Anda di halaman 1dari 40

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN JUNI 2019

UNIVERSITAS HALU OLEO

TUMOR JINAK VULVA

OLEH :

Amalia Nur Azizah

K1A1 13 005

PEMBIMBING

dr. Steven Ridwan, M.Kes, Sp.OG

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


PADA BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
Tumor Jinak Vulva
Amalia Nur Azizah, Steven Ridwan

A. Pendahuluan

Tumor vulva jinak jarang terjadi pada saluran genital bawah, namun

sering menjadi alasan untuk konsultasi ke ginekologis. Meskipun sebagian

besar tumor tidak memerlukan perawatan, perlu dipertimbangkan diagnosis

banding yang mencakup lesi infeksi, kanker kulit, serta tumor pra ganas dan

ganas. Saat ini, tidak ada klasifikasi yang ditetapkan dari tumor jinak pada

vulva. Pada tahun 2006 dan 2011, Society for the Study of Vulvovaginal

Disease (ISSVD) menerbitkan nomenklatur dan klasifikasi gangguan

dermatologis vulva yang dapat digunakan sebagai alat diagnostik yang

membantu untuk lesi pada vulva. Namun secara klinis, tumor vulva dapat

dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu tumor kistik dan tumor solid.1

Tumor jinak vulva dapat berasal dari epitel maupun jaringan ikat di

sekitarnya. Tumor jinak tersering pada vulva yaitu fibroma, papiloma, lipoma,

angioma, neuroma, lymphangioma, neurofibroma, dan adenoma. Dari

semuanya, fibroma merupakan jenis yang tersering, terutama pada wanita usia

muda. Lokasi tersering dari tumor vulva, yaitu pada labia mayor dan jarang

terjadi pada labia minor, klitoris, vestibule, dan komisura posterior.2

Tumor sering terjadi pada rentang usia 20-40 tahun, jarang terjadi pada

anak-anak, ibu hamil dan menyusui, dan usia lanjut. Walaupun pada awalnya,

tumor cenderung tidak bertangkai (sessile), tetapi lama kelamaan karena

makin membesarnya ukuran tumor, dapat terbentuk tangkai (pedunculated).2

1
B. Anatomi Vulva3

Gambar 1. Anatomi Vulva3

Vulva atau pudenda meliputi seluruh struktur eksternal yang dapat

dilihat mulai dari pubis sampai perineum, yaitu mons veneris, labia

mayora dan labia minora, klitoris, selaput darah (hymen), vestibulum, muara

uretra, berbagai kelenjar dan struktur vascular.

a. Mons veneris (mons pubis)

Mons veneris merupakan bantalan berisi lemak yang menutupi

simfisis pubis. Setelah pubertas, kulit mons pubis ditutupi oleh rambut

kemaluan yang membentuk escutcheon. Pada perempuan umumnya batas

atas rambut melintang sampai pinggir atas simfisis, sedangkan ke bawah

sampai sekitar anus dan paha.

b. Labia Mayora

Secara embriologis, labia mayora homolog dengan skrotum pria.

Struktur-struktur ini agak berbeda dalam penampilan terutama berdasarkan

2
jumlah lemak yang dikandungnya. Panjangnya 7-8 cm, lebar 2-3 cm, dan

ketebalan 1-1,5 cm. Ligamen rotundum berakhir pada batas atas labia

mayora. Kebawah dan ke belakang kedua labia mayora bertemu dan

membentuk kommisura posterior. Permukaan luar labia mayora ditutupi

dengan rambut, sedangkan pada permukaan bagian dalamnya, tidak ada.

Selain itu labia mayora mengandung banyak kelenjar apokrin dan

sebasea. Di bawah kulit, terdapat lapisan jaringan ikat yang padat, yang

mengandung sangat sedikit elemen otot tetapi kaya akan serat elastis dan

jaringan adiposa.

c. Labia minora (nymphae)

Labia minora (nymphae) adalah suatu lipatan tipis dari kulit

sebelah dalam labia mayora. Kedepan kedua labia minora bertemu

yang diatas klitoris membentuk preputium klitoridis dan yang di

bawah klitoris membentuk frenulum klitoridis. Ke belakang kedua

labia minora juga bersatu dan membentuk fossa navikulare. Kulit

yang meliputi labia minora mengandung banyak glandula sebasea dan

juga ujung-ujung saraf yang menyebabkan struktur ini sangat sensistif.

d. Klitoris

Klitoris kira-kira sebesar biji kacang ijo, tertutup oleh

preputium klitoridis dan terdiri atas glands klitoridis, korpus klitoridis dan

dua krura yang menggantung klitoris ke os pubis. Glands klitoridis

terdiri atas jaringan yang dapat mengembang, penuh dengan ujung saraf,

sehingga sangat sensitif.

3
e. Vestibulum

Vestibulum berbentuk lonjong dengan ukuran panjang dari

depan ke belakang dan dibatas di depan oleh klitoris, kanan dan kiri

oleh kedua labia minora dan di belakang oleh perineum (fourchette).

Terdapat enam lubang pada vestibulum, uretra, vagina dua duktus kelenjar

bartolin dan dua duktus kelenjar skene.

Kelenjar bartholin bilateral, juga disebut kelenjar vestibular yang

lebih besar dengan ukuran diameter 0,5-1 cm. Duktus saluran merupakan

perluasan kearah medial dari masing-masing kelenjar, ukuran panjang 1,5-

2 cm, dan membuka didaerah distal selaput dara, di arah jam 5 dan 7 di

ruang depan vestibulum.

f. Introitus Vagina

Introitus vagina mempunyai bentuk dan ukuran yang berbeda-beda.

Introitus vagina ditutupi oleh selaput dara.

4
C. Tumor Jinak Vulva

1. Kistik

a. Kista Bartolin

Epidemiologi

Kista Bartholin merupakan penyakit paling umum

pertumbuhan kistik di vulva yang terjadi di labia mayora. Dua persen

wanita mengalami kista atau abses kelenjar Bartholin. Abses hampir

tiga kali lipat lebih umum terjadi dibanding kista. Satu studi case-

kontrol menemukan bahwa wanita kulit putih dan hitam lebih mungkin

untuk terjadi kista atau abses bartholin daripada wanita Hispanik, dan

wanita dengan paritas tinggi berada pada risiko terendah. Secara

bertahap involusi kelenjar bartholin dapat terjadi pada saat seorang

wanita mencapai usia 30 tahun. Hal ini mungkin lebih sering

menyebabkan terjadinya kista Bartholin dan abses kelenjar bartholin

khususnya antara usia 20 dan 30 tahun.4 Pada pasien yang lebih tua

dari 40 tahun jarang terjadi dan harus dirujuk ke dokter kandungan

untuk di biopsi sebab dicurigai keganasan.5

Etiopatogenesis

Beberapa faktor risiko penyebab kista bartholin yaitu riwayat

kista bartholin sebelumnya, bergonta-ganti pasangan seksual, infeksi

menular seksual dan trauma vulva.6 Kista Bartholin tanpa komplikasi

berisi sekret. Studi dari tahun 1970-1980-an menyebut Neisseria

gonorrhoeae dan Chlamydia trachomatis sebagai patogen umum.

