Anda di halaman 1dari 18

REFERAAT ILMU PENYAKIT DALAM HEPATORENAL SINDROM

Disusun oleh: Prina Febri Atmilia, S.Ked 062010101015

Dokter Pembimbing: dr. Sugeng Budi Raharjo, Sp.PD

Disusun untuk melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF Ilmu Penyakit Dalam di RSD dr.Soebandi Jember

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER 2010

DAFTAR ISI Halaman Judul ........................................................................................................... Daftar Isi .................................................................................................................... Bab 1. PENDAHULUAN ......................................................................................... Bab 2. PEMBAHASAN 2.1 Definisi ......................................................................................................... 2.2 Epidemiologi ................................................................................................ 2.3 Faktor Presipitasi........................................................................................... 2.4 Patogenesis.................................................................................................... 2.5 Gambaran Klinis........................................................................................... 2.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding................................................................ 2 2 3 3 7 8 i ii 1

2.7 Penatalaksanaan ........................................................................................... 10 2.8 Prognosis ...................................................................................................... 13 2.9 Kesimpulan................................................................................................... 13 Daftar Pustaka ........................................................................................................... 15

ii

iii

BAB I. PENDAHULUAN Gangguan fungsi ginjal pada penyakit hati sangat sering terjadi atau bahkan umum terjadi dan merupakan persoalan yang serius pada penyakit hati yang lanjut. Terutama perubahan fisiologi ginjal baik pada gagal hati akut atau sirosis dengan asites yang menyebabkan gangguan fungsi ginjal yang spesifik dalam bentuk gagal ginjal yang berat yang disebut sebagai sindroma hepatorenal.
(1)

Pada SHR kelainan yang dijumpai pada ginjal hanya berupa kegagalan fungsi tanpa disertai dengan kelainan anatomi. Hal ini dapat dibuktikan bila ginjal tersebut ditransplantasikan pada penderita lain yang tidak didapati kelainan hati, maka fungsi ginjal tersebut akan kembali normal atau penderita yang mengalami SHR dilakukan transpalantasi hati maka fungsi ginjalnya akan kembali normal. (1) Gambaran pertama SHR dibuat oleh Hecker dan Sherlock pada tahun 1956. Penulis melaporkan 9 penderita dengan sirosis hati atau hepatitis akut yang berkembang lebih lanjut menjadi gagal ginjal tanpa ada proteinuria dengan ekskresi Na urin yang sangat rendah. Pada bedah mayat, ginjal-ginjal ini menunjukkan histologi yang normal. (1) Selain perubahan fungsi ginjal, penderita SHR juga ditandai dengan perubahan sirkulasi arteri sistemik dan aktifitas sistim vasoactive endogen yang berperan dalam terjadinya hipoperfusi ke ginjal. Dengan alasan ini SHR merupakan kumpulan patofisiologi yang unik untuk diketahui hubungannya antara sirkulasi sistemik dan fungsi ginjal serta pengaruh faktor vasokonstriktor dan vasodilator pada sirkulasi ginjal. (2)

BAB 2. PEMBAHASAN 2.1. Definisi Defenisi sindrom hepatorenal yang diusulkan oleh International Ascites Club (1994) adalah suatu sindrom klinis yang terjadi pada pasien penyakit hati kronik dan kegagalan hati lanjut serta hipertensi portal yang ditandai oleh penurunan fungsi ginjal dan abnormalitas yang nyata dari sirkulasi arteri dan aktivitas sistem vasoaktif endogen. SHR bersifat fungsional dan progresif. SHR merupakan suatu gangguan fungsi ginjal pre renal, yaitu disebabkan adanya hipoperfusi ginjal. Pada ginjal terdapat vasokonstriksi yang menyebabkan laju filtrasi glomerulus rendah, dimana sirkulasi di luar ginjal terdapat vasodilatasi arteriol yang luas yang menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik total dan hipotensi. Walaupun terjadi hipoperfusi ginjal, tetapi terapi dengan hanya perbaikan volume plasma saja ternyata tidak dapat memperbaiki fungsi ginjal ini.
(3)

