Anda di halaman 1dari 42

EVALUASI PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT

MENULAR TUBERKULOSIS DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS LIMO


PERIODE JANUARI-DESEMBER TAHUN 2021

(Laporan Evaluasi Program)

Oleh:
dr. Muhammad Farhan

Pembimbing:
dr. Toni Hermawan

PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA

PUSKESMAS LIMO

KOTA DEPOK

2022

1
DAFTAR ISI

BAB I.........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.....................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang..........................................................................................................3
1.2 Rumusan Masalah.....................................................................................................4
1.3 Tujuan........................................................................................................................4
1.4 Manfaat......................................................................................................................4
BAB II.......................................................................................................................................6
TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................................................6
BAB III....................................................................................................................................19
METODE EVALUASI..........................................................................................................19
3.1 Bahan.............................................................................................................................19
3.2 Cara Pengumpulan Data.............................................................................................19
3.3. Cara Penilaian dan Evaluasi......................................................................................19
3.4 Diagram Fishbone........................................................................................................23
BAB IV GAMBARAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS LIMO..................................26
4.1 Data Geografis Wilayah Kerja Puskesmas Limo......................................................26
4.2 Sumber Daya Kesehatan..............................................................................................28
4.3 Peran Serta Masyarakat..............................................................................................29
BAB V HASIL EVALUASI DAN PEMBAHASAN...........................................................30
5.1 Menetapkan Tolak Ukur dan Unsur Keluaran.........................................................30
5.3 Identifikasi Masalah.....................................................................................................30
5.4 Menetapkan Prioritas Masalah...................................................................................31
5.6 Penetapan Prioritas Penyebab Masalah.....................................................................33
BAB VI....................................................................................................................................35
ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH.......................................................................35
6.1 Menyusun Alternatif Pemecahan Masalah................................................................35
6.2 Memilih Prioritas Pemecahan Masalah.....................................................................35
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................................37
7.1 Kesimpulan...................................................................................................................37
7.2 Saran..............................................................................................................................37

2
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuberkulosis (TB) saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di
Indonesia maupun internasional sehingga menjadi salah satu tujuan pembangunan
kesehatan berkelanjutan (SDGs). Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut menyebar dari penderita TB
melalui udara. Kuman TB ini biasanya menyerang organ paru bisa juga di luar paru (extra
paru). Sampai saat ini TB masih merupakan penyakit infeksi penyebab kematian tertinggi
kedua setelah COVID-19, dan merupakan penyebab kematian tertinggi ke-13 di seluruh
dunia. Indonesia berada pada peringkat ke-3 dengan penderita TB tertinggi di dunia
setelah India dan China. Secara global, diperkirakan 10 juta orang menderita TB pada
tahun 2020.1
Menurut Global Tuberculosis Report tahun 2021, pada tahun 2020 angka insiden TB
di Indonesia sebesar 301 per 100.000 penduduk, menurun jika dibandingkan dengan
angka insiden TB tahun 2019 yaitu sebesar 312 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka
kematian TBC tahun 2019 dan 2020 masih sama yaitu sebesar 34 per 100.000 penduduk. 1
Berdasarkan laporan Riskesdas Tahun 2021 Pada tahun 2021 jumlah kasus tuberkulosis
yang ditemukan sebanyak 397.377 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus
tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2020 yaitu sebesar 351.936 kasus. Jumlah kasus
tertinggi dilaporkan dari provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat,
Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di ketiga provinsi tersebut
menyumbang angka sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di Indonesia.2
Ketaatan pasien pada pengobatan TB sangat penting untuk mencapai kesembuhan,
mencegah penularan dan menghindari kasus resistan obat. Pada “Stop TB Strategy”
mengawasi dan mendukung pasien untuk minum OAT merupakan landasan DOTS dan
membantu pencapaian target keberhasilan pengobatan 85%. Pengobatan dengan
pengawasan membantu pasien untuk minum OAT secara teratur dan lengkap. Directly
Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan metode pengawasan yang
direkomendasikan oleh WHO dan merupakan paket pendukung yang dapat menjawab
kebutuhan pasien. Pengawasan dan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan akan
memberikan kesempatan lebih banyak untuk edukasi, identifikasi dan solusi masalah-

3
masalah selama pengobatan TB. Directly observed treatment short course sebaiknya
diterapkan secara fleksibel dengan adaptasi terhadap keadaan sehingga nyaman bagi
pasien.3
Puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) merupakan unit pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang menjadi ujung tombak pelaksanaan program penanggulangan TB. Program
penanggulangan TB diselenggarakan melalui beberapa kegiatan seperti promosi
kesehatan, surveilans TB, pengendalian faktor risiko, penemuan dan penanggulangan
kasus TB, pemberian kekebalan serta pengobatan TB.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana evaluasi dan alternatif pemecahan masalah program TB di Wilayah Kerja
Puskesmas Limo Periode Januari-Desember 2021?

1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengevaluasi apa yang menyebabkan tidak tercapainya target yang diharapkan
pada kegiatan program TB di wilayah kerja Puskesmas Limo pada Periode
Januari-Desember 2021.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui pelaksanaan kegiatan berupa capaian dan target dari program
TB di wilayah kerja Puskesmas Limo periode Januari-Desember 2021.
2. Mengetahui penyebab masalah tidak tercapainya program TB di wilayah
kerja Puskesmas Limo Periode Januari-Desember 2021.
3. Mencari akar penyebab masalah tidak tercapainya program TB di wilayah
kerja Puskesmas Limo Periode Januari-Desember 2021.
4. Mencari prioritas penyebab masalah tidak tercapainya program TB di
wilayah kerja Puskesmas Limo Periode Januari-Desember 2021.
5. Menetapkan alternatif pemecahan masalah tidak tercapainya program TB di
wilayah kerja Puskesmas Limo Periode Januari-Desember 2021.
1.4 Manfaat
1.4.1 Bagi penulis
1. Menerapkan dan mengembangkan ilmu kedokteran komunitas yang
diperoleh selama kuliah.
2. Mendapatkan pengalaman belajar mengenai manajemen dan evaluasi

4
program puskesmas.
3. Mengetahui kendala yang dihadapi dalam pemenuhan program TB di
wilayah kerja Puskesmas Limo Periode Januari-Desember 2021.
1.4.2 Bagi puskesmas yang dievaluasi
1. Sebagai masukan dalam pelaksanaan program TB di wilayah kerja
Puskesmas Limo agar keberhasilan program di masa mendatang dapat
tercapai secara optimal.
2. Mendapatkan alternatif pemecahan masalah pada program TB di wilayah
kerja Puskesmas Limo.
1.4.3 Bagi masyarakat
1. Terciptanya pelayanan kesehatan yang bermutu khususnya di wilayah kerja
Puskesmas Limo.
2. Dengan tercapainya keberhasilan program diharapkan dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia di wilayah kerja Puskesmas Limo.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tuberkulosis

2.1.1 Definisi

Tuberkulosis merupakan infeksi yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium


tuberkulosis. Organisme ini disebut pula sebagai basil tahan asam. Tuberkulosis paru adalah
tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.4

2.1.2 Faktor Risiko

Faktor risiko TB dapat diklasifikasikan menjadi faktor distal dan faktor proksimal.
Faktor risiko distal merupakan faktor yang berperan dalam pengembangan TB secara tidak
langsung, meliputi seperti status sosial ekonomi yaitu status perkawinan, pekerjaan dan
pendidikan sedangkan faktor resiko proksimal terdiri faktor host yang meliputi umur, jenis
kelamin, riwayat diabetes, riwayat merokok, jumlah CD4, serta Indeks Masa Tubuh. 5 Orang
yang kontak serumah dengan penderita TB Paru lebih berisiko untuk terjadi TB Paru
dibandingkan dengan orang yang kontak di luar rumah. Hal ini disebabkan oleh kontak yang
erat dengan penderita TB Paru BTA (+) lebih berisiko untuk terinfeksi. Makin erat kontak
(dose contact) dan makin lama, maka makin besar resiko tertular selain itu juga dipengaruhi
oleh ventilasi rumah, yakni kelompok yang mempunyai rumah dengan luas ventilasi yang
kurang dari 10% luas lantai lebih berisiko untuk terjadi TB Paru dibandingkan dengan
kelompok yang mempunyai rumah dengan ventilasi lebih dari 10% luas lantai. Ventilasi
memungkinkan terjadinya pergantian udara dalam kamar, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan penularan pada orang lain seiring dengan menurunnya konsentrasi kuman,
selain itu dengan adanya ventilasi maka cahaya matahari dapat masuk ke dalam rumah dan
diharapkan dapat membunuh kuman TB yang dikeluarkan oleh penderita pada saat batuk.6

2.1.3 Klasifikasi

Sesuai dengan hasil pemeriksaan bakteriologis maka definisi pasien TB terdiri dari dua,
yaitu: 7

6
1. Pasien TB terkonfirmasi Bakteriologis

Pasien TB yang terbukti positif pada hasil pemeriksaan contoh uji biologinya (sputum
dan jaringan) melalui pemeriksaan mikroskopis langsung, TCM TB, atau biakan. Termasuk
dalam kelompok pasien ini adalah:

1. Pasien TB paru BTA positif


2. Pasien TB paru hasil biakan M.tb positif
3. Pasien TB paru hasil tes cepat M.tb positif
4. Pasien TB Ekstra paru terkonfirmasi secara bakteriologis, baik dengan BTA, biakan
maupun tes cepat dari contoh uji jaringan yang terkena.
5. TB anak yang terdiagnosis dengan pemeriksaan bakteriologis.

