DADAN RUSMANA
Abstrak
Tujuan tulisan ini adalah untuk menjelaskan tentang beberapa bentuk aktivitas pembacaan
al-Qur’an dalam tradisi pernikahan di kalangan masyarakat Sunda-Muslim, dengan keragaman
momen, personal, cara, dan pemaknaan religiusnya. Permasalahannya terkait dengan beberapa
hal, yakni 1) bentuk-bentuk pengajian al-Qur’an yang dilaksanakannya; 2) religious meaning dari
aktivitas pengajian al-Qur’an; 3) beberapa perubahan aktivitas pembacaan al-Qur’an yang
dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Teori yang digunakan adalah teori tentang ritus dari
Radcliffe Brown dan komodifikasi Islam dari Greg Fealy. Domain penelitian ini berada pada
kajian antropologi budaya dengan pendekatan etnografi. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa keragaman tradisi pengajian al-Qur’an dilakukan disesuaikan dengan momen, taraf
ekonomi, kemampuan individual, dan lingkungan. Keberlangsungan dan perubahan terjadi
karena adanya pengaruh internal dan eksternal pelaksana tradisi ini. Dari sudut pemaknaan,
tradisi ini menunjukkan identitas, stratifikasi sosial, dan komodifikasi ngaji al-Qur’an di ruang
publik. Penelitian ini berimplikasi tentang pentingnya peningkatan kualitas pemahaman
kultural, dibanding sekedar formalitas ritual formal semata.
Abstract
The purpose of this paper is to explain about some forms of Qur'an recitation activities in the tradition
of marriage among Sundanese-Muslim communities, with the diversity of moments, personal, ways, and
religious meanings. The problem is related to several things, namely 1) the forms of recitating the Qur'an
carried out by the Sundanese-Muslim community in the tradition of marriage; 2) religious meaning of the
tradition of Qur’anic recitation in the Sundanese-Muslim community; 3) the change of Qur’anic recitation
activities influenced by internal and external factors. The theory used is the theory of the rite of Radcliffe
Brown and the commodification of Islam from Greg Fealy. The domain of this research is in the study of
cultural anthropology with an ethnographic approach. The results of this study indicate that the diversity
of the tradition of the reciting the Qur’an carried out adjusted to the moment, economic level, individual
abilities, and the environment. Sustainability and change occur because of the internal and external
influences in implementing this tradition. From the point of view of meaning, this tradition shows identity,
social stratification, and the commodification of the Qur’an recitation in the public sphere. This research
has implications for the importance of increasing the quality of ritual understanding, rather than merely
formality formal rituals.
ini dikenal dengan khatm al-Qur’an membaca shalawat badar, pembaca al-
jama’î. Qur’an tersebut mengakhirnya dengan
ajakan pembacaan QS al-Fatihah secara
Pengajian al-Qur’an oleh Qâri bersama-sama.
(Professional) Menurut K.H. Abdul Qadir Jailani
Pada masyarakat Sunda-Muslim, (2018), fenomena pembacaan al-Qur’an
proses pernikahan pada hari H sering menjelang pernikahan secara luas
disebut dengan “akad tikah” atau “ijab- merupakan fenomena baru yang muncul
kabul”. Ijab Kabul atau juga dikenal di pertengahan era 1980-an.
dengan perkataan kabulan, adalah acara Sebelumnya, pembacaan al-Qur’an tidak
serah terima mempelai pria dan barang- dikenal luas, kecuali di kalangan
barang bawaan antara keluraga calon keluarga pesantren. Bahkan menurutnya,
mempelai pria dan keluarga calon di beberapa pesantren, pembacaan
mempelai perempuan. Acara ini shalawat badr lebih dahulu dilaksanakan
umumnya terdiri dari pembukaan, tanpa didahului dengan pembacaan al-
pembacaan al-Qur’an dan shalawat, Qur’an. Pembacaan al-Qur’an dan
penyerahan oleh perwakilan dari pihak shalawat merupakan penggabungan dari
calon mempelai pria, penerimaan oleh dua tradisi ini dan itupun berlangsung
perwakilan dari pihak calon mempelai pada era yang sama.