5
Studi yang lebih baru melaporkan dominasi bakteri oportunistik seperti

spesies Staphylococcus, spesies Streptococcus, dan, paling umum,

Escherichia coli.7

Trauma juga menyebabkan sumbatan pada saluran ekskresi

kelenjar bartholini. Bila pembesaran kelenjar bartholini terjadi pada

usia pascamenopause, sebaiknya dilakukan pemeriksaan secara

saksama terkait dengan risiko tinggi terhadap keganasan. Peradangan

pada kista yang terbentuk akibat sumbatan duktus sekretorius dan

kelenjar bartholini dapat juga terjadi secara kronis dan berlangsung

hingga bertahun-tahun. Untuk jenis ini, biasanya diameter indurasi

kista, tidak mencapai ukuran yang besar sehingga penderita juga tidak

menyadari adanya kelainan ini. Lokasi kista juga berada di dinding

sebelah dalam pada 1/3 bawah labium mayus. Infeksi sekunder atau

eksaserbasi akut yang berat dapat menyebabkan indurasi yang luas,

reaksi peradangan, dan nyeri sehingga menimbulkan gejala klinik

berupa nyeri, dispareunia, ataupun demam.8

Kista Bartholin terbentuk ketika ostium dari saluran menjadi

terhambat, menyebabkan distensi kelenjar atau saluran dengan cairan.

Sehingga menyebabkan penumpukan akibatnya terjadi pelebaran kistik

dari saluran dan terjadi pembentukan kista. Obstruksi biasanya

disebabkan oleh peradangan atau trauma yang tidak spesifik. Kista

biasanya berdiameter 1-3 cm dan sering tanpa gejala.9

6
Abses bartholin disebabkan oleh infeksi kelenjar primer atau

kista yang terinfeksi. Pasien dengan abses mengeluh nyeri vulva akut

dan progresif cepat.9

Tabel 1. Bakteri penyebab Kista Bartholin9

Agen Bakteri: aerobes Agen Bakteri:


anaerobes
Brucella melitensis Bacteroides species
Chlamydia trachomatis Pasteurella bettii
Escherichia coli Salmonella panama
Hypermucoviscous Klebsiella pneumonia
Neisseria gonorrhea
Neisseria sicca
Pseudomonas aeruginosa
Staphylococcus aureus: Panton-Valentine
Leucocidin production
Streptococcus species

Diagnosis

Bila pembesaran kistik tidak disertai dengan infeksi sekunder,

umumnya tidak akan menimbulkan gejala-gejala khusus dan hanya

dikenali melalui palpasi. Gejala utama akibat infeksi biasanya berupa

nyeri sentuh dan dispareunia. Pada tahap supuratif, dinding kista

berwarna kemerahan, tegang, dan nyeri. Bila sampai pada tahap

eksudatif di mana sudah terjadi abses, maka rasa nyeri dan ketegangan

dinding kista menjadi sedikit berkurang disertai dengan penipisan

dinding di area yang lebih putih dari sekitarnya. Umumnya hanya

7
terjadi gejala dan keluhan lokal dan tidak menimbulkan gejala sistemik

kecuali apabila terjadi infeksi yang berat dan luas. Demam terjadi

sekitar sepertiga pasien, biasanya ketika kista terinfeksi.8,9

Lokasi biasanya pada introitus posterior-lateral di regio

orifisium duktus ke vestibulum. Kista yang lebih besar biasanya

menonjol ke medial, menghalangi mulut introitus normal.10 Pada

inspeksi terlihat massa bulat yang biasanya dekat dengan orifisium

vagina menyebabkan vulva yang asimetris. Pada palpasi didapatkan

kista yang unilateral, tegang, lunak, dan tanpa kemerahan.

Effloresensi: nodul khas dengan ukuran bervariasi, unilateral, tidak

eritema.11 Diagnosis Kista bartholin dapat dilakukan hanya dengan

pemeriksaan fisis. Terdapat beberapa pemeriksaan lain yang dapat

dilakukan untuk membedakan Kista bartholin dengan penyakit lain

yang serupa.

Pemeriksaan mikroskopik dari sekresi duktus yang dilatasi

adalah jernih, mukoid, translusen, bebas bakteri, dan aselular. Hal ini

menandakan sekresi sialomusin dari kelenjar Bartholin.10 Pemeriksaan

ini dilakukan untuk membedakan kista Bartholin dengan karsinoma

Bartholin yang terutama dilakukan pada wanita usia lebih dari 40

tahun.11

Kista Bartholin terlihat unilokuler, memiliki lapisan dalam

halus, dan mengandung mukoid, sebagian cairan translusen ketika

tidak ada infeksi di atasnya. Kistanya mungkin tersusun oleh epitel

8
skuamous stratified nonkeratinizing, transisional, atau mucinous, yang

mana mencerminkan lapisan normal duktus sebagaimana berjalan dari

orifisium sampai asini kelenjar. Sel silia dapat ditemukan.11

Gambar 2. Kista Bartholin (histologis)11

Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computer

Tomography (CT) dapat dimanfaatkan untuk memeriksa kista duktus

Bartholin besar sebagai tambahan pemeriksaan fisis. Kista

asimptomatik juga dapat diperiksa menggunakan MRI scan. Pencitraan

high definition ultrasound juga dapat digunakan untuk memperlihatkan

adanya kista Bartholin.9

Gambar 3. MRI Kista Bartholin8

9
Penatalaksanaan kista Bartholin tergantung pada gejala pasien.

Kista asimptomatik mungkin tidak membutuhkan penatalaksanaan

apapun, tetapi kista dan abses duktus Bartholin bergejala

membutuhkan drainase.7 Antibiotik digunakan jika terdapat selulitis.12

Pilihan pertamanya adalah trimetophrim/sulfamethoxazole

160/800 mg oral 2 kali sehari selama 7 hari, atau pilihan kedua

amoxicillin/clavulanate 875 mg oral dua kali sehari selama 7 hari dan

klindamisin 300 mg oral 4 kali sehari selama 7 hari. Bisa juga

diberikan cefixime 400 mg oral sehari sekali selama 7 hari dan

klindamisin 300 mg oral 4 kali sehari selama 7 hari untuk lini kedua.12

1) Insisi dan drainase

Insisi dan drainase merupakan prosedur yang relatif mudah

dan cepat untuk mengurangi gejala serta terdapat risiko komplikasi

yang rendah, namun prosedur ini tidak dianjurkan karena

kemungkinan terjadinya rekurensi cukup tinggi.13 Seorang

investigator melaporkan tingkat kegagalan 13% untuk prosedur ini.

