Makalah Akad-Akad Dalam Hukum Perikatan Islam
Makalah Akad-Akad Dalam Hukum Perikatan Islam
Kelas 02
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PASUNDAN
2022/2023
DAFTAR ISI
i
2.4.4 Jenis-Jenis Akad Ariyah ............................................................................ 15
2.4.5 Berakhirnya Akad Ariyah .......................................................................... 16
2.5 Akad Qardh ...................................................................................................... 17
2.5.1 Definisi Akad Qardh ................................................................................. 17
2.5.2 Dasar Hukum Akad Qardh ........................................................................ 17
2.5.3 Rukun dan Syarat Akad Qardh ................................................................. 18
2.5.4 Jenis-Jenis Akad Qardh ............................................................................. 19
2.5.5 Berakhirnya Akad Qardh .......................................................................... 19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Ijab adalah penawaran yang diajukan oleh salah satu pihak, dan kabul
adalah jawaban persetujuan yang diberikan mitra akad sebagai tanggapan terhadap
penawaran pihak yang pertama. Akad tidak terjadi apabila pernyataan kehendak
masing-masing pihak tidak terkait satu sama lain karena akad adalah keterkaitan
kehendak kedua pihak yang tercermin dalam ijab dan kabul.3
1 Noor Hafidah, Hukum Jaminan Syariah Dan Implementasinya Dalam Perbankan Syariah Di Indonesia, (Yogyakarta: UII
Press, 2017), hlm. 54
2 Ibid, hlm. 55
3 Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 68-69
1
1) Apa pengertian dari akad ijarah?
2) Apa dasar hukum dari akad musyarakah?
3) Apa saja jenis-jenis dari akad mudharabah?
4) Apa saja rukun dan syarat dari akad ariyah?
5) Bagaimana berakhirnya akad qardh?
1.3 Tujuan
Adapun tujuan dibuatkannya makalah ini sebagai berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
a) Al-Qur’an
4 Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah 13, (Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2006), hlm. 203
5 Syaifullah Aziz, Fiqih Islam Lengkap, (Surabaya: Asy-syifa, 2005), hlm. 377
6 Muchlisin Riadi, “Ijarah (Pengertian, Dasar Hukum, Jenis, dan Ketentuan)”. https://www.kajianpustaka.com/2020/12/al-
3
Dalam al-Qur’an ketentuan tentang upah tidak tercantum secara terperinci.
Akan tetapi pemahaman upah dicantumkan dalam bentuk pemaknaan
tersirat, seperti ditemukan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 233 yang artinya:
“Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, Maka tidak ada
dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut.
Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha melihat apa
yang kamu kerjakan”.
Penjelasan lain juga dapat ditemukan pada Q.S. Al-Qashash ayat 26 yang
artinya: “Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena Sesungguhnya, orang
yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang
yang kuat lagi dapat dipercaya”
b) Hadist Rasulullah
Ketentuan mengenai ijarah juga terdapat dalam Hadist yang diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar yang berbunyi: “Berikanlah upah pekerja
sebelum keringatnya kering”. Penjelasan lain dari Hadist riwayat 'Abd ar-
Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa'id al-Khudri yang berbunyi: “Barang
siapa memperkerjakan pekerja, Beritahukanlah upahnya”.
c) Ijma’
Umat Islam pada masa sahabat telah berijma' bahwa Ijarah dibolehkan sebab
bermanfaat bagi manusia. Selain bermanfaat bagi sesama manusia sebagian
masyarakat sangat membutuhkan akad ini, karena termasuk salah satu akad
tolong-menolong.7
Pakar-pakar keilmuan dan cendekiawan sepanjang sejarah di seluruh negeri
telah sepakat akan legitimasi ijarah. Dari beberapa nash yang ada, kiranya
dapat dipahami bahwa ijarah itu disyari'atkan dalam Islam, karena pada
dasarnya manusia senantiasa terbentur pada keterbatasan dan kekurangan.
Oleh karena itu, manusia antara yang satu dengan yang lain selalu terikat dan
saling membutuhkan.
Jadi, berdasarkan nash Al-Qur’an, Hadist Rasul dan Ijma’ tersebut
dapat ditegaskan bahwa hukum ijarah atau upah-mengupah boleh dilakukan
dalam islam asalkan kegiatan tersebut sesuai dengan syara’.
7 Ibid
4
2.1.3 Rukun dan Syarat Akad Ijarah
Pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, namun
perbedaannya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli objek
transaksinya adalah barang, maka pada ijarah obyek transaksinya adalah jasa.