Catatan: Semua pasien yang memenuhi definisi tersebut di atas harus dicatat dan dilaporkan
tanpa memandang apakah pengobatan TB sudah dimulai atau belum.

2. Pasien TB terdiagnosis secara Klinis

Pasien yang tidak memenuhi kriteria terdiagnosis secara bakteriologis tetapi


didiagnosis sebagai pasien TB aktif oleh dokter, dan diputuskan untuk diberikan pengobatan
TB. Termasuk dalam kelompok pasien ini adalah:

1. Pasien TB paru BTA negatif/ tes cepat M.tb negatif dengan hasil pemeriksaan foto
toraks mendukung TB.
2. Pasien TB paru BTA negatif/ tes cepat M.tb negatif dengan tidak ada perbaikan klinis
setelah diberikan antibiotika non OAT, dan mempunyai faktor risiko TB
3. Pasien TB Ekstra paru yang terdiagnosis secara klinis maupun laboratoris dan
histopatologis tanpa ada konfirmasi bakteriologis.
4. TB anak yang terdiagnosis dengan sistim skoring. Catatan: Pasien TB yang
terdiagnosis secara klinis dan kemudian terkonfirmasi bakteriologis positif (baik
sebelum maupun setelah memulai pengobatan) harus diklasifikasi ulang sebagai
pasien TB terkonfirmasi bakteriologis. Pasien yang mendapatkan pengobatan
pencegahan TB tidak termasuk definisi kasus TB sehingga tidak dilaporkan dalam
laporan penemuan kasus TB.

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe


pasien, yaitu:4

7
1. Kasus baru

Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (4 minggu).

2. Kasus kambuh (Relaps)

Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis


dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA
positif (apusan atau kultur).

3. Kasus setelah putus berobat (Default)

Adalah pasien yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.

4. Kasus setelah gagal (Failure)

Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

5. Kasus Pindahan (Transfer In)

Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk
melanjutkan pengobatannya.

6. Kasus Lain

Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan di atas. Dalam kelompok ini
termasuk kasus kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA (+) setelah selesai
pengobatan ulangan.

2.2 Penanggulangan Penyakit Menular Tuberkulosis

Penanggulangan penyakit menular adalah upaya kesehatan yang mengutamakan aspek


promotif dan preventif yang ditujukan untuk menurunkan dan menghilangkan angka
kesakitan, kecacatan dan kematian, membatasi penularan, serta penyebaran penyakit agar
tidak meluas antar daerah maupun antar negara serta berpotensi menimbulkan kejadian luar
biasa/wabah.9

Penanggulangan TB diselenggarakan melalui kegiatan promosi kesehatan, penemuan


dan penanganan kasus TB, pengobatan TB, pemberian kekebalan dan pemberian obat

8
pencegahan.Promosi kesehatan dalam penanggulangan TB ditujukan untuk meningkatkan
komitmen pengambil kebijakan melalui kegiatan advokasi, meningkatkan keterpaduan
pelaksanaan program dengan kemitraan lintas sektor, dan memberdayakan masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat dilakukan dengan kegiatan menginformasikan, memengaruhi dan
membantu masyarakat agar berperan aktif dalam rangka mencegah penularan TB,
meningkatkan perilaku hidup bersih dan sehat, serta menghilangkan diskriminasi terhadap
pasien TB.10

Penemuan kasus TB dapat dilakukan secara aktif dan pasif. Penemuan kasus secara
aktif dilakukan melalui investigasi dan pemeriksaan kasus kontak, skrining masal terutama
pada kelompok rentan dan berisiko serta skrining pada kondisi khusus. Penemuan kasus TB
secara pasif dilakukan melalui pemeriksaan pasien yang datang ke fasilitas pelayanan
kesehatan. Penanggulangan kasus TB dengan tatalaksana kasus dilakukan untuk memutus
mata rantai penularan dan/atau pengobatan pasien. Tatalaksana terdiri dari pengobatan dan
penanganan efek samping di fasilitas pelayanan kesehatan, pengawasan kepatuhan menelan
obat, pemantauan kemajuan pengobatan dan hasail pengobatan, dan/atau pelacakan kasus
mangkir. Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian dan
mencegah kekambuhan, memutus rantai penularan dan mencegah terjadinya
resistensi/kekebalan kuman terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) Pemberian kekebalan
dilakukan dengan imunisasi BCG terhadap bayi untuk mengurangi risiko tingkat keparahan
TB. 10

Pemberian obat pencegahan TB ditujukan pada anak usia di bawah 5 tahun dan
kontak erat dengan pasien TB paru, orang dengan HIV-AIDS (ODHA) yang tidak
terdiagnosa TB atau populasi tertentu lainnya. Pemberian obat pencegahan ini dilakukan
selama 6 bulan. 10

2.3 Strategi Penanggulangan TB di Indonesia

2.3.1 Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia

Strategi nasional program pengendalian TB nasional terdiri dari 7 strategi9 :

• Memperluas dan meningkatkan pelayanan DOTS yang bermutu.


• Menghadapi tantangan TB/HIV, MDR-TB, TB anak dan kebutuhan masyarakat miskin
serta rentan lainnya.

9
• Melibatkan seluruh penyedia pelayanan pemerintah, masyarakat (sukarela), perusahaan
dan swasta melalui pendekatan Pelayanan TB Terpadu Pemerintah dan Swasta (Public
Private Mix) dan menjamin kepatuhan terhadap Standar Internasional Penatalaksanaan
TB (International Standards for TB Care).
• Memberdayakan masyarakat dan pasien TB.
• Memberikan kontribusi dalam penguatan sistem kesehatan dan manajemen program
pengendalian TB.
• Mendorong komitmen pemerintah pusat dan daerah terhadap program TB.
• Mendorong penelitian, pengembangan dan pemanfaatan informasi strategis. 9

Strategi Nasional Program Pengendalian TB Nasional tahun 2020-2024 merupakan


pengembangan strategi nasional sebelumnya dengan beberapa pengembangan strategi baru
untuk menghadapi target dan tantangan yang lebih besar. Untuk tercapainya target program
penanggulangan TB nasional, pemerintah daerah provinsi dan pemerintah daerah
kabupaten/kota harus menetapkan target penanggulangan TB tingkat daerah berdasarkan
target nasional dan memperhatikan strategi nasional. Penyelenggaran penanggulangan TB
dilaksanakan melalui upaya kesehatan masyarakat dan perorangan. Penanggulangan TB
diselenggarakan melalui kegiatan: 9

1. Promosi kesehatan

2. Surveilans TB

3. Pengendalian faktor risiko

4. Penemuan dan penanganan kasus TB

5. Pemberian kekebalan

6. Pemberian obat pencegahan

2.3.2 Program Pengendalian TB Nasional

Inisiasi pengendalian TB di Indonesia dapat ditelusuri sejak masa pra kemerdekaan.


Fase Sebelum Strategi DOTS (Directly Observed Treatment Shortcourse) (pra-1995) dimulai
sejak awal abad ke 20 dan ditandai dengan berdirinya fasilitas diagnostik dan sanatorium di
kota- kota besar. Dengan dukungan dari pemerintah Belanda, diagnosis TB dilakukan dengan
pemeriksaan Rontgen, diikuti dengan penanganan TB melalui hospitalisasi. Studi prevalensi
TB pertama kali dilakukan pada tahun 1964 di karesidenan Malang dan kota Yogyakarta.

10
Lima tahun kemudian (1969), program pengendalian TB nasional dengan pedoman
penatalaksanaan TB secara baku dimulai di Indonesia.3

Pada periode 1972-1995 penanganan TB tidak lagi berbasis hospitalisasi, akan tetapi
melalui diagnosis dan pelayanan TB di fasilitas kesehatan primer, yaitu di Puskesmas.
Pengobatan TB menggunakan dua regimen pengobatan menggantikan pengobatan
konvensional (2HSZ/10H2S2) dan strategi penemuan kasus secara aktif secara bertahap.
Sejak tahun 1995, Program Pemberantasan TB telah dilaksanakan secara bertahap di
puskesmas dengan penerapan strategi DOTS yang direkomendasikan oleh WHO. Terdapat
lima komponen dalam strategi DOTS yaitu3 :

• Komitmen politis dari pemerintah untuk menjalankan program TB nasional.