perempuan, serah terima secara Penguatan aktivitas dalam
simbolik, do’a, dan penutup. pembacaan al-Qur’an pada tradisi
Pembacaan al-Qur’an umumnya pernikahan ini didorong juga oleh
diposisikan pada pembukaan kegiatan semakin maraknya qâri-qâri yang
ijab Kabul. Kebanyakan pembaca al- populer sebagai juara MTQ pada
Qur’annya adalah laki-laki (qâri), masanya. Pada sisi lain, aktivitas ini
walaupun ditemukan juga pembacanya didorong pula oleh kesadaran ritual dari
adalah perempuan (qâri’ah). Dalam masyarakat Sunda-Muslim untuk
catatan Rasmussen ditemukan sejumlah memasukkan unsur keislaman dalam
qâri’ah yang biasa membacakan al- tradisi yang berkembang di kalangan
Qur’an dalam perayaan tertentu, seperti masyarakat. Fenomena ini tidak hanya
Maria Ulfa (Rasmussen, 2010). Namun berlangsung di kalangan masyarakat
demikian, selama peneltian ini Sunda-Muslim, tetapi menjadi fenomena
berlangsung, peneliti tidak menemukan tradisi Muslim di Indonesia (Sholikhin,
qâri’ah yang membaca al-Qur’an dalam 2010).
pernikahan di kalangan masyarakat
Sunda-Muslim. Pembacaan al-Qur’an sebagai
Umumnya ayat yang dibaca dalam (Bagian) Mahar (Mas Kawin)
kegiatan ini adalah QS al-Nisa 1. Pada tahun 2000an terdapat
Pembaca al-Qur’an (qari) adalah orang beberapa fenomena yang cukup menarik,
yang ditunjuk oleh keluarga calon yakni menjadikan bacaan al-Qur’an
mempelai perempuan. Ketika selesai sebagai mahar atau bagian dari mahar.
membaca al-Qur’an, umumnya, pembaca Calon pengantin laki-laki membaca surat
al-Qur’an tersebut mengajak hadirin atau ayat-ayat tertentu (yang sudah
untuk mengumandangkan shalawat disepakati) sebagai bagian dari mahar
Nabi. Shalawat yang umumnya dibaca pernikahan untuk calon istrinya.
adalah shalawat badr. Terdapat Umumnya, tradisi ini dilakukan oleh
beberapa variasi lagam (rima) dalam calon mempelai laki-laki merupakan
pembacaan shalawat badr. Setelah alumni pesantren atau takhassus,
atauh maca qur’an teh” atau “si etamah yang serikali digunakan dalam koteks
juara qur’a dina MTQ taun kamari”. membaca atau mempelajari al-Qur’an
Secara spekulatif, sebagian sendiri. Makna ini, misalnya, terdapat
informan menyebutkan bahwa maos dalam ungkapan ngaderes heula
mempunyai akar kata yang sama dengan sorangan al-Qur’an teh! atau Deres heula
ngaos, namun keduanya tetap memiliki Qur’an teh ku sorangan ngarah engke ari
makna tersendiri. Keduanya berasal dari dipapatahan tinggal menerkeun! Term
kata aos yang berarti harga atau inti, ngaderes sendiri sebenarnya merupakan
seperti terdapat dalam makna kata serapan dengan perubahan (loandshift)
pangaos (harga), pangaosna sabaraha? dari kata Arab darrasa (mempelajari).
yang berarti harganya berapa?. Menurut Dari sudut akar kata, ngaderes memiliki
KH Uus, ngaos Qur’an dalam pengertian kesamaan dengan kata tadarrus, yaitu
ini adalah aktivitas membaca al-Qur’an kata darrasa. Hanya saja, tadarrus
untuk mencari sesuatu yang berharga merupakan kata yang dipinjam
atau inti dari al-Qur’an. Dengan masyarakat apa adanya (borrowing word
pengertian lain, derivasi lain dari kata atau loand word) dari kata-kata Arab
ngaos, yaitu pangaosan dapat dimaknai sebagaimana kata lainnya yaitu tilawah
sebagai kegiatan yang berharga atau dan qira’ah.
kegiatan yang dimaksudkan untuk Term-term tadarrus, tilawah, dan
memahami inti sari al-Qur’an atau inti qir’aah al-Qur’an, popular digunakan
ajaran Islam. oleh kalangan pesantren, baik oleh santri
Term pangaosan seringkali juga maupun kyai, namun memiliki konteks
diidentikkan dengan kata pengajian. Kata dan makna pragmatik tertentu. Misalnya,
terakhir ini berasal dari kata ngaji yang tadarrus al-Qur’an popular digunakan
bermakna menelaah dan memahami untuk menyebut pembacaan al-Qur’an
sesuatu, sebagaimana terdapat dalam yang dilakukan pada bulan Ramadhan,
ucapan kudu bisa ngaji diri (harus sekalipun sebagian santri juga
mampu memahami diri sendiri). Kata menamakan pembacaan al-Qur’an selain
dasar, pengajian juga dapat berasal dari bulan Ramadhan dengan tadarrus juga.
