Mata Diklat
KEBIJAKAN PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN
LAHAN
Oleh
Sugeng Jinarto, S.Hut.,M.P.
A. Deskripsi Singkat
Gangguan keamanan kawasan baik Kawasan hutan maupun perkebunan
tidak sebatas pada pencurian hasil hutan atau perkebunan, hama dan penyakit,
namun demikian juga kebakaran hutan, lahan dan kebun yang dampaknya dapat
menimbulkan kerugian bagi pengelola kawasan hutan atau perkebunan dan juga
kerugian bagi Negara pada umumnya, sehingga pemerintah berupaya untuk
membuat berbagai kebijakan terkait dengan perlindungan dan pengamanan hutan
dan kebun, baik lokal maupun nasional dalam upaya untuk meminimalisir tingkat
gangguan tersebut.
Kebijakan tersebut bermuara pada upaya menekan atau mengurangi
gangguan yang ditimbulkan dari kebakaran hutan, lahan dan kebun tersebut,
misalnya bencana asap di seluruh wilayah Indonesia.
Berbagai kebijakan tersebut tentunya harus diketahui dan dipahami oleh
pengelola kawasan baik kawasan hutan maupun perkebunan, sehingga dapat
berpartisipasi dalam rangka melakukan penanggulangan terhadap kebakaran
hutan, lahan dan kebun.
B. Kompetensi Diklat
Setelah peserta mengikuti pembelajaran mata diklat ini diharapkan peserta
mampu menjelaskan kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
C. Hasil Belajar
Setelah selesai mengikuti mata diklat ini, peserta diharapkan dapat menjelaskan:
Dasar hukum pengendalian kebakaran hutan dan lahan
Kondisi dan permasalhan kebakaran hutan dan lahan di Indonesia
Strategi pengendalian kebakaran hutan danlLahan
Peran para pihak dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan
1
BAB II
DASAR HUKUM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Di tingkat Desa, sebenarnya dapat membuat peraturan desa (Perdes) atau kelompok
masyarakat tertentu dapat membuat peraturan lokal untuk menghidupkan kembali
aturan adat yang berkaitan dengan pengelolaan kebakaran hutan, lahan dan kebun.
Karena diyakini bahwa masyarakat lokal yang paling tahu tentang kondisi wilayahnya
sendiri. Sehingga aturan-aturan yang dibuat oleh masyarakat lokal dengan
berdasarkan pada pengetahuan dan pengalamannya tentunya akan lebih sesuai
dengan kondisi setempat.
2
c. rehabilitasi dan reklamasi hutan, dan
d. perlindungan hutan dan konservasi alam.
Pasal 46
Penyelenggaraan perlindungan hutan dan konservasi alam bertujuan menjaga hutan,
kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi
produksi, tercapai secara optimal dan lestari.
Pasal 47
Perlindungan hutan dan kawasan hutan merupakan usaha untuk:
a. mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan
yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya-daya alam,
hama, serta penyakit; dan
b. mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat, dan perorangan
atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang
berhubungan dengan pengelolaan hutan.
Pasal 48
Pemerintah mengatur perlindungan hutan, baik di dalam maupun di luar kawasan
hutan.
(1) Perlindungan hutan pada hutan negara dilaksanakan oleh pemerintah.
(2) Pemegang izin usaha pemanfaatan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
27 dan Pasal 29, serta pihak pihak yang menerima wewenang pengelolaan
hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34, diwajibkan melindungi hutan
dalam areal kerjanya.
(3) Perlindungan hutan pada hutan hak dilakukan oleh pemegang haknya.
(4) Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya,
masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.
(5) Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3),
ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 49
Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran hutan di areal
kerjanya.
Pasal 50
(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan hutan.
(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha
pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan
3
bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang
melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.
(3) Setiap orang dilarang:
d. membakar hutan;
l. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran dan kerusakan
serta membahayakan keberadaan atau kelangsungan fungsi hutan ke dalam
kawasan hutan
Pasal 51
(1) Untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat
kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang
kepolisian khusus.
(2) Pejabat yang diberi wewenang kepolisian khusus sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berwenang untuk:
a. mengadakan patroli/perondaan di dalam kawasan hutan atau wilayah
hukumnya;
b. memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan pengangkutan
hasil hutan di dalam kawasan hutan atau wilayah hukumnya;
c. menerima laporan tentang telah terjadinya tindak pidana yang menyangkut
hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
d. mencari keterangan dan barang bukti terjadinya tindak pidana yang
menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan;
e. dalam hal tertangkap tangan, wajib menangkap tersangka untuk diserahkan
kepada yang berwenang; dan
f. membuat laporan dan menandatangani laporan tentang terjadinya tindak
pidana yang menyangkut hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan.
Pasal 8
(1) Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3)
meliputi :
c. mencegah kerusakan hutan dari perbuatan manusia dan ternak, kebakaran
hutan, hama dan penyakit serta daya-daya alam;
d. mengambil tindakan pertama yang diperlukan terhadap adanya gangguan
keamanan hutan di areal kerjanya;
4
e. melaporkan setiap adanya kejadian pelanggaran hukum di areal kerjanya
kepada instansi kehutanan yang terdekat;
f. menyediakan sarana dan prasarana, serta tenaga pengamanan hutan yang
sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 10
(2) Perlindungan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan
antara lain :
a. pencegahan gangguan dari pihak lain yang tidak berhak;
b. pencegahan, pemadaman dan penanganan dampak kebakaran;
c. penyediaan personil dan sarana prasarana perlindungan hutan;
d. mempertahankan dan memelihara sumber air;
e. melakukan kerjasama dengan sesama pemilik hutan hak, pengelola kawasan
hutan, pemegang izin pemanfaatan hutan, pemegang izin pemungutan, dan
masyarakat.
Pasal 18
(1) Perlindungan hutan dari kebakaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 huruf
a, adalah untuk menghindari kerusakan hutan yang disebabkan oleh :
a. perbuatan manusia;
b. daya-daya alam.
(2) Perbuatan manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, antara lain :
a. melakukan pembakaran hutan tanpa izin; atau
b. membuang benda-benda yang dapat menyebabkan kebakaran.
(3) Daya-daya alam sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, antara lain
akibat-akibat petir, gunung berapi, reaksi sumber daya alam dan atau gempa.
Pasal 19
(1) Setiap orang dilarang membakar hutan.
(2) Pengecualian dari larangan membakar hutan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diperbolehkan dilakukan secara terbatas untuk tujuan khusus atau
kondisi yang tidak dapat dielakkan, meliputi :
a. pengendalian kebakaran hutan;
b. pembasmian hama dan penyakit;
c. pembinaan habitat tumbuhan dan satwa.
5
(3) Pelaksanaan pembakaran hutan untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak
dapat dielakkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus mendapat izin dari
pejabat yang berwenang.
(4) Pembakaran hutan untuk tujuan khusus atau kondisi yang tidak dapat dielakkan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebh lanjut oleh Menteri.
Pengendalian Kebakaran
Pasal 20
(1) Untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan yang disebabkan oleh
kebakaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 6 huruf a, dilakukan kegiatan
pengendalian, yang meliputi :
a. pencegahan ;
b. pemadaman;
c. penanganan pasca kebakaran.
(2) Kegiatan pengendalian kebakaran hutan dilakukan pada tingkat :
a. nasional;
b. provinsi;
c. kabupaten/kota;
d. unit atau kesatuan pengelolaan hutan.
(3) Pengendalian kebakaran hutan tingkat nasional dilakukan oleh dan menjadi
tanggung jawab Menteri.