Menurut Hanafiyah, rukun dan syarat ijarah hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul,
yaitu pernyataan dari orang yang menyewa dan menyewakan. Sedangkan
menurut jumhur ulama, rukun dan syarat ijarah ada empat, diantaranya:8
a) Aqid
Orang yang melakukan akad ijarah ada dua orang yaitu mu’jir dan musta’jir.
Mu’jir adalah orang yang memberikan upah atau yang menyewakan.
Sedangkan Musta’jir adalah orang yang menerima upah untuk melakukan
sesuatu dan yang menyewa sesuatu. Bagi yang berakad ijarah disyaratkan
untuk mengetahui manfaat barang yang dijadikan akad sehingga dapat
mencegah terjadinya perselisihan. Untuk kedua belah pihak yang melakukan
akad disyaratkan berkemampuan, yaitu kedua-duanya berakal dan dapat
membedakan mana yang baik dan buruk.
b) Sighat
Merupakan suatu ungkapan para pihak yang melakukan akad berupa ijab dan
qabul yang merupakan permulaan dari penjelasan yang keluar dari salah
seorang yang berakad sebagai gambaran kehendaknya dalam mengadakan
akad ijarah. Syarat-syaratnya sama dengan syarat ijab-qabul pada jual beli,
hanya saja ijab dan qabul dalam ijarah harus menyebutkan waktu yang
ditentukan.
c) Upah
Ujroh atau upah adalah sesuatu yang diberikan kepada musta’jir atas jasa
yang telah diberikan atau diambil manfaatnya oleh mu’jir. Adapun syarat dari
upah yaitu:
- Sudah diketahui jumlahnya. Karena ijarah merupakan akad timbal balik,
oleh karena itu ijarah tidak sah dengan upah yang belum diketahui.
- Pegawai khusus seperti hakim tidak boleh mengambil uang dari
pekerjaannya, karena dia sudah mendapatkan gaji khusus dari
8 Nasrun Haroen, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 230
5
Pemerintah. Jika dia mengambil gaji dari pekerjaannya berarti dia
mendapat gaji dua kali dengan hanya mengerjakan satu pekerjaan saja.
- Uang yang harus diserahkan bersamaan dengan penerimaan barang yang
disewa. Jika lengkap manfaat yang disewa, maka uang sewanya harus
lengkap.
d) Manfaat
Di antara cara untuk mengetahui barang adalah dengan menjelaskan
manfaatnya, pembatasan waktu, atau menjelaskan jenis pekerjaan jika ijarah
atas pekerjaan atau jasa seseorang. Dan semua harta benda boleh diakadkan
ijarah di atasnya.
6
melakukan ijab-qobul dilakukan kesepakatan diantara para pihak apabila
salah seorang yang berakad wafat bisa diwariskan.
d) Jika terdapat udzur (halangan) dari salah satu pihak. Seperti rumah yang
disewakan disita oleh Negara karena terkait utang yang banyak, maka ijarah
dinyatakan batal.
10 Rahmat Syafei, Fiqh Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2011), hlm 183.
11 Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Prenada Media Group, 2012), hlm 218.
12 Widyarini, Syamsul Hadi, Fatwa MUI, PSAK, dan Praktek Musyarakah, Jurnal Hukum Islam, vol. 15, No. 1, Februari 2018,
7
2.2.2 Dasar Hukum Akad Musyarakah
Musyarakah merupakan akad yang diperbolehkan berdasarkan Al-
Quran, Sunnah, dan Ijma:
a) Al-Quran
Terdapat yang menjadi dasar hukum akad musyarakah diantaranya pada Q.S.
An-Nisa ayat 12 yang artinya: “…. Tetapi jika saudara-saudar seibu itu lebih
dari seorang, maka mereka bersama-sama dalam rangka bagian yang
sepertiga itu.”
Dan juga terdapat pada Q.S. Shad ayat 24 yang artinya: “Dia (Daud) berkata,
Sungguh dia telah berbuat zalim kepadamu dengan meminta kambingmu itu
untuk (ditambahkan) kepada kambingnya. Memang banyak di antara orang-
orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-
orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan, dan hanya sedikitlah
mereka yang begitu. Dan Daud menduga bahwa kami mengujinya, maka dia
memohon ampunan kepada Tuhannya lalu menyungkur sujud dan bertobat.”
