Anda di halaman 1dari 14

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam

Vol. 17 No. 1, 2020, 1–14


P-ISSN 0216-5937, E-ISSN 2654-4598
DOI: 10.15575/al-Tsaqafa.v17i1.9064

PENGAJIAN AL-QUR’AN DALAM TRADISI PERNIKAHAN PADA


MASYARAKAT SUNDA: KEBERLANGSUNGAN DAN PERUBAHAN

DADAN RUSMANA

Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Sunan Gunung Djati Bandung


email: dadan.rusmana@uinsgd.ac.id

Abstrak
Tujuan tulisan ini adalah untuk menjelaskan tentang beberapa bentuk aktivitas pembacaan
al-Qur’an dalam tradisi pernikahan di kalangan masyarakat Sunda-Muslim, dengan keragaman
momen, personal, cara, dan pemaknaan religiusnya. Permasalahannya terkait dengan beberapa
hal, yakni 1) bentuk-bentuk pengajian al-Qur’an yang dilaksanakannya; 2) religious meaning dari
aktivitas pengajian al-Qur’an; 3) beberapa perubahan aktivitas pembacaan al-Qur’an yang
dipengaruhi faktor eksternal dan internal. Teori yang digunakan adalah teori tentang ritus dari
Radcliffe Brown dan komodifikasi Islam dari Greg Fealy. Domain penelitian ini berada pada
kajian antropologi budaya dengan pendekatan etnografi. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa keragaman tradisi pengajian al-Qur’an dilakukan disesuaikan dengan momen, taraf
ekonomi, kemampuan individual, dan lingkungan. Keberlangsungan dan perubahan terjadi
karena adanya pengaruh internal dan eksternal pelaksana tradisi ini. Dari sudut pemaknaan,
tradisi ini menunjukkan identitas, stratifikasi sosial, dan komodifikasi ngaji al-Qur’an di ruang
publik. Penelitian ini berimplikasi tentang pentingnya peningkatan kualitas pemahaman
kultural, dibanding sekedar formalitas ritual formal semata.

Kata Kunci: ngaji al-Qur’an, pernikahan, Sunda-Muslim, keberlangsungan, perubahan

RECITING QUR’AN IN MARRIAGE TRADITION IN SUNDANESE PEOPLE:


SUSTAINABILITY AND ALTERATION

Abstract
The purpose of this paper is to explain about some forms of Qur'an recitation activities in the tradition
of marriage among Sundanese-Muslim communities, with the diversity of moments, personal, ways, and
religious meanings. The problem is related to several things, namely 1) the forms of recitating the Qur'an
carried out by the Sundanese-Muslim community in the tradition of marriage; 2) religious meaning of the
tradition of Qur’anic recitation in the Sundanese-Muslim community; 3) the change of Qur’anic recitation
activities influenced by internal and external factors. The theory used is the theory of the rite of Radcliffe
Brown and the commodification of Islam from Greg Fealy. The domain of this research is in the study of
cultural anthropology with an ethnographic approach. The results of this study indicate that the diversity
of the tradition of the reciting the Qur’an carried out adjusted to the moment, economic level, individual
abilities, and the environment. Sustainability and change occur because of the internal and external
influences in implementing this tradition. From the point of view of meaning, this tradition shows identity,
social stratification, and the commodification of the Qur’an recitation in the public sphere. This research
has implications for the importance of increasing the quality of ritual understanding, rather than merely
formality formal rituals.