(4) Pengendalian kebakaran hutan tingkat provinsi dilakukan oleh dan menjadi
tanggung jawab Gubernur.
(5) Pengendalian kebakaran hutan tingkat kabupaten/kota dilakukan oleh dan
menjadi tanggung jawab Bupati/Walikota.
(6) Pengendalian kebakaran hutan tingkat kesatuan pengelolaan hutan dilakukan
oleh dan menjadi tanggung jawab Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan.
Pasal 21
(1) Pada tingkat nasional Menteri menetapkan program pengendalian kebakaran
hutan tingkat nasional.
(2) Pada tingkat provinsi Gubernur menetapkan program pengendalian kebakaran
hutan tingkat provinsi.
(3) Pada tingkat kebupaten/kota, Bupati/Walikota menetapkan rencana
pengendalian kebakaran hutan.
(4) Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan
menetapkan rencana kegiatan pengendalian kebakaran hutan.
6
Pasal 22
(1) Dalam pelaksanaan pengendalian kebakaran hutan, Pemerintah membentuk
lembaga pengendalian kebakaran hutan pada tingkat pusat, provinsi,
kabupaten dan unit pengelolaan hutan.
(2) Lembaga pengendalian kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), disebut brigade pengendalian kebakaran hutan.
(3) Brigade pengendalian kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
bertugas menyusun dan melaksanakan program pengendalian kebakaran
hutan.
(4) Koordinasi dan tata hubungan kerja brigade pengendalian kebakaran hutan
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pencegahan
Pasal 23
(1) Dalam rangka pencegahan kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada Pasal
20 ayat (1) huruf a, dilakukan kegiatan :
a. Pada tingkat nasional, antara lain :
1. membuat peta kerawanan kebakaran hutan nasional;
2. mengembangkan sistem informasi kebakaran hutan;
3. menetapkan pola kemitraan dengan masyarakat;
4. menetapkan standar peralatan pengendalian kebakaran hutan;
5. membuat program penyuluhan dan kampanye pengendalian kebakaran;
6. menetapkan pola pelatihan pencegahan kebakaran; dan
7. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
b. Pada tingkat provinsi, antara lain :
1. membuat peta kerawanan kebakaran hutan provinsi;
2. membuat model-model penyuluhan;
3. melaksanakan pelatihan pencegahan kebakaran hutan;
4. membuat petunjuk pelaksanaan pemadaman kebakaran hutan;
5. mengadakan peralatan pemadam kebakaran hutan; dan
6. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
c. Pada tingkat kabupaten/kota, antara lain :
1. melakukan evaluasi lokasi rawan kebakaran hutan;
2. melaksanakan penyuluhan;
3. membuat petunjuk teknis pelaksanaan pemadaman kebakaran hutan;
4. mengadakan peralatan kebakaran hutan; dan
5. melaksanakan pembinaan dan pengawasan.
7
d. 1. Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan produksi, kesatuan
pengelolaan hutan lindung, izin pemanfaatan hutan, izin penggunaan kawasan
hutan dan hutan hak, antara lain :
a) melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran hutan;
b) menginventarisasi faktor penyebab kebakaran;
c) menyiapkan regu-regu pemadam kebakaran;
d) membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran hutan;
e) mengadakan sarana pemadaman kebakaran hutan; dan
f) membuat sekat bakar.
2. Pada tingkat kesatuan pengelolaan hutan konservasi, antara lain :
a) melakukan inventarisasi lokasi rawan kebakaran hutan;
b) menginventarisasi faktor penyebab kebakaran;
c) menyiapkan regu-regu pemadam kebakaran;
d) membuat prosedur tetap pemadaman kebakaran hutan;
e) mengadakan sarana pemadaman kebakaran hutan; dan
f) membuat sekat bakar.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang kegiatan pencegahan kebakaran hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Menteri.
Pemadaman
Pasal 24
(1) Dalam rangka pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud pada Pasal 20 ayat
(1) huruf b, maka setiap Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin
Penggunaan Kawasan Hutan, Pemilik Hutan Hak dan atau Kepala Kesatuan
Pengelolaan Hutan, berkewajiban melakukan rangkaian tindakan pemadaman
dengan cara :
a. melakukan deteksi terjadinya kebakaran hutan;
b. mendayagunakan seluruh sumber daya yang ada;
c. membuat sekat bakar dalam rangka melokalisir api;
d. memobilisasi masyarakat untuk mempercepat pemadaman.
(2) Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang izin Penggunaan Kawasan Hutan,
Pemilik Hutan Hak dan atau Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan melakukan :
a. koordinasi dengan instansi terkait dan tokoh masyarakat dalam rangka
mempercepat pemadaman, evakuasi, litigasi dan mencegah bencana;
b. pelaporan kepada Bupati/Walikota tentang kebakaran hutan yang terjadi dan
tindakan
c. pemadaman yang dilakukan.
8
(3) Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b,
Bupati/Walikota melakukan :
a. deteksi terjadinya kebakaran hutan;
b. mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan koordinasi instansi terkait dan
tokoh masyarakat;
c. penyampaian laporan kepada Gubernur dan Menteri tentang kebakaran hutan
yang terjadi, tindakan yang sudah dan akan dilakukan.
(4) Berdasarkan informasi dan atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
Gubernur melakukan :
a. deteksi terjadinya kebakaran hutan;
b. mobilisasi brigade pemadam kebakaran dan koordinasi instansi terkait dan
tokoh masyarakat;
c. penyampaian laporan kepada Menteri tentang kebakaran hutan yang terjadi,
tindakan yang sudah dan akan dilakukan.
(5) Berdasarkan informasi dan atau laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
ayat (4), Menteri melakukan :
a. deteksi terjadinya kebakaran hutan;
b. koordinasi dan mobilisasi tenaga, sarana dan prasarana kebakaran hutan.
(6) Dalam rangka koordinasi dan mobilisasi sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
huruf b, Menteri membentuk Pusat Pengendalian Operasi Kebakaran Hutan.
Pasal 25
Koordinasi dan tata hubungan kerja pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud
pada Pasal 24 diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 26
(1) Untuk membatasi meluasnya kebakaran hutan dan mempercepat pemadaman
kebakaran setiap orang yang berada di dalam dan di sekitar hutan wajib :
a. melaporkan kejadian kebakaran hutan kepada Kepala Desa setempat,
petugas kehutanan, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin
Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan atau
Pemilik Hutan Hak;
b. membantu memadamkan kebakaran hutan.
9
Dalam rangka penanganan pasca kebakaran hutan sebagaimana dimaksud pada
Pasal 20 ayat (1) huruf c, dilakukan upaya kegiatan yang meliputi :
a. identifikasi dan evaluasi;
b. rehabilitasi;
c. penegakan hukum.
Pasal 28
(1) Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan, Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan,
Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan, atau Pemilik Hutan Hak melakukan
kegiatan identifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 27 huruf a.
(2) Kegiatan identifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa :
a. pengumpulan data dan informasi terjadinya kebakaran;
b. pengukuran dan sketsa lokasi kebakaran;
c. analisis tingkat kerusakan dan rekomendasi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai identifikasi dan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur oleh Menteri.
Pasal 29
(1) Berdasarkan hasil kegiatan sebagaimana dimaksud pada Pasal 28 ayat (2),
dilakukan kegiatan rehabilitasi.
(2) Kegiatan rehabilitasi dilakukan oleh Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan,
Pemegang Izin Pemanfaatan Hutan, Pemegang Izin Penggunaan Kawasan Hutan,
atau Pemilik Hutan Hak.
(3) Kegiatan rehabilitasi diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.
