Fatichatus Sa’diyah
Sekolah Tinggi Ilmu Ushuluddin Darussalam Bangkalan, Indonesia
Email: faticha.sadiyah@gmail.com
Abstrak: Pada umumnya, adat pernikahan Jawa berkiblat pada adat Yogyakarta atau
Solo. Masing-masing dari keduanya memiliki karakteristik, dan perbedaan antara
satu dengan lainnya. Berdasarkan deskripsi terkait kiblat pernikahan Jawa adat
Yogyakarta dan Surakarta, penulis menemukan beberapa perbedaan pelaksanaan
pernikahan antara kiblat adat pernikahan Yogyakarta dan Surakarta dengan adat
pernikahan yang disaksikan penulis di desa Jatirembe Kecamatan Benjeng
kabupaten Gresik.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Berdasarkan tempatnya dan
sumbernya, penelitian ini merupakan penelitian lapangan atau field research. Dalam
penelitian ini, penulis akan meneliti tentang bagaimana pelaksaan pernikahan adat
Jawa di Desa Jatirembe, nilai-nilai apa yag terkandung dalam upacara tersebut dan
apa perbedaan antara pernikahan adat di Jatirembe dengan kiblat pernikahan adat
(Yogyakarta dan Surakarta). Berdasarkan hasil penelitian ini, upacara pernikahan
adat Jawa di Desa Jatirembe lebih berkiblat pada Mazhab Surakarta, meski terdapat
beberapa perbedaan. Adapun akulturasi nilai-nilai Islam yang terdapat dalam
upacara pernikahan adat tersebut berhubungan dengan akhlak seorang istri terhadap
suaminya yang tercerminkan dalam beberapa upacara, juga akhlak seorang anak
kepada kedua orang tuanya. Di mana kedua perintah tersebut sesuai dengan apa
yang ada dalam al-Qur’an dan Hadis.
Kata Kunci: Upacara Pernikahan, Akulturasi Budaya, Jatirembe Benjeng Gresik.
Pendahuluan
Perkawinan adalah suatu yang sakral, agung dan monumental bagi setiap
pasangan hidup. Karena itu, perkawinan bukan hanya sekadar mengikuti agama dan
meneruskan naluri para leluhur untuk membentuk sebuah keluarga dalam ikatan
Upacara Pernikahan Adat Jawa
hubungan yang sah antara pria dan wanita, namun juga memiliki arti yang sangat
mendalam dan luas bagi kehidupan manusia dalam menuju bahtera kehidupan seperti
yang dicita-citakannya.1 Dengan adanya perkawinan, rumah tangga dapat ditegakkan
dan dibina sesuai dengan norma dan tata cara kehidupan masyarakat. 2 Selanjutnya,
budaya atau tradisi perkawinan ini, setiap kelompok, golongan atau suku memiliki
identitas atau ciri khas tersendiri.
Masyarakat Jawa termasuk salah satu etnis yang sangat bangga dengan bahasa
dan budayanya meskipun terkadang mereka sudah tidak mampu lagi menggunakan
bahasa secara Jawa secara aktif, serta tidak begitu paham dengan kebudayaannya.3
Perkawinan merupakan peristiwa yang dianggap penting oleh masyarakat Jawa
sebelum kelahiran dan kematian. Masyarakat jawa memiliki sebuah tradisi atau adat
tersendiri dalam melaksanakan upacara perkawinan yang lengkap dengan semua
prosesi masih digunakan serta dilestarikan dan menjadi suatu upacara sakral.4
Penulis dapat dikatakan baru mengenal secara langsung adat pernikahan Jawa
pada awal bulan Januari 2017. Hari itu tepatnya bulan mawlid menurut kalender Islam,
yang menurut perhitungan Jawa merupakan hari baik untuk melaksanakan hajatan
seperti pernikahan. Saat itu, penulis diundang pada resepsi pernikahan teman Penulis
di Desa Jatirembe Kecamatan Benjeng Kabupaten Gresik. Penulis menemukan hal
yang berbeda dengan resepsi pernikahan yang biasa diketahui penulis. Sepengetahuan
penulis, acara resepsi ketika pihak kedua mempelai bertemu hanya ada acara formal
saja, seperti pembukaan dari Master of Ceremony (MC), kemudian disusul dengan
sambutan penyerahan dan penerimaan dari masing-masing wakil pihak mempelai, dan
diakhiri dengan doa. Pada resepsi pernikahan teman penulis tersebut, sebelum
memasuki upacara inti, ada semacam runtutan panjang upacara pernikahan, seperti
menginjak telur, membasuh kaki dengan air kembang, dan lain sebagainya. Setelah
1 Fatkhur Rohman, “Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa Kraton Surakarta dan
Yogyakarta (Studi Komparasi)” (Skripsi—UIN Walisongo, Semarang, 2015), 1.