Keywords: Reciting Qur’an, marriage, Sunda-Muslim, sustainability, alteration

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 1


Dadan Rusmana

PENDAHULUAN Muslim adalah masuknya identitas


Tradisi pernikahan di kalangan Sunda keislaman ke dalam seremoni
merupakan entitas dan identitas budaya pernikahan ini. Perwujudannya berupa
yang kompleks, variatif, dan dinamis. Hal beberapa ritus dalam tradisi pernikahan
ini karena wilayah geografis, tersebut. Dalam setiap ritual prosesi pra-
etnokultural, dan etnolinguistik Sunda nikah (preluminal), akad tikah (luminal)
juga merupakan wilayah yang kompleks hingga pasca pernikahan (postluminal),
(Ekadjati, 2014, hal. 1–2). Tradisinya aktivitas keislaman ini muncul dan
sendiri dikenal dengan istilah memberi warna, seperti membaca al-
“nikahkeun” atau “ngawinkeun”, yang Qur’an, dzikir, dan do’a (Maulana, 2014).
masing-masing merupakan derivasi dari Ritual pra-nikah yang dimaksud adalah
kata nikah dan kawin (Masduki, 2010). meminang (nanyaan; khitbah), ngeuyuek
Variasi dan dinamika tradisi pernikahan seureuh, siraman, dan khataman.
ini dipengaruhi oleh waktu, wilayah, Sedangkan ritual masa pernikahan
ekpressi keagamaan, maupun strata terdiri dari seserahan, ijab kabul, dan
sosial-ekonomi. Oleh karena itu, untuk saweran (Kusmayadi, 2018; Masduki,
menstudinya diperlukan kajian 2010). Sementara, ritual pasca-
multidisipliner, dari perspektif ekonomi, pernikahan berupa hiburan dan atau
sosial, budaya, dan agama. Hal ini karena pengajian.
pernikahan bukan hanya sekedar ijab- Berbagai tradisi ritual yang
kabul, tetapi terkait juga dengan dilaksanakan oleh masyarakat Sunda-
berbagai ritus turunannya. Tidaklah Muslim tersebut memiliki nama-nama
aneh, jika pra-pernikahan (preluminal), khusus yang disesuaikan dengan wilayah
proses pernikahan (luminal), dan pasca- geografis, strata sosial, dan karakteristik
pernikahan (post-luminal) terdapat keagamaannya. Selebihnya, setiap ritual
sejumlah ritus yang harus dilalui calon tersebut memiliki maksud serta tujuan
mempelai (perempuan dan laki-laki) dan tertentu, sebagaimana terlihat dari
keluarga. penyebutan masyarakat terhadap tradisi
Tidak sedikit, upacara pernikahan tersebut. Sebagai sebuah tradisi,
membutuhkan waktu yang cukup kegiatan-kegiatan tersebut merupakan
panjang, serta para pihak yang ckup upacara kontinyu dalam pewarisan nilai
banyak. Pada beberapa pernikahan budaya yang dianggap penting dan
masyarakat perkotaan masa kini, tidak dianggap perlu dilestarikan dari generasi
sedikit keluarga yang melibatkan ke generasi.
Wedding Organizer (WO). Pemilihan WO Terkait dengan berbagai ritual
pun memiliki keragamannya tersendiri dalam tradisi pernikahan di masyarakat
baik dari reputasi, kelengkapan, dan Sunda-Muslim tersebut, tulisan ini
tarifnya yang menunjukkan bahwa berupaya untuk mendeskripsikan
upacara pernikahan menjadi bagian dari tentang salah satu unsur keislaman yang
komodifikasi (Enga, 2017; Widana, menjadi bagian dari ritual pernikahan
2017). Intinya, dalam tradisi pernikahan ini, yakni membaca al-Qur’an atau
terdapat banyak aspek yang berjalin disebut juga oleh masyarakat Sunda-
kelindan, saling berhubungan dan tidak Muslim sebagai pengajian al-Qur’an atau
dapat dipisahkan. ngaji al-Qur’an. Tujuan penulisannya
Salah satu hal yang tidak dapat adalah memotret dan menganalisis
dilepaskan dalam tradisi pernikahan di keragaman bentuk pembacaan al-Qur’an
kalangan masyarakat Indonesia, pada ritual pernikahan di kalangan
khususnya pada masyarakat Sunda- masyarakat Sunda-Muslim, baik dari

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 2


Pengajian Al-Qur’an dalam Tradisi Pernikahan pada Masyarakat Sunda:
Keberlangsungan dan Perubahan