Pasal 31
10
Penegakan hukum terhadap tindak pidana kebakaran hutan dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 70
Ayat (1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya
untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup.
Ayat (2) Peran masyarakat dapat berupa:
a. pengawasan sosial;
b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau
c. penyampaian informasi dan/atau laporan.
Ayat (3) Peran masyarakat dilakukan untuk:
a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan;
c. menumbuhkembangkan kemampuan dan kepeloporan masyarakat;
d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan
pengawasan sosial; dan
e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka
pelestarian fungsi lingkungan hidup.
11
e. Pengembangan Inovasi Dalkarhutla;
f. Pemberdayaan Masyarakat dan Kerjasama Kemitraan;
g. Pelaporan, Pengawasan dan Evaluasi;
h. Penghargaan dan Sanksi; dan
i. Pembiayaan.
ORGANISASI DALKARHUTLA
(1) Organisasi Dalkarhutla merupakan organisasi pelaksana pengendalian kebakaran
hutan dan lahan.
(2) Organisasi Dalkarhutla, dibentuk berdasarkan:
a. Tingkat Pemerintahan, terdiri dari:
1. Pemerintah, bertanggung jawab terhadap upaya Dalkarhutla secara nasional
2. Pemerintah Provinsi, bertanggung jawab terhadap upaya Dalkarhutla di
wilayah administrasi provinsi
3. Pemerintah Kabupaten/Kota, bertanggung jawab terhadap upaya Dalkarhutla
di wilayah administrasi Kabupaten/Kota
b. Tingkat Pengelolaan.
Satgas Pengendali Provinsi Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan yang bersifat
koordinatif, diketuai oleh Gubernur, sekurang-kurangnya beranggotakan Sekretariat
Daerah, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA), Badan
12
Penanggulangan Bencana Daerah, Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), Dinas
Teknis bidang Kehutanan, Perkebunan, Pertanian dan/atau Dinas Teknis terkait
lainnya, Manggala Agni, Pemerintah Kabupaten/Kota dibawahnya, Pemerintah
Provinsi disekitarnya, Kepolisian Daerah, TNI setempat, dan atau instansi terkait
Dalkarhutla lainnya sesuai tingkat kepentingan dan kewenangannya
Setiap:
13
a. Pemegang IUPK atau IUPJL atau IPHHBK pada hutan lindung dan hutan produksi;
dan pemegang IPHHK dalam hutan alam pada hutan produksi dan HTR;
b. Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk kegiatan non pertambangan;
c. Pengelola Hutan Kemasyarakatan;
d. Pengelola Hutan Desa;
e. Penanggung jawab Hutan Adat;
f. Pemilik Hutan Hak;
g. Pemegang KHDTK; dan
h. Kelompok tani sekitar hutan atau desa konservasi atau kampung iklim atau desa
wisata berbasis ekosistem hutan; wajib memfasilitasi organisasi kelompok-
kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA).
Setiap organisasi dalam satu kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA) sekurang-
kurangnya terdiri dari 2 (dua) regu, masing-masing regu terdiri dari 15 (lima belas)
anggota masyarakat setempat dalam satu desa.
Setiap pemegang izin usaha non kehutanan di luar kawasan hutan antara lain,
perkebunan, pertambangan, wajib membentuk organisasi pengendalian kebakaran
lahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Setiap perorangan dan atau kelompok pencinta alam, kader konservasi, kelompok
jasa pemanduan wisata di Taman Nasional, pemerhati lingkungan, duta lingkungan,
dan pekerja atau profesi lainnya dapat membangun kelompok Masyarakat Peduli Api
(MPA) sesuai dengan kebutuhannya
14
Setiap:
a. Pemegang IUPHHK atau IUPHHBK atau IUPHHK restorasi ekosistem dalam hutan
alam pada hutan produksi;
b. Pemegang IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI atau HTHR;
c. Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Hutan Lindung dan Hutan
Produksi untuk Kegiatan Pertambangan; wajib menyiapkan Sumberdaya Manusia
pengendalian kebakaran hutan dalam Brigdalkarhutla, dipersiapkan untuk mengisi:
1). Organisasi Brigdalkarhutla;
2). Regu Dalkarhutla.
Setiap:
a. Pemegang IUPK atau IUPJL atau IPHHBK pada hutan lindung atau hutan produksi;
b. Pemegang IPHHK dalam hutan alam pada hutan produksi atau HTR;
c. Pemegang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Hutan Lindung dan Hutan
Produksi untuk Kegiatan Non Pertambangan;
d. Pengelola Hutan Kemasyarakatan,
e. Pengelola Hutan Desa,
f. Penanggung jawab Hutan Adat,
g. Pemilik Hutan Hak, dan
h. Pengelola KHDTK,
wajib menyiapkan sumberdaya manusia pengendalian kebakaran hutan dan lahan
dalam organisasi kelompok-kelompok Masyarakat Peduli Api (MPA)
15
Pelaku usaha perkebunan atau kelompok unit desa wajib menyiapkan sumberdaya
manusia pengendalian kebakaran lahan yang handal dalam organisasi yang dibentuk
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
Setiap:
a. KPHP;
b. KPHL;
c. KPHK;
d. KPH Perum Perhutani;
e. IUPHHK atau UPHHBK atau IUPHHK Restorasi Ekosistem dalam Hutan Alam
pada Hutan Produksi;
f. IUPHHK atau IUPHHBK dalam HTI atau HTHR;
g. izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi untuk
Kegiatan Pertambangan;
wajib menyiapkan sarpras untuk menunjang kegiatan Brigdalkarhutla
16
d. memukul antara lain gepyok, flapper karet;
e. menyemprot antara lain pompa punggung, pacitan;
f. membakar antara lain obor tetes, fusee.
Jenis dan jumlah peralatan tangan, dalam 1 (satu) regu sekurang-kurangnya terdiri
dari:
a. kapak dua fungsi sejumlah 4 (empat) unit;
b. gepyok sejumlah 8 (delapan) unit;
c. garu tajam sejumlah 6 (enam) unit;
d. garu pacul sejumlah 3 (tiga) unit;
e. sekop sejumlah 6 (enam) unit;
f. pompa punggung sejumlah 10 (sepuluh) unit;
g. obor sulut tetes sejumlah 1 (satu) unit;
h. kikir sejumlah 2 (dua) unit;
i. golok/parang sejumlah 10 (sepuluh) unit.
17
E. sarana pengolahan data dan komunikasi; dalam 1 (satu) regu, sekurang-kurangnya
terdiri atas:
1. GPS 1 unit
2. radio genggam 4 buah;
3. radio mobil 1 unit;
4. megaphone 1 buah; dan
5. peralatan komunikasi tradisional seperti bendera dan kentongan dengan jumlah
mengikuti kebutuhan
KEGIATAN DALKARHUTLA
Kegiatan Dalkarhutla, sekurang-kurangnya terdiri atas:
a. perencanaan;
b. penyelenggaraan pencegahan;
c. penyelenggaraan penanggulangan;
d. penyelenggaraan penanganan pasca kebakaran;
e. koordinasi kerja;
f. status kesiagaan.
STATUS KESIAGAAN
Status kesiagaan dan darurat meliputi:
a. Siaga 3 atau normal;
b. Siaga 2;
c. Siaga 1; dan
d. Tanggap Darurat Kabupaten/Kota, Provinsi, atau Nasional.
Pemberdayaan Masyarakat
Dalam rangka optimalisasi kegiatan Dalkarhutla, Pemerintah, Pemerintah Provinsi,
Pemerintah Kabupaten/Kota dan Unit Pengelolaan berkewajiban melakukan
pemberdayaan dan menumbuhkembangkan peran serta masyarakat dalam kegiatan
18
perencanaan, penanggulangan dan atau penanganan pasca kebakaran pada setiap
wilayah kerja Dalkarhutla.