Insisi dan drainase juga akan menyulitkan pemasangan Word

catheter atau marsupialisasi kemudian.4

2) Pemasangan Word catheter

Word catheter adalah metode umum dan lebih konservatif

untuk terapi kista dan abses Bartholin yang dapat mencegah

rekurensi. Kateter terdiri dari balon inflatable yang ujungnya diisi

larutan saline. Terapi membutuhkan insisi kecil yang dibuat di area

10
yang terinfeksi dan balon Word catheter dimasukkan di dalam

rongga kista atau abses. Kateter dibiarkan di dalam untuk 4 – 6

minggu untuk memastikan epitelisasi dan Sitz baths

direkomendasikan untuk membantu proses penyembuhan. Terapi

kateter tidak direkomendasikan untuk terapi kista dan abses

dalam.9 Sitz baths dilakukan dua sampai tiga kali sehari dapat

membantu pasien lebih nyaman dan penyembuhan selama periode

postoperatif. Koitus dapat dilakukan setelah insersi kateter.4

Jika tidak ada bukti selulitis, terapi antibiotik tidak

diperlukan. Jika ada selulitis, kultur dapat dilakukan, tapi hasilnya

jarang mengubah manajemen terapi. Terapi antibiotik empiris

spektrum luas dapat dimulai sebelum hasil kultur keluar.4

Gambar 4. Word catheter4

3) Marsupialisasi

Marsupialisasi adalah metode pengobatan alternatif untuk

kista kelenjar Bartholin yang menyediakan metode yang kurang

invasif untuk drainase kista. Hemostat kecil digunakan untuk

11
menjepit kista dan insisi vertikal sekitar 1,5 – 3 cm panjangnya

dibuat untuk mengalirkan rongga kelenjar yang terinfeksi. Larutan

saline dapat digunakan untuk melembutkan area diikuti

pembalikan (dalam ke luar) dinding kista dengan benang

absorbable. Jika ada abses, marsupialisasi tidak boleh dilakukan.

Komplikasi seperti hematoma, dispareunia, dan infeksi mungkin

timbul.1 Prosedur marsupialisasi lebih rumit daripada pemasangan

Word catheter, namun rasa tidak nyaman pascaoperasi lebih ringan

daripada pemasangan Word catheter.13

Gambar 5. Teknik Marsupialisasi4

4) Laser CO2

Laser CO2 dapat digunakan untuk menguapkan dan

menyingkirkan kelenjar Bartholin. Prosedur bedah ini simpel dan

cepat, tetapi mahal. Terapi ini dapat digunakan pada pasien rawat

jalan, dengan ketidaknyamanan minimal untuk pasien pada periode

sebelum dan setelah operasi. Bentuk terapi ini terlihat bagus untuk

alternatif, kurang invasif, cepat dan aman untuk kasus kista

12
Bartholin. Tingkat rekurensi, reratanya, kurang dari 10%.

Prosedurnya terdiri dari antiseptis dengan povidone-iodine topikal

dan anestesi lokal dengan xylocaine 2% dengan sebuah

vasokontriktor. Dengan laser CO2 pada potensi 10–25 W,

digunakan terus menerus pada kolposkop, insisi longitudinal dibuat

dengan sinar laser menggunakan sorotan yang fokus untuk

membuka kapsul kista. Tepi lateral insisi dijaga dibawah tekanan

dengan pemegang untuk mempelihatkan rongganya, dengan

berikutnya drainase isi dan pembersihan bagian dalam dengan

larutan saline steril. Penghancuran jaringan kapsul dilakukan

dengan penguapan, menggunakan sorotan laser yang tidak fokus.

Pasien diinstruksikan untuk melakukan sitz baths dengan larutan

povidone-iodine yang terdilusi dalam air, tiga kali sehari, dan

untuk tidak melakukan hubungan seksual untuk 2 sampai 3

minggu. Antibiotik dan analgesik diresepkan untuk pasien dengan

tanda infeksi.14

5) Eksisi

Eksisi kelenjar Bartholin harus dipertimbangkan pada

pasien yang tidak merespon pada percobaan alternatif untuk

membuat saluran drainase, tetapi prosedur harus dilakukan jika

tidak ada infeksi aktif. Jika banyak percobaan telah dilakukan

untuk mengalirkan kista atau abses, adhesi mungkin muncul,

membuat eksisi sulit dan berakibat postoperative scarring dan

13
nyeri kronik pada daerah tersebut. Beberapa investigator

merekomendasikan eksisi kelenjar Bartholini untuk mengeluarkan

adenocarcinoma ketika kista atau abses muncul pada pasien yang

berusia lebih dari 40 tahun. Meskipun adenocarcinoma Bartholin

jarang, onkologi ginekologi menyarankan harus

mempertimbangkan untuk pasien lebih tua dengan kista duktus

atau abses kelenjar Bartholin.4

Tidak ada bukti untuk mendukung strategi pencegahan.