• Diagnosis TB melalui pemeriksaan dahak secara mikroskopis.

• Pengobatan TB dengan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang diawasi langsung oleh
Pengawas Minum Obat (PMO).

• Kesinambungan persediaan OAT.

• Pencatatan dan pelaporan secara baku untuk memudahkan pemantauan dan evaluasi
program penanggulangan TB Paru.

Pada tahun 2006-2010, terjadi inovasi dalam strategi DOTS. Fase ini ditandai dengan
keberhasilan dalam mencapai target global tingkat deteksi dini dan kesembuhan pada tahun
2006. Selain itu, berbagai tantangan baru dalam implementasi strategi DOTS muncul pada
fase ini. Tantangan tersebut antara lain penyebaran ko-infeksi TB-HIV, peningkatan
resistensi obat TB, jenis penyedia pelayanan TB yang sangat beragam, kurangnya
pengendalian infeksi TB di fasilitas kesehatan, serta penatalaksanaan TB yang bervariasi.
Selain mencapai target global, Indonesia juga telah menunjukkan berbagai perkembangan
dalam menghadapi tantangan baru program pengendalian TB, yaitu3:

1. Keterlibatan pihak pemangku kepentingan utama, seperti halnya Organisasi berbasis


Masyarakat yang besar seperti Muhamadiyah, NU, Direktorat Jenderal Bina Upaya
Kesehatan di Kementerian Kesehatan, organisasi-organisasi profesi di bawah Ikatan Dokter
Indonesia, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dll;

2. Peningkatan jumlah rumah sakit yang melaksanakan strategi DOTS secara signifikan dan
peningkatan notifikasi kasus dari rumah sakit;

11
3. Pengembangan lima laboratorium yang telah terjamin mutunya untuk melaksanakan
kultur dan Drug Susceptibilty Test (DST) melalui sertifikasi oleh laboratorium
internasional;
4. Pelaksanaan survei resistensi obat dan survei Tuberkulin di 3 wilayah Indonesia;
5. Uji coba tes diagnosis cepat untuk DST (dengan tes Hain);
6. Pengembangan kebijakan dan pedoman TB-HIV serta implementasi kolaborasi TB- HIV;
7. Pengembangan kebijakan, pedoman pencegahan dan pengendalian infeksi dalam
penanganan TB dan implementasinya;
8. Keberlangsungan sumber daya yang memadai untuk mengatasi kesenjangan dalam
pembiayaan pengendalian TB melalui dukungan lembaga donor dan pemerintah
setempat;
9. Pengembangan lembaga yang mewakili (Pamali) kelompok dukungan pasien TOSS TB di
wilayah masing-masing secara serempak. 3

2.4 Indikator Program TB

a. Indikator Dampak

1) Angka Prevalensi TB
2) Angka Insidensi TB
3) Angka Mortalitas TB

b. Indikator Utama

1. Cakupan pengobatan semua kasus TB (case detection rate/CDR) yang diobati


2. Angka notifikasi semua kasus TB (case notification rate/CNR) yang diobati per 100.000
penduduk
3. Angka keberhasilan pengobatan pasien TB semua kasus
4. Cakupan penemuan kasus resistan obat
5. Angka keberhasilan pengobatan pasien TB resistan obat
6. Persentase pasien TB yang mengetahui status HIV

Untuk tingkat provinsi dan pusat, selain memantau indikator di atas, juga harus memantau
indikator yang dicapai oleh Kabupaten/Kota yaitu9:

1) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target CDR


2) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target CNR

12
3) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target angka keberhasilan pengobatan
pasien TB semua kasus
4) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target indikator cakupan penemuan kasus
TB resisten obat
5) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target angka keberhasilan pengobatan
pasien TB resisten obat
6) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target indikator persentase pasien TB yang
mengetahui status HIV

c. Indikator Operasional

1) Persentase kasus pengobatan ulang TB yang diperiksa uji kepekaan obat dengan tes
cepat molukuler atau metode konvensional

2) Persentase kasus TB resistan obat yang memulai pengobatan lini kedua

3) Persentase Pasien TB-HIV yang mendapatkan ARV selama pengobatan TB

4) Persentase laboratorium mikroskopik yang mengikuti uji silang

5) Persentase laboratorium mikroskopis yang mengikuti uji silang dengan hasil baik

6) Cakupan penemuan kasus TB anak

7) Cakupan anak < 5 tahun yang mendapat pengobatan pencegahan INH

8) Jumlah kasus TB yang ditemukan di Populasi Khusus (Lapas/Rutan, Asrama, Tempat


Kerja, Institusi Pendidikan, Tempat Pengungsian)

9) Persentase kasus TB yang ditemukan dan dirujuk oleh masyarakat atau organisasi
kemasyarakatan

Untuk tingkat provinsi dan pusat, selain memantau indikator di atas, juga harus memantau
indikator yang dicapai oleh kabupaten/kota yaitu9:

1) Persentase kabupaten/kota minimal 80% fasyankesnya terlibat dalam PPM


2) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target indikator persentase pasien TB-HIV
yang mendapatkan ARV selama pengobatan TB
3) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target untuk indikator presentase
laboratorium mikroskopis yang mengikuti ujisilang

13
4) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target untuk indikator persentase
laboratorium yang mengikuti uji silang dengan hasil baik
5) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target cakupan penemuan kasus TB anak
6) Persentase kabupaten/kota yang mencapai target indikator cakupan anak < 5 tahun yang
mendapat pengobatan pencegahan PP INH

• Gerakan Temukan Tuberkulosis Obati Sampai Sembuh (TOSSTB)

Gerakan TOSS TB, program tahun 2017 yang merupakan gerakan aktif dan masif
yang dimulai dari diri sendiri, keluarga sekaligus melibatkan masyarakat, layanan dan seluruh
pemangku kepentingan untuk segera menemukan orang terduga TB sedini mungkin dan
segera dirujuk ke Faskes (Puskesmas) terdekat untuk pemeriksaan lebih lanjut serta
mengobati pasien TB sampai sembuh.

• Penjaringan TB

Penjaringan suspek TB merupakan usaha untuk menemukan kasus TB sebagai bagian


dari program pencegahan dan penanggulangan TB. Target dari penjaringan itu sendiri adalah
orang terduga TB. Orang terduga TB adalah seseorang yang menunjukkan gejala batuk lebih
dari 2 minggu disertai dengan gejala lainnya. Setiap orang terduga TB mendapatkan
pelayanan kesehatan sesuai standar meliputi pemeriksaan klinis, pemeriksaan penunjang, dan
edukasi. Penetapan sasaran orang terduga TB menggunakan data orang yang kontak erat
dengan penderita TB dan ditetapkan oleh Kepala Daerah. Peningkatan penjaringan akan
meningkatkan temuan kasus/ angka notifikasi kasus. Case Notification Rate (CNR) adalah
jumlah semua kasus TB yang diobati dan dilaporkan diantara 100.000 penduduk yang ada di
suatu wilayah tertentu yang apabila dikumpulkan serial, akan menggambarkan
kecenderungan (trend) meningkat atau menurunnya penemuan kasus dari tahun ke tahun di
suatu wilayah. 9

• Kader TB

Kader TB merupakan semua anggota masyarakat dapat menjadi kader TB terutama


yang bersedia dan mempunyai kepedulian terhadap masalah social kesehatan terutama TB. 3

Peran kader dalam program penanggulangan TB adalah :

a. Membantu menemukan pasien yang dicurigai sakit TB (suspek TB) dan pasien TB di
wilayahnya dan melaporkan kepada petugas kesehatan.

14
b. Memberikan penyuluhan tentang TB kepada masyarakat.
c. Mengingatkan pasien untuk berobat dan periksa dahak sesuai jadwal ke puskesmas.
d. Menjadi koordinator dan seorang PMO (Pengawas Menelan Obat). Dalam penemuan
suspek TB, kader harus dapat menemukan orang yang diduga menderita TB,
melaporkannya ke petugas kesehatan serta menyarankan orang tersebut untuk
memeriksakan diri ke puskesmas atau sarana kesehatan terdekat. Apabila terbukti
BTA positif, maka kader dapat menjadi PMO untuk pasien tersebut atau mencarikan
seorang PMO, menginformasikan mengenai TB, pengobatannya dan membimbing
PMO dalam melaksanakan perannya.9

Kader TB dapat melakukan kunjungan rumah terhadap pasien TB minimal 4 kali, yaitu:

A. Satu hari setelah pasien dinyatakan BTA positif oleh petugas kesehatan
B. Satu minggu sebelum pasien melakukan pemeriksaan dahak akhir bulan kedua , kelima
dan keenam pengobatan.

