku tidak etis yang
timbul karena adanya berbagai faktor yang mendesak seseorang untuk melakukannya. Selain itu,
fraud tidak hanya dapat dilakukan oleh pihak manajemen, tetapi juga dapat dilakukan oleh seluruh
karyawan dalam perusahaan yang mendapat kepercayaan untuk melaksanakan tugas dan
tanggungjawabnya masing-masing. Berdasarkan penerapan manajemen risiko, risiko merupakan suatu
kondisi yang dapat terjadi yang berkaitan dengan hambatan dalam pencapaian tujuan organisasi.
Setiap aktivitas organisasi pasti mengandung risiko. Untuk mengeliminasi faktor-faktor terjadinya
risiko kecurangan, manajer harus dapat menganalisis dan mengantisipasi setiap perubahan yang dapat
mempengaruhi aktivitas perusahaan terutama apabila perubahan tersebut dapat mengakibatkan
kerugian yang cukup signifikan bagi kelangsungan hidup perusahaan.
Menurut Manajer PT. CMS, karyawannya pernah melakukan tindak kecurangan. Bentuk
kecurangan yang pernah terjadi antara lain pencurian uang kas dan penggelapan uang tagihan. Untuk
mencegah tindakan tersebut berulang, perusahaan dapat mempertimbangkan faktor yang dapat
mempengaruhi karyawan dalam melakukan tindak kecurangan tersebut. Kecurangan (fraud) tidak
selalu harus diamati setelah adanya bukti bahwa seseorang telah melakukan tindak kecurangan, tetapi
perusahaan harus menentukan pencegahan fraud tersebut sejak awal sebagai bentuk penilaian risiko
manajemen terhadap aktivitas organisasinya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
kecurangan yang dilakukan oleh karyawan pada PT. CMS. Menurut Albrecht, Albrecht, Albrecht, dan
Zimbleman (2015) elemen dari Fraud Triangle yang antara lain terdiri dari tekanan (pressure),
kesempatan (opportunity), dan rasionalisasi (rationalization) dapat digunakan sebagai pertimbangan
untuk mengantisipasi terjadinya kecurangan.
Penelitian ini berpedoman pada penelitian yang pernah dilakukan oleh Witjaksono (2012)
dengan menggunakan instrumen kuesioner, menyatakan bahwa fraud terjadi karena dipicu oleh
adanya motif atau tekanan financial pelaku yang kemudian didukung dengan adanya peluang atau
kesempatan. Peluang terjadinya fraud didominasi oleh faktor lemahnya sistem pengendalian internal
yang diterapkan dalam perusahaan. Di sisi lain pelaku fraud diyakini tidak melakukan aksinya seorang
diri, melainkan pelaku mendapat bantuan atau berkolusi dengan pihak lain. Hasil penelitiannya
menunjukan bahwa peluang (opportunity) masih menjadi penyebab utama pelaku melakukan fraud
dan bukan karena tekanan atau hal mendasar misalnya gaji.
Tekanan dapat berupa tekanan financial maupun tekanan non financial. Dalam penelitian ini,
tekanan (pressure) diproksikan pada Tekanan financial yang diindikatorkan dengan adanya kebutuhan
hidup yang tidak tercukupi, penghasilan kurang, dan tidak sesuainya gaji yang dapat mempengaruhi
seseorang untuk melakukan tindak kecurangan (fraud).
Penelitian yang sama juga pernah dilakukan oleh Pristiyanti (2012) dengan menyebarkan
kuesioner pada pegawai instansi pemerintah. Analisis terhadap fraud triangle dianggap dapat
dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kecurangan. Hasil
penelitiannya menunjukan bahwa tidak terdapat pengaruh keadilan distributif dan keadilan prosedural
terhadap perilaku seseorang untuk melakukan fraud, kemudian terdapat pengaruh sistem pengendalian
dan kepatuhan terhadap sistem pengendalian, serta budaya etis organisasi dan komitmen organisasi
yang mempengaruhi perilaku seseorang untuk melakukan tindak kecurangan.