2 Linda Puji Astuti, “Upacara Adat Perkawinan Priyayi di Desan Ngembal Kecamatan Tutur Kabupaten
Pasuruan” (Skripsi--Universitas Negri Malang, Desember, 2010), 6.
3 Ni Wayan Sartini, “Menggali Nilai kearifan Lokal Budaya Jawa Lewat Ungkapan (Bebasan, Saloka, dan
Paribasa)” Logat (Jurnal Ilmiah Bahasa dan Sastra), Vol. V, No. 1 (April, 2009), 29.
4 Mentari Nurul Nafifa, “Persepsi Masyarakat Terhadap Tradisi Bubak Kawah di Desa Kabekalan
Kecamatan Prembun Kabupaten Kebumen”, Jurnal Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Jawa
Universitas Muhammadiyah Pruworejo, Vol. 06, No. 02 (April 2015), 105-106.
172 al-Thiqah Vol. 3, No. 2 Oktober 2020
Fatichatus Sa’diyah
5 Moch Lukluil Maknun, “Adat Pernikahan di Kota Pekalongan” Jurnal Penelitian, Vol. 10, No. 2
(November, 2013), 295.
6 Ummi Sumbulah, “Islam Jawa dan Akulturasi Budaya; Karakteristik, Variasi dan Ketaatan Ekspresif”
el Harakah, Vol. 14, No. 1 (tb, 2012), 57.
7 Lebba Pongsibanne, Islam dan Budaya Lokal, bahan kuliah Islam dan Budaya Lokal (Yogyakarta: t.p,
2012), 7.
174 al-Thiqah Vol. 3, No. 2 Oktober 2020
Fatichatus Sa’diyah
Dengan kata lain, datangnya Islam tidak dapat begitu saja dikatakan berakhir suasana
kultural dan politik kehidupan. Sebaliknya, tidak dapat juga dikatakan sebagai bekas-
bekas Hindu Jawa yang masih kelihatan. Dalam sistem politik, kesultanan Islam
dianggap sebagai bukti dari berlanjutnya zaman Hindu Jawa, meskipun kekuasaan
politik Islam telah bercokol.8
Salah satu hal yang penting dalam catatan sejarah adalah memperhatikan
dinamika dari pembentukan interpretasi dan perjalanan dalam pola perilaku. Islamisasi
yang terjadi di Jawa bukan Arabisasi, namun lebih kepada pribumisasi Islam, agar nilai-
nilai Islam dapat masuk kepada budaya yang telah berkembang di Jawa.9
Istilah pribumisasi Islam dipopulerkan oleh Abdurrahman Wahid (Guz Dur)
pada era 1980-an. Tentu saja istilah tersebut secara praksis jauh lebih tua. Dakwah
Walisongo di Pulau Jawa misalnya, telah menggunakan kearifan-kearifan lokal dan
tradisi sebagai metode. Walisongo tidak menghapus seluruhnya tradisi-tradisi lokal dan
menggantinya dengan Islam. Walisongo mempertahankan segi-segi tradisi dan
mencoba mengadaptasinya dengan ajaran Islam tanpa merusak nilai substansialnya.10
Pribumisasi berarti transformasi unsur-unsur Islam pada unsur-unsur budaya
pribumi. Jika diperluas lagi, pribumisasi adalah kelanjutan dari proses akulturasi
budaya. Yakni, sebuah proses di mana unsur-unsur luar diterima oleh unsur-unsur lokal
atau sebaliknya.11
Jika pribumisasi diletakkan dalam konteks budaya Jawa, maka ia dapat diartikan
sebagai suatu proses pertemuan atau saling adopsi antara unsur-unsur Islam dan unsur-