19
Pasal 3
Ayat (1) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang memanfaatkan hutan
dan/atau lahan wajib melakukan Pembukaan Lahan Tanpa Bakar (PLTB).
Ayat (2) PLTB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 huruf a dilaksanakan dengan
cara:
a. manual;
b. mekanik; dan/atau
c. kimiawi.
Ayat (3) PLTB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan
pedoman dan/atau petunjuk teknis yang dikeluarkan oleh instansi teknis terkait.
Pasal 32
(1) Setiap Orang yang membuka dan mengolah lahan dalam luasan tertentu untuk
keperluan budi daya Tanaman Perkebunan wajib mengikuti tata cara yang dapat
mencegah timbulnya kerusakan lingkungan hidup.
Pasal 56
(1) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan dilarang membuka dan/atau mengolah lahan
dengan cara membakar.
(2) Setiap Pelaku Usaha Perkebunan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan
prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun.
Pasal 3
Ruang lingkup Peraturan Menteri meliputi:
a. perencanaan pembukaan dan/atau pengolahan Lahan Perkebunan tanpa
membakar;
b. kegiatan pembukaan dan/atau pengolahan Lahan Perkebunan tanpa membakar;
c. sistem, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran Lahan Perkebunan;
d. pelaporan; dan
e. pembinaan dan pengawasan.
20
BAB II PERENCANAAN PEMBUKAAN DAN/ATAU PENGOLAHAN LAHAN
PERKEBUNAN TANPA MEMBAKAR
Pasal 4
(1) Perusahaan Perkebunan harus memiliki Rencana Kerja Pembukaan dan/atau
Pengolahan Lahan Perkebunan (RKPPLP) yang disetujui oleh Kepala Dinas
provinsi atau kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan sebelum melakukan
pembukaan dan/atau pengolahan Lahan Perkebunan.
(2) Pekebun tidak harus memiliki RKPPLP sebelum melakukan pembukaan dan/atau
pengolahan Lahan Perkebunan.
(3) Untuk memperoleh persetujuan RKPPLP sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Perusahaan Perkebunan mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala
Dinas provinsi atau kabupaten/kota sesuai dengan kewenangan dilengkapi
dengan persyaratan meliputi:
a. profil perusahaan;
b. Izin Usaha Perkebunan untuk Budi daya (IUP-B), Izin Usaha Perkebunan untuk
Pengolahan (IUP-P), dan/atau Izin Usaha Perkebunan (IUP);
c. RKPPLP tahunan;
d. peta digital dengan skala 1:50.000 (satu banding lima puluh ribu) dalam cetak
peta dan file elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan; dan
e. pernyataan kesanggupan melakukan pembukaan dan/atau pengolahan Lahan
Perkebunan tanpa membakar sesuai dengan Format-1.
(4) Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sesuai dengan Format-2.
(5) RKPPLP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c disusun sesuai dengan
Format-3.
Pasal 5
Kepala Dinas provinsi atau kabupaten/kota paling lama 10 (sepuluh) hari kerja
terhitung sejak tanggal diterimanya permohonan telah selesai memeriksa kelengkapan
dan kebenaran persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) dan
memberikan jawaban menyetujui atau menolak.
Pasal 6
a. Apabila hasil pemeriksaan dokumen telah lengkap dan benar, Kepala Dinas
provinsi atau kabupaten/kota memberikan jawaban menyetujui permohonan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan diterbitkan persetujuan RKPPLP
sesuai dengan Format-4.
21
b. Permohonan ditolak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 apabila setelah
dilakukan pemeriksaan dokumen, persyaratan tidak lengkap dan/atau tidak benar.
c. Penolakan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberitahukan secara tertulis
kepada pemohon dengan disertai alasan penolakan.
Pasal 9
(1) Kegiatan pembukaan Lahan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) meliputi:
a. merencanakan penanaman;
b. mengimas dan/atau menumbangkan pohon;
c. merencek dan merumpukan kayu; d. membuat rintisan dan membagi petak
kebun;
d. membuat jalan dan parit;
e. membuat teras;
f. membuat pancang jalur tanam/pancang kepala; dan
g. membersihkan jalur tanam.
(2) Kegiatan pengolahan Lahan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) meliputi:
b. membersihkan lahan;
c. mengolah tanah;
d. memupuk; dan
e. sanitasi.
(3) Kegiatan pembukaan dan/atau pengolahan Lahan Perkebunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tercantum dalam Lampiran II
Pasal 10
22
(1) Biomassa hasil dari kegiatan pembukaan dan/atau pengolahan Lahan Perkebunan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilarang untuk dibakar.
(2) Pengolahan biomassa sisa pembukaan dan/atau pengolahan Lahan Perkebunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dimanfaatkan menjadi kompos atau
bahan lain yang pemanfaatannya tidak bertentangan dengan larangan membakar
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-perundangan.
Pasal 12
Pelaku Usaha Perkebunan wajib memiliki sistem, sarana, dan prasarana
pengendalian kebakaran Lahan Perkebunan.
Pasal 13
(1) Pekebun wajib membentuk KTPA sebagai bagian dari sistem, sarana, prasarana
pengendalian kebakaran Lahan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
12.
(2) Dalam memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap
kelompok atau gabungan kelompok membentuk KTPA yang anggotanya memiliki
pengetahuan dan keahlian dalam pengendalian kebakaran Lahan Perkebunan.
(3) Pengetahuan dan keahlian dalam pengendalian kebakaran Lahan Perkebunan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan melalui kegiatan pelatihan.
(4) Pembentukan KTPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pelatihan KTPA
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) difasilitasi oleh pemerintah daerah
kabupaten/kota.
23
Pasal 14
Sistem pengendalian kebakaran Lahan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 meliputi:
a. organisasi;
b. sumber daya manusia; dan
c. operasional pengendalian.
Pasal 15
(1) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a dalam bentuk satuan
tugas (satgas).
(2) Satuan tugas (satgas) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) oleh pimpinan
Perusahaan Perkebunan dengan susunan keanggotaan paling sedikit terdiri atas:
a. kepala;
b. sekretaris;
c. penanggung jawab urusan; dan
d. regu pemadam kebakaran.
Pasal 16
(1) Penanggung jawab urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf
c paling sedikit terdiri atas urusan pencegahan, pemadaman, dan logistik.
(2) Regu pemadam kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) huruf
d, paling sedikit terdiri atas regu:
a. inti;
b. pendukung; dan
c. perbantuan.
(3) Regu inti dan pendukung sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a dan huruf b
berasal dari karyawan Perusahaan Perkebunan yang ditugaskan dan dilatih untuk
pengendalian kebakaran Lahan Perkebunan.
(4) Regu perbantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c berasal dari
Pekebun dan/atau masyarakat yang bermitra dengan Perusahaan Perkebunan.
Pasal 17
(1) Jumlah regu inti sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (2) huruf a ditetapkan
dengan mempertimbangkan luas IUP-B, IUP-P atau IUP.
(2) Jumlah regu inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. 1 (satu) regu, berjumlah 15 (lima belas) orang untuk luas kebun kurang dari
1.000 (seribu) hektare;
24
b. 2 (dua) regu, berjumlah 30 (tiga puluh) orang untuk luas kebun antara 1.000
(seribu) sampai dengan 5.000 (lima ribu) hektare;
c. 3 (tiga) regu, berjumlah 45 (empat puluh lima) orang untuk luas kebun antara
5.001 (lima ribu satu) sampai dengan 10.000 (sepuluh ribu) hektare; atau
d. 4 (empat) regu, berjumlah 60 (enam puluh) orang untuk luas kebun antara
10.001 (sepuluh ribu satu) sampai dengan 20.000 (dua puluh ribu) hektare.