keragaman momen, cara, dan Qur’an yang mengiringi tradisi


pemaknaan. Permasalahannya terkait pernikahan di kalangan masyarakat
dengan beberapa hal. Pertama, Sunda-Muslim. Kajian ini memiliki
bagaimana bentuk-bentuk pengajian al- signifikansi tersendiri, yakni upaya
Qur’an yang dilaksanakan masyarakat memahami posisi pengajian al-Qur’an
Sunda-Muslim terkait pernikahan? dalam tradisi pernikahan, serta
Kedua, bagaimana religious meaning dari memotret keberlangsungan (continouity)
tradisi pengajian al-Qur’an pada dan perubahan (change) dari bentuk,
masyarakat Sunda-Muslim. Ketiga, momen, dan tujuannya.
bagaimana perubahan terjadi dalam
aktivitas pembacaan al-Qur’an
disebabkan pengaruh eksternal dan METODE
internal. Penelitian ini merupakan
Penelitian tentang tradisi penelitian kualitatif pada ranah
pernikahan di kalangan Sunda-Muslim antropologi budaya, atau lebih spesifik
sudah cukup banyak, namun umumnya berada pada domain living Qur’an. Lokus
memotret tentang keseluruhan ritual utama penelitian ini berada di wilayah
pernikahan. Misalnya Mu’min Maulana Kecamatan Cileunyi, Kabupaten
menulis tentang “Upacara Daur Hidup Bandung, Jawa Barat, Indonesia. Teknik
dalam Pernikahan Adat Sunda” pengumpulan datanya lebih banyak
(Maulana, 2014). Tulisannya memotret melalui observasi pasrtisipatoris dan
semua ritual pada proses pernikahan wawancara. Selain itu, beberapa data
adat Sunda yang mencakup simbol diperoleh melalui studi dokumentasi,
semua siklus kehidupan. Tulisan lain khususnya dari youtube dan media
adalah Fitri Fakhrun Nisa tentang “Studi sosial, yang diupload pada tahun 2019
Etnomatematika Pada Aktivitas Urang hingga awal tahun 2020.
Sunda Dalam Menentukan Pernikahan,
Pertanian dan Mencari Benda Hilang” HASIL DAN PEMBAHASAN
(Nisa, Nurjamil, & Muhtadi, 2019). Aktivitas pembacaan al-Qur’an
Tulisan Nisa dkk ini mendeksripsikan merupakan salah satu kegiatan yang
aktivitas “perhitungan nasib baik dan nampak melekat pada tradisi pernikahan
kala” di kalangan masyarakat Sunda, di kalangan masyarakat Muslim Tatar
termasuk dalam penentuan tanggal Sunda. Dalam berbagai pengamatan yang
pernikahan. Tulisan lain berasal dari dilakukan, baik secara langsung (melalui
Riyana Rosilawati berjudul “Akulturasi partisipatory observation) maupun
Karesmen Mapag Panganten Adat Sunda melalui studi dokumentasi, aktivitas
di Kota Bandung” (Rosilawati, 2018). pembacaan al-Qur’an ini selalu muncul
Tulisan ini memotret tentang akulturasi dalam ritus-ritus yang terkait dengan
budaya yang terdapat dalam upacara upacara pernikahan di kalangan
mapag panganten (menjemput masyarakat Sunda. Sekalipun demikian,
pengantin dalam upacara pernikahan di terdapat variasi dalam pelaksanaannya,
kalangan masyarakat Sunda, dengan yakni ada yang melaksanakan salah satu
lokusnya di Kotamadya Bandung. di antara berbagai aktivitas pengajian al-
Dari ketiga tulisan di atas, Qur’an tersebut, namun ada yang
penelitian ini memiliki novelty melaksanakannya secara lengkap.
(kebaruan) tersendiri dari tulisan
sebelumnya, yakni fokus kajiannya yang
memotret tentang aktivitas pengajian al-