unsur lokal Jawa. Dua entitas tidak saling meniadakan, tetapi saling memperkaya. Di
sini peran pembawa Islam ke Nusantara, khususnya ke Jawa -para Walisongo- sangat
penting. Mereka telah memilih tafsir Islam yang memperhatikan lokalitas. Pemahaman
Islam dirujukkan pada konteks-konteks budaya Jawa.12
Hal senada juga dijelaskan oleh Koentjaraningrat, bahwa akulturasi budaya
dalam pengertian Antropologi acculturation atau culture contact yang menyangkut proses
8 Ibid.,
9 Ibid.,
10 Mudhofir Abdullah, “Pribumisasi Islam Dalam Konteks Budaya Jawa dan Integrasi Bangsa” Indo-
Islamika, Vol. 4, No. 1 (Januari-Juni, 2014), 68.
11 Ibid., 70.
12Ibid., 70.
percampuran dua budaya atau lebih yang terjadi di dalam masyarakat dan saling
mempengaruhi. Salah satu dari kebudayaan tersebut akan lebih dominan dan diadopsi
menjadi kebudayan sendiri tanpa menghilangkan identitas dari kebudayaan tersebut.
Unsur-unsur kebudayaan tidak pernah didifusikan secara terpisah, melainkan
senantiasa dalam satu gabungan atau kompleks yang terpadu.13
Islam dan budaya Jawa telah mengalami proses interaksi yang panjang.
Keduanya telah saling belajar dan menghargai. Budaya Jawa telah memerankan diri
sebagai “komplementer” bagi visi Islam tentang rah{mat li al `a>lami>n. Di sisi lain,
Islam telah tampil dengan sangat efektif di nusantara karena memperhatikan unsur-
unsur lokal sebagai sarana penjabaran operasional universalitas ajarannya. Dengan
argumen lain, Islam telah menyatakan dirinya tepat dengan ruang dan waktu, termasuk
dengan nilai-nilai nusantara, khususnya nilai-nilai Jawa.14
Karena itu, Islam bukan ancaman bagi nilai-nilai Jawa. Sebaliknya, budaya Jawa
bukan pula ancaman bagi Islam. Justru dengan titik-titik taut nilai universal yang
dimiliki keduanya, maka konsep rah{mat li al `a>lami>n yang denganya Nabi
Muhammad SAW diutus menemukan maknanya secara baik. Di sinilah pribumisasi
Islam dalam konteks budaya Jawa dapat dipertanggungjawabkan secara teologis,
sosiologis, dan filosofis.15
13 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi dalam Rendra Khaldun, “Akulturasi Islam dan Budaya
Lokal” Komunitas (Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam), Vol. 8, No. 1 (Juni, 2016), 61.
14 Abdullah, “Pribumisasi Islam”, 87.
15 Ibid., 87.
16 Fatkhur Rohman, “Makna Filosofi Tradisi Upacara Perkawinan Adat Jawa Kraton Surakarta dan
Yogyakarta” (Skripsi—UIN Walisongo, Semarang, 2015), 82-89.
176 al-Thiqah Vol. 3, No. 2 Oktober 2020
Fatichatus Sa’diyah
Kedua, liru kembar mayang. Proses ini dilakukan sebelum temu manten, di mana
kembar mayang kakung ditukarkan dengan kembar mayang putri.
