Anda di halaman 1dari 43

Meet The Expert

Tumor Ginekologi

Oleh:

Fetriza Helfia Sari 1840312774


Addelin Sildferisa 1840312776
Cyntia Harkhansa 1840312777
Adis Novilia 1940312004
Salma Fairuz Fernando 1940312030

Preseptor:

dr. Syamel Muhammad, Sp.OG-K

BAGIAN OBSTETRI & GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2020
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tumor merupakan sekelompok sel-sel abnormal yang terbentuk hasil proses


pembelahan sel yang berlebihan dan tidak terkoordinasi. Dalam bahasa medisnya,
tumor dikenal sebagai neoplasia. Neo berarti baru, plasia berarti
pertumbuhan/pembelahan, jadi neoplasia mengacu pada pertumbuhan sel-sel
disekitarnya yang normal. Dari pengertian tumor di atas, tumor dibagi menjadi 2
golongan besar yaitu tumor jinak (benign) dan tumor ganas (malignant) atau yang
popular disebut kanker.1
Traktus genitalia merupakan tempat pertumbuhan tumor yang tersering
pada wanita dan umumnya lebih banyak dijumpai tipe tumor ganas seperti
karsinoma serviks, karsinoma ovarium dan karsinoma endometrium. Selain itu
bentuk tumor lain yang lebih jarang dijumpai antara lain tumor vagina, vulva dan
tuba fallopi.2
Pertumbuhan neoplastik pada daerah vagina dan vulva biasanya berasal dari
epitel skuamosa dan papillar serta jaringan mesenkim. Jarang sekali ditemukan
tumor jinak yang berasal dari sel stroma pada daerah vagina. Tumor jinak vagina
seringkali ditemukan dalam bentuk leiomioma, rabdomioma dan lain-lain.3
Tumor ganas pada alat reproduksi wanita dijumpai pada semua umur (18–
80tahun) dengan rata-rata puncaknya pada usia 50 tahun. Kejadian paling sering
pada kelompok umur 30–40 tahun.4
Kepala Departemen Radioterapi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Profesor Soeharti Gondhowiardjo mengatakan, jumlah penderita kanker di
Indonesia kian meningkat. Dari data Kementrian Kesehatan (Kemenkes) tahun
2012 menyebutkan, prevalensi kanker mencapai 4,3:1000 orang. Salah satu tumor
ganas yang menjadi penyebab kematian tersering pada wanita adalah carcinoma
serviks (kanker leher rahim). Carcinoma serviks merupakan kanker yang paling
banyak ditemukan pada wanita di Indonesia (diantara jenis kanker lainnya).
Frekuensi relatif di Indonesia adalah 27 % berdasarkan data patologik atau 16%
berdasarkan data rumah sakit. Insiden puncak pada usia 40–50 tahun. Kanker ini
banyak menyebabkan kematian karena terlambat dideteksi dan diobati.4
Tumor ganas ovarium menempati 2,4-5,6 % dari tumor ganas yang sering
ditemukan pada wanita. Insidensinya dibawah kanker serviks dan karsinoma
endometrium namun angka mortalitas yang tinggi menempatkan tumor ovarium
merupakan urutan teratas tumor gans yang sering diderita wanita.5 Di Indonesia,
tumor ganas ovarium menempati urutan keenam dari seluruh tumor ganas yang
menyerang laki-laki dan perempuan, dan urutan ketiga pada tumor ganas yang
menyerang perempuan.7

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas mengenai definisi, epidemiologi, faktor risiko,
patofisiologi, klasifikasi, gejala klinis, diagnosis, tatalaksana, dan prognosis tumor
ginekologi

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah bertujuan untuk menambah pengetahuan mengenai
tumor ginekologi

1.4 Metode Penulisan


Penulisan makalah ini menggunakan metode tinjauan pustaka yang merujuk
pada berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tumor Vulva
2.1.1 Tumor Jinak Vulva
1. Kista Bartholini
Kista bartholini merupakan kista yang paling sering dijumpai. Kista
tersebut dapat terjadi akibat terbentuknya parut setelah infeksi (terutama yang
disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae, kadang-kadang streptokokus atau
stafilokokus), atau trauma yang dapat menyebabkan sumbatan pada saluran
ekskresi kelenjar bartholini.7 Ketika orifisium dari duktus kelenjar bartholini
terhambat, kelenjar akan menghasilkan penumpukan lendir. Penumpukan
lendir ini menyebabkan melebarnya duktus dan terbentuknya kista.8

Jika kista ini tidak disertai dengan infeksi sekunder, umumnya tidak
bergejala dan hanya diketahui pada palpasi. Pada infeksi akut terjadi
penyumbatan, indurasi, dan peradangan. Jika terjadi infeksi, gejala utama
berupa nyeri pada palpasi dan dispareunia. Dinding kista akan kemerahan,
tegang, dan nyeri pada tahap supuratif dan berkurangnya rasa nyeri dan
tegang pada tahap eksudatif dimana sudah terjadi abses. 7

Tatalaksana utama kista bartholini adalah prosedur marsupialisasi, yaitu


insisi pada dinding kista dan drainase cairan kista. Selain itu, dapat dilakukan
tindakan insisi dan drainase yang lebih sederhana berupa pemasangan kateter
Ward, akan tetapi tindakan ini hanya dapat mengurangi keluhan penderita
untuk sementara waktu karena insisi tersebut akan diikuti dengan obstruksi
ulangan. Pada kista dengan infeksi sekunder dapat diberikan antibiotik untuk
mikroorganisme sesuai dengan hasil sediaan hapus atau kultur. 7
Gambar 2.1 Kista Bartholini dan Prosedur Marsupialisasi

2. Kista Pilosebasea
Kista pilosebasea merupakan kista yang paling sering ditemukan di
vulva.1 Kista terbentuk akibat obstruksi pada duktus kelenjar pilosebasea
yang disebabkan oleh infeksi atau akumulasi material sebum pada saluran
tersebut, atau dapat terjadi secara sekunder akibat trauma seperti episiotomi
atau ruptur perineum.7,9

Gambar 2.2 Kista Pilosebasea

Kista tampak berupa pembengkakan yang nodular, berbatas tegas,


dan mobile pada vulva atau perineum yang berisi kaseosa putih atau kuning
yang semi padat yang mengandung sebum dan sel kulit mati.9 Umumnya kista
pilosebasea tidak membesar dan asimptomatik namun bila terjadi infeksi akan
timbul nyeri lokal.7
Pada kista dengan infeksi sekunder dibutuhkan tatalaksana berupa
insisi, drainase, serta pemberian antibiotik.7
2.1.2 Tumor Ganas Vulva
Kanker vulva jarang ditemukan dan merupakan 4% dari tumor ganas
ginekologi.10

2.1.2.1 Epidemiologi
Kanker vulva lebih banyak terjadi pada lansia yaitu antara usia 65-75 tahun,
akan tetapi 15% terjadi pada usia di bawah 40 tahun.1 Secara histologi, tipe
terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa (95%), diikuti oleh melanoma, sarkoma,
dan basalioma.10

2.1.2.2 Etiologi
Kanker vulva disebabkan oleh infeksi hPV (human papilloma virus). 7

2.1.2.3 Faktor Risiko


Pada kanker vulva, prevalensi diabetes mellitus, hipertensi, aterosklerosis,
dan obesitas tinggi, tapi mungkin juga karena penyakit ini lebih banyak ditemukan
pada pasien yang berusia lanjut.7,10 Kanker vulva lebih banyak ditemukan pada
perokok, pasien dengan kanker serviks, atau keadaan imunosupresi. 7

2.1.2.4 Manifestasi Klinis


Gejala yang paling sering dikeluhkan adalah riwayat pruritus yang lama,
benjolan di vulva, perdarahan, nyeri, disuria, keputihan, atau berupa ulkus. 7,10
Manifestasi yang paling jelas dari kanker vulva adalah benjolan atau massa vulva
yang dapat menyebabkan ulserasi atau leukoplakia.10
Gambar 2.3 Kanker Vulva

2.1.2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan biopsi pada lesi. Pemeriksaan fisik
dapat dilakukan dengan pengukuran massa tumor di vulva dan kelenjar getah
bening inguinal. Pemeriksaan radiologi berupa foto toraks dan CT-scan pelvis
diperlukan untuk melihat metastasis dan kelenjar getah bening regional.7

Stadium surgikal kanker vulva berdasarkan FIGO :

1. Stadium 0: karsinoma insitu (karsinoma invasif)

2. Stadium I: tumor terbatas pada vulva, atau vulva dan perineum dengan
diameter terpanjang tidak lebih dari 2 cm.

3. Stadium I A: tumor terbatas pada vulva, atau vulva dan perineum, dengan
diameter 2 cm atau kurang, dan dengan invasi stroma tidak lebih dari 1,0
mm.

4. Stadium I B: tumor terbatas pada vulva, atau vulva dan perineum, dengan
diameter 2 cm atau kurang, dan dengan invasi stroma lebih dari 1,0 mm.
5. Stadium II: tumor terbatas pada vulva, atau vulva dan perineum, dengan
diameter tumor terbesar lebih dari 2 cm.

6. Stadium III: tumor menginfiltrasi salah satu dari : uretra bagian bawah,
vagina, anus, dan / atau metastasis kelenjar getah bening regional unilateral.

7. Stadium IV A: tumor menginfiltrasi salah satu dari mukosa kandung kemih,


mukosa rektum, mukosa uretra bagian atas, atau telah sampai ke tulang
panggul dan / atau metastasis ke kelenjar getah bening regional bilateral.