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 3


Dadan Rusmana

Ragam Pengajian al-Qur’an di an al-Qur’an ini. Khatam-an al-Qur’an


Kalangan Masyarakat Sunda-Muslim biasanya dilaksanakan oleh calon
Terdapat beberapa aktivitas mempelai perempuan, sehari menjelang
pengajian al-Qur’an dalam tradisi pernikahan. Sebelumnya, calon
pernikahan di kalangan masyarakat pengantin perempuan belajar membaca
Sunda-Muslim, yakni khatm al-Qur’an al-Qur’an secara intensif dalam rentang
yang dilakukan calon pengantin waktu tertentu, satu minggu hingga satu
perempuan, khatm al-Qur’an yang bulan, kepada guru ngaji-nya.
dilakukan secara jama’ah, pengajian al- Kebanyakan guru ngaji yang dipilihnya
Qur’an yang dilakukan oleh qâri adalah perempuan (ustadzah). Acara ini
(professional), dan pembacaan al-Qur’an dilaksanakan setelah maghrib. Mula-
sebagai mahar (mas kawin). mula pemimpin ritus khatam-an al-
Qur’an, yang bisanya seorang Kyai atau
Khatm al-Qur’an oleh Calon Pengantin Ustadz, membukanya dengan ijab Kabul
Perempuan (pengantar ritus), kemudian melakukan
Aktivitas pertama adalah pengajian tawassul, yang kemudian diikuti oleh
al-Qur’an yang dilaksanakan calon pembacaan surat al-fatihah, al-ikhlash,
pengantin perempuan. Umumnya, al-falaq, al-nas, awal surat al-Baqarah,
aktivitas ini dilakukan pada H-1 Ayat Kursi, dan akhir surat al-Baqarah.
pernikahan di rumah calon mempelai Setelah itu, calon mempelai wanita
perempuan. Tradisinya disebut dengan membaca al-Qur’an dengan
istilah khotaman. Secara etimologis, menggunakan lagam (rima) tertentu
khatam artinya tamat atau selesai. disertai oleh beberapa temannya,
Khatam-an al-Qur’an dimaknai secara biasanya teman-teman ngaji-nya.
variatif oleh masyarakat Sunda-Muslim.
Pertama, sebagian memaknai khatam al- Khatm al-Qur’an secara Jama’ah
Qur’an sebagai maca qur’an, yaeta Selain melaksanakan pengajian
sabagian juz ‘amma nepi ka khatam khatm al-Qur’an yang dilakukan oleh
(membaca al-Qur’an, yaitu sebagian juz calon mempelai perempuan, terdapat
‘amma sampai tamat). Kedua, sebagian juga aktivitas pengajian al-Qur’an yang
lain menjelaskan bahwa khatam al- dilakukan secara berjama’ah. Cara
Qur’an adalah namatkeun Qur’an membacanya dan surat al-Qur’an yang
(membaca al-Qur’an sampai tamat). dibacanya cukup beragam. Pertama,
Kedua pendapat tersebut memiliki sebagian masyarakat melakukannya
perbedaan, yaitu pendapat pertama dengan cara membaca satu surat dibaca
membatasi pembacaan al-Qur’an, yaitu bersama-sama dengan dipimpin oleh
pada bagian Ju’z ‘Amma, sedangkan seorang kyai/ustadz. Surat yang
pendapat kedua tidak terdapat batasan dibacanya juga beragam, namun
pembacaan al-Qur’an. umumnya surat-surat yang telah dikenal
Khatam-an al-Qur’an biasanya oleh masyarakat, seperti QS Yâsîn, QS al-
dilaksanakan oleh keluarga calon Wâqi’ah, QS al-Mulk (tabârak), atau QS
mempelai perempuan yang memiliki al-Rahmân. Kedua, membaca al-Qur’an
latar belakang pendidikan keagaamaan secara bersama-sama pada satu tempat,
yang “cukup”, misalnya keluarga kyai namun setiap yang hadir membaca juz
atau sanak saudara kyai atau alumni- yang berbeda. Targetnya adalah
alumni pesantren tradisional. Hampir menyelesaikan membaca keseluruhan
tidak ditemukan alumni-alumni juz dalam al-Qur’an secara serempak,
pesantren modern melakukan khatam- yakni satu orang satu juz. Cara keduanya

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 4


Pengajian Al-Qur’an dalam Tradisi Pernikahan pada Masyarakat Sunda:
Keberlangsungan dan Perubahan

ini dikenal dengan khatm al-Qur’an membaca shalawat badar, pembaca al-
jama’î. Qur’an tersebut mengakhirnya dengan
ajakan pembacaan QS al-Fatihah secara
Pengajian al-Qur’an oleh Qâri bersama-sama.
(Professional) Menurut K.H. Abdul Qadir Jailani
Pada masyarakat Sunda-Muslim, (2018), fenomena pembacaan al-Qur’an
proses pernikahan pada hari H sering menjelang pernikahan secara luas
disebut dengan “akad tikah” atau “ijab- merupakan fenomena baru yang muncul
kabul”. Ijab Kabul atau juga dikenal di pertengahan era 1980-an.
dengan perkataan kabulan, adalah acara Sebelumnya, pembacaan al-Qur’an tidak
serah terima mempelai pria dan barang- dikenal luas, kecuali di kalangan
barang bawaan antara keluraga calon keluarga pesantren. Bahkan menurutnya,
mempelai pria dan keluarga calon di beberapa pesantren, pembacaan
mempelai perempuan. Acara ini shalawat badr lebih dahulu dilaksanakan
umumnya terdiri dari pembukaan, tanpa didahului dengan pembacaan al-
pembacaan al-Qur’an dan shalawat, Qur’an. Pembacaan al-Qur’an dan
penyerahan oleh perwakilan dari pihak shalawat merupakan penggabungan dari
calon mempelai pria, penerimaan oleh dua tradisi ini dan itupun berlangsung
perwakilan dari pihak calon mempelai pada era yang sama.
perempuan, serah terima secara Penguatan aktivitas dalam
simbolik, do’a, dan penutup. pembacaan al-Qur’an pada tradisi
Pembacaan al-Qur’an umumnya pernikahan ini didorong juga oleh
diposisikan pada pembukaan kegiatan semakin maraknya qâri-qâri yang
ijab Kabul. Kebanyakan pembaca al- populer sebagai juara MTQ pada
Qur’annya adalah laki-laki (qâri), masanya. Pada sisi lain, aktivitas ini
walaupun ditemukan juga pembacanya didorong pula oleh kesadaran ritual dari
adalah perempuan (qâri’ah). Dalam masyarakat Sunda-Muslim untuk
catatan Rasmussen ditemukan sejumlah memasukkan unsur keislaman dalam
qâri’ah yang biasa membacakan al- tradisi yang berkembang di kalangan
Qur’an dalam perayaan tertentu, seperti masyarakat. Fenomena ini tidak hanya
Maria Ulfa (Rasmussen, 2010). Namun berlangsung di kalangan masyarakat
demikian, selama peneltian ini Sunda-Muslim, tetapi menjadi fenomena
berlangsung, peneliti tidak menemukan tradisi Muslim di Indonesia (Sholikhin,
qâri’ah yang membaca al-Qur’an dalam 2010).
pernikahan di kalangan masyarakat
Sunda-Muslim. Pembacaan al-Qur’an sebagai
Umumnya ayat yang dibaca dalam (Bagian) Mahar (Mas Kawin)
kegiatan ini adalah QS al-Nisa 1. Pada tahun 2000an terdapat
Pembaca al-Qur’an (qari) adalah orang beberapa fenomena yang cukup menarik,
yang ditunjuk oleh keluarga calon yakni menjadikan bacaan al-Qur’an
mempelai perempuan. Ketika selesai sebagai mahar atau bagian dari mahar.
membaca al-Qur’an, umumnya, pembaca Calon pengantin laki-laki membaca surat
al-Qur’an tersebut mengajak hadirin atau ayat-ayat tertentu (yang sudah
untuk mengumandangkan shalawat disepakati) sebagai bagian dari mahar
Nabi. Shalawat yang umumnya dibaca pernikahan untuk calon istrinya.
adalah shalawat badr. Terdapat Umumnya, tradisi ini dilakukan oleh
beberapa variasi lagam (rima) dalam calon mempelai laki-laki merupakan
pembacaan shalawat badr. Setelah alumni pesantren atau takhassus,