Namun, pengobatan kondisi vulval seperti dermatosis atau dermatitis

untuk meningkatkan kondisi dan fungsi kulit secara keseluruhan akan

meminimalkan risiko oklusi duktus akibat iritasi atau peradangan

selain itu sangat penting menjaga personal hygiene. Pencegahan

sekunder pengobatan kista asimptomatik yang besar dapat mengurangi

terjadinya infeksi sekunder dan pembentukan abses, tetapi abses dapat

berkembang tanpa kista yang sudah ada sebelumnya.12,15

Komplikasi yang terjadi biasanya setelah penanganan yaitu

dapat terjadi luka yang tidak sembuh-sembuh. Pendarahan, terutama

pada pasien dengan koagulopati, dapat menjadi komplikasi. Selain itu

terjadi gangguan kosmetik berupa jaringan parut.7

Jika kista atau abses dikeringkan dengan benar dan dicegah,

sebagian besar memiliki hasil yang baik. Tingkat kekambuhan

umumnya dilaporkan kurang dari 20%.9

14
b. Kista Kelenjar Skene

Gambaran Umum

Kista kelenjar skene dapat merupakan kelainan bawaan atau

didapat. Kista kelenjar Skene merupakan kasus yang jarang terjadi

(insidensi antara 1 dari 2074 dan 1 dari 7246) kasus, terutama pada

bayi baru lahir.16,17 Kista ini paling sering terjadi pada dekade ketiga

hingga keempat kehidupan.18 Etiologi kista masih belum diketahui,

walaupun obstruksi duktus skene akibat infeksi atau peradangan, atau

degenerasi kistik sisa-sisa embrionik kelenjar paraurethral telah

dipostulatkan.19
`
Gambaran Klinis

Kista dapat merupakan massa kistik kecil, hanya bagian lateral

atau inferolateral dari meatus uretra dan dapat meradang atau

terinfeksi. Karena saluran skene secara embriologis berasal dari sinus

urogenital, kista ini dilapisi oleh epitel skuamosa bertingkat.20 Gejala

yang muncul termasuk massa yang teraba atau terlihat di introitus,

nyeri, dispareunia, disuria, aliran urin yang terdorong ke salah satu sisi

atau obstruksi serta keputihan. Kista periurethral dapat sama sekali

tidak menunjukkan gejala dan ditemukan selama pemeriksaan panggul

rutin.16,18 Diagnosis kista saluran Skene pada bayi baru lahir

didasarkan pada lokasinya sehubungan dengan uretra atau adanya

epitel transisional pada dinding kista.17 Terlepas dari kenyataan bahwa

kista saluran Skene dapat didiagnosis menggunakan pemeriksaan fisik

15
saja, jika dokter tidak mengetahui massa, tes invasif atau pemeriksaan

radiografi mungkin dilakukan.19 Pemeriksaan dengan anestesi umum

tidak diperlukan, perawatan dapat dilakukan dengan anestesi lokal

dengan krim yang mengandung lidocain.18

Kista yang berukuran kecil dan asimptomatik, observasi adalah

pilihan, dan beberapa kista sembuh/regresi dengan waktu atau pecah

secara spontan.17,18,19 Namun, sebagian besar kista membutuhkan

drainase. Aspirasi jarum dan drainase kista secara insisional adalah

beberapa pilihan untuk perawatan.17 Aspirasi jarum, eksisi, dan

marsupialisasi adalah metode pengobatan yang sama efektifnya untuk

kista saluran Skene karena kurang invasif daripada intervensi

lainnya.19,20 Pengeluaran sebagian kista dengan marsupialisasi

dindingnya telah diusulkan sebagai pengobatan pilihan untuk kista

saluran Skene pada bayi baru lahir.17 Pilihan terapi untuk kista ini

sudah termasuk antibiotik jika terinfeksi.18

Gambar 6. Kista Kelenjar Skene pada bayi baru lahir sebelum dan setelah
dilakukan tindakan drainase17

16
c. Kista Pilosebasea8

Gambaran umum

Merupakan kista yang paling sering ditemukan di daerah vulva.

Kista terbentuk akibat penyumbatan yang disebabkan oleh infeksi atau

akumulasi material sebum pada saluran pada duktus sekretorius

kelenjar minyak (blockage of sebaceous duct). Kista yang berasal dari

lapisan epidermal biasanya dilapisi oleh epitel squamosa dan berisi

material seperti lemak dan epitel yang terlepas dari dinding dalam

kista. Kista inklusi epidermal dapat terjadi dari trauma atau prosedur

klinik mukosa vulva yang membawa material atau fragmen epidermal.

Sebagian besar kista epidermal terbentuk dari oklusi duktus

pilosebasea. Kista jenis ini, umumnya berdiameter kecil, soliter dan

asimptomatik. Pada kondisi tertentu, kista ini dapat terjadi di beberapa

tempat pada labio mayora. Pembentukan kista pilosebasea jenis

inklusif, tidak terkait dengan trauma dan fragmen epidermal di lapisan

bawah kulit. Kista jenis ini berasal dari jaringan embrionik yang pada

akhirnya membentuk susunan epitel kelenjar pada lapisan dermis.

Gambaran Klinis

Umumnya, kista pilosebasea tidak membesar dan asimptomatik

kecuali apabila dianggap mengganggu estetika dan mengalami infeksi

sekunder akan menimbulkan rasa nyeri lokal.

Terapi

Insisi dan drainase, jika diperlukan pemberian terapi antibiotik.

17
d. Hidradenoma Papilaris

Gambaran Umum

Hidradenoma papilliferum (HP) merupakan neoplasma jinak

yang jarang ditemukan yang umumnya berkembang di daerah

anogenital. HP berasal dari kelenjar apokrin, namun studi terbaru

melaporkan bahwa HP berasal dari anogenital mammary-like gland

(AMLG). AMLG adalah jenis kelenjar adneksa kulit normal yang

terutama terlokalisasi di daerah anogenital dan diketahui sebagai asal

dari berbagai neoplasma jinak atau ganas yang timbul di wilayah

anogenital. Namun, HP hampir secara eksklusif ditemukan pada

wanita, dengan hanya satu kasus pria yang dilaporkan hingga saat

ini.21,22

Pada wanita, AMLG didistribusikan dalam bentuk elips yang

dibentuk oleh daerah periklitoral, interlabial sulci, fourchette,

perineum dan daerah perianal. Kelenjar ini terletak di stroma

subepidermal, lebih besar dari kelenjar apokrin atau ekrin, dan sering

bercabang dan kadang-kadang benar-benar berlobus. Mereka dibatasi

oleh sel-sel basofilik daripada eosinofilik dan positif untuk reseptor

estrogen dan progesterone. Oleh karena itu, satu penjelasan yang

masuk akal untuk peningkatan ukuran tumor selama kehamilan dan

segera setelah melahirkan mungkin adalah respon sel duktus terhadap

peningkatan kadar prolaktin yang berhubungan dengan

kehamilan/menyusui.21

18
Tumor ini dapat ditemukan pada labia minora (50%) labia

majora (40%), fourchette (7%) dan clitoris (3%). Tumor ini umumnya

terjadi pada wanita Caucasian usia 30-49 tahun (25-66 tahun). 21,22

Gambaran klinis

Sebagian besar hidradenoma merupakan kista soliter yang

asimptomatik, dengan ukuran sekitar 0,5-2 cm.21 Pada kepustakaan

lain HP biasanya muncul sebagai nodul yang keras dan berwarna

merah di daerah anogenital.23 Terjadinya penyumbatan pada duktus

sekretorius kelenjar dapat menimbulkan kista-kista kecil (microcyst)