• Standar Pelayanan Minimal Orang Terduga Tuberkulosis Pelayanan Kesehatan Orang


Terduga Tuberkulosis9

Pelayanan Kesehatan Orang Terduga Tuberkulosis15:

1. Standar Jumlah dan Kualitas Barang dan/atau Jasa

15
Tabel 2.1 Standar jumlah dan kualitas barang dan/atau jasa

2. Standar Jumlah dan Kualitas Personil / Sumber Daya Manusia Kesehatan

a. Tenaga Kesehatan

1) Dokter/ dokter spesialis penyakit dalam/ dokter spesialis paru, atau


2) Perawat
3) Analis Teknik Laboratorium Medik (ATLM)
4) Penata Rontgen
5) Tenaga kesehatan masyarakat

b. Tenaga non kesehatan terlatih atau mempunyai kualifikasi tertentu; kader kesehatan
16
Jenis pelayanan dan sumber daya kesehatan yang dibutuhkan sebagai berikut9:

Tabel 2.2 Jenis pelayanan dan sumber daya kesehatan

3. Petunjuk Teknis atau Tata Cara Pemenuhan Standar


a. Pernyataan Standar
Setiap orang terduga Tuberkulosis (TBC) mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar.
Pemerintah Kabupaten/Kota wajib memberikan pelayanan kesehatan sesuai standar kepada
orang terduga TBC di wilayah kerja Kabupaten/Kota tersebut dalam kurun waktu satu tahun.9
b. Pengertian

Pelayanan orang terduga TBC sesuai standar bagi orang terduga TBC meliputi9:

1) Pemeriksaan klinis
2) Pemeriksaan penunjang
3) Edukasi

c. Mekanisme Pelayanan

1) Penetapan sasaran orang terduga TBC menggunakan data orang yang kontak erat
dengan penderita TBC dan di tetapkan oleh Kepala Daerah.
2) Pemeriksaan klinis Pelayanan klinis terduga TBC dilakukan minimal 1 kali dalam
setahun, adalah pemeriksaan gejala dan tanda
3) Pemeriksaan penunjang, adalah pemeriksaan dahak dan/atau bakteriologis dan/atau
radiologis
4) Edukasi perilaku berisiko dan pencegahan penularan.
5) Melakukan rujukan jika diperlukan. 9

d. Capaian Kinerja9

17
1) Definisi Operasional Capaian kinerja Pemerintah Kabupaten/Kota dalam memberikan
pelayanan sesuai standar bagi orang dengan terduga TBC dinilai dari persentase jumlah orang
terduga TBC yang mendapatkan pelayanan TBC sesuai standar di wilayah kerjanya dalam
kurun waktu satu tahun

2) Rumus Perhitungan Kerja

Catatan:
a) Orang terduga TB adalah seseorang yang menunjukkan gejala batuk > 2 minggu disertai
dengan gejala lainnya.
b) Nominator : Jumlah orang terduga TBC yang dilakukan pemeriksaan penunjang dalam
kurun waktu satu tahun.
c) Denominator : Jumlah orang yang terduga TBC dalam kurun waktu satu tahun
yang sama.

18
BAB III

METODE EVALUASI

3.1 Bahan
Bahan evaluasi didapatkan dari Laporan Penilaian Kinerja Puskesmas Limo periode
Januari-Desember 2021, Profil Kesehatan Puskesmas Limo tahun 2021, Sistem Informasi
Tuberkulosis Kementerian Kesehatan, dan dari hasil wawancara dengan petugas Puskesmas
Limo yang bertanggung jawab pada program TB.

3.2 Cara Pengumpulan Data


Penetapan indikator evaluasi dilakukan pada program TB di wilayah kerja Puskesmas
Limo periode Januari-Desember 2021. Pengumpulan data yang dilakukan berupa :

a. Sumber data primer


Wawancara dengan petugas yang bertanggung jawab pada pelaksanaan Program
TB di wilayah kerja Puskesmas Limo.
b. Sumber data sekunder
Laporan Penilaian Kinerja Puskesmas Limo periode Januari-Desember 2021,
Profil Kesehatan Puskesmas Limo tahun 2021, dan Sistem Informasi Tuberkulosis
Kemenkes

3.3. Cara Penilaian dan Evaluasi


Evaluasi program TB di Wilayah Kerja Puskemas Limo periode Januari-Desember 2021
dilakukan dengan cara sebagai berikut :

a. Menetapkan tolak ukur yang akan digunakan


Langkah awal untuk dapat menentukan adanya masalah dari pencapaian hasil
output adalah dengan menetapkan tolak ukur atau standar yang ingin dicapai. Nilai
standar atau tolak ukur ini dapat diperoleh dari Standar Pelayanan Minimal Dinas
Kesehatan Kota Depok dan Laporan Penilaian Kinerja Puskesmas Limo periode
Januari-Desember 2021
b. Membandingkan pencapaian keluaran program dengan tolak ukur keluaran
Setelah diketahui tolak ukur, selanjutnya adalah membandingkan hasil
pencapaian keluaran Puskesmas (output) dengan tolak ukur tersebut. Bila pencapaian

19
keluaran Puskesmas tidak sesuai dengan tolak ukur, maka ditetapkan sebagai
masalah.

c. Menetapkan prioritas masalah


Masalah-masalah pada komponen output tidak semuanya dapat diatasi secara
bersamaan mengingat keterbatasan kemampuan Puskesmas. Selain itu adanya
kemungkinan masalah-masalah tersebut berkaitan satu dengan yang lainnya dan bila
diselesaikan salah satu masalah yang dianggap paling penting, maka masalah lainnya
dapat teratasi pula. Oleh sebab itu, ditetapkanlah urutan prioritas masalah yang akan
dicari solusi untuk memecahkannya dengan kriteria USG (Urgency, Seriousness dan
Growth. (UxSxG))

-Urgency : Seberapa mendesak isu tersebut harus dibahas dikaitkan dengan waktu
yang tersedia dan seberapa keras tekanan waktu tersebut untuk memecahkan masalah
yang menyebabkan isu tadi.

-Seriousness: melihat pengaruh bahwa masalah tersebut akan menyebabkan masalah


yang serius atau fatal.

-Growth : aspek kemungkinan meluas atau berkembangnya masalah atau


kemungkinan timbulnya masalah.

Untuk sistem penilaiannya: Nilai 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (cukup), 4 (tinggi), 5


(sangat tinggi).

d. Membuat kerangka konsep dari masalah yang diprioritaskan


Untuk menentukan penyebab masalah yang telah diprioritaskan tersebut, maka
dibuatlah identifikasi penyebab masalah. Identifikasi penyebab masalah dilakukan
dengan menggunakan diagram fishbone. Diagram  fishbone merupakan suatu alat
untuk mengidentifikasi, mengeksplorasi, dan secara grafik menggambarkan secara
detail semua penyebab yang berhubungan dengan suatu permasalahan.
Konsep dasar dari diagram fishbone adalah permasalahan mendasar diletakkan
pada bagian kanan dari diagram atau pada bagian kepala dari kerangka tulang
ikannya. Penyebab permasalahan digambarkan pada sirip dan durinya. Kategori
penyebab permasalahan yang sering digunakan meliputi minute (waktu),
materials (bahan baku), machines dan equipment, man power (sumber daya
manusia), methods (metode), mother-nature/environment (lingkungan), dan

20
measurement (pengukuran). Ketujuh penyebab munculnya masalah ini sering
disingkat dengan 7M. Dalam identifikasi penyebab masalah pada tulisan ini
digunakan kategori Man, Material, Method, dan Environment. Setelah didapatkan
faktor-faktor penyebab masalah selanjutnya ditentukan prioritas faktor penyebab
masalah dengan menggunakan teknik kriteria matriks. Untuk menyusun prioritas
masalah ada beberapa indikator yang sering dipergunakan yaitu :
1) Prevalence (P), jumlah suatu masyarakat yang terkena masalah, semakin besar
maka semakin harus diprioritaskan.
2) Severity (S) yaitu berat tingginya masalah yang dihadapi, serta seberapa jauh
akibat yang ditimbulkan oleh masalah tersebut.
3) Rate of increase (RI) yaitu jumlah kenaikan angka penyakit dalam periode
waktu tertentu.
4) Degree of unmeet need (DU) yaitu adanya keinginan/dorongan besar dari
masyarakat agar masalah tersebut dapat segera diselesaikan.
5) Social Benefit (SB), sejauh mana keuntungan sosial yang diperoleh dari
penyelesaian masalah tersebut.
6) Public concern (PB), menyangkut besarnya keprihatinan
masyarakat terhadap suatu masalah.
7) Political climate (PC), besarnya dukungan politik dari pemerintah sangat
menentukan besarnya keberhasilan penyelesaian masalah.
8) Technical feasibility (T), ketersediaan teknologi dalam mengatasi suatu
masalah.
9) Resource availability (R), menyangkut ketersediaan sumber
daya yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan suatu masalah.
e. Membuat alternatif pemecahan masalah
Setelah diketahui semua penyebab masalah, dicari dan dibuat beberapa
alternatif pemecahan masalah. Alternatif-alternatif pemecahan masalah tersebut
dibuat untuk mengatasi penyebab-penyebab masalah yang telah ditentukan.
Alternatif pemecahan masalah ini dibuat dengan memperhatikan kemampuan serta
situasi dan kondisi Puskesmas.

f. Menentukan prioritas cara pemecahan masalah


Masalah bisa lebih dari satu, tergantung dari indikator yang dipakai. Jika
terdapat lebih dari satu masalah, maka harus ditentukan prioritas masalah. Hal ini

21
disebabkan oleh adanya keterbatasan dan sumber daya, serta kemungkinan
masalah-masalah tersebut saling berkaitan. Tujuan menetapkan prioritas masalah
adalah menetapkan masalah yang akan dipecahkan terlebih dahulu. Masalah yang
menjadi prioritas adalah masalah yang dianggap paling besar, mudah diintervensi,
dan paling penting, dimana jika masalah tersebut diatasi maka masalah-masalah lain
juga dapat teratasi.