kata aji yang berarti harga (diri), serupa Tilawah al-Qur’an popular karena
dengan kata ajen atau pangajen diri yang terdapat dalam akronim MTQ
artinya harga diri. Kata aji juga dapat (musabaqah tilawah al-Qur’an) atau STQ
bermakna intisari, terutama berkaitan (seleksi tilawah al-Qur’an), sehingga
dengan derivasinya yaitu ajian, yang tilawah sering diidentikkan dengan MTQ
dimaknai sebagai intisari do’a, sebanding atau STQ. Sedangkan qir’aah mucul
dengan mantera, jangjawokan, dan satir. belakangan sebagai penyebutan yang
Sama dengan pengertian ngaos Qur’an, dilakukan untuk membaca, dan secara
ngaji Qur’an berarti aktivitas membaca spesifik untuk al-Qur’an digunakan term
al-Qur’an untuk mencari sesuatu yang qir’aah al-Qur’an. Dari ketiga kata
berharga atau mencari intisari al-Qur’an. serapan ini, tadarrus merupakan istilah
Berkaitan dengan hal ini, beberapa kyai popular untuk menyebut aktivitas
menginterpretasi aktivitas ngaji al- pembacaan al-Qur’an. Namun
Qur’an ini sebagai upaya mencari aci sebagaimana nasib-nasib kata-kata
ning acina al-Qur’an, yang maksudnya serapan lainnya, ketiga term ini
adalah untuk mencari intisari terdalam mengalami deviasi dan penyempitan
dari al-Qur’an. makna. Tadarrus, tilawah dan qira’ah
Kata lain bagi aktivitas membaca kebanyakan dipersepsi hanya sebagai
al-Qur’an ini adalah ngaderes Qur’an, aktivitas membaca secara fisik, padahal
dengan masyarakat mekanik yang sangat dari budaya populer. Term ini dimaknai
berorientasi pada nilai-nilai yang dianut sebagai pranata sosial-budaya
oleh tokoh-tokoh panutannya. Dalam hal masyarakat yang terindustrialisasi
ini, kyai di masyarakat mempunyai nilai- karena perkembangan teknologi
nilai tersendiri dalam melakaukan informasi serta dapat diproduksi,
perannya di masyarakat. Ada sebuah diakses, dan dikonsumsi publik secara
tradisi yang masih diberlakukan di massif. Pernikahan sebagai bagian
masyarakat dan dianggap masih bersifat awalnya merupakan kegiatan yang
feodalistik dan paternalistik. Dua sifat diposisikan sakral berubah menjadi
inilah yang masih ditanamkan pada bagian dari industri hiburan
setiap warganya, baik yang ada di dalam (entertainment) dengan menggunakan
pesantren maupun luar pesantren. teknologi informasi, baik yang dimiliki
Sehingga pola santri dan masyarakat pun oleh individu (seperti vlog, facebook,
dalam merespon kyai sangat manut instagram, dan twitter) atau institusi (TV
(Patuh). atau media massa mainstream) (Enga,
Nilai-nilai mekanik di atas, ketika 2017; Widana, 2017).
dihadapkan pada realitas yang berbeda Pada beberapa kasus, aktivitas
di masyarakat mendapat perlawanan pengajian al-Qur’an dalam tradisi
dari masyarakat. Masyarakat pernikahan menjadi bagian dari budaya
menganggap bahwa pola nilai tersebut pop ini, di mana ritual keislaman
telah menjadikan kemandegan tersendiri bergeser dari “ibadah” menjadi sekedar
bagi perkembangan seseorang dalam selebrasi yang lebih mementingkan
mengarungi samudera kehidupan yang unsur prestise, kepuasan, keramaian,
kian mengalami perubahan. Masyarakat dan kesenangan. Diferensiasi nilai
yang sudah diwarnai pula oleh nilai-nilai keislaman terjadi disebabkan adanya
baru, dalam term Durkheim bersifat upaya formalisasi atau kontekstualisasi
organis, menjadikan dirinya berbeda pemahaman (indvidu atau komunitas)
dengan pola yang dilakukan kyai di Islam di ruang publik (Fealy, 2007;
pesantren atau masyarakat sehingga apa Kitiarsa, 2008).
kata kyai belum tentu direspon dengan Misalnya, ketika keluarga
baik oleh masyarakat. Apalagi sistem pengantin mampu mendatangkan qâri
pendidikan yang kian meningkat internasional yang lagi populer dengan
menjadikan masyarakat lebih berfikir reputasi internasional, maka hal itu
rasional yang tidak lagi menjadi budak- menjadi ukuran prestasi, identitas diri,
budak untuk melakukan apa yang status strata sosial, dan bahkan menjadi
dikatakan seorang tokoh yang dianggap bagian dari kemapanan ekonomi sosial.