Sementara, dalam penelitian ini Opportunity atau peluang juga diproksikan pada Sistem
Pengendalian yang meliputi Lingkungan pengendalian, Penilaian risiko, Aktivitas Pengendalian,
Informasi dan Komunikasi, dan Pemantauan (Arens, Best, Shailer, dan Fiedler, 2013:268). Dalam
mencegah terjadinya kecurangan, sistem pengendalian internal memiliki pengaruh yang cukup besar
terhadap tingkat risiko terjadinya fraud. Menurut AICPA dalam Thoyibatun (2012), adanya suatu
sistem pengendalian internal bagi sebuah organisasi sangatlah penting, antara lain untuk
meningkatkan kepatuhan karyawan terhadap hukum-hukum dan peraturan yang telah ditetapkan.
Sedangkan Rasionalization, dalam penelitian ini akan diproksikan pada Budaya Etis Organisasi
yang diindikatorkan dengan adanya Manajer bertindak sebagai model peran yang visible, Komunikasi
harapan-harapan etis, Pelatihan Etis, Hukuman bagi tindakan tidak etis, dan Mekanisme Perlindungan
etika (Robbins, 2008: 277-278). Rasionalisasi adalah komponen penting dalam banyak kecurangan.
Rasionalisasi menyebabkan pelaku kecurangan mencari pembenaran atas perbuatannya.Rasionalisasi
merupakan bagian dari Fraud Triangle yang paling sulit diukur. Budaya etis organisasi merupakan
faktor yang diduga dijadikan alasan pembenaran mengapa karyawan melakukan kecurangan dalam
perusahaan.
Berbeda dengan penelitian terdahulu yang telah disebutkan sebelumnya bahwa penelitian ini
merupakan studi kasus untuk menanggapi tindak kecurangan yang pernah dilakukan oleh karyawan
pada PT. CMS. Penelitian ini tidak hanya menggunakan kuesioner dalam melakukan analisis terhadap
faktor-faktor yang mempengaruhi kecurangan tersebut, tetapi juga melakukan wawancara terhadap
Manajer dan Direktur PT. CMS mengenai struktur upah, sistem pengendalian, dan budaya etis
organisasi yang diterapkan dalam perusahaan itu sendiri.
METODE PENELITIAN
Objek penelitian ini adalah PT. CMS, yaitu perusahaan yang bergerak dalam bidang elektronik
sebagai penyedia (supplier) peralatan listrik tegangan rendah dengan jaringan pelanggan dan jaringan
tenaga pemasaran yang tersebar di seluruh wilayah bagian Barat, Timur, dan Tengah Indonesia.
Sampel dalam penelitian ini adalah karyawan PT. CMS yang meliputi setara tingkat Kepala Bagian
hingga karyawan setiap divisi. Karena jumlah populasi dalam penelitian ini kurang dari 100, maka
peneliti menggunakan jumlah sampel sesuai dengan jumlah populasinya yaitu sebanyak 48 orang
karyawan. Teknik pengambilan sampelnya adalah non-probability sampling yaitu sampling jenuh.
Menurut Sugiyono (2011:68), sampling jenuh digunakan untuk membuat generalisasi dengan tingkat
kesalahan yang sedikit atau kecil.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif dengan jenis penelitian
asosiatif. Penelitian asosiatif merupakan jenis penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan
antara dua variabel atau lebih. Penelitian ini mengukur hubungan antara 3 variabel bebas (independen)
dan 1 variabel terikat (dependen), serta menunjukan arah hubungan (sebab-akibat) antara variabel
independen dengan variabel dependen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
survey. Data dikumpulkan dengan menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh dengan menyebarkan kuesioner kepada seluruh karyawan dan melakukan wawancara
kepada Manajer dan Direktur PT. CMS. Sedangkan data sekunder diperoleh dari buku, jurnal, dan
juga literature. Kuesioner dalam penelitian ini menggunakan skala likert 1 (sangat tidak setuju)
sampai dengan 5 (sangat setuju). Horizon waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah cross
sectional, yaitu data yang diperoleh dalam periode yang sama pada beberapa objek dengan tujuan
untuk menggambarkan suatu keadaan.
Penelitian ini menggunakan metode analisis regresi linear berganda untuk menguji masing-
masing variabel dan menguji seluruh variabel secara bersama-sama. Dalam penelitian ini, data yang
telah diperoleh dari hasil kuesioner dianalisis dengan menggunakan aplikasi SPSS (Stastitical Product
and Service Soulution) versi 22. Menurut Priyatno (2014), suatu kuesioner dapat dikatakan baik jika
dinyatakan valid dan reliabel, serta memenuhi asumsi klasik agar dapat dikatakan BLUE (Best
Linear Unbiased Estimator). Maka pengujian yang akan dilakukan pada data yang telah dikumpulkan
dari responden adalah Uji Validitas & Uji Reliabilitas, Statistik Deskriptif, Uji Asumsi Klasik yang
terdiri dari Uji Normalitas, Uji Multikolinieritas, Uji Autokorelasi, dan Uji Heteroskedastisitas.
