Anda di halaman 1dari 104

Charitas Group

PEDOMAN PELAYANAN
INSTALASI FARMASI
CHARITAS HOSPITAL ARGA MAKMUR

CHARITAS HOSPITAL ARGA MAKMUR


TAHUN 2022
LAMPIRAN I
PERATURAN DIREKTUR CHARITAS
HOSPITAL ARGA MAKMUR
NOMOR: 032/Dir-CHAM/PER/IX/2022
TENTANG PELAYANAN KEFARMASIAN
DAN PENGGUNAAN OBAT

PEDOMAN PELAYANAN
INSTALASI FARMASI

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem pelayanan kesehatan Rumah Sakit yang berorientasi kepada pelayanan
pasien,penyediaan Sediaan Farmasi,Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai (BMHP)
yang bermutu dan terjangkau bagi semua lapisan masyarakat termasuk pelayanan farmasi
klinik (PMK Nomor 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit)
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit dinyatakan bahwa
Rumah Sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan, prasarana, sumber daya
manusia, kefarmasian, dan peralatan. Persyaratan kefarmasian harus menjamin ketersediaan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang bermutu, bermanfaat, aman, dan
terjangkau. Selanjutnya dinyatakan bahwa pelayanan Sediaan Farmasi di Rumah Sakit harus
mengikuti Standar Pelayanan Kefarmasian yang selanjutnya diamanahkan untuk diatur
dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun 2016.
Pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP harus dilaksanakan secara
multidisiplin, terkoordinir dan menggunakan proses yang efektif untuk menjamin kendali
mutu dan kendali biaya. Dalam ketentuan Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 44
Tahun 2009 tentang Rumah Sakit menyatakan bahwa Pengelolaan Alat Kesehatan, Sediaan
Farmasi, dan BMHP di Rumah Sakit harus dilakukan oleh Instalasi Farmasi sistem satu
pintu. Alat Kesehatan yang dikelola oleh Instalasi Farmasi sistem satu pintu berupa alat
medis habis pakai/peralatan non elektromedik, antara lain alat kontrasepsi (IUD), alat pacu
jantung, implan, dan stent.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian juga
dinyatakan bahwa dalam menjalankan praktik kefarmasian pada Fasilitas Pelayanan

2
Kefarmasian, Apoteker harus menerapkan Standar Pelayanan Kefarmasian yang
diamanahkan untuk diatur dengan Peraturan Menteri Kesehatan.
Pelayanan kefarmasian yang diselenggarakan di rumah sakit harus mampu menjamin
ketersediaan obat dan alat kesehatan yang bermutu, bermanfaat, aman, dan terjangkau untuk
memenuhi kebutuhan pasien.
Sistem pelayanan kefarmasian dan penggunaan obat di rumah sakit dirancang,
diimplementasikan, dan dilakukan peningkatan mutu secara berkesinambungan terhadap
proses-proses: pemilihan, perencanaan dan pengadaan, penyimpanan, pendistribusian,
peresepan/permintaan obat/instruksi pengobatan, penyalinan (transcribing), penyiapan,
pemberian dan pemantauan terapi obat.
Mengingat pentingnya hal tersebut, maka diperlukan suatu pedoman pelayanan Instalasi
Farmasi di Charitas Hospital Arga Makmur sebagai acuan dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian di Instalasi Farmasi Charitas Hospital Arga Makmur.

B. TUJUAN PEDOMAN :
1. Tujuan Umum
Tersedianya pedoman pelayanan kefarmasian sebagai acuan dalam penerapan pelayanan
Instalasi Farmasi di Charitas Hospital Arga Makmur.
2. Tujuan Khusus
a. meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian
b. menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian; dan
c. melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional
dalam rangka keselamatan pasien (patient safety).

C. RUANG LINGKUP PELAYANAN


Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit meliputi 2 (dua) kegiatan, yaitu kegiatan yang
bersifat manajerial berupa pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis
Habis Pakai (BMHP) dan kegiatan pelayanan farmasi klinik. Kegiatan tersebut harus
didukung oleh sumber daya manusia, sarana, dan peralatan.
Apoteker dalam melaksanakan kegiatan Pelayanan Kefarmasian tersebut juga harus
mempertimbangkan faktor risiko yang terjadi yang disebut dengan manajemen risiko.
Kegiatan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP merupakan siklus
kegiatan, yang meliputi:
1. Pemilihan, Perencanaan dan Pengadaan
2. Penerimaan,

3
3. Penyimpanan,
4. Pendistribusian,
5. Pemusnahan dan penarikan
6. Pengendalian
7. Administrasi
Kegiatan pelayanan farmasi klinik, meliputi:
1. Peresepan
a. Rekonsiliasi Obat
b. Penelusuran riwayat penggunaan obat
2. Penyiapan (dispensing)
a. Dispensing
b. Pengkajian dan pelayanan resep
c. Pelabelan
3. Pemberian Obat
a. Staf klinis yang kompeten dan berwenang memberikan obat
b. Verifikasi
c. Obat yang dibawa oleh pasien ke rumah sakit
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
e. Konseling
f. Visite
4. Pemantauan (Monitor)
a. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
b. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
c. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
d. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
e. Medication Error

D. BATASAN OPERASIONAL
1. Pemilihan, perencanaan dan pengadaan
Pemilihan merupakan kegiatan untuk menetapkan jenis sediaan farmasi, Alat Kesehatan,
dan BMHP sesuai dengan kebutuhan.
Perencanaan kebutuhan adalah merupakan kegiatan untuk menentukan jumlah dan
periode pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP sesuai dengan hasil
kegiatan pemilihan untuk menjamin terpenuhinya kriteria tepat jenis, tepat jumlah, tepat
waktu dan efisien.

4
Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan perencanaan
kebutuhan.
2. Penerimaan
Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah,
mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan
kondisi fisik yang diterima.
3. Penyimpanan
Penyimpanan merupakan kegiatan yang menyimpan dan memelihara dengan cara
menempatkan sediaan farmasi dan BMHP yang diterima pada tempat yang dinilai aman.
4. Pendistribusian.
Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan/menyerahkan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP dari tempat penyimpanan sampai kepada
unit pelayanan/pasien dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan
ketepatan waktu.
5. Pemusnahan dan Penarikan
Pemusnahan dilakukan terhadap sediaan farmasi dn BMHP sesuai dengan peraturan
yang berlaku.
Penarikan (recall) sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan
perundang-undangan dilakukan oleh pemilik izin edar. Penarikan Alat Kesehatan dan
BMHP dilakukan terhadap produk yang izin edarnya dicabut oleh Menteri.
6. Pengendalian
Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP. Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan BMHP dilakukan oleh Instalasi Farmasi bersama dengan Komite Farmasi
dan Terapi (KFT) di Rumah Sakit.
7. Adminitrasi
Administrasi harus dilakukan secara tertib dan berkesinambungan untuk memudahkan
penelusuran kegiatan yang sudah berlalu/sudah lewat.
8. Pelayanan farmasi klinik
Pelayanan farmasi klinik merupakan pelayanan langsung yang diberikan Apoteker
kepada pasien dalam rangka meningkatkan outcome terapi dan meminimalkan risiko
terjadinya efek samping karena Obat, untuk tujuan keselamatan pasien (patient safety)
sehingga kualitas hidup pasien (quality of life) terjamin.
9. Rekonsiliasi Obat

5
Rekonsiliasi Obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan Obat
yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi obat dimulai dengan menelusuri riwayat
penggunaan obat pasien sebelum masuk rumah sakit, kemudian membandingkan daftar
obat tersebut dengan obat yang baru diresepkan saat perawatan.
10. Pengkajian dan pelayanan Resep;
Pengkajian resep adalah kegiatan menelaah resep sebelum obat disiapkan, yang meliputi
pengkajian aspek administratif, farmasetik dan klinis.
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP termasuk peracikan Obat, pemeriksaan,
penyerahan disertai pemberian informasi.
11. Penelusuran riwayat penggunaan Obat;
Penelusuran riwayat penggunaan obat merupakan proses untuk mendapatkan
informasi mengenai seluruh obat/sediaan farmasi lain yang pernah dan sedang digunakan.
12. Pelayanan Informasi Obat (PIO);
Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan
komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat,profesi
kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit
13. Konseling;
Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi Obat
dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.
14. Visite
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker
secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien
secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau terapi Obat dan Reaksi
Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan menyajikan
informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
15. Pemantauan Terapi Obat (PTO);
Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
16. Monitoring Efek Samping Obat (MESO);
Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap
respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi
17. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO);

6
EPO merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstrutur dan
berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
18. Dispensing sediaan steril;
Penyiapan (dispensing) adalah rangkaian proses mulai dari diterimanya
resep/permintaan obat/instruksi pengobatan sampai dengan penyerahan obat dan BMHP
kepada dokter/perawat atau kepada pasien/keluarga.
Dispensing sediaan steril merupakan pencampuran Obat steril sesuai kebutuhan pasien
yang menjamin kompatibilitas dan stabilitas Obat maupun wadah sesuai dengan dosis
yang ditetapkan.
19. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD);
Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena indeks
terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
E. LANDASAN HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5063);
2. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5072); Adalah undang-undang/peraturan pemerintah/permenkes, dll
yang melandasasi secara hukum pelayanan di unit kerja;
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 298, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5607);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan
Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5044);
6. Peraturan Menteri Kesehatan No. 72 tahun 2016 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian
di Rumah Sakit.

7
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. KUALIFIKASI SUMBER DAYA MANUSIA


No Jenis Tenaga Pendidikan formal Sertifikasi Jumlah
1. Apoteker S1 Farmasi dan Profesi Mandatori, 3
Apoteker Management
Farmasi, Farmasi
Klinik
2. Tenaga Teknis S1 Kefarmasian / D3 Mandatori, 7
Kefarmasian Farmasi farmakologi
3. Analis Farmasi D3 Analis Farmasi Mandatori, 1
Farmakologi
4. Tenaga SLTA Mandatori 1
Administrasi

B. DISTRIBUSI KETENAGAAN
Distribusi ketenagaan di Instalasi Farmasi :
Jadwal dinas Jenis tenaga Jml Keterangan
1 Ka.Inst.Farmasi (APJ)
Apoteker Farmasi Klinik dan
1
Distribusi
Dinas pagi 1 Farmasi Rawat Jalan
Tenaga Teknis
1 Farmasi Rawat Inap
Kefarmasian
1 Gudang Sentral Farmasi
Administrasi 1 Gudang Sentral Farmasi
Tenaga Teknis Farmasi Rawat Inap/Farmasi
Dinas Tengah 1
Kefarmasian Rawat Jalan
Apoteker 1 Farmasi Klinik
Dinas sore Tenaga Teknis 1 Farmasi Rawat Jalan
Kefarmasian 1 Farmasi Rawat Inap
Tenaga Teknis
Dinas malam 1 FRI/FRJ
Kefarmasian

C. PENGATURAN JAGA
Jadwal Dinas Waktu

8
Dinas Pagi Pkl. 07.00 – 14.00 WIB
Dinas Tengah Pkl. 09.00 – 16.00 WIB atau 10.00 – 17.00 WIB
Dinas sore Pkl. 14.00 – 21.00 WIB
Dinas malam Pkl. 21.00 – 07.00 WIB

9
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. DENAH RUANG
1. Instalasi Farmasi (ruang pelayanan farmasi rawat jalan dan farmasi rawat inap):

Ket:
I : Meja Penyeerahan Obat
II : Meja racik dan rak obat fast moving untuk mata

2. Gudang Sentral Farmasi


a. Gudang Infus

10
b. Gudang alkes

B. STANDAR FASILITAS
No Fasilitas Jumlah Ket.

A. Fisik / bangunan / sarana

1. Ruang pelayanan Farmasi Rawat Jalan 1

2. Ruang pelayanan Farmasi Rawat Inap 1

3. Ruang Racik 1 Meja racik

4. Ruang Konseling dan Ruang PIO

11
5. Ruang Dispensing

6. Ruang UDD Plan

7. Ruang Farmasi Klinik

8. Counter penyerahan obat pasien rawat 1 Loket


jalan

9. Ruang gudang sentral farmasi (RJ & RI) 1


untuk sediaan farmasi dan BMHP selain
Infus

10. Ruang penyimpanan Infus 1

11. Ruang penyimpanan Bahan Berbahaya 1


Beracun (B3)

B. Peralatan

1. Komputer set 2

2. Laptop untuk mobile 1

3. Printer biasa 1

4. Printer fotocopi 1

5. Printer untuk print resep dan etiket 1

6. Telephon untuk keperluan FRJ & FRI 1

7. Meja kerja untuk menyiapkan resep 1

8. Meja kerja 2

9. Kursi kerja 4

10. Wastafle 1

11. Airwash untuk gudang B3 1

12. Rak untuk menyimpan obat dengan resep Untuk UDD di tiap
individu pada pasien rawat inap bangsal

13. Lemari Narkotika 1

12
14. Lemari Psikotropika 1

15. Lemari untuk obat-obat donasi pemerintah Rak dipisah dengan


tanda

16. Lemari terkunci untuk sediaan farmasi dan Dipisahkan saja


BMHP yang kadaluarsa

17. Laci-laci untuk penyimpanan obat di rak- -


rak obat untuk obat-obat stock FRJ & FRI

18. Laci plastik kecil untuk simpan ATK 1

19. Lemari HAM dan Elektrolit pekat 1

20. Lemari arsip -

21. CCTV - Plan

22. Lemari Pendingin untuk vaksin dan obat 1


dengan suhu dingin (cooler)

23. AC 3

24. Alat kontrol suhu dan kelembaban 1


ruangan

25. Alat kontrol suhu kulkas 1

26. Cooler box untuk transportasi vaksin 1

27. Timbangan analitik -

28. Blender obat untuk obat racikan 1

29. Mesin press (alat pres bungkus puyer) 1

30. Papan kapsul (alat bantu untuk 1


memasukkan obat kekapsul)

31. Loker untuk penyimpanan barang pribadi 1

32. Buku-buku hardcopy tertentu untuk sarana softcopy


PIO (handbook)

33. Tepak untuk penyiapan obat dengan resep 12

13
invidu pada pasien rawat jalan

34. Kartu stock dengan kolom lengkap untuk


GSF

35. ATK (alat tulis kantor)

36. Tempat air matang untuk racikan obat cair

37. Laci/rak untuk menyimpan peralatan


racikan

38. Tempat untuk menghitung obat lepasan 1

39. Mangkuk kecil untuk menyiapkan obat


yang siap diracik

40. Lap untuk membersihkan peralatan


racikan

41. Lap untuk kebersihan

42. Skoret / jas kerja

BAB IV
TATA LAKSANA PELAYANAN

Standar Pelayanan Kefarmasian meliputi pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan
medis habis pakai (BMHP), serta pelayanan farmasi klinik.
A. Tata laksana Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis
pakai (BMHP)
Apoteker bertanggung jawab terhadap pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
Bahan Medis Habis Pakai (BMHP) di Rumah Sakit dan menjamin seluruh rangkaian kegiatan
perbekalan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP sesuai dengan ketentuan yang berlaku
serta memastikan kualitas, manfaat, dan keamanannya.
Semua Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang beredar di Rumah Sakit
merupakan tanggung jawab Instalasi Farmasi, sehingga tidak ada pengelolaan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan BMHP di Rumah Sakit yang dilaksanakan selain oleh Instalasi Farmasi.
A.1)PEMILIHAN, PERENCANAAN DAN PENGADAAN
Pemilihan

14
1. Pemilihan adalah kegiatan untuk menetapkan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
BMHP sesuai dengan kebutuhan.
2. Pemilihan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang digunakan di
Charitas Hospital Arga Makmur berdasarkan:
a. formularium dan standar pengobatan/pedoman diagnosa dan terapi;
b. standar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang telah ditetapkan;
c. pola penyakit;
d. efektifitas dan keamanan;
e. pengobatan berbasis bukti;
f. mutu;
g. harga; dan
h. ketersediaan di pasaran.
3. Formularium
a. Formularium Rumah Sakit disusun oleh Komite Farmasi dan Terapi (KFT) yang
disepakati oleh Staf Medik dengan mengacu pada Formularium Nasional dan
ketentuan yang telah ditetapkan.
b. Formularium Rumah Sakit harus tersedia untuk semua penulis resep/instruksi
pengobatan, penyediaan obat dan pemberi obat di RS.
c. Rumah Sakit memiliki kebijakan terkait penambahan atau pengurangan obat dalam
formularium Rumah Sakit dengan mempertimbangkan indikasi, penggunaan,
efektifitas, risiko, dan biaya. Hal ini penting untuk meningkatkan kepatuhan terhadap
formularium Rumah Sakit.
d. Rumah Sakit memiliki kebijakan terkait obat yang baru ditambahkan dalam
formularium, ada proses atau mekanisme untuk memonitor bagaimana penggunaan
obat dan mekanisme bila timbul efek samping dan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD).
e. Formularium Rumah Sakit dikaji setahun sekali berdasarkan atas informasi tentang
keamanan dan efektivitas
f. Formularium Rumah Sakit dievaluasi secara rutin dan revisi formularium RS sesuai
kebijakan.
g. Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan berdasarkan
pertimbangan terapetik dan ekonomi dari penggunaan obat debgab tujuan
dihasilkannya Formularium Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi
kebutuhan pengobatan yang rasional.
h. Tahapan proses penyusunan Formularium Rumah Sakit:

15
1) Membuat rekapitulasi usulan Obat dari masing-masing Staf Medik Fungsional
(SMF) berdasarkan standar terapi atau standar pelayanan medik;
2) Mengelompokkan usulan Obat berdasarkan kelas terapi;
3) Membahas usulan tersebut dalam rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi, jika
diperlukan dapat meminta masukan dari pakar;
4) Mengembalikan rancangan hasil pembahasan Komite/Tim Farmasi dan Terapi,
dikembalikan ke masing-masing Staf Medik Fungsional untuk mendapatkan
umpan balik;
5) Membahas hasil umpan balik dari masing-masing Staf Medik Fungsional;
6) Menetapkan daftar Obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit;
7) Menyusun kebijakan dan pedoman untuk implementasi; dan melakukan edukasi
mengenai Formularium Rumah Sakit kepada staf dan melakukan monitoring.
8) Direktur RS mengesahkan pemberlakuan formularium Rumah Sakit
i. Kriteria pemilihan Obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit:
1) Mengutamakan penggunaan Obat generik;
2) Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan
penderita;
3) Mutu terjamin, termasuk stabilitas dan bioavailabilitas;
4) Praktis dalam penyimpanan dan pengangkutan;
5) Praktis dalam penggunaan dan penyerahan;
6) Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien;
7) Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya
langsung dan tidak lansung; dan
8) Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence based
medicines) yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang
terjangkau.
Perencanaan
1. Proses perencanaan anggaran pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP
dilakukan setiap tahun sekali sesuai dengan program anggaran rumah sakit.
2. Instalasi Farmasi melakukan perencanaan sebagai dasar untuk pengadaan, dilakukan
setahun sekali, menggunakan metode kombinasi konsumsi dan morbiditas dengan
mempertimbangkan anggaran yang tersedia dan dalam kasus tertentu menggunakan
metode proxy consumption.

16
3. Rumah Sakit melakukan perencanaan kebutuhan obat untuk menghindari kekosongan
obat. Dan dengan perencanaan obat yang baik dapat meningkatkan pengendalian stok
sediaan farmasi di Rumah Sakit.
4. Perencanaan dilakukan mengacu pada Formularium Rumah Sakit yang telah disusun
sebelumnya.
5. Apoteker menginformasikan kepada staf medis tentang kekosongan / kehabisan obat
karena terlambatnya pengiriman, kurangnya stok nasional atau sebab lain yang tidak
diantisipasi, dan apoteker memberikan saran substitusinya atau mengadakan dari pihak
luar yang telah diikat dengan perjanjian kerjasama.
6. Perencanaan dilaksanakan melibatkan internal instalasi farmasi rumah sakit dan unit kerja
yang ada di rumah sakit.
7. Pedoman perencanaan harus mempertimbangkan:
a. Anggaran yang tersedia;
b. Penetapan prioritas;
c. Sisa persediaan;
d. Data pemakaian periode yang lalu;
e. Waktu tunggu pemesanan; dan
f. Rencana pengembangan
8. Tahapan dalam proses perencanaan kebutuhan obat di rumah sakit:
a. Persiapan
Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebelum menyusun rencana kebutuhan obat.
1) Perlu dipastikan kembali program dan komoditas apa yang akan disusun
perencanaannya.
2) Perlu ditetapkan stakeholder yang terlibat dalam proses perencanaan, diantaranya
adalah pemegang kebijakan dan pemasok/vendor,
3) Daftar obat harus sesuai Formularium Nasional dan Formularium Rumah Sakit.
4) Formularium rumah sakit yang telah diperbaharui, secara teratur harus menjadi
dasar untuk perencanaan, karena daftar tersebut mencerminkan obat yang
diperlukan untuk pola morbiditas terkini.
5) Perencanaan perlu memperhatikan waktu yang dibutuhkan, mengestimasi periode
pengadaan, mengestimasi safety stock dan memperhitungkan lead time.
6) Ketersediaan anggaran dan rencana pengembangan jika ada.
b. Pengumpulan data

17
Data yang dibutuhkan antara lain data penggunaan obat pasien periode sebelumnya
(data konsumsi), sisa stok, data morbiditas dan usulan kebutuhan obat dari unit
pelayanan.
c. Analisa terhadap usulan kebutuhan meliputi:
1) Spesifikasi item obat: Jika spesifikasi item obat yang diusulkan berbeda dengan
data penggunaan sebelumnya, dilakukan konfirmasi ke pengusul.
2) Kuantitas kebutuhan: Jika kuantitas obat yang diusulkan jauh berbeda dengan
penggunaan periode sebelumnya, harus dilakukan konfirmasi ke pengusul.
d. Menyusun dan menghitung rencana kebutuhan obat menggunakan metode yang
sesuai.
e. Melakukan evaluasi rencana kebutuhan menggunakan analisis yang
sesuai dan revisi rencana kebutuhan obat (jika diperlukan).
f. IFRS menyampaikan draft usulan kebutuhan obat ke manajemen
rumah sakit untuk mendapatkan persetujuan..
8. Perencanaan kebutuhan dapat dilakukan melalui 4 metode, yaitu:
a. Metode Konsumsi,
1) Metode konsumsi didasarkan pada data pemakaian/konsumsi, dengan
menggunakan data konsumsi periode sebelumnya dengan penyesuaian yang
dibutuhkan.
2) Perhitungan didasarkan atas analisa data konsumsi sediaan farmasi periode
sebelumnya ditambah stok penyangga (buffer stock), stok waktu tunggu (lead
time) dan memperhatikan sisa stok. Buffer stock dapat mempertimbangkan
kemungkinan perubahan pola penyakit dan kenaikan jumlah kunjungan (misal:
adanya Kejadian Luar Biasa). Jumlah buffer stock bervariasi antara 10% sampai
20% dari kebutuhan atau sesuai peraturan yang telah ditetapkan.
3) Stok lead time adalah stok Obat yang dibutuhkan selama waktu tunggu sejak Obat
dipesan sampai Obat diterima.
4) Untuk menghitung jumlah obat yang dibutuhkan berdasarkan metode konsumsi,
perlu diperhatikan: pengumpulan dan pengolahan data; analisis data untuk
informasi dan evaluasi; perhitungan perkiraan kebutuhan obat; dan penyesuaian
jumlah kebutuhan Sediaan Farmasi dengan alokasi dana.
5) Data yang perlu dipersiapkan untuk perhitungan metode konsumsi adalah: daftar
nama obat; Stok awal; Penerimaan; Pengeluaran; Sisa stok; Daftar obat hilang,
rusak, kedaluwarsa; Kekosongan obat; Pemakaian rata-rata obat satu periode;

18
Waktu tunggu sejak obat dipesan sampai diterima (lead time); Stok pengaman
(buffer stock); dan Pola kunjungan.
b. Metode Morbiditas,
1) Metode morbiditas adalah perhitungan kebutuhan obat berdasarkan pola penyakit.
2) Metode morbiditas memperkirakan keperluan obat–obat tertentu berdasarkan dari
jumlah obat, dan kejadian penyakit umum, dan mempertimbangkan pola standar
pengobatan untuk penyakit tertentu. Metode ini untuk perencanaan pengadaan
atau untuk perkiraan anggaran untuk program baru yang belum ada riwayat
penggunaan obat sebelumnya. Faktor yang perlu diperhatikan adalah
perkembangan pola penyakit dan lead time.
3) Langkah-langkah dalam perhitungan kebutuhan dengan metode morbiditas:
a) Mengumpulkan data yang diperlukan (perkiraan jumlah populasi; Pola
morbiditas penyakit; dan standar pengobatan yang harus disesuaikan dengan
standar pengobatan di RS.
b) Menghitung kebutuhan jumlah obat, dengan cara jumlah kasus dikali jumlah
obat sesuai pedoman pengobatan dasar. Jumlah kebutuhan obat yang akan
datang dihitung dengan mempertimbangkan faktor antara lain pola penyakit,
lead time dan buffer stock.
c. Metode Kombinasi Konsumsi dan Morbiditas
Metode ini merupakan gabungan antara metode konsumsi dan metode morbiditas.
d. Metode proxy consumption.
1) Metode proxy consumption digunakan untuk perencanaan pengadaan di Rumah
Sakit yang tidak memiliki data konsumsi di tahun sebelumnya.
2) Metode proxy consumption digunakan bila data metode konsumsi dan/atau metode
morbiditas tidak dapat dipercaya.
3) Metode proxy consumption adalah metode perhitungan kebutuhan obat
menggunakan data kejadian penyakit, konsumsi obat, permintaan, atau
penggunaan, dan/atau pengeluaran obat dari Rumah Sakit.
9. Evaluasi Perencanaan
Evaluasi terhadap perencanaan dilakukan meliputi:
a. Kesesuaian perencanaan dengan kebutuhan: dilakukan penilaian kesesuaian antara
RKO dengan realisasi.
b. Masalah dalam ketersediaan yang terkait dengan perencanaan: dilakukan dengan cek
silang data dari Instalasi Farmasi dengan data dari distributor.
10. Cara/teknik evaluasi perencanaan kebutuhan dilakukan sebagai berikut :