Dalam surat An-Nisa ayat 12, pengertian syirkah adalah bersekutu dalam
memiliki harta yang diperoleh dari warisan. Sedangkan dalam surat Shad
ayat 24, lafal al-khutha diartikan syirkah, yakni orang-orang yang
mencampurkan harta mereka untuk dikelola Bersama.
b) Hadist Rasulullah
Ketentuan mengenai musyarakah juga terdapat dalam Hadist yang
diriwayatkan oleh Abu Daud yang berbunyi: “Dari Abu hurairah, ia
merafa’akannya kepada Nabi, beliau bersabda: sesungguhnya Allah
berfirman: Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang berserikat, selagi,
salah satunya tidak menghianati temannya, Apabila berkhianat kepada
temannya, maka saya akan keluar dari antara keduanya”.
c) Ijma’
Ibnu Qudamah dalam kitabnya, al-Mughni, telah berkata: “kaum muslimin
telah berkonsensus terhadap legitimasi masyarakat secara global walau
terdapat perbedaan pendapat dalam beberapa elemen darinya.
d) Pertimbangan Yuridis
Landasan hukum mengenai musyarakah terdapat di Fatwa DSN/MUI/No.
08/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Musyarakah.
8
2.2.3 Rukun dan Syarat Akad Musyarakah
Rukun dari musyarakah yang harus dipenuhi dalam transaksi, yaitu:
13 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), hlm. 127.
9
lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam
sebuah aset nyata, dan berbagi pula dalam keuntungan yang dihasilkan aset
tersebut.
a) Salah satu pihak membatalkan meskipun tanpa persetujuan pihak yang lain
sebab musyarakah adalah akad yang terjadi atas dasar kerelaan dari kedua
belah pihak. Hal ini menunjukkan pencabutan kerelaan oleh salah satu pihak;
b) Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk bertasharruf (keahlian
mengelola harta), baik karena gila atau alasan lainnya;
c) Salah satu pihak meninggal dunia, tetapi apabila anggota musyarakah lebih
dari dua orang, maka yang meninggal batal. Musyarakah tetap berjalan terus
pada anggota-anggota yang hidup;
d) Salah satu pihak dalam pengaruh di bawah pengampunan, baik karena boros
yang terjadi pada masa perjanjian tengah berjalan atau sebab yang lainnya;
e) Salah satu pihak jatuh bangkrut yang berakibat tidak berkuasa atas harta yang
menjadi objek musyarakah.
14 Dimyauddin Djuwaini, Pengantar Fiqh Muamalah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm 211.
15 Abdullah Al-Muslih, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, (Jakarta: Daarul Haq, 2004), hlm. 168.
10
100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak
sebagai mudharib atau pengelola usaha.16
11
d) Pertimbangan Yuridis
Landasan hukum mengenai mudharabah terdapat di Fatwa DSN No.
07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah.
12
Penawaran dan penerima harus diucapkan oleh kedua pihak untuk
memperlihatkan keinginan mereka guna menyempurnakan kontrak;
c. Maal (modal)
Maal harus berbentuk uang (bukan barang), harus jelas, diketahui
jumlahnya, dan harus tunai bukan hutang;
d. Nisbah (keuntungan)
Jumlah kelebihan yang didapatkan dari modal yang harus dibagi secara
proporsional kepada kedua pihak sesuai yang dinyatakan dalam kontrak.
13
العارyang artinya cacat. Sedangkan menurut istilah pengertian ariyah adalah akad
yang memberikan wewenang untuk mengambil manfaat sesuatu yang halal, dan
saat pengembalian barang masih tetap utuh.
Terdapat pada Q.S. Al-Baqarah ayat 245 yang artinya berbunyi “Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahi
hartanya di jalan Allah maka Allah akan melipatgandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan rezeki dan kepada-Nyalah kamu dikembalikan”.
b) Hadist Rasulullah
Selain di dalam Al-Quran, hadist yang diriwatkan oleh Ibnu Majjah juga
menyebutkan bahwa siapa yang memberi pinjaman kepada sesamanya, maka
akan diganti dengan ganti dua kali lipat dari apa yang dipinjamkannya.