8. Stadium IV B: metastasis di organ tubuh jauh termasuk kelenjar getah


bening pelvis.7

2.1.2.6 Tatalaksana
Tatalaksana kanker vulva adalah pembedahan dan radioterapi pasca bedah
bila termasuk kelompok prognosis buruk. Pada stadium I dilakukan eksisi luas
sekitar lesi, bila kedalaman invasi kurang dari 1 mm dari jaringan sekitarnya. Pada
stadium II dan III, dilakukan vulvektomi radikal dan limfadenektomi inguinal
bilateral. Pada stadium lanjut, pembedahan yang dilakukan adalah eksenterasi jika
memungkinkan.7
2.1.2.7 Prognosis
Prognosis pasien dengan kanker vulva cukup baik jika tatalaksana yang
tepat dilakukan pada waktu yang tepat. Keterlibatan kelenjar getah bening inguinal
dan / atau femoral adalah faktor prognostik yang paling signifikan untuk
kelangsungan hidup pada pasien dengan kanker vulva. Pertumbuhan ekstrakapsular
metastasis kelenjar getah bening, 2 atau lebih kelenjar getah bening yang terkena,
dan lebih dari 50% penggantian kelenjar getah bening oleh tumor adalah prediktor
kelangsungan hidup yang buruk. Tingkat kelangsungan hidup 5 tahun secara
keseluruhan berkisar dari 70-93% pada pasien tanpa keterlibatan kelenjar getah
bening dan 25-41% pada pasien dengan keterlibatan kelenjar getah bening.10
Faktor prognostik lainnya termasuk stadium, invasi ke saluran limfatik, dan
usia yang lebih tua.7,10 Lesi yang rekuren di kelenjar getah bening, serta metastasis
jauh, memiliki prognosis yang buruk dengan angka kelangsungan hidup 5 tahun
yang kurang dari 5%.10
2.2 Tumor Serviks
2.2.1 Tumor Ganas Serviks
2.2.1.1 Definisi
Kanker serviks merupakan keganasan yang berasal dari serviks yaitu
sepertiga bagian bawah uterus, berbentuk silindris, menonjol dan berhubungan
dengan vagina melalui ostium uteri eksternum.11
2.2.1.2 Etiologi
Penyebab utama kanker serviks adalah infeksi virus Human Papiloma
Virus (HPV) sub tipe onkogenik terutama sub tipe 16 dan 18. Virus ini merupakan
virus DNA rantai ganda termasuk kedalam keluarga Papovaviridae. Hampir 200
jenis HPV telah teridentifikasi dengan lebih dari 40 jenis menginfeksi genital.
Infeksi HPV dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan sifat karsinogeniknya yaitu
resiko tinggi dan resiko rendah. Jenis HPV yang beresiko tinggi yaitu sub tipe 16,
18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 68, dan 59. HPV 16 dan 18 merupakan
genotipe risiko tinggi yang paling ganas dan menyebabkan sekitar 70% dari semua
kanker serviks invaf di dunia.11,12
2.2.1.3 Faktor Risiko
Faktor risiko terjadinya kanker serviks antara lain :7,11

• Aktivitas seksual pada usia muda (< 16 tahun)

• Berhubungan seksual dengan multipartner

• Menderita HIV atau penyakit/penekanan kekebalan (immunosuppresive)


yang bersamaan dengan infeksi hPV

• Merokok

• Mempunyai anak banyak ( 5 anak)

• Sosial ekonomi rendah

• Pemakaian pil KB > 5 tahun

• Penyakit menular seksual


2.2.1.4 Patologi
Proses terjadinya kanker serviks berhubungan dengan proses metaplasia.
Masuknya mutagen atau bahan-bahan yang dapat mengubah perilaku sel secara
genetik, pada saat fase aktif metaplasia dapat berubah menjadi sel yang berpotensi
ganas. Karsinoma serviks timbul diatas antara epitel yang melapisi ektoserviks
(porsio) dan endoserviks kanalis serviks yang disebut sebagai Squamo-Columnar
Junction (SCJ).11
Sel yang mengalami mutasi disebut sel diplastik dan kelainan epitelnya
disebut diplasia (Neoplasia Intrapitel Serviks/NIS). Perjalanan kanker serviks
dimulai dari displasia ringan, sedang, berat dan karsinoma in-situ dan kemudian
berkembang menjadi karsinoma invasif. Lesi displasia dikenal sebagai lesi
prakanker. Pada lesi prakanker derajat ringan dapat mengalami regresi spontan
dan menjadi normal kembali.Tetapi pada lesi derajat sedang dan berat lebih
berpotensi berubah menjadi kanker invasive.12

Gambar 2.4 Perjalanan Penyakit Kanker Serviks13

2.2.1.5 Diagnosis
Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Pada umumnya, lesi prakanker atau stadium dini kanker serviks belum
memberikan gejala. Bila telah menjadi kanker invasif, gejala yang paling umum
adalah perdarahan pervaginam (contact bleeding, perdarahan saat berhubungan
intim, perdarahan diluar haid) dan keputihan. Pada stadium lanjut, gejala dapat
berkembang menjadi keluarnya cairan pervaginam yang berbau busuk, nyeri
pinggang atau perut bagian bawah karena desakan tumor di daerah pelvik ke arah
lateral sampai obstruksi ureter, bahkan sampai oligo atau anuria. Gejala lanjutan
bisa terjadi sesuai dengan infiltrasi tumor ke organ yang terkena, misalnya: fistula
vesikovaginal, fistula rektovaginal, edema tungkai.7,11
Pemeriksaan Penunjang
Deteksi lesi pra kanker terdiri dari berbagai metode :
1. Papsmear (konvensional atau liquid-base cytology /LBC )
Papsmear direkomendasikan pada saat mulai melakukan aktivitas
seksual atau setelah menikah. Setelah tiga kali pemeriksaan tes Pap tiap
tahun, interval pemeriksaan dapat lebih lama (tiap 3 tahun sekali). Bagi
kelompok perempuan yang berisiko tinggi (infeksi hPV, HIV, kehidupan
seksual yang berisiko) dianjurkan pemeriksaan tes Pap setiap tahun.
Pemastian diagnosis dilaksanakan dengan biopsi serviks.7
2. Inspeksi Visual Asam Asetat (IVA),
3. Inspeksi Visual Lugoliodin (VILI),
4. Test DNA HPV (genotyping / hybrid capture)
Pemeriksaan klinik meliputi inspeksi, kolposkopi, biopsi serviks,
sistoskopi, rektoskopi, USG, BNO -IVP, foto toraks dan bone scan , CT scan
atau MRI, PET scan. Kecurigaan metastasis ke kandung kemih atau rektum
harus dikonfirmasi dengan biopsi dan histologik. Konisasi dan amputasi
serviks dianggap sebagai pemeriksaan klinik. Khusus pemeriksaan sistoskopi
dan rektoskopi dilakukan hanya pada kasus dengan stadium IB2 atau lebih.11
Biopsi serviks merupakan cara diagnosis pasti dari kanker serviks,
sedangkan tes Pap dan/atau kuret endoserviks merupakan pemeriksaanyang
tidak adekuat. Pemeriksaan radiologi berupa foto paru-paru, pielografi
intravena atau CT-scan merupakan pemeriksaan penunjang untuk melihat
perluasan penyakit, serta menyingkirkan adanya obstruksi ureter. Pemeriksaan
laboratorium klinik berupa pemeriksaan darah tepi, tes fungsi ginjal, dan tes
fungsi hati diperlukan untuk mengevaluasi fungsi organ serta menentukan jenis
pengobatan yang akan diberikan.7
Stadium kanker Serviks
Stadium kanker serviks ditetapkan secara klinis. Stadium klinis menurut
FIGO membutuhkan pemeriksaan pelvik, jaringan serviks (biopsi konisasi untuk
stadium IA dan biopsi jaringan serviks untuk stadium klinik lainnya), foto paru-
paru, pielografi intravena (dapat pula digantikan dengan foto CT-scan). Untuk
kasus-kasus stadium lebihIanjut diperlukan pemeriksaan sistoskopi, proktoskopi,
dan barium enema.7