2.2 Epidemiologi SHR terjadi pada sekitar 4%-10% pasien rawat inap dengan sirosis dekompensata. Studi retrospektif menunjukkan SHR terjadi pada hampir 17% pasien yang dirawat di rumah sakit dengan asites dan lebih dari 50% pasien sirosis meninggal oleh karena gagal hati.(1) Penyebab tersering gagal ginjal pada pasien sirosis adalah Peritonitis Bakterial Spontan (SBP). Sekitar 90% pasien SBP berkembang ke arah gagal ginjal. Hepatitis alkoholik berat dapat berakhir dengan komplikasi SHR. Progresi ke arah SHR pada pasien sirosis hepatis mungkin diinduksi oleh adanya komplikasi atau intervensi terapetik yang diberikan, akan tetapi pada separuh pasien tidak terdentifikasi adanya faktor presipitasi.(1)

2.3Faktor Presipitasi
2

Watt dkk menemukan bahwa faktor predisposisi yang sangat sering menyebabkan SHR ialah : 1. Infeksi bakteri (48%), terutama pada pasien dengan SBP, gangguan faal ginjal disebabkan memburuknya hemodinamik sistemik, mungkin akibat endotoksin dan berbagai sitokin yang dirangsang oleh SBP, yang menyebabkan vasodilatasi. 2. Perdarahan gastrointestinal (33%), hal ini akan mengakibatkan kontraksi volume darah akut dengan pengurangan perfusi ginjal. 3. Parasintesis pada penderita sirosis dengan asites yang terlalu agresif (27%), hal ini menyebabkan berkurangnya volume darah arterial yang efektif dan selanjutnya akan mengaktifkan sistem vasokontriktor yang akhirnya menyebabkan vasokonstriksi ginjal. 4. Obat-obatan 7% kasus, misalnya pada pemberian diuretik, diuresis (1 L/hr) akan menyebabkan kontraksi volume plasma dan insufisiensi ginjal, serta pada pemberian ACE inhibitor dan ARB dapat menyebabkan hipotensi arterial dan gagal ginjal prerenal.(4) 2.4Patogenesis Menurunnya kemampuan ginjal untuk ekskresi natrium dan air, penurunan fungsi ginjal, serta laju filtrasi glomerulus merupakan 3 kelainan fungsi ginjal yang utama pada pasien sirosis.(1) Hipoperfusi ginjal mengarah pada vasokonstriksi ginjal, yang keberadaan nyatanya pada penderita SHR telah ditunjukkan dengan beberapa metode eksplorasi termasuk arteriografi ginjal dan yang terbaru adalah ultrasonografi Doppler.(5) Penyebab utama dari vasokonstriksi ginjal ini belum diketahui secara pasti, tapi kemungkinan melibatkan banyak faktor, antara lain perubahan sistem hemodinamik, meningginya tekanan vena porta, peningkatan vasokonstriktor, dan penurunan vasodilator yang berperan dalam sirkulasi di ginjal.(3) Teori hipoperfusi ginjal menggambarkan manifestasi dari berkurangnya pengisian sirkulasi arteri yang disebabkan oleh adanya vasodilasi pembuluh darah splangnik. Pengurangan pengisian arteri ini akan menstimulasi baroreseptor dan

selanjutnya akan mengaktifkan vasokonstriktor (seperti rennin angiotensin dan sistem saraf simpatis). (1) Pada sirosis stadium lanjut, vasodilatasi arterial splangnik bertambah berat dan mengakibatkan penurunan nyata volume darah arteri, serta penurunan tekanan arterial. Sebagai akibatnya, tekanan arteri dipertahankan oleh aktivasi homeostatic vasokonstriktor dan factor anti natriuretik, sehingga terjadi retensi air dan natrium. Kombinasi hipertensi portal dan vasodilatasi arteri splangnik merubah permeabilitas dan tekanan kapiler intestinal, sehingga mempermudah pengumpulan cairan di cavum peritonii. Bila penyakit bertambah parah, maka akan terjadi gangguan nyata ekskresi ginjal terhadap air dan vasokonstriksi ginjal, perubahan yang masing masing akan menyebabkan hiponatremia dilutional dan SHR. Ciri khas SHR adalah vasokonstriksi ginjal reversible dan hipotensi sistemik ringan. Tiga factor utama pada pathogenesis SHR ialah: 1. Perubahan hemodinamik yang menurunkan tekanan perfusi ginjal, 2. Sistem saraf simpatis ginjal yang terstimulasi, 3. Peningkatan sintesis mediator vasoaktif humoral dan renal(1). Teori vasodilatasi arteri perifer pada penderita sirosis hepatis diawali dengan dilatasi arteri splangnik ddiikuti stimulasi system saraf simpatik (peningkatan nor adrenalin) dan system rennin angiotensin. Hal ini diakibatkan oleh aktivasi reseptor volume yang member reaksi terhadap undefilling vascular. Awalnya meskipun terjadi perubahan vasokonstriktor dan vasodilator, fungsi ginjal masih dapat dipertahankan. +Oleh karena alasan yang belum dapat Hipertensi portal dipastikan, mekanisme kompensasi ginjal akhirnya gagal. Kemungkinan
Hipertensi arterial sentral vasodilatasi sistemik dan intrarenal. Beberapa bukti menyokong konsep ini Penyakit hati berat atau sirosis