yang disertai dengan rasa gatal dan hal ini dikenal sebagai Fox-

Fordyce. Penyebab utama infeksi kelenjar apokrin di daerah ini adalah

streptokokus dan stapilokokus. Infeksi berulang dan berat dapat

menimbulkan abses dan sinus-sinus eksudatif di bawah kulit dimana

kondisi ini dikenal hidradenitis supurativa, yang seringkali dikelirukan

sebagai folikulitis. Pada kondisi yang semakin buruk dapat terjadi

destruksi jaringan, eksudasi dan limfadema sehingga menyerupai

limfopatia. Tahapan akhir hidradenoma, menyebabkan bintik-bintik

atau penonjolan halus papilomatosa pada kulit vulva sehingga

menyerupai infeksi difus pada kelenjar sebasea.8

Terapi

Untuk lesi ringan yang disertai pembentukan pustulasi

berulang, perjalanan penyakitnya dapat dimodifikasi dengan

penggunaan pil kontrasepsi hormonal karena sekresi kelenjar apokrin

19
fungsional pada area lesi dapat dikurangi. Pil kontrasepsi hormonal

tersebut dapat pula digunakan untuk mengurangi pruritus kronis pada

sindrom Fox-Fordyce pada penderita hidradenoma. Eksisi hanya dapat

dilakukan pada hidradenoma soliter dengan keluhan utama pruritus

vulva. Pada gangguan yang bersifat supuratif dan ekstensif, biasanya

dilakukan tindakan debridement untuk menghentikan proses destruktif

terhadap struktur normal jaringan epidermal vulva.8

Gambar 7. Hidradenoma pipilliferum21

e. Hidrokel Kanalis Nuck

Gambaran umum

Paten Kanalis Nuck merupakan sisa-sisa embriologis dari

processus vaginalis pada wanita. Keadaan ini merupakan satu entitas

perkembangan yang jarang terjadi pada wanita yang pertama kali

dijelaskan oleh Anton Nuck seorang ahli bedah dan ahli anatomi

Belanda pada tahun 1650. Obliterasi prosesus vaginalis yang tidak

20
lengkap menyebabkan hernia inguinalis atau hidrokel kanal Nuck.

Hydrocele dari kanal Nuck adalah kondisi yang sangat langka pada

wanita dan menjadi penyebab pada 5-12% kasus pembengkakan vulva

yang jarang terjadi. Yang terakhir biasanya timbul pembengkakan

inguino-pelvic karena adanya hernia inguinalis dari kantung yang

berisi cairan.24,25

Gambaran Klinis

Secara klinis merupakan suatu pembengkakan pada daerah

inguino-labial. Isi dari kantung biasa berupa cairan yang dikeluarkan

oleh mesothelium peritoneum. Dalam kasus yang jarang terjadi,

ovarium saja atau bersama dengan tuba falopii dapat berkembang

dalam kantung ini.25 Tumor kistik ini bermanifestasi sebagai

penonjolan translusen yang memanjang pada 1/3 atas labium mayus

dan dapat meluas hingga ke kanalis inguinalis. Kadangkala cairan di

dalam kista tersebut dapat dikempiskan dengan cara menekan

penonjolan kistik tersebut secara perlahan-lahan atau malahan dapat

menipis sendiri apabila penderita berbaring karena adanya hubungan

kanalis Nuck dengan kavum peritoneum. Jika terjadi hernia inguinalis

pada penderita ini, maka jalur masuk usus ke labium mayus adalah

melalui kanalis Nuck.8

Terapi

Reseksi bedah hidrokel dan ligasi prosesus vaginalis yang

tinggi, diikuti dengan pemeriksaan histopatologis, adalah pendekatan

21
terapeutik yang paling akurat untuk diagnosis pasti. Aspirasi kista atau

injeksi agen sclerosing ke dalam kista tidak efektif. Selain itu, hidrokel

kanal Nuck terkait dengan hernia inguinalis dapat dikelola dengan

pendekatan laparoskopi.24

Gambar 8. Hidrokel Kanalis Nuck25

Gambar 9. Hidrokel Kanalis Nuck Intra operasi25

22
2. Solid

a. Fibroma

Gambaran umum

Fibroma merupakan tumor yang jarang ditemukan di vulva

yang bersifat jinak, hanya sekitar 0,3% dari seluruh kasus neoplasma

gynecology, namun merupakan tumor padat vulva yang paling banyak

ditemukan.8,27 Fibroma pada vulva mempunyai insiden puncak antara

usia 20 dan 40 tahun, namun dapat terjadi pada anak-anak dan usia

lanjut (10 bulan – 67 tahun) pada kasus yang sangat jarang.28

Tumor ini berasal dari struktur jaringan ikat dalam dan

merupakan proliferasi dari jaringan fibroma labium mayus, terutama di

sekitar introitus, perineal bodies atau ligament rotundum. Fibroma

sering muncul pada labium mayora, cenderung bertangkai, terutama

jika besar dan terjadi limfadenematosa, dan pedikel dapat menjadi

begitu lama sehingga tumbuh menggantung di antara anggota

tubuh.8,27,28

Gambaran Klinis

Hampir sebagian besar fibroma pada vulva merupakan tumor

bertangkai dengan diameter kecil dan tidak dikenali oleh penderita.

Pertumbuhan lanjut dan pembesaran ukuran fibroma sehingga

menimbulkan gangguan aktivitas seksual/membatasi mobilitas

penderita menyebabkan mereka datang ke fasilitas kesehatan atau

klinisi. Dengan demikian, gangguan atau gejala yang ditimbulkan

23
sangat tergantung dari diameter tumor. Penderita mungkin tidak

menyadari adanya pertumbuhan neoplastik dan tidak mengeluhkan

sesuatu tetapi bila pertumbuhan tumor tergolong cepat maka dapat

timbul gejala-gejala mekanis seperti nyeri, dorongan pada uretra,

gangguan pada saat senggama terkait dengan diameter tumor dan

organ sekitar yang terdesak/terdorong.27

Terapi

Eksisi fibroma melalui prosedur operatif merupakan cara

terbaik untuk mengangkat tumor padat vulva. Seperti halnya dengan

berat-ringannya gejala maka mudah-susahnya eksisi fibroma sangat

tergantung dari lokasi dan diameter tumor. Secara umum pasien

memiliki outcome yang lebih baik.27,28

Gambar 10. Fibroma pada Vulva27

24
b. Polip Fibroepitelial

Gambaran umum

Fibroepithelial stromal polyp (FESP), juga dikenal sebagai

mesodermal stromal polyp, cellular pseudosarcomatous fibroepithelial

polyp, atau pseudosarcoma botryoides, merupakan proliferasi jinak

dari polipoid mesenkimal subepitel yang terjadi pada vagina, vulva,

atau cervix.29 FESP disebut juga akrokordon atau tonjolan kulit (skin

tag), yaitu tonjolan kulit polipoid, bertekstur lunak dan halus, berwarna

kemerahan seperti jaringan otot. Tumor ini hampir tidak pernah

tumbuh ke arah ganas dan hanya mempunyai arti klinis bila struktur

polipoid ini mengalami trauma dan terjadi perdarahan.8 FESP paling

sering ditemukan pada wanita usia reproduksi, sering selama

kehamilan, tetapi juga terlihat pada wanita postmenopause yang

menggunakan terapi penggantian hormone.30

FESP merupakan tumor jaringan lunak jinak langka yang

terjadi di wilayah vulvovaginal. Kemungkinan berasal dari sel stroma

subepitel atau mesenkim subepitel dari daerah vulvovaginal dari

endoserviks ke vulva. Patogenesis FESP belum diketahui dengan pasti.