Dari berbagai alternatif cara pemecahan masalah yang telah dibuat, maka akan
dipilih satu cara pemecahan masalah (untuk masing- masing penyebab masalah)
yang dianggap paling baik dan memungkinkan. Untuk menetapkan alternatif
penyelesain masalah digunakan teknik kriteria matriks. Kriteria yang digunakan
pada teknik ini adalah:
1. Efektivitas jalan keluar
Hal pertama yang dipertimbangkan dalam teknik kriteria matriks untuk
memilih prioritas penyelesain masalah/jalan keluar adalah efektivitas. Dalam
kriteria ini, diberikan nilai 1 (paling tidak efekif) hingga nilai 5 (paling efektif).
Terdapat beberapa hal yang dijadikan patokan dalam hal efektivitas, yaitu:
a) Besarnya masalah yang dapat diselesaikan (Magnitude, M) Makin besar
masalah yang dapat diatasi oleh suatu jalan keluar, semakin penting
prioritas jalan keluar tersebut.
b) Pentingnya jalan keluar (Importance, I)
Makin langgeng suatu masalah dapat diselesaikan oleh suatu jalan keluar,
maka semakin penting prioritas jalan keluar tersebut.

c) Sensitivitas jalan keluar (Vulnerability, V)


Makin cepat suatu jalan keluar dapat mengatasi suatu masalah, makin
sensitif dan makin penting prioritas jalan keluar tersebut.
2. Efisiensi Jalan Keluar
Hal kedua yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan prioritas penyelesaian
masalah ialah efisiensi jalan keluar yang diajukan. Pada kriteria ini diberikan
nilai 1 (paling efisien) hingga nilai 5 (paling tidak efisien). Nilai efisiensi
dikaitkan dengan biaya (Cost, C) yang diperlukan untuk melaksanakan suatu
jalan keluar. Makin besar biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan
suatu jalan keluar, makin tidak efisien jalan keluar tersebut. Parameter-

22
parameter tersebut diatasi kemudian ditempatkan dalam tabel dan dihitung
nilai prioritasnya berdasarkan rumus berikut.

Keterangan :
 P : Priority
 M : Magnitude
 I : Importancy
 V : Vulnerability
 C : Cost

3.4 Diagram Fishbone


Diagram cause and effect atau diagram sebab akibat adalah alat yang membantu
mengidentifikasi, memilah, dan menampilkan berbagai penyebab yang mungkin dari
suatu masalah atau karakteristik kualitas tertentu. Diagram ini menggambarkan
hubungan antara masalah dengan semua faktor penyebab yang mempengaruhi masalah
tersebut. Jenis diagram ini kadang‐kadang disebut diagram “Ishikawa" karena
ditemukan oleh Kaoru Ishikawa, atau diagram “fishbone” atau “tulang ikan" karena
tampak mirip dengan tulang ikan.

Diagram fishbone ini dapat digunakan untuk beberapa hal, antara lain:
a. Mengenali akar penyebab masalah atau sebab mendasar dari akibat, masalah, atau
kondisi tertentu
b. Memilah dan menguraikan pengaruh timbal balik antara berbagai faktor yang
mempengaruhi akibat atau proses tertentu
c. Menganalisa masalah yang ada sehingga tindakan yang tepat dapat diambil.

Manfaat menggunakan diagram fishbone ini adalah sebagai berikut:


a. Membantu menentukan akar penyebab masalah dengan pendekatan yang
terstruktur
b. Mendorong kelompok untuk berpartisipasi dan memanfaatkan pengetahuan
kelompok tentang proses yang dianalisis

23
c. Menunjukkan penyebab yang mungkin dari variasi atau perbedaan yang terjadi
dalam suatu proses.
d. Meningkatkan pengetahuan tentang proses yang dianalisis dengan membantu setiap
orang untuk mempelajari lebih lanjut berbagai faktor kerja dan bagaimana faktor‐
faktor tersebut saling berhubungan.
e. Mengenali area di mana data seharusnya dikumpulkan untuk pengkajian lebih
lanjut.
Langkah‐langkah untuk menyusun dan menganalisa diagram fishbone adalah sebagai
berikut:
a. Identifikasi dan definisikan dengan jelas hasil atau akibat yang akan dianalisis
1. Hasil atau akibat di sini adalah karakteristik dari kualitas tertentu, permasalahan
yang terjadi pada kerja, tujuan perencanaan, dan sebagainya.
2. Gunakan definisi yang bersifat operasional untuk hasil atau akibat agar mudah
dipahami
3. Hasil atau akibat dapat berupa positif (suatu tujuan, hasil) atau negatif (suatu
masalah, akibat). Hasil atau akibat yang negatif yaitu berupa masalah biasanya
lebih mudah untuk dikerjakan. Lebih mudah bagi kita untuk memahami sesuatu
yang sudah terjadi (kesalahan) daripada menentukan sesuatu yang belum terjadi
(hasil yang diharapkan)

4. Kita bisa menggunakan diagram pareto untuk membantu menentukan hasil


atau akibat yang akan dianalisis.
b. Gambar garis panah horizontal ke kanan yang akan menjadi tulang belakang.
1. Di sebelah kanan garis panah, tulis deskripsi singkat hasil atau akibat yang
dihasilkan oleh proses yang akan dianalisis
2. Buat kotak yang mengelilingi hasil atau akibat tersebut.
c. Identifikasi penyebab-penyebab utama yang memperngaruhi hasil atau akibat.
1. Penyebab Ini akan menjadi label cabang utama diagram dan menjadi kategori
yang akan
2. Untuk menentukan penyebab utama sering kali merupakan pekerjaan yang tidak
mudah. Untuk itu kita dapat mencoba memulai dengan menulis daftar seluruh
penyebab yang mungkin. Kemudian penyebab‐penyebab tersebut
dikelompokkan berdasarkan hubungannya satu sama lain. Tentukan penyebab
berdasarkan urutan proses yang digunakan. Jadi, pada garis horizontal “tulang

24
punggung ikan”, tuliskan semua proses utama dari kiri ke kanan
3. Tulis penyebab utama tersebut di sebelah kiri kotak hasil atau akibat, beberapa
tulis di atas garis horizontal, selebihnya di bawah garis
4. Buat kotak untuk masing - masing penyebab utama tersebut.
d. Untuk setiap penyebab utama, identifikasi faktor-faktor yang menjadi penyebab dari
penyebab utama

1. Identifikasi sebanyak mungkin faktor penyebab dan tulis sebagai sub-cabang


utama
2. Jika penyebab‐penyebab minor menjadi penyebab dari lebih dari satu penyebab
utama, tuliskan pada semua penyebab utama tersebut.
e. Identifikasi lebih detail lagi secara bertingkat berbagai penyebab dan lanjutkan
mengorganisasikannya di bawah kategori atau penyebab yang berhubungan.
f. Menganalisis diagram analisis membantu kita mengidentifikasi penyebab yang
menjamin pemeriksaan lebih lanjut. Diagram fishbone ini hanya mengidentifikasi
kemungkinan penyebab, seperti:
1. Lihat keseimbangan diagram: Jika ada kelompok dengan banyak item pada
suatu area dapat mengindikasikan perlunya pengkajian lebih lanjut. Jika ada
kategori utama dengan sedikit penyebab minor dapat mengindikasikan perlunya
indentifikasi lagi penyebab minornya. Jika ada beberapa cabang kategori utama
hanya memiliki sedikit sub cabang, mungkin kita perlu mengombinasikannya
dalam satu kategori.
2. Cari penyebab yang muncul berulang, mungkin penyebab ini adalah penyebab
akar.
3. Cari apa yang bisa diukur dari setiap penyebab sehingga kita dapat
menguantitaskan hasil atau akibat dari setiap perubahan yang kita lakukan dan
yang terpenting, identifikasi penyebab‐penyebab yang dapat diambil tindakan.