Setelah itu dilanjutkan dengan Analisis Korelasi untuk mengatahui arah hubungan antarvariabel dan
mengukur keeratan hubungan masing-masing variabel independen terhadap variabel dependennya.
Setelah dilakukan Analisis Korelasi, maka dilanjutkan dengan melakukan Analisis Regresi Linear
Berganda yang meliputi Koefisien Determinasi (R2), Uji Signifikansi Simultan (Uji Statistik F), dan
Uji Signifikan Parameter Individual (Uji Statistik t) agar dapat menjawab hipotesis penelitian.
Hipotesis dalam penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
(X1)
Tekanan Financial
(Y)
(X2)
Sistem Pengendalian Kecenderungan
Kecurangan (Fraud)
(X3)
1. Jika r hitung > 0.24, maka butir pertanyaan atau variabel valid.
2. Jika r hitung < 0.24, maka butir pertanyaan atau variabel tidak valid.
Berdasarkan hasil pengolahan data pada SPSS versi 22, setiap butir pertanyaan dalam variabel
Tekanan financial, Sistem Pengendalian, Budaya Etis Organisasi, dan Kecenderungan Kecurangan
menunjukan angka diatas 0.24. Maka dapat disimpulkan bahwa seluruh butir pernyataan dalam
variabel tekanan financial, sistem pengendalian, dan budaya etis organisasi yang terdapat pada
kuesioner dinyatakan valid karena memiliki nilai r hitung > 0.24.
Uji Reliabilitas
Uji Reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Cronbachs Alpha, yakni
dengan melihat nilai Cronbachs Alpha yang diperoleh dari perhitungan melalui SPSS versi 22. Dasar
pengambilan keputusan untuk reliabilitas data pada penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jika Cronbachs Alpha > 0,6, maka butir pernyataan tersebut dinyatakan reliabel.
2. Jika Cronbachs Alpha < 0,6, maka butir pernyataan tersebut dinyatakan tidak reliabel.
Dari hasil analisis pada SPSS versi 22, menunjukan bahwa semua butir-butir pernyataan pada
variabel Tekanan financial (0.774), Sistem pengendalian (0.798), Budaya Etis Organisasi (0.791),
Kecenderungan Kecurangan (0.791), maka masing-masing variabel memperoleh nilai Alpha lebih
besar dari nilai 0.60. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa ketiga variabel tersebut adalah
reliabel.
Statistik Deskriptif
Berdasarkan hasil pengolahan data menggunakan bantuan aplikasi SPSS versi 22, maka
diperoleh hasil untuk distribusi data sebagai berikut:
Menurut Priyatno (2014:30), statistik deskriptif digunakan untuk penggambaran tentang statistik data
seperti min, max, mean, dan standard deviation untuk mengukur distribusi data. Statistik deskriptif
berfungsi menerangkan suatu keadaan, gejala, atau persoalan. Penarikan kesimpulannya hanya
ditujukan pada kumpulan data yang ada.
Uji Normalitas
Berdasarkan hasil uji normalitas menggunakan aplikasi SPSS versi 22, maka didapatkan hasil
untuk masing-masing variabel antara lain sebagai berikut:
Uji Multikolinieritas
Uji Multikolinieritas bertujuan untuk mengetahui apakah dalam suatu model regresi ditemukan
adanya korelasi atau hubungan signifikan antarvariabel bebas dimana dalam model regresi yang baik
seharusnya tidak terjadi korelasi diantara variabel bebasnya. Dasar pengambilan keputusan untuk uju
multikolinieritas antara lain sebagai berikut:
Berdasarkan hasil pengolahan data dengan bantuan SPSS versi 22, dapat diketahui bahwa nilai
Tolerance untuk variabel Tekanan Financial (X1) adalah sebesar 0.970, Sistem Pengendalian (X2)
adalah sebesar 0.596, dan Budaya Etis Organisasi adalah sebesar 0.610. Sedangkan nilai VIF
(Variance Inflation Factor) untuk variabel Tekanan Financial (X1) adalah sebesar 1.030, Sistem
Pengendalian (X2) adalah sebesar 1.678, dan Budaya Etis Organisasi (X3) adalah sebesar 1.640.
Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi multikolinieritas antar variabel bebas, karena nilai
Tolerance untuk masing-masing variabel adalah lebih besar dari 0,10 dan nilai VIF (Variance
Inflation Factor) untuk masing-masing variabel adalah lebih kecil dari 10.
Uji Autokorelasi
Penelitian ini menggunakan Uji Durbin Watson (DW test) sebagai dasar analisis data. Dimana
nilai DL dan DU diperoleh dengan melihat tabel statistik Durbin Watson pada tingkat signifikansi =
5%, k=3 (jumlah variabel bebas yaitu X1, X2,dan X3), kemudian diperoleh nilai DL = 1.4064 dan
nilai DU = 1.6708 dengan n = 48 (jumlah responden), dan nilai DW = 1.925 yang diperoleh dari hasil
pengolahan data dengan SPSS versi 22 sebagai berikut:
DU < DW < 4 - DU
Uji Heteroskedastisitas
Uji heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terjadi
ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan yang lain. Regresi yang baik
seharusnya tidak terjadi heteroskedastisitas. Penelitian ini melakukan Uji Heteroskedastisitas dengan
menggunakan Uji Scatterplot yang dibantu dengan menggunakan program SPSS versi 22. Hasil dari
Uji Heteroskedastisitas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Gambar 4.8 Hasil Uji Heterokedastisitas
Sumber: Hasil Pengolahan Data melalui SPSS 22
Analisis Korelasi
Menurut Siregar (2013:251-252), pedoman untuk menginterpretasikan hasil koefisien korelasi
sebagai berikut:
Tabel 4.22 Tabel Penaksiran Indeks Korelasi
Berdasarkan tabel hasil output uji korelasi pada SPSS versi 22, dapat diketahui bahwa variabel
Tekanan Financial (X1) mempunyai nilai r = 0.135, Sistem Pengendalian (X2) mempunyai nilai r = -
0.898, dan Budaya Etis Organisasi (X3) mempunyai nilai r = -0.631. Hal ini menunjukan adanya
hubungan positif yang sangat rendah antara Tekanan Financial (X1) terhadap Kecenderungan
Kecurangan (Y). Hubungan negatif yang sangat kuat antara Sistem Pengendalian (X2) terhadap
Kecenderungan Kecurangan (Y), dan hubungan yang kuat antara Budaya Etis Organisasi (X3)
terhadap Kecenderungan Kecurangan (Y).
Berdasarkan tabel output 4.27 diatas, dapat disimpulkan bahwa Tekanan financial (X1)
mempunyai nilai signifikansi 0.982 > 0.05 yang artinya H0 diterima dan H1 ditolak. Tekanan
financial tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kecenderungan kecurangan. Sedangkan dalam
teori yang dikemukan oleh Albrecht, Albrecht, Albrecht, dan Zimbleman (2015), tekanan financial
berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan (fraud). Seseorang yang berada dalam tekanan
financial atau memiliki kesulitan ekonomi akan lebih mudah termotivasi untuk melakukan tindak
kecurangan dibandingkan dengan seseorang yang kebutuhan hidupnya sudah merasa terpenuhi.
Akan tetapi, hasil penelitian ini sama dengan penelitian yang pernah dilakukan oleh
Witjaksono (2012), bahwa penyebab utama fraud adalah peluang yang berasal dari lemahnya sistem
pengendalian dan bukan motif atau tekanan financial. Hal ini diperkuat pula bahwa pelaku fraud
memang memiliki kesempatan untuk melakukan kejahatannya dan bukan karena hal yang mendasar
seperti alasan gaji.
Sedangkan Sistem Pengendalian (X2) mempunyai nilai signifikansi 0.000 < 0.05 yang artinya
H0 ditolak dan H1 diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Sistem pengendalian (X2) memiliki
pengaruh signifikan terhadap Kecenderungan Kecurangan (Y). Hasil dari penelitian ini sama dengan
penelitian yang pernah dilakukan oleh Pristiyanti (2012), bahwa sistem pengendalian berpengaruh
negatif terhadap kecenderungan kecurangan (fraud). Artinya, semakin baik sistem pengendalian
internal yang diterapkan di suatu instansi atau suatu perusahaan, maka akan semakin rendah tingkat
untuk melakukan kecenderungan kecurangannya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan manajer perusahaan, perusahaan belum menerapkan
manajemen risiko yang berkaitan dengan sistem pengendalian untuk mencegah risiko terjadinya
kecurangan karyawan. Maka dapat disimpulkan bahwa sistem pengendalian pada perusahaan masih
cenderung lemah dan belum berjalan secara efektif.