19
a. Analisa ABC, untuk evaluasi aspek ekonomi
b. Pertimbangan/kriteria VEN, untuk evaluasi aspek medik/terapi
c. Kombinasi ABC dan VEN
d. Revisi rencana kebutuhan obat
Pengadaan
1. Pengadaan merupakan kegiatan yang dimaksudkan untuk merealisasikan perencanaan
kebutuhan.
2. Pengadaan yang efektif harus menjamin ketersediaan, jumlah, dan waktu yang tepat
dengan harga yang terjangkau dan sesuai standar mutu.
3. Pengadaan merupakan kegiatan yang berkesinambungan dimulai dari pemilihan,
penentuan jumlah yang dibutuhkan, penyesuaian antara kebutuhan dan dana, pemilihan
metode pengadaan, pemilihan pemasok, penentuan spesifikasi kontrak, pemantauan
proses pengadaan, dan pembayaran.
4. Proses pengadaan dilakukan oleh Instalasi Farmasi dengan melibatkan tenaga
kefarmasian, hal ini untuk memastikan bahwa Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
BMHP sesuai dengan mutu dan spesifikasi yang dipersyaratkan.
5. Proses pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP dilakukan oleh apoteker
penanggung jawab (Kepala Instalasi Farmasi) dan dilaksanakan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
6. Proses pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP disetujui oleh wakil
direktur penunjang medis, dan atau direktur utama, dan atau Tim Pengadaan Governing
Board sesuai dengan petunjuk teknis pengadaan grup Charitas Hospital.
7. Rumah sakit melakukan evaluasi terhadap perencanaan dan pengadaan sediaan Farmasi
dan BMHP.
8. Pimpinan rumah sakit mencari dan menggunakan data serta informasi tentang keamanan
dalam rantai perbekalan untuk melindungi pasien dan staf terhadap produk yang tidak
stabil, terkontaminasi, rusak, dan palsu.
9. Pimpinan rumah sakit menentukan obat-obatan, perbekalan medis, serta peralatan medis
yang paling berisiko dan membuat alur rantai perbekalannya.
10. Daftar Obat-obatan yang paling berisiko (tidak stabil, terkontaminasi, rusak atau palsu)
ditentukan berdasarkan penilaian risiko adalah :
10.1. Obat-obatan dengan penyimpanan Cold Chain:
a. Insulin
b. Vaksin
10.2. Obat Injeksi yang sebelum penggunaannya harus direkonstitusi

20
10.3. Obat yang dibawa pasien dari luar
10.4. Obat dalam bentuk cairan (Infus, Sirup, Drop)
Obat yang nilai risikonya paling tinggi adalah vaksin
11. Pimpinan rumah sakit menentukan titik paling berisiko dalam bagan alur
rantai perbekalan dan membuat keputusan berdasarkan risiko dalam rantai
perbekalan tersebut.
12. Titik paling berisiko dalam bagan alur rantai perbekalan vaksin ditentukan
berdasarkan penilaian risikonya yaitu :
Risiko ekstrim pada tahap:
a. Penerimaan digudang sentral farmasi
b. Perjalanan dari gudang sentral farmasi ke klinik farmasi
c. Penyimpanan vaksin ke klinik imunisasi

Risiko tinggi pada tahap:

a. Perjalanan dari gudang farmasi daerah ke puskemas


b. Penyimpanan di puskesmas
c. Pengadaan oleh gudang sentral farmasi rumah sakit
d. Penyimpanan digudang sentral farmasi
e. Penyimpanan di klinik imunisasi
13. Upaya mitigasi risiko dalam rantai perbekalan vaksin adalah
a. Risiko ekstrim
i. Penerimaan di gudang sentral farmasi
Melakukan pemeriksaan vaksin untuk memastikan vaksin yang diterima
kualitasnya baik dengan cara:
 Pemeriksaan alat pemantau suhu dari distributor
 Melakukan pemeriksaan fisik vaksin (kejernihan, warna, bentuk),
pemeriksaan VVM, kemasan dan label.
 Memastikan tanggal distribusi vaksin lyophilized dan OPV dari gudang dinas
pemerintah ke puskesmas
 Memastikan semua petugas memahami dan melaksanakan prosedur
pemeriksaan vaksin dengan benar
ii. Perjalanan dari gudang sentral farmasi ke klinik imunisasi
 Memastikan suhu coolbox sebelum digunakan sesuai rentang suhu yang
dibutuhkan
 Memastikan VVM memenuhi syarat
 Memastikan suhu coolbox selama perjalanan selalu dalam rentang yang

21
dibutuhkan
 Memastikan vaksin dibawa langsung dari gudang sentral farmasi ke
poliklinik imunisasi
 Memastikan suhu kulkas tempat vaksin akan ditempatkan sesuai rentang
yang dibutuhkan
 Meletakkan vaksin di kulkas dengan segera setelah sampai klinik imunisasi
 Menyusun vaksin di dalam kulkas sesuai dengan sifat vaksin (sensitive panas
dan sensitive beku)
iii. Penyimpanan vaksin di klinik imunisasi
 Menyusun vaksin dikulkas dengan benar
 Memantau suhu kulkas sebanyak 3 kali sehari
 Memantau VVM pada vial vaksin
 Memaksikan waktu simpan vaksin lyophilized dan opv di klinik imunisasi
tidak melebihi 1 bulan
 Memastikan beyond use date dari vaksin multidose yang sudah dibuka
 Melakukan pemeriksaan tanggal kadaluarsa vaksin
 Memastikan pelaksanaan manajemen pengelolaan vaksin saat kulkas vaksin
rusak
 Melaksanakan pemeliharaan kulkas harian, mingguan, dan bulanan
 Mensosialisasikan dan memantau petugas memahami pengelolaan vaksin
b. Risiko tinggi pada tahap
a. perjalanan dari gudang farmasi daerah ke puskesmas
 melihat pemantauan suhu vaksin saat perjalanan dari gudang farmasi daerah
ke puskesmas (arsip puskesmas)
b. penyimpanan di puskesmas
 melihat pemantauan suhu kulkas dipuskesmas
 Mencatat tanggal distribusi vaksin dari gudang farmasi daerah ke puskesmas
c. Pengadaan oleh gudang sentral farmasi rumah sakit
Hanya membeli vaksin didistributor yang ditunjuk oleh principal dan telah
mempunyai perjanjian Kerjasama.
d. Penyimpanan digudang sentral farmasi
 Menyusun vaksin di kulkas dengan benar
 Memantau suhu kulkas sebanyak 3 kali sehari
 Memantau VVM pada vial vaksin
 Memastikan waktu simpan vaksin lyophilized dan opv di klinik imunisasi

22
tidak melebihi 1 bulan sejak keluar dari gudang farmasi pemerintah
 Mengecek tanggal kadaluarsa vaksin
 Melaksanaakan pemeliharaan kulkas harian, mingguan, dan bulanan
 Memastikan pelaksanaan manajemen pengelolaan vaksin saat kulkas vaksin
rusak
 Mensosialisasikan dan memantau petugas memahami pengelolaan vaksin
14. Rumah sakit memiliki proses untuk melakukan pelacakan restrospektif
terhada perbekalan yang diduga tidak stabil, terkontaminasi, rusak, atau
palsu.
15. Penelusuran rantai distribusi dilakukan secara prospektif untuk perbekalan
yang berisiko tinggi dan secara retrospektif terhadap perbekalan yang ada
setelah perbekalan tersebut diantarkan ke rumah sakit.
16. Rumah sakit memberitahu produsen dan/atau distributor bila menemukan
perbekalan yang tidak stabil, terkontaminasi, rusak, atau palsu untuk
ditindaklanjuti.
17. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan (BMHP) dibeli dari distributor melalui
jalur resmi, mempunyai perjanjian kerjasama dengan rumah sakit yang
mencantumkan hak akses untuk melakukan peninjauan ketempat
penyimpanan dan transportasi sewaktu-waktu, dan ada garansi keaslian
produk yang didistribusikan.
18. Perjanjian kerjasama dengan pemasok, Pedagang besar Farmasi (PBF),
Distributor alat kesehatan dan BMHP harus dilengkapi dengan :
a. Akte pendirian perusahaan dan pengesahan dari Kementrian Hukum dan
Hal Azasi Manusia
b. Surat Ijin Ussaha Perusahaan (SIUP)
c. NPWP
d. Ijin Pedagang Besar Farmasi-Penyalur Alat Kesehatan (PBF-PAK)
e. Perjanjian Kerjasama antara Distributor dengan principal
f. Nama dan Surat Ijin Kerja Apoteker sebagai penanggung jawab PBF
g. Alamat dan denah kantor PBF
h. Surat garansi jaminan keaslian produk yang didistribusikan (dari
principal)
19. Rumah Sakit melakukan identifikasi risiko, evaluasi pakta integritas, dan
menelusuri rantai distribusi pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan
BMHP .

23
20. Pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP di rumah sakit
dilakukan oleh lnstalasi Farmasi dengan sistem satu pintu dengan cara
pembelian dan donasi dan menjamin aman, bermutu, bermanfaat, serta
berkhasiat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
21. Instalasi Farmasi melakukan pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan BMHP sesuai dengan daftar (formularium, daftar alat kesehatan, dan
daftar BMHP), kualitas, dan standar yang telah ditetapkan oleh KFT.

22. Pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP dari Industri farmasi
atau pedagang besar farmasi harus dilengkapi dengan Surat Pesanan (SP).
23. Faktur pembelian dan/atau surat pengiriman barang harus disimpan bersatu
dengan arsip Surat Pesanan.
24. Bila terjadi kekosongan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
BMHP di distributor apabila terjadi kehabisan obat karena keterlambatan
pengiriman, stok nasional kurang, atau sebab lain yang tidak diantisipasi
sebelumnya :
24.1. Instalasi Farmasi dapat melakukan pembelian di rumah sakit atau
Apotek yang mempunyai perjanjian kerja sama dan dapat
dipercayai/terjamin keaslian obat, alat kesehatan, dan BMHP nya.
24.2. Kekosongan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang terjadi
di distributor (pedagang besar farmasi/PBF), akan diinformasikan
kepada professional pemberi asuhan dan staf klinis pemberi asuhan
lainnya, dan diberikan saran subtitusinya.
24.3. Kekosongan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP dalam
periode yang panjang akan diberitahukan ke KFT dengan disertai
pemberitahuan resmi dari distributor terkait.
24.4. Instalasi Farmasi akan memberikan saran pengganti untuk obat life
saving yang persediaannya kosong di distributor kepada KFT.
24.5. Komite Farmasi dan Terapi (KFT) memutuskan usulan obat substitusi
untuk obat yang kosong persediaannya di distributor dalam jangka
panjang atau yang tidak diproduksi lagi.
25. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP dilindungi terhadap kehilangan
atau pencurian di seluruh rumah sakit dengan metode penyimpanan,
pengawasan, dan pengendalian yang efektif.
26. Instalasi Farmasi memiliki rencana pengadaan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan BMHP untuk pemakaian di unit pelayanan yang berisiko

24
tinggi bila sewaktu-waktu kosong.
27. Pada saat Gudang Sentral Farmasi (GSF) tutup dan membutuhkan obat
maka:
27.1. Apoteker atau penanggung jawab shift di farmasi rawat inap dapat
menginstruksikan Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) mengambil
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang dibutuhkan dengan
disaksikan oleh petugas farmasi lainnya atau petugas security, dengan
sepengetahuan petugas security, dan mengisi berita acara.
27.2. Yang diperbolehkan masuk ke GSF untuk keperluan pengambilan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP saat GSF tutup adalah
Apoteker dan TTK, dan petugas farmasi lainnya yang ditunjuk, dan
minimal harus 2 orang.
27.3. Bila Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang dibutuhkan
tidak tersedia di GSF, maka dapat dilakukan penarikan dari unit di luar
farmasi, atau pembelian di luar rumah sakit (rumah sakit atau Apotek
rekanan).

28. Instalasi farmasi mensosialisasikan kepada seluruh staf RS mengenai alur


pengadaan obat yang tidak ada dalam stok, atau yang normal tersedia di
rumah sakit atau saat GSF tutup.

29. Penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan BMHP :


29.1. Penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan BMHP
menggunakan sistem satu pintu, yaitu melalui GSF, harus sesuai
dengan Surat Pesanan (SP), dan didokumentasikan secara lengkap,
serta dilakukan penerimaan dan pendistribusian melalui Sistem
Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS).
29.2. Penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan BMHP harus
berdasarkan faktur pembelian dan/atau surat pengiriman barang yang
sah
29.3. Obat-obat donasi (obat-obat TB, obat HIV / AIDS, vaksin dan lain-
lain) diterima oleh Instalasi Farmasi dan dilakukan pengelolaan yang
sama dengan obat lainnya.
29.4. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang tidak memenuhi
persyaratan kualitas/ substandar (obat tidak memenuhi syarat pemerian
dan cacat produk) dan sudah kadaluarsa tidak diterima dan
dikembalikan ke distributor.

25
29.5. Saat melakukan penerimaan sediaan Farmasi yang termasuk produk
cold chain, harus memastikan sediaan Farmasi dibawa oleh distributor
dengan mempertahankan prinsip cold chain.
29.6. Batas tanggal kadaluarsa penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan
dan BMHP adalah minimal 2 (dua) tahun, kecuali untuk vaksin,
reagensia, dan yang dibutuhkan dalam kondisi cito dan life saving.
29.7. Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
BMHP dengan cara donasi, menggunakan sistem satu pintu dan harus
disertai dokumen administrasi yang jelas dan lengkap.
30. Distribusi
30.1. Gudang Sentral Farmasi (GSF) melakukan distribusi Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan BMHP ke unit-unit farmasi, dan di luar farmasi
yang membutuhkan untuk pelayanan pasien, dan dilakukan dengan cara
yang aman untuk menjaga kualitas dan kuantitas obat, sesuai peraturan
dan perundang- undangan.
30.2. Distribusi untuk sediaan Farmasi yang membutuhkan cold chain harus
dilakukan dengan metode yang dapat memenuhi persyaratan cold chain
agar sediaan Farmasi tidak rusak dalam perjalanan.
30.3. Gudang Sentral Farmasi melakukan distribusi Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan dan BMHP ke seluruh unit di rumah sakit yang
membutuhkan.
31. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
BMHP antara lain:
a. Bahan baku Obat harus disertai Sertifikat Analisa.
b. Bahan berbahaya harus menyertakan Material Safety Data Sheet (MSDS).
c. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP harus mempunyai Nomor Izin Edar.
d. Masa kadaluarsa (expired date) minimal 2 (dua) tahun kecuali untuk Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan BMHP tertentu (vaksin, reagensia, dan lain-lain), atau pada
kondisi tertentu yang dapat dipertanggung jawabkan.
32. Rumah Sakit memiliki mekanisme mencegah kekosongan stok Obat yang secara normal
tersedia di Rumah Sakit dan mendapatkan Obat saat Instalasi Farmasi tutup Prosedur
mencegah kekosongan obat dilakukan sesuai peraturan yang berlaku.
33. Bila terjadi kekosongan pengelolaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP di
distributor apabila terjadi kehabisan obat karena keterlambatan pengiriman, stok nasional
kurang, atau sebab lain yang tidak diantisipasi sebelumnya :

26
a. Instalasi Farmasi dapat melakukan pembelian di rumah sakit atau Apotek yang
mempunyai perjanjian kerja sama dan dapat dipercayai/terjamin keaslian obat, alat
kesehatan, dan BMHP nya.
b. Kekosongan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang terjadi di distributor
(pedagang besar farmasi/PBF), akan diinformasikan kepada professional pemberi
asuhan dan staf klinis pemberi asuhan lainnya, dan diberikan saran subtitusinya.
c. Kekosongan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP dalam periode yang
panjang akan diberitahukan ke KFT dengan disertai pemberitahuan resmi dari
distributor terkait.
d. Instalasi Farmasi akan memberikan saran pengganti untuk obat life saving yang
persediaannya kosong di distributor kepada KFT.
e. Komite Farmasi dan Terapi (KFT) memutuskan usulan obat substitusi untuk obat yang
kosong persediaannya di distributor dalam jangka panjang atau yang tidak diproduksi
lagi.
34. Pada saat Gudang Sentral Farmasi (GSF) tutup dan membutuhkan obat maka :
a. Apoteker atau Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) mengambil Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan BMHP yang dibutuhkan dengan disaksikan oleh petugas farmasi
lainnya atau petugas security, dengan sepengetahuan petugas security, dan mengisi
berita acara.
b. Yang diperbolehkan masuk ke GSF untuk keperluan pengambilan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan BMHP saat GSF tutup adalah Apoteker dan TTK, dan petugas
farmasi lainnya yang ditunjuk, dan minimal ada saksi.
c. Bila Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang dibutuhkan tidak tersedia di
GSF, maka dapat dilakukan penarikan dari unit di luar farmasi, atau pembelian di luar
rumah sakit (rumah sakit atau Apotek rekanan).
35. Instalasi farmasi mensosialisasikan kepada seluruh staf RS mengenai alur pengadaan obat
yang tidak ada dalam stok, atau yang normal tersedia di rumah sakit atau saat GSF tutup.
36. Pengadaan dapat dilakukan melalui:
a. Pembelian
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pembelian adalah:
1) Kriteria Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP, yang meliputi kriteria
umum dan kriteria mutu Obat.
2) Persyaratan pemasok/vendor/distributor
3) Penentuan waktu pengadaan dan kedatangan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan,
dan BMHP.

27
4) Pemantauan rencana pengadaan sesuai jenis, jumlah dan waktu.
5) Bila terdapat dua atau lebih pemasok/vendor, apoteker harus mendasarkan
pada kriteria: mutu produk, reputasi produsen, distributor resmi,
harga, berbagai syarat, ketepatan waktu pengiriman, mutu pelayanan
pemasok, dapat dipercaya, kebijakan tentang barang yang dikembalikan, dan
pengemasan.
6) Ada 4 metode pada proses pembelian:
a) Tender terbuka, berlaku untuk semua distributor yang terdaftar, dan sesuai
dengan kriteria yang telah ditentukan. Pada penentuan harga
metode ini lebih menguntungkan. Untuk pelaksanaannya memerlukan
staf yang kuat, waktu yang lama serta perhatian penuh.
b) Tender terbatas, atau lelang tertutup. Hanya dilakukan pada distributor
tertentu yang sudah terdaftar dan memiliki riwayat yang baik. Harga masih
dapat dikendalikan, tenaga dan beban kerja lebih ringan bila dibandingkan
dengan lelang terbuka.
c) Pembelian dengan tawar menawar, dilakukan bila item tidak penting, tidak
banyak dan biasanya dilakukan pendekatan langsung untuk item tertentu.
d) Pembelian langsung, pembelian jumlah kecil, perlu segera tersedia. Harga
tertentu, relatif agak lebih mahal.
7) Untuk pelayanan kesehatan Jaminan Kesehatan Nasional, pembelian obat
dilakukan melalui e-purchasing berdasarkan obat yang ada di e-katalog sesuai
dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 63 Tahun 2014 tentang Pengadaan
Obat Berdasarkan Catalog Elektronik (E-Catalogue).
8) Dalam hal obat yang dibutuhkan tidak terdapat dalam Katalog Elektronik (E-
Catalogue) obat, proses pengadaan dapat mengikuti metode lainnya sebagaimana
diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 16 tahun 2018 tentang Pengadaan Barang
dan Jasa.
9) Pengadaan obat untuk melayani peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
dilakukan oleh Kepala Instalasi Farmasi dengan menentukan Rencana Kebutuhan
Obat (RKO) sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Produksi Sediaan Farmasi :
1) Produksi sediaan farmasi di rumah sakit mencakup kegiatan membuat, merubah
bentuk, dan pengemasan kembali sediaan farmasi steril dan/atau non steril untuk
memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan di rumah sakit.
2) Instalasi Farmasi memproduksi sediaan tertentu, apabila:

28
a) Sediaan Farmasi tidak ada di pasaran;
b) Sediaan Farmasi dengan formula khusus;
c) Sediaan Farmasi dengan kemasan yang lebih kecil/repacking;
3) Jenis Sediaan farmasi yang diproduksi:
a) Produksi steril
Produksi steril meliputi pembuatan sediaan steril (contoh:gauze/tulle) dan
pengemasan kembali sediaan steril.
b) Produksi non steril
Produksi non steril terdiri dari pembuatan puyer, pembuatan sirup, pembuatan
salep, pembuatan kapsul, pengemasan kembali, dan pengenceran. Persyaratan
teknis produksi non steril meliputi ruangan khusus untuk pembuatan, peralatan
peracikan dan pengemasan serta petugas yang terlatih. Sediaan farmasi yang
diproduksi oleh IFRS harus akurat dalam identitas, kekuatan, kemurnian, dan
mutu.
Hal-hal yang menjadi perhatian dalam produksi non steril, yaitu:
 Ada pengendalian proses dan produk untuk semua sediaan yang diproduksi
atau pembuatan sediaan ruah dan pengemasan yang memenuhi syarat.
 Formula induk dan batch harus terdokumentasi dengan baik (termasuk
hasil pengujian produk).
 Semua tenaga teknis harus di bawah pengawasan dan terlatih.
 Kegiatan pengemasan dan penandaan harus mempunyai kendali yang
cukup untuk mencegah kekeliruan dalam pencampuran produk/
kemasan/etiket.
c. Sumbangan/Dropping/Hibah
1) Instalasi Farmasi harus melakukan pencatatan dan pelaporan terhadap
penerimaan dan penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP
sumbangan/dropping/ hibah.
2) Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP
dengan cara sumbangan/dropping/hibah harus disertai dokumen administrasi
yang lengkap dan jelas.
3) Jenis penyediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP, sesuai dengan
kebutuhan pasien di Rumah Sakit.
4) Instalasi Farmasi dapat memberikan rekomendasi kepada pimpinan Rumah
Sakit untuk mengembalikan/menolak sumbangan/dropping/hibah Sediaan

29
Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang tidak bermanfaat bagi kepentingan
pasien Rumah Sakit..
37. Pada proses pengadaan ada 3 elemen penting yang harus diperhatikan :
d. Metode Pengadaan yang dipilih, jenis yang tepat sehingga tidak menjadikan ”biaya
tinggi“.
e. Penyusunan dan persyaratan kontrak kerja (harga kontrak = visible cost + hidden
cost), untuk menjaga agar pelaksanaan pengadaan terjamin mutu (misalnya
persyaratan masa kedaluwarsa, sertifikat analisa/standar mutu, harus mempunyai
Material Safety Data Sheet (MSDS), untuk bahan berbahaya, khusus untuk alat
kesehatan harus mempunyai certificate of origin), waktu dan kelancaran bagi semua
pihak, dan lain-lain.
f. Order pemesanan agar barang dapat sesuai jenis, waktu dan tempat..
38. Untuk beberapa jenis obat yang bahan aktif nya dengan masa kedaluwarsa relatif pendek
dihindari pengadaan dalam jumlah besar dan diperhatikan waktu pengadaannya.
39. Untuk menjamin tata kelola sediaan farmasi dan BMHP yang baik, dalam proses
pengadaan hal-hal harus diperhatikan, yaitu :
a. Prosedur yang transparan dalam proses pengadaan.
b. Prosedur tetap untuk pemeriksaan rutin consignments (pengiriman)
c. Pedoman tertulis mengenai metode pengadaan.
d. Pernyataan dari petugas pengadaaan bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai
konflik kepentingan.
e. SPO pengadaan.
f. SIMRS untuk memonitor post tender dan pelaporan
g. evaluasi secara rutin pada proses pengadaan.
12. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan (BMHP) dibeli dari distributor melalui jalur
resmi, mempunyai perjanjian kerjasama dengan rumah sakit yang mencantumkan hak
akses untuk melakukan peninjauan ketempat penyimpanan dan transportasi sewaktu
waktu, dan ada garansi keaslian produk yang didistribusikan.
13. Perjanjian kerjasama dengan pemasok, Pedagang besar Farmasi (PBF), Distributor alat
kesehatan dan BMHP harus dilengkapi dengan :
a. Akte pendirian perusahaan dan pengesahan dari Kementrian Hukum dan Hak Azasi
Manusia
b. Surat Ijin Ussaha Perusahaan (SIUP) dan NPWP
c. Ijin Pedagang Besar Farmasi-Penyalur Alat Kesehatan (PBF-PAK)
d. Perjanjian Kerjasama antara Distributor dengan principal

30
e. Nama dan Surat Ijin Kerja Apoteker sebagai penanggung jawab PBF
f. Alamat dan denah kantor PBF
g. Surat garansi jaminan keaslian produk yang didistribusikan (dari principal)
14. Rumah Sakit melakukan identifikasi risiko, evaluasi pakta integritas, dan menelusuri
rantai distribusi pengadaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan BMHP
15. Pengadaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP di rumah sakit dilakukan oleh
lnstalasi Farmasi dengan sistem satu pintu dengan cara pembelian dan donasi dan
menjamin aman, bermutu, bermanfaat, serta berkhasiat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
A.2) PENERIMAAN
1. Penerimaan merupakan kegiatan untuk menjamin kesesuaian jenis, spesifikasi, jumlah,
mutu, waktu penyerahan dan harga yang tertera dalam kontrak atau surat pesanan dengan
kondisi fisik yang diterima.
2. Semua dokumen terkait penerimaan barang harus tersimpan dengan baik.
3. Sediaan farmasi dan BMHP yang diterima harus sesuai dengan dokumen pemesanan, dan
harus sesuai dengan jenis, jumlah serta mutunya berdasarkan dokumen yang
menyertainya.
4. Penerimaan dilakukan oleh gudang sentral farmasi yang petugasnya adalah tenaga
farmasi.
5. Pemeriksaan mutu obat dilakukan secara organoleptik.
6. Khusus pemeriksaan label dan kemasan perlu dilakukan pengecekan terhadap tanggal
kedaluwarsa, dan nomor batch terhadap obat yang diterima.
7. Pemeriksaan mutu obat secara organoleptik dilakukan:
a. Tablet : kemasan & label; bentuk fisik; warna, bau dan rasa
b. Tablet salut : warna & bau & rasa; bentuk fisik; kemasan dan label.
c. Cairan : warna & bau; kejernihan & homogenitas; kemasan & label
d. Salep : warna &konsistensi; homogenitas; kemasan & label
e. Injeksi : warna; kejernihan untuk larutan injeksi; homogenitas untuk serbuk injeksi;
kemasan & label
f. Sirup kering : warna, bau & penggumpalan; kemasan & label
g. Suppositoria : warna; Konsistensi; kemasan & label.
8. Penerimaan sediaan farmasi dan BMHP harus dilakukan oleh Apoteker atau tenaga teknis
kefarmasian.
9. Petugas yang dilibatkan dalam penerimaan harus mengerti sifat penting dari sediaan
farmasi dan BMHP.