penyebabnya adalahVasodilatasi arterial splangnik ++ ketidakseimbangan antara mekanisme vasokonstriksi dan misalnya ketidakseimbanganAktivasi simpatis arakidonat, yaitu meningkatnya derivate asam metabolit tromboksan B2 pada urin pasien sindroma hepatorenal, suatu metabolit Rennin/angiotensin/aldosteron tromboksan A2, vasokonstriktor poten. Sebaliknya ekskresi di urin prostaglandin
Hormone antidiuretik E2 , suatu vasodilator menurun. Juga dilaporkan kadar endotelin Vasokonstriksi renal plasma pada pasien sindroam hepatorenal meningkat.(1) Vasokonstriktor Intrarenal Vasodilator Vasokonstriksi renal Sindroma hepatorenal

(vasokonstriktor)

Gambar 1. Patogenesis terjadinya Sindroma Hepatorenal(1)

Gambar 2. Mekanisme terjadinya SHR(9) Vasodilator ginjal yang mungkin berpartisipasi dalam mempertahankan perfusi ginjal pada sirosis adalah nitrit oksida. Jika produksi nitrit oksida dan PGs
6

dihambat, secara tidak langsung dalam percobaan sirosis dengan ascites terjadi penurunan perfusi ginjal. Vasodilator lain yang mungkin mempengaruhi pengaturan perfusi ginjal pada sirosis adalah natriuretik peptida. Gulberg dkk menemukan peningkatan jumlah C Type natriuretic peptide (CNP) di urin penderita sirosis dan gagal ginjal fungsional. Selanjutnya ditemukan hubungan yang terbalik antara CNP di urin dengan ekskresi natrium urin. CNP ini berperan dalam pengaturan keseimbangan natrium. Penemuan ini membuktikan aktivitas vasodilator ginjal meningkat pada sirosis dan berperan dalam pengaturan perfusi ginjal, terutama pada aktifitas vasokonstriktor ginjal yang berlebih(7). 2.5 Gambaran Klinis Mekanisme klinis penderita SHR ditandai dengan kombinasi antara gagal ginjal, gangguan sirkulasi, dan gagal hati. Gagal ginjal dapat timbul secara perlahan atau progresif dan biasanya diikuti dengan retensi natrium dan air yang menimbulkan ascites, edema, dan hiponatremi dilusional, yang ditandai oleh ekskresi natrium urin yang rendah dan pengurangan kemampuan berkemih (oliguri anuria ). Gangguan sirkulasi sistemik yang berat ditandai dengan tekanan arteri yang rendah, peningkatan cardiac output, dan penurunan total tahanan pembuluh darah sistemik Gambaran klinis uremia jarang dijumpai, begitu juga pada analisis urin didapatkan keadaan normal.(2,3) SHR secara klinis dibagi menjadi 2 tipe, yaitu(8) :
1. SHR Tipe I

SHR tipe I merupakan manifestasi yang sangat progresif, dimana terjadi peningkatan serum kretinin dua kali lipat (nilai awal serum kreatinin lebih dari 2,5 mg/dl) atau penurunan bersihan kreatinin 50% dari nilai awal hingga mencapai 20 ml/menit dalam kurun waktu kurang dari 2 minggu. Prognosis umumnya sangat buruk, yaitu sekitar 80% akan meninggal dunia dalam 2 minggu, dan hanya 10% yang bisa bertahan lebih dari 3 bulan. Penyebab kematian ialah karena gagal sirkulasi, gagal hati, gagal ginjal, dan ensefalopati hepatik. 2 SHR Tipe 2