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 5


Dadan Rusmana

khususnya pesantren al-Qur’an. QS al-Mulk. Dilihat dari pemilihan surat


Beberapa di antaranya bergelar al-hâfizh ini, beberapa di antaranya merupakan
yang menunjukkan bahwa ia merupakan surat-surat yang biasa digunakan
telah hafal al-Qur’an secara kuat sebagai dzikr di kalangan pesnatren,
(mutqîn). selain juga biasa digunakan dalam shalat
Salah satu moment tersebut adalah berjama’ah, terutama oleh imam.
pernikahan antara Maulana Yusuf dan Pemilihannya dimotivasi oleh
Ghaitsa Zahira (putri KH Abdullah popularitas dan familiaritas surat-surat
Gymnastiar) pada tahun 2015 (Harfi, ini di kalangan masyarakat pesantren.
2019; Jusmaindah, 2018). Sebelum dan Fenomena hafalan al-Qur’an yang
sesudahnya terdapat juga beberapa dijadikan mahar memunculkan polemik
pasangan pengantin yang menjadikan terkait sah atau tidaknya mahar tersebut.
hafalan al-Qur’an sebagai mahar Ibn Irawan dan Jayusman dalam “Mahar
pernikahannya, yakni 1) Dodi Hafalan al-Qur’an dalam Perspektif
Hidayatullah (yang menikahi Auliya Hukum Islam” menyatakan bahwa hal
Rahmi Fadhillah pada tahun 2011 di tersebut merupakan termasuk hal yang
Pare-Pare. Maharnya adalah pembacaan ibâhah (boleh) dan tidak bertentangan
QS al-Rahmân; 2) Munawwar Juanan dengan hukum Islam (Faidullah, 2018;
Raden (yang menikahi Dauha Irawan & Jayusman, 2019, hal. 133;
Mu’awiyah di Damaskus pada tahun Irawan, Jayusman, & Hermanto, 2019).
2016. Mahar yang diberikan adalah Hal ini berbeda dengan hasil
hafalan al-Qur’an 30 Juz dan 500 Hadis; penelusuran Muda’i yang menyatakan
3) Muzammil Hasballah (yang menikahi bahwa dalam fiqh klasik Islam, mahar
Sonia Ristianti pada tahun 2017 di Banda berupa hafalan al-Qur’an (yang hanya
Aceh. Maharnya adalah QS al-Nisâ ayat didengarkan oleh calon mempelai
34-35 dan QS al-Tahrîm ayat 6; serta 4) perempuan) tidak lah sah, kecuali jika
M. Hurril Muhajjalin (yang menikahi dibarengi dengan wujud benda lainnya
Huliyatul Jannah pada tahun 2016. sebagai mahar (Muda’i, 2018). Terlepas
Maharnya adalah tes hafalan al-Qur’an dari polemik tersebut, maka kalangan
30 Juz. yang melaksanakan hal tersebut
Dari berbagai video yang tersedia merupakan pendukung atau pelaksana
di youtube sepanjang tahun 2019 hingga padangan bahwa “mahar dalam bentuk
awal tahun 2020, mayoritasnya hafalan al-Qur’an adalah sesuatu yang
dilakukan oleh kalangan keluarga ibâhah (boleh)”.
pesantren atau kyai (ustadz) (lihat
misalnya Pembacaan al-Barjanji, Simth al-Durâr
https://www.youtube.com/watch?v=Fy Selain membaca al-Qur’an,
GjKQx7A44). Hanya ditemukan satu terdapat juga aktivitas pembacaan al-
video yang dilakukan oleh kalangan Barjanji dan Simt al-Durâr yang
biasa, namun disebutkan bahwa sang mengiringi tradisi pernikahan. Aktivitas
mempelai laki-laki memiliki hafalan al- ini dilakukan kalangan keluarga
Qur’an sejumlah 5 juz. pesantren al-Mardhiyyah al-Islâmiyyah,
Dari sekian surat dalam al-Qur’an, Cileunyi Kulon. Menurut Asep
kebanyakan surat al-Qur’an yang dibaca Abdurrahman, tradisi pembacaan al-
adalah surat-surat yang tidak terlalu Barjanji dan Simth al-Durâr di pesantren
panjang, namun juga tidak dapat disebut al-Mardhiyyah merupakan tradisi yang
pendek. Surat-surat tersebut adalah QS sudah berjalan 20 tahun terakhir
al-Rahmân, QS Yâsîn, QS al-Wâqi’ah, dan (Abdurrahman, 2020). Kegiatan ini tidak