“Setiap muslim yang memberikan pinjaman kepada sesamanya dua kali,
maka itu seperti sedekah dua kali”. (HR. Ibnu Majjah)
14
• Dianggap sah amal baiknya, bukan dari golongan anak kecil, orang gila,
budak mukatab tanpa ijin tuannya dan bukan dari orang yang
mengalokasikannya terbatasi dengan sebab bangkrut atau tidak ada
kecakapan dalam mengelola harta;
• Memiliki manfaat barang yang dipinjamkan meskipun tidak mempunyai
hak pada barang semisal dengan menyewanya bukan dengan hasil pinjaman
dari orang lain karena manfaat barang yang di pinjam bukan menjadi
haknya melainkan diperkenankan untuk memanfaatkannya.
b) Musta’ir (orang yang mendapat pinjaman) dengan syarat:
• Telah ditentukan, maka tidak sah akad ariyah pada salah satu dari dua
musta’ir yang tidak ditentukan;
• Bebas dalam mengalokasikan harta benda, maka tidak sah dari anak kecil,
orang gila atau orang yang mengalokasikannya terbatasi dengan sebab tidak
memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui sebab tidak
memiliki kecakapan dalam mengelola harta kecuali melalui wali masing-
masing.
c) Mu’ar (benda yang dipinjamkan) dengan syarat:
• Manfaatnya sesuai dengan yang dimaksud dari benda tersebut. Maka tidak
sah akad ariyah pada koin emas atau perak dengan maksud untuk dijadikan
sebagai hiasan, karena pada dasarnya manfaat dari koin tersebut bukan
untuk hiasan;
• Musta’ir dapat mengambil kemanfaatan mu’ar atau sesuatu yang dihasilkan
darinya seperti meminjam kambing untuk diambil susu dan anaknya atau
meminjam pohon untuk diambil buahnya. Maka tidak sah akad ariyah pada
barang yang tidak dapat dimanfaatkan seperti sapi yang lumpuh;
• Mu’ar dimanfaatkan dengan membiarkannya tetap dalam kondisi utuh,
Maka tidak sah akad ariyah pada makanan untuk dikonsumsi atau pada
sabun untuk mandi karena pemanfaat tersebut dapat menghabiskan barang
yang dipinjamkan.
15
1) Ariyah Muqayyadah
Yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan batasan
tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan jangka
waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan
pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam
kecuali mentaatinya. Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang berharta,
sehingga untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat
tertentu. Pembatasan bisa tidak berlaku apabila menyebabkan musta’ir tidak
dapat mengambil manfaat karena adanya syarat keterbatasan tersebut. Dengan
demikian dibolehkan untuk melanggar batasan tersebut apabila terdapat
kesulitan untuk memanfaatkannya.
2) Ariyah Muthalaqah
Yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak dibatasi. Melalui
akad ariyah ini, peminjam diberi kebebasan untuk memanfaatkan barang
pinjaman, meskipun tanpa ada pembatasan tertentu dari pemiliknya. Biasanya
ketika ada pihak yang membutuhkan pinjaman, pemilik barang sama sekali
tidak memberikan syarat tertentu terkait objek yang akan dipinjamkan.
Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam akad tidak
disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan kendaraan tersebut,
misalnya waktu dan tempat mengendarainya. Namun demikian harus
disesuaikan dengan kebiasaan yang berlaku di masyarakat. Tidak boleh
menggunakan kendaraan tersebut siang malam tanpa henti. Jika
penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang pinjaman rusak
maka mu’ir harus bertanggung jawab.
a) Menarik diri, atau pembatalan akad dari kedua belah pihak yang mengadakan
akad, sama seperti keterangan terdahulu. Ketika peminjam menolak menarik
diri dari kesepakatan akad, pemberi pinjaman tidak berhak mendapat uang
sewa, karena aturan yang berlaku umum memutuskan demikian;
b) Pemberi pinjaman meninggal, gila, dicekal, karena telah kehilangan
kecakapan;
16
c) Peminjam meninggal dunia. Ketika peminjam meninggal dunia, para ahli
waris wajib mengembalikan barang yang dipinjamnya, meskipun pemberi
pinjaman tidak menuntut mereka. Mereka bisa dianggap bermaksiat, sebab
menunda pengembalian barang pinjaman. Para ahli waris tidak berwenang
menggunakan barang pinjaman, sehingga ketika mereka mempergunakannya,
mereka wajib membayar uang sewa serta dianggap orang yang bermaksiat.
Dalam Wikipedia, Al-Qardh adalah salah satu akad yang terdapat pada
sistem perbankan syariah yang tidak lain adalah memberikan pinjaman baik
berupa uang ataupun lainnya tanpa mengharapkan imbalan atau bunga (riba).
Secara tidak langsung berniat untuk tolong menolong bukan komersial.20
Terdapat pada Q.S. Al-Hadid ayat 11 yang artinya berbunyi “siapakah yang
mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan
melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh
pahala yang banyak”.
Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita diseru untuk
meminjamkan kepada Allah, artinya untuk membelanjakan harta dijalan Allah.