Ketiga, panggih. Kedua pengantin dipertemukan. Proses ini mengandung arti
bahwa keduanya telah resmi menjadi suami istri. Setelah siap, kemudian dilanjutkan
dengan beberapa upacara lain.
Keempat, balang suruh. Suatu proses di mana kedua mempelai saling melempar
bungkusan yang berisi daun sirih yang diikat dengan benang putih. Daun tersebut
melambangkan kasih sayang dan kesetiaan, sedangkan saling melempar melambangkan
bahwa kedua pengantin adalah manusia sejati.
Kelima, mecah wiji dadi. Yakni suatu prosesi memecah telur oleh pengantin pria,
kemudian kakinya dibasuh pengantin putri dengan air bunga. Hal ini melambangkan
bahwa seorang suami harus bertanggung jawab terhadap keluarganya dan seorang istri
harus taat melayani suaminya.
Keenam, pupuk yakni suatu proses di mana ibu pengantin wanita mengusap
pengantin pria sebagai tanda ikhlas menerimanya menjadi bagian dari keluarga.
Ketujuh, sindur binayung suatu proses di mana ibu pengantin putri menyampirkan
sindur (kain selendang yang berwarna merah dan putih). Proses ini melambangkan
pengharapan kedua pengantin memperoleh siraman kebahagiaan dan melambangkan
bahwa pasangan itu sudah disatukan menjadi anaknya.
Kedelapan, timbang (pangkon) suatu proses di mana kedua pengantin duduk di
pangkuan ayah pengantin wanita, kemudian sang ayah berkata bahwa berat mereka
sama, yang berarti cinta mereka sama kuat, juga melambangkan bahwa kasih sayang
orang tua terhadap anak dan menantu sama besarnya.
Kesembilan, tanem juga disebut dengan tandur pengantin atau wisuda pengantin
di mana ayah pengantin wanita menundukkan kedua pengantin di pelaminan sebagai
tanda merestui pernikahan mereka.
Kesepuluh, tukar kalpika yakni proses tukar cincin sebagai tanda cinta kedua
mempelai. Sebelas, kacar kucur, yakni prosesi menuangkan bahan-bahan atau barang-
barang yang telah disiapkan sebelumnya oleh pengantin pria ke pengantin wanita. Hal
ini melambangkan sifat tanggung jawab suami terhadap istri dalam memberi nafkah.
Dua belas, dahar kembul (dahar walimah) yakni prosesi saling menyuapi antara kedua
pengantin yang melambangkan bahwa keduanya akan hidup bersama-sama.
Tiga belas, rujak degan, bubak kawah, dan tumplak punjen. Pelaksanaan upacara
rujak degan mengandung makna agar kedua mempelai selalu sehat dan sejahtera serta
segera dikaruniai anak. Bubak kawah adalah upacara perebutan alat-alat dapur apabila
yang dinikahkan adalah anak pertama. Sedangkan tumplak punjen adalah upacara untuk
anak bungsu, yang berarti segala kekayaan ditumpahkan karena menantu yang terakhir.
Empat belas, mertui yakni penjemputan orang tua pengantin wanita terhadap
orang tua pengantin pria di depan rumah, kemudian berjalan bersama ke tempat
upacara. Kedua ibu berjalan di depan, dan kedua bapak berjalan di belakang. Sesampai
di pelaminan, orang tua pengantin pria duduk di sebelah kiri mempelai, sedangkan
orang tua pengantin wanita duduk di sebelah kanan mempelai. Lima belas, sungkeman
kedua pengantin bersimpuh memohon doa restu kepada orang tua mereka diawali
dengan bersimpuh kepada orang tua pengantin wanita.
Enam belas, resepsi di mana para undangan mengucapkan selamat kepada kedua
pengantin dan dilanjutkan dengan sesi foto bersama. Terakhir, para tamu menikmati
hidangan yang telah disediakan, biasanya berupa makanan dan minuman tradisional
Solo. Selama prosesi ini, biasanya sambil diiringi musik gamelan, ada juga yang
menggunakan organ tunggal, campur sari, dan sebagainya.