Gambar 2.5 Klasifikasi Stadium Kanker Serviks


l

Gambar 2.6 Stadium Kanker

2.2.1.6 Diagnosis Banding


1. Adenokarsinoma Endometrial
2. Polip Endoservikal
3. Chlamydia trachomatis atau Infeksi menular seksual lainnya pada wanita
dengan:
• Keluhan perdarahan vagina, duh vagina serosanguinosa, nyeri pelvis
• Serviks yang meradang dan rapuh (mudah berdarah, terutama setelah
berhubungan seksual).11
2.2.1.7 Tatalaksana
Tatalaksana Lesi Prakanker
Tatalaksana lesi pra kanker disesuaikan dengan fasilitas pelayanan
kesehatan, sesuai dengan kemampuan sumber daya manusia dan sarana prasarana
yang ada. Pada tingkat pelayanan primer dengan sarana dan prasarana terbatas
dapat dilakukan program skrining atau deteksi dini dengan tes IVA. Skrining
dengan tes IVA dapat dilakukan dengan cara single visit approach atau see and
treat program, yaitu bila didapatkan temuan IVA positif maka selanjutnya dapat
dilakukan pengobatan sederhana dengan krioterapi oleh dokter umum atau bidan
yang sudah terlatih.11
Pada skrining dengan tes Pap smear, temuan hasil abnormal
direkomendasikan untuk konfirmasi diagnostik dengan pemeriksaan kolposkopi.
Bila diperlukan maka dilanjutkan dengan tindakan Loop Excision Electrocauter
Procedure (LEEP) atau Large Loop Excision of the Transformation Zone (LLETZ)
untuk kepentingan diagnostik maupun sekaligus terapeutik. Bila hasil elektrokauter
tidak mencapai bebas batas sayatan, maka bisa dilanjutkan dengan tindakan
konisasi atau histerektomi total.
Temuan abnormal hasil setelah dilakukan kolposkopi :
• LSIL (low grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan
observasi 1 tahun.
• HSIL(high grade squamous intraepithelial lesion), dilakukan LEEP dan
observasi 6 bulan11
Berbagai metode terapi lesi prakanker serviks:
1. Terapi NIS dengan Destruksi Lokal
Beberapa metode terapi destruksi lokal antara lain: krioterapi dengan N2O
dan CO2, elektrokauter, elektrokoagulasi, dan laser. Metode tersebut ditujukan
untuk destruksi lokal lapisan epitel serviks dengan kelainan lesi prakanker yang
kemudian pada fase penyembuhan berikutnya akan digantikan dengan epitel
skuamosa yang baru.11
a. Krioterapi
Krioterapi digunakan untuk destruksi lapisan epitel serviks dengan metode
pembekuan atau freezing hingga sekurang-kurangnya -20oC selama 6 menit
(teknik Freeze-thaw-freeze) dengan menggunakan gas N2O atau CO2.
Kerusakan bioselular akan terjadi dengan mekanisme: (1) sel‐ sel mengalami
dehidrasi dan mengkerut; (2) konsentrasi elektrolit dalam sel terganggu; (3) syok
termal dan denaturasi kompleks lipid protein; (4) status umum sistem
mikrovaskular.11
b. Elektrokauter
Metode ini menggunakan alat elektrokauter atau radiofrekuensi dengan
melakukan eksisi Loop diathermy terhadap jaringan lesi prakanker pada zona
transformasi. Jaringan spesimen akan dikirimkan ke laboratorium patologi
anatomi untuk konfirmasi diagnostik secara histopatologik untuk menentukan
tindakan cukup atau perlu terapi lanjutan.11
c. Diatermi Elektrokoagulasi
Diatermi elektrokoagulasi dapat memusnahkan jaringan lebih luas dan
efektif jika dibandingkan dengan elektrokauter, tetapi harus dilakukan dengan
anestesi umum. Tindakan ini memungkinkan untuk memusnahkan jaringan
serviks sampai kedalaman 1 cm, tetapi fisiologi serviks dapat dipengaruhi,
terutama jika lesi tersebut sangat luas.11
d. Laser
Sinar laser (light amplication by stimulation emission of radiation), suatu
muatan listrik dilepaskan dalam suatu tabung yang berisi campuran gas helium,
gas nitrogen, dan gas CO2 sehingga akan menimbulkan sinar laser yang
mempunyai panjang gelombang 10,6u. Perubahan patologis yang terdapat pada
serviks dapat dibedakan dalam dua bagian, yaitu penguapan dan nekrosis.
Lapisan paling luar dari mukosa serviks menguap karena cairan intraselular
mendidih, sedangkan jaringan yang mengalami nekrotik terletak di bawahnya.
Volume jaringan yang menguap atau sebanding dengan kekuatan dan lama
penyinaran.11
Tatalaksana Kanker Serviks Invasif
Stadium 0 / KIS (Karsinoma in situ)
Konisasi (Cold knife conization).
Bila margin bebas, konisasi sudah adekuat pada yang masih memerlukan
fertilitas. Bila tidak bebas, maka diperlukan re-konisasi. Bila fertilitas tidak
diperlukan histerektomi total Bila hasil konisasi ternyata invasif, terapi sesuai
tatalaksana kanker invasif.11
Stadium IA1 (LVSI negatif)
Konisasi (Cold Knife) bila free margin (terapi adekuat) apabila fertilitas
dipertahankan.(Tingkat evidens B). Bila tidak free margin dilakukan rekonisasi
atau simple histerektomi. Histerektomi Total apabila fertilitas tidak
dipertahankan11
Stadium IA1 (LVSI positif)
Operasi trakelektomi radikal dan limfadenektomi pelvik apabila fertilitas
dipertahankan. Bila operasi tidak dapat dilakukan karena kontraindikasi medik
dapat dilakukan Brakhiterapi
Stadium IA2, IB1, IIA1
Pilihan :
1. Operatif.
Histerektomi radikal dengan limfadenektomi pelvik. (Tingkat evidens 1
/ Rekomendasi A) Ajuvan Radioterapi (RT) atau Kemoradiasi bila terdapat
faktor risiko yaitu metastasis KGB, metastasis parametrium, batas sayatan
tidak bebas tumor, deep stromal invasion, LVSI dan faktor risiko lainnya.
Hanya ajuvan radiasi eksterna (EBRT) bila metastasis KGB saja. Apabila
tepi sayatan tidak bebas tumor / closed margin, maka radiasi eksterna
dilanjutkan dengan brakhiterapi.
2. Non operatif
Radiasi (EBRT dan brakiterapi)
Kemoradiasi (Radiasi : EBRT dengan kemoterapi konkuren dan
brakiterapi)11
Stadium IB 2 dan IIA2
Pilihan :
1. Operatif (Rekomendasi A)
Histerektomi radikal dan pelvik limfadenektomi. Tata laksana
selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi untuk
dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.
2. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Tujuan dari Neoajuvan Kemoterapi adalah untuk mengecilkan massa
tumor primer dan mengurangi risiko komplikasi operasi. Tata laksana
selanjutnya tergantung dari faktor risiko, dan hasil patologi anatomi untuk
dilakukan ajuvan radioterapi atau kemoterapi.11
Stadium IIB
Pilihan :
1. Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2. Radiasi (Rekomendasi B)
3. Neoajuvan kemoterapi (Rekomendasi C)
Kemoterapi (tiga seri) dilanjutkan radikal histerektomi dan pelvik
limfadenektomi.
4. Histerektomi ultraradikal, laterally extended parametrectomy (dalam
penelitian)11
Stadium III A, III B
1. Kemoradiasi (Rekomendasi A)
2. Radiasi (Rekomendasi B)
Stadium IIIB dengan CKD
1. Nefrostomi / hemodialisa bila diperlukan
2. Kemoradiasi dengan regimen non cisplatin atau
3. Radiasi
Stadium IV A tanpa CKD
1. Pada stadium IVA dengan fistula rekto-vaginal, direkomendasi terlebih
dahulu dilakukan kolostomi, dilanjutkan :
2. Kemoradiasi Paliatif, atau
3. Radiasi Paliatif
Stadium IV A dengan CKD, IVB
1. Paliatif
2. Bila tidak ada kontraindikasi, kemoterapi paliatif / radiasi paliatif dapat
dipertimbangkan.

Gambar 2.7 Algoritma Diagnosis Deteksi Dini dan


Tatalaksana (Program Skrining)11
Gambar 2.8 Algorima Deteksi Dini dengan Tes IVA11

Gambar 2.9 Algoritma penganganan Kanker Serviks11


2.2.2 Tumor Jinak Serviks
2.2.2.1 Tumor Kistik
Kista Nabotbi (Kista Retensi)
Gambaran Umum
Epitel kelenjar endoserviks tersusun dari jenis kolumner tinggi yang
sangat rentan terhadap infeksi atau epidermidisasi skuamosa. Gangguan lanjut
infeksi atau proses restrukturisasi endoserviks menyebabkan metaplasia
skuamosa maka muara kelenjar endoserviks akan tertutup. Penutupan muara
duktus kelenjar menyebabkan sekret tertahan dan berkembang menjadi kantong
kista. Kista ini dapat berukuran mikro hingga makro dan dapat dilihat secara
langsung oleh pemeriksa.
Gambaran Klinik
Kista Nabothi tidak menimbulkan gangguan sehingga penderita juga
tidak pernah mengeluhkan sesuatu terkait dengan adanya kista ini. Pada
pemeriksaan inspekulo, kista Nabothi teriihat sebagai penonjolan kistik di area
endoserviks dengan batas yang relatif tegas dan berwarna lebih muda dari
jaringan di sekitarnya. Hal ini disebabkan oleh timbunan cairan musin yang
terterangkap di dalam duktus sekretorius kelenjar endoserviks.
Pada beberapa keadaan, pembuluh darah di mukosa endoser-viks (di atas
kista) meniadi terlihat lebih nyata karena pembuluh darah berwarna merah
menjadi kontras di atas dasar yang berwarna putih kekuningan. Kista Nabothi
yang berada pada pars vaginalis endoserviks menunjukkan adanya epitel
kolumner yang ektopik dan kemudian mengalami metaplasia skuamosa.
Semakin jauh keberadaan kista Nabothi menunjukkan semakin luasnya zona
transisional ekto dan endoserviks.

Gambar 2.10 Kista Nabothi


Terapi
Tidak diperlukan terapi khusus untuk kista Nabothi.