25
BAB IV
GAMBARAN WILAYAH KERJA PUSKESMAS LIMO

4.1 Data Geografis Wilayah Kerja Puskesmas Limo


GAMBARAN UMUM DAN KEPENDUDUKAN
Gambaran Umum Wilayah

Gambar 4.1 Peta Wilayah Kecamatan Limo

Secara astronomis Kecamatan Limo terletak pada koordinat 6̊ 22’46.3” Lintang


Selatan dan 106˚47’24.1” Bujur Timur, berada pada ketinggian 100 meter di atas
permukaan laut. Kecamatan Limo terletak di sebelah utara Kota Depok yang dengan
luas wilayah 11,84 Km2 dan mempunyai 4 Kelurahan yaitu:

a. Kelurahan Grogol dengan luas wilayah 3,64 Km2, terdiri dari 76 RT, 13 RW
b. Kelurahan Krukut dengan luas wilayah 1,91 Km2, terdiri dari 36 RT, 8 RW
c. Kelurahan Meruyung dengan luas wilayah 2,16 Km2, terdiri dari 53 RT, 12 RW
d. Kelurahan Limo dengan luas wilayah 4,13 Km2, terdiri dari 97 RT, 16 RW

UPTD Puskesmas Limo terletak Jl. Raya Grogol No. 4 RT 01 RW 01 Kelurahan


Grogol, dengan batas wilayah:
a. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Mampang Kec. Pancoran Mas
b. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Gandul Kec. Cinere
c. Sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Sawangan Baru Kec. Sawangan
d. Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Tanah Baru Kec. Beji

26
Pertumbuhan Penduduk
Berdasarkan data BPS Kota Depok, pada tahun 2020 penduduk Kecamatan
Limo berjumlah 125.673 jiwa meningkat dibanding tahun 2019 yang berjumlah
121.037 jiwa, dengan demikian jumlah penduduk mengalami kenaikan sejumlah
4.636 jiwa. Diklasifikasikan menurut jenis kelamin, jumlah penduduk laki-laki adalah
63.192 orang atau 50,28% dan jumlah penduduk perempuan adalah 62.481 atau
49,72%. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa penduduk laki-laki di
Kecamatan Limo lebih banyak dibandingkan dengan penduduk perempuan.

Tabel 4.1 Jumlah Penduduk Kecamatan Limo Tahun 2017-2021 Menurut


Jenis Kelamin

TAHUN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH


2017 57.550 56.134 114.054
2018 59.346 56.548 117.889
2019 61.207 59.831 121.038
2020 63.192 62.481 125.673
2021 63.089 61.579 124.668
Sumber: Data Proyeksi Penduduk Kota Depok (2021)

75+ 901960
70 - 74 246
339
65 - 69 1074946
60 - 64 1558 1,442
55 - 59 2417 2,373
50 - 54 3337 2,811
45 - 49 4540 4,213
40 - 44 5531 4,921
35 - 39 5913 6,196
30 - 34 6248 6,481
25 - 29 5253 5,330
20 - 24 5002 4,801
15 - 19 4971 4,790
10 - 14 5074 4,894
5-9 5425 5,563
0-4 5601 5,578
8000 6000 4000 2000 2000 4000 6000 8000

Laki-laki Perempuan

Gambar 4.1 Piramida Penduduk Kecamatan Limo Tahun 2021

27
Sumber: Data Proyeksi Penduduk Kota Depok (2021)

Persebaran dan Kepadatan Penduduk


Tabel 4.2 Persebaran dan Kepadatan Penduduk Kecamatan Limo Tahun 2021

Luas Kepadatan
Jenis Kelamin Jumlah Wilayah penduduk
No Kelurahan (Km2) (Km2)
Laki-Laki Perempuan

1 GROGOL 16.175 16.023 32.198 3,64 8.845,60

2 KRUKUT 11.199 10.856 22.055 1,91 11.547,12

3 MERUYUNG 12.515 11.890 24.405 2,16


11.298,61

4 LIMO 23.201 22.810 46.010 4,13


11.140,43
Sumber: Data Proyeksi Penduduk Kota Depok Tahun 2021

4.2 Sumber Daya Kesehatan


Tabel 4.3 Distribusi Tenaga Kesehatan di UPTD Puskesmas Limo Tahun 2021

JENIS SDMK DI UPTD PUSKESMAS LIMO

Jenis Kelamin
Rumpun SDMK Jumlah
Laki-Laki Perempuan
  Tenaga Kesehatan >> Medis -  8 8
  Tenaga Kesehatan >> Kesehatan Masyarakat -  7 7
  Tenaga Kesehatan >> Teknik Biomedika  2  1 3
  Tenaga Kesehatan >> Keperawatan  -  7 7
  Tenaga Kesehatan >> Kesehatan Lingkungan  -  - 0
Tenaga Kesehatan >> Gizi - 1 1
Tenaga Kesehatan >> Kefarmasian - 5 5
  Tenaga Kesehatan >> Kebidanan  -   12 12
Tenaga Kesehatan >> Keteknisian Medis 1 2 3
  Asisten Tenaga Kesehatan >> Keperawatan  -  - 0
  Asisten Tenaga Kesehatan >> Kebidanan  -  - 0
  Tenaga Penunjang >> Struktural  -  - -
  Tenaga Penunjang >> Dukungan Manajemen  10 9 19
Total 65

28
Sumber: Profil SDMK UPTD Puskesmas Limo (2021)

4.3 Peran Serta Masyarakat


Dalam rangka meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan kepada masyarakat
berbagai upaya dilakukan diantaranya dengan memanfaatkan potensi dan sumber
daya yang ada di masyarakat. Upaya kesehatan bersumber daya masyarakat (UKBM)
diantaranya adalah Posyandu, Posbindu, kelurahan siaga, dan lain sebagainya.
Posyandu merupakan salah satu bentuk UKBM yang paling dikenal di masyarakat.
Menurut Kemenkes RI, Posyandu merupakan salah satu bentuk Upaya Kesehatan
Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang dikelola dari, oleh, untuk, dan bersama
masyarakat, guna memberdayakan masyarakat dan memberikan kemudahan kepada
masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan dasar.

Posyandu di Kecamatan Limo terdapat di hampir setiap RW dan dilaksanakan


setiap bulan dengan menggandeng Puskesmas Limo untuk meningkatkan cakupan
pelayanan kesehatan ibu dan anak, pelayanan gizi, keluarga berencana, imunisasi, dan
penanggulangan diare. Kegiatan yang sering dilakukan diantaranya imunisasi bayi
dan balita, pemberian tablet vitamin A, penimbangan bayi dan balita, hingga
penyuluhan kesehatan. Terdapat 50 Posyandu di Kecamatan Limo pada tahun 2021
dengan jenis strata Purnama maupun Mandiri yang seluruhnya merupakan Posyandu
aktif.

Tabel 4.4 Jumlah Posyandu dan Posbindu di Kecamatan Limo Tahun 2021

Strata Posyandu Posbindu


Kelurahan
Pratama Madya Purnama Mandiri PTM
Meruyung 0 0 1 11 12
Grogol 0 0 2 12 14
Krukut 0 0 2 8 10
Limo 0 0 2 12 14
Sumber: Seksi Promkes Dinas Kesehatan Kota Depok (2021)

Selain Posyandu, kegiatan Posbindu PTM (Penyakit Tidak Menular) juga


mulai dilaksanakan kembali sejak terhenti akibat pandemi. Kegiatan Posbindu
umumnya dilaksanakan di Posyandu setiap bulan dengan sasaran usia produktif dan
lanjut usia. Kegiatan yang dilakukan di Posbindu diantaranya adalah pengukuran
tekanan darah, berat badan, dan tinggi badan, pemeriksaan gula darah, dan
penyuluhan kesehatan.

29
BAB V
HASIL EVALUASI DAN PEMBAHASAN

5.1 Menetapkan Tolak Ukur dan Unsur Keluaran


Sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal Dinas Kesehatan Kota Depok tahun 2020
memiliki target capaian persentase orang terduga TB yang mendapatkan pelayanan TB
sesuai standar sebesar 100%. Target capaian dari pemerintah pusat disesuaikan dengan
mempertimbangkan berbagai masalah yang ada pada masyarakat di setiap puskesmas
dalam bentuk standar pelayanan minimal (SPM). Puskemas Limo menetapkan target
pencapaian untuk program cakupan jumlah TB di wilayah kerja Puskemas Limo Kota
Depok pada periode Januari-Desember 2021 adalah sebesar 100% untuk Cakupan
Pelayanan Kesehatan Orang Terduga TB dan Cakupan Pengobatan Semua Kasus TB
serta 90% untuk Cakupan Angka Keberhasilan Pengobatan Pasien TB Semua Kasus.