31
10. Kualitas obat yang dikirim merupakan tanggung jawab pemasok yang menyediakan,
sehingga bila terjadi ketidak sesuaian segera di kembalikan/retur.
11. Semua sediaan farmasi dan BMHP harus segera disimpan dalam tempat penyimpanan
sesuai standar.
12. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam penerimaan:
a. Harus mempunyai Material Safety Data Sheet (MSDS), untuk bahan berbahaya.
b. Khusus untuk alat kesehatan harus mempunyai Certificate of Origin.
c. Sertifikat Analisa Produk
d. Khusus vaksin dan enzim harus diperiksa cool box dan catatan pemantauan
suhu dalam perjalanan.
13. Penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan BMHP :
a. Penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan BMHP menggunakan sistem satu
pintu, yaitu melalui GSF, harus sesuai dengan Surat Pesanan (SP), dan
didokumentasikan secara lengkap, serta dilakukan penerimaan dan pendistribusian
melalui Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS).
b. Penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan BMHP harus berdasarkan faktur
pembelian dan/atau surat pengiriman barang yang sah
c. Obat-obat donasi (obat-obat TB, obat HIV / AIDS, vaksin dan lainlain) diterima oleh
Instalasi Farmasi dan dilakukan pengelolaan yang sama dengan obat lainnya.
d. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang tidak memenuhi persyaratan
kualitas/ substandar (obat tidak memenuhi syarat pemerian dan cacat produk) dan
sudah kadaluarsa tidak diterima dan dikembalikan ke distributor.
e. Saat melakukan penerimaan sediaan Farmasi yang termasuk produk cold chain, harus
memastikan sediaan Farmasi dibawa oleh distributor dengan mempertahankan prinsip
cold chain.
f. Batas tanggal kadaluarsa penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan BMHP
adalah minimal 2 (dua) tahun, kecuali untuk vaksin, reagensia, dan yang dibutuhkan
dalam kondisi cito dan life saving.
g. Seluruh kegiatan penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP dengan
cara donasi, menggunakan sistem satu pintu dan harus disertai dokumen administrasi
yang jelas dan lengkap.
A.3 PENYIMPANAN
1) Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi penyimpanan sediaan farmasi dan
BMHP disimpan dengan benar dan aman sesuai peraturan perundang-undangan dan
standar profesi.

32
2) Penyimpanan adalah suatu kegiatan menyimpan dan memelihara dengan
caramenempatkan sediaan farmasi dan BMHP yang diterima pada tempat yang dinilai
aman dari pencurian serta gangguan fisik yang dapat merusak mutu obat.
3) Sediaan farmasi dan BMHP disimpan dengan benar dan aman dalam kondisi yang sesuai
untuk stabilitas produk, termasuk yang disimpan di luar Instalasi Farmasi.
4) Ruang penyimpanan harus dapat menjamin kualitas dan keamanan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan BMHP sesuai dengan persyaratan kefarmasian. Persyaratan kefarmasian:
meliputi persyaratan stabilitas dan keamanan, sanitasi, cahaya, kelembaban, ventilasi, dan
penggolongan jenis Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP.
5) Tujuan penyimpanan adalah untuk memelihara mutu dan keamanan sediaan
farmasi,menghindari penggunaan yang tidak bertanggungjawab, menghindarikehilangan
dan pencurian, serta memudahkan pencarian dan pengawasan serta menjamin
keselamatan staf.
6) Area yang berhak menyimpan sediaan farmasi, alat kesehatan, BMHP meliputi :
a. Farmasi
 Gudang Sentral Farmasi
 Farmasi Rawat Inap
 Farmasi Rawat Jalan
b. Poli Klinik
c. Rawat Inap Keperawatan (floor stok item tertentu) dan Trolley Emergency
d. Instalasi Gawat Darurat dan trolley emergency
e. Unit Radiologi
f. Unit Laboratorium
g. Unit lain yang telah ditetapkan.
7) Komponen yang harus diperhatikan dalam penyimpanan:
a. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan Obat diberi label yang
jelas terbaca dan memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka, tanggal
kadaluwarsa dan peringatan khusus.
b. Elektrolit konsentrasi tinggi
1) Elektrolit konsentrasi tinggi tidak disimpan di unit perawatan kecuali untuk
kebutuhan klinis yang penting.
2) Elektrolit konsentrasi tinggi yang di resepkan dan yang disimpan pada unit
perawatan pasien dilengkapi dengan pengaman: diberi label yang jelas dan
disimpan pada area yang dibatasi untuk mencegah penatalaksanaan yang kurang
hati-hati.

33
c. Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang dibawa oleh pasien harus
disimpan secara khusus dan dapat diidentifikasi.
d. Tempat penyimpanan obat tidak dipergunakan untuk penyimpanan barang lainnya
yang menyebabkan kontaminasi.
8) Apoteker melakukan inspeksi secara periodik untuk memastikan bahwa Obat disimpan
secara benar.
a. Inspeksi secara periodik Untuk memastikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
BMHP disimpan secara baik, benar dan aman seluruh tempat penyimpanan diinspeksi
setiap 1 bulan sekali dan terdokumentasi oleh Apoteker atau petugas yang
didelegasikan.
b. Inspeksi secara periodik dilakukan pada semua tempat penyimpanan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan dan BMHP, Gas Medis (Oksigen, N2O, N2, CO2, Udara tekan, Udara
hisap), Bahan B3, Obat-obat Emergensi, dan Penyimpanan Narkotika dan
Psikotropika.
 Inspeksi secara periodik dilakukan oleh Apoteker untuk tempat penyimpanan
sediaan farmasi termasuk narkotika, Psikotropika, Alat Kesehatan, BMHP dan
Gas Medis
 Didelegasikan kepada Komite Keselamatan Kerja RS (K3RS) untuk golongan B3
 Didelegasikan kepada Tenaga Teknis Kefarmasian untuk obat-obat emergensi
9) Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pengelolaan obat atau produk yang
memerlukan penanganan khusus, misalnya obat dan bahan berbahaya, radioaktif, obat
penelitian, produk nutrisi parenteral, obat/BMHP dari program/donasi sesuai peraturan
perundang-undangan.
10) Pengelolaan Nutrisi Parenteral
a. Produk nutrisi parenteral dikelola sesuai stabilitas produk
b. Penyimpanan produk nutrisi dilakukan sesuai dengan baik, benar, dan aman sesuai
persyaratan kondisi masing-masing produk/item yang tertera pada kemasan. Instalasi
Farmasi hanya menyimpan produk nutrisi parenteral dan produk enteral yang
diresepkan oleh dokter, sedangkan produk nutrisi enteral lainnya disimpan di Instalasi
Gizi.
11) Sediaan Farmasi yang harus disimpan secara khusus dan terpisah yaitu:
a. Bahan berbahaya dan beracun (B3) disimpan sesuai sifat dan risiko bahan agar dapat
mencegah staf dan lingkungan dari risiko terpapar bahan berbahaya dan beracun, atau
mencegah terjadinya bahaya seperti kebakaran (Bahan yang mudah terbakar, disimpan
dalam ruang tahan api dan diberi tanda khusus bahan berbahaya)

34
b. Narkotika dan psikotropika harus disimpan dengan cara yang dapat mencegah risiko
kehilangan obat yang berpotensi disalahgunakan (drug abuse). Penyimpanan dan
pelaporan penggunaan narkotika dan psikotropika dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan.
c. Elektrolit konsentrat dan elektrolit dengan konsentrasi tertentu diatur penyimpanannya
agar tidak salah dalam pengambilan.
d. Obat emergensi diatur penyimpanannya agar selalu siap pakai bila sewaktu-waktu
diperlukan. Ketersediaan dan kemudahan akses terhadap obat, dan BMHP pada
kondisi emergensi sangat menentukan penyelamatan jiwa pasien.
12) Pengelolaan Gas Medis
a. Gas medis disimpan dalam ruang gas medis sesuai dengan persyaratan dan peraturan
yang berlaku.
b. Penyimpanan tabung gas medis kosong terpisah dari tabung gas medis yang ada
isinya.
c. Penyimpanan tabung gas medis di ruangan harus menggunakan tutup demi
keselamatan.
d. Ruang penyimpanan gas medis terpisah dari perbekalan farmasi
e. Ruang penyimpanan gas medis bebas dari sumber api dan ledakan
f. Ruang penyimpanan gas medis mempunyai ventilasi yang baik
g. Tabung-tabung Gas Medik harus disimpan berdiri, dipasang pengaman kran dan
dilengkapi tali pengaman untuk menghindari jatuh pada saat terjadi goncangan.
h. Tabung baja Gas Medik di cat dengan warna yang berbeda dan diberi label sesuai
dengan jenis gas yaitu :
 Oksigen medis berwarna putih
 Dinitrogen oksida berwarna biru tua
 Karbon dioksida berwarna abu- abu
 Nitrogen berwarna hitam
i. Lokasi penyimpanan harus khusus dan masing–masing Gas Medik
dibedakan tempatnya serta diberi tanda.
j. Gas medis diberi penandaaan untuk menghindari kesalahan pengambilan jenis gas
medis. Maka tabung Gas Medik harus dilengkapi dengan :
1) Identifikasi Stamp Pada Botol Baja meliputi identitas / Merk Pabrik, Jenis Gas
yang diisikan bulan – tahun pembuatan tekanan pengetesan (dalam Kg / Cm2),
tekanan pengisian (dalam Kg / Cm2), nomor seri cylinder, volume kapasitas air
(dalam liter), berat cylinder Kosong (tanpa kran dan tutup).

35
2) Diberikan label yang jelas meliputi nama perusahaan, nama gas, kandungan purity,
volume (isi tabung), tekanan gas, tanggal pengisian, nomor tabung, masa uji
tabung.
3) Diberikan stiker tanda “ Hazard “ yang menyebutkan sifat gas, peringatan–
peringatan, pertolongan pertama, nama produsenPenyimpanan tabung Gas Medik
isi dan tabung Gas Medik kosong dipisahkan, untuk memudahkan pemeriksaan
dan penggantian.
k. Penyimpanan tabung Gas Medik isi dan tabung Gas Medik kosong dipisahkan, untuk
memudahkan pemeriksaan dan penggantian.
l. Lokasi penyimpanan jauh dari sumber panas, listrik dan oli atau sejenisnya, serta
memiliki sirkulasi udara yang baik
m. Gas medis yang sudah cukup lama disimpan agar dilakukan uji /test kepada produsen,
untuk mengetahui kondisi gas medis tersebut
n. Pada pintu ruangan yang berisi Gas Medik selain dari oksigen dan udara medik harus
berlabel sebegai berikut :

o. Pintu ruangan yang berisi sistem pasokan sentral atau silinder yang hanya berisi
oksigen atau udara medik harus berlabel sebagai berikut:

p. Dilarang menyimpan barang–barang selain untuk keperluan penanganan gas pada


ruangan penyimpanan gas dan sentral gas.
q. Gas campuran yang sudah disimpan lebih dari 1 (satu) tahun agar dilakukan uji/test
kepada produsen, untuk mengetahui kondisi Gas Medik, dan memperhatikan masa
kadaluarsa Gas Medik tersebut. Apabila tabung tidak dipergunakan atau tidak
dihubungkan ke instalasi perpipaan Gas Medik, katup tabung harus selalu tertutup,
walaupun tabung dalam keadaan kosong.
r. Setiap tabung harus diberi tanda kondisi tabung isi atau kosong.
s. Distribusi tabung Gas Medik dilakukan dengan menggunakan trolly.

36
t. Tabung gas beserta trolly harus bersih dan memenuhi syarat sanitasi/higiene.
u. Penggunaan Gas Medik sistem tabung hanya bisa dilakukan satu tabung untuk satu
orang.
v. Penyimpanan Oksigen Konsentrator Portabel
 Oksigen Konsentrator portabel disimpan ditempat yang berventilasi cukup
 Mesin Oksigen Konsentrator portable disimpan dalam keadaan lepas dari
sambungan listrik.
 Mesin Oksigen Konsentrator portable tidak ditinggalkan dalam keadaan ON
(hidup) dan tidak terpakai.
 Mesin Oksigen Konsentrator portabel harus disimpan dalam posisi berdiri. Pada
daerah sekitar mesin Oksigen Konsentrator portabel dipasang tanda
“DILARANG MEROKOK” ketika sedang disimpan
 Mesin Oksigen Konsentrator Portable dijauhkan dari segala bahan-bahan yang
mudah terbakar, seperti oli, bensin, cat, minyak, aerosol saat sedang disimpan.
 Selalu simpan mesin Oksigen Konsentrator portable disimpan dalam keadaan
bersih.
 Mesin Oksigen Konsentrator dibersihkan setelah setiap pemakaian.
 Selang oksigen dijauhkan dari apapun yang mudah terbakar, termasuk lilin,
kompor, termasuk dalam mobil dengan udara panas dan di tempatkan dengan
ventilasi baik.
13) Penyimpanan Vaksin
40.1 Vaksin disimpan sesuai dengan kondisi yang dipersyaratkan dan dicantumkan di
leaflet masing-masing produk.
Suhu penyimpanan vaksin :
 Refrigerator : 2°C - 8°C
 Suhu freezer : - 50°C -15°C
 Penyimpanan vaksin harus dihindarkan dari cahaya matahari
40.2 Lokasi penyimpanan vaksin meliputi
 Gudang Sentral Farmasi
 Farmasi Rawat Jalan
 Farmasi Rawat Inap
 Klinik KIA/imunisasi/anak/bedah
 Kebidanan
 IGD

37
40.3 Jenis vaksin yang ada dan disimpan di Charitas Hospital Arga Makmur sesuai dengan
daftar yang ditetapkan.
40.4 Penempatan Lemari Es
a. Jarak minimal antara lemari es dengan dinding belakang adalah ±10-15 cm atau
sampai pintu lemari es dapat di buka
b. Jarak minimal antara lemari es dengan lemari es lainnya adalah ± 15 cm
c. Lemari es tidak terkena sinar matahari langsung
d. Ruangan mempunyai sirkulasi udara yang cukup (dapat menggunakan exhaust)
e. Setiap unit lemari es/freezer menggunakan hanya 1 stop kontak listrik
40.5 Penyimpanan vaksin dilemari es ILR (Ice Lining Refrigerator)
a. Suhu dalam antara 2-8°C
b. Bagian bawah lemari es tidak untuk menyimpan vaksin
c. Bagian bawah es diletakkan cool pack sebagai penahan dingin dan kestabilan suhu
d. Peletakan dus vaksin mempunyai jarak antara minimal 1-2 cm atau satu jari tangan
e. Vaksin heat sensitive (OPV, BCG, Campak, MR) diletakkan pada dekat atau
menempel pada dinding lemari es.
f. Vaksin freeze sensitive (TT, DT, Hep B, DPT-HB, DPT-HB-Hib, Td,IPV) jangan
menempel dinding lemari es.
40.6 Penyimpanan vaksin dilakukan dengan kombinasi metode FIFO dan/atau FEFO.
40.7 Untuk menjamin kualitas vaksin, pendistribusian vaksin ke unit penyimpanan obat
dilakukan dengan mempertahankan prinsip cold chain (rantai dingin) yang artinya
kualitas suhu vaksin dijaga mulai dari tempat penyimpanan di Gudang Sentral Farmasi
hingga pengiriman ke unit atau klinik yang ditunjuk (anak, imunisasi, bedah), unit
farmasi rawat jalan/inap menggunakan coldbag atau kemasan khusus yang didesain
untuk membawa vaksin.
40.8 Pemantauan suhu penyimpanan vaksin dilakukan 3 x sehari sesuai jadwal. Pencatatan
pemantauan suhu dilakukan di form log temperatur. Kulkas penyimpanan vaksin
dilengkapi dengan termometer digital atau dapat ditambahkan alarm/bel sebagai
indikator bila suhu “out of range”. Bagian paling bawah kulkas diisi cold pack untuk
mempertahankan suhu bila listrik mati.
40.9 Pemantauan stok vaksin dilakukan setiap hari oleh petugas yang ada di lokasi
penyimpanan vaksin dengan melihat stok minimal dan maksimal vaksin.
14) Metode penyimpanan berdasarkan bentuk sediaan, dan jenis Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan, dan BMHP dan disusun secara alfabetis dengan menerapkan prinsip First
Expired First Out (FEFO) dan First In First Out (FIFO).

38
15) Penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang penampilan dan
penamaan nya mirip (LASA, Look Alike Sound Alike) tidak ditempatkan berdekatan dan
harus diberi penandaan khusus untuk mencegah terjadinya kesalahan pengambilan obat.
16) Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pengelolaan obat, dan BMHP
untuk kondisi emergensi yang disimpan di luar Instalasi Farmasi untuk memastikan
selalu tersedia, dimonitor dan aman
17) Tata laksana Obat dan Alat Kesehatan Untuk Keadaan Darurat (Emergensi) untuk
meningkatkan ketepatan dan kecepatan pemberian obat
a. Rumah sakit menetapkan obat dan BMHP untuk kondisi emergensi yang tersimpan di
luar Instalasi Farmasi, termasuk di ambulance dan dikelola secara seragam dalam hal
penyimpanan, pemantauan, penggantian karena digunakan, rusak atau kadaluarsa, dan
dilindungi dari kehilangan dan pencurian
b. Penyimpanan obat dan alat kesehatan emergensi harus memperhatikan aspek
kecepatan bila terjadi kegawatdaruratan dan aspek keamanan dalam penyimpanannya.
c. Obat dan alat kesehatan emergensi digunakan hanya pada saat emergensi.
d. obat-obat emergensi disimpan pada troli, tas/ransel, kotak atau lemari emergensi
diberbagai unit yang telah ditetapkan.
e. Tata letak obat yang seragam diseluruh stock troli emergensi
f. Pemisahan penempatan BMHP untuk pasien dewasa dan pasien anak
g. Penyimpanan obat emergensi harus sudah dikeluarkan dari kotak kemasannya agar
tidak menghambat kecepatan penyiapan dan pemberian obat, misalnya: obat dalam
bentuk ampul atau vial.
h. Monitoring terhadap obat dan alat kesehatan emergensi dilakukan secara berkala.
i. Pemantauan dan penggantian obat emergensi yang kedaluwarsa dan rusak
dilaksanakan secara tepat waktu dan kontinu.
j. Tersedia panduan cepat untuk dosis dan penyiapan obat.
k. Rumah sakit memiliki SPO pengelolaan obat dan alat kesehatan emergensi yang berisi
ketentuan:
1) Pengisian awal obat dan alat kesehatan emergensi ke dalam troli/kit emergensi
2) Pemeliharaan stok obat dan alat kesehatan emergensi
3) Prosedur penggantian segera obat dan alat kesehatan emergensi yang terpakai
4) Laporan penggunaan obat dan alat kesehatan emergensi
l. Rumah Sakit menyediakan lokasi penyimpanan troli/kit emergensi untuk kondisi
kegawatdaruratan. Tempat penyimpanan troli/kit emergensi harus mudah diakses dan
terhindar dari penyalahgunaan dan pencurian.

39
m. Obat emergensi, pengelolaan Obat emergensi harus menjamin:
1) Jumlah dan jenis obat sesuai dengan daftar obat yang telah ditetapkan;
2) tidak boleh bercampur dengan persediaan Obat untuk kebutuhan lain;
3) bila dipakai untuk keperluan emergensi harus segera diganti;
4) dicek secara berkala apakah ada yang kadaluwarsa; dan
5) dilarang untuk dipinjam untuk kebutuhan lain
B. Pengelolaan sediaan farmasi untuk keperluan emergensi /darurat :
1) Jenis dan jumlah persediaan untuk masing-masing item sediaan farmasi emergensi
ditetapkan oleh Tim Code Blue atau tim sejenis yang salah satu anggota tim
adalah apoteker
2) Sediaan farmasi emergensi, harus disediakan untuk pengobatan gangguan jantung,
gangguan peredaran darah, reaksi alergi, konvulsi dan bronkospasma.
3) Sediaan farmasi emergensi harus dapat diakses dan sampai ke pasien
dalam waktu kurang dari 5 menit.
4) Sediaan farmasi emergensi harus selalu tersedia. Tidak boleh ada sediaan farmasi
yang kosong.
5) Sediaan farmasi yang kosong/terpakai harus segera diajukan permintaan
penggantiannya ke Instalasi Farmasi RS.
6) Persediaan sediaan farmasi emergensi harus diinspeksi oleh staf
Instalasi Farmasi secara rutin. \
7) Obat emergensi disusun rapi dalam troli, obat high alert tetap dilokalisir.
18) Aspek umum yang perlu diperhatikan dalam penyimpanan:
a. Area penyimpanan obat di gudang farmasi dan diruang pelayanan farmasi rawat inap
dan farmasi rawat jalaan tidak boleh dimasuki selain oleh petugas farmasi yang diberi
kewenangan.
b. Area penyimpanan obat di ruang perawatan tidak boleh dimasuki selain oleh petugas
yang diberi kewenangan oleh kepala ruangan.
c. Sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP dilindungi dari kehilangan atau pencurian di
semua area rumah sakit (misal, penggunaan kartu stok dan akses terbatas).
d. Obat dan bahan kimia yang digunakan untuk mempersiapkan obat diberi label yang
secara jelas dapat dibaca, memuat nama, tanggal pertama kemasan dibuka, tanggal
kadaluwarsa dan peringatan khusus.
e. Sediaan farmasi disimpan dalam wadah asli dari produsen
f. Obat yang dikeluarkan dari wadah asli, seperti sediaan injeksi yang sudah dikemas
dalam syringe harus diberi etiket: nama pasien dan identitas lain (nomor rekam medik

40
dan/atau tanggal lahir), tanggal dibuka dan tanggal kedaluwarsa setelah dibuka Obat dan
bahan kimia yang didistribusikan dengan pengemasan ulang (repacking) harus
diberikan etiket: nama, konsentrasi/kekuatan, tanggal pengemasan dan beyond use date
(BUD).
g. Hal-hal yang harus dipenuhi dalam penyimpanan harus:
 Tersedia rak/lemari dalam jumlah cukup untuk memuat sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP.
 Jarak antara barang yang diletakkan di posisi tertinggi dengan langit-langit min.50
cm.
 Langit-langit tidak berpori dan tidak bocor.
 Tersedia pallet yang cukup untuk melindungi sediaan farmasi dari kelembaban lantai
(sediaan tidak boleh langsung menyentuh lantai).
 Tersedia alat pengangkut sesuai kebutuhan (troli).
 Ruangan harus bebas dari serangga dan binatang pengganggu.
 Tersedia sistem pendingin yang dapat menjaga suhu ruangan di bawah 25ºC.
 Dinding terbuat dari bahan yang kedap air, tidak berpori dan tahan benturan.
 Lantai terbuat dari bahan yang tidak berongga vinyl/floor hardener (tahan zat kimia).
 Luas ruangan memungkinkan aktivitas pengangkutan dilakukan secara
leluasa dan harus tersedia minimal dua pintu untuk jalur evakuasi (minimal pintu
penerimaan dan pintu pendistribusian).
 Lokasi bebas banjir.
 Tersedia lemari pendingin untuk penyimpanan obat tertentu.
 Tersedia alat pemantau suhu ruangan terkalibrasi dan lemari pendingin.
19) Rumah sakit menetapkan obat atau produk yang memerlukan penanganan khusus dan
bahan berbahaya sesuai sifat dan resiko bahannya.
20) Rumah sakit tidak memperbolehkan menyimpan obat-obat sampel dan radioaktif.
a. Rumah Sakit tidak mengijinkan prosedur/tindakan yang menggunakan Sediaan
Farmasi, Alat kesehatan dan BMHP yang masih dalam tahap percobaan atau
penelitian, kecuali dalam situasi yang mendesak (misalnya pandemi) demi
kepentingan umat manusia..
b. Penyimpanan produk nutrisi dilakukan sesuai dengan baik, benar, dan aman sesuai
persyaratan kondisi masing-masing produk/item yang tertera pada kemasan. Instalasi
Farmasi hanya menyimpan produk nutrisi parenteral dan produk enteral yang
diresepkan oleh dokter, sedangkan produk nutrisi enteral lainnya disimpan di Instalasi
Gizi.

41
c. Rumah sakit tidak melaksanakan produksi total parenteral nutrisi.
 Produk Nutrisi parenteral dikelola sesuai stabilitas produk.
 Obat-obat donasi (obat-obat TB, obat HIV / AIDS dan lain-lain) dikelola sesuai
peraturan perundang-undangan dan pedoman terkait; Disimpan terpisah;
Dilakukan pelaporan sesuai peraturan yang berlaku dan Tidak diperjualbelikan
 Penyimpanan kontras dilakukan dengan baik, benar dan aman di Instalasi Farmasi
dan Instalasi Radiologi dengan mengikuti standar MSDS.
 Penyimpanan reagen dilakukan dengan baik, benar, dan aman di unit
Laboratorium dengan mengikuti standar MSDS
21) Untuk area penyimpanan bahan berbahaya dan beracun (B3) harus tersedia:
 Eye washer dan shower.
 Spill kit (peralatan penanganan tumpahan).
 lembar Material Safety Data Sheet (MSDS)
 Rak/wadah penyimpanan yang dilengkapi simbol B3 yang sesuai
 Kerapihan dan kebersihan ruang penyimpanan.
22) Bahan berbahaya dan beracun (B3)
a. Bahan berbahaya dan beracun (B3) disimpan di lemari khusus dengan penandaan yang
menunjukkan sifat bahan tersebut.
b. Untuk pengelolaan B3 mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 101 tahun 2014
tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun.
23) Untuk menjaga keamanan penyimpanan sediaan farmasi, alat Kesehatan dan BMHP, maka:
a. Semua pintu area penyimpanan sediaan farmasi, alat Kesehatan dan BMHP harus
dikunci setiap saat.
b. Untuk menjaga keamanan penyimpanan sediaan farmasi, alat Kesehatan dn BMHP,
maka GSF, farmasi rawat inap dan rawat jalan pasang CCTV.
c. Petugas yang boleh masuk keruanagan penyimpanan sediaan farmasi, adalah
 Petugas farmasi atau Petugas lain yang ditunjuk secara sah (perawat, petugas
logistik bangsal, satpam, petugas pemeliharaan, sanitasi)
 Petugas dari instansi yang berwenang melakukan pemeriksaan, (missal: petugas
Dinkes, petugas BPOM)
24) Obat yang dibawa pasien dari rumah disimpan di Instalasi Farmasi, dengan menggunakan
formulir serah terima obat/alkes yang dibawa pasien dari luar rumah sakit.
25) Obat harus disimpan dalam kondisi yang menjaga stabilitas bahan aktif hingga digunakan
oleh pasien. Informasi terkait dengan suhu penyimpanan obat dapat dilihat pada kemasan
obat.