Namun, hubungan yang kuat dengan stimulasi hormon berdasarkan

pada bukti bahwa FESP 1) sering terjadi selama kehamilan dan

mengalami kemunduran setelah melahirkan, 2) berhubungan dengan

terapi penggantian hormon atau pengobatan tamoxifen, dan 3) sel

25
stroma FESP reaktif terhadap reseptor estrogen, reseptor progesteron,

dan desmin.29

Gambaran Klinis

Manifestasi yang umum adalah satu atau lebih polip yang tidak

nyeri. Kadang-kadang gejala seperti pendarahan, keputihan, dan

ketidaknyamanan juga dapat dikaitkan dengan FESP, tergantung pada

ukuran massa, yang biasanya lebih kecil dari 5 cm. Namun, ukurannya

bisa mencapai 20 cm dan bisa mengalami torsi dan timbul edema

stroma. Meskipun sebagian besar tumor stroma genital kecil, biasanya

kurang dari 5 cm, beberapa massa yang besar di daerah vulvovaginal

dalam literatur telah berubah menjadi FESP atau angiomixoma

agresif.29

Terapi

Eksisi sederhana (bedah minor) atau menggunakan teknik

kauterisasi unipolar atau bipolar.8

Gambar 11. Polip Fibroepitel31

26
c. Lipoma

Gambaran umum

Lipoma merupakan tumor jinak yang umum dari jaringan

lunak. Lipoma umumnya berkembang antara dekade keempat dan

keenam kehidupan, tetapi dapat ditemukan pada semua kelompok usia.

Seperti lipoma lainnya, lipoma pada vulva memiliki pola yang sama,

dilaporkan pada semua kelompok umur, termasuk remaja dan bayi.

Etiologi dan patogenesis lipoma masih belum diketahui. Trauma,

obesitas, dan kelainan genetik adalah faktor risiko untuk

pengembangan lipoma.32,23

Lipoma biasanya ditemukan pada lemak subkutan, lipoma

sering ditemukan pada punggung atas, leher, dan ekstremitas atas dan

bawah bagian proksimal.32,33 Walaupun terdapat cukup banyak sel

lemak yang membentuk struktur di daerah mons pubis vulva (terutama

labia mayora),8 elemen utama penyusun lipoma adalah lemak dan

lapisan jaringan fibrosa.32

Gambaran Klinis

Diagnosis lipoma dapat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis.

Dapat dikatakan sama dengan fibroma dengan ukuran kecil dan sedang

di daerah vulva. Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan mikroskopik

atau histopatologi untuk membedakan dua kelainan ini. Lipoma pada

vulva merupakan tumor jinak dengan batas yang tegas dan dapat

digerakkan bebas dari dasarnya. Jarang sekali pasien mengeluhkan

27
tumor ini karena memang tidak menyebabkan gangguan yang berarti

di daerah genital ataupun gangguan aktivitas seksual. Pasien tidak

mengeluhkan nyeri dan pertumbuhan tumornya lambat, mudah

bergerak dan tidak melekat pada kulit di atasnya.8,32

Terapi

Lipoma dapat dikelola secara konservatif, terutama jika

ukurannya kecil dan tidak menunjukkan gejala, karena jika tumbuh

besar, dapat menyebabkan rasa tidak nyaman dan kelainan bentuk, dan

dapat menyebabkan masalah psikologis dan sosial. Eksisi bedah, sedot

lemak, laser, ultrasound dan injeksi agen farmasi pilihan manajemen

untuk perawatan lipoma. Eksisi bedah adalah perawatan pilihan untuk

lipoma, dengan pengangkatan kapsul secara lengkap untuk mencegah

kekambuhan.8,32

Gambar 12. Lipoma pada Vulva32

28
Gambar 13. Lipoma pada Vulva setelah Eksisi32

d. Limfangioma Sirkumsriptum

Gambaran umum

Limfangioma sirkumskriptum merupakan malformasi

mikrositik limfatik. Lesi ini muncul berupa pulau-pulau dari

sekumpulan nodul atau lepuh kecil yang berisi cairan limfe

menyerupai tonjolam-tonjolan kecil pada kulit katak. Limfangioma

sirkumskriptum jarang sekali mengenai kulit di daerah vulva. Lokasi

terbanyak dijumpai pada daerah bahu, leher tungkai mulut, terutama

sekali lidah.8 Lymphangioma sirkumskriptum dapat berupa primer atau

sekunder. Bentuk primer muncul sejak lahir atau berkembang selama

masa kanak-kanak sedangkan bentuk sekunder berkembang karena

kerusakan atau penurunan aliran limfatik sekunder akibat berbagai

penyebab seperti infeksi termasuk tuberkulosis, filariasis,

limfogranuloma venereum, sebelum operasi lokal atau radioterapi,

29
trauma, skleroderma, penyakit Crohn dan dalam hubungannya dengan

neoplasma yang mempengaruhi limfatik lokal. Pasien dengan penyakit

vulva primer biasanya muncul di usia dewasa.34

Gambaran Klinis

Pulau-pulau pada kulit vulva dapat berwarna putih jernih

hingga merah jambu, merah gelap, cokelat atau hitam (tergantung

pigmentasi kulit) dan mungkin mengeras pada daerah kulit yang tebal

atau dengan kandungan keratin yang tinggi. Bila pulau-pulau

limfangioma ini mengalami infeksi, maka dapat terjadi peningkatan

jonjot kulit atau perdarahan.8

Terapi

Tidak ada pilihan pengobatan standar, terutama disebabkan

oleh kelangkaan lesi dan tingkat keterlibatan variabel pada pasien yang

berbeda. Tergantung pada luasnya, pilihan pengobatan termasuk

manajemen konservatif, modalitas abrasif termasuk laser karbon

dioksida, nitrogen cair, elektrokoagulasi, atau terapi sclerosing,

radioterapi superfisial, dan reseksi bedah.8,34

Pengobatan yang disukai untuk tipe primer dan sekunder

adalah eksisi bedah. Kini, eksisi bertahap pada limfangioma masih

dapat dijadikan pilihan. Mengingat pada banyak kasus terdapat lesi

yang cukup luas dan mencakup daerah yang sensitive, maka terapi

laser lebih terpilih karena tidak menimbulkan banyak perdarahan dan

tingkat kekambuhannya rendah. Terapi laser menggunakan Nd:YAG

30
laser (d-lase 300, A DL, Detroit, MI). paparan sinar laser selama 10

menit dalam interval 10 hari dengan metode nirkontak (noncontact)

densitas energy 1 W, 10Hz. Reduksi bermakna terjadi setelah 5 kali

paparan dan penderita limfangioma merasa puas karena penciutan

diameter lesi terjadi secara cepat dan pasti, serta terbebas dari rasa

nyeri atau risiko perdarahan.8,34

Gambar 14. Limfangioma Sirkumsripta34

e. Angiomiofibroblastoma

Gambaran Umum

Angiomiofibroblastoma adalah tumor mesenkim yang jarang

dan biasanya jinak, sebagian besar terjadi pada wanita premenopause.