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 6


Pengajian Al-Qur’an dalam Tradisi Pernikahan pada Masyarakat Sunda:
Keberlangsungan dan Perubahan

hanya dilaksanakan untuk pernikahan atau ustadz. Dalam hal pemaknaan


saja, melainkan dilaksanakan juga pada sejumlah sebutan aktivitas membaca al-
momen lainnya, khususnya perayaan Qur’an tersebut, mayoritas informan
Maulid Nabi Muhammad saw. Pada saat yang ditanya, terutama kalangan
in pula, biasanya para habâib datang ke masyarakat awam, tidak menyebutkan
pesantren ini untuk merayakan momen adanya perbedaan di antara istilah-
maulid Nabi saw dan momen keagamaan istilah tersebut atau cenderung
lainnya. menganggap memiliki makna yang sama
Disebutkan juga bahwa tradisi ini (sinonim). Sinonimitas ini, misalnya,
merupakan tradisi yang berakar dan muncul dalam ucapan-ucapan aosannana
melekat dengan tradisi yang berasal dari mani sae dan ngaosna mani sae; aosan
tarekat, sekalipun secara formal tidak dan ngaos di sini dimaknai dengan
terdapat organisasi tarekat mu’tabarah bacaan atau membaca. Contoh lain
ataupun ghair mu’tabarah yang berada adalah terdapat dalam kata aos heula
di Cileunyi. Terdapat satu majelis dzikr bilih lepat! (baca dulu kalau-kalau
yang secara jelas menginisiasi pada satu salah!).
tarekat, yaitu Tarekat Qadiriyah Pada beberapa informan, terutama
Naqsabandiyah (TQN), yang dikoordinir kyai, ditemukan perbedaan makna dan
oleh Atusludin, seorang peceramah dan tujuan beberapa istilah tersebut. Maca
berafilisasi pada TQN Suryalaya Qur’an artinya membaca al-Qur’an dalam
(Atusluddin, 2020). Di beberapa tempat artian “membaca” seperti dalam artian
terdapat majlis-majlis dzikr yang umum. Maos sering dianggap sebagai
dikoordinir oleh kyai-kyai yang eupimism (penyopanan) atau bahasa
mendawamkan dzikr-dzikr tertentu yang lemes dari kata maca, sebagaimana dari
terdapat di kalangan Tarekat. kata supaya menjadi supados, atau kata
Selebihnya, tradisi ini pun lahir dari pribadi menjadi pribados. Namun jika
pusaran “habaibisme”, yakni kalangan kata maos ini merupakan kata dasar dari
masyarakat, khususnya pesantren, yang kata mamaos, maka maos atau mamaos
memiliki keterikatan intelektual dan tidak identik dengan membaca, karena
psikologis terhadap para habâib. mamaos biasanya diartikan dengan
tembang, kawih, atau lagu. Karenanya
jika ditelusuri dari termnya, maos Qur’an
Pemaknaan dari Pengajian al-Qur’an dapat dartikan sebagai aktivitas
membaca al-Qur’an dengan
Pemaknaan Terhadap Ragam Sebutan menggunakan lagam atau irama
Aktivitas Membaca al-Qur’an tertentu. Maos Qur’an dalam pengertian
Bagi masyarakat Cileunyi, ini identik dengan sebutan qura.
terutama yang berbahasa Sunda, Term qura merupakan kata
biasanya mereka menyebut aktivitas serapan dari kata Arab (borrowing word
membaca al-Qur’an dengan sebutan atau loand word), yaitu qurrâa (jamak
maca Qur’an, maos Qur’an, ngaos Qur’an, dari qâri, pembaca) yang mempunyai
ngaji Qur’an, ngaderes Qur’an, atau qura, arti para pembaca.. kata ini mengalami
qiraah, tadarus, dan tilawah al-Qur’an. deviasi dan penyempitan makna ketika
Dari sekian term tersebut, term maca digunakan oleh sebagian masyarakat
Qur’an merupakan term yang paling sunda dan dimaknai sebagai membaca
banyak digunakan oleh masyarakat dengan lagam (rima) tertentu dan suara
Cileunyi, baik di kalangan masyarakat yang bagus. Pengertian ini misalnya
awam maupun kalangan santri dan kyai terdapat dalam perkataan, “quro-keun