2.2.2.2 Tumor Padat


Polip Serviks
Gambaran Umum
Polip merupakan lesi atau tumor padat serviks yang paling sering
dijumpai. Tumor ini merupakan penjuluran dari bagian endoserviks atau
intramukosal serviks dengan variasi eksternal atau regio vaginal serviks. Dari
sekitar 25.000 spesimen ginekologik dengan 4% polip serviks, Farrar dan
Nedoss hanya menemukan sedikit sekali polip yang berasal dari ektoserviks
(pars vaginalis).7
Gambaran Klinik
Polip serviks bervariasi dari tunggal hingga multipel, ber-warna merah
terang, rapuh, dan strukturnya menyerupai spons. Kebanyakan polip ditemukan
berupa penjuluran berwarna merah terang yang teriepit atau keluar dari ostium
serviks. Walaupun sebagian besar polip berdiameter kecil tetapi
pertumbuhannya mungkin saja mencapai ukuran beberapa. Panjang tangkai
polip juga bervariasi dari ukuran di bawah 1 cm (protrusi melalui ostium serviks)
hingga mencapai beberapa sentimeter sehingga memungkinkan ujung distal
polip mencapai atau keluar dari introitus vagina.7
Bila polip serviks berasal dari ektoserviks maka warna polip menjadi lebih
pucat dan strukturnya lebih kenyal dari polip endoserviks Ukuran polip
ektoserviks dapat mencapai diameter beberapa sentimeter dan tangkainya dapat
mencapai ukuran yang sama dengan jari kelingking. Gambaran histopatologis
polip adalah sama dengan jaringan asalnya. Umumnya, permukaan polip
tersusun dari selapis epitel kolumner yang tinggi (seperti halnya endoserviks),
epitel kelenjar serviks, dan stroma jaringan ikat longgar yang diinfiltrasi oleh sei
bulat dan edema. Tidak jarang, ujung polip mengalami nekrotik atau ulserasi
sehingga dapat menimbuikan perdarahan terutama sekali pascasanggama. Epitel
endoserviks pada polip seringkali mengalami metaplasia skuamosa dan serbukan
sel radang sehingga menyerupai degenerasi ganas.7
Terapi
Karena pada umumnya polip bertangkai dan dasarnya mudah terlihat,
maka dapat diekstirpasi dengan mudah. Setelah melakukan pemutaran tangkai,
biasanya juga dilakukan pembersihan dasar tangkai dengan kuret atau kerokan.
Untuk meminimalisasi jumlah perdarahan dapat dilakukan pemutusan tangkai
polip dengan kauter unipolar/bipolar. Apabila jumlah polip lebih dari satu dan
dasar polip menjadi sulit untuk dilihat secara langsung, sebaiknya dilakukan
tindakan dilatasi serviks sebelum tindakan ekstirpasi atau kauterisasi.7

2.3 Tumor Uteri


2.3.1 Mioma Uteri
2.3.1.1 Definisi
Disebut juga sebagai Uterine Leiomioma dan Uterine Fibroid merupakan
neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang menopangnya
yang biasanya ditemukan pada decade empat atau lima kehidupan wanita. Stimulasi
esterogen dianggap sangat berperan dalam perkembangan tumor ini. Lokasi
terbanyak dari tumor ini adalah korpus uteri7,14
2.3.1.2 Epidemiologi
Merupakan tumor jinak yang paling banyak terjadi pada organ reproduksi
wanita pada usia reproduktif. Tumor ini dapat berupa tumor tunggal namun lebih
sering dalam bentuk multiple yang mana dapat menimbulkan morbiditas yang
signifikan dan penurunan kualitas hidup. Pada sekitar 40-60% tindakan
histerektomi yang dilakukan terjadi akibat mioma uteri. Mioma didiagnosa pada
20-25% wanita pada usia reproduktif dan 30-40% pada wanita berusia lebih dari 40
tahun.15
2.3.1.3 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi anatominya pada uterus, mioma uteri dibagi menjadi tiga
yaitu :
1. Mioma Submukosa
Mioma yang tumbuh di bawah endometrium (lapisan mukosa uterus) dan
menonjol ke dalam kavum uteri. Penonjolan ke dalam kavum uteri dapat
mengakibatkan pelebaran permukaan endometrium dan menekan endometrium
tersebut sehingga bisa menimbulkan nyeri dan mengganggu aliran darah
disekitarnya lalu dapat mengakibatkan perdarahan. Jenis ini yang paling sering
memberikan keluhan perdarahan pada penderita mioma uteri. Selain itu mioma
jenis ini dapat menimbulkan infertilitas pada penderita.16
2. Mioma Intramural
Mioma yang tumbuh pada lapisan otot uterus (miometrium).16 Mioma ini
merupakan jenis yang paling sering terjadi, dan apabila berukuran besar, bisa
mengubah permukaan uterus menjadi massa besar yang irregular. Jenis mioma
ini pada pertumbuhannya bisa menekan dan mendorong kandung kemih
sehingga dapat menimbulkan gangguan miksi, mengakibatkan gangguan pada
kehamilan dan menyebabkan masalah pada menstruasi.17
3. Mioma Subserosa
Mioma yang tumbuh di bawah lapisan terluar dari uterus atau lapisan serosa
uterus (perimetrium). Mioma ini dapat tumbuh ke arah luar atau ke arah rongga
peritoneum, dapat juga membentuk pedunkulasi (pedunculated) yaitu mioma
bertangkai.16 Pada mioma yang bertangkai dapat terjadi torsio, infeksi, dan
pemisahan dari uterus. Pada torsio dengan infark dapat menimbulkan nyeri akut
abdomen. Jika terjadi pemisahan, jenis ini bisa melekat ke struktur lainnya
sehingga menyebabkan “leiomyoma parasitic“.17
4. Mioma Intraligament
Mioma yang tumbuh diatara ligamentum latum cabang peritoneum anterior dan
posterior, dapat menekan organ sekitar dan menimbulkan keluhan gangguan
miksi dan defekasi seperti adanya frekuensi, urgensi, inkontinensia bahkan
obstruksi.17 Mioma ini termasuk jenis yang jarang terjadi. Mioma ini sulit
ditatalaksana dengan operasi dan harus dilakukan oleh ahli bedah yang
berpengalaman.16
Gambar 2.11 Klasifikasi Mioma Uteri