42
26) Semua Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, BMHP disimpan pada suhu yang tepat dan
terkontrol. Suhu penyimpanan obat meliputi
 Suhu ruang terkontrol (20˚C-25˚C)
 Suhu Refrigerator (2˚C-8˚C) dan kulkas biasa (>8˚C-15˚C)
 Suhu Freezer (-20˚ C) - (-10˚C). Freezer yang digunakan untuk menyimpan obat
berupa freezer yang terpisah dari refrigerator, bukan kombinasi refrigerator-freezer.
27) Tempat penyimpanan obat (ruangan dan lemari pendingin) harus selalu dipantau suhunya
menggunakan termometer yang terkalibrasi.
28) Khusus vaksin tidak direkomendasikan disimpan dalam kulkas rumah tangga. Pemantauan
suhu ruangan minimal dilakukan 1 kali sehari, pemantauan lemari pendingin 3 kali sehari.
29) Termometer yang digunakan untuk mengukur suhu lemari pendingin dapat berupa
termometer eksternal dan internal. Termometer harus dikalibrasi setiap tahun.
30) Suhu penyimpanan obat harus dipantau setiap hari termasuk hari libur. Bila ditemukan
suhu di luar rentang normal, maka petugas farmasi harus melaksanakan pengamanan sesuai
dengan kebijakan rumah sakit, yaitu segera melakukan pengecekan dan menghubungi unit
pemeliharaan agar ditindak lanjutin, hal ini bertujuan untuk mempertahankan stabilitas dan
mutu obat.
31) Petugas farmasi mengidentifikasi dan menindaklanjuti kemungkinan penyebab suhu
penyimpanan di luar rentang normal, contoh: pintu ruangan/lemari pendingin yang tidak
tertutup rapat/terbuka, penempatan sensor termometer yang tidak tepat, karet pintu lemari
pendingin yang sudah rusak. Jika masalah tidak dapat diatasi, maka petugas farmasi
melaporkan kepada bagian teknik atau unit kerja terkait untuk ditindaklanjuti.
32) Suhu dan kelembaban semua ruang penyimpanan sediaan farmasi, alat kesehataan dan
BMHP diatur agar sesuai dengan kondisi sediaan yang disimpan di dalamnya. Rentang
normal suhu ruang penyimpanan secara umum adalah kurang dari sama dengan 25ºC.
Kelembaban normal ruang penyimpanan secara umum adalah kurang dari 60% .
33) Pemantauan suhu ruang dan suhu kulkas penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan
dan BMHP dilakukan setiap hari oleh Tenaga Teknis Kefarmasian atau staf terlatih yang
ditunjuk secara sah dan didokumentasikan pada form log pemantauan suhu yang telah
distandarisasi.
34) Pemantauan suhu ruangan dan lemari pendingin penyimpanan Sediaan Farmasi, Alat
Kesehatan dan BMHP dilakukan dengan cara melihat dan membaca suhu yang tertera pada
termometer. Suhu dicatat pada log temperatur pada jam 06.00 pagi, 13.00 siang dan 20.00
malam (3 shift kerja) dan jam 07.00 pagi, 14.00 siang (2 shift kerja). Lembar log
temperature didokumentasikan.

43
35) Khusus pada hari libur, pemantauan suhu dilakukan setelah petugas masuk kerja:
a. Pada hari libur, suhu ruangan, suhu kulkas dan kelembaban di GSF diperiksa oleh
petugas farmasi rawat inap.
b. Pada hari libur, suhu ruangan, suhu kulkas, dan kelembaban di Klinik imunisasi
diperiksa oleh petugas farmasi rawat inap.
c. Jika terjadi pemadaman listrik, dilakukan tindakan pengamanan terhadap obat dengan
memindahkan obat tersebut ke tempat yang memenuhi persyaratan.
36) Inspeksi/pemantauan dilakukan secara berkala terhadap tempat penyimpanan obat. Dengan
membuat ceklis pemantauan terhadap aspek-aspek penyimpanan yang baik dan aman.
37) Beberapa macam obat memiliki risiko khusus yang memerlukan ketentuan tersendiri dalam
penyimpanan, pelabelan dan pengawasan penggunaannya, seperti: obat program, obat yang
dibawa pasien dari luar rumah sakit, produk nutrisi, obat penelitian dan bahan radioaktif.
38) Obat yang memerlukan kewaspadaan tinggi (high alert)
Obat High Alert adalah obat yang harus diwaspadai karena berdampak serius pada
keselamatan pasien jika terjadi kesalahan dalam penggunaannya.
a. Obat High Alert mencakup:
1) Obat risiko tinggi, yaitu sediaan farmasi dengan zat aktif yang akan menimbulkan
kematian atau kecacatan bila terjadi kesalahan (error) dalam penggunaannya
(contoh: insulin, heparin atau kemoterapeutik).
2) Obat yang terlihat mirip dan kedengarannya mirip (Nama Obat Rupa dan
Ucapan Mirip/NORUM, atau Look Alike Sound Alike/LASA)
3) Elektrolit konsentrat contoh: kalium klorida dengan konsentrasi sama atau lebih
dari 2 mEq/ml, kalium fosfat, natrium klorida dengan konsentrasi lebih dari 0,9%
dan magnesium sulfat injeksi dengan konsentrasi 50% atau lebih.
4) Elektrolit konsentrasi tertentu, contoh: kalium klorida dengan konsentrasi 1
mEq/ml, magnesium sulfat 20% dan 40%.
b. Obat berisiko tinggi disimpan di tempat terpisah dan diberi label “High Alert”.
c. Daftar obat berisiko tinggi ditetapkan oleh rumah sakit dengan mempertimbangkan data
dari referensi dan data internal di rumah sakit. Referensi yang dijadikan acuan antara
lain daftar yang diterbitkan oleh ISMP (Institute for Safe Medication Practice).
d. Elektrolit konsentrat dan elektrolit konsentrasi tertentu hanya tersedia di Instalasi
Farmasi. Elektrolit konsentrat dan elektrolit konsentrasi tertentu disimpan dengan lokasi
akses terbatas dan penandaan yang jelas untuk menghindari kesalahan pengambilan dan
penggunaan.

44
e. Obat Look Alike Sound Alike (LASA)/(NORUM) Rumah sakit menetapkan daftar obat
Look Alike Sound Alike (LASA)/nama obat-rupa-ucapan-mirip (NORUM).
f. Penyimpanan obat LASA/NORUM tidak saling berdekatan dan diberi label khusus
sehingga petugas dapat lebih mewaspadai adanya obat LASA/NORUM.
g. LASA dalam penulisan menggunakan Tall Man Lettering untuk nama obat yang
bunyi/ejaannya mirip.
h. Contoh penulisan Tallman lettering yaitu
i. acTONEL, acTOS.
j. Pada setiap tempat penyimpanan obat LASA diberi stiker LASA berwarna kuning.

LASA
Gambar 3. Stiker obat LASA
k. Contoh obat LASA dengan kekuatan berbeda (Glimepiride 1mg, Glimepiride 2 mg,
Glimepiride 3 mg, Glimepiride 4 mg), obat-obat tersebut disimpan tidak berdampingan
dengan bentuk sediaan berbeda dan diberi label “LASA” pada wadah penyimpanannya.
maka label pada penyimpanan adalah:
⮚ Glimepiride 1 mg ⮚ Glimepiride 2 mg

1-4 2-4

⮚ Glimepiride 3 mg ⮚ Glimepiride 4 mg

3-4 4-4
39) Pelabelan HAM:
a. Pemberian label berwarna merah dan bertuliskan HAM diberikan dari gudang farmasi
agar potensi terlupa pemberian label high alert di ruang pelayanan farmasi rawat
inap/rawat jalan dapat diminimalkan.
b. Diberi list berwarna merah di tempat penyimpanannya (membingkai tempat
penyimpanan)
c. Stiker High Alert ditempelkan pada kemasan satuan terkecil, contoh: ampul, vial.
d. Diberi label tanda peringatan berwarna merah pada penyimpanan untuk obat
kewaspadaan tinggi sesuai dengan label yang telah disiapkan. Label yang dibuat berupa
stiker khusus obat kewaspadaan tinggi yang tertuliskan nama obat masing-masing
beserta peringatannya

45
Gambar 1. Stiker untuk lemari penyimpanan obat kewaspadaan tinggi

HIGH ALERT
Gambar 2. Contoh stiker untuk obat kewaspadaan tinggi selain elektrolit konsentrat
e. Obat sitostatika tidak perlu ditempelkan stiker high alert karena sudah memiliki
penandaan khusus obat sitostatika tetapi Charitas Hospital Arga Makmur tidak
mengelola obat sitostatika
f. Untuk obat high alert yang diserahkan ke pasien rawat jalan, maka tidak perlu di
tempelkan stiker disetiap satuan terkecil (contoh: tablet warfarin) tetapi wajib
pemberian edukasi kepada pasien tentang cara penggunaan obat yang benar dan apa
yang harus dilakukan jika terjadi efek yang tidak diharapkan (contoh: warfarin, insulin).
40) Obat Narkotika, Psikotropika dan Prekusor Obat Narkotika dan Psikotropika
a. Masing-masing golongan harus disimpan dalam lemari yang terpisah, sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
b. Obat narkotika disimpan dalam lemari dengan satu pintu dan dua jenis kunci yang
berbeda. Harus ditetapkan seorang penanggung jawab terhadap lemari narkotika dan
psikotropika.
c. Kunci lemari khusus dikuasai oleh Apoteker penanggungjawab/Apoteker yang ditunjuk
dan pegawai lain yang dikuasakan.
d. Kunci lemari narkotika dan psikotropika tidak boleh dibiarkan tergantung pada lemari.
e. Setiap pergantian shift harus dilakukan pemeriksaan stok dan serah terima yang
didokumentasikan.
f. Jika terdapat sisa narkotika maka harus dilakukan pemusnahan sesegara mungkin untuk
menghindari penyalahgunaan.
g. Pemusnahan sisa narkotika harus disaksikan oleh dua petugas yang berbeda profesi dan
didokumentasikan dalam formulir/berita acara pemusnahan sisa narkotika.
41) Obat yang sudah dibuka dari kemasan primer (wadah yang bersentuhan langsung dengan
obat) atau sudah dilakukan perubahan, misalnya: dipindahkan dari wadah aslinya, sudah
dilakukan peracikan, maka tanggal kedaluwarsanya (ED=Expired Date) tidak lagi

46
mengikuti tanggal kedaluwarsa dari pabrik yang tertera di kemasan obat. Rumah sakit
menetapkan tanggal kedaluwarsa sediaan obat tersebut (BUD=Beyond Use Date). BUD
dicantumkan pada label obat.
A.4 PENDISTRIBUSIAN
1. Distribusi merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan/menyerahkan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP dari tempat penyimpanan sampai kepada
unit pelayanan/pasien dalam proses terapi, baik pasien rawat inap maupun rawat jalan
dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu.
2. Gudang Sentral Farmasi (GSF) melakukan distribusi Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan
BMHP ke unit-unit farmasi, dan di luar farmasi yang membutuhkan untuk pelayanan
pasien, dan dilakukan dengan cara yang aman untuk menjaga kualitas dan kuantitas obat,
sesuai peraturan dan perundang- undangan.
3. Distribusi untuk sediaan Farmasi yang membutuhkan cold chain harus dilakukan dengan
metode yang dapat memenuhi persyaratan cold chain agar sediaan Farmasi tidak rusak
dalam perjalanan.
4. Tujuan pendistribusian adalah tersedianya sediaan farmasi dan BMHP di unit-unit
pelayanan secara tepat waktu, tepat jenis dan jumlah
5. Metode distribusi sediaan farmasi dan BMHP di RS dilakukan dengan kombinasi system
sentralisasi dan desentralisasi:
a. Sistem distribusi sentralisasi, yaitu secara terpusat distribusi dilakukan oleh Instalasi
Farmasi ke semua unit yang melakukan penyimpanan dan penggunaan sediaan farmasi,
alat Kesehatan dan BMHP di rumah sakit secara keseluruhan dalam bentuk floor stock,
dan
b. Sistem distribusi desentralisasi, yaitu distribusi dilakukan oleh bagian farmasi rawat inap
dan rawat jalan.
6. Rumah Sakit menentukan sistem distribusi untuk menjamin terlaksananya pengawasan dan
pengendalian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP.
7. Sistem distribusi yang ditetapkan di Rumah Sakit yaitu:
a. Sistem Persediaan Lengkap di Ruangan (floor stock)
1) Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP untuk persediaan di
ruang rawat disiapkan dan dikelola oleh Instalasi Farmasi dengan .
2) Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang disimpan di ruang rawat harus
dalam jenis dan jumlah yang sangat dibutuhkan.
3) Dalam kondisi dimana tidak ada petugas farmasi yang mengelola (di luar jam kerja)
maka pendistribusiannya didelegasikan kepada penanggung jawab ruangan.

47
4) Setiap hari dilakukan serah terima kembali pengelolaan obat floor stock kepada
petugas farmasi dari penanggung jawab ruangan.
5) Apoteker menyediakan informasi, peringatan dan kemungkinan interaksi Obat pada
setiap jenis Obat yang disediakan di floor stock.
b. Sistem Resep Perorangan
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP perorangan/pasien rawat
jalan dan rawat inap melalui Instalasi farmasi.
c. Sistem unit dosis
Pendistribusian Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP berdasarkan Resep
perorangan yang disiapkan dalam unit dosis tunggal atau ganda, untuk penggunaan satu
kali dosis/pasien. Sistem unit dosis ini digunakan untuk pasien rawat inap.
d. Sistem kombinasi.
Sistem pendistribusian sediaan farmasi, alat kesehatan dan BMHP bagi pasien rawat
inap dengan menggunakan kombinasi a + b atau b + c atau a + c.
8. Sistem distribusi dirancang atas dasar kemudahan untuk dijangkau oleh pasien dengan
mempertimbangkan:
a. efisiensi dan efektifitas sumber daya yang ada; dan
b. metode sentralisasi atau desentralisasi
A.5 PEMUSNAHAN DAN PENARIKAN (recall)
1. Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi penarikan kembali (recall) dan
pemusnahan sediaan farmasi, BMHP dan implan sesuai peraturan perundang undangan yang
berlaku.
2. Pemusnahan dan Penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan BMHP yang tidak dapat
digunakan dilaksanakan dengan cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Penarikan sediaan farmasi yang tidak memenuhi standar/ketentuan peraturan perundang-
undangan dilakukan oleh pemilik izin edar berdasarkan perintah penarikan oleh BPOM
(mandatory recall) atau berdasarkan inisiasi sukarela oleh pemilik izin edar (voluntary
recall) dengan tetap memberikan laporan kepada Kepala BPOM.
4. Penarikan Alat Kesehatan dan BMHP dilakukan terhadap produk yang izin edarnya
dicabut oleh Menteri.
5. Semua produk sediaan farmasi dan BMHP yang rusak, yang ditemukan oleh perawat dan
staf medik, segera lapor ke Instalasi Farmasi dan kembalikan ke Instalasi Farmasi sesuai
dengan prosedur yang telah ditetapkan.
6. Pemusnahan dilakukan untuk Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP bila:

48
a. produk tidak memenuhi persyaratan mutu;
b. telah kadaluwarsa;
c. tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan kesehatan atau
kepentingan ilmu pengetahuan; dan/atau dicabut izin edarnya
7. Tahapan pemusnahan :
a. membuat daftar Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP yang akan dimusnahkan;
b. menyiapkan Berita Acara Pemusnahan;
c. mengoordinasikan jadwal, metode dan tempat pemusnahan kepada pihak terkait;
d. menyiapkan tempat pemusnahan; dan
e. melakukan pemusnahan disesuaikan dengan jenis dan bentuk sediaan serta peraturan
yang berlaku
8. Rumah Sakit memiliki sistem penanganan obat yang rusak (tidak memenuhi persyaratan
mutu/telah kedaluwarsa/tidak memenuhi syarat untuk dipergunakan dalam pelayanan
kesehatan atau kepentingan ilmu pengetahuan/dicabut izin edarnya untuk dilakukan
pemusnahan atau pengembalian ke distributor sesuai ketentuan yang berlaku.
9. Pemusnahan Narkotika, Psikotropika dan Prekursor farmasi dilakukan sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
10. Tujuan pemusnahan adalah untuk menjamin sediaan farmasi dan BMHP yang
sudah tidak memenuhi syarat dikelola sesuai dengan standar yang berlaku.
11. Adanya penghapusan akan mengurangi beban penyimpanan maupun mengurangi risiko
terjadi penggunaan obat yang sub standar.
12. Pemusnahan dilakukan sesuai dengan jenis, bentuk sediaan dan peraturan yang berlaku.
13. Untuk pemusnahan narkotika, psikotropika dan prekursor dilakukan oleh apoteker dan
disaksikan oleh dinas kesehatan kab/kota dan dibuat berita acara pemusnahan.
14. Jika pemusnahan obat dilakukan oleh pihak ketiga maka Instalasi Farmasi harus memastikan
bahwa obat telah dimusnahkan.
A.6 PENGENDALIAN
1) Pengendalian dilakukan terhadap jenis dan jumlah persediaan dan penggunaan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP.
2) Pengendalian penggunaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP dilakukan oleh
Instalasi Farmasi bersama dengan Komite Farmasi dan Terapi (KFT) di Rumah Sakit.
3) Tujuan pengendalian persediaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP adalah:
a) penggunaan Obat sesuai dengan Formularium Rumah Sakit;
b) penggunaan Obat sesuai dengan diagnosis dan terapi; dan

49
c) memastikan persediaan efektif dan efisien atau tidak terjadi kelebihan dan
kekurangan/kekosongan, kerusakan, kadaluwarsa, dan kehilangan serta pengembalian
pesanan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP.
4) Cara untuk mengendalikan persediaan Sediaan Farmasi, AlatKesehatan, dan BMHP adalah:
a) melakukan evaluasi persediaan yang jarang digunakan (slow moving);
b) melakukan evaluasi persediaan yang tidak digunakan dalam waktu tiga bulan berturut-
turut (death stock);
c) Stok opname yang dilakukan secara periodik dan berkala
5) Pengendalian persediaan adalah suatu kegiatan untuk memastikan tercapainya sasaran yang
diinginkan sesuai dengan strategi dan program yang telah ditetapkan sehingga tidak terjadi
kelebihan dan kekurangan/kekosongan obat di rumah sakit.
6) Pengendalian persediaan obat terdiri dari:
a. Pengendalian ketersediaan;
b. Pengendalian penggunaan;
c. Penanganan ketika terjadi kehilangan, kerusakan, dan kedaluwarsa.
7) Dokumen yang harus dipersiapkan dalam rangka pengendalian persediaan:
a. Formularium Nasional
b. Formularium Rumah Sakit
c. Perjanjian kerja sama dengan pemasok obat
8) Mekanisme untuk mengantisipasi terjadi kekosongan stok, rumah sakit melakukan
penyediaan dengan kerjasama dengan pihak ketiga dan prosedur pemberian saran substitusi
ke dokter penulis resep.
9) Dalam pengendalian perlu diperhatikan hal sebagai berikut:
a. Formulir pemberian (formulir yang digunakan perawat untuk pemberian obat). Pada
formulir ini perawat mencatat pemberian obat. Pada saat melakukan rekonsiliasi obat,
apoteker membandingkan formulir ini dengan sumber data lain, misalnya daftar riwayat
penggunaan obat pasien, resep/instruksi pengobatan.
b. Pengembalian obat yang tidak digunakan (hanya sediaan farmasi dan BMHP dalam
kemasan tersegel yang dapat dikembalikan ke Instalasi Farmasi Rumah Sakit).
Pengembalian sediaan farmasi dan BMHP dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan.
10) Sistem pengawasan, penggunaan dan pengamanan obat. Pedoman yang dipersiapkan antara
lain:
a. Pedoman pelayanan kefarmasian
b. Standar Prosedur Operasional,

50
1) SPO penanganan ketidaktersediaan stok obat
2) SPO monitoring obat baru dan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) yang tidak
diantisipasi
3) SPO proses untuk mendapatkan obat pada saat farmasi tutup/di luar jam kerja
4) SPO untuk mengatasi kondisi kekosongan obat
5) SPO untuk pemenuhan obat yang tidak pernah tersedia
c. Pengendalian ketersediaan:
Kekosongan atau kekurangan obat di rumah sakit dapat terjadi karena beberapa hal:
1) Perencanaan yang meleset/ kurang tepat
2) Obat yang direncanakan tidak tersedia/kosong di distributor
3) Perubahan kebijakan pemerintah (misalnya perubahan e katalog, sehingga obat
yang sudah direncanakan tahun sebelumnya tidak masuk dalam katalog obat yang
baru).
4) Obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis di rumah sakit tidak tercantum dalam
Formularium Nasional
11) Untuk mencegah/mengatasi kekurangan atau kekosongan obat, Instalasi Farmasi melakukan:
a. Substitusi obat dengan obat lain yang memiliki zat aktif yang sama.
b. Substitusi obat dalam satu kelas terapi dengan persetujuan dokter penanggung jawab
pasien
c. Mengadakan dengan cara membeli obat dari Apotek/ Rumah Sakit lain yang mempunyai
perjanjian kerjasama
d. Apabila obat yang dibutuhkan sesuai indikasi medis di rumah sakit tidak
tercantum dalam Formularium Nasional dan harganya tidak terdapat dalam
e-katalog obat, maka dapat digunakan obat lain berdasarkan persetujuan ketua KFT
dengan persetujuan komite medik atau Direktur rumah sakit.
12) Mekanisme pengadaan obat di luar Formularium Nasional dan e-katalog obat dilakukan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 Tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).
13) Obat yang tidak tercantum dalam Formularium Nasional atau e-katalog obat dimasukkan
dalam Formularium Rumah Sakit.
14) Pengendalian penggunaan obat dilakukan untuk mengetahui jumlah penerimaan dan
pemakaian obat sehingga dapat memastikan jumlah kebutuhan obat dalam satu periode.
15) Kegiatan pengendalian mencakup:
a. Memperkirakan/menghitung pemakaian rata-rata periode tertentu.

51
b. Menentukan : Stok optimum (stok obat yang diserahkan kepada unit pelayanan agar
tidak mengalami kekurangan/kekosongan), dan Stok pengaman (jumlah stok yang
disediakan untuk mencegah terjadinya sesuatu hal yang tidak terduga, misalnya karena
keterlambatan pengiriman).
c. Menentukan waktu tunggu (leadtime) adalah waktu yang diperlukan
dari mulai pemesanan sampai obat diterima
d. Menentukan waktu kekosongan obat.
e. Cara menghitung stok optimum :
SO = SK + SWK + SWT + Buffer stock
Keterangan :
SO = Stok Optimum
SK = Stok Kerja (stok pada periode berjalan)
SWK = Stok Waktu Kosong (jumlah yang dibutuhkan pada waktu
kekosongan obat)
SWT = Stok Waktu Tunggu (jumlah yang dibutuhkan pada waktu
tunggu (lead time)
Buffer stok = Stok pengaman
e. Stock Opname dilakukan sesuai dengan kebijakan yang telah ditentukan.
f. Saat stock opname, dilakukan pula pendataan sediaan yang masa kedaluwarsanya
minimal 6 bulan, kemudian dilakukan penandaan khusus dan disimpan sesuai FEFO.
g. Mendeteksi/cek/kontrol kerusakan dan kedaluwarsa sediaan farmasi dan BMHP serta
penanganannya dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
16) Obat kedaluwarsa:
a. Obat kedaluarsa yang menunggu waktu pemusnahan disimpan di tempat khusus dan
tidak mudah diakses (dikarantina).
b. Obat yang mendekati kadaluwarsa (3 sampai 6 bulan sebelum tanggal kedaluwarsa)
disimpan terpisah dan diberikan penandaan khusus.
c. dan untuk sediaan yang sudah ED disimpan ditempat terpisah dan diberi keterangan
“sudah kedaluwarsa”; kemudian diproses dan dipilih yang bisa dikembalikan ke
distributor dan yang akan dimusnahkan sesuai ketentuan.
d. Waktu kedaluwarsa: saat sediaan tidak dapat digunakan lagi sampai akhir bulan tersebut
atau sediaan sudah tidak dapat digunakan lagi setelah akhir bulan. (Contoh: ED 01-2016
berarti sediaan tersebut dapat digunakan sampai dengan 31 Januari 2016).