SHR tipe 2 merupakan bentuk kronis SHR, ditandai dengan penurunan LGF yang lebih lambat. Kondisi klinis pasien biasanya lebih baik dibandingkan SHR tipe 1, dengan angka harapan hidup yang lebih lama. Prognosis SHR tipe 2 umumnya buruk,yaitu angka harapan hidup selama 5 bulan sekitar 50% dan 1 tahun sekitar 20%. SHR tipe 2 dapat berkembang menjadi SHR tipe 1.
2.6

Diagnosis dan Diagnosis Banding

Menurut The International Ascites Club (1996), kriteria untuk menegakkan diagnosis SHR terdiri dari 5 kriteria mayor dan 5 kriteria tambahan. Diagnosis SHR dapat dibuat bila ditemukan seluruh kriteria mayor.(8) Kriteria Mayor 1. Penyakit hati akut atau kronis dengan kegagalan tingkat lanjut dan hipertensi portal. 2. Laju filtrasi Glomerulus (LFG) yang rendah (kreatinin serum > 1,5 mg/dl (130 mmol/l) atau bersihan kreatinin <40 ml/menit) 3. Tidak ada syok, sepsis, kehilangan cairan, maupun pemakaian obat-obatan nefrotoksik (misalnya OAINS atau aminoglikosida) 4. Tidak ada perbaikan fungsi ginjal (penurunan kreatinin serum < 1,5 mg/dl atau peningkatan bersihan kreatinin > 40 ml/menit) sesudah pemberian cairan isotonic salin 1,5 liter) 5. Proteinuri <500 mg/hari, tanpa obstruksi saluran kemih atau penyakit ginjal pada pemeriksaan USG. Kriteria tambahan (tidak harus ada untuk menegakkan diagnosis) 1. Volume urine < 500 ml/hari 2. Natrium urine <10 mEq/liter 3. Osmolaritas urine > osmolaritas plasma 4. Eritrosit urine < 50 / lapang pandang (high power field) 5. Natrium serum < 130 mEq/liter SHR perlu dibedakan dengan adanya kondisi penyakit hati bersamaan dengan penyakit ginjal atau penurunan fungsi ginjal. Pada beberapa keadaan, diagnosis SHR mungkin dapat dibuat setelah menyingkirkan pseudohepatorenal syndrome.

pseudohepatorenal syndrome adalah suatu keadaan terdapatnya kelainan fungsi ginjal bersama dengan gangguan fungsi hati yang tidak mempunyai hubungan satu dengan yang lain. Beberapa penyakit yang dapat menyerupai SHR antara lain: 1. Nekrosis tubular akut Nekrosis tubular akut (NTA) relatif sering terjadi pada sirosis hepatis dengan asites, hipotensi, sepsis, dan nefrotoksik karena terutama jika obat seperti aminoglikosida obat ini dikombinasi dengan sefotaksim. Pada NTA biasanya

sedimen urin memperlihatkan silinder granular dan ekskresi natriu urin > 10 mEq/l. Enzim urin seperti gamma glutamiltrans-peptidase, leusin aminopeptidase, dan -2 mikroglobulin dapat digunakan untuk membedakan NTA dengan SHR. 2. Gagal ginjal karena obat Beberapa obat seperti antiinflamasi non steroid, antibiotik, zat kontras intravena, dan diuretik dapat mencetuskan gagal ginjal. Obat antiinflamasi non steroid seperti aspirin, ibuprofen, piroksikam, indometasin akan menghambat sintesis prostaglandin, menyebabkan vasokonstriksi arterial dan penurunan aliran darah ginjal dan LFG. 3. Glomerulopati Glomerulopati karena penyakit kompleks imun (seperti krioglobbulinemia) dan nefropati IgA dapat menyerupai SHR 4. Azotemia prerenal Pada SHR terdapat penurunan volume vaskular dan vasokonstriksi ginjal yang ditandai dengan natrium serum yang rendah, osmolalitas urin yang meningkat, rasio osmolalitas urin/plasma yang meningkat, dan rasio kreatinin urin/plasma yang tinggi. Gambaran laboratorium dalam darah dan urin sama dengan azotemia prerenal. Keadaan ini berbeda dengan NTA yang ditandai dengan meningkatnya natrium dalam urin (>30 mEq/L), osmolalitas urin sama dengan plasma, rasio osmolalitas urin : plasma yang rendah, dan rasio kreatinin urin : plasma yang rendah (< 20 : 1).Pemberian plasma expander seperti salin normal atau koloid dapat digunakan sebagai uji diagnostik untuk menyingkirkan