tidak lagi sesuai dengan pola zaman yang Ukuran keberhasilannya tidak lagi
menuntut pada kedewasaan dan terletak pada dimensi ibadah dan
kecerdasan berfikir, tidak lagi menjadi internalisasi nilai-nilai al-Qur’an dari
orang yang hanya bersikap ajrih dan ayat yang dibaca, tetapi bertumpu pada
manut tetapi menuntut sikap kritis jumlah stratifikasi sosial undangan yang
terhadap berbagai tantangan hidup. datang, like, comment, subscribe
terhadap video yang diup load. Hal ini
Dari Sakralitas menuju Profanitas dapat dipandang sebagai simulacra atau
Pada beberapa upacara ilusi modernitas, yakni mengeksploitasi
pernikahan, pelaksanaannya menjadi kesalehan simbolik di ruang publik.
bagian dari komoditas publik. Dalam Demikian pula dengan penggunaan
dimensi ini, pernikahan menjadi bagian hafalan al-Qur’an sebagai mahar (mas
(2019). Studi Fatwa al-Lajnah al- Nisa, F. F., Nurjamil, D., & Muhtadi, D.
Daimah li al-Buhus al-Ilmiyya wa al- (2019). Studi Etnomatematika pada
-Ifta: Kritik Atas Larangan Mahar Aktivitas Urang Sunda dalam
Pernikahan Berupa Hafalan al- Menentukan Pernikahan, Pertanian
Qur’an. Kodifikasia, Jurnal Penelitian dan Mencari Benda Hilang. Jp3M,
Islam, 13(12), 299–320. 5(2), 63–74.
https://doi.org/10.1017/CBO97811 Rasmussen, A. K. (2010). Women, The
07415324.004 Recited Qur’an, and Islamic Music in
Jusmaindah. (2018). 4 pemuda ini nikah Indonesia. London, England:
dengan mahar hafalan Ayat Al University of California Press.
Quran. Diambil dari Rosilawati, R. (2018). Akulturasi
https://makassar.terkini.id/4- Karesmen Mapag Panganten Adat
pemuda-nikah-mahar-hafalan-ayat- Sunda Di Kota Bandung.
al-quran/ website: Makalangan, 5(2), 77–86.
https://makassar.terkini.id/4- Sarpinah, Salimin, & Andi Syahrir.
pemuda-nikah-mahar-hafalan-ayat- (2018). Nilai-Nilai yang Terkandung
al-quran/ dalam Budaya Mappacci pada
Kaplan. (1999). Teori Kebudayaan. Rangkaian Pelaksanmaan
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Perkawinan Orang Bugis. Journal of
Kitiarsa, P. (2008). Religious Chemical Information and Modeling,
Commodifications in Asia, Marketing 47(3), 211–218.
Gods (P. Kitiarsa, Ed.). London and https://doi.org/10.1017/CBO97811
New York: Routledge, Taylor & 07415324.004
Farncis Group. Sholikhin, M. (2010). Ritual dan Tradisi
Kusmayadi, Y. (2018). Tradisi Sawer Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Panganten Sunda Di Desa Parigi Supinah, P. (2006). Sawer: Komunikasi
Kecamatan Parigi Kabupaten Simbolik pada Adat Tradisi Suku
Pangandaran. Agastya: Jurnal Sunda dalam Upacara Setelah
Sejarah dan Pembelajarannya, 8(2). Perkawinan. Mediator: Jurnal
Masduki, A. (2010). Upacara Komunikasi, 7(1), 85–94.
Perkawainan Adat Sunda di Di https://doi.org/10.29313/mediator
Kecamatan Cicalengka Kabupaten .v7i1.1225
Bandung. Patanjala, 377–393. Widana, I. K. A. (2017). Peran
Diambil dari Stakeholders dalam Komodifikasi
https://media.neliti.com/media/pu Tradisi Perkawinan Hindu pada
blications/292003-upacara- Paker Wisata Wedding di Kawasan
perkawinan-adat-sunda-di- Wisata. Pariwisata Budaya, 2(2), 20–
kecamat-e034079f.pdf 31. Diambil dari
Maulana, M. (2014). Upacara Daur Hidup http://ejournal.ihdn.ac.id/index.ph
dalam Pernikahan Adat Sunda. p/PB/article/view/838/694
Refleksi, 13(5), 623–640.
https://doi.org/10.15408/ref.v13i5.
916 Wawancara
Muda’i, S. (2018). Kontroversi Mahar Abdurrahman, A. (2020, Pebruari 16).
Hafalan al-Qur’an dalam Literatur Tradisi Pengajian al-Qur'an Pada
Fikih Klasik. Usratuna, 1(2), 44–73. Pernikahan. (D. Rusmana,
https://doi.org/10.1017/CBO97811 Pewawancara)
07415324.004