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 7


Dadan Rusmana

atauh maca qur’an teh” atau “si etamah yang serikali digunakan dalam koteks
juara qur’a dina MTQ taun kamari”. membaca atau mempelajari al-Qur’an
Secara spekulatif, sebagian sendiri. Makna ini, misalnya, terdapat
informan menyebutkan bahwa maos dalam ungkapan ngaderes heula
mempunyai akar kata yang sama dengan sorangan al-Qur’an teh! atau Deres heula
ngaos, namun keduanya tetap memiliki Qur’an teh ku sorangan ngarah engke ari
makna tersendiri. Keduanya berasal dari dipapatahan tinggal menerkeun! Term
kata aos yang berarti harga atau inti, ngaderes sendiri sebenarnya merupakan
seperti terdapat dalam makna kata serapan dengan perubahan (loandshift)
pangaos (harga), pangaosna sabaraha? dari kata Arab darrasa (mempelajari).
yang berarti harganya berapa?. Menurut Dari sudut akar kata, ngaderes memiliki
KH Uus, ngaos Qur’an dalam pengertian kesamaan dengan kata tadarrus, yaitu
ini adalah aktivitas membaca al-Qur’an kata darrasa. Hanya saja, tadarrus
untuk mencari sesuatu yang berharga merupakan kata yang dipinjam
atau inti dari al-Qur’an. Dengan masyarakat apa adanya (borrowing word
pengertian lain, derivasi lain dari kata atau loand word) dari kata-kata Arab
ngaos, yaitu pangaosan dapat dimaknai sebagaimana kata lainnya yaitu tilawah
sebagai kegiatan yang berharga atau dan qira’ah.
kegiatan yang dimaksudkan untuk Term-term tadarrus, tilawah, dan
memahami inti sari al-Qur’an atau inti qir’aah al-Qur’an, popular digunakan
ajaran Islam. oleh kalangan pesantren, baik oleh santri
Term pangaosan seringkali juga maupun kyai, namun memiliki konteks
diidentikkan dengan kata pengajian. Kata dan makna pragmatik tertentu. Misalnya,
terakhir ini berasal dari kata ngaji yang tadarrus al-Qur’an popular digunakan
bermakna menelaah dan memahami untuk menyebut pembacaan al-Qur’an
sesuatu, sebagaimana terdapat dalam yang dilakukan pada bulan Ramadhan,
ucapan kudu bisa ngaji diri (harus sekalipun sebagian santri juga
mampu memahami diri sendiri). Kata menamakan pembacaan al-Qur’an selain
dasar, pengajian juga dapat berasal dari bulan Ramadhan dengan tadarrus juga.
kata aji yang berarti harga (diri), serupa Tilawah al-Qur’an popular karena
dengan kata ajen atau pangajen diri yang terdapat dalam akronim MTQ
artinya harga diri. Kata aji juga dapat (musabaqah tilawah al-Qur’an) atau STQ
bermakna intisari, terutama berkaitan (seleksi tilawah al-Qur’an), sehingga
dengan derivasinya yaitu ajian, yang tilawah sering diidentikkan dengan MTQ
dimaknai sebagai intisari do’a, sebanding atau STQ. Sedangkan qir’aah mucul
dengan mantera, jangjawokan, dan satir. belakangan sebagai penyebutan yang
Sama dengan pengertian ngaos Qur’an, dilakukan untuk membaca, dan secara
ngaji Qur’an berarti aktivitas membaca spesifik untuk al-Qur’an digunakan term
al-Qur’an untuk mencari sesuatu yang qir’aah al-Qur’an. Dari ketiga kata
berharga atau mencari intisari al-Qur’an. serapan ini, tadarrus merupakan istilah
Berkaitan dengan hal ini, beberapa kyai popular untuk menyebut aktivitas
menginterpretasi aktivitas ngaji al- pembacaan al-Qur’an. Namun
Qur’an ini sebagai upaya mencari aci sebagaimana nasib-nasib kata-kata
ning acina al-Qur’an, yang maksudnya serapan lainnya, ketiga term ini
adalah untuk mencari intisari terdalam mengalami deviasi dan penyempitan
dari al-Qur’an. makna. Tadarrus, tilawah dan qira’ah
Kata lain bagi aktivitas membaca kebanyakan dipersepsi hanya sebagai
al-Qur’an ini adalah ngaderes Qur’an, aktivitas membaca secara fisik, padahal