gagal ginjal prerenal. Pada gagal ginjal prerenal, penurunan LFG akan kembali normal dengan pemberian plasma expander dan ini tidak terjadi pada SHR.(4)

Gambar 3. Diagnostik flow chart SHR pada pasien dengan sirosis(3) Dalam beberapa kasus, gagal ginjal mungkin bukan karena penyebab tunggal tetapi merupakan kombinasi dengan penyakit lain. Dalam kasus ini, identifikasi faktor penyebab mungkin sulit dengan alat diagnostik saat ini. 2.7 Penatalaksanaan Dengan mengetahui beberapa factor pencetus untuk timbulnya SHR pada penderita sirosis dengan ascites maka kita dapat mencegah timbulnya gagal ginjal pada penderita ini. Pemberian plasma ekspander setelah parasintesis dalam jumlah besar, terutama albumin, mengurangi insiden SHR. Begitu pula pemberian antibiotik untuk mencegah SBP pada penderita sirosis hati dengan resiko tinggi untuk timbulnya komplikasi ini akan mengurangi insiden SHR. Ada beberapa modalitas terapi digunakan pada penderita dengan SHR dengan efek yang hanya sedikit atau tidak ada sama sekali. (10)
1. Vasodilator(2) 10

Obat-obatan dengan aktivitas vasodilator, terutama PGs (prostaglandin) telah dipakai pada penderita dengan SHR dalam usaha untuk menurunkan resistensi vaskuler ginjal. Pemberian PGs intra vena atau pengobatan dengan misoprostol (analog PGs oral aktif) pada penderita sirosis hati dengan SHR tidak diikuti dengan perbaikan fungsi renal. Dopamin pada dosis non pressor juga digunakan dalam usaha menimbulkan vasodilatasi renal pada penderita SHR. Infus dopamine selama 24 jam hanya menyebabkan peningkatan yang ringan pada aliran darah ginjal tanpa perubahan yang berarti dalam laju filtrasi glomerulus. Pemberian antagonis endhothelin spesifik segera berhubungan dengan perbaikan fungsi ginjal pada pasien dengan SHR. 2. Vasokonstriktor Hipoperfusi ginjal pada SHR pada sirosis dipikirkan berhubungan dengan pengurangan pengisian sirkulasi arteri, vasokonstriksi telah digunakan dalam usaha memperbaiki perfusi ginjal dengan menaikkan resistensi vaskuler sistemik dan menekan aktifitas vasokonstriktor sistemik. Pemberian vasokonstriktor segera (norepinefrin, angiotension II, ornipressin) pada pasien sirosis dengan ascites dan SHR menyebabkan vasokonstriksi arteri,yang mana meningkatkan tekanan arteri dan resistensi vaskuler sistemik. Vasokonstriktor pada dosis yang digunakan pada penelitian yang dipublikasikan dan pemberian pada periode waktu yang singkat, hanya menyebabkan perubahan yang ringan atau tidak ada dalam aliran darah ginjal meskipun perubahan yang menguntungkan dalam pengamatan di sirkulasi sistemik mungkin berhubungan baik dengan efek vasokonstriksi obat pada sirkulasi ginjal atau aktifitas yang menetap dari vasokonstriktor. Kombinasi pemberian vasokonstriktor (ornipressin, norepenephrine) dan vasodilator ginjal (dopamine,prostacyclin) juga gagal memperbaiki fungsi ginjal. Penelitian Guevara dkk menunjukkan bahwa pemberian kombinasi ornipressin dengan penambahan volume plasma dengan almumin memperbaiki fungsi ginjal dan menormalkan perubahan hemodinamik pada pasien sirosis dengan SHR. Tiga hari pengobatan dengan ornipressin dan albumin dapat menormalkan aktifitas yang berlebihan dari rennin angiotension dan system saraf simpatis, peningkatan