Berikut serentetan uapacara pernikahan adat Yogyakarta17;
Pertama, ijab kabul, di mana wali pengantin wanita menyerahkan anak gadisnya
kepada pengantin pria, dan pengantin pria menerimanya. Setelah ijab kabul dilanjutkan
dengan doa, khutbah nikah, dan penyerahan mas kawin. Setelah selesai, keduanya telah
sah menjadi suami istri baik secara agama maupun negara. Kedua, tukar cincin. Proses
ini bisa dilakukan dalam satu rangkaian acara ijab. Pertukaran cincin melambangkan
tanda cinta kedua pengantin.
Ketiga, panggih. Setelah ijab kabul selesai, kedua pengantin dipertemukan
dengan memakai busana khas Yogyakarta dan diiringi dengan gendhing. Kehadiran
pengantin wanita menurut adat Yogyakarta didahului tarian empat pasang penari yang
disebut beksan edan-edanan. Sedangkan, kehadiran pengantin pria didahului dua pasang
beksan edan-edanan yang diiringi oleh gendhing bindri. Tarian ini memiliki makna sebagai
sarana untuk mengusir balak roh yang bergentayangan yang akan mengganggu jalannya
upacara panggih.
dengan bunga setaman dalam keadaan mempelai putri masih duduk berjongkok.
Kemudian, mempelai putri dibantu berdiri oleh mempelai putra.
Upacara ini berarti dalam hidup berumah tangga nanti, kehidupan tidak
selamanya berjalan lancar. Oleh karenanya, sang istri bertugas melayani dan
membantu sang suami dalam menyelesaikan setiap permasalahan.
7. Putaran tiga kali
Prosesi ini dilaksanakan pengantin putri yang mengitari pengantin putra
sebanyak tiga kali dan pada putaran ketiga, posisi pengantin putri harus tepat
berada di sisi kiri pengantin putra, kemudian keduanya berdiri berjajar.
Upacara ini mengandung arti bahwa di manapun pengantin putra atau suami
berada, maka pengantin putri atau istri juga harus “ada”. “ada” di sini dapat
diartikan secara hakiki, juga bisa diartikan secara majazi. Secara hakiki, “ada”
dapat diartikan istri harus mendampingi suami ke manapun dia pergi.
Sedangkan, secara majazi di sini, “ada” dapat diartikan istri harus memberi
dukungan atau mendoakan segala tujuan kepergian suami, seperti kerja atau
lainnya.
8. Memberi minum
Prosesinya yakni ayah dan ibu dari mempelai putri memberi minum segelas air
putih, bisa juga diganti dengan air kelapa. Ayah dan ibu memberi minum
kepada pengantin putra dan pengantin putri. Dalam artian, ayah memberi
minum kepada pengantin putra, sedangkan ibu memberi minum kepada
pengantin putri kemudian ayah dan ibu bertukar posisi.
Upacara ini berarti sambutan kedatangan dari orang tua pengantin putra kepada
anak laki-lakinya.
9. Sinduran
Sindur adalah sebutan sebuah kain yang dibalutkan dari sebelah kiri pengantin
putri hingga sebelah kanan pengantin putra. Dalam upacara ini, kedua
mempelai dibawa menuju ke pelaminan oleh kedua orang tua mempelai putri,
dengan posisi ayah berada di depan kedua mempelai, sedangkan sang ibu
berada di belakang dan kedua mempelai yang dibalut sindur.
Upacara ini sinduran ini mengandung arti kedua orang tua akan membimbing
pengantin putri dan pengantin putra dalam menjalankan bahtera rumah tangga,
13. Sungkeman
Sungkeman adalah meminta maaf atau meminta restu. Prosesinya adalah
pengantin putra bersimpuh di pangkuan orang tua laki-laki, dan pengantin
putra bersimpuh di pangkuan orang tua perempuan, dan sebaliknya yakni
pengantin putra berpindah kemudian bersimpuh di pangkuan orang tua
perempuan, sedangkan pengantin putri berpindah kemudian bersimpuh di
pangkuan orang tua laki-laki.
