Anda di halaman 1dari 7

ANALISA TIGA KASUS

HUKUM PIDANA KORPORASI DAN PERBANKAN

Dosen Pengampu :

NYIMAS ENNY FW,SH.MH

Disusun Oleh :

RD. EKO HADIYANTO (1900874201036)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BATANGHARI
2022
1. Analisa Putusan Pengadilan Negeri Meulaboh Nomor
131/Pid.B/2013/PN.MBO)

Dalam kasus pidana dengan Nomor Register Perkara No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO,


Jaksa Penuntut Umum menentukan PT. Kalista Alam sebagai terdakwa dan
mendakwanya dengan Pasal 69 ayat (1) huruf h jo. Pasal 108 jo. Pasal 116 ayat (1)
huruf a Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup jo. Pasal 64 Kitab UndangUndang Hukum Pidana.
Selain pertanggungjawaban pidana individu, UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup mengenal suatu pertanggungjawaban pidana korporasi yang diatur
dalam Pasal 116 - 120. Pasal 116 ayat (1) huruf a menyatakan bahwa apabila tindak
pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan
pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha. Terminologi badan usaha
dipakai dalam UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup agar memiliki
keseragaman dengan UU Ketenaga-listrikan dan UU Minerba. Badan usaha yang
dimaksud memiliki makna sebagai badan usaha yang berbadan hukum dan badan
usaha yang non badan hukum.
Pertanggungjawaban pidana korporasi merupakan bentuk perluasan
pertanggungjawaban pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam ilmu hukum pidana dasar, dikenal perluasan pertanggungjawaban pidana yang
dinamakan dengan penyertaan (deelneming). Deelneming diatur dalam Pasal 55
KUHP. Dalam pertanggungjawaban pidana korporasi, konsep penyertaan tidak dapat
diberlakukan karena Pasal 116 ayat (2) UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup telah menentukan bahwa tindak pidana lingkungan hidup yang
dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan
lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan
terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa
memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara pertanggungjawaban pidana korporasi
dan konsep penyertaan dalam KUHP. Penyertaan dalam Pasal 55 KUHP berorientasi
pada pemidanaan orang (natuurlijk persoon) yang diperluas, sedangkan
pertanggungjawaban pidana korporasi menghadirkan subjek baru dalam hukum
pidana, yaitu korporasi yang awalnya tidak menjadi subjek hukum dalam hukum
pidana. Perbedaan lainnya adalah dalam hal jenis kesalahan yang dapat ditimpakan.
Dalam penyertaan, jenis kesalahan yang dapat ditimpakan selalu berbentuk dengan
sengaja karena penyertaan melibatkan niat pelaku yang menjadi auctor intelectualis
dibalik terjadinya delik dengan menggerakkan orang lain. Sementara badan usaha
dalam tindak pidana korporasi dapat dikenakan kelalaian.
Untuk menentukan siapakah yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas peristiwa
pidana tersebut, perlu dilihat fakta-fakta hukum yang terjadi dan dikaitkan dengan
teori-teori yang berkembang mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi.
Penentuan PT. Kalista Alam sebagai terdakwa bukanlah suatu hal yang tidak
mungkin. Pada awalnya memang pertanggungjawaban korporasi tidak dapat diterima
dalam ilmu hukum pidana karena terdapat pandangan bahwa badan hukum tidak
dapat dipidana (universitas delinquere non potest) dengan anggapan bahwa korporasi
tidak memiliki kesadaran dan tidak punya badan aktual (no soul to be damned and no
body to be kicked).Namun, seriring dengan meningkatnya peran korporasi dalam
kegiatan perekonomian dan mulai diterimanya doktrin functional daderschap (pelaku
fungsional), korporasi mulai diposisikan sebagai pihak yang dapat dimintakan
pertanggungjawaban.

KESIMPULAN
PT. Kalista Alam dapat dijadikan sebagai terdakwa dalam tindak pidana lingkungan
hidup berdasarkan Pasal 116 ayat (1) huruf a UU Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Sayangnya, Jaksa Penuntut Umum menetapkan korporasi sebagai
penanggung jawab tindak pidana tanpa menjelaskan dasar pertanggungjawaban
pidana korporasi. Majelis Hakim pun tidak memberikan pertimbangan apakah
penetapan PT. Kalista Alam sebagai terdakwa adalah tepat dengan menggunakan teori
pertanggungjawaban pidana korporasi.