2.3.1.4 Etiologi dan Faktor Risiko


Etiologi pasti terjadinya mioma uteri sampai saat ini belum diketahui.
Stimulasi esterogen diduga sangat berperan untuk terjadinya mioma uteri. Hipotesis
ini didukung oleh adanya mioma uteri yang banyak ditemukan pada usia reproduksi
dan kejadiannya rendah pada usia menopause. Pada kehamilan pertumbuhan tumor
ini makin besar, tetapi menurun setelah menopause. Selain itu penelitian lain juga
menunjukan bahwa jaringan mioma uteri lebih banyak mengandung reseptor
esterogen dibandingkan myometrium normal.7
Terdapat beberapa factor resiko terjadinya mioma uteri yaitu :
1. Usia
Mioma uteri terjadi pada wanita usia reproduktif. Insiden meningkat lebih
kurang pada dekade 3 sampai 4 dan akan berkurang pada usia setelah
menopause.18
2. Menarche dini
Usia pubertas normal pada anak perempuan yaitu usia 10 – 18 tahun.
Dikatakan menarche dini jika seorang anak perempuan itu mengalami
menstruasi pertama lebih cepat dari usia normal pubertasnya yaitu usia
dibawah 10 tahun. Menarche dini dikaitkan dengan semakin meningkatnya
lama paparan hormone esterogen.19
3. Kehamilan dan Paritas
Kejadian mioma uteri akan berkurang dengan banyaknya paritas. Nullipara
lebih berisiko dibandingkan multipara.19
4. Genetik
Apabila seorang wanita memiliki keluarga yang berada di satu garis
keturunan yang sama menderita mioma uteri, maka wanita itu berisiko 2,5
kali.19
5. Obesitas
Hal ini dikarenakan adanya peningkatan enzim aromatase pada jaringan
adiposa (jaringan lemak tubuh) yang mengkonversi androgen adrenal
menjadi estrogen. Sehingga kadar estrogen di dalam darah juga lebih
banyak.19
6. Diet
Diet juga mempengaruhi penyakit ini, meningkat pada konsumsi daging
sapi dan daging merah, menurun pada vegetarian, dihubungkan dengan
kadar lemak dari konsumsi daging tersebut. Dalam penelitian, pada
vegetarian di kotoran dan urin mereka akan dieksresikan 3 kali lipat estrogen
sehingga mengurangi kadar di dalam darah, dan juga pada vegetarian terjadi
penurunan kemampuan flora usus untuk deconjugated estrogen empedu. 19
7. Kontrasepsi hormonal
Kontrasepsi hormonal berisi hormon estrogen dan atau progesteron.
Hormon ini memicu pertumbuhan mioma uteri. Mioma mempunyai lebih
banyak reseptor estrogen dibandingkan miometrium normal. Estrogen akan
menstimulasi proliferasi sel otot polos uterus.19
2.3.1.5 Patogenesis
Hormon seks steroid berperan penting pada pertumbuhan mioma. Mioma
memiliki lebih banyak reseptor estrogen, progesteron dan growth factor
dibandingkan miometrium normal. Estrogen akan menstimulasi proliferasi sel otot
polos uterus. Estrogen dapat menyebabkan tumor menjadi lebih besar dengan
meningkatkan produksi matriks ekstraselular. Progesteron juga bisa memicu
proliferasi sel otot polos uterus dan dapat menyebabkan ukuran tumor menjadi lebih
besar dengan menurunkan mekanisme apoptosis. Pada penelitian lain dikatakan,
progesteron juga bisa sebagai inhibitor, karena progesteron merupakan antagonis
murni dari estrogen.20 Growth factor dapat menstimulasi proses angiogenesis yang
berperan pada pertumbuhan tumor, meningkatkan produksi fibronektin dan kolagen
yang merupakan komponen utama matriks ekstraselular.21
Ada beberapa kondisi yang mempengaruhi paparan estrogen pada seseorang
yang dapat mempengaruhi pembentukan mioma. Pada wanita dengan menarche
dini akan lebih banyak terpapar estrogen, wanita dengan peningkatan indeks massa
tubuh juga berisiko karena wanita dengan obesitas akan memproduksi banyak
estrogen dari peningkatan jaringan adiposa yang akan mengubah androgen menjadi
estrogen. Juga pada pasien policystic ovarian sindrom (PCOS) terjadi peningkatan
risiko karena anovulasi. Selain itu adanya perubahan sekunder pada mioma yang
bersifat degeneratif akan menambah ukuran mioma karena terjadi penurunan aliran
darah ke mioma.21
2.3.1.6 Gejala Klinis
Sebagian besar penderita mioma uteri tidak menunjukan gejala atau
asimtomatik biasanya ditemukan secara tidak sengaja pada pemeriksaan USG
pelvis dan kehamilan.19 Gejala klinis dapat muncul pada 35-50% penderita mioma
uteri yang biasanya mengeluhkan adanya massa pada abdomen bagian bawah serta
rasa tidak enak, keluhan dari mioma uteri sangat tergantung pada lokkasi mioma
pada uterus, keluhan tersebut dapat berupa :
1. Perdarahan abnormal uterus,
Merupakan manifestasi yang sering ditemukan pada mioma yang
dapat berupa menorrhagia (perdarahan haid yang berlebihan) bisa juga
berupa metrorrhagia (haid yang tidak teratur).23 Hal ini diduga terjadi akibat
adanya hambatan pasokan darah endometrium, tekanan dan bendungan
pembuluh darah disekitar tumor terutama pembuluh darah vena atau adanya
ulserasi endometrium diatas tumor.19 Teori lain juga menjelaskan mengenai
gejala perdarahan abnormal uterus, yang juga bisa disebabkan karena siklus
anovulasi, perubahan kontraktilitas uterus, penekanan vena disekitar
miometrium, penambahan ukuran permukaan endometrium lebih dari 15
cm2, erosi permukaan mioma, dan ketidakmampuan disekitar miometrium
dan endometrium untuk memproduksi zat hemostasis.24
2. Nyeri perut bagian bawah
Nyeri berkaitan dengan proses degenerasi karena adanya oklusi
pembuluh darah, infeksi, peregangan pada ligamentum, torsi tangkai mioma
atau adanya kontraksi uterus sebagai upaya untuk mengeluarkan mioma dari
uterus. Bila torsi berlanjut, terjadi infark / degenerasi merah yang iritasi
selaput peritonium (peritonitis).7
3. Gangguan pada organ sekitar
Hal ini terjadi sebagai efek penekanan pada organ sekitar oleh
tumor, paling sering jenis intramural. Tumor ini dapat menekan ureter,
kandung kemih dan rectum. Sehingga dapat menimbulkan gejala seperti
frekuensi, nokturia, urgensi, sensasi mengedan, retensi urin bahkan
hidronferosis.7
4. Gangguan kehamilan dan persalinan
Efek penekanan langsung pada kavum uteri saat kehamilan dapat
mengakibatkan terjadinya abortus spontan.14 Dengan adanya mioma uteri
juga dapat menyebabkan penurunan kemungkinan perempuan hamil
(mioma uteri submukosum), kelainan letak janin dalam Rahim (terutama
mioma yang besar subserosum), inersia uteri atau atonia uteri dan
mempersulit lahirnya plasenta.7
2.3.1.7 Diagnosis
Selain anamnesis, pemeriksaan fisik juga dapat dilakukan dalam
mendeteksi tumor ini. Pemeriksaan fisik berupa palpasi abdomen dengan palpasi
bimanual dapat dilakukan tentukan apakah terdapat pembesaran abdomen, ukuran
uterus dan mobilitasnya.16
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk membantu diagnosis
diantaranya yaitu :
1. USG abdomen atau pelvis, yang berfungsi untuk menentukan lokasi,
ukuran dan jumlah tumor, menentukan jenis operasi yang akan
dilakukan apakah miomektomi atau histerektomi.16
2. Laboratorium darah
3. Histeroskopi (HSC) dan histerosalfingografi (HSG), Jika keluhan
penderita berupa menorrhagia, dismenorrhea, atau infertil, perlu
dievaluasi rongga endometrium tersebut apakah itu mioma, polip
endometrium, anomali kongenital, atau sinekia. Untuk wanita dengan
infertilitas, bisa dilakukan HSG untuk evaluasi tuba, apakah tubanya
paten atau tidak.25
MRI, dianggap lebih akurat dalam menentukan ukuran, jumlah dan lokasi
mioma untuk menentukan apakah tindakan operasi yang dilakukan seperti
histerektomi, miomektomi atau embolisasi arteri uterus. 20
2.3.1.8 Tatalaksana
Terapi pada mioma harus mempertimbangkan keadaan umum, usia, paritas,
kehamilan, dan gejala yang ditimbulkan.7 Tatalaksana yang dapat diberikan
yaitu :
1. Observasi
Jika mioma tidak menimbulkan gejala atau gejalanya hanya ringan dan
ukurannya lebih kecil dari kehamilan 14 minggu, hanya dilakukan observasi
saja. Biasanya mioma akan mengecil pada usia menopause karena
berkurangnya rangsangan estrogen.14
2. Medikamentosa
- NSAID, obat ini akan menghambat prostaglandin sehingga dapat
mengatasi nyeri pada gejala dismenore.20
- Terapi hormonal, biasanya terapi hormonal berfungsi dalam
mengatur kadar hormone steroid ovarium, hormone tersebut dapat berupa
GnRH, androgen dan anti progesterone.20,25
- Tindakan operatif
o Miomektomi
˗ Miomektomi adalah tindakan eksisi pada jaringan mioma, tanpa
mengangkat uterus. Indikasi pada wanita yang masih ingin memilili
anak dan menolak dilakukan histerektomi. Tindakan ini
meningkatkan nyeri, infertilitas dan perdarahan.20
o Histerektomi
˗ Histerektomi adalah tindakan pengangkatan uterus. Mioma uteri
merupakan sebagian besar indikasi dari histerektomi pada wanita
usia 25 – 45 tahun. Jika ukuran mioma kecil, dilakukan total vaginal
histerektomi, jika ukuran mioma lebih besar, terutama jenis
intraligament mioma, dilakukan total histerektomi abdominal.20
o Embolisasi Arteri Uterin (UAE)
UAE adalah suatu prosedur angiografi dengan menginjeksikan polivinil
alcohol (PVA) ke dalam arteri uterin yang akan menimbulkan embolisasi
pada arteri sehingga aliran darah akan tersumbat, lalu mengakibatkan
nekrosis iskemik pada mioma.16 Nekrosis iskemik pada mioma akan
mengurangi ukuran mioma dan mengurangi perdarahan menstruasi. UAE
merupakan pilihan operasi pada wanita premenopause yang ingin
mempertahankan uterusnya dan menghindari efek samping operasi. 16
2.3.1.9 Prognosis
Histerektomi dengan mengangkat seluruh mioma adalah kuratif.
Myomectomi yang extensif dan secara significant melibatkan miometrium atau
menembus endometrium, maka diharusken SC (Sectio caesaria) pada persalinan
berikutnya. Myoma yang kambuh kembali (rekurens) setelah myomectomi terjadi
pada 15-40% pasien dan 2/3nya memerlukan tindakan lebih lanjut.