11

kadar natriuetik peptide arteri dan hanya memperbaiki sedikit fungsi ginjal. Pemberian ornipressin dan albumin selama 15 hari, perbaikan fungsi ginjal dijumpai dengan peningkatan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus. Terapi ini dapat digunakan dengan kewaspadaan yang tinggi, pada beberapa pasien hal ini tidak dilanjutkan karena komplikasi iskemik. Angeli dkk memberikan Midodrine dan Ocreotide pada 13 penderita SHR tipe I, setelah 20 hari pengobatan didapatkan penurunan aktifitas plasma renin, vasopressin dan glukagon. 1 penderita bertahan hidup sampai 472 hari, 1 penderita dilakukan transplantasi hati dan yang lain meninggal setelah 75 hari karena gagal hati. 3. Peritoneovenous shunt Peritoneovenous shunt telah digunakan secara sporadis pada masa yang lalu di dalam pelaksanaan pasien-pasien SHR dengan sirosis. Pemasangan shunt menyebabkan aliran yang terus menerus cairan ascites dari rongga peritoneum ke sirkulasi sistemik yang berperan dalam meningkatkan curah jantung (cardiac output) dan penambahan volume intravaskuler. Efek hemodinamik dari peritoneovenous shunt dihubungkan dengan penekanan yang nyata dari aktifitas system vasokonstriktor, peningkatan ekskresi natrium dan beberapa kasus memperbaiki aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, hal nilah yang menyebabkan rasionalisasi tindakan pada penderita SHR. 4. Portosystemic shunt Anastomosis shunt, baik side to side maupun end to side, belum merupakan terapi standar dalam pelaksanaan SHR karena tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dihubungkan dengan prosedur operasi ini pada sebagian pasien dengan penyakit hati lanjut. Akhir-akhir ini telah diperkenalkan suatu metode nonbedah dari kompresi portal yaitu portosystemic shunt (TIPS). Keuntungan metode ini dibanding dengan operasi portocaval shunt adalah penurunan mortalitas akibat operasi. Komplikasi yang paling sering pada pasien yang mendapat pengobatan dengan TIPS adalah hepatic encephalophaty dan obstruksi dari stent. Beberapa laporan yang melibatkan sejumlah pasien cenderung memperlihatkan bahwa prosedur ini meningkatkan fungsi ginjal pada Transjugular intrahepatic

12

pasien sirosis hati dengan SHR yang tidak dapat lagi untuk dilakukan transplantasi hati. Penelitian diatas menunjukkan bahwa TIPS memberikan banyak keuntungan pada penatalaksanaan SHR. Walaupun demikian, penggunaan TIPS masih memerlukan penelitian kontrol untuk dapat direkomendasikan. Guevara dkk melakukan TIPS pada 7 penderita SHR tipe 1 dan menyimpulkan TIPS dapat memperbaiki fungsi ginjal,menurunkan aktifitas renin angiotension dan system saraf simpatis.
5. Dialisa(1,11)

Hemodialisa

atau

peritoneal

dialisa

telah

dipergunakan

pada

penatalaksanaan penderita dengan SHR, dan pada beberapa kasus dilaporkan dapat meningkatkan fungsi ginjal. Walupun tidak terdapat penelitian kontrol yang mengevaluasi efektifitas dari dialisa pada kasus ini, tetapi pada laporan penelitian tanpa kontrol menunjukkan efektifitas yang buruk, karena banyaknya pasien yang meninggal selama pengobatan dan terdapat insiden efek samping yang cukup tinggi. Pada beberapa pusat penelitian hemodialisa masih tetap digunakan untuk pengobatan pasien dengan SHR yang sedang menunggu transplantasi hati. 6. Transplantasi Hati Transplantasi hati ini secara teori adalah terapi yang tepat untuk penderita SHR, yang dapat menyembuhkan baik penyakit hati maupun disfungsi ginjalnya. Tindakan transplantasi ini merupakan masalah utama mengingat prognosis buruk dari SHR dan daftar tunggu yang lama untuk tindakan tersebut di pusat transplantasi. Segera setelah transplantasi hati, kegagalan fungsi ginjal dapat diamati selama 48 jam sampai 72 jam. Setelah itu laju filtrasi glomerulus mulai mengalami perbaikan. Harapan hidup pada psien dengan HRS yang menjalani tranplantasi hati sekitar 3 tahun pada 60% pasien. Permasalahan utam pada trnplantasi hati pada SHR tipe 1 adalah pada pengaplikasiannya karena kebanyakan pasien meninggal sebelum dilakukan transplantasi. 2.8 Prognosis Dari seluruh komplikasi dari sirosis, SHR memiliki prognosis paling jelek. Angka harapan hidupnya sangat rendah dan perbaikan spontan sangat jarang