Pasal 18
Sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf b, berasal dari
karyawan Perusahaan Perkebunan, Pekebun dan/atau masyarakat yang bermitra
dengan Perusahaan Perkebunan.
Pasal 19
Operasional pengendalian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf c paling
sedikit terdiri atas:
a. peringatan dini;
b. deteksi dini;
c. pemadaman kebakaran; dan
d. penanganan pasca kebakaran.
Pasal 20
Peringatan dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi peringkat
bahaya kebakaran dan kelengkapannya, papan/bendera, peta rawan kebakaran, peta
situasi atau peta kerja, peta sumber air, dan sumber daya pengendalian kebakaran.
Pasal 21
(1) Deteksi dini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf b meliputi sarana dan
prasarana pemantauan titik panas.
(2) Sarana pemantauan titik panas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
perangkat komputer yang terhubung dengan jaringan internet dan menara
pemantau api.
(3) Spesifikasi menara pemantau api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tercantum
dalam Lampiran IV
Pasal 22
(1) Pemantauan titik panas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan oleh
satuan tugas (satgas).
25
(2) Pemantauan titik panas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap
informasi titik panas yang diperoleh dari Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan/atau
Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN).
Pasal 23
(1) Dalam hal terjadi kebakaran di areal IUP-B, IUP-P atau IUP, Perusahaan
Perkebunan wajib melakukan pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 huruf c.
(2) Pemadaman kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
regu pemadam kebakaran.
(3) Dalam hal kebakaran Lahan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat dipadamkan, satuan tugas (satgas) sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 15 berkoordinasi dengan Brigade dan/atau satuan pemadam kebakaran
seperti KTPA, Manggala Agni, dinas pemadam kebakaran setempat atau satuan
tugas (satgas) pada Perusahaan Perkebunan lainnya.
(4) Regu pemadam kebakaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib membuat
laporan kebakaran Lahan Perkebunan sesuai dengan Format-5 tercantum dalam
Lampiran I.
Pasal 24
(1) Penanganan pasca kebakaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf d
berupa kegiatan rehabilitasi Lahan Perkebunan.
(2) Kegiatan rehabilitasi Lahan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terdiri atas olah Tanah, pengaturan drainase, perbaikan unsur hara, penyisipan
tanaman, peremajaan, atau penanaman baru.
Pasal 25
Sarana pengendalian kebakaran Lahan Perkebunan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 12 meliputi:
a. peralatan pemadaman;
b. pengolahan data dan komunikasi;
c. sarana transportasi; dan
d. alat pendukung lainnya.
26
Pasal 26
(1) Peralatan pemadaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a meliputi
perlengkapan pribadi, perlengkapan regu, peralatan tangan, pompa air serta
kelengkapannya.
(2) Peralatan pemadaman untuk satu regu inti sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tercantum dalam Lampiran V
Pasal 27
(1) Pengolahan data dan komunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b
meliputi komputer, jaringan internet, GPS (Global Position System), Radio
Genggam atau HT (Handy Talky), dan megaphone.
(2) Pengolahan data dan komunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum
dalam Lampiran V
Pasal 28
(1) Sarana transportasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c meliputi
pengangkut personil, pengangkut peralatan, dan sarana patroli.
(2) Sarana transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan
kondisi lokasi setempat.
(3) Sarana transportasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tercantum dalam
Lampiran V
Pasal 29
(1) Alat pendukung lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d dapat
dimiliki secara sendiri atau bersama.
(2) Alat pendukung lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa mobil
pemadam kebakaran, dan/atau helikopter.
Pasal 30
(1) Perusahaan Perkebunan wajib memiliki prasarana pengendalian kebakaran lahan
perkebunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 berupa embung atau tempat
penampungan air.
(2) Embung sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dibangun 1 (satu) unit setiap
luasan 500 ha (lima ratus hektare) kebun dengan ukuran paling kecil 20 x 20 x 2
meter (dua puluh kali dua puluh kali dua meter).
27
BAB V PELAPORAN
Pasal 31
(1) Perusahaan Perkebunan wajib melaporkan:
a. perencanaan, dan pelaksanaan pembukaan dan/atau pengolahan Lahan
Perkebunan tanpa membakar; dan
b. sistem, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran Lahan Perkebunan,
setiap 1 (satu) tahun sekali kepada gubernur, bupati/wali kota sesuai dengan
kewenangan.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditembuskan kepada Menteri
melalui Direktur Jenderal.
(3) Laporan perencanaan, dan pelaksanaan pembukaan dan/atau pengolahan Lahan
Perkebunan tanpa membakar, sistem, sarana dan prasarana pengendalian
kebakaran Lahan Perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai
dengan Format-6, Format-7, dan Format-8 tercantum dalam Lampiran I
Pasal 32
(1) Brigade tingkat Daerah kabupaten/kota wajib melaporkan kegiatan pengendalian
kebakaran Lahan Perkebunan kepada bupati/wali kota melalui Dinas
kabupaten/kota secara berkala setiap bulan dan/atau sewaktu-waktu dengan
tembusan kepada gubernur dan Menteri.
(2) Brigade tingkat Daerah provinsi wajib melaporkan kegiatan pengendalian
kebakaran lahan perkebunan kepada gubernur melalui Dinas provinsi secara
berkala setiap 3 (tiga) bulan dan/atau sewaktu-waktu dengan tembusan kepada
bupati/wali kota dan Menteri.
(3) Brigade tingkat Pusat wajib melaporkan kegiatan pengendalian kebakaran Lahan
Perkebunan kepada Menteri melalui Direktorat Jenderal Perkebunan secara
berkala setiap 6 (enam) bulan dan/atau sewaktu-waktu dengan tembusan kepada
gubernur dan bupati/wali kota.
(4) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) wajib
dilakukan evaluasi oleh Menteri, gubernur, dan/atau bupati/wali kota untuk
ditindaklanjuti sesuai kewenangan.
28
b. sistem, sarana dan prasarana pengendalian kebakaran Lahan Perkebunan,
dilakukan oleh Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai
dengan kewenangan.
(2) Pembinaan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
dalam bentuk evaluasi dan penilaian usaha perkebunan.
(3) Evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan paling sedikit 6 (enam)
bulan sekali atau sewaktu-waktu dalam hal terjadi kebakaran Lahan Perkebunan.
(4) Penilaian usaha perkebunan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Perkebunan.
Pasal 34
(1) Direktur Jenderal, gubernur, atau bupati/wali kota dalam melakukan evaluasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dibantu oleh tim evaluasi.
(2) Keanggotaan tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit
terdiri atas unsur Direktorat Jenderal Perkebunan, pejabat Dinas provinsi dan
kabupaten/kota.
(3) Tim evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Direktur
Jenderal, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai dengan kewenangan
29
Format-1
SURAT PERNYATAAN
Nama : .................................................................................................
Jabatan : ................................................................................................
Alamat : .................................................................................................
Bertindak untuk dan atas nama PT/Koperasi ........ yang akan melakukan
pembukaan dan/atau pengolahan Lahan Perkebunan di desa...................
kecamatan.................. kabupaten/kota.......................... provinsi.................
dengan jenis tanaman ............................. seluas..............ha, menyatakan
kesanggupan:
materai
( nama jelas)
30
Format-2
KOP PT./KOPERASI.......