Budaya Etis Organiasai (X3) mempunyai nilai signifikansi 0.165 > 0.05, yang artinya H0
diterima dan H1 ditolak. Budaya Etis Organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
Kecenderungan Kecurangan yang dilakukan oleh karyawan. hasil penelitian ini sama dengan
penelitian yang pernah dilakukan oleh Zulkarnain (2013), bahwa budaya etis organisasi atau kultur
organisasi memiliki arah hubungan negatif terhadap kecenderungan kecurangan (fraud). Artinya,
semakin baik budaya etis organisasinya, maka akan semakin rendah tingkat kecenderungan
kecurangannya. Akan tetapi, budaya etis organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap
kecenderungan kecurangan (fraud) tersebut.
Berdasarkan hasil wawancara dengan manajer perusahaan, pihak manajemen telah
menyampaikan nilai-nilai etika dan berbagai macam peraturan yang berlaku di perusahaan sebagai
pedoman karyawan dalam melakukan pekerjaan. Hal tersebut telah disampaikan pihak manajemen
sejak pertama kali perusahaan merekrut atau menerima karyawan baru untuk bekerja pada perusahaan.
Tetapi menurut Zulkarnain (2013), budaya etis organisasi dipengaruhi juga oleh komitmen
yang dimiliki oleh para anggota atau setiap karyawan yang bekerja. Oleh karena itu, budaya etis
organisasi tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kecenderungan kecurangan yang dilakukan
oleh karyawan apabila tidak disertai dengan adanya komitmen yang tinggi dari para karyawan untuk
mematuhi kode etik atau nilai-nilai perusahaan.
Saran
Berdasarkan kesimpulan dan keterbatasan-keterbatasan penelitian diatas, saran yang dapat diberikan
adalah sebagai berikut:
Bagi Perusahaan:
1. Variabel yang paling mempengaruhi kecenderungan kecurangan karyawan adalah Sistem
pengendalian. Semakin tinggi nilai sistem pengendaliannya, maka semakin rendah tingkat
kecenderungan kecurangannya. Oleh karena itu, perusahaan dapat meningkatkan sistem
pengendalian internalnya yang meliputi lingkungan pengendalian, penilaian risiko, aktivitas
pengendalian, pemantauan (monitoring), informasi dan komunikasi. Selain itu, sistem
pengendalian internal yang diterapkan hendaknya mempertimbangakan kebermanfaatannya untuk
mengendalikan keamanan aset dan informasi organisasi untuk mencegah terjadinya kecurangan
karyawan
2. Untuk mengurangi faktor tekanan financial, perusahaan dapat memperhatikan apakah gaji yang
diberikan telah sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawab yang diberikan serta struktur
upah dapat memotivasi kinerja karyawan untuk melakukan yang terbaik demi tercapainya tujuan
perusahaan.
3. Budaya etis organisasi memiliki arah hubungan negatif yang kuat terhadap kecenderungan
kecurangan, akan tetapi dalam kasus ini budaya etis organisasi tidak berpengaruh secara signifikan
terhadap kecenderungan kecurangan. Oleh karena itu, perusahaan dapat meningkatkan budaya etis
organisasi dengan mengimplementasikan prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG)
yang meliputi transparency, accountability, responsibility, independency, dan fairness. Kemudian
dapat mengadakan seminar atau pelatihan etis mengenai standar tuntutan organisasi yang
menjelaskan praktik-praktik yang tidak diperbolehkan dan untuk menangani dilema etika yang
mungkin muncul, serta memberikan sanksi yang lebih tegas saat terjadi pelanggaran etis oleh
karyawan.
REFERENSI
Albrecht, Albrecht, Albrecht, Zimbleman. (2015). Fraud Examination 5th Edition. Boston: Cengage
Learning.
Arens, Best, Shailer, Fiedler. (2013). Auditing, Assurance Services and Ethics in Australia: an
Integrated Approach 9th Edition. Australia: Pearson Education Inc.
RIWAYAT PENULIS
Nama : Indah Purnamasari Wijaya