52
e. Obat dan alat kesehatan yang telah kadaluarsa atau rusak disimpan di lemari terpisah
dan terkunci. Pada lemari harus diberi label “Obat Rusak/Kadaluarsa,Jangan
Diracik/Digunakan.
A. 7 ADMINISTRASI (dokumentasi)
1. Kegiatan administrasi terdiri dari Pencatatan dan Pelaporan terhadap kegiatan
pengelolaan sediaan farmasi, alkes dan BMHP yang meliputi perencanaan kebutuhan,
pengadaan, penerimaan, pendistribusian, pengendalian persediaan, pengembalian,
pemusnahan dan penarikan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP.
2. Pelaporan dilakukan Instalasi Farmasi sesuai peraturan yang berlaku.
3. Administrasi dilakukan oleh instalasi farmasi untuk memudahkan penelusuran kegiatan
yang sudah berlalu.
4. Administrasi Penghapusan, merupakan kegiatan penyelesaian terhadap Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan BMHP yang tidak terpakai karena kadaluwarsa, rusak, dan mutu
tidak memenuhi standar, dengan cara membuat usulan penghapusan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan, dan BMHP sesuai peraturan yang berlaku.
5. Kegiatan administrasi terdiri dari Pencatatan, Pelaporan, dan Administrasi Penghapusan.
6. Pencatatan :
a. Pencatatan merupakan suatu kegiatan yang bertujuan untuk memonitor keluar
dan masuknya (mutasi) obat di IFRS.
b. Pencatatan dapat dilakukan dalam bentuk digital atau manual. Pencatatan dalam
bentuk manual biasa menggunakan kartu stok.
c. Manfaat informasi yang diperoleh dari pencatatan, yaitu :
1) Untuk mengetahui dengan cepat jumlah persediaan sediaan farmasi dan BMHP
2) Penyusunan laporan
3) Perencanaan pengadaan dan distribusi
4) Pengendalian persediaan
5) Untuk pertanggungjawaban bagi petugas penyimpanan dan pendistribusian
6) Sebagai alat bantu kontrol bagi Kepala IFRS.
d. Kartu stok obat:
1) Untuk mencatat jumlah penerimaan dan pengeluaran obat termasuk kondisi fisik,
nomor batch dan tanggal kedaluwarsa obat
2) Satu kartu stok hanya digunakan untuk mencatat mutasi satu jenis obat dari satu
sumber anggaran
3) Data pada kartu stok digunakan untuk menyusun laporan dan rencana kebutuhan
obat periode berikutnya

53
4) Kartu stok obat diletakkan berdekatan dengan obat yang bersangkutan.
5) Pencatatan dilakukan setiap kali ada mutasi (keluar/masuk obat atau jika ada obat
hilang, rusak dan kedaluwarsa); dari kartu stock diperoleh Informasi: saldo stok,
jumlah yang diterima, jumlah yang keluar, jumlah yang hilang/rusak/ kedaluwarsa
dan jangka waktu kekosongan.
6) Kartu stock berfungsi untuk penanganan ketika terjadi kehilangan, kerusakan, obat
yang ditarik oleh pemerintah dan kedaluwarsa.
C. TATA LAKSANA PELAYANAN FARMASI KLINIK
Kegiatan pelayanan farmasi klinik, meliputi:
1. PERESEPAN
a. Rekonsiliasi Obat
1) Rekonsiliasi obat di rumah sakit adalah proses membandingkan daftar obat/instruksi
pengobatan yang digunakan oleh pasien sebelum masuk rumah sakit dengan obat yang
diresepkan pertama kali sejak pasien masuk, saat pindah antar unit pelayanan (transfer)
di dalam rumah sakit dan sebelum pasien pulang.
2) Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan Obat (medication error)
seperti Obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau interaksi Obat. Kesalahan
Obat (medication error) rentan terjadi pada pemindahan pasien dari satu Rumah Sakit
ke Rumah Sakit lain, antar ruang perawatan, serta pada pasien yang keluar dari Rumah
Sakit ke layanan Kesehatan primer dan sebaliknya.
3) Rekonsiliasi obat merupakan proses kolaboratif yang dilakukan oleh dokter, apoteker
dan perawat, serta melibatkan pasien/keluarga. Rekonsiliasi obat dimulai dengan
menelusuri riwayat penggunaan obat pasien sebelum masuk rumah sakit, kemudian
membandingkan daftar obat tersebut dengan obat yang baru diresepkan saat perawatan.
Jika ada diskrepansi (perbedaan), maka dokter yang merawat memutuskan apakah
terapi obat yang digunakan oleh pasien sebelum masuk rumah sakit akan dilanjutkan
atau tidak.
4) Hasil rekonsiliasi obat didokumentasikan di rekam medis dan Rekam medis memuat
riwayat penggunaan obat pasien.
5) Tujuan rekonsiliasi Obat :
a) memastikan informasi yang akurat tentang Obat yang digunakan pasien;
b) mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terdokumentasinya instruksi dokter;
c) mengidentifikasi ketidaksesuaian akibat tidak terbacanya instruksi dokter.
4) Tahap proses rekonsiliasi Obat yaitu:
a) Pengumpulan data

54
 Mencatat data dan memverifikasi Obat yang sedang dan akan digunakan
pasien, meliputi nama Obat, dosis, frekuensi, rute, Obat mulai diberikan,
diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping
Obat yang pernah terjadi. (Khusus untuk data alergi dan efek samping Obat:
dicatat tanggal kejadian, obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan
efek samping, efek yang terjadi, dan tingkat keparahan akibat efek samping
obat).
 Data riwayat penggunaan Obat didapatkan dari pasien, keluarga pasien, daftar
Obat pasien, Obat yang ada pada pasien, dan rekam medik. Data Obat yang
dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga) bulan sebelumnya.
 Semua Obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun Obat bebas
termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.
b) Komparasi
 Petugas kesehatan membandingkan data Obat yang pernah, sedang dan akan
digunakan.
 Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan
ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut.
 Ketidakcocokan dapat pula terjadi bila ada Obat yang hilang, berbeda,
ditambahkan atau diganti tanpa ada penjelasan yang didokumentasikan pada
rekam medik pasien.
 Ketidakcocokan ini dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat
penulisan Resep maupun tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak
tahu adanya perbedaan pada saat menuliskan Resep.
c) Konfirmasi ke dokter
 Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian
dokumentasi.
 Bila ada ketidaksesuaian, dokter harus dihubungi kurang dari 24 jam.
5) Hal lain yang harus dilakukan oleh Apoteker dalam rekonsiliasi:
a) menentukan bahwa adanya perbedaan tersebut disengaja atau tidak disengaja;
b) mendokumentasikan alasan penghentian, penundaan, atau pengganti; dan
c) memberikan tanda tangan, tanggal, dan waktu dilakukannya rekonsilliasi Obat.
6) Komunikasi
a) Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau perawat
mengenai perubahan terapi yang terjadi.
b) Apoteker bertanggung jawab terhadap informasi Obat yang diberikan.

55
7) Hasil rekonsiliasi obat didokumentasikan dan dikomunikasikan kepada profesional
pemberi asuhan (PPA) terkait dan pasien/keluarga. Kajian sistematik membuktikan
bahwa rekonsiliasi obat dapat menurunkan diskrepansi dan kejadian yang tidak
diharapkan terkait penggunaan obat (adverse drug event)
b. Penelusuran riwayat penggunaan obat
1) Penelusuran Riwayat penggunaan obat merupakan suatu proses untuk mendapatkan
informasi mengenai seluruh Obat/Sediaan Farmasi lain yang pernah dan sedang
digunakan.
2) Riwayat pengobatan dapat diperoleh dari wawancara atau data rekam
medik/pencatatan penggunaan Obat pasien.
3) Tahapan penelusuran riwayat penggunaan Obat:
a) membandingkan riwayat penggunaan Obat dengan data rekam medik/pencatatan
penggunaan Obat untuk mengetahui perbedaan informasi penggunaan Obat;
b) melakukan verifikasi riwayat penggunaan Obat yang diberikan oleh tenaga
kesehatan lain dan memberikan informasi tambahan jika diperlukan;
c) mendokumentasikan adanya alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki
(ROTD);
d) mengidentifikasi potensi terjadinya interaksi Obat;
e) melakukan penilaian terhadap kepatuhan pasien dalam menggunakan Obat;
f) melakukan penilaian rasionalitas Obat yang diresepkan;
g) melakukan penilaian terhadap pemahaman pasien terhadap Obat yang digunakan;
h) melakukan penilaian adanya bukti penyalahgunaan Obat;
i) melakukan penilaian terhadap teknik penggunaan Obat;
j) memeriksa adanya kebutuhan pasien terhadap Obat dan alat bantu kepatuhan minum
Obat (concordance aids);
k) mendokumentasikan Obat yang digunakan pasien sendiri tanpa sepengetahuan
dokter; dan
l) mengidentifikasi terapi lain, misalnya suplemen dan pengobatan alternatif yang
mungkin digunakan oleh pasien. Kegiatan:
4) Kegiatan dalam identifikasi terapi:
a) penelusuran riwayat penggunaan Obat kepada pasien/keluarganya; dan
b) melakukan penilaian terhadap pengaturan penggunaan Obat pasien.
5) Informasi yang didapatkan dalam identifikasi terapi:
a) nama Obat (termasuk Obat non Resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi
penggunaan, indikasi dan lama penggunaan Obat;

56
b) reaksi Obat yang tidak dikehendaki termasuk riwayat alergi; dan
c) kepatuhan terhadap regimen penggunaan Obat (jumlah Obat yang tersisa).
c. Peresepan
1) Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi peresepan/permintaan obat dan
BMHP/instruksi pengobatan sesuai peraturan perundang-undangan
2) Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi tentang peresepan/permintaan obat
dan BMHP/instruksi pengobatan yang benar, lengkap dan terbaca.
3) Rumah sakit menetapkan dan melatih tenaga medis yang kompeten dan berwenang untuk
melakukan peresepan/permintaan obat dan BMHP/instruksi pengobatan.
4) Rumah sakit menetapkan persyaratan bahwa semua resep/permintaan obat/instruksi
pengobatan harus mencantumkan identitas pasien, nama obat, dosis, frekuensi pemberian,
rute pemberian, nama dan tanda tangan dokter. Persyaratan kelengkapan lain
ditambahkan disesuaikan dengan jenis resep/permintaan obat/instruksi pengobatan. Hal
ini untuk menghindari keragaman dan mencegah kesalahan obat yang berdampak pada
keselamatan pasien.
5) Persyaratan kelengkapan lain yang ditambahkan pada resep/permintaan obat/instruksi
pengobatan, misalnya:
a) Penulisan dengan nama dagang atau nama generik pada sediaan dengan zat aktif
tunggal.
b) Penulisan indikasi dan dosis maksimal sehari pada obat PRN (pro renata atau “jika
perlu”).
c) Penulisan berat badan dan/atau tinggi badan untuk pasien anak-anak, lansia, pasien
yang mendapatkan kemoterapi, dan populasi khusus lainnya.
d) Penulisan kecepatan pemberian infus di instruksi pengobatan.
e) Penulisan instruksi khusus seperti: titrasi, tapering, rentang dosis.
f) Instruksi titrasi adalah instruksi pengobatan dimana dosis obat dinaikkan/diturunkan
secara bertahap tergantung status klinis pasien.
 Instruksi harus terdiri dari: dosis awal, dosis titrasi, parameter penilaian, dan titik
akhir penggunaan,
 Misalnya: infus nitrogliserin, dosis awal 5 mcg/menit. Naikkan dosis 5
mcg/menit setiap 5 menit jika nyeri dada menetap, jaga tekanan darah 110-140
mmHg.
g) Instruksi tapering down/tapering off adalah instruksi pengobatan dimana dosis obat
diturunkan secara bertahap sampai akhirnya dihentikan.

57
 Tapering off dimaksudkan agar tidak terjadi efek yang tidak diharapkan akibat
penghentian mendadak.
 Contoh obat yang harus dilakukan tapering down/off: pemakaian jangka panjang
kortikosteroid, psikotropika.
 Instruksi tapering off dituliskan tahapan penurunan dosis dan waktunya. \
h) Instruksi rentang dosis adalah instruksi pengobatan dimana dosis obat dinyatakan
dalam rentang, misalnya morfin inj 2-4 mg IV tiap 3 jam jika nyeri. Dosis
disesuaikan berdasarkan kebutuhan pasien.
6) Rumah sakit menetapkan dan menerapkan proses untuk menangani resep/permintaan
obat dan BMHP/instruksi pengobatan, untuk peresepan yang:
 Tidak lengkap, tidak benar dan tidak terbaca.
 NORUM (Nama Obat Rupa Ucapan Mirip) atau LASA (Look Alike Sound Alike).
 Jenis resep khusus seperti emergensi, cito, automatic stop order, tapering dan
lainnya.
 Secara lisan atau melalui telepon, wajib dilakukan komunikasi efektif meliputi:
tulis lengkap, baca ulang (read back), dan meminta konfirmasi kepada dokter
yang memberikan resep/instruksi melalui telepon dan mencatat di rekam medik
bahwa sudah dilakukan konfirmasi
7) Rumah sakit melakukan evaluasi terhadap penulisan resep/instruksi pengobatan yang
tidak lengkap dan tidak terbaca dengan cara uji petik atau cara lain yang valid.
8) Daftar obat yang diresepkan tercatat dalam rekam medis pasien yang mencantumkan
identitas pasien nama obat, dosis, rute pemberian, waktu pemberian, nama dan tanda
tangan dokter.
9) Daftar obat pulang diserahkan kepada pasien disertai edukasi penggunaannya agar pasien
dapat menggunakan obat dengan benar dan mematuhi aturan pakai yang sudah
ditetapkan.
10) Pengelolaan resep khusus :
a) Resep darurat/emergensi: Dalam keadaan darurat/emergensi, permintaan obat atau
instruksi pengobatan secara lisan atau via telepon terlebih dahulu pada kasus yang
mengancam nyawa disusul proses dokumentasi resep. Untuk pemesanan/penulisan
resep obat troli emergensi ditulis resep khusus pemakaian troli emergensi.
b) Resep CITO: Dalam keadaan mendesak bila dokter tidak ditempat dan telah
memberikan instruksi obat via telepon atau pasien memerlukan obat segera, atas
instruksi dokter maka perawat dapat melakukan pemesanan obat menggunakan

58
form peminjaman obat, setelah itu resep ditulis oleh dokter dan dikirimkan ke
farmasi.
c) Resep LASA : Pemesanan/penulisan resep obat LASA harus menggunakan tallman
letter pada e prescription
d) Automatic Stop Order : Pemesanan /penulisan resep obat dimana terapi obat akan
dihentikan (STOP) secara otomatis setelah durasi pemakaian tertentu. Automatic
Stop Order yang berlaku di Charitas Hospital Arga Makmur adalah ketorolac
injeksi selama 5 hari dan pethidin injeksi selama 2 hari.
e) Instruksi Tapering down/tapering off : instruksi pengobatan dimana dosis obat
diturunkan secara bertahap sampai akhirnya dihentikan.
f) Instruksi titrasi : instruksi pengobatan dimana dosis obat dinaikkan/diturunkan
secara bertahap tergantung status klinis pasien.
g) Instruksi rentang dosis : instruksi pengobatan dimana dosis obat dinyatakan dalam
rentang
h) Resep Standing Order : apabila sudah ada di standing order, perawat dapat
memberikan obat terlebih dahulu tanpa instruksi dokter, selanjutnya resep ditulis
oleh dokter
i) Resep obat bila perlu (pro renata): Pemesanan/penulisan resep obat harus
mencantumkan indikasi dan dosis maksimal dalam sehari.
11) Pesanan (instruksi obat) secara lisan atau melalui telepon harus dicatat lengkap oleh
penerima instruksi, dibaca ulang kembali oleh penerima instruksi kepada pemberi
instruksi, dan meminta konfirmasi ulang kebenarannya kepada pemberi instruksi.
12) Staf medis, perawat bidan, petugas farmasi (Tenaga Teknis Kefarmasian dan Apoteker)
harus melakukan klarifikasi kepada penulis resep/permintaan obat atau pemberi instruksi
obat bila pesanan obat/resep tidak benar, tidak jelas, tidak terbaca, tidak lengkap, atau
menggunakan singkatan, simbol, dan penunjukan dosis yang dilarang.
13) Peresepan/permintaan obat, instruksi pengobatan yang tidak benar, tidak lengkap, dan
tidak terbaca dan agar tidak terulang kembali maka kejadian tersebut didokumentasikan,
dilaporkan ke KFT dan Komite Keselamatan Pasien sebagai IKP medication error tahap
peresepan. KFT selanjutnya akan memberi laporan dan rekomendasi kepada Direktur.
14) Obat-obat yang diresepkan tercatat dalam rekam medis pasien dan menyertai ketika
pasien dipindahkan.
15) Rumah sakit melatih staf medis terkait praktek penulisan resep, peresepan/permintaan
obat dan instruksi pengobatan secara benar.
16) Penetapan Individu Kompeten yang diberi Kewenangan untuk Menulis Resep:

59
a) Rumah sakit mempunyai daftar staf medis yang kompeten dan berwenang membuat
atau menulis resep yang terdiri dari identitas dokter (nama lengkap dan gelar), nomor
STR, nomor SIP, dan tandatangan yang diperbaharui secara periodic. Daftar dokter
tersebut tersedia disemua unit pelayanan.
b) Semua dokter yang diijinkan oleh RS dan memiliki surat ijin praktek (SIP) sesuai
undang-undang dan peraturan yang berlaku berhak menulis resep dan resep khusus
seperti resep darurat/emergensi, CITO, LASA, automatic stop order, tapering order,
standing order, bila perlu (pro renata).
c) Rumah sakit menetapkan batasan-batasan penulisan resep obat-obat.
1) Resep Narkotika, Psikotropik, Prekursor hanya boleh ditulis oleh dokter memiliki Surat
Izin Praktek (SIP) di RS dan resep harus terdokumentasi dalam catatan SOAP dokter:
a) Batasan penulisan jumlah obat dalam resep narkotika oleh dokter non
psikiatri maksimal 30 satuan kecil dalam satu resep.
b) Batasan penulisan jumlah obat dalam resep psikotropika oleh dokter 15 hari
maksimal 30 satuan kecil dalam satu resep untuk benzodiazepine, dan benzodiazepine
tidak lebih dari 2 jenis, kecuali dokter spesialis kedokteran jiwa dan spesialis penyakit
dalam konsultan psikosomatis.
6) Dalam penulisan resep, staf medis wajib mengikuti formularium rumah sakit
7) Instalasi Farmasi tidak menerima resep dari luar Charitas Hospital Arga Makmur
8) Resep disimpan selama 5 (lima) tahun dan setelah itu dapat dimusnahkan sesuai
dengan undang-undang dan dibuat berita acara
2. PENYIAPAN (DISPENSING)
a. Dispensing
1) Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi dispensing sediaan farmasi dan
bahan medis habis pakai sesuai standar profesi dan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2) Untuk memenuhi kebutuhan setiap pasien, maka dilakukan penyiapan (dispensing)
sediaan farmasi dan BMHP.
3) Penyiapan (dispensing) adalah rangkaian proses mulai dari diterimanya
resep/permintaan obat/instruksi pengobatan sampai dengan penyerahan obat dan
BMHP kepada dokter/perawat atau kepada pasien/keluarga
4) Penyiapan obat dilakukan oleh staf yang terlatih dalam lingkungan yang aman bagi
pasien, staf dan lingkungan sesuai peraturan perundang-undangan dan standar praktik
kefarmasian untuk menjamin keamanan, mutu, manfaat dan khasiatnya.

60
5) Untuk menghindari kesalahan pemberian obat pada pasien rawat inap, maka obat yang
diserahkan harus dalam bentuk yang siap digunakan, dan disertai dengan informasi
lengkap tentang pasien dan obat.
6) Rumah sakit memiliki sistem distribusi dan dispensing yang sama/seragam diterapkan
di rumah sakit sesuai peraturan perundang-undangan.
7) Metode penyiapan sediaan farmasi dan BMHP untuk pasien, yaitu:
a) Persediaan di Ruang Rawat (Floor Stock):
 Penyiapan obat berdasarkan sistem persediaan di ruang rawat (floor stock)
adalah penyiapan obat yang dilakukan oleh perawat berdasarkan resep/instruksi
pengobatan yang ditulis oleh dokter.
 Sediaan farmasi dan BMHP disimpan di ruang rawat dengan penanggungjawab
perawat.
 Metode ini hanya untuk memenuhi kebutuhan dalam keadaan darurat.
 Jenis dan jumlah sediaan farmasi dan BMHP yang dapat dijadikan floor stock
ditetapkan oleh KFT.
b) Resep Perorangan (Individu)
 Penyiapan sediaan farmasi dan BMHP berdasarkan sistem resep perorangan
(individu) adalah penyiapan sediaan farmasi dan BMHP sesuai resep/instruksi
pengobatan yang ditulis dokter untuk tiap pasien dalam satu periode pengobatan
 contoh: dokter menuliskan resep untuk 7 hari, maka instalasi farmasi
menyiapkan obat yang dikemas untuk kebutuhan 7 hari.
 Metode penyiapan secara resep perorangan digunakan untuk pasien rawat jalan.
c) Dosis Unit (Unit Dose Dispensing UDD)
 Penyiapan sediaan farmasi dan BMHP secara unit dose adalah penyiapan
sediaan farmasi dan BMHP yang dikemas dalam satu kantong/wadah untuk satu
kali penggunaan obat (dosis), sehingga siap untuk diberikan ke pasien (ready to
administer).
 Obat yang sudah dikemas per dosis tersebut dapat disimpan di lemari obat
pasien di ruang rawat untuk persediaan tidak lebih dari 24 jam.
 Metode ini dapat meningkatkan keselamatan pasien, dan metode ini harus
digunakan dalam penyiapan obat untuk pasien rawat inap secara menyeluruh di
rumah sakit.
a. Dispensing Sediaan Steril

61
1) Dispensing sediaan steril dilakukan dengan teknik aseptik untuk menjamin sterilitas
dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat berbahaya serta
menghindari terjadinya kesalahan pemberian Obat.
2) Dispensing sediaan steril bertujuan:
a) menjamin agar pasien menerima Obat sesuai dengan dosis yang dibutuhkan;
b) menjamin sterilitas dan stabilitas produk;
c) melindungi petugas dari paparan zat berbahaya; dan menghindari terjadinya
kesalahan pemberian Obat.
3) Kegiatan dispensing sediaan steril meliputi :
a) Pencampuran Obat Suntik
Melakukan pencampuran Obat steril sesuai kebutuhan pasien yang menjamin
kompatibilitas dan stabilitas Obat maupun wadah sesuai dengan dosis yang
ditetapkan.
b) Kegiatan dalam pencampuran obat suntik:
 mencampur sediaan intravena ke dalam cairan infus;
 melarutkan sediaan intravena dalam bentuk serbuk dengan pelarut yang
sesuai;
 mengemas menjadi sediaan siap pakai.
c) Faktor yang perlu diperhatikan dalam pencampuran obat suntik:
 ruangan khusus;
 lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan
 HEPA Filter.
d) Penyiapan Nutrisi Parenteral
Merupakan kegiatan pencampuran nutrisi parenteral yang dilakukan oleh tenaga
yang terlatih secara aseptis sesuai kebutuhan pasien dengan menjaga stabilitas
sediaan, formula standar dan kepatuhan terhadap prosedur yang menyertai.
Charitas Hospital Arga Makmur tidak melakukan penyiapan nutrisi parenteral.
4) Faktor yang perlu diperhatikan dalam penyiapan sediaan steril:
a) ruangan khusus yang dirancang dengan kondisi yang sesuai;
b) lemari pencampuran Biological Safety Cabinet; dan HEPA filter;
c) Alat Pelindung Diri (APD);
d) sumber daya manusia yang terlatih; dan
b. Pengkajian dan pelayanan resep
1) Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pengkajian resep dan telaah obat
sesuai peraturan perundang-undangan dan standar praktik profesi

62
2) Pengkajian resep adalah kegiatan menelaah resep sebelum obat disiapkan, yang
meliputi pengkajian aspek administratif, farmasetik dan klinis.
3) TTK yang kompeten diberi kewenangan terbatas dalam Pengkajian resep hanya aspek
administrative dan farmasetik, dengan tujuan untuk mengidentifikasi dan
menyelesaikan masalah terkait obat sebelum obat disiapkan.
4) Apoteker diberi akses untuk mendapatkan informasi klinis pasien sehingga dapat
melakukan Pengkajian resep aspek klinis dengan baik.
5) Apoteker/tenaga teknis kefarmasian harus melakukan telaah obat sebelum obat
diserahkan kepada perawat/pasien. Untuk memastikan bahwa obat yang sudah
disiapkan itu tepat pasien, nama obat, dosis dan jumlah obat, rute pemberian, waktu
pemberian dan obat tidak kadaluarsa (6 Benar).
6) Pengkajian Resep dilakukan untuk menganalisa adanya masalah terkait obat.
7) Apoteker konsultasi langsung ke dokter penulis Resep bila dijumpai masalah terkait
obat.
8) Apoteker melakukan pengkajian Resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan
farmasetik, dan persyaratan klinis untuk pasien rawat inap dan pasien rawat jalan.
9) Persyaratan administrasi meliputi:
a) Kesesuaian identitas pasien (nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi
badan pasien);
b) Identitas dokter penulis resep (nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter);
c) tanggal Resep; dan asal Resep.
10) Persyaratan farmasetik meliputi:
a) nama Obat, bentuk dan kekuatan sediaan;
b) dosis dan Jumlah Obat;
c) instruksi cara pembuatan (jika diperlukan peracikan)
d) stabilitas dan inkompatibilitas sediaan
e) aturan dan cara penggunaan.
11) Pengkajian resep aspek klinis meliputi:
a) Ketepatan identitas pasien, obat, dosis, frekuensi, aturan pakai dan waktu
pemberian.
b) Duplikasi pengobatan.
c) Potensi alergi atau hipersensitivitas dan reaksi yang tidak dikehendaki (ROTD)
d) Interaksi antara obat dan obat lain atau dengan makanan.
e) Variasi kriteria penggunaan dari rumah sakit, misalnya membandingkan dengan
panduan praktik klinis, formularium nasional.

63
f) Berat badan pasien dan atau informasi fisiologis lainnya.
g) Kontraindikasi dan interaksi obat
12) Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP termasuk peracikan Obat, pemeriksaan,
penyerahan disertai pemberian informasi.
13) Cek dilakukan pada setiap tahap alur pelayanan Resep sebagai upaya pencegahan
terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error).
c. Pelabelan pada obat yang telah disiapkan (etiket obat)
1) Obat yang sudah disiapkan diberi etiket yang meliputi identitas pasien, nama obat, dosis
atau konsentrasi, cara pemakaian, waktu pemberian, tanggal dispensing dan tanggal
kedaluwarsa/beyond use date (BUD).
2) Semua perbekalan farmasi yang sudah dikeluarkan dari tempat/wadah aslinya harus
diberi label.
3) Semua hasil produksi harus diberi label/harus ada label yang berisi informasi:
a) Tanggal produksi/pembuatan
b) Nama obat, kekuatan dan bentuk sediaan
c) Cara penyimpanan
d) Tanggal kadaluarsa atau Beyond Use Date
4) Semua obat yang disiapkan dari Instalasi Farmasi harus diberi label/etiket
5) Semua obat yang disiapkan perawat harus diberi label (dioplos oleh perawat)
6) Etiket yang dibuat manual oleh TTK dan/atau Apoteker dengan menuliskan tanggal
pembuatan resep, nama pasien, nama obat, dan aturan pakai obat.
7) Etiket electrik harus dilengkapi informasinya/harus diisi/entry spy terisi dan lengkap
informasinya.
8) Obat injeksi yang telah disiapkan atau dilarutkan harus diberi label yang berisi :
a) Identitas pasien (nama pasien, nomor rekam medis)
b) Ruangan dan nomor kamar
c) Nama obat
d) Kekuatan obat
e) Tanggal dan jam penyiapan/pencampuran
f) Nama dan jumlah pelarut
g) Beyond Use Date untuk obat yang sudah dilarutkan.
3. PEMBERIAN OBAT
3.1 Rumah sakit menetapkan dan menerapkan regulasi pemberian obat sesuai peraturan
perundang-undangan.