Yth.
Kepala Dinas Perkebunan
Prov. ……… / Kab. ……….. di
–
……………….
Bertindak untuk dan atas nama PT./Koperasi ……….. yang akan melakukan
pembukaan dan/atau pengolahan lahan perkebunan di desa...................
kecamatan.................. kabupaten/kota.......................... provinsi.................
dengan jenis tanaman ............................. seluas..............ha, mengajukan
permohonan persetujuan atas Rencana Kerja Pembukaan dan/atau
Pengolahan Lahan Perkebunan.
materai
( nama jelas)
31
Format-3
RENCANA KERJA PEMBUKAAN DAN/ATAU PENGOLAHAN LAHAN PERKEBUNAN
(RKPLP)
C. Pejabat Pemberi :
4. Lokasi Kebun :
A. Lokasi Administratif
- Desa :
- Kecamatan :
- Kabupaten :
- Provinsi :
B. Lokasi Geografis - Lintang
(LU/LS) :
- Bujur (BB/BT) :
5. Tahun Rencana Pembukaan dan Pengolahan Lahan
Perkebunan:
Tahun.....s/d tahun.....
6. Luas areal yang akan dibuka dan/atau diolah:
No Tahun Lokasi Luas
32
8. Kemiringan/kelerengan lahan
NO KELAS LERENG (%) LUAS (HA)
1. 0–8
2. 8 – 15
3. 15 – 25
4. 25 – 40
5. > 40
9. Jenis Tanah
a. Tanah Mineral : ha
b. Tanah Gambut : ha
11. Peralatan
KAPASITAS KERJA
NO JENIS PERALATAN JMLH KONDISI
PERHARI
A. Pembukaan lahan
perkebunan
1. Perencanaan penanaman
2. Mengimas dan/ atau
penumbangan pohon
3. Merencek dan/
perumpukan kayu
4. Membuat rintisan dan
pembagian petak kebun
5. Pembuatan jalan dan
parit
6. Pembuatan teras
7. Membuat pancang jalur
tanam/ pancang kepala.
8. Membersihkan jalur
tanam
B. Pengolahan
1. Pembersihan lahan
2. Pengolahan tanah
3. Pemupukan
4. Sanitasi
C. Pengendalian
1. Sistem
2. Sarana
3. Prasarana
4. Embung
33
12. Tenaga Kerja
JUMLAH
NO. KEGIATAN ASAL KET.
TENAGA
1. Pembukaan lahan
perkebunan
2. Pengolahan lahan
perekebunan
3. Pengendalian
13. Jadwal
34
Format-4
Yth.
Direksi PT. ……… / Ketua Koperasi ……….. di –
……………….
(Nama Lengkap)
NIP...................................
Format-5
35
LAPORAN TERJADINYA KEBAKARAN LAHAN PERKEBUNAN
FORMULIR
LAPORAN KEBAKARAN LAHAN PERKEBUNAN
No. Surat Tanggal
No. Laporan
I. PERISTIWA
1. Keadaan Darurat :
2. Waktu Kejadian :
3. Lokasi :
-blok/desa :
4. Luas :
36
Lanjutan....
Logo FORMULIR
Perusah LAPORAN KEBAKARAN LAHAN PERKEBUNAN
No. Dokumen Berlaku mulai
aan
Edisi/Revisi Halaman
FOTO KETERANGAN
37
Format-6
LAPORAN PERENCANAAN PEMBUKAAN DAN/ATAU PENGOLAHAN LAHAN
PERKEBUNAN (PPLP)
materai
( nama jelas)
38
Format-7
LAPORAN PELAKSANAAN PEMBUKAAN DAN/ATAU PENGOLAHAN LAHAN
PERKEBUNAN (PPLP)
C. Pejabat Pemberi :
4. Lokasi Kebun :
A. Lokasi Administratif
- Desa :
- Kecamatan :
- Kabupaten :
- Provinsi :
B. Lokasi Geografis - Lintang
(LU/LS) :
- Bujur (BB/BT) :
5. Tahun Pembukaan dan Pengolahan Lahan Perkebunan: Tahun.....
6. Luas areal yang telah dibuka dan/atau diolah:
No Tahun Lokasi Luas
39
8. Kemiringan/kelerengan lahan yang telah dibuka dan/atau diolah
NO KELAS LERENG (%) LUAS (HA)
1. 0–8
2. 8 – 15
3. 15 – 25
4. 25 – 40
5. > 40
9. Jenis Tanah yang telah dibuka dan/atau diolah
a. Tanah Mineral : ha
b. Tanah Gambut : ha
40
12. Tenaga Kerja
JUMLAH
NO. KEGIATAN ASAL KET.
TENAGA
1. Pembukaan lahan
perkebunan
2. Pengolahan lahan
perekebunan
3. Pengendalian
13. Jadwal
41
Format-8
Nama Perusahaan :
IUP No. dan Tgl. :
Luas Kebun :
Jenis Tanaman :
Alamat Kebun : Alamat
Kantor :
1. Kepala
2. Sekretaris
3. Penanggungjawab urusan
a. Pencegahan
b. Pemadaman
c. Logistik
4. Regu Pemadam Kebakaran Lahan
Perkebunan
a. Regu Inti (jumlah dan personel)
b. Regu Pendukung (jumlah dan personel)
c. Regu Perbantuan (jumlah dan personel)
B. Sumber Daya Manusia Pengendalian Kebakaran Lahan Perkebunan
42
Jumlah personel regu pendukung
Jumlah regu perbantuan
Jumlah personel regu perbantuan
C. Operasional Pengendalian Kebakaran Lahan Perkebunan
44
*) : Meliputi jumlah dan kondisi (berfungsi atau rusak)
1. Embung air
Lampiran II.
45
4. Membuat rintisan dan pembagian petak kebun Semak belukar dan pohon dibabat dan
dipotong, sehingga end menjadi jalan di dalam areal untuk memudahkan pekerjaan
selanjutnya. Pembagian petak tanaman antara lain didasarkan pada kondisi topografi,
jenis tanah dan jaringan jalan, sebagai contoh: kebun dapat dibagi ke dalam petak-petak
seluas 100 ha yang kemudian dibagi ke dalam sub petak seluas 25 ha (1.000 m x 250
m). Setiap sub petak dikelilingi oleh jalan utama (main roads) dan jalan pengumpulan
(collection roads).
5. Pembuatan jalan dan parit Jalan merupakan sarana penghubung untuk pengangkutan
bahan, alat dan produksi serta untuk jalan kontrol. Karena itu jaringan jalan dan mutu
jalan di kebun merupakan salah satu faktor keberhasilan pengelolaan. Perencanaan
pembuatan jaringan jalan harus selaras dengan desain kebun dan disesuaikan dengan
kondisi topografi dan kebutuhan berdasarkan luasan kebun. Kebutuhan jalan
disesuaikan dengan kondisi lahan. Pembuatan sistem drainase terdiri dari sebuah
jaringan kerja yang terdiri dari parit yang berfungsi untuk menjaga agar ketinggian air
selalu berkisar antara 50-70 cm. Sistem drainase ini sekaligus berfungsi sebagai sarana
untuk pembilasan pada lahan gambut secara periodik dari keasaman yang berlebihan.
Parit-parit ini perlu dibersihkan secara periodik agar sirkulasi air di lahan gambut
berjalan lancer.
6. Membuat Pancang Jalur Tanam/Pancang Kepala Jalur tanam dibuat menurut jarak antar
barisan tanaman (gawangan). Hal ini dimaksud untuk memudahkan pembersihan jalur
tanam dari hasil rencekan.