Upacara ini berarti pengantin putra dan pengantin putri meminta doa restu
kepada orang tua untuk menjalankan kehidupan baru selanjutnya, agar doa
keduanya juga selalu menyertai setiap langkah kedua mempelai.
14. Bubak kawah
Upacara ini dilakukan jika orang tua mempelai putri baru pertama kali
melaksanakan hajatan. Dengan kata lain, pernikahan tersebut adalah
pernikahan anak perempuan sulung. Namun, apabila bukan anak sulung yang
menikah, maka upacara adat Jawa pra acara inti telah selesai setelah sungkeman.
Di desa Jatirembe, upacara bubak kawah dilakukan seperti udik-udikan. Pihak
keluarga menyiapkan beberapa peralatan dapur, seperti peggorengan, alat
merebus, tempat air, piring, saringan santan, dan beberapa peralatan lain yang
telah tertata rapi pada sebuah kayu yang bisa dipikul untuk dua orang.
Kemudian, dua kembar mayang laki-laki membawa kayu beserta isinya tersebut
ke atas pelaminan. Dengan diiringi musik untuk memeriahkan upacara
tersebut, barang-barang peralatan dapur tadi diperebutkan oleh para pengiring
pengantin putra dan masyarakat sekitar yang menyaksikan upacara tersebut.
Setelah barang-barang yang ada di kayu tadi habis, pertanda upacara bubak
kawah selesai.
Setelah bubak kawah selesai, kemudian dilanjutkan dengan acara inti yang biasa
dipandu oleh Master of Ceremony (MC) dan berisi sambutan penyerahan dari
pihak mempelai putra, sambutan penerimaan dari pihak mempelai putri, serta
mauidhotul hasanah (jika ada), kemudian ditutup dengan doa.
15. Resepsi di mana para tamu undangan memenuhi undangan kedua pengantin,
mengucapkan selamat kepada mereka, dan dipersilahkan menikmati hidangan
yang telah disediakan oleh panitia acara. Sajian hidangan di Jatirembe tidak
Setelah melihat persamaan dan perbedaan di atas, dapat diketahui bahwa adat
pernikahan di desa Jatirembe lebih berkiblat pada mazhab atau Adat Surakarta,
meskipun dalam pelaksanaan juga terdapat beberapa perbedaan.
Dalam upacara adat Surakarta, tukar cincin adalah rangkaian upacara setelah
panggih. Sedangkan, dalam adat Jatirembe, tukar cincin dilaksanakan setelah akad nikah
atau setelah kedua pengantin dinyatakan sah. Selain itu, dalam upacara balang suruh, adat
surakarta menggunakan daun suruh dan daun jeruk kemudian diikat dengan
menggunakan benang putih sedangkan, adat pernikahan di Desa Jatirembe
menggunakan daun sirih yang diikat dengan daun pisang. Secara esensi, keduanya
sama-sama mengandung makna. Benang putih berarti segala permasalahan dalam
rumah tangga mereka nanti harus dicari benang putihnya. Sedangkan, daun pisang
berarti, segala permasalahan dalam kehidupan mereka nanti merupakan privasi mereka
dan tidak layak dipublikasikan.
Dalam prosesi timbang pangkon, ayah mengatakan bahwa berat kedua anaknya
sama pada adat Surakarta sedangkan dalam adat Jatirembe, semua perkataan pelaku
upacara dikatakan oleh MC melalui MC dengan nada tembang.
Dari segi hidangan ketika resepsi, adat pernikahan Surakarta biasa menyajikan
hidangan-hidangan khas Solo, tetapi di adat pernikahan Jatirembe sajian hidangan tidak
ditentukan. Mereka biasa mengambil bagaimana baik dan pantasnya untuk para tamu.
Dari segi iringan musik, di Surakarta biasa diiringi gamelan, campur sari dan lain
sebagainya, tetapi di Jatirembe biasa diiringi musik dangdut agar acara lebih terlihat
meriah.