64
3.2 Pemberian obat merupakan tahap akhir dalam proses penggunaan obat
sebelum obat masuk ke dalam tubuh pasien. Tahap ini merupakan tahap yang kritikal
ketika terjadi kesalahan obat (medication error) karena pasien akan langsung terpapar
dan dapat menimbulkan cedera
3.3 Apoteker atau TTK akan memberi informasi kepada pasien tentang obat yang akan
diberikan.
a. Staf klinis yang kompeten dan berwenang memberikan obat
1) Rumah Sakit menetapkan Staf yang termasuk profesional pemberi asuhan (PPA) yang
kompeten dan berwenang untuk melakukan pemberian obat dengan rincian
kewenangan klinisnya yang telah diatur dalam proses kredensial.
2) Daftar staf klinis yang kompeten dan berwenang memberikan obat bisa diakses di unit-
unit terkait.
3) Pembatasan terhadap staf klinis dalam melakukan pemberian obat narkotika,
psikotropika, sesuai yang termuat dalam kewenangan klinis staf yang bersangkutan.
4) Rumah sakit membatasi kewenangan staf klinis dalam melakukan pemberian
obat, misalnya pemberian obat anestesi.
5) Rumah sakit tidak melakukan pemberian obat yang bersifat radioaktif dan obat
penelitian.
6) Dalam keadaan darurat, staf klinis yang memiliki ijin praktek di Charitas Hospital Arga
Makmur dapat melakukan pemberian obat dengan tetap dilakukan konsultasi kepada
dokter yang lebih kompeten.
7) Jadwal pemberian obat dikeperawatan dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang telah
ditetapkan, meliputi:
a) Waktu pemberian obat oral (p.c)
b) Waktu pemberian obat oral (a.c)
c) Waktu pemberian obat oral (d.c)
d) Waktu pemberian obat injeksi (p.c)
e) Waktu pemberian obat injeksi (a.c)
f) Waktu pemberian obat injeksi (d.c)
7) Pemberian obat untuk pertama kali di ruang perawatan segera diberikan oleh perawat
ruangan setelah adanya instruksi dokter, dan pemberian selanjutnya mengikuti jadwal
pemberian obat.
8) Untuk pemberian injeksi, sebelum dan sesudah memberikan obat, perawat melakukan
cuci tangan dan menggunakan APD sesuai yang telah ditetapkan.

65
9) Petugas yang sedang memberikan obat kepada pasien tidak boleh diganggu atau
diinterupsi kecuali dalam keadaan darurat, hal ini dimaksudkan supaya petugas fokus
dan tidak terjadi kesalahan pemberian obat.
10) Pemberian obat injeksi dilakukan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan, yaitu
dengan menggunakan teknik aseptkc dan lama penyuntikan harus sesuai dengan
ketentuan obat tersebut.
11) Pemberian obat untuk pasien rawat jalan dilakukan oleh Apoteker dan dibantu oleh
Tenaga Teknis Kefarmasian setelah dilakukan pengkajian resep telaah resep.
12) Jadwal pemberian obat untuk pasien rawat inap adalah sebagai berikut:
Signa Waktu Pembagian Obat (pukul)
1x1 pagi 08.00-09.00
1x1 malam 20.00-21.00
2x1 08.00-09.00 20.00-21.00
3x1 08.00-09.00 15.00-16.00 20.00-21.00
4x1 06.00-07.00 12.00-13.00 18.00-19.00 22.00-23.00
5x1 06.00-07.00 10.00-11.00 15.00-16.00 20.00-21.00 23.00-24.00
Waktu pemberian obat AC (ante Coenam) : Diberikan 30 menit sebelum makan
1 x 1 pagi jam 06.30
2 x 1 siang jam 06.30
3 x 1 sore jam 06.30 - jam 11.30 - jam 17.30
13) Perawat mendokumentasikan pemberian obat di rekam medis (daftar Pemberian Obat
Satu Kali, dan pemberian infus di Lembar catatan intake dan output).
14) Obat yang tidak diberikan harus didokumentasikan dan alasan dijelaskan di lembar
catatan perkembangan terintegrasi
b. Verifikasi Obat saat Pemberian Obat:
1) Sebelum memberikan obat, petugas yang akan memberikan obat melakukan proses
verifikasi obat untuk memastikan obat sudah benar menurut resep atau pesanan
(instruksi) obat sesuai dengan prinsip 6 benar.
2) Rumah sakit menerapkan prinsip 6 Benar dalam Pemberian obat, yaitu: Benar Identitas
Pasien, Benar Nama Obat, Benar Dosis Obat, Benar Waktu Pemberian, Benar Cara
Pemberian dan Benar Obat tidak Kadaluarsa.
3) Sebelum pemberian obat kepada pasien, petugas harus melakukan independent double
check dengan prinsip 6 Benar.
4) Untuk obat yang bukan golongan HAM, independent double check dilakukan oleh
perawat yang berbeda dengan perawat yang menyiapkan obat .

66
 Khusus untuk obat HAM, independent double check dilakukan oleh perawat yang
levelnya lebih tinggi dari perawat yang menyiapkan obat.
 Sebelum obat diberikan, petugas memberikan informasi tentang obat yang
diberikan kepada pasien berupa nama obat dan indikasi obat serta terdokumentasi
pada rekam medis pada bagian edukasi harian (untuk rawat inap dikeperawatan).
 Untuk pasien rawat jalan terdokumentasi pada lembar resep di kolom yang telah
disediakan.
5) Obat yang termasuk golongan obat high alert, harus dilakukan double checking untuk
menjamin ketepatan pemberian obat.
c. Obat yang dibawa pasien dari luar rumah sakit dan penggunaan obat oleh pasien
secara mandiri
1) Penggunaan obat yang dibawa pasien dari luar rumah sakit
a) Rumah sakit melakukan penilaian terhadap obat yang dibawa pasien dari luar
rumah sakit kelayakan penggunaannya di rumah sakit karena obat yang dibawa
pasien/keluarga dari luar rumah sakit berisiko dalam hal identifikasi/keaslian dan
mutu obat.
b) Pasien tidak diperkenankan membawa obat dari luar selama menjalani perawatan di
Charitas Hospital Arga Makmur, kecuali karena:
 benar-benar dibutuhkan oleh pasien dan tidak tersedia alternatifnya, atau
 obat tidak masuk dalam formularium, dan
 obat yang dipakai pasien karena meneruskan terapi sebelumnya.
c) Obat yang dibawa oleh pasien dari luar rumah sakit dilakukan penilaian keaslian
dan mutu obat oleh apoteker, TTK, atau perawat, dengan cara: memeriksa identitas
pasien, nama obat, dosis, aturan pakai, ijin edar, tanggal kadaluarsa/Beyond Use
Date (BUD),sumber obat, dan memastikan kualitas fisik obat layak digunakan.
d) Sediaan Farmasi, Alat kesehatan, dan BMHP yang dibawa oleh pasien dapat
digunakan bila telah diperiksa dan terbukti layak digunakan serta mendapat
persetujuan dari Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP).
e) Obat dari rumah yang disetujui oleh DPJP untuk dipakai lagi, wajib diberi label.
f) DPJP menuliskan obat yang disetujui untuk dipakai dan terdokumentasi di rekam
medis baik manual maupun SIMRS.
g) Obat yang dibawa oleh pasien disimpan dan dikelola sepengetahuan Instalasi
Farmasi sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.
h) Obat yang dibawa oleh pasien tetapi tidak dipakai, wajib diberi penandaan STOP
dan disimpan sesuai ketentuan yang berlaku.

67
2) Penggunaan obat oleh pasien secara mandiri (self administration)
a) Penggunaan obat oleh pasien secara mandiri, baik yang dibawa dari luar rumah
sakit atau yang diresepkan dari rumah sakit harus diketahui oleh dokter yang
merawat dan dicatat di rekam medis pasien.
b) Penggunaan obat oleh pasien sendiri dilakukan seijin DPJP, dan DPJP menuliskan
instruksi penggunaannya di rekam medis.
c) Pasien menggunakan obat sendiri setelah mendapatkan edukasi yang memadai dari
dokter, perawat, bidan, atau apoteker, dan dilakukan proses untuk memastikan
pasien dapat menggunakannya sendiri secara tepat.
d) Penggunaan obat sendiri oleh pasien yang bersangkutan dipantau secara kolaboratif
oleh dokter, perawat, bidan, atau Apoteker sesuai edukasi yang diterima pasien.
e) Penggunaan obat sendiri oleh pasien selalu didokumentasikan oleh perawat setiap
kali telah digunakan dan terlihat di rekam medis.
f) Contoh obat yang dapat digunakan sendiri oleh pasien: Seretide diskus, Insulin
flexpen.
d. Pelayanan Informasi Obat (PIO)
1) Pelayanan Informasi Obat (PIO) merupakan kegiatan penyediaan dan pemberian
informasi, rekomendasi Obat yang independen, akurat, tidak bias, terkini dan
komprehensif yang dilakukan oleh Apoteker kepada dokter, Apoteker, perawat, profesi
kesehatan lainnya serta pasien dan pihak lain di luar Rumah Sakit.
2) Tujuan PIO:
a) menyediakan informasi mengenai Obat kepada pasien dan tenaga Kesehatan di
lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah Sakit;
b) menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan
Obat/Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP, terutama bagi KFT;
c) menunjang penggunaan Obat yang rasional.
3) Kegiatan PIO meliputi:
a) menjawab pertanyaan;
b) menerbitkan buletin, leaflet, poster, newsletter;
c) menyediakan informasi bagi KFT sehubungan dengan penyusunan Formularium
Rumah Sakit;
d) bersama dengan Tim Penyuluhan Kesehatan Rumah Sakit (PKRS) melakukan
kegiatan penyuluhan bagi pasien rawat jalan dan rawat inap;
e) melakukan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan
lainnya; dan

68
f) melakukan penelitian
4) factor-faktor yang perlu diperhatikan dalam PIO:
a) sumber daya manusia;
b) tempat; dan
c) perlengkapan
e. Konseling
1) Konseling Obat adalah suatu aktivitas pemberian nasihat atau saran terkait terapi Obat
dari Apoteker (konselor) kepada pasien dan/atau keluarganya.
2) Konseling diberikan oleh apoteker untuk pasien rawat jalan dan rawat inap. Konseling
dilakukan atas inisitatif Apoteker, rujukan dokter, keinginan pasien atau keinginan
keluarga pasien.
3) Tujuan pemberian konseling Obat untuk mengoptimalkan hasil terapi, meminimalkan
risiko reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ROTD), dan meningkatkan costeffectiveness
dan meningkatkan keamanan penggunaan Obat bagi pasien (patient safety).
4) Secara khusus konseling Obat ditujukan untuk:
a) meningkatkan hubungan kepercayaan antara Apoteker dan pasien;
b) menunjukkan perhatian serta kepedulian terhadap pasien;
c) membantu pasien untuk mengatur dan terbiasa dengan Obat;
d) membantu pasien untuk mengatur dan menyesuaikan penggunaan Obat dengan
penyakitnya;
e) meningkatkan kepatuhan pasien dalam menjalani pengobatan;
f) mencegah atau meminimalkan masalah terkait Obat;
g) meningkatkan kemampuan pasien memecahkan masalahnya dalam hal terapi;
h) mengerti permasalahan dalam pengambilan keputusan; dan
i) Membimbing dan mendidik pasien dalam penggunaan Obat sehingga dapat
mencapai tujuan pengobatan dan meningkatkan mutu pengobatan pasien.
5) Kegiatan dalam konseling Obat meliputi:
a) membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien;
b) mengidentifikasi tingkat pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui Three
Prime Questions;
c) menggali informasi lebih lanjut dengan memberi kesempatan kepada pasien untuk
mengeksplorasi masalah penggunaan Obat;
d) Memberikan penjelasan kepada pasien untuk menyelesaikan masalah pengunaan
Obat;

69
e) melakukan verifikasi akhir dalam rangka mengecek pemahaman pasien dan
dokumentasi.
6) Faktor yang diperhatikan dalam konseling obat:
a) Kriteria Pasien:
 pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan
menyusui);
 pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dll);
 pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus (penggunaan
kortiksteroid dengan tappering down/off);
 pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
phenytoin);
 pasien yang menggunakan banyak Obat (polifarmasi); dan
 pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
b) Sarana dan Peralatan:
 ruangan atau tempat konseling; dan
 alat bantu konseling (kartu pasien/catatan konseling)
f. Visite
1) Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker
secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis
pasien secara langsung, dan mengkaji masalah terkait Obat, memantau terapi Obat dan
Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki, meningkatkan terapi Obat yang rasional, dan
menyajikan informasi Obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
2) Visite juga dapat dilakukan pada pasien yang sudah keluar Rumah Sakit baik atas
permintaan pasien dan sesuai dengan program Rumah Sakit, misal Pelayanan
Kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care).
3) Apoteker mengumpulkan informasi mengenai kondisi pasien dan memeriksa terapi
Obat dari rekam medik atau sumber lain, sebelum visite kepasien.
4. PEMANTAUAN (MONITOR)
a. Pemantauan Terapi Obat (PTO)
1) Rumah sakit menerapkan pemantauan terapi obat secara kolaboratif dengan tujuan
mengoptimalkan terapi obat terhadap pasien. Pemantauan terapi obat secara kolaboratif
melibatkan tenaga profesional pemberi asuhan (PPA) dan pasien.
2) Pemantauan meliputi efek yang diharapkan dan efek samping obat.
3) Pemantauan terapi obat didokumentasikan di dalam catatan perkembangan pasien
terintegrasi (CPPT) di rekam medis.

70
4) Pemantauan Terapi Obat (PTO) merupakan suatu proses yang mencakup kegiatan
untuk memastikan terapi Obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien.
5) Tujuan PTO adalah meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalkan risiko Reaksi
Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD).
6) Kegiatan dalam PTO meliputi:
a) pengkajian pemilihan Obat, dosis, cara pemberian Obat, respons terapi, Reaksi Obat
yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
b) pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat; dan
c) pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.
7) Tahapan PTO:
a) pengumpulan data pasien;
b) identifikasi masalah terkait Obat;
c) rekomendasi penyelesaian masalah terkait Obat;
d) pemantauan; dan
e) tindak lanjut
8) Faktor yang harus diperhatikan dalm PTO:
a) kemampuan penelusuran informasi dan penilaian kritis terhadap bukti terkini dan
terpercaya (Evidence Best Medicine);
b) kerahasiaan informasi; dan
c) kerjasama dengan tim kesehatan lain (dokter dan perawat)
b. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
1) Rumah sakit menerapkan sistem pemantauan dan pelaporan efek samping obat untuk
meningkatkan keamanan penggunaan obat sesuai peraturan perundang-undangan. Efek
samping obat dilaporkan ke KFT dan Rumah sakit melaporkan efek samping obat ke
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sesuai dengan prosedur yang berlaku.
2) Monitoring Efek Samping Obat (MESO) merupakan kegiatan pemantauan setiap
respon terhadap Obat yang tidak dikehendaki, yang terjadi pada dosis lazim yang
digunakan pada manusia untuk tujuan profilaksis, diagnosa dan terapi.
3) Efek Samping Obat adalah reaksi Obat yang tidak dikehendaki yang terkait dengan
kerja farmakologi.
4) Tujuan MESO:
a) menemukan Efek Samping Obat (ESO) sedini mungkin terutama yang berat, tidak
dikenal, dan yang frekuensinya jarang;
b) menentukan frekuensi dan insidensi ESO yang sudah dikenal dan yang baru
ditemukan;

71
c) mengenal semua faktor yang mungkin dapat menimbulkan/mempengaruhi angka
kejadian dan hebatnya ESO;
d) meminimalkan risiko kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki; dan
e) mencegah terulangnya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki.
5) Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO:
a) mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO);
b) mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami
ESO;
c) mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo;
d) mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di KFT;
e) melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional.
6) Faktor yang perlu diperhatikan:
a) kerjasama dengan KFT dan ruang rawat; dan
b) ketersediaan formulir MESO
c. Evaluasi Penggunaan Obat (EPO)
1) EPO merupakan program evaluasi penggunaan obat yang terstruktur dan
berkesinambungan secara kualitatif dan kuantitatif.
2) Tujuan EPO:
a) mendapatkan gambaran keadaan saat ini atas pola penggunaan Obat;
b) membandingkan pola penggunaan Obat pada periode waktu tertentu;
c) memberikan masukan untuk perbaikan penggunaan Obat; dan
d) menilai pengaruh intervensi atas pola penggunaan Obat.
3) Kegiatan praktek EPO
a) mengevaluasi pengggunaan Obat secara kualitatif; dan
b) mengevaluasi pengggunaan Obat secara kuantitatif.
4) Faktor-faktor yang perlu diperhatikan:
a) indikator peresepan;
b) indikator pelayanan; dan indikator fasilitas
d. Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD)
1) Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) merupakan interpretasi hasil
pemeriksaan kadar Obat tertentu atas permintaan dari dokter yang merawat karena
indeks terapi yang sempit atau atas usulan dari Apoteker kepada dokter.
2) Tujuan PKOD:
a) mengetahui Kadar Obat dalam Darah; dan
b) memberikan rekomendasi kepada dokter yang merawat.

72
3) Kegiatan PKOD meliputi:
a) melakukan penilaian kebutuhan pasien yang membutuhkan Pemeriksaan Kadar Obat
dalam Darah (PKOD);
b) mendiskusikan kepada dokter untuk persetujuan melakukan Pemeriksaan Kadar Obat
dalam Darah (PKOD); dan
c) menganalisis hasil Pemeriksaan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) dan memberikan
rekomendasi
e. Medication Error
1) Rumah sakit mengatur langkah-langkah untuk menerapkan medication safety yang
bertujuan mengarahkan penggunaan obat yang aman dan meminimalisasi
kemungkinan terjadi kesalahan penggunaan obat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2) Medication error didefinisikan sebagai setiap kejadian yang sebenarnya dapat
dicegah yang dapat menyebabkan atau membawa kepada penggunaan obat yang
tidak layak atau membahayakan pasien, ketika obat berada dalam kontrol petugas
kesehatan, pasien, atau konsumen.
3) Setiap kesalahan obat yang ditemukan wajib dilaporkan oleh petugas yang menemukan
atau terlibat langsung dengan kejadian tersebut melalui SIMRS.
4) Proses identifikasi terhadap jenis mediacation error dilakukan oleh petugas yang telah
ditetapkan dan sesuai prosedur yang berlaku.
5) Jenis-jenis medication error terdiri dari prescribing error, dispensing error,
administration error.
6) Tipe-tipe medication error yaitu : unauthorized drug, improper dose/quantity, wrong
dose preparation method, wrong dosage form, wrong patient, omission error, extra
dose, prescribing error, extra dose, prescribing error, wrong administration technique,
wrong time.
7) Rumah sakit menetapkan dan menerapkan proses pelaporan serta tindak lanjut
terhadap kesalahan obat (medication error) dan berupaya menurunkan kejadiannya.
Pelaporan medication error mengikuti alur pelaporan Insiden Keselamatan Pasien
(IKP).
8) Insiden kesalahan obat (medication error) merupakan penyebab utama cedera pada
pasien yang seharusnya dapat dicegah. Untuk meningkatkan keselamatan pasien, rumah
sakit berupaya mengurangi terjadinya kesalahan obat dengan membuat sistem pelayanan
kefarmasian dan penggunaan obat yang lebih aman (medication safety).
9) Tipe kesalahan obat (medication errors) yang harus dilaporkan :

73
a) Kejadian Potensi Cedera (KPC)
b) Kejadian Nyaris Cedera (KNC) adalah terjadinya insiden yang belum sampai
terpapar ke pasien berkaitan dengan kesalahan obat yang telah terjadi pada proses
pengadaan, penyimpanan, distribusi, dispensing, permintaan, peresepan, persiapan,
pemberian, dan pemantauan; tetapi diketahui sebelum obat diberikan kepada pasien
sehingga obat tidak digunakan oleh pasien.
c) Kejadian Tidak Cedera (KTC) adalah terjadinya insiden yang sudah sampai
terpapar ke pasien tetapi tidak menimbulkan cedera berkaitan dengan kesalahan
obat yang telah terjadi pada proses pengadaan, penyimpanan, distribusi, dispensing,
permintaan, peresepan, persiapan, pemberian, dan pemantauan; tetapi pasien tidak
mengalami cedera.
d) Kejadian Tidak Diharapkan (KTD) / Adverse Event adalah kesalahan obat yang
terjadi pada proses pengadaan, penyimpanan, distribusi, dispensing, permintaan,
peresepan, persiapan, pemberian, dan pemantauan; dan pasien mengalami cedera.
e) Sentinel Event adalah kesalahan obat yang terjadi pada proses pengadaan,
penyimpanan, distribusi, dispensing, permintaan, peresepan, persiapan, pemberian,
dan pemantauan; sehingga pasien mengalami cedera irreversible dan kematian.
10) Rumah Sakit memiliki upaya mendeteksi, mencegah dan menurunkan kesalahan obat
dalam meningkatkan mutu proses penggunaan obat.
11) Rumah sakit memberikan pelatihan kepada staf rumah sakit tentang kesalahan obat
dalam rangka upaya perbaikan dan untuk mencegah kesalahan obat, serta
meningkatkan keselamatan pasien.
12) Laporan yang ada akan ditindak lanjutin sesuai jenjang yang telah ditetapkan. Proses
pelaporan kesalahan penggunaan obat ini (medication error) merupakan bagian dari
program kendali mutu keselamatan pasien rumah sakit. Laporan ditujukan kepada tim
keselamatan pasien rumah sakit dan laporan ini digunakan untuk mencegah kesalahan
dikemudian hari.
13) Investigasi dilakukan sesuai tingkatannya.
14) Tindak lanjut terhadap mediacation error dilakukan untuk menurunkan angka
kejadiannya.
15) Proses identifikasi terhadap jenis mediacation error dilakukan oleh petugas yang telah
ditetapkan dan sesuai prosedur yang berlaku.
D. PELAYANAN INSTALASI FARMASI
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit mencakup kegiatan manajerial dan
pelayanan farmasi klinis, yang meliputi pengelolaan sediaan obat dan Bahan Medis Habis

74
Pakai (BMHP), pelayanan farmasi klinik serta pengawasan obat dan BMHP. Semua
kegiatan itu berpusat pada pasien.
Secara garis besar pelayanan kefarmasian yang berpusat pada pasien, akan diuraikan
secara singkat sebagai berikut :
1. GUDANG SENTRAL FARMASI
1.1. Alur Perencanaan kebutuhan dan proses pembelian sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP
a. Kepala Instalasi Farmasi melakukan perhitungan perencanaan kebutuhan
Sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai menggunakan
metode kombinasi konsumsi dan epidemiologi dengan mempertimbangkan
anggaran yang tersedia yang didasarkan atas analisa data konsumsi tahun
berjalan.
b. Kepala Instalasi Farmasi mengumpulkan data yang diperlukan untuk pembuatan
perencanaan dengan kombinasi konsumsi dan epidemiologi, data yang digunakan
yaitu:
1) Data pemakaian sediaan farmasi, alat kesehatan dan bahan medis habis pakai
dari semua unit periode yang lalu.
2) Data sisa stock yang ada di Gudang Sentral Farmasi baik rawat inap maupun
rawat jalan tergantung untuk pemesanan rawat inap atau rawat jalan.
3) Kepala Instalasi Farmasi dalam perencanaan kebutuhan perlu
mempertimbangkan, anggaran yang tersedia, penetapan prioritas, sisa
persediaan, data pemakaian periode yang lalu, waktu tunggu pemesanan (lead
time) dan rencana pengembangan.
4) Kepala Instalasi Farmasi mengambil data pemakaian sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP dan data sisa stock yang ada di GSF dalam SIMRS pada
tahun berjalan dan menghitung rata-rata perbulan pemakaiannya.
5) Kepala Instalasi Farmasi melakukan perhitungan kebutuhan Sediaan Farmasi,
Alat Kesehatan dan BMHP menggunakan metode konsumsi.
6) Setelah diperoleh hasil penghitungan perencanaan kebutuhan dengan metode
konsumsi maka hasil perhitungan dalam nominal (rupiah) akan digunakan
sebagai pengajuan anggaran tahunan yang akan diserahkan ke bagian anggaran
rumah sakit.
7) Anggaran yang setelah disetujui oleh rumah sakit, digunakan sebagai dasar
untuk pembelian obat, alat kesehatan,dan BMHP.
1.2. Alur pengadaan sedian farmasi, alat Kesehatan dan BMHP

75
a. Petugas Gudang Sentral Farmasi (GSF) menyusun daftar sediaan farmasi, alat
kesehatan, BMHP yang akan dibeli melalui metode Re-Order Purchase (ROP) atau
metode planning and order stock dalam SIMRS dan dari daftar permintaan dari
bagian/unit yang tidak distok
b. Petugas GSF membuat surat pesanan (SP) melalui SIMRS dari sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP berdasarkan daftar permintaan dari bagian/unit yang tidak
distok di GSF dan berdasarkan hasil ROP atau Planing and order stock dari SIMRS.
c. Kepala Instalasi Farmasi mengecek dan menandatangani surat pesanan dan
membubuhkan cap rumah sakit.
d. Surat pesanan disetujui dan ditandatangani oleh Tim pengadaan GB, dan atau
direktur rumah sakit, dan atau wakil direktur penunjang medis sesuai nilai pembelian
berdasarkan juknis kewenangan pembelian.
e. Petugas GSF akan melakukan pemesanan pembelian sediaan farmasi, alat
kesehatan dan BMHP sesuai yang tertera dalam SP.
f. Petugas GSF menyerahkan 2 lembar SP ke pihak distributor melalui petugas
(salesman) yang datang dan mengarsipkan lembar ketiga untuk digunakan sebagai
kontrol ketika barang datang.
g. Petugas GSF akan menghubungi distributor melalui telepon, e-mail atau fax apabila
salesman tidak datang atau karena persyaratan dari distributor.
1.3. Alur penerimaan
Penerimaan Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan dan BMHP menggunakan sistem satu
pintu, yaitu melalui GSF, harus sesuai dengan Surat Pesanan (SP), dan
didokumentasikan secara lengkap, serta dilakukan penerimaan dan pendistribusian
melalui Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS).
1.4. Alur penyimpanan
Penyimpanan dilakukan sesuai dengan bentuk sediaan dan disusun dengan metode FEFO
dan FIFO.
2. PELAYANAN RESEP FARMASI RAWAT JALAN
2.1 Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) menerima lembar resep (untuk resep manual) atau
slip pendaftaran pasien (untuk resep elektric) yang diantar oleh perawat/petugas lain
atau dibawa sendiri oleh pasien.
2.2 TTK memanggil pasien sesuai urutan antrian ke loket Pelayanan Farmasi dan
melakukan identifikasi pasien untuk memastikan kesesuaian dengan resep, meliputi
nama lengkap pasien, tanggal lahir pasien, nama dokter dan penjamin.