7. Membersihkan Jalur Tanam Hasil rencekan ditempatkan pada lahan diantara jalur
tanaman, dengan jarak 1 meter di kiri-kanan pancang jalur tanam. Dengan demikian
diperoleh 2 meter jalur yang bersih dari potonganpotongan kayu, seperti pada Gambar
1.
46
B. Pengolahan Lahan Perkebunan Serangkaian kegiatan pada ekosistem budidaya yang terdiri
atas Land Clearing (membersihkan lahan), Discing (mengiris lahan yang endan menjadi
bongkahan/membajak), Harrowing (membalikkan tanah/ menghaluskan), Chaining (lebih
menghaluskan lagi), dan Seed Bad Preparation (menyediakan bentuk akhir lahan yang
dikehendaki). Kegiatan pengolahan Lahan Perkebunan meliputi:
a. Pembersihan lahan Penyiapan lahan untuk dijadikan Lahan Perkebunan pada prinsipnya
membebaskan lahan dari tumbuhan pengganggu atau komponen lain dengan maksud
untuk memberikan ruang tumbuh kepada tanaman yang akan dibudidayakan. Cara
pelaksanaan penyiapan lahan yaitu dengan melakukan pembersihan lahan berupa
penebasan terhadap semak belukar dan padang rumput. Semak belukar dan padang
rumput selanjutnya ditumpuk pada tempat tertentu agar tidak mengganggu ruang
tumbuh tanaman.
b. Pengolahan tanah Pengolahan tanah dilakukan dengan cara mencangkul atau membajak
(sesuai dengan kebutuhan). Kegiatan pengolahan tanah dimaksudkan untuk
memperbaiki struktur tanah, Aerasi Tanah, membunuh Organisme Pengganggu
Tanaman (OPT), menghambat tumbuhnya gulma dan melancarkan Drainase
(pemasukan dan pembuangan air). Kegiatan pengolahan tanah terdiri dari:
a. Olah Tanah Konvensional / Sempurna Merupakan endan pengolahan yang
umumnya dilakukan dengan cara dibajak dan digaru secara manual maupun
mekanis agar tanah menjadi lebih gembur, subur dan mudah ditanami.
b. Olah Tanah Sistem TOT (Tanpa Olah Tanah) Merupakan endan pengolahan tanah
minimum untuk mengurangi biaya, sehingga lebih efisien dan tercapai tujuan
konservasi lahan.
47
c. Pemupukan
Pemupukan pada Tanaman Perkebunan tidak end dilakukan terus-menerus setiap hari.
Waktu pemupukan mempertimbangkan antara lain curah hujannya. Pemupukan yang
baik sebaiknya dapat memperbaiki kemasaman tanah dan merangsang perakaran.
Pemupukan dilakukan sesuai kondisi lahan, jumlah pupuk, dan umur atau jenis
Tanaman Perkebunan. Khusus untuk pemupukan pada tanah mineral atau lahan gambut
dianjurkan untuk dilakukan pemupukan lebih banyak. Walaupun mampu tumbuh dan
menghasilkan buah pada lahanlahan kritis, pemberian pupuk diberikan juga
pertumbuhan agar tanaman menghasilkan produktivitas yang tinggi, tanah lebih subur
dan mempertahankan umur produksi serta percepatan masa endangve. Pemupukan
dapat dilakukan dengan menggunakan pupuk endang dan pupuk kompos.
d. Sanitasi
Sanitasi merupakan kegiatan menjaga kebersihan Lahan Perkebunan dengan cara
membersihkan areal pertanaman dari gulam, daun-daun, ranting bekas pangkasan dan
bua-buahan yang busuk atau rontok. Tujuan dilakukan sanitasi yaitu menjamin proses
produksi Tanaman Perkebunan berlangsung secara maksimal dengan menekan resiko
serangan Organisme Penganggu Tanaman serta menekan persaingan oleh tumbuhan
lain untuk mendapatkan unsur hara dan sinar matahari.
Kegiatan sanitasi dapat dilakukan antara lain:
- Pembersihan gulma yang tumbuh di sekitar tanaman dengan mencabut Gulma di
cabut dan selanjutnya di timbun dengan tanah supaya menjadi kompos;
- Membersihkan bekas-bekas kemasan pestisida, pupuk, dan sampah-sampah lainnya;
- Memangkas daun dan ranting yang sakit atau yang menunjukkan tanda-tanda
serangan hama dan penyakit;
- Semua peralatan yang digunakan dalam kegiatan sanitasi dicuci dengan air hingga
bersih dan dikeringkan untuk menjaga tumbuhnya jamur atau pengkaratan.
Lampiran III
A. SUSUNAN DAN TUGAS BRIGADE PENGENDALIAN KEBAKARAN LAHAN
PERKEBUNAN (BRIGADE)
Susunan Brigade Pusat
Penanggung Jawab : Menteri Pertanian
Ketua I : Direktur Jenderal Perkebunan, Kementerian Pertanian.
Sekretaris I : Direktur Perlindungan Perkebunan, Direktorat Jenderal Perkebunan,
Kementerian Pertanian.
Sekretaris II : Direktur Perluasan dan Pengelolaan Lahan, Direktorat Jenderal
Prasarana dan Saranan Pertanian, Kementerian Pertanian.
48
Anggota :
1. Inspektur Jenderal, Kementerian Pertanian;
2. Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian, Kementerian Pertanian.
3. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pertanian;
4. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB);
5. Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Kementerian Dalam Negeri;
6. Asosiasi Perusahaan Perkebunan;
7. Asosiasi Pekebun.
Tugas Brigade Pusat:
a. melakukan koordinasi pengendalian kebakaran lahan perkebunan;
b. meningkatkan kualitas dan kuantitas sumber daya manusia, dalam pengendalian
kebakaran lahan perkebunan;
c. menyediakan sarana dan prasarana pengendalian kebakaran lahan perkebunan; dan
d. memfasilitasi penerapan teknologi yang dapat meningkatkan upaya pengendalian
kebakaran lahan perkebunan.
e. Menyampaikan laporan pengendalian kebakaran lahan perkebunan ke Menteri
Pertanian.
49
Susunan Brigade Tingkat Kabupaten:
Penanggung Jawab : Bupati.
Ketua : Kepala Dinas yang membidangi Perkebunan Kabupaten.
Sekretaris : Kepala Bidang Yang Menangani Kebakaran Lahan Perkebunan
Anggota :
1. Kepala Bidang yang menangani Sarana dan Prasarana;
2. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten;
3. Inspektur Daerah di Kabupaten;
4. Asosiasi Perusahaan Perkebunan;
5. Asosiasi Pekebun.
Tugas Brigade Kabupaten/Kota:
a. menyiapkan petunjuk lapangan tentang ystem pengendalian kebakaran lahan
perkebunan;
b. menyusun rencana pengendalian kebakaran lahan perkebunan;
c. melakukan kerjasama pengendalian kebakaran lahan perkebunan dengan para
pemangku kepentingan di daerah;
d. melakukan pembinaan terhadap KTPA;
e. mengkoordinasikan KTPA dalam pengendalian kebakaran lahan perkebunan di
tingkat lapangan;
f. menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan pengendalian kebakaran lahan
perkebunan kepada Bupati/Walikota, Gubernur, dan Menteri Pertanian c.q
Direktur Jenderal Perkebunan.
B. SUSUNAN DAN TUGAS KELOMPOK TANI PEDULI API (KTPA)
Susunan KTPA
Penanggung Jawab : Kepala Desa.
Ketua : Pekebun terlatih.
Anggota : 15 – 30 Pekebun terlatih.