Adapun akulturasi nilai-nilai Islam yang terdapat dalam upacara pernikahan
adat tersebut berhubungan dengan akhlak seorang istri terhadap suaminya yang
tercerminkan dalam beberapa upacara, juga akhlak seorang anak kepada kedua orang
tuanya. Di mana kedua perintah tersebut sesuai dengan apa yang ada dalam al-Qur’an
dan Hadis. Sebagaimana dalam ayat:
ات قَانِتَات َحافِظَات ِ اَلل ب عضهم علَى ب عض وِِبَا أَنْ َف ُقوا ِمن أَمواَلِِم فَال ا ِِ ِ ُ ال ِر َج
ُ َصاحل ْ َْ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ ْ َ ُال ا َ ال قَ او ُامو َن َعلَى الن َساء ِبَا فَض
وه ان فَِإ ْن أَطَ ْعنَ ُك ْم فَال تَ ْب غُوا ِ الالت ََتافُو َن نُشوزه ان فَعِظُوه ان واهجروه ان ِيف الْمض َ ب ِِبَا َح ِف
ِ لِلْغَْي
ُ ُاض ِرب
ْ اج ِع َو َ َ ُ ُُ ْ َ ُ َُ ُ َ ِ اَللُ َو
ظ ا
20
اَللَ َكا َن َعلِيًّا َكبِ ًريا
َعلَْي ِه ان َسبِيال إِ ان ا
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena
mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka
wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya
tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat
19 Nawawi> bin `Umar, Mahligai 77 Cabang Iman, terj. Achmad Labib Asrori, cetakan pertama (Surabaya:
Pelita Dunia, 1996), 69.
20 QS: al Nisa>’, 34.
tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi
Maha Besar.
و أطاعت بعلها دخلت من أي أبواب, و حصنت فرجها, و صامت شهرها,إذا صلت املرأة مخسها
اجلنة شائت
Jika seorang wanita mengerjakan salat lima waktu, puasa di bulan ramadhan,
menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka ia akan masuk surga dari pintu
mana saja ia kehendaki.
Kesimpulan
Dari penelitian tentang upacara pernikahan Jawa di Desa Jatirembe, terdapat
beberapa rentetan upacara, di antaranya; akad nikah, panggih, tukar kembang mayang,
melempar hantalan, menginjak telur, memutari pengantin pria tiga kali, memberi
minum, sinduran, bobot timbang, kacar-kucur, dulang-dulangan, sungkeman, dan resepsi.
Upacara pernikahan adat Jawa di Desa Jatirembe lebih berkiblat pada Mazhab
Surakarta, meski terdapat beberapa perbedaan. Adapun akulturasi nilai-nilai Islam yang
terdapat dalam upacara pernikahan adat tersebut berhubungan dengan akhlak seorang
istri terhadap suaminya yang tercerminkan dalam beberapa upacara, juga akhlak
seorang anak kepada kedua orang tuanya. Di mana kedua perintah tersebut sesuai
dengan apa yang ada dalam al-Qur’an dan Hadis.
Daftar Pustaka
`Umar, Nawawi> bin. Mahligai 77 Cabang Iman. terj. Achmad Labib Asrori. cetakan
pertama. Surabaya: Pelita Dunia, 1996.
Abdullah, Mudhofir. “Pribumisasi Islam Dalam Konteks Budaya Jawa dan Integrasi
Bangsa”, Indo-Islamika, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni, 2014.
Aditya, Wawancara, Jokjakarta, 21 Agustus 2020.
Afiyah, Wawancara, Jokjakarta, 21 Agustus 2020.
Astuti, Linda Puji. “Upacara Adat Perkawinan Priyayi di Desan Ngembal Kecamatan
Tutur Kabupaten Pasuruan”. Skripsi--Universitas Negri Malang, Desember,
2010.
Ayu Vellayati, Wawancara, Jokjakarta, 21 Agustus 2020.