Selaras dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga diseru untuk
19Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani,2001), hlm.131
20Wikipedia Ensiklopedia Bebas, “Perbankan Syariah”, http://id.wikipedia.org/wiki/Perbankan_syariah, diakses pada tanggal
27 September 2022, pukul 19.26
17
meminjamkan kepada sesama manusia, sebagai bagian dari kehidupan
bermasyarakat (civil society).
b) Hadist Rasulullah
a) Shighat
Yang dimaksud dengan shighat adalah ijab qabul. Tidak ada perbedaan
diantara fuqaha bahwa ijab qabul itu sah dengan lafaz utang dan dengan
semua lafaz yang menunjukkan maknanya, demikian pula qabul sah dengan
semua lafaz yang menunjukkan kerelaan.
b) ‘Aqidain
Yang dimaksud dengan ‘aqidain adalah pemberi utang dan pengutang.
Adapun syarat bagi pengutang adalah merdeka, balig, berakal sehat, dan
cakap.
c) Harta yang diutangkan
Rukun harta yang diutangkan diantaranya:
• Harta berupa harta yang ada padannya, maksudnya harta yang satu sama
lain dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang mengakibatkan
perbedaan nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat di takar,
ditimbang, ditanam, dan dihitung;
• Harta yang diutangkan disyaratkan berupa benda, tidak sah mengutangkan
manfaat;
18
• Harta yang diutangkan diketahui, yaitu diketahui kadarnya dan diketahui
sifatnya.
1) Akad qardh yang berdiri sendiri dan hanya bermaksud digunakan sebagai
tujuan sosial, sesuai dengan apa yang tertera di Fatwa MUI DSN Nomor
19/DSN-MUI/IV/2001 yang menjelaskan bahwa Al-Qardh ada bukan sebagai
kelengkapan transaksi atau sarana untuk mencari keuntungan;
2) Akad qardh yang digunakan sebagai sarana untuk melengkapi transaksi lain
yang bersifat komersial atau termasuk ke dalam akad-akad mu’awadhah
untuk mendapatkan keuntungan. Pihak ketiga hanya dalam menggunakan
dana tersebut untuk tujuan komersial seperti pembiayaan pengurusan Haji
Lembaga Keuangan Syariah, produk Rahn Emas, pengalihan utang, dan
ajakan piutang.
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pembagian macam-macam akad memiliki masing-masing kriteria / cara
tersendiri dalam akadnya tergantung pada proses atau perjanjian pada suatu masalah
pokok tertentu seperti utang-piutang, pembiayaan dan tabungan. Adapun mengenai
macam-macam akad, ternyata banyak sekali macam-macam akad yang dilihat dari
berbagai perspektif, baik dari segi segi definisi akad, dasar hukum akad, rukun akad,
syarat akad, berakhirnya akad dan lain-lain. Semua mengandung unsur yang sama
yakni adanya kerelaan dan keridhaan antar kedua belah pihak terkait dengan
pindahnya hak-hak dari satu pihak ke pihak lain yang melakukan kontrak. Sehingga
dengan terbentuknya akad, akan muncul hak dan kewajiban diantara pihak yang
bertransaksi. Sehingga tercapailah tujuan kegiatan muamalah dalam kehidupan kita
sehari-hari.
3.2 Saran
Dari penjelasan yang telah dijelaskan di atas tentang macam-macam
perikatan atau akad dan penggolongannya tentunya masih kurang lengkap apabila
hanya dipaparkan melalui makalah ini, lebih lagi penjelasan yang kami sampaikan
sangatlah kurang. Hal itu disebabkan terbatasnya pengetahuan serta referensi yang
kami dapatkan dan referensi yang kami baca. Oleh karena itu kami meminta kritik
dan saran kepada para pembaca yang bersifat membangun.
20
DAFTAR PUSTAKA
Al-Muslih, Abdullah. 2004. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Daarul Haq
Hafidah, Noor. 2017. Hukum Jaminan Syariah dan Implementasinya Dalam Perbankan
Syariah di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.
Riadi, Muchlisin. 2020. “Ijarah (Pengertian, Dasar Hukum, Jenis, dan Ketentuan)”,
https://www.kajianpustaka.com/2020/12/al-ijarah.html, diakses pada tanggal
20 September 2022 pukul 15.42
Sabiq, Sayyid. 2006. Fiqih Sunnah 13. Jakarta: Pena Pundi Aksara.
21
Syafii Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema
Insani.
Widyarini dan Syamsul Hadi. 2018. Jurnal Hukum Islam: Fatwa MUI, PSAK, dan
Praktek Musyarakah Volume 15 (hlm. 216), diakses pada tanggal 25
September 2022.
22