2.3.2 Kanker Endometrium


2.3.2.1 Definisi
Kanker endometrium adalah tumor ganas epitel primer di endometrium,
umumnya dengan diferensiasi glandular dan berpotensi mengenai miometrium dan
menyebar jauh. Kanker endometrium kanker ginekologi yang paling sering terjadi
didunia barat, menempati urutan keempat kanker pada wanita setelah kanker
payudara, kolon dan paru yang mana sebagian besar dari kasusnya adalah tipe
adenokarsinoma.26
2.3.2.2 Epidemiologi
Kanker endometrium merupakan kanker ginekologi paling sering didunia
dan penyebab kematian akibat kanker nomor tujuh terbanyak pada wanita Eropa
Barat. Lebih dari 90% kasus terjadi pada wanita dengan usia lebih dari 50 tahun.27
Kanker endometrium jarang terjadi pada wanita dibawah usia 45 tahun, tapi risiko
meningkat tajam pada wanita saat usia akhir 40-an hingga pertengahan 60-an.
Keganasan ini dua kali lipat lebih banyak diderita oleh wanita kulit putih
dibandingkan dengan wanita kulit hitam. Alasan dari perbedaan ini masih belum
diketahui.3 Berdasarkan histopaloginya tipe endometrial adenokarsinoma terjadi
pada 80% penderita kanker endometrium.27
2.3.2.3 Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi pasti dari kanker endometrium hingga saat ini belum diketahui
pasti, namun sebagian besar factor resiko diduga berkaitan dengan perubahan pola
hormonal yang terjadi sepanjang hidup seorang wanita. Paparan hormone esterogen
secara terus-menerus terbukti memiliki efek terhadap proliferasi sel-sel di
endometrium sedangkan progesterone diduga memiliki efek yang berlawanan. 29
Terdapat beberapa factor resiko yang dapat meningkatkan angka kejadian
kanker endometrium yaitu diantaranya ;
1. Genetik
Meskipun kanker endometrium lebih cenderung bersifat sporadic,
wanita yang memiliki hereditary nonpolyposis colon cancer (HNPCC)
atau sindrom Lynch II memiliki resiko sebesar 40-60% menderita
kanker endometrium.30
2. Usia
Keganasan ini lebih sering terjadi pada wanita pasca menopause
dibandingkan premenopause. Lebih dari 90% kasus yang terjadi
didiagnosis pada usia lebih dari 50 tahun.31
3. Usia Menarche
Menarche pada usia yang lebih dini dikaitkan dengan peningkatan
resiko terjadinnya kanker endometrium. Hal ini dihubungkan dengan
onset siklus ovulasi dan paparan esterogen yang terjadi lebih awal.32
4. Paritas
Wanita nullipara memiliki resiko 2 sampai 3 kali lipat lebih besar
terhadap kanker endometrium. Hal ini disebabkan tidak adanya periode
kehamilan dan laktasi sehingga jumlah siklus menstruasi dan ovulasi
lebih tinggi dibandingkan wanita multipara. Peningkatan jumlah siklus
ini menyebabkan paparan esterogen yang tinggi dan paparan lebih
lama.7 Selain itu kehamilan juga meningkatkan hormone progesterone
yang dapat berperan protektif. Berbeda dengan wanita nullipara, wanita
multipara mengalami penurunan resiko terhadap resiko kanker
endometrium hingga 70%.31
5. Pemberian ASI ekslusif
Pemberian asi eksklusif menekan ovulasi dan kadar esterogen ibu,
sehingga menurunkan aktifitas mitosis endometrium dan resiko
terjadinya kanker endometrium.33
6. Obesitas
Wanita yang mengalami obesitas memiliki resiko 2-5 kali lebih tinggi
menderita kanker endometrium. Obesitas menyebabkan terjadinya
produksi berlebihan dari esterogen endogen. Jaringan adipose yang
berlebihan meningkatkan aromatisasi perifer dari androstenedion
menjadi estron.20,34
7. Kondisi Medis
Pasien dengan diabetes mellitus memiliki kemungkinan peningkatan
proliferasi sel tumor karena hiperinsulinemia. Insulin dapat
meningkatkan pertumbuhan tumor secara langsung dan tidak langsung.
Secara tidak langsung mengikat reseptor Insulin-Like Growth Factor-1
(IGF-1) sehingga kadar IGF-1 bebas dalam darah meningkat. IGF-1
telah terbukti meningkatkan proliferasi sel tumor dan angiogenesis
yang dapat mempengaruhi agresivitas tumor.35,36 Insulin juga berperan
menurunkan kadar sex hormone binding globulin (SHBG) dengan
menghambat produksi di hati. Karena SHBG biasanya mengikat
estrogen dan hormon seks lainnya, kadar SHBG yang lebih rendah
menghasilkan peningkatan bioavailable estrogen. Peningkatan estrogen
menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel endometrium dan
menurunkan apoptosis sehingga meningkatkan risiko kanker
endometrium.36
Selain diabetes melitus hipertensi juga diduga menjadi factor resiko dari
kanker endometrium. Hal ini dihubungkan dengan factor gaya hidup dan
beberapa kondisi medis termasuk diet, IMT, aktivitas fisik dan diabetes
mellitus.37
2.3.2.4 Patogenesis
Berdasarkan klasifikasi Bokhman, terdapat dua model tumorigenesis
endometrium yang diistilahkan menjadi tipe I dan tipe II. Kanker endometrium tipe
I terjadi pada 85% kasus dan cenderung diderita oleh wanita yang lebih muda.
Kanker tipe ini berhubungan dengan paparan estrogen baik endogen atau eksogen
dan berasal dari hiperplasia endometrium atipikal. Biasanya prognosis lebih baik
dibandingkan tipe II. Sebaliknya, kanker endometrium tipe II kurang umum yaitu
sekitar 10% hingga 20% dari seluruh kasus dan terjadi pada wanita yang lebih tua
serta berisiko tinggi terjadinya kekambuhan dengan prognosis yang buruk.38,39
Selama siklus menstruasi, endometrium mengalami modifikasi dan
perubahan struktural sebagai respons terhadap fluktuasi estrogen dan progesteron.
Secara umum, estrogen merangsang proliferasi sel-sel endometrium, sedangkan
progesteron memiliki efek antiproliferatif. Paparan estrogen yang berlangsung lama
dapat menyebabkan terjadinya hiperplasia endometrium serta meningkatkan
kemungkinan menjadi hiperplasia atipikal yang dapat berkembang menjadi kanker
endometrium tipe I. Kanker endometrium tipe II tidak dipengaruhi oleh estrogen
dan berhubungan dengan atrofi endometrium.38,40
Selain dari morfologis dan klinis, kanker endometrium lebih lanjut
dibedakan oleh perubahan genetik. Pada kedua tipe kanker endometrium telah
terbukti adanya perbedaan profil ekspresi gen yang mendukung model dualistic
karsinogenesis endometrium. Kanker endometrium tipe I melibatkan mutasi pada
gen phosphatase and tensin homolog (PTEN), onkogen KRAS2 dan β-catenin serta
defek pada perbaikan ketidakcocokan DNA. Sedangkan tipe II umumnya terkait
dengan mutasi p53.39,40
2.3.2.5 Gejala Klinis
Perdarahan abnormal merupakan gejala awal dan terpenting dari karsinoma
endometrium. Pada wanita premenopause, seorang klinisi harus curiga jika terdapat
riwayat menstruasi yang berkepanjangan atau adanya bercak diantara periode
menstruasi. Sedangkan pada wanita pascamenopause, perdarahan apa pun yang
terjadi tidak normal dan harus dievaluasi. Sekitar 5-10% perdarahan
pascamenopause didiagnosis kanker endometrium.35 Gejala ini terjadi pada sekitar
80% pasien.37 Pada penyakit yang lebih lanjut adanya tekanan dan nyeri pada
panggul mencerminkan pembesaran uterus atau penyebaran tumor ekstrauterin. 35
2.3.2.6 Diagnosis
Terdapat beberapa temuan fisik pada wanita dengan kanker endometrium.
Pemeriksaan panggul harus dilakukan untuk mengevaluasi sumber perdarahan
abnormal lainnya seperti vagina atau leher rahim. Rahim dan adneksa harus
dipalpasi jika ada massa yang tidak normal. Adanya temuan yang tidak normal pada
pemeriksaan fisik bisa dicurigai adanya gangguan lebih lanjut.41
Sementara untuk pemeriksaan penunjang yang dapat membantu diagnosis
kanker endometrium yaitu diantaranya :
- Pemeriksaan Laboratorium
Tidak terdapat pemeriksaan laboratorium yag spesifik untuk menilai
kanker endometrium. Pada pasien usia subur perlu dilakukan
pemeriksaan laboratorium termasuk tes kehamilan. Pemeriksaan hitung
darah lengkap, prothrombin time dan partial thromboplastin time dapat
dipertimbangkan pada pasien dengan perdarahan yang berat.
Papanicolaou smears tidak perlu dilakukan untuk evaluasi, tapi kadang-
kadang hasil pap smear dapat mengarah ke kanker endometrium. 41
- USG transvaginal
Sering menjadi pilihan awal untuk mengevaluasi kanker endometrium
karena faktor ketersediaan, efektivitas biaya, dan sensitivitas yang
tinggi. Ultrasonografi transvaginal dapat digunakan untuk mengukur
ketebalan endometrium. Pasien pascamenopause dengan ketebalan
endometrium lebih dari 5 mm harus dievaluasi dengan pengambilan
sampel jaringan terutama jika terdapat perdarahan.41
- Biopsi
merupakan cara yang akurat untuk mendiagnosis kanker
endometrium.42 Akurasi diagnostik biopsi endometrium adalah 90%
hingga 98% bila dibandingkan dengan dilatasi dan kuretase (D&C) atau
histerektomi.43 Namun, jika teknik biopsi tidak memberikan informasi
diagnostik yang cukup atau jika perdarahan abnormal berlanjut, D&C
mungkin diperlukan untuk mengklarifikasi diagnosis.20 Dalam keadaan
optimal, ginekolog akan mengambil sampel jaringan dari lapisan rahim
di bawah kontrol histeroskopi.42 Histeroskopi memvisualisasikan
langsung rongga endometrium. Histeroskopi dapat dilakukan
bersamaan dengan biopsi atau kuretase. Sebuah tinjauan sistematis
menemukan bahwa histeroskopi memiliki sensitivitas 99,2% dan
spesifitas 86,4% dalam diagnosis kanker endometrium.41
- CT Scan dan MRI
Diindikasikan untuk menginvestigasi adanya metastasis.27
2.3.2.7 Tatalaksana
- Tindakan Pembedahan
Tindakan yang paling adalah total histerektomi dengan bilateral
salpingo-oophorectomy, para-aortic dan pelvic lymphadenectomy dan
pelvic washing untuk menstaging penyakit. Laparaskopi dikatakan
memiliki komplikasi pasca operasi yang lebih sedikit dibandingkan
laparatomi. Vaginal histerektomi pada umumnya tidak
direkomendasikan karena evaluasi pada abdomen dan limfadenektomi
menjadi terhalang. Masih terdapat kontroversi terkait pelvic dan para-
aortic lymphadenectomy, sebagian ahli mengatakan bahwa tindakan ini
berhubungan dengan peningkatan survival rate namun sebagian agi
mengatakan tidak ada hubungannya.
- Adjuvan Radioterapi
Merupakan pilihan terapi pada pasien yang secara medis tidak dapat
dioperasi. Sementara pada pasien dengan derajat karsinoma yang rendah
terapi ini tidak disarankan karena akan menimbulkan peningkitan
morbiditas.
- Kemoterapi dan terapi hormone
Terapi sittoreduksi (debulking dengan operasi dan kemoterapi atau
radiasi) tampaknya meningkatkan waktu bertahan hidup pada pasien
dengan penyakit intra-abdominal dengan meningkatkan kelangsungan
hidup dan mengurangi kekambuhan. Bukti untuk mendukung
penggunaan terapi progesteron ajuvan untuk mencegah kekambuhan
kanker endometrium masih kurang. Progesteron adalah pilihan
pengobatan untuk pasien dengan kanker endometrium stadium I yang
ingin mempertahankan kesuburan. Pasien harus dikonseling tentang
histerektomi segera setelah melahirkan selesai.
2.3.2.8 Prognosis
Prognosis karsinoma endometrium stadium awal cukup baik. Kemampuan
hidup lima tahun (five years survival rate) karsinoma endometrium yang
terdiagnosis saat masih terlokalisir mencapai 96% sedangkan pada stadium lanjut
menurun sampai 44%. Penilaian hasil terapi dengan menghitung five years survival
rate dilaporkan bahwa fi ve years survival pada stadium I adalah 75% sampai
dengan 95%, untuk stadium II sebesar 50%, stadium III hanya sebesar 30%, dan
stadium IV kurang dari 25%.45