Model pertanggungjawaban pidana korporasi yang paling tepat dalam perkara a quo
adalah model Corporate Fault atau Corporate Culture dilihat dari prosedur dan
kebijakan PT. Kalista Alam yang tidak mengakomodasi terhadap bahaya kebakaran
lahan. Vicarious Liability dan The Identification Doctrine tidak dapat diterapkan
sebagai dasar pertanggungjawaban pidana korporasi dalam kasus ini karena
kurangnya fakta-fakta yang mendukung terhadap penerapan teori tersebut. Korporasi
hanya dapat dijatuhi pidana pokok berupa pidana denda walaupun dalam ketentuan
pidana dalam rumusan pasal merumuskan penjara dan denda dengan menggunakan
diksi “dan” yang artinya dijatuhi secara bersamaan. Majelis Hakim sudah tepat dalam
menjatuhkan pidana karena PT. Kalista Alam dijatuhi pidana pokok dengan hanya
pidana denda.

2. Analisa Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor :


812/Pid .Sus /2010 /PN.Bjm

Sebuah kaidah hukum diangkat dan menjadi dasar dalam putusan pemidanaan dari
putusan Nomor: 812/Pid .Sus /2010 / PN.Bjm yaitu “walaupun terhadap SW telah
dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman atas tindak pidana korupsi namun PT GJW
selaku korporasi yang terlibat didalamnya juga dapat dimintai pertanggungjawaban
atas kesalahan/ penyimpangan yang telah dilakukan.” Jadi bukan berarti bahwa
setelah subjek hukum berupa persoon telah dipidana maka korporasi sebagai sarana
untuk mendapatkan keuntungan dari perbuatan korupsinya bisa terbebaskan dari
pertanggungjawaban pidana. Apalagi korporasi tersebut mendapatkan keuntungan dan
kemanfaatan dari perbuatan subjek hukum persoon tersebut juga. Selama ini seolah
terdapat kesan bahwa korporasi yang digunakan sebagai sarana melakukan korupsi,
ketika directing mindnya diputus pemidanaannya, maka korporasinya tidak dijerat dan
dipertanggungjawabkan secara pidana. Padahal dalam berbagai kasus korupsi yang
melibatkan korporasi sebagai sarana merugikan negara, diantaranya secara jelas
mengemukakan keterkaitan pendirian atau pengelolaan korporasi yang bertujuan dan
dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan dari proyek-proyek pemerintahan yang
sengaja dimanipulasi dan dikorupsi dengan berbagai modus operandi.Sayangnya
meskipun telah diputus pemidanaan terhadap pengurusnya yang terbukti telah
melakukan perbuatan merugikan keuangan negara dan bahkan sampai putusan
tersebut berkekuatan hukum tetap, tak kunjung dilakukan proses penuntutan dan
pemidanaan terhadap korporasinya.
Oleh sebab itu kaidah hukum dari pemidanaan putusan Pengadilan Negeri
Banjarmasin ini dapat menjadi preseden yang baik bagi upaya pemberantasan korupsi
di negeri ini khususnya terkait dengan efektivitas pemidanaan terhadap korporasi
sebagai Pelaku a quo pertanggungjawabannya atas terjadinya tindak pidana korupsi.
Jadi begitu pengurusnya yang berposisi sebagai directing mind telah terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi dan dipidana karenanya sesuai putusan pengadilan
yang berkekuatan hukum tetap, maka terhadap korporasinya seharusnya dituntut dan
diproses pertanggungjawaban pidananya dihadapan peradilan tindak pidana korupsi.

Selain mengemukakan kaidah hukum yang bernilai baru dan progresif sebagaimana
tersebut diatas, putusan pemidanaan dari Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor :
812/Pid .Sus /2010 /PN.Bjm yang menjatuhkan pidana sesuai dengan apa yang
dituntut oleh JPU ini juga menarik ditinjau dari perspektif hukum progresif. Secara
normatif putusan pemidanaan dari Hakim mengacu pada dakwaan a quo tuntutan JPU
dan musyawarah Majelis. Namun secara praktik peradilan, umumnya putusan
pemidanaan tersebut dibawah tuntutan pidana JPU. Bahkan terdapat kesan yang
umum terkait kisaran putusan pemidanaan dari Hakim adalah 2/3 (dua pertiga) dari
tuntutan pidana JPU. Hanya dalam kasus-kasus tertentu, Hakim keluar dari “kesan
kebiasaan” tersebut dengan memberikan putusan pemidanaan yang selaras dan sesuai
dengan yang dimintakan JPU. Dalam perspektif ini dapat dikatakan bahwa perkara
korporasi sebagai Terdakwa korupsi ini adalah yang tergolong khusus. Bisa jadi
dengan semangat pemberantasan korupsi dan memberikan langkah hukum
pengembalian kerugian negara yang sepadan menjadi alasan dasar divonisnya PT.
GJW dengan pemidanaan yang sesuai dengan tuntutan pidana JPU. Dalam konteks
inilah putusan pemidanaan terhadap PT. GJW oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin
bernilai progresif.