76
2.3 TTK mengecek persyaratan obat yang dijamin oleh asuransi atau perusahaan penjamin
dan jika obat yang diresepkan belum jelas terkait penjaminannya, TTK melakukan
konfirmasi ke tim provider rumah sakit atau ke perusahaan/asuransi secara langsung.
2.4 TTK penerima resep melakukan pengkajian resep administrasi dan farmasetik sesuai
prosedur pengkajian resep.
2.5 TTK lain mengecek resep yang sudah diketik, jika sudah benar maka TTK menuliskan
nama dan tanda tangan pada kolom tampil (T) dan kemudian obat disiapkan sesuai
dengan resep dan masing-masing ditempatkan pada wadah sendiri-sendiri.
2.6 Apoteker melakukan pengkajian resep secara klinis.
2.7 Apoteker/ TTK melakukan klarifikasi kepada dokter penulis resep atau pemberi
instruksi obat bila hasil pengkajian menemukan masalah obat.
2.8 TTK membuat etiket obat menggunakan etiket elektronik dengan memasukkan nomor
rekam medis pasien. Etiket obat meliputi identitas pasien, nama obat, dosis atau
konsentrasi, cara pemakaian, waktu pemberian, tanggal disiapkan, dan tanggal
kadaluarsa.
2.9 Pengerjaan resep non racikan dan racikan.
 TTK melakukan prosedur kebersihan tangan sesuai dengan prosedur kebersihan
tangan.
 TTK melakukan pengecekan hasil pengerjaan resep, dan menuliskan nama dan
tanda tangan pada kolom cek (C1). Pengecekan dilakukan sesuai dengan prinsip
6 Benar meliputi benar nama pasien, benar nama obat, benar dosis obat,benar
waktu pemberian obat, benar cara pakai obat dan benar kadaluarsa obat.
 TTK yang diberi kewenangan khusus atau TTK Penanggung jawab shift atau
Apoteker melakukan telaah obat yang telah selesai disiapkan untuk memastikan
bahwa obat yang disiapkan sudah sesuai dengan resep/ instruksi pengobatan
sesuai dengan prinsip 6 Benar.
 Resep racikan di cek kembali perihal hitungan resep, sesuaikan etiket racikan
dengan lembar instruksi racikan dan resep.
 Setelah melakukan pengecekan maka TTK atau Apoteker menuliskan nama/
tanda tangan pada kolom cek dan menulis nama pasien pada lembar cek resep.
 Resep siap di serahkan ke pasien.
 Untuk pasien yang menolak mengambil, TTK melakukan identifikasi pasien
dengan menanyakan nama lengkap, tanggal lahir, dan Dokter, TTK mencari
resep elektrik pada program order handling dan membuat salinan resep secara
elektrik atau manual, kemudian menyerahkan Salinan resep kepada pasien.

77
3. PELAYANAN RESEP FARMASI RAWAT INAP
3.1 Alur Pelayanan pengerjaan resep rawat inap sebagai berikut :
 Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) mengecek resep pasien rawat inap dari
SIMRS.
 Apoteker atau TTK rawat inap melakukan pengkajian resep sesuai dengan standar
prosedur operasional pengkajian daftar obat/resep.
 TTK rawat inap mengentri DO dan/atau resep dan mencetak lembar resep.
 TTK menuliskan jam penerimaan resep pada kolom yang tersedia.
 TTK lain mengecek resep yang diketik, jika sudah benar maka TTK menuliskan
nama/tanda tangan pada kolom tampil (T).
 TTK membuat etiket obat menggunakan etiket elektronik dengan memasukkan
nomor rekam medis pasien.
 Pengerjaan resep non racikan dan racikan
 TTK melakukan pengecekan hasil pengerjaan resep, dan menuliskan nama dan
tanda tangan pada kolom cek (C1). Pengecekan dilakukan dilakukan sesuai
dengan prinsip 6 Benar meliputi benar nama pasien, benar nama obat, benar dosis
obat, benar waktu pemberian, benar cara pakai obat dan benar obat tidak
kadaluarsa.
 Lembar resep dan obat yang telah disiapkan diletakkan dalam nampan dan
disusun sesuai dengan urutan waktu pengiriman resep.
 TTK yang diberi kewenangan/Penanggung jawab shift atau Apoteker melakukan
pengecekan/telaah obat sesuai dengan prinsip 6 benar, kemudian menuliskan
nama / tanda tangan pada kolom cek (C2).
 Lembar resep dan obat diletakkan pada nampan dan siap diserahkan.
3.2 Alur Pengerjaan unit dose dispensing (UDD) rawat inap :
 Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK) menyiapkan bukti serah terima resep.
 TTK melakukan kebersihan tangan sesuai dengan prosedur kebersihan tangan.
 TTK mengambil obat-obat sesuai dengan kebutuhan harian pasien.
 TTK mempersiapkan embalase (kemasan) UDD untuk masing-masing pasien dan
diberi label yang berisi identitas pasien (nama pasien, tanggal lahir, nomor rekam
medis), nomor Resep, tanggal penulisan resep, nama obat ( merek dagang dan
nama generik obat), kekuatan obat, bentuk sediaan obat, aturan pakai obat, cara
pakai obat, dan tanggal kadaluarsa obat atau Beyond Use Date (untuk obat
racikan).

78
 TTK menyiapkan obat sesuai dengan yang akan digunakan pasien dalam
embalase UDD untuk PAGI – SIANG – SORE atau MALAM.
 Obat injeksi disiapkan beserta pelarutnya yang diberi label identitas pasien (nama
pasien, tanggal lahir, nomor rekam medis), nama pelarut dan jumlah pelarut, obat
yang akan dilarutkan dan waktu kadaluarsa.
 TTK/Apoteker lain melakukan pengecekan pada obat yang telah disiapkan sesuai
dengan DO dan obat yang akan dikonsumsi pasien. Pengecekan dilakukan sesuai
prinsip 6 Benar.
 TTK/Apoteker yang menyiapkan dan yang melakukan double check menuliskan
nama dan sisa obat pada DO.
 TTK memasukkan obat yang telah disiapkan untuk masing-masing pasien dalam
troli tiap ruangan untuk siap dibagikan pada pasien.
4. PELAYANAN FARMASI KLINIK
Pelayanan Farmasi klinik dilakukan oleh Apoteker sesuai dengan kewenangan klinisnya,
baik di ruang rawat inap keperawatan maupun di Farmasi Rawat Jalan. Pelayanan Farmasi
Klinik yang dilakukan di Charitas Hospital Arga Makmur, meliputi:
4.1 Pengkajian dan pelayanan Resep
Apoteker melakukan pengkajian Resep sesuai persyaratan administrasi, persyaratan
farmasetik, dan persyaratan klinis baik untuk pasien rawat inap maupun rawat jalan.
Persyaratan administrasi meliputi:
 nama, umur, jenis kelamin, berat badan dan tinggi badan pasien;
 nama, nomor ijin, alamat dan paraf dokter;
 tanggal Resep;
 ruangan/unit asal Resep
Persyaratan farmasetik meliputi:
 nama Obat, bentuk dan kekuatan sediaan;
 dosis dan Jumlah Obat;
 stabilitas;
 aturan dan cara penggunaan.
Persyaratan klinis meliputi:
 ketepatan indikasi, dosis dan waktu penggunaan Obat;
 duplikasi pengobatan;
 alergi dan Reaksi Obat yang Tidak Dikehendaki (ROTD);
 kontraindikasi; dan
 interaksi Obat.

79
Pelayanan Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan Sediaan
Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP termasuk peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan
disertai pemberian informasi. Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya
pencegahan terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error).
4.2 Penelusuran riwayat penggunaan Obat
Kegiatan penelusuran riwayat penggunaan obat meliputi:
 penelusuran riwayat penggunaan obat kepada pasien/keluarganya; dan
 melakukan penilaian terhadap pengaturan penggunaan obat pasien.
Dalam penelusuran Riwayat penggunaan obat adalah harus didapatkan informasi yang
mencakup nama obat (termasuk obat non Resep), dosis, bentuk sediaan, frekuensi
penggunaan, indikasi dan lama penggunaan obat, reaksi obat yang tidak dikehendaki
termasuk riwayat alergi dan kepatuhan terhadap regimen penggunaan obat (jumlah obat
yang tersisa).
4.3 Rekonsiliasi Obat
Rekonsiliasi obat merupakan proses membandingkan instruksi pengobatan dengan obat
yang telah didapat pasien. Rekonsiliasi dilakukan untuk mencegah terjadinya kesalahan
obat (medication error) seperti obat tidak diberikan, duplikasi, kesalahan dosis atau
interaksi obat.
Tahap proses rekonsiliasi obat meliputi :
 Pengumpulan data: Mencatat data dan memverifikasi obat yang sedang dan akan
digunakan pasien, meliputi nama obat, dosis, frekuensi, rute, obat mulai diberikan,
diganti, dilanjutkan dan dihentikan, riwayat alergi pasien serta efek samping obat
yang pernah terjadi. Khusus untuk data alergi dan efek samping obat, dicatat tanggal
kejadian, obat yang menyebabkan terjadinya reaksi alergi dan efek samping, efek
yang terjadi, dan tingkat keparahan. Data riwayat penggunaan obat didapatkan dari
pasien, keluarga pasien, daftar obat pasien, obat yang ada pada pasien, dan rekam
medik/medication chart. Data obat yang dapat digunakan tidak lebih dari 3 (tiga)
bulan sebelumnya. Semua obat yang digunakan oleh pasien baik Resep maupun obat
bebas termasuk herbal harus dilakukan proses rekonsiliasi.
 Komparasi : Apoteker membandingkan data obat yang pernah, sedang dan akan
digunakan. Discrepancy atau ketidakcocokan adalah bilamana ditemukan
ketidakcocokan/perbedaan diantara data-data tersebut. Ketidakcocokan dapat pula
terjadi bila ada obat yang hilang, berbeda, ditambahkan atau diganti tanpa ada
penjelasan yang didokumentasikan pada rekam medik pasien. Ketidakcocokan ini
dapat bersifat disengaja (intentional) oleh dokter pada saat penulisan resep maupun

80
tidak disengaja (unintentional) dimana dokter tidak tahu adanya perbedaan pada saat
menuliskan Resep.
 Melakukan konfirmasi kepada dokter jika menemukan ketidaksesuaian
dokumentasi. Bila ada ketidaksesuaian, maka dokter harus dihubungi kurang dari 24
jam.
 Komunikasi :Melakukan komunikasi dengan pasien dan/atau keluarga pasien atau
perawat mengenai perubahan terapi yang terjadi.
4.4 Pelayanan Informasi Obat (PIO)
Pelayanan Informasi Obat bertujuan untuk menyediakan informasi mengenai obat kepada
pasien dan tenaga kesehatan di lingkungan Rumah Sakit dan pihak lain di luar Rumah
Sakit, menyediakan informasi untuk membuat kebijakan yang berhubungan dengan
obat/sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan BMHP, terutama bagi KFT dan menunjang
penggunaan obat yang rasional.
4.5 Konseling
Konseling dilakukan untuk pasien rawat jalan maupun rawat inap. Kriteria Pasien yang
dilakukan konseling:
 pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi ginjal, ibu hamil dan
menyusui)
 pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (TB, DM, epilepsi, dan lain-lain)
 pasien yang menggunakan obat-obatan dengan instruksi khusus (penggunaan
kortiksteroid dengan tappering down/off)
 pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin, phenytoin)
 pasien yang menggunakan banyak Obat (polifarmasi)
 pasien yang mempunyai riwayat kepatuhan rendah.
4.6 Visite;
Visite merupakan kegiatan kunjungan ke pasien rawat inap yang dilakukan Apoteker
secara mandiri atau bersama tim tenaga kesehatan untuk mengamati kondisi klinis pasien
secara langsung, dan mengkaji masalah terkait obat, memantau terapi obat dan Reaksi obat
yang Tidak dikehendaki, meningkatkan terapi obat yang rasional, dan menyajikan
informasi obat kepada dokter, pasien serta profesional kesehatan lainnya.
4.7 Pemantauan Terapi Obat (PTO)
Apoteker melakukan Pemantauan Terapi Obat (PTO) yaitu suatu proses yang mencakup
kegiatan untuk memastikan terapi obat yang aman, efektif dan rasional bagi pasien dan
didokumentasikan dicatatan perkembangan terintegrasi. Dokumentasi PTO berupa SOAP

81
(Subyektif, Obyektif, Assesmen, Plan) yang dilakukan oleh Apoteker. Kegiatan dalam PTO
mencakup:
 pengkajian pemilihan obat, dosis, cara pemberian obat, respons terapi, Reaksi obat yang
Tidak Dikehendaki (ROTD)
 pemberian rekomendasi penyelesaian masalah terkait obat
 pemantauan efektivitas dan efek samping terapi Obat.
4.8 Monitoring Efek Samping Obat (MESO)
Kegiatan pemantauan dan pelaporan ESO dilakukan bekerja sama dengan KFT dan ruang
rawat inap keperawatan. Kegiatan MESO mencakup :
 mendeteksi adanya kejadian reaksi Obat yang tidak dikehendaki (ESO)
 mengidentifikasi obat-obatan dan pasien yang mempunyai risiko tinggi mengalami
ESO
 mengevaluasi laporan ESO dengan algoritme Naranjo
 mendiskusikan dan mendokumentasikan ESO di KFT
 melaporkan ke Pusat Monitoring Efek Samping Obat Nasional
4.9 Dispensing sediaan steril : Sitostatika
Dispensing sediaan steril harus dilakukan di Instalasi Farmasi dengan teknik aseptik untuk
menjamin sterilitas dan stabilitas produk dan melindungi petugas dari paparan zat
berbahaya serta menghindari terjadinya kesalahan pemberian obat. Kegiatan dispensing
sediaan steril di Charitas Hospital meliputi :
 Pencampuran Obat Suntik
 Penanganan Sediaan Sitostatik
4.10 Manajemen Risiko Pelayanan Farmasi Klinik
a. Faktor risiko yang terkait karakteristik kondisi klinik pasien
akan berakibat terhadap kemungkinan kesalahan dalam terapi. Faktor risiko tersebut
adalah umur, gender, etnik, ras, status kehamilan, status nutrisi, status sistem imun,
fungsi ginjal, fungsi hati.
b. Faktor risiko yang terkait terkait penyakit pasien Faktor risiko yang terkait penyakit
pasien terdiri dari 3 faktor yaitu tingkat keparahan, persepsi pasien terhadap tingkat
keparahan, tingkat cidera yang ditimbulkan oleh keparahan penyakit.
c. Faktor risiko yang terkait farmakoterapi pasien Faktor risiko yang berkaitan dengan
farmakoterapi pasien meliputi toksisitas, profil reaksi obat tidak dikehendaki, rute dan
teknik pemberian, persepsi pasien terhadap toksisitas, rute dan teknik pemberian, dan
ketepatan terapi.

82
BAB V
LOGISTIK

Logistik adalah proses pengelolaan barang mulai dari perencanaan dan bagaimana untuk
pengadaan, implementasi, dan pengendalian supaya efisiensi, aliran biaya yang efektif dan
penyimpanan barang dan informasi - informasi yang berhubungan dari asal titik konsumsi
dengan tujuan memenuhi kebutuhan konsumen.
Setiap barang dan alat yang rusak di Instalasi Farmasi dikembalikan ke bagian logistik
untuk ditindak lanjutin sesuai prosedur yang berlaku dan perbaikan alat/barang yang rusak
dilakukan oleh bagian pemeliharaan.
A. Macam/Jenis Perbekalan Logistik di Instalasi Farmasi
No Jenis Perbekalan Tempat Penyimpanan
Gudang Sentral Farmasi, Farmasi Rawat
1. ATK
Inap, Farmasi Rawat Jalan, Farmasi Klinik
Farmasi Rawat Inap dan Farmasi Rawat
2. Embalase (klip plastik)
Jalan
Pot obat, Botol Obat, sendok obat, cup
Farmasi Rawat Inap dan Farmasi Rawat
3. obat, pipet obat, kertas perkamen
Jalan
pulveres
Farmasi Rawat Inap dan Farmasi Rawat
4. Label etiket obat dan ribbon
Jalan
Farmasi Rawat Inap dan Farmasi Rawat
5. Kertas struk resep elektrik
Jalan
Farmasi Rawat Inap dan Farmasi Rawat
6. Kantong plastik
Jalan
B. Perencanaan
Petugas farmasi di Instalasi Farmasi melakukan pengecekan barang stok setiap minggu dan
dari jumlah konsumsi perminggu petugas menentukan jumlah yang akan diminta, sehingga
tidak terjadi kekosongan.
C. Permintaan/penyediaan
Berdasarkan jumlah dalam perencanakan, petugas farmasi melakukan permintaan ke Logistik
rumah sakit, sehingga barang tersedia dan pelayanan dapat terlaksana dengan baik.
D. Penyimpanan

83
Penyimpanan dilakukan di masing-masing unit yang menggunakan dan meminta
kebutuhan logistik.
E. Pendistribuasian /penyaluran
Proses distribusi kebutuhan logistik dilakukan sesuai prosedur yang berlaku untuk
mendukung proses pelayanan di setiap unit Instalasi Farmasi. Setiap minggu meminta
kebutuhan barang logistik ke bagian logistik Charitas Hospital Arga Makmur sesuai
kebutuhan dan prosedur yang berlaku dengan sepengetahuan Koordinator Unit.
F. Pengendalian Barang – Barang Logistik diunit kerja
Seluruh monitoring dan evaluasi dilakukan oleh unit yang menggunakan di Instalasi Farmasi,
untuk alat-alat yang mengalami kerusakan dapat di service ke unit pemeliharaan dan yang
rusak dapat dikembalikan ke bagian logistik Rumah Sakit.

84
BAB VI
KESELAMATAN PASIEN
A. Pengertian
Keselamatan pasien atau patient safety adalah suatu sistem yang membuat asuhan pasien
di rumah sakit menjadi lebih aman. Sistem ini mencegah terjadinya cedera yang
disebabkan oleh kesalahan akibat melaksanakan suatu tindakan atau tidak mengambil
tindakan yang seharusnya diambil. Apoteker dan Tenaga Teknis Kefarmasian adalah
barier yang dapat menyaring atau meminimalkan kesalahan melalui obat yang
diinstruksikan oleh Dokter yang memberikan instruksi dan sebelum obat diberikan ke
pasien, sehingga dapat meningkatkan keselamatan pasien.
B. Tujuan
Tujuan dari keselamatan pasien di rumah sakit adalah:
1. Mengetahui penatalaksanaan, hambatan, serta harapan yang berkaitan dengan
penatalaksanaan Patient Safety.
2. Terciptanya budaya keselamatan pasien di rumah sakit atau di Instalasi Farmasi.
3. Meningkatkan akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat.
4. Menurunnya kejadian tidak diharapkan (KTD) di rumah sakit.
5. Memastikan pengadaan, penyiapan, pendistribusian sediaan farmasi yang tepat kepada
unit yang membutuhkan atau kepada pasien langsung di Farmasi Rawat Jalan.
C. Tata laksana keselamatan pasien
Mengingat pentingnya keselamatan pasien di rumah sakit dan tidak menutup kemungkinan
terjadinya kesalahan dalam penyiapan sediaan farmasi, maka perlu diatur pelaksanaan
keselamatan pasien. Penatalaksanaan keselamatan pasien diatur dalam program keselamatan
pasien yang dilakukan di Instalasi Farmasi mengacu kepada 6 sasaran keselamatan pasien
yang berlaku di Charitas Hospital Arga Makmur yaitu :
1. Ketepatan identifikasi pasien
2. Peningkatan komunikasi yang efektif
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai
4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi

85
5. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan (contoh : hand hygiene
kebersihan tangan)
6. Pengurangan risiko pasien jatuh

Untuk pelaksanaan 6 sasaran keselamatan pasien di Instalasi Farmasi Charitas Hospital Arga
Makmur, dengan melakukan sebagai berikut :
1. Ketepatan identifikasi
1.1 mengidentifikasi pasien sebagai indovidu yang akan menerima pelayanan melalui
sediaan farmasi yang disediakan. Pasien diidentifikasi minimal menggunakan 2 (dua)
dari 3 (tiga) pengidentifikasi pasien yaitu:
 Nama lengkap (sesuai KTP / paspor / SIM
 Tanggal lahir (atau menggunakan tanggal SIMRS, sampai diketahui identitas
yang jelas)
 Nomor Rekam Medis
1.2 Proses identifikasi pasien dilakukan di pelayanan resep baik rawat inap maupun rawat
jalan, dan dilakukan secara langsung kepada pasien pada saat penerimaan resep dan
penyerahan obat pasien rawat jalan.
1.3 Menanyakan secara verbal dan terbuka nama lengkap pasien dan tanggal lahir, serta
minta pasien untuk menyerahkan slip antrian atau kuitansi pembayaran untuk sarana
pengecekan identitas pasien.
1.4 Memastikan dengan melihat selalu identitas pasien di resep dan etiket obat yang
disiapkan.
2. Meningkatkan Komunikasi Efektif
2.1 Charitas Hospital Arga Makmur menetapkan metode SBAR sebagai pola komunikasi
efektif yang tepat waktu, akurat, lengkap, jelas dan dipahami oleh penerima demi
peningkatan keselamatan pasien dan berlaku untuk semua lini pelayanan.
2.2 Setiap Apoteker dan TTK wajib melakukan komunikasi metode SBAR dalam
melakukan konfirmasi obat kepada DPJP.
2.3 Petugas farmasi wajib melakukan komunikasi metode SBAR dalam melaporkan
seluruh kondisi baik lisan maupun melalui telepon baik kepada dokter, perawat,
maupun petugas lainnya, sesuai kebijakan komunikasi yang efektif yang berlaku.
2.4 Dengan metofe SBAR maka Petugas farmasi yang menerima instruksi lisan/lewat
telepon wajib melakukan penulisan/pencatatan (writing down), pembacaan ulang
(read back), dan konfirmasi ulang (check back). Untuk obat HAM dan Lasa wajib
dieja ulang oleh petugas farmasi yang menerima instruksi.

86
2.5 IFRS mempunyai dokumentasi dalam menerima instruksi lisan dan pencatatannya.
2.6 Petugas Farmasi menjalankan prosedur klarifikasi resep yang tidak jelas, tidak
terbaca, atau tidak lengkap kepada Dokter
3. Peningkatan Keamanan Obat yang Perlu diwaspadai (HAM)
Instalasi Farmasi melaksanakan kebijakan pengelolaan obat kewaspadaan tinggi dan obat
Look Alike dan Sound Alike (LASA). Penerapan pengelolaan HAM dan LASA yang
dilakukan meliputi dari proses pemilihan, pengadaan, penyimpanan, peresepan,
permintaan, penyalinan, penyiapan, penyaluran.
3.1 Pemilihan dan pengadaan
Obat LASA menggunakan aturan Tall Man Letter
3.2 Penyimpanan
Melakukan penyimpanan obat HAM dan LASA sesuai kebijakan yang telah
ditetapkan.
3.3 Peresepan, permintaan, penyalinan
Meminimalkan perintah secara lisan dan bila instruksi diterima secara lisan maka
dilakukan sesuai kebijakan komunikasi yang efektif yaitu mengeja ulang nama obat.
3.4 Penyiapan dan penyaluran
Melakukan pengecekan ulang untuk memastikan obat HAM dan LASA
sudah tepat, dan menempelkan stiker peringatan HAM atau LASA.
4. Pengurangan risiko infeksi terkait pelayanan kesehatan (contoh : hand
hygiene/kebersihan tangan)
4.1 Melakukan hand higiene / kebersihan tangan menurut 5 Momen kebersihan tangan
yang sudah ditetapkan oleh (WHO):
 Momen 1 : sebelum kontak dengan pasien.
 Momen 2 : sebelum tindakan asepsis.
 Momen 3 : setelah terkena cairan tubuh pasien.
 Momen 4 : setelah kontak dengan pasien.
 Momen 5 : setelah kontak dengan lingkungan sekitar pasien.
4.2 Melakukan teknik kebersihan tangan yang baik dan benar sesuai dengan
prosedur kebersihan tangan yang sudah ditetapkan oleh rumah sakit
4.3 Melakukan kebersihan tangan sesuai dengan jenis menurut area dan tindakan
yang dilakukan.
4.4 Penerapan kebersihan tangan khusus bagi petugas farmasi meliputi:
 Melakukan cuci tangan rutin pada saat datang (mulai kerja), setelah dari toilet,
sebelum dan sesudah makan dengan menggunakan sabun.

87
 Melakukan cuci tangan dengan menggunakan handrub alkohol saat memulai
meracik obat.
 Melakukan cuci tangan dengan menggunakan handrub alkohol atau sabun
clorhexidine 2% saat akan melakukan persiapan obat steril (steril compounding)
5. Pengurangan Risiko Pasien Jatuh
Petugas Farmasi memahami kebijakan pencegahan pasien jatuh dan menerapkan
kewaspadaan bersama pencegahan pasien jatuh.
6. Pengkajian 6 benar pada penyiapan obat
6.1 Benar Nama Pasien
6.2 Benar Nama Obat
6.3 Benar Dosis Obat
6.4 Benar Waktu Pemberian
6.5 Benar Cara Pemberian
6.6 Benar Obat Tidak Kadaluarsa
7. Mencegah Kesalahan Obat.
Mencegah kesalahan obat dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit pada berbagai
tahap manajemen dan penggunaan obat :
7.1 Pemilihan dan Pengadaan
7.2 Penerimaan dan Penyimpanan
7.3 Peresepan
7.4 Penyiapan (dispensing)
7.5 Pemberian
7.6 Pemantauan
8. Pelaporan pada patient safety
8.1 Mencatat semua kejadian terkait dengan keselamatan pasien (Kejadian Nyaris
Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Kejadian Sentinel) sesuai prosedur yang
telah ditetapkan.
8.2 Melaporkan semua kejadian terkait dengan keselamatan pasien (Kejadian Nyaris
Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Kejadian Sentinel) kepada Tim
Keselamatan Pasien Rumah Sakit sesuai prosedur yang telah ditetapkan dalam
jangka waktu 1 kali 24 jam.
8.3 Mengevaluasi semua kejadian terkait dengan keselamatan pasien (Kejadian Nyaris
Cedera, Kejadian Tidak Diharapkan dan Kejadian Sentinel) secara berkala.