5.3 Identifikasi Masalah


Langkah awal untuk dapat menentukan adanya masalah dari pencapaian hasil output
adalah dengan menetapkan beberapa tolak ukur atau standar yang ingin dicapai. Proses
identifikasi masalah dilakukan secara bertahap, dimulai dari keluaran (output) program
kerja puskesmas, kemudian apabila ditemukan adanya kesenjangan antara tolak ukur
dengan data keluaran tersebut maka harus dicari kemungkinan penyebab masalah.
Identifikasi masalah dimulai dengan melihat adanya kesenjangan antara pencapaian.
Berdasarkan Profil Kesehatan Puskesmas Limo 2021 dan Sistem Informasi Tuberkulosis
Kemenkes didapatkan rincian dari pencapaian program TB berupa Angka Pengobatan
Lengkap, Angka Kesembuhan, dan Angka Keberhasilan Pengobatan Tuberkulosis.
Angka Pengobatan Lengkap (Complete Rate) adalah jumlah semua kasus tuberkulosis
yang mendapat pengobatan lengkap dibagi jumlah semua kasus tuberkulosis terdaftar
dan diobati. Adapun untuk Angka Kesembuhan (Cure Rate) adalah jumlah kasus
tuberkulosis paru terkonfirmasi yang sembuh dibagi dengan jumlah kasus tuberkulosis
paru terkonfirmasi bakteriologis yang diobati dan dilaporkan.
Indikator yang digunakan sebagai evaluasi pengobatan yaitu Angka Keberhasilan
Pengobatan (Success Rate). Angka Keberhasilan Pengobatan ini dibentuk dari
penjumlahan angka kesembuhan (Cure Rate) dan angka pengobatan lengkap (Complete
Rate). Angka Keberhasilan Pengobatan (Success Rate) adalah jumlah pasien tuberkulosis

30
semua kasus yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua kasus tuberkulosis
yang diobati dan dilaporkan. Data terkait pengobatan TB di Puskesmas Limo yang
didapat dari Sistem Informasi Tuberkulosis Kementerian Kesehatan sebagai berikut:

Gambar 5.1 Rincian pencapaian program TB Puskesmas Limo

Dari data tersebut diketahui bahwa dari 235 pasien terduga TB yang ditemukan, 230
pasien dilakukan pemeriksaan lab dan ada hasilnya sehingga cakupan pelayanan
kesehatan orang terduga TB sebesar 98%, lalu terdapat 59 pasien yang dinyatakan
sembuh atau pengobatan lengkap dari 82 pasien yang memulai pengobatan. Dari data
tersebut dapat disimpulkan bahwa Success Rate dari pasien tuberculosis di Puskesmas
Limo sebesar 71%. Berikut hasil pencapaian program TB di wilayah Kerja Puskemas
Limo pada Periode Januari-Desember 2021 berdasarkan PKP 2021 dan Sistem Informasi
Tuberkulosis Kemenkes.

Tabel 5.1 Hasil Pencapaian Program TB Periode Januari-Desember 2021.


No. Indikator Tolak Ukur Capaian (%) Masalah
(%)
1 Cakupan Pelayanan 100% 98% +
Kesehatan Orang
Terduga TB
2 Cakupan Angka 90% 71% +
Keberhasilan
Pengobatan Pasien
TB Semua Kasus

31
5.4 Menetapkan Prioritas Masalah
Prioritas masalah yang sudah ditemukan dapat ditentukan dengan menggunakan
metode USG.
Tabel 5.2 Prioritas Masalah Berdasarkan Metode USG.

No Nilai Kriteria Hasil


Masalah
. U S G Akhir
Cakupan Pelayanan Kesehatan Orang
1 3 3 4 36
Terduga TB
Cakupan Angka Keberhasilan
2 4 4 4 64
Pengobatan Pasien TB Semua Kasus

Berdasarkan Metode USG, didapatkan bahwa prioritas masalah TB di wilayah kerja


Puskemas Limo yaitu angka Success Rate dari pasien tuberculosis di Puskesmas Limo
yang baru sebesar 71%. Dari prioritas masalah tersebut lalu dilakukan analisis penyebab
masalah menggunakan metode diagram fishbone.

MAN
MATERIAL
Kader TB
belum Belum
seluruhnya tersedianya alat
berperan aktif Mantoux dan
TCM di PKM
Belum tercapainya
Cakupan Angka
Keberhasilan Pengobatan
Pasien TB

METHOD ENVIRONMENT
Belum optimalnya Peran serta masyarakat dan
pengawas minum obat pada lintas sektor dalam
pasien TB penanganan TB masih rendah

Gambar 5.2 Diagram Fishbone

32
5.6 Penetapan Prioritas Penyebab Masalah
Berdasarkan diagram fishbone, perlu dicari penyebab masalah yang memiliki peranan
paling penting dalam mencapai keberhasilan program. Teknik kriteria matriks pemilihan
prioritas dapat digunakan untuk memilih penyebab masalah yang paling dominan.
Analisis penentuan prioritas penyebab masalah pada program TB di Wilayah Kerja
Puskemas Limo dijelaskan pada tabel berikut.

Tabel 5.3 Penentuan Prioritas Penyebab Masalah.

No. Daftar Penyebab I Jumlah


P S RI DU SC PB PC T R
Masalah IxTxR
1. Man
Kader TB belum
seluruhnya berperan aktif 3 4 3 3 3 3 2 3 4 252

2. Method
Belum optimalnya
pengawas minum obat 4 4 3 3 4 3 2 4 4 368
pada pasien TB

3. Material
Belum tersedianya alat
Mantoux dan TCM di 2 3 2 3 2 2 2 4 2 144
Puskesmas

4. Environment
Peran serta masyarakat
dan lintas sektor dalam
penanganan TB masih 3 3 3 3 4 3 4 3 3 230
rendah

Keterangan

- I : Importancy (pentingnya masalah)


- P : Prevalence (besarnya masalah)
- S : Severity (akibat yang ditimbulkan masalah)
- RI : Rate of Increase (kenaikannya besarnya masalah)
- DU : Degree of Unmeet Need (derajat keinginan masyarakat yg telah
terpenuhi)
- SC : Social Benefit (keuntungan sosial karena selesainya masalah)
- PB : Public Concern (rasa prihatin masyarakat tentang masalah)
- PC : Political Climate (suasana politik)
- T : Technical feasibility (kelayakan teknologi)
- R : Resources availibility (sumber daya yang tersedia)

33
Setelah dilakukan pemilihan prioritas masalah, didapatkan masalah yang berpengaruh
besar pada tidak tercapainya TB di wilayah kerja Puskemas Limo yakni belum
optimalnya pengawas minum obat pada pasien TB.

34
BAB VI

ALTERNATIF PEMECAHAN MASALAH

6.1 Menyusun Alternatif Pemecahan Masalah


Terdapat beberapa masalah pada program TB di Puskemas Limo periode Januari-
Desember 2021. Setelah itu dilakukan pemilihan prioritas masalah dengan menggunakan
matriks USG, didapatkan masalah berupa belum tercapainya cakupan angka keberhasilan
pengobatan pasien TB semua kasus. Target yang berhasil dicapai hanya sebesar 71% di
wilayah kerja Puskesmas Limo periode Januari-Desember 2021. Berdasarkan faktor
penyebab masalah yang dapat diidentifikasi, maka dibuat beberapa alternatif pemecahan
masalah sebagai berikut yakni:

Tabel 6.1 Menetapkan Alternatif Pemecahan Masalah


Masalah Penyebab Alternatif

Cakupan Angka Belum optimalnya pengawas  Mencetak kartu pengawas


Keberhasilan minum obat pada pasien TB
minum obat untuk pasien
Pengobatan TB
Pasien TB Semua
 Memantau pengobatan
Kasus
pasien TB melalui sistem
WhatsApp yang terintegrasi
dalam Hotline TB Limo

6.2 Memilih Prioritas Pemecahan Masalah

Setelah didapatkan beberapa alternatif pemecahan masalah, perlu dilakukan pemilihan


prioritas pemecahan masalah yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan dan
memberikan dampak terbaik terhadap masalah yang ada. Penentuan prioritas pemecahan
masalah pada program TB di wilayah kerja Puskemas Limo dijelaskan pada tabel sepuluh.