2.4 Tumor Ovarium


2.4.1 Anatomi Ovarium
Ovarium terletak di kiri dan kanan uterus pada dinding pelvis dekat fossa
ovarika, dibelakang ligamentum latum, dengan ukuran nomal pada orang dewasa
sebesar ibu jari tangan. Ovarium dihubungkan dengan uterus oleh ligamentum
ovarii proprium. Pada ovarium berjalan arteri ovarika, melalui ligamentum
suspensorium ovarii. Sebagian besar ovarium berada intraperitoneal dan tidak
dilapisi oleh peritoneum. Bagian ovarium yang berada di dalam ligamentum latum
disebut juga dengan hilus ovarii. Pada hilus ini, masuk pembuluh darah san saraf
ke ovarium.46

Gambar 2.12 Anatomi Ovarium


Seorang bayi perempuan yang baru dilahirkan diperkirakan memiliki
bagian ovarium yang berada di dalam kavum peritonium dilapisi oleh epitel selapis
kubik-silindrik yang disebut dengan epitel germinativum. Di bawah epitel ini
terdapat tunika albuginea, dan di bawahnya lagi teradapat lapisan yang berisi
folikel-folikel primordial. Setiap bulan, sebanyak satu hingga dua folikel akan
berkembang menjadi folikel de Graaf. Folikel-folikel ini merupakan bagian penting
pada ovarium dan dapat ditemukan di korteks ovarii dalam letak dan tingkat
perkembangan yang beragam. Folikel yang matang akan terisi dengan cairan
folikuli yang berisi estrogen dan siap untuk berovulasisesedikitnya 750.000
oogonium. Jumlah ini berkurang akibat pertumbuhan dan degenerasi folikel-
folikel. Pada usia 6 – 15 tahun akan ditemukan oogonium sebanyak lebih
kurang 439.000, pada usia 16 – 25 tahun 159.000, 26 – 35 tahun sebanyak 59.000,
dan antara 34 – 45 tahun 34.000. Pada masa menopause, semua folikel sudah
menghilang.46
2.4.2 Definisi dan Epidemiologi
Tumor ovarium adalah massa atau jaringan baru yang bersifat abnormal
yang terbentuk pada ovarium dan mempunyai bentuk serta sifat yang berbeda dari
sel jaringan aslinya.47 Tumor ganas ovarium sangat berbahaya dengan angka
kematian yang tinggi, hal ini terjadi karena pertumbuhan sel tumor yang tidak
menimbulkan gejala pada stadium dini, sehingga penderita datang dengan stadium
lanjut.48 Tumor ganas ovarium menempati urutan kelima dari tumor ganas
penyebab kematian dan merupakan tumor ganas kandungan dengan angka kematian
tertinggi di Amerika Serikat.49,50 Sekitar 22.220 kasus baru tumor ganas ovarium
didiagnosis setiap tahunnya di Amerika Serikat, dengan angka kematian yang besar,
yaitu 16.210.Dari seluruh tumor ganas yang menyerang perempuan, sebanyak 6%
diantaranya merupakan tumor ganas ovarium.51 Di Indonesia, tumor ganas ovarium
menempati urutan keenam dari seluruh tumor ganas yang menyerang laki-laki dan
perempuan, dan urutan ketiga pada tumor ganas yang menyerang perempuan.52
2.4.3 Faktor Risiko
Beberapa faktor resiko yang berperan dalam munculnya tumor ovarium
akan dipaparkan pada tabel 1.
53
Tabel 1. Faktor Resiko dan Faktor Protektif pada Tumor Ovarium
Faktor Risiko Faktor Protektif
Sindrom kanker ovarium familial Penggunaan kontrasepsi oral (> 5 th)

Riwayat kanker payudara/ovarium Menyusui


pada keluarga

Usia menarche <12 tahun Ligasi Tuba


Infertilitas Histerektomi
Nulipara
Menopause < 50 tahun
Obesitas (BMI > 30)

2.4.4 Klasifikasi
Neoplasma ovarium secara patologi dibagi atas tipe epitelial, germ sel dan
sex cord stromal sel.
1. Tipe epitelial
Tipe yang paling sering pada neoplasma ovarium dapat bersifat jinak,ganas
atau borderline. Terdapat lima subtipe dari tumor epitel, yaitu serousa, musin,
endometroid, clear celldan tumor Brener. Selain itu tipe ini juga dapat
disebabkan karena metastasis kanker lain seperti payudara, kolon, gaster dan
pankreas.
2. Tipe Germ sel
Misalnya disgerminoma dan teratoma teratur
3. Tipe sex cord stromal sel
Misalnya tumor sel granulosa, tumor Sertoli Leydig dan sebagiannya. 9
Gambar 2.13 Pembagian tumor ovarium berdasarkan sel asalnya54

2.4.5 Diagnosis
Sebagian besar pasien tidak merasa ada keluhan sehingga biasanya
terdiagnosis saat kanker telah menyebar hingga pelvis. Keluhan yang muncul pada
stadium lanjut mencakup kembung, nyeri abdomen, dan keluhan berkemih. Akan
tetapi, keluhan bisa muncul pada stadium awal apabila terjadi torsio pada masa
ovarium yang mengakibatkan nyeri atau massa ovarium yang menyebabkan
peningkatan frekuensi urin atau konstipasi. Keluhan perdarahan pervaginam jarang
ditemukan. Pada pemeriksaan fisik akan teraba massa. Pemeriksaan seperti
USG,X-ray toraks, CT-scan atau MRI abdomen dan sonografi abdomen serta
pelvis dapat digunakan untuk membantu prediksi penyebaran tumor. Gejala dari
kandung kemih atau disfungsi ginjal dapat dievaluasi dengan sitoskopi atau
pielografi inravena. Pemeriksaan darah tepi, tes fungsi hati, tes fungsi ginjal, serta
biokimia darah lainnya perlu dilakukan Pada pasien muda dianjurkan pemeriksaan
human chorionic gonadotropin (hCG), titer alfa fetoprotein(AFP), dan laktat
dehidrogenase (LDH).
2.4.6 Stadium pada kanker ovarium
Stadium surgikal pada kanker ovarium (FIGO 1988).7
Tumor terbatas pada ovarium.
• IA: Tumor terbatas pada satu ovarium, kapsul utuh, tidak ada tumor pada
permu- kaan luar, tidak terdapat sel kanker pada cairan asites atau pada
bilasan peritoneum.
• IB: Tumor terbatas pada kedua ovarium, kapsul utuh, tidak terdapat tumor
pada permukaan luar, tidak terdapat sel kanker pada cairan asites atau
bilasan peritoneum.
• IC: Tumor terbatas pada satu atau dua ovarium dengan satu dari tanda-tanda
sebagai berikut: kapsul pecah, tumor pada permukaan luar kapsul, sel
kanker positif pada cairan asites atau bilasan peritoneum.
Tumor mengenai satu atau dua ovarium dengan perluasan ke pelvis.
• IIA: Perluasan dan/implan ke uterus dan/atau tuba fallopii. Tidak ada sel
kanker di cairan asites atau bilasan peritoneum.
• IIB : Perluasan ke organ pelvis lainnya. Tidak ada sel kanker di cairan asites
atau bilasan peritoneum.
• II C: Tumor pada stadium IIA/IIB dengan sel kanker positif pada cairan
asites atau bilasan peritoneum.
Tumor mengenai satu atau dua ovarium dengan metastasis ke peritoneum yang
dipastikan secara mikroskopik di luar pelvis dan/atau metastasis ke kelenjar getah
bening
regional.
• III A: Metastasis peritoneum mikroskopik di luar pelvis.
• III B : Metastasis peritoneum makroskopik di luar pelvis dengan diameter
terbesar 2 cm atau kurang
• III C: Metastasis peritoneum di luar pelvis dengan diameter terbesar lebih
dari 2 cm dan/atau merastasis kelenjar getah bening regional.
IV Metastasis jauh di luar rongga peritoneum. Bila terdapat effusi pleura,
maka cairan pleura mengandung sel kanker positif. Termasuk metastasis
pada parenkim hati.
2.4.7 Tatalaksana
Tindakan pembedahan ada dua tujuan yakni pengobatan dan penentuan
stadium surgikal Terapi pembedahan termasuk histerektomi, salpingo-ooforektomi,
omentektomi, pemeriksaan asites, bilasan peritoneum, dan mengupayakan
debulking optimal (kurang dari 1 cm tumor residu), limfadenektomi (pengambilan
sampel untuk pemeriksaan histopatologi) pada stadium awal, stadium I A sampai
stadium I B derajat 1 dan 2, atau semua stadium pada jenis tumor potensial rendah
pada ovarium. Kemudian dilakukan observasi dan pengamatan lanjut dengan
pemeriksaan CA-125. Pasien dengan Stadium 1 A derajat 1 dan 2 jenis epitel
mempunyai kesintasan hidup 5 tahun 95% dengan atau pemberian kemoterapi.
Beberapa klinikus akan memberikan kemoterapi pada kanker ovarium derajat 2
stadium I A dan B derajat 3. Stadium II sampai IV: Kemoterapi: paclitaxel (taxol)
dengan carboplatin atau cisplatin. Setelah selesai pengobatan dengan kemoterapi,
ada 3 pilihan yang ditetapkan pada pasien: Observasi, teruskan pengobatan, bila
tumor regresi tapi belum bilang seluruhnya dan konsolidasi dengan kemoterapi lain.
Biasanya diberikan bexamethylmelamine secara terus menerus untuk menekan agar
tidak timbul residif.7
DAFTAR PUSTAKA