Tugas KTPA :
a. membantu melakukan sosialisasi pembukaan dan/atau pengolahan lahan pekebunan
tanpa membakar;
b. melakukan pemantauan ke lokasi terindikasi adanya titik panas dan kebakaran;
c. melakukan pemadaman kebakaran lahan perkebunan secara dini;
d. melakukan koordinasi dengan brigade atau instansi lain terkait dengan pengendalian
kebakaran lahan perkebunan.
50
Lampiran IV
SPESIFIKASI MENARA PEMANTAU API
51
4) Status Siaga 1 (tanggap darurat)
a) Penjagaan dilakukan selama 24 jam;
b) Melaporkan hasil penjagaan kepada kepala regu dan diteruskan kepada kepala
satgas.
D. Perlengkapan Menara pemantau api
Menara api dilengkapi dengan peta kerja, teropong, kompas, sarana komunikasi, alat
penentu jarak, kalender, jam dinding, dan alat tulis.
Lampiran V
JUMLAH MINIMAL PERLENGKAPAN UNTUK SATU REGU INTI
52
5. Sekop 10
6. Pompa Punggung 1
1
7. Obor Sulut Tetes
8. Gergaji mesin/chainsaw
No. Jenis Peralatan Jumlah Satuan
IV. Pompa Air dan Kelengkapannya
1. Pompa bertekanan tinggi (minimal 25 HP) 1 buah
1 rol rol
a. Selang hisap (panjang minimal 4
m/buah) 5 buah buah
2
b. Selang keluar (panjang minimal 20
1 buah buah
m/rol)
buah
c. Nozzle
1 rol rol
d. Suntikan gambut (khusus untuk 1 buah
perusahaan perkebunan di lahan gambut) 2
e. Tangki air (lipat maupun tanki portable) 2
f. Y connector 6
2
2. Pompa jinjing (minimal 5 HP)
a. Selang hisap (panjang minimal 4
m/buah)
b. Selang keluar (panjang minimal 20
m/rol)
c. Nozzle
V. Sarana Pengolahan Data dan Komunikasi
1. GPS 2 buah buah
4 buah
2. Radio Genggam/Handy Talky
2
3. Megaphone
VI. Sarana Transportasi (memperhatikan kondisi wilayah
kerja) 1 unit
1. Sarana transportasi pengangkut personil
untuk kapasitas 15 orang (mobil, perahu dan atau
speed boat)
2. Sarana transportasi pengangkut peralatan 1 unit
(mobil, perahu dan atau speed boat)
1 unit
3. Sarana patroli (motor/mobil/speed
boat dsb)
53
BAB III
KONDISI DAN PERMASALAHAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN DI
INDONESIA
54
Pendapat lain menambahkan bahwa sering adanya campur tangan dari orang-
orang yang mempunyai jabatan tinggi sering menghambat upaya penegakan hukum
lingkungan dalam kasus kebakaran hutan. Selain itu terbatasnya saksi ahli juga
menjadi kendala tersendiri saat dilakukan penuntutan di pengadilan ( Hamrat Hamid
Absori, 2000)
BAB IV
STRATEGI PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Strategi dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan meliputi berbagai hal
seperti yang disebutkan dalam isi Permen LHK no 32 tahun 2016 yaitu sekurang-
kurangnya terdiri atas:
a. perencanaan;
b. penyelenggaraan pencegahan;
c. penyelenggaraan penanggulangan;
d. penyelenggaraan penanganan pasca kebakaran;
e. koordinasi kerja;
f. status kesiagaan.
Dari 6 kegiatan tersebut di atas, kegiatan yang perlu diperkuat adalah kegiatan
penyelenggaraan pencegahan terutama di tingkat tapak, yaitu pada masyarakat Desa
sekitar hutan, dengan memberikan bekal kewaspadaan akan kondisi cuaca terutama
pada kondisi musim kering.
Pola pertanian yang dikembangkan agar kondisi bawah tegakan terjaga dengan
baik adalah dengan sistem agroforestry. Sistem ini dilakukan dengan memadukan
penanaman tanaman musiman di bawah tanaman tahunan yang merupakan tanaman
kehutanan. Perawatan tanaman musiman yang berada di bawah tegakan dapat
mengontrol keberadaan seresah kering yang terdapat di lantai hutan, sehingga
kewaspadaan akan bahaya kebakaran dapat dilakukan. Selain agroforestry bisa juga
dilakukan dengan perpaduan tegakan hutan dengan perikanan (sylvofishery) atau juga
peternakan (sylvopastura).
Selain itu dilakukan juga dengan mengembangkan teknologi pembukaan lahan
tanpa bakar. Hasil pembukaan lahan tanpa bakar dapat dimanfaatkan sebagai bahan
bakar dan juga pupuk tanaman.
55
BAB V
PERAN PARA PIHAK DALAM PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN DAN
LAHAN
Kebakaran hutan dan lahan tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah
semata, namun demikian seluruh komponen masyarakat yang ada.
Tidak hanya masyarakat yang tinggal di sekitar hutan saja, namun demikian
masyarakat lain yang jauh dari sekitar hutanpun dapat berperan dalam pengendalian
kebakaran hutan dan lahan. Sebagai contoh para pengguna jalan yang melewati
kawasan hutan terutama di musim kering, hendaknya tidak membuang puntung rokok
sembarangan, karena dapat memicu terjadinya kebakaran hutan dan lahan.
Di sisi lain masyarakat yang memiliki ketergantungan dengan hutan, misalnya
berburu babi di luar kawasan konservasi, para pencari gaharu, pencari umbi di hutan
dan lain-lain perlu juga waspada untuk tidak membuat api unggun secara
sembarangan.
Para generasi muda khususnya para pelajar dan mahasiswa juga bisa
berperan aktif, misalnya dengan memberitahukan kepada orang tua, kerabat maupun
tetangga untuk tidak membakar tanpa mengontrol apinya terutama pada musim
kering/ kemarau.
Para mahasiswa juga dapat menjadi sukarelawan terhadap pemadaman kebakaran
hutan dan lahan, demikian juga dengan para karang taruna dari berbagai desa/
kampung.
Dalam hal terciptanya proses penegakan hukum, maka masyarakat juga bisa
menjadikan acuan bahwa dalam rangka menerapkan efek jera terhadap para pelaku
pembakar hutan dan lahan perlu harus terus menerus dipantau, sehingga oknum
masyarakat lain yang gemar melakukan pembakaran hutan dan lahan menjadi
berubah sikap dengan adanya penegakan hukum tersebut.
56
BAB VI
PENUTUP
Dari berbagai uraian di muka kita melihat bahwa peraturan perundangan yang
berkaitan dengan pengelolaan kebakaran hutan, lahan dan kebun sudah cukup
banyak. Walaupun memang perlu diakui bahwa penegakan hukumnya masih agak
lemah. Mengingat masyarakat adalah salah satu pelaku utama dalam proses
penegakan hukum, maka peran serta masyarakat dalam penegakan hukum perlu
ditingkatkan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Masyarakat
hendaknya mau mentaati peraturan hukum yang ada sekaligus juga mau
memanfaatkan hak-hak yang dimilikinya untuk menegakkan hukum yang ada. Adabila
tekanan masyarakat untuk menegakkan hukum ini cukup kuat, hal ini akan menjadi
dukungan moril bagi aparat penegak hukum untuk lebih serius menjalankan tugasnya.
Selain itu tekanan masyarakat akan dapat menjadi peringatan bagi siapapun untuk
tidak sembarangan melakukan kegiatan pembakaran hutan, lahan dan kebun.
57
DAFTAR REFERENSI
58