35
Tabel 6.2 Penentuan Prioritas Jalan Keluar
Efektivitas Efisien Jumlah (MIV/C)
No Daftar Alternatif Jalan
si
Keluar
M I V C
Mencetak kartu pengawas minum
1 obat untuk pasien TB 4 4 5 4 20

Memantau pengobatan pasien


2 TB melalui sistem WhatsApp
yang terintegrasi dalam Hotline 4 4 5 3 27

TB Limo

Keterangan:
P: Prioritas alternatif pemecahan masalah (MIV/C)
M: Magnitude, yaitu besarnya masalah yang dilihat dari morbiditas dan mortalitas
I: Importance, yang ditentukan oleh jenis kelompok penduduk yang terkena
masalah/penyakit
V: Vulnerability, yaitu ada/tersedianya cara-cara pencegahan dan pemberantasan
masalah yang bersangkutan
C: Cost, yaitu biaya yang diperlukan untuk menanggulangi masalah tersebut.

Dari tabel di atas, didapatkan bahwa alternatif pemecahan masalah yang dipilih adalah
memantau pengobatan pasien TB melalui sistem WhatsApp yang terintegrasi dalam
Hotline TB Limo

36
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

1. Terdapat masalah pada program TB di wilayah kerja Puskemas Limo periode


Januari-Desember 2021 berupa belum tercapainya cakupan angka keberhasilan
pengobatan pasien TB semua kasus sebesar 71%.

2. Penyebab utama dari masalah program TB di wilayah kerja Puskemas Limo


Periode Januari-Desember 2021 adalah belum optimalnya pengawas minum obat
pada pasien TB.

3. Alternatif pemecahan masalah yaitu memantau pengobatan pasien TB melalui


sistem WhatsApp yang terintegrasi dalam Hotline TB Limo.
7.2 Saran
Saran untuk evaluasi program TB Puskemas Limo periode Januari-Desember 2021
yaitu diharapkan untuk pemegang program, kader TB, dan perangkat kelurahan dapat
berperan aktif bersama masyarakat untuk memantau pengobatan pasien TB melalui
sistem WhatsApp yang terintegrasi dalam Hotline TB Limo

37
DAFTAR PUSTAKA
1. World Health Organization (WHO). Global Tuberculosis Report 2021. France: World
Health Organization; 2021.
2. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2021. Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI;2021
3. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis. Jakarta:
Kementerian Kesehatan RI; 2020.
4. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2021). Tuberkulosis pedoman diagnosis
dan penatalaksanaan di Indonesia. [Internet] 2021. [Diakses Oktober 2022].
Diakses dari http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb/tb.html
5. Simbolon D (2007). Faktor risiko tuberkulosis paru di kabupaten Rejang
Lebong. Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional, 2 (3) : 112-119
6. Susilayanti EY, Medison I, Erkadius (2014). Profil penderita penyakit
tuberkulosis paru BTA positif yang ditemukan di BP4 Lubuk Alung periode
Januari 2012 – Desember 2012. Jurnal Kesehatan Andalas, 3 (2): 151-155.
7. Kemenkes RI. Penemuan Pasien Tuberkulosis. Kemenkes RI. Jakarta. 2017.
8. Kemenkes Kesehatan RI. Permenkes RI No. 82 Tahun 2014 Tentang
Penanggulangan Penyakit Menular.
9. Lingkungan DJPP dan P. Strategi Nasional Pengendalian TB di Indonesia 2020-
2024. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2020
10. WHO. World health statictics 2014 a wealth of information on global public
[Internet] 2014. [Diakses Oktober 2022] Diakses dari https://apps.who.int/iris/

38
LAMPIRAN
KERANGKA ACUAN KEGIATAN INOVASI

“Hotline TB Limo”

I. LATAR BELAKANG

Tuberkulosis (TB) saat ini masih merupakan masalah kesehatan masyarakat baik di
Indonesia maupun internasional sehingga menjadi salah satu tujuan pembangunan
kesehatan berkelanjutan (SDGs). Tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut menyebar dari penderita TB
melalui udara. Kuman TB ini biasanya menyerang organ paru bisa juga di luar paru (extra
paru). Sampai saat ini TB masih merupakan penyakit infeksi penyebab kematian tertinggi
kedua setelah COVID-19, dan merupakan penyebab kematian tertinggi ke-13 di seluruh
dunia. Indonesia berada pada peringkat ke-3 dengan penderita TB tertinggi di dunia
setelah India dan China. Secara global, diperkirakan 10 juta orang menderita TB pada
tahun 2020.
Menurut Global Tuberculosis Report tahun 2021, pada tahun 2020 angka insiden TB
di Indonesia sebesar 301 per 100.000 penduduk, menurun jika dibandingkan dengan
angka insiden TB tahun 2019 yaitu sebesar 312 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka
kematian TBC tahun 2019 dan 2020 masih sama yaitu sebesar 34 per 100.000 penduduk.
Berdasarkan laporan Riskesdas Tahun 2021 Pada tahun 2021 jumlah kasus tuberkulosis
yang ditemukan sebanyak 397.377 kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus
tuberkulosis yang ditemukan pada tahun 2020 yaitu sebesar 351.936 kasus. Jumlah kasus
tertinggi dilaporkan dari provinsi dengan jumlah penduduk yang besar yaitu Jawa Barat,
Jawa Timur, dan Jawa Tengah. Kasus tuberkulosis di ketiga provinsi tersebut
menyumbang angka sebesar 44% dari jumlah seluruh kasus tuberkulosis di Indonesia.
Ketaatan pasien pada pengobatan TB sangat penting untuk mencapai kesembuhan,
mencegah penularan dan menghindari kasus resistan obat. Pada “Stop TB Strategy”
mengawasi dan mendukung pasien untuk minum OAT merupakan landasan DOTS dan
membantu pencapaian target keberhasilan pengobatan 85%. Pengobatan dengan
pengawasan membantu pasien untuk minum OAT secara teratur dan lengkap. Directly
Observed Treatment Short Course (DOTS) merupakan metode pengawasan yang

39
direkomendasikan oleh WHO dan merupakan paket pendukung yang dapat menjawab
kebutuhan pasien. Pengawasan dan komunikasi antara pasien dan petugas kesehatan akan
memberikan kesempatan lebih banyak untuk edukasi, identifikasi dan solusi masalah-
masalah selama pengobatan TB. Directly observed treatment short course sebaiknya
diterapkan secara fleksibel dengan adaptasi terhadap keadaan sehingga nyaman bagi
pasien.
Puskesmas (pusat kesehatan masyarakat) merupakan unit pelayanan kesehatan tingkat
pertama yang menjadi ujung tombak pelaksanaan program penanggulangan TB. Program
penanggulangan TB diselenggarakan melalui beberapa kegiatan seperti promosi
kesehatan, surveilans TB, pengendalian faktor risiko, penemuan dan penanggulangan
kasus TB, pemberian kekebalan serta pengobatan TB.
II. TUJUAN
a. Tujuan Umum

Terciptanya suatu sistem yang dapat membantu proses pemantauan


pengobatan TB di Puskesmas Limo

b. Tujuan Khusus
i. Meningkatkan angka kesuksesan pengobatan TB di Puskesmas Limo
ii. Memudahkan monitoring dan evaluasi pengobatan TB di Puskesmas
Limo
iii. Memudahkan akses informasi bagi masyarakat PKM Limo terkait TB

III. KEGIATAN POKOK RINCIAN KEGIATAN


a. Perencanaan awal
b. Notifikasi minum obat harian dan kunjungan poli TB melalui WhatsApp
c. Pusat informasi dan edukasi TB melalui WhatsApp
IV. CARA MELAKSANAKAN KEGIATAN
1. Menentukan nomor Hotline pelayanan TB PKM Limo.
2. Menyusun template notifikasi minum obat dan kunjungan poli TB melalui
aplikasi “Do It Later” yang terintegrasi melalui WhatsApp Hotline TB
Limo.
3. Menyusun template Pusat Informasi dan Konseling TB melalui aplikasi
“WhatsAuto” yang terintegrasi melalui WhatsApp Hotline TB Limo.

40
4. Mengidentifikasi kontak WhatsApp pasien/PMO pasien yang dapat
dihubungi.
5. Memasukkan kontak tersebut dalam list nomor-nomor yang akan
dikirimkan notifikasi secara berkala.
6. Mengaktivasi fitur auto send message yang akan mengirimkan notifikasi
melalui chat ke kontak WhatsApp pasien/PMO pasien agar minum obat
setiap jam yang sama setiap hari dan mengirimkan notifikasi setiap hari
Selasa untuk kunjungan Poli TB.
7. Saat dikirimkan notifikasi tersebut pasien harus mengirimkan foto sedang
meminum obat sebagai konfirmasi bahwa pasien sudah meminum obat
pada hari tersebut.
8. Membagikan poster yang berisi edukasi mengenai arahan untuk segera
berobat ke PKM jika memiliki gejala TB/kontak dengan penderita TB
yang disertai QR code yang tersambung dengan WhatsApp Hotline TB
Limo
V. LAMPIRAN

Contoh Pelaksanaan Notifikasi Harian Pengingat Minum Obat

41
Contoh Pelaksanaan Pusat Informasi dan Konseling TB

42

Anda mungkin juga menyukai