13

terjadi. Yang paling menetukan dari harapan hidupnya adalah tipe dari SHR sendiri. Pada tipe 1 angka harapan hidup adalah < 10 % dan perkiraan waktu harapan hidup hanya 2 minggu, pada pasien dengan tipe 2 mempunyai waktu harapan hidup yang lebih lama sekitar 6 bulan, selanjutnya yang menentukan angka harapan hidup juga derajat penyakit hati. Pasien dengan gagal hati yang berat memiliki keluaran yang lebih buruk daripada gagal hati moderat.(3) Pasien yang memberi respon dengan terapi vasokonstriktor mempunyai angka ketahanan hidup lebih tinggi dibanding dengan yang tidak sehingga terapi dengan obat vasokontriktor mungkin memperbesar kemungkinan harapan hidup pasien sambil menunngu transplantasi hati.(1) 2.9 Kesimpulan 1. SHR adalah komplikasi dari penyakit hati yang lanjut yang ditandai tidak hanya gagal ginjal, tapi juga gangguan system hemodinamik dan aktifitas system vasoaktif endogen. 2. Patogenesa SHR belum diketahui pasti, tapi diduga pengurangan pengisian sirkulasi arteriol sekunder terhadap sirkulasi vasodilasi arteriol di splanik, gangguan keseimbangan antara factor vasokonstriktor dan vasodilator. 3. Diangnosa SHR berdasarkan International Ascites Clubs Diagnostic Criteria of Hepatorenal Syndrome. 4. Pilihan pengobatan yang baik adalah transplantasi hati 5. Pengobatan pendukung hanya diberikan jika fungsi hati dapat kembali normal atau sebagai jembatan untuk menunggu tindakan transplantasi hati.

14

DAFTAR PUSTAKA 1. Sulaiman A, Akbar N, Lesmana L,. Buku Ajar Ilmu Penyakit Hati Ed Pertama.2007.Jakarta:Jayabadi 2. Dagher L, Moore K. The Hepatorenal Syndrome. Gut 2001;49:729-737
3. Gines P, Arroyo V. Hepatorenal Syndrome.The Lancet 2003;362:1819-

1826 4. Young E, Yong E, Wong F,.Renal Dysfunction in cirrhosis:Diagnosis, Treatment, and Prevention. Medscape General Medicine 2004;6(4):9 5. Garzia P, Ferri G, Ilardi M,. Pathophysiology, Clinical Features and Management of Hepatorenal Syndrome. Departement of Clinical Medicine, La Supresa University-Rome(Italy) 1998;2:181-184 6. Cardenas A, Gines P, Hepatorenal Syndrome. Malalties Digestives Hospital Clinic, Institut dInvestigacions Biome `diques August Pi i Sunyer, University of Barcelona, Villaroel 170, Barcelona 08036, Spain (2006).10:371385 7. Gulberg V, Moller S, Gerbes Al,Henriksen JH. Increased Renal production of Natriuretic Peptide (CNP) in Patients with Cirrhosis and Funtional Renal Failure. Gut 2000;47:852-7 8. Sudoyo, Ari W dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Juni 2006. 452 454
9. Siebernagl S, Lang F. Color Atlas of Pathophisiology.2000.New

York:Thieme
10. Maryani

S.,

2003.

Sindrom

Hepatorenal.

http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalam-srimaryani6.pdf
11.Arroyo V, Terra C, Gines P. New Treatment of Hepatorenal Syndrome. Semin Liver Dis. Aug 2006;26(3):254-64

15

Anda mungkin juga menyukai