1. Manuaba, Ida Bagus Gede. 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan


dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta : EGC.
2. Ramesh N, Anjana A, Kusum N, Kiran A, Ashok A, Somdutt S. Overview of
benign and malignant tumours of female genital tract. Journal of Applied
Pharmaceutical Science. 2013;3(1):140-49
3. Adriaansz G. Tumor jinak organ genitalia. Dalam: Anwar M, Baziad A,
Prabowo P. Ilmu Kandungan. Edisi ketiga. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka
Sarwono Prawirahardjo; 2014.
4. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. 2015. Stop Kanker.
Kementerian Kesehatan RI.
5. Jihong L. Tumor Ganas Ovarium, dalam Wan Desen. Buku Ajar Onkologi
Klinis. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2011. hal. 517-26
6. Aziz M F. Gynecological cancer in Indonesia. Available from URL :
www.gyneoncology.or.kr
7. Prawirohardjo S. Ilmu Kandungan. Edisi 3. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2011.
8. Lee MY, Dalpiaz A, Schwamb R, Miao Y, Waltzer W, Khan A. Clinical
Pathology of Bartholin’s Glands: A Review of Literature. Curr Urol.
2015;8(1):22-25.
9. Sapre S, Natu N. Vulval Swelling: A Diagnostic Dilemma. Indian J Dermatol.
2015;60(5):525.
10. Alkatout I, Schubert M, Garbrecht N, Weigel MT, Jomat W, Mundhenke C, et
al. Vulvar cancer: epidemiology, clinical presentation, and management
options. Int J Womens Health. 2015;7:305-313.
11. Kemenkes RI. Panduan Praktek Klinis Kanker Serviks. Jakarta:
Kemenkes.RI;2019
12. Chan CK, Aimagambetova G, Azizan A. Human Papillomavirus Infection and
Cervical Cancer: Epidemiology, Screening, and Vaccination. Jurnal of
oncology. PMC.2019;1:12
13. Departemen Kesehatan. Skrining kanker leher rahim dengan metode inspeksi
visual dengan asam asetat. Depkes RI.2008
14. Rayburn WF, Carey JC. Obstetrics and Gynecology. 11nd ed. USA :
Arrangement With Lippincott William & Willkins Inc; 2001. p. 891-4.
15. Sparic R, Mirkovic L, Malvasi A, Tinelli A. Epidemiology of uterine myomas:
A review. Serbia: Int J Fertil Steril. 2016; 9: 424- 35.
16. Unkels R. Uterine Fibroid. In: Beekhuizen HV, Unkels R. Gynecology for Less
Resourced Locations. London : Sapiens Publishing; 2012: 212-28.
17. Hollingworth T. Diagnosis Banding dalam Obstetri dan Ginekologi. Jakarta :
EGC; 2011. p. 262-4.
18. Northington GM, Arya LA. Uterine Leiomyoma. USA : Hospital Physician
Board Review Manual. 2006; 10: 1-2.
19. Flake GP, Andersen J, Dixon Darlene. Etiology and Pathogenesis of Uterine
Leiomyomas : a review. New York : Environmental Health Perspectives. 2003;
111: 1037-54.
20. Hoffman BL, Schorge JO, Schaffer JI, Halvorson LM, Bradshaw KD,
Cunningham FG. William Gynecology. 2nd ed. China : McGraw-Hill
Compnies; 2012. p. 247-259.
21. Reis FM, Bloise E, Carvalho TMO. Hormones and Pathogenesis of Uterine
Firoids. Brazil : Elsevier. 2015; 11: 1-13.
22. Maryam, et al. Obstetrics and Gynecology. UK : Crash Course; 2008: 111-13.
23. Drinvile JS, Memarzadeh S. Benign Disorders of the Uterine Corpus. In :
Lauren N, et al. Current Diagnosis & Treatment Obstetric and gynecology. 9nd
ed. USA: The McGraw Hill Companies; 2007. p. 639-45.
24. Falle RF, Ekpo GE. Uterine Myoma, Myomectomy and Minimally Invasive
Treatment. Pathopysiology of Uterine Myomas and Its Clinical Implications.
Switzerland : Springer International Publishing; 2015: 1-10.
25. Hacker NF, Gambone JC, Hobel CJ. Hacker dan moore's essensials of
obstetrics and gynecology. 5nd ed. China: saunders elsevier; 2010: 241-4.
26. Sofian A. Kanker endometrium. In: Aziz MF, Andrijono, Saifuddin AB,
editors. Buku acuan nasional onkologi ginekologi. 1st ed. Jakarta: Yayasan
Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2006. p. 456–78.
27. Plataniotis G, Castiglione M. Endometrial cancer: ESMO clinical practice
guidelines for diagnosis, treatment and follow-up. Annals of Oncology.
2011;21:41–5.
28. Barakat RR, Berchuck A, Markman M, Randall ME, editors. Principles and
Practice of Gynecologic Oncology. 6th ed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkin; 2013.
29. Neacsu A, Marcu ML, Stanica CD, Braila AD, Pacu I, Ioan RG, et al. Clinical
and morphological correlations in early diagnosis of endometrial cancer.
Romanian Journal of Morphology and Embryology. 2018;59(2):527–31.
30. American Cancer Society (2018). Endometrial Cancer. American Cancer
Society. https://www.cancer.org/cancer/endometrial-cancer.html - Diakses
September 2018.
31. Ali AT. Risk factors for endometrial cancer. Česká Gynekol.
2013;78(5):448– 59.
32. Ali AT. Reproductive factors and the risk of endometrial cancer.
International Journal Gynecological Cancer. 2014;24(3):384–93.
33. Jordan SJ, Na R, Johnatty SE, Wise LA, Adami HO, Brinton LA, et al.
Breastfeeding and endometrial cancer risk : An analysis from the
epidemiology of endometrial cancer consortium. Obstet Gynecol.
2018;129(6):1059–67.
34. Gant NF, Cunningham FG. Dasar-dasar ginekologi & obstetri. Nugroho
AW, Ayleen A, Chairunnisa, editors. Jakarta: EGC; 2010.
35. Lindemann K, Cvancarova M, Eskild A. Body mass index, diabetes and
survival after diagnosis of endometrial cancer: A report from the HUNT-
Survey. Gynecologic Oncology. 2015;139(3):476–80.
36. Baxter RC. IGF binding proteins in cancer: Mechanistic and clinical insights.
Nature Reviews Cancer. 2014;14(5):329–41.
37. Aune D, Sen A, Vatten LJ. Hypertension and the risk of endometrial cancer: A
systematic review and meta-analysis of case-control and cohort studies.
Scientific Reports. 2017;7:1–11.
38. Fleming ND, Dorigo O. Premalignant & malignant disorders of the uterine
corpus. In: Decherney AH, Nathan L, Laufer N, Roman AS, editors. Current
diagnosis & treatment obstetrics & gynecology. 11th ed. United States of
America: Mc-Graw Hill; 2013. p. 832–41.
39. Bansal N, Yendluri V, Wenham RM. The molecular biology of endometrial
cancers and the implications for pathogenesis, classification, and targeted
therapies. Cancer Control. 2009;16(1):8–13.
40. Amant F, Moerman P, Neven P, Timmerman D, Limbergen E Van, Vergote
I. Endometrial cancer. Lancet. 2005;366:491–505.
41. Braun MM, Wager EAO, Grumbo RJ. Diagnosis and management of
endometrial hyperplasia. American Family Physician. 2016;93(5):468–74.
42. Munstedt K, Grant P, Woenckhaus J, Roth G, Tinneberg HR. Cancer of the
endometrium: Current aspects of diagnostics and treatment. World Journal
of Surgical Oncology. 2004;2(24):1–17.
43. Lurain JR. Uterine cancer. In: Berek JS, editor. Berek & Novak’s gynecology.
14th ed. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkin; 2007. p. 1343–82.
44. Braun MM, Tacoma, Overbeek-wager EA, Grumbo RJ. Diagnosis and
Management of Endometrial Cancer. Am Fam Physician. 2016 Mar
15;93(6):468-474.
45. Pradjatmo H, Pahlevi DP. Status Gizi Sebagai Faktor Prognosis Penderita
Karsinoma Endometrium. Jurnal Gizi Klinik Indonesia. 2013;01(10):10-8.
46. Gunardi ER, Wiknjosastro H. Anatomi Panggul dan Anatomi Isi Rongga
Panggul. Dalam: Ilmu Kandungan. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo. 2011;3th ed (2): hal 16-7.
47. Fritzgerald, S.R. Stany, M.P. & Hamilton, C.A. 2014. Cervical Cancer.
Abraham, J. Gulley, J.L. & Allegra, C.J. (Ed). The Bethesda Handbook Of
Clinical Oncology (4edition). (hal. 252),Philadelphia: Wolters Kluwer.
48. Salani R, Bristow R. Patients’s guide to ovarian cancer. University and The
John Hopkins Health System Corporation. 1st Ed. 2011. Hal.1-18
49. Kumar V, Ramzi S, Stanley L. Robbins. Patologi Robbins.7th ed. Jakarta :
EGC , 2007 Hal.778-783
50. Ovarian Cancer, available from URL : HTTP://www.news-medical.net/
health/ ovarian-cancer.aspx
51. Anwar M, Baziad A, Prabowo P. Ilmu kandungan 3th Ed. Jakarta : Tridasa
Printer, 2011. Hal 279-286,307-311
52. Aziz M F. Gynecological cancer in Indonesia. Available from URL :
www.gyneoncology.or.kr
53. Callahan TL, Caughey AB. Ovarian and Fallopian Tube Tumors. In:
Blueprints Obstetrics & Gynecology 7th ed. Philadelphia: Wolters
Kluwer. 2018;7th ed: pp. 1026-38.
54. Frans Liwang, Sigit Purbadi. Kanker Ovarium in Kapita Selekta Kedokteran
(Ed 4). Jakarta: FKUI.2014.

Anda mungkin juga menyukai