88
BAB VII
KESELAMATAN KERJA

A. PENGERTIAN
Keselamatan (safety) mempunyai arti keadaan terbebas dari celaka (accident)
ataupun hampir celaka (incident atau near miss). Kesehatan (health) menurut undang-undang
No. 23 tahun 1992 adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan
seseorang untuk hidup secara sosial dan ekonomis.
Sedangkan kerja (occupation) berarti kegiatan atau usaha untuk mencapai tujuan.
Menurut OSHA (2003), kesehatan dan keselamatan kerja (K3) merupakan multi disiplin ilmu
yang terfokus pada penerapan prinsip ilmiah dalam memahami adanya resiko yang
mempengaruhi kesehatan dan keselamatan manusia dalam lingkungan industri maupun diluar
industri.
B. TUJUAN
Keselamatan kerja bertujuan untuk :
 Mengetahui kegunaan program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Instalasi Farmasi.
 Memahami bahaya dan tanda-tanda bahaya yang lazim digunakan di Instalasi Farmasi.
 Memahami dan dapat mengaplikasikan penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dengan
benar.
C. TATALAKSANA KESELAMATAN KERJA
Melaksanakan program keselamatan kerja di Instalasi Farmasi sesuai dengan program
keselamatan kerja rumah sakit antara lain :
1. Program kebersihan tangan
2. Program penanggulangan kebakaran
3. Penggunaan APD
 Di ruang racik meliputi masker, sarung tangan, penutup kepala dan apron.
 Di ruang produksi meliputi masker, sarung tangan, penutup kepala dan apron.
 Alat Pelindung Diri (APD) khusus untuk obat kemoterapi terdiri dari baju
pelindung, sarung tangan, kacamata pelindung dan masker disposable
4. Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3):

89
 Penyimpanan
 Spill Kit untuk membersihkan tumpahan B3
5. Pengelolaan sanitasi dan limbah tajam.
6. Pemeriksaan kesehatan berkala.

BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU

A. PENGERTIAN
Mutu pelayanan Instalasi Farmasi harus memiliki standar mutu yang jelas, artinya
setiap pelayanan Farmasi harus mempunyai indikator dan standar. Dengan demikian
pelanggan dapat membedakan pelayanan yang baik dan tidak melalui indikator dan
standarnya
B. INDIKATOR MUTU DAN STANDAR MUTU PELAYANAN
Profil Indikator Mutu Instalasi Farmasi
1. Kepatuhan Penggunaan Formularium Nasional
Judul : Kepatuhan Penggunaan Formularium Nasional
Indikator

Dasar : 1. Keputusan Menteri Kesehatan mengenai Formularium Nasional


Pemikiran 2. Kepatuhan terhadap formularium dapat meningkatkan efisiensi dalam
penggunaan obat-obatan.
3. Formularium rumah sakit disusun berdasarkan masukan
masukan pemberi layanan, dan pemilihannya berdasarkan kepada mutu
obat, rasio risiko dan manfaat, berbasis bukti, efektivitas dan efisiensi.
Pengadaan obat-obatan di rumah sakit mengacu pada formularium
rumah sakit.

Dimensi : Efektif Efisien Adil


Mutu** Keselamatan Tepat waktu Terintegrasi
Berorientasi Kepada Pasien

Tujuan : Terwujudnya pelayanan obat kepada pasien yang efektif dan efisien
berdasarkan daftar obat yang mengacu pada formularium nasional.

Definisi : 1. Formularium Nasional merupakan daftar obat terpilih yang dibutuhkan


Operasional dan digunakan sebagai acuan penulisan resep pada pelaksanaan
pelayanan kesehatan dalam penyelenggaraan program jaminan
kesehatan.
2. Kepatuhan Penggunaan Formularium Nasional adalah peresepan obat
(R/: recipe dalam lembar resep) oleh DPJP kepada pasien sesuai daftar
obat di Formularium Nasional dalam penyelenggaraan program jaminan

90
kesehatan.

Jenis : Input Proses Output Outcome


Indikator

Satuan : Jumlah % ‰ Menit


Pengukuran Indeks

Numerator : Jumlah R/ recipe dalam lembar resep yang sesuai dengan formularium
(pembilang) nasional

Denominator : Jumlah R/ recipe dalam lembar resep BPJS yang diobservasi


(Penyebut)

Target : ≥ 80 %
Pencapaian

Kriteria : Kriteria Inklusi:


- Resep yang dilayani di RS

Kriteria Ekslusi :
1. Obat yang diresepkan di luar FORNAS tetapi dibutuhkan pasien dan
telah mendapatkan persetujuan komite medik dan direktur.
2. Bila dalam resep terdapat obat di luar FORNAS karena stok obat
nasional berdasarkan e-Katalog habis/kosong.

Formula :
Jumlah R/recipe dalam lembar resep yang sesuai dengan
formularium nasional
x 100%
Jumlah R/recipe dalam lembar resep yang diobservasi

Metode : Retrospektif:
Pengumpulan Observasi
Data Survei

Sumber Data : Data Primer: Hasil Observasi Hasil Survey


Lainnya: ….......
Data Sekunder: Lembar Resep di Instalasi Farmasi

Instrumen : Formulir Kepatuhan Penggunaan Formularium Nasional


Pengambilan
Data

Besar Sampel : Total Sampel, size (n):

Cara : Total Sampel


Pengambilan Probability sampling: Simple Random Sampling/ Systematic Random
Sampel Sampling
Non probability sampling : Consecutive sampling

Periode : Harian Mingguan Bulanan Semester

91
Pegumpulan
data

Penyajian : Tabel Grafik Batang Grafik Garis Grafik Pie


Data Run Chart Lainnya:.........................

Periode : Bulan Triwulan Semester Tahunan


Analisis dan
Pelaporan
Data

Penanggung : Kepala Instalasi Farmasi


Jawab

Rencana : Morning Briefing Mading Website


Penyebaran Pertemuan Bulanan Pertemuan TW Laporan Monev
Hasil Capaian Lainnya:TW

Batas Waktu : Tanggal 5 bulan berikutnya


Pelaporan

Area : IAK IAM ISKP

Kategori : INM IMP KPI

Perspektif : Pelanggan Proses Bisnis Internal


BSC* Keuangan Pembelajaran dan Pertumbuhan

Sasaran :
Strategis*

Kriteria :  90% < Achievement ≤ 100% B (4.00-4.99)


Penilaian*  75% < Achievement ≤ 90% C (3.00-3.99)
 60% ≤ Achievement ≤ 75% D (2.00-2.99)
 Achievement < 60 % E (0.00-1.99)

Tanda * : Wajib diisi bila merupakan KPI

Tanda**: Tidak wajib diisi bila merupakan KPI

2. Ketersediaan Obat
Judul Indikator Ketersediaan Obat

Jenis Indikator Indikator Nasional Indikator Unit


Indikator Prioritas RS Lainnya:
KPI
Non KPI
Definisi Operasional Ketersediaan obat adalah tersedianya obat bagi pasien sesuai dengan
instruksi pengobatan dari dokter/resep

92
Tujuan Untuk mengevaluasi ketersediaan obat

Dimensi Mutu Aksesibilitas Efektifitas


Efisiensi Keselamatan & keamanan
Kesinambungan Pelayanan Fokus kepada pasien
Dasar 1. Memenuhi Misi dan mencapai Visi Charitas Hospital Arga Makmur
Pemikiran/ 2. Standar Akreditasi Rumah Sakit
Alasan
pemilihan
Indikator
Satuan Ukur Rupiah (J, M) Unit
% Indeks (1-5)
Orang Lainnya:

Numerator Jumlah resep yang dilayani

Denominator Total resep yang masuk di Instalasi Farmasi

Kriteria Kriteria Inklusi:


- Semua resep yang masuk di Instalasi Farmasi
Kriteria Ekslusi :
-
Formula Pengukuran Jumlah resep yang tidak dilayani
Total resep yang masuk di Instalasi Farmasi x 100%

Metode Retrospektif Concurrent


Pengumpulan Data

Cakupan Data Total Sampel (kaidah statistik)

Frekuensi Harian Mingguan Lainnya:


Pengumpulan Bulanan …………..
Data/ Pelaporan

Frekuensi Bulanan Triwulan


Analisis Data Semester Lainnya:…………..

Nilai Ambang/Standar/ < 80 %

Target Kinerja

Metodologi Analisis STATISTIK YANG DIPAKAI:


Data
Bar Diagram Pie Diagram Lainnya:

INTERPRETASI DATA:

Standar RS Lain EB Tren

93
Sumber Data/ Lembar resep di Instalasi Farmasi
Area Monitoring
Instrumen Resep
Pengumpul Data
Penanggung Kepala Instalasi Farmasi
Jawab Pengumpul
Data
Publikasi Data/ INTERNAL
Diseminasi Data
Laporan kinerja Morning briefing

Papan komunikasi Monev

EKSTERNAL
Website

3. Keterlambatan Waktu Penerimaan Obat Racikan Resep Rawat Jalan

Judul Indikator Keterlambatan Waktu Penerimaan Obat Racikan Resep Rawat


Jalan
Jenis Indikator Indikator Nasional Indikator Unit
Indikator Prioritas RS Lainnya:
KPI
Non KPI
Definisi Keterlambatan waktu penerimaan obat racikan pada pasien rawat
Operasional jalan > 60 menit setelah diterimanya resep oleh petugas farmasi.
Tujuan Mengukur kinerja Farmasi Rawat Jalan dalam mengerjakan resep
obat racikan
Dimensi Mutu Aksesibilitas Efektifitas
Efisiensi Keselamatan & keamanan
Kesinambungan Pelayanan Fokus kepada pasien
Dasar Pemikiran/ 1. Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit
Alasan pemilihan 2. Visi Rumah Sakit
indikator
Satuan ukur Rupiah (J, M) Unit
% Indeks (1-5)
Orang Lainya:
Numerator Jumlah resep obat racikan di Farmasi Rawat Jalan yang selesai
dalam waktu > 60 Menit tiap bulan
Denominator Jumlah seluruh resep obat racikan jadi tiap bulan yang masuk
kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi Resep obat racikan yang diterima dari poli rawat jalan, dari hari
Senin - Sabtu pukul 10.00 – 15.00
Kriteria Eksklusi Resep obat racikan yang diterima pada hari dan jam diluar waktu
berikut ini : Senin - Sabtu pukul 10.00 – 15.00 dan pada tanggal
merah.

94
Formula N/D x100%
Pengukuran
Metode Retrosfektif Concurrent
Pengumpulan Data
Cakupan Data Total Sampel (kaidah statistik)
Frekuensi Harian Mingguan
Pengumpulan Data Bulanan Lainnya:…………..
/ Pelaporan
Frekuensi Analisis Bulanan Triwulan
Data Semester Lainnya:…………..
Nilai Ambang/ < 20 %
Standar/ Target
kinerja
Metodologi STATISTIK YANG DIPAKAI:
Analisis dan Bar Diagram Pie Diagram Lainnya:
Interprestasi Data
INTERPRETASI DATA:
EB Tren
Standar RS Lain

Sumber Data/ Area Catatan keterlambatan penerimaan obat racikan di rawat jalan
Monitoring

Instrumen Form respon time


Pengumpul Data
Penanggung Jawab Kepala Instalasi Farmasi
Pengumpul Data
Publikasi Data/ INTERNAL
Desiminasi Data Laporan kinerja Morning briefing
Papan komunikasi Monev

EKSTERNAL
Website

4. Keterlambatan Waktu Penerimaan Obat Non Racikan/ Obat Jadi Resep Rawat Jalan

Judul Indikator Keterlambatan Waktu Penerimaan Obat Non Racikan/ Obat Jadi
Resep Rawat Jalan
Jenis Indikator Indikator Nasional Indikator Unit
Indikator Prioritas RS Lainnya
KPI
NonKPI
Definisi Operasional Keterlambatan waktu penerimaan obat non racikan pada pasien
rawat jalan > 30 menit setelah diterimanya resep oleh petugas
farmasi.
Tujuan Mengukur kinerja Farmasi Rawat Jalan dalam mengerjakan resep
obat non racikan/ obat jadi

95
Dimensi Mutu Aksesibilitas Efektifitas
Efisiensi Keselamatan&keamanan
Kesinambungan Pelayanan Fokus kepada pasien
Dasar 1. Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit
Pemikiran/ 2. Visi Rumah Sakit
Alasan
pemilihan
Indikator
Satuan Ukur Rupiah (J, M) Unit
% Indeks (1-5)
Orang Lainya:
Numerator Jumlah resep obat non racikan jadi di Farmasi Rawat Jalan yang
selesai dalam waktu > 30 Menit
Denominator Jumlah seluruh resep non racikan/obat jadi tiap bulan yang masuk
kriteria Inklusi
Kriteria Inklusi Resep obat jadi yang diterima dari poli rawat jalan, dari hari
Senin - Sabtu pukul 10.00 – 15.00
Kriteria Eksklusi Resep obat non racikan/obat jadi yang diterima pada hari dan jam
diluar waktu berikut ini : Senin - Sabtu pukul 10.00 – 15.00 dan
pada tanggal merah.
Formula Pengukuran N/D x100%
Metode Retrospektif Concurrent
Pengumpulan Data
Cakupan Data Total Sampel (kaidah statistik)
Frekuensi Harian Mingguan
Pengumpulan Bulanan Lainnya:…………..
Data/ Pelaporan
Frekuensi Bulanan Triwulan
Analisis Data Semester Lainnya:…………..
Nilai < 20 %
Ambang/Standa /
Target Kinerja
Metodologi Analisis STATISTIK YANG DIPAKAI:
Data Bar Diagram Pie Lainnya:
Diagram

INTERPRETASI DATA: EB Tren


Standar RS Lain
Sumber Data/ Area Catatan keterlambatan penerimaan obat racikan di rawat jalan
Monitoring
Instrumen Pengumpul Form respon time
Data
Penanggung Jawab Kepala Instalasi Farmasi
Pengumpul Data
Publikasi Data/ INTERNAL
Diseminasi Data Laporan kinerja Morning briefing
Papan komunikasi Monev

96
EKSTERNAL
Website

5. Insiden Keamanan Obat yang Perlu di Waspadai

Judul Indikator : Insiden Keamanan Obat yang Perlu di Waspadai

Jenis Indikator : Indikator Nasional Indikator Unit


Indikator Prioritas RS Lainnya:
KPI
NonKPI
Definisi : Obat yang perlu diwaspadai (High Alert) adalah obat yang
Operasional memiliki resiko lebih tinggi yang menyebabkan/menimbulkan
adanya komplikasi atau membahayakan pasien secara signifikan
jika terdapat kesalahan penggunaan dan penyimpanan.
Tujuan : Tergambarnya pelaksanaan prosedur pengamanan obat High Alert

Dimensi Mutu : Aksesibilitas Efektifitas


Efisiensi Keselamatan&keamanan
Kesinambungan Pelayanan Fokus kepada pasien
Dasar Pemikiran/ : 1. Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit
Alasan pemilihan 2. Permenkes No. 11 tahun 2017 tentang Kesalamatan Pasien
indikator
Satuan ukur Rupiah (J, M) Unit
% Indeks (1-5)
Orang Lainya:
Numerator Penyimpanan/ pemberian obat HAM yang dilakukan sesuai kriteria
inklusi
Denominator : Seluruh obat yang tergolong HAM
Kriteria Inklusi : 1. Penyimpan obat high alert dilakukan secara benar; obat high alert
disimpan terpisah dan diberi stiker High Allert Medication
2. Pemberian obat High alert menggunakan prosedur 5 (lima) benar
3. Terdapat daftar obat high alert di masing-masing unit
4. Prosedur ejaan digunakan untuk obat yang bersifat LASA/Norum
Kriteria Eksklusi : Obat-obat yang tidak tergolong High Allert

Formula : N/D x 100%


Pengukuran
Metode : Retrosfektif Concurrent
pengumpulan data

Cakupan Datanya : Total Sampel, size (n):

Frekuensi : Harian Mingguan

97
Pengumpulan Data : Bulanan Lainnya:…………..
/ Pelaporan
Frekuensi Analisis : Bulanan Triwulan
Data Semester Lainnya:…………..
Nilai Ambang/ : 0%
Standar/ Target
kinerja
Metodologi : Statistik yang dipakai:
Analisis dan Bar Diagram Pie Diagram
interprestasi Data Lainnya:……………………
Interpetasi data:
Standar/Target Kinerja RS Lain EB
Tren
Sumber Data/ Area : Lembar resep rawat inap
Monitoring

Instrumen : FORM Pengumpulan Data Insiden Keamanan Obat yang perlu


Pengumpul Data diwaspadai
Penanggung Jawab : Kepala Instalasi Farmasi
Pengumpul Data
Publikasi Data/ : Internal
Desiminasi Data Laporan kerja Morning briefing
Papan komunikasi Rakor/Monev/Kinerja
Eksternal:
Website

6. Kesesuaian Surat Pesanan (SP) dengan Fisik Barang/Bahan

Judul Indikator Kesesuaian Surat Pesanan (SP) dengan Fisik Barang/Bahan

Jenis Indikator Indikator Nasional Indikator Unit

Indikator Prioritas RS Lainnya

KPI

Non KPI

Definisi Operasional Kesesuaian antara spesifikasi barang/bahan yang tertera di dalam


surat pesanan dengan spesifikasi fisik barang/bahan yang diterima

Tujuan Untuk mengevaluasi PBF/Suplier yang tidak patuh ketepatan antara


pesanan dengan fisik.

98
Dimensi Mutu Aksesibilitas Efektifitas

Efisiensi Keselamatan & keamanan

Kesinambungan Pelayanan Fokus kepada pasien

Dasar Pemikiran/ 1. Memenuhi Misi dan mencapai Visi Charitas Hospital Arga Makmur
Alasan pemilihan 2. Standar Akreditasi Rumah Sakit
Indikator

Satuan Ukur Rupiah (J, M) Unit

% Indeks (1-5)

Orang Lainnya:

Numerator Jumlah pesanan yang sesuai dengan fisik

Denominator Jumlah seluruh pesanan

Kriteria Inklusi Semua pesanan dengan faktur pembelian

Kriteria Eksklusi -

Formula Pengukuran N/D X 100%

Metode Pengumpulan Retrospektif Concurrent

Cakupan Data Total Sampel (kaidah statistik)

Frekuensi Harian Mingguan


Pengumpulan
Data/ Pelaporan Bulanan Lainnya:…………..

Frekuensi Bulanan Triwulan


Analisis Data
Semester Lainnya:…………..

Nilai Ambang/Standar/ 100 %

Target Kinerja

Metodologi Analisis STATISTIK YANG DIPAKAI:


Data
Bar Diagram Pie Diagram Lainnya:

INTERPRETASI DATA:

Standar RS Lain EB Tren

99
Sumber Data/ Laporan pemesanan dan penerimaan barang
Area Monitoring

Instrumen SP faktur dan bukti penerimaan barang.


Pengumpul Data

Penanggung Kepala Instalasi Farmasi


Jawab Pengumpul
Data
Publikasi Data/ INTERNAL
Diseminasi Data
Laporan kinerja Morning briefing

Papan komunikasi Monev


EKSTERNAL

Website

7. Kesalahan Penyerahan Perbekalan Farmasi

Judul Indikator Kesalahan Penyerahan Perbekalan Farmasi


Jenis Indikator Indikator Nasional Indikator Unit
Indikator Prioritas RS Lainnya
KPI
NonKPI
Definisi Kesalahan penyerahan perbekaan farmasi dari Instalasi Farmasi ke ruang
Operasional perawatan.
Tujuan Untuk mengukur ketepatan penyerahan perbekalan farmasi di Ruang
Perawatan.
Dimensi Mutu Aksesibilitas Efektifitas
Efisiensi Keselamatan & keamanan
Kesinambungan Pelayanan Fokus kepada pasien
Dasar Pemikiran/ 1. Standar Nasional Akreditasi Rumah Sakit
Alasan pemilihan 2. Visi Rumah Sakit
indikator
Satuan ukur Rupiah (J, M) Unit
% Indeks (1-5)
Orang Lainnya:
Numerator Jumlah R/ yang terjadi kesalahan pemberian perbekalan farmasi

Denominator Jumlah R/ yang Dilayani


Kriteria Inklusi Kesalahan penyerahan perbekalan farmasi yang berupa: jenis obat,
dosis, tujuan/tempat, jumlah
Kriteria Eksklusi -
Formula N/D x 100%
Pengukuran

10
0
Metode Retrosfektif Concurrent
Pengumpulan Data

Cakupan Data Total Sampel (kaidah statistik)


Frekuensi Harian Mingguan
Pengumpulan Data/ Bulanan Lainnya:…………..
Pelaporan
Frekuensi Analisis Bulanan Triwulan
Data Semester Lainnya:…………..
Nilai Ambang/ 0%
Standar/ Target
kinerja
Metodologi STATISTIK YANG DIPAKAI:
Analisis dan Bar Diagram Pie Diagram Lainnya:
interprestasi Data
INTERPRETASI DATA:
Standar RS Lain EB Tren

Sumber Data/ Area Pelaporan insiden


Monitoring

Instrumen Resep
Pengumpul Data
Penanggung Jawab Kepala Instalasi Farmasi
Pengumpul Data
Publikasi Data/ INTERNAL :
Desiminasi Data Laporan kerja Morning briefing
Papan komunikasi Rakor/Monev/Kinerja

EKSTERNAL :
Website

C. JAMINAN DAN KENDALI MUTU


Kalibrasi alat yang dilakukan di Instalasi Farmasi adalah :
1. Timbangan obat
2. Kulkas Obat
3. Termometer ruangan
4. Barometer ruangan
D. STRATEGI
Untuk meningkatkan mutu pelayanan kesehatan di Charitas Hospital Arga Makmur maka
disusunlah strategi sebagai berikut :
1. Setiap petugas harus memahami konsep dasar dan prinsip mutu pelayanan Intalasi
Farmasi Charitas Hospital Arga Makmur sehingga dapat menerapkan langkah-langkah
upaya peningkatan mutu di masing-masing unit kerjanya.

10
1
2. Memberi prioritas kepada peningkatan kompetensi sumber daya manusia di Intalasi
Farmasi Charitas Arga Makmur, serta upaya meningkatkan kesejahteraan karyawan.
3. Menciptakan budaya mutu di Intalasi Farmasi Charitas Hospital Arga MAkmur, termasuk
di dalamnya menyusun program mutu Instalasi Farmasi Charitas Hospital
Arga Makmur.
E. PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH
Pendekatan pemecahan masalah merupakan suatu proses siklus (daur) yang
berkesinambungan. Langkah pertama dalam proses siklus ini adalah identifikasi
masalah. Identifikasi masalah merupakan bagian sangat penting dari seluruh proses
siklus (daur), karena akan menentukan kegiatan-kegiatan selanjutnya dari pendekatan
pemecahan masalah ini.
Masalah akan timbul apabila :
 Hasil yang dicapai dibandingkan dengan standar yang ada terdapat penyimpangan
 Merasa tidak puas akan penyimpangan tersebut.
 Merasa bertanggung jawab atas penyimpangan tersebut.
Dengan telah jelasnya cara memecahkan masalah maka bisa dilakukan tindakan perbaikan
dan agar pemecahan masalah bisa tuntas, setelah diadakan Tindakan perbaikan perlu dinilai
kembali apakah masih ada yang tertinggal. Dari penilaian Kembali maka akan didapatkan
masalah yang telah terpecahkan dan masalah yang masih tetap belum terpecahkan, maka itu
merupakan masalah sehingga proses siklus akan berulang mulai tahap pertama.
F. SISTEM PENCATATAN DAN PELAPORAN
Untuk keperluan evaluasi dan perencanaan kegiatan pelayanan Instalasi Farmasi, dilakukan
pencatatan setiap kegiatan yang dilakukan. Pencatatan dan pelaporan yang ada adalah:
1. Pencatatan dan pelaporan jumlah lembar resep dan keuangan : Rawat Inap dan Rawat
Jalan
2. Pencatatan dan pelaporan terkait pengadaan sediaan farmasi dan distribusi sediaan
farmasi melalui Gudang Sentral Farmasi.
3. Pencatatan dan pelaporan terkait medication error di Instalasi Farmasi.
4. Pencatatan dan pelaporan terkait penggunaan obat :
 Narkotika
 Psikotropika
 Prekursor
Laporan disampaikan secara berkala kepada atasan sesuai kebijakan sarana pelayanan
kesehatan tersebut dan kepada pihak eksternal Rumah Sakit sesuai peraturan perundang
– undangan.

10
2
G. PENYIMPANAN DOKUMEN
Instalasi Farmasi menyimpan dokumen-dokumen, antara lain :
1. Faktur pembelian sediaan Farmasi
2. Surat Pesanan (SP) pemesanan sediaan farmasi
3. Bukti Distribusi Sediaan Farmasi
4. Resep untuk layanan Farmasi Rawat Jalan
5. Form konseling, PIO, rekonsiliasi obat untuk layanan Farmasi Klinik
6. dll
Prinsip penyimpanan dokumen :
 Semua dokumen yang disimpan sesuai tanggal di masing-masing unit Farmasi yang
melakukan layanan.
 Resep dan Faktur disimpan selama 5 tahun sesuai dengan Peraturan
Perundangundangan.
 Untuk dokumen lainnya disimpan selama 3 tahun.
H. PEMUSNAHAN DOKUMEN
Pelaksanaan pemusnahan ada Berita Acara yang berisi :
 Tanggal, bulan dan tahun pemusnahan.
 Penanggung jawab/otorisasi pemusnahan dokumen.

BAB IX
PENUTUP

10
3
Pedoman ini mengatur proses pelayanan kefarmasian di Instalasi Farmasi Rumah sakit
Charitas Hospital Arga Makmur. Pedoman ini memberi batasan dan cakupan layanan yang
memberi jaminan kualitas mutu di Instalasi Farmasi dan memberi kepuasan bagi pelanggan
melalui layanan obat yang diberikan baik yang di rawat inap maupun yang di rawat jalan .
Pelayanan diberikan secara menyeluruh dan tanpa membedakan suku, bangsa, agama
atau ras tertentu. Semua orang berhak mendapat kualitas pelayanan yang sama dengan memberi
yang terbaik dan jaminan mutu yang sama.
Dengan disusunnya Pedoman Pelayanan Instalasi Farmasi Charitas Hospital Arga
Makmur ini diharapkan dapat membantu pelaksanaan penerapan Standar Pelayanan yang
paripurna di rumah sakit.
Pedoman pelayanan diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan dalam pengelolaan sediaan
Farmasi dan BMHP dan unsur terkait dalam melaksanakan perencanaan, pembiayaan dan
pelaksanaan pelayanan khususnya pelayanan resep. Hal-hal lain yang belum tercantum dalam
buku ini akan diatur kemudian sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

10
4

Anda mungkin juga menyukai