AMFB memiliki ciri histomorfologi yang khas dan menunjukkan

diferensiasi miofibroblastik. Tumor umumnya dibatasi dengan baik

oleh pseudocapsule berserat tipis dan memiliki daerah hipo- dan

31
hiperselular bergantian dengan pembuluh darah berdinding tipis yang

dikelilingi oleh sel-sel stroma dalam matriks edema.30

Sepuluh persen (10%) dari kasus memiliki komponen adipose

terdiferensiasi dengan baik bervariasi pada pasien pascamenopause.

Aktifitas nonaktif untuk desmin dan vimentin terdeteksi di sebagian

besar sel tumor, yang secara konsisten positif untuk reseptor estrogen

dan progesteron. Tetapi pada wanita pascamenopause, pewarnaan

desmin dapat dikurangi dan tidak ada, dan juga pada kehamilan, sel-sel

tumor dapat negatif untuk reseptor estrogen dan progesterone. Karena

beberapa kasus menunjukkan tumpang tindih morfologis dengan

angiofibroma seluler dan angiomixoma agresif, terlalu penting untuk

mengenali AMFB dan membedakannya dari tumor yang tumpang

tindih lainnya, terutama angiomixoma agresif untuk menghindari

pengobatan yang tidak memadai. AMFB sepenuhnya jinak, tidak

kambuh secara lokal, bahkan setelah eksisi lokal marjinal meskipun

angiomixoma agresif memiliki tingkat kekambuhan lokal sekitar 30%

dan memiliki potensi metastasis yang jarang.35

Gambaran Klinis

AMFB dapat berupa tonjolan padat di atas kulit vulva atau

mukosa vagina, berbatas tegas dan kenyal. Variasi tertentu dari tumor

padat ini dapat berupa tonjolan polipoid diatas kulit. Permukaan tumor

dapat ditutupi oleh selaput epitel tipis berwarna merah muda mengkilat

atau buram dan keunguan akibat disertai dengan perdarahan.

32
Gambaran histopatologis tumor ini berupa selapis tipis epitel squamosa

di bagian permukaan, diikuti dengan lapisan stroma dengan area hipo

dan hiperseluler dan pembuluh darah dengan dinding yang tipis,

tersusun secara ireguler di seluruh jaringan tumor. Diagnosis banding

yaitu polip fibroepitelial (jinak) dan angiofibromiksoma (ganas).8

Terapi

Eksisi. Penelitian secara kohort pada penderita tumor ini, tidak

menunjukkan adanya kekambuhan dalam 5 atau 10 tahun setelah eksisi

tumor. Transformasi kea rah ganas terjadi pada satu kasus dari sekitar

150 kasus yang dilaporkan.8

Gambar 15. Angiomyofibroma pada Vulva36

33
f. Mioma Vulva-Vagina

Gambaran umum

Leiomioma vulva adalah massa jinak yang langka yang

terdapat pada vulva. Leiomioma uterus umum terjadi dan dapat

menyerang hingga 30% wanita yang berusia lebih dari 35 tahun.

Tumor otot polos ini menjadi tantangan diagnostik yang lebih besar

dan biasanya salah didiagnosis sebagai kista Bartholin sebelum

operasi. Tumor ini dapat menyerang wanita dari semua kelompok

umur tetapi kebanyakan berusia antara 30 dan 60 tahun. Secara

histologis, leiomioma vulva berasal dari otot polos di dalam jaringan

ereksi, dinding pembuluh darah, dan ligamentum rotundum.37

Mioma merupakan tumor jinak yang berasal dari otot polos dan

jarang ditemukan pada daerah vulvo vaginal. Lebih jarang lagi, mioma

yang terjadi pada traktus urinarius, termasuk orifisium uretra (hanya 50

kasus yang dilaporkan dalam 50 tahun terakhir). Mioma paling sering

terjadi di miometrium uteri dan sensitive terhadap hormone reproduksi

sehingga tumor ini lebih sering terjadi di usia reproduksi dan

mengalami regresi setelah menopause.8

Gambaran Klinis

Leiomioma vulva biasanya tidak nyeri, soliter, dan dibatasi

dengan baik. Hampir semua bagian vulva dapat menjadi lokasi tumor

dari jaringan otot polos ini. Akan tetapi, bagian yang paling rentan

adalah labia, terutama pada daerah 1/3 bawah. Pada kondisi yang

34
ekstrem, tumor ini dapat mendesak dinding labia kea rah introitus dan

kearah depan sehingga menyebabkan penyempitan introitus vagina.