KESIMPULAN
Meskipun telah lama ditegaskan sebagai salah satu subjek hukum dan dapat
dipertanggungjawabkan dalam tindak pidana korupsi tetapi belum pernah muncul
perkara korupsi dimana korporasi dijadikan sebagai terdakwa dan dituntut serta
dipidana. Baru melalui perkara PT. GJW yang diajukan sebagai terdakwa oleh
Kejaksaan dan dituntut ke pengadilan tindak pidana korupsi (setelah SW selaku
Direktur Utamanya diputus pemidanaannya dan inkracht di tingkat kasasi).
Kasus PT. GJW merupakan penemuan hukum yang progresif karena mengandung
kebaruan dan dapat digunakan sebagai acuan dalam mempidana korporasi pelaku
tindak pidana korupsi oleh para Hakim lainnya di kemudian hari.
3. Analisa Putusan Pengadilan Negeri Karawang
No.434/Pid.B/2011/PN.Krw

Putusan Pengadilan Negeri Karawang No.434/Pid.B/2011/PN.Krw, menyatakan PT.


KPSS yang dalam hal ini diwakili oleh Wang Dong Bing tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam dakwaan
Primair. Dimana dalam Putusan Pengadilan Tinggi Bandung No.170/PID.SUS/2012/
PT.Bdg, amarnya menyatakan dakwaan Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat diterima,
serta membebaskan Terdakwa Wang Dong Bing dari dakwaan Jaksa/Penuntut Umum.
Putusan MA No. 1405 K/Pid.Sus/2013, amarnya menyatakan: i. PT. KPSS, yang
dalam hal ini diwakili oleh Wang Dong Bing terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “tanpa izin melakukan dumping limbah ke media
lingkungan”; ii. Menghukum Terdakwa Wang Dong Bing, PT. KPSS oleh karena itu
dengan pidana penjara selama 10 (sepuluh) bulan. iii. Menghukum Terdakwa PT.
KPSS tersebut oleh karena itu dengan pidana denda sebesar Rp 500.000.000,00 (lima
ratus juta Rupiah).
KESIMPULAN
Dalam menetapkan terdakwa pada tahap kasasi, jaksa menekankan pada dua pasal
dalam hal pertanggung jawabannya yakni, pasal 98 ayat (1) dan Pasal 103 UUPT
dimana apabila dilihat dari fakta hukumnya, karena terdapat penyerahan kuasa kepada
Wang Dong Bing untuk menjadi Direksi yang mewakili PT. KPSS dalam segala hal,
serta ditemukan bahwa seluruh perintah dan kendali PT. KPSS dalam pengelolaan
berada di bawah Wang Dong Bing, maka tindakan atas pencemaran lingkungan
limbah B3 serta dumping limbah ke media lingkungan tanpa izin pun pertanggung
jawabannya berada di tangan Wang Dong Bing sebagai personal bukan hanya PT.
KPSS sebagai badan hukum. Hakim pada akhirnya di tingkat kasasi membenarkan
memori kasasi JPU, dan diperkuat dengan ketentuan penetapan pidana pada seseorang
berdasarkan UUPPLH dimana, pemidanaan dalam korporasi bukan bertitik pada
penanggungjawaban oleh seseorang yang menempati jabatan pengurusan, melainkan
terhadap seseorang yang memberikan perintah atas tindakan pencemaran lingkungan
tersebut. Penentuan terdakwa bila ditinjau dengan Teori Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi sudah tepat yaitu PT. KPSS dan bukan Wang Dong Bing sebagai
perwakilan dari PT. KPSS. Kemudian Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
adalah yang cocok untuk digunakan dalam kasus ini, dan dalam hal penyertaan,
KUHP berbeda dengan Tindak Pidana Korporasi. Karena dalam Tindak Pidana
Korporasi, sebuah tindakan yang dilakukan dalam korporasi akan dianggap sebagai
sebuah tindakan yang dilakukan oleh satu subjek hukum, sedangkan di dalam KUHP
penyertaan yang dimaksud adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh seseorang
tertentu yang melakukan perbuatan melanggar hukum. Australia menggunakan teori
budaya perusahaan dan asas praduga bersalah terhadap pemimpin korporasi, sehingga
apabila kasus ini diadili di Australia, Wang Dong Bing sebagai pengurus yang
bertindak sebagai Direktur karena Direktur Utama berada di Cina telah melakukan
kesalahan dengan menciptakan budaya perusahaan yang menyebabkan
ketidakpatuhan. Apabila kasus ini diadili di Inggris, Wang Dong Bing sebagai
pengurus korporasi telah melakukan kelalaian (neglect), sehingga Wang Dong Bing
bertanggungjawab dalam tindak pidana korporasi berdasarkan Section 157 (1) dari
Environmental Protection Act 1990. Sehingga PT KPSS bersalah dikarenakan Wang
Dong Bing sebagai pengurus telah melakukan kelalaian, dan Wang Dong Bing juga
bertanggungjawab sebagai pribadi kodrati bila dia menjadi terdakwa juga.

Anda mungkin juga menyukai