Mioma soliter dapat membuat penonjolan yang terbatas tegas, tanpa

rasa nyeri (terutama apabila tidak disertai gejala mekanik seperti

penekanan atau penjepitan) dan dapat digerakkan bebas mengikuti

kapasitas kelenturan labia.8

Terapi

Enukleasi atau eksisi mioma (tergantung jenisnya, soliter atau

difus).8

Gambar 16. Mioma Vulva-Vagina38

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Maldonado VA. Benign Vulvar Tumors. Best Practice & Research Clinical
Obstetrics and Gynaecology, 2014;28:1088-1097
2. Putra HK, Anggraeni A, Rinaldi A, dan Moegni F. Benign Tumor in Labia
Minora. Sriwijaya Journal of Medicine, 2018;1(2):135-138
3. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Dashe JS, Hofman BL, Casey BM,
dan Spong CY. Williams Obstetrics 25th Edition. New York : McGraw-Hill,
2018
4. Omole F, Simmons BJ, dan Hacker Y. Management of Bartholin’s Duct Cyst
and Gland Abscess. American Family Physicia, 2003;6(1):135-140
5. Quinn A, 2017. Bartholin Gland Disease (Publikasi online
https://emedicine.medscape.com/article/777112-print)
6. Anozie1 OB, Esike1 CUO, Anozie RO, Mamah E, Eze1 JN, dan Onoh RC.
Incidence, Presentation and Management of Bartholin’s Gland Cysts/Abscess:
A Four-Year Review in Federal Teaching Hospital, Abakaliki, South-East
Nigeria. Open Journal of Obstetrics and Gynecology, 2016;6:299-305
7. Quinn A. 2017. Bartholin Gland Diseases Clinical Presentation. (publikasi
online https://emedicine.medscape.com/article/777112-clinical#showall)
8. Andriaansz G. Tumor Jinak Organ Genital. Dalam: Anwar M, Baziad A dan
Prabowo RP, editor. Ilmu Kandungan Edisi Ketiga. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo, 2011:251-293
9. Lee MY, Dalpiaz A, Schwamb R, Miao Y, Waltzer W, dan Khan A. Clinical
Pathology of Bartholin’s Glands: A Review of the Literature. Current
Urology, 2014;8:22-25
10. Wilkinson EJ and Stone IK. 2012. Atlas of Vulvar Disease. 3rd ed. United
States of America: Lippincott Williams & Wilkins p13-16.
11. Imperial College Healthcare NHS Trust. 2017. Bartholin’s cyst or abscess.
(Publikasi online https://www.nhs.uk/conditions/bartholins-cyst/

36
12. Stockdale CK and Boardman LA. Bartholin cyst (publikasi online
https://online.epocrates.com/diseases/106042/Bartholin-cyst/Treatment-
Options)
13. Vaniary TI and Martihardjo S. Studi Retrospektif: Kista dan Abses Bartholin.
Berkala Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin – Periodical of Dermatology and
Venereology. 2017;29(1):52-58.
14. Speck, NM, et al. Treatment of Bartholin gland cyst with CO2 laser. Einstein.
2016;4(1): 25-29. BMJ Publishing Group Ltd 2019
15. Mayo Foundation for Medical Education and Research. Bartholin's cyst
(publikasi online https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/bartholin-
cyst/symptoms-causes/syc-20369976)
16. Kruger PF, Kung R, Hamidinia F dan Rahmani R. Skene’s gland duct cysts:
The utility of vaginal/transperineal imaging in diagnosis and mapping for
surgery. SAJOG, 2016;22(2):62-64
17. Moralıoğlu S, Bosnalı O, Celayir AC, dan Şahin C. Paraurethral Skene’s duct
cyst in a newborn. Urology Annals, 2013;5(3):204-205
18. Heller Ds. Benign Tumors And Tumor-Like Lesions Of The Vulva. Clinical
Obstetrics And Gynecology, 2015;58(3):526–535
19. Kusama Y, Ito K, dan Suzuki T. Skene’s duct cyst. J Gen Fam Med,
2017;18:299–300
20. Chong W dan Fantl JA. Marsupialization of Skene’s Gland Cyst.
Marsupialization of Skene’s Gland Cyst. M J Gyne, 2017;2(1): 010
21. Hernández-Angeles C, Nadal A dan Castelo-Branco C. Hidradenoma
Papilliferum of the Vulva in a Postpartum Woman: A Case Report. Journal of
Obstetrics and Gynaecology, 2017:1-2
22. Kurashige Y, Kishida K, Kurashige K, Minemura T dan Nagatani T.
Hidradenoma Papilliferum Of The Vulva In Association With An Anogenital
Mammary-Like Gland. Journal of Dermatology, 2014; 41: 411–413
23. Kambil SM, Bhat RM dan D’Souza DC. Hidradenoma Papilliferum of The
Vulva. Indian Dermatology Online Journal, 2014;5(4):523-4

37
24. Gülmez DD dan Gülmez M. Hydrocele of the Canal of Nuck in a Female: A
Case Report. Haydarpasa Numune Med J, 2018;58(4):227–228
25. Pandey A, Jain S, Verma A, Jain M, Srivastava A dan Shukla RC. Hydrocele
of the canal of Nuck – Rare differential for vulval swelling. Indian Journal of
Radiology and Imaging, 2014;24(2):175-177
26. Al-Saleh N, Al-Maghrabi A dan Banaja A. Hydrocele of the canal of Nuck. J
Ped Surg Case Reports, 2018;29:36-38
27. Chen D, Chen C, Su H, Yu C, dan Chu T. Huge Pedunculated Fibroma of The
Vulva. Acta Obstet Gynecol Scand, 2004;83:1091-2
28. Isoda H, Kurokawa H, Kuroda M, Asakura T, Akai M, Sawada S, Nakagawa
M dan Shikata N. Fibroma of the Vulva. Computerized Medical Imaging and
Graphics, 2002;26:139-142
29. Yoo J, Je BK, Yeom SK, Park YS, Min KJ dan Lee JH. Giant Fibroepithelial
Stromal Polyp of the Vulva: Diffusion-Weighted and Conventional MRI
Features and Pathologic Correlation. Journal of Pediatric and Adolescent
Gynecology, 2018:1-16
30. Pharaon M, Warrick J dan Lynch MC. Fibroepithelial Stromal Polyp of the
Vulva: Case Report and Review of Potential Histologic Mimickers.
International Journal of Gynecological Pathology, 2017:1-5
31. Madueke-Laveaux OS, Gogoi R dan Stoner G. Giant fibroepithelial stromal
polyp of the vulva: largest case reported. Annals of Surgical Innovation and
Research, 2013;(8):1-5
32. Reda A dan Gomaa I. Vulvar Lipoma: A Case Report. Rev Bras Ginecol
Obstet, 2018;40:647–649
33. Ulu I, Çekmez Y, dan Gülşen MS. Vulvar lipoma: A rare localization of a
Lipoma. Medeniyet Medical Journal, 2016;31(2):138-139
34. Gude G, Gupta P, Sharma RK dan Rajwanshi A. Primary lymphangioma
circumscriptum of the vulva presenting as warty plaques. Australasian
Journal of Dermatology, 2019:1-3
35. Kurtoglu E, Kaya R dan Topak N. Angiomyofibroblastoma of Vulva. J Gen
Med, 2014;Suppl 1: 41-43

38
36. Omori M, Toyoda H, Hirai T, Ogino T dan Okada S. Angiomyofibroblastoma
of the Vulva: A Large Pedunculated Mass Formation. Acta Med. Okayama,
2006;60(4):237-242
37. Kurdi S, Arafat AS, Almegbel M dan Aladham M. Leiomyoma of the Vulva:
A Diagnostic Challenge Case Report. Case Reports in Obstetrics and
Gynecology, 2016:1-3
38. Celik H, Bildircin FD, Kefeli M, Yavuz E dan Kokcu A. Labial leiomyoma
growing gradually in the vulva of an elderly woman. Journal of Obstetrics
and Gynaecology, 2015;32(8):816-816

39

Anda mungkin juga menyukai