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 8


Pengajian Al-Qur’an dalam Tradisi Pernikahan pada Masyarakat Sunda:
Keberlangsungan dan Perubahan

ketiganya memberikan tekanan pada kerekatan sosial. Bila diamati dalam


persoalan pengkajian, pemahaman, dan tradisi ritus pembacaan al-Qur’an dapat
perenungan al-Qur’an. dilihat fungsi kerekatan sosial di antara
masyarakat pengguna tradisi. Kerekatan
Religious Meaning Aktivitas Pengajian Sosial ini dapat diwujudkan karena
Pada Tradisi Pernikahan adanya proses interaksi sosial di antara
Aktivitas pengajian dalam masyarakat. Fungsi kedua adalah
pernikahan di kalangan Sunda-Muslim meningkatkan rasa kemanusiaan di
merupakan bagian dari ritus serupa kalangan masyarakat pelaksana tradisi.
dalam ekspressi sosio-religius mereka. Fungsi ini menurut Merton (Kaplan,
Acara pengajian al-Qur’an, khususnya 1999, hal. 79) disebut dengan fungsi
khataman (khatm al-Qur’an), menurut manifes. Fungsi ini dimaksudkan sebagai
K.H. Asep Abdurrahman (2020), konsekuensi objektif yang memberikan
dimaksudkan untuk tasyakur-an dan sumbangan pada penyesuaian atau
menunjukkan bahwa calon mempelai adaptasi sistem yang dikehendaki dan
perempuan tersebut mampu membaca disadari oleh partisipan sistem tersebut.
al-Qur’an dan telah khatam al-Qur’an. Hal ini dapat dilihat dari partisipasi
Menurutnya, pada zaman dahulu kolektif dari berbagai kalangan dalam
kegiatan ini menjadi penting sebagai pelaksanaan tradisi, termasuk tradisi
media pendidikan keagaamaan, pembacaan al-Qur’an. Tingkat partisipasi
terutama membaca al-Qur’an, bagi calon serupa dapat dilihat dalam tradisi sawer
mempelai, terutama perempuan. Perihal setelah selesai acara ijab-kabul. Tradisi
alasan pertama, yakni media pendidikan sawer ini memiliki makna edukasi dan
membaca al-Qur’an, menurutnya budaya yang melekat pada filosofi hidup
membaca al-Qur’an merupakan masyarakat Sunda (Supinah, 2006).
pengetahuan pertama yang harus Fungsi ketiga adalah kebebasan
dimiliki oleh setiap orang, terlebih oleh (liberasi). Dalam tradisi pembacaan al-
(calon) orang tua. Sedangkan perihal Qur’an dalam ritus yang menyangkut
mengapa harus calon mempelai pernikahan dapat diperoleh guna
perempuan, menurutnya, karena kebebasan (keberkahan) bagi
perempuan pada zaman dahulu tidak masyarakat. Fungsi kebebasan ini bisa
bekerja (seringkali berada di rumah) dan diwujudkan dalam bentuk keselamatan
paling banyak berkumpul dengan anak- yang ingin diperoleh dari sesuatu yang
anaknya; oleh karena itu, orang yang gaib. Hal ini dapat dilihat dalam
pertama memberikan pendidikan pada pelaksanaan doa ketika telah selesai
anak adalah ibunya. Maka calon melakukan kenduri mendengarkan
mempelai perempuanlah yang pembacaan al-Qur’an, atau pembacaan
diutamakan melakukan khatam-an al- riwayat Nabi Muhammad, sebagaimana
Qur’an. Di Wilayah lain tradisi serupa tergambar dalam ijab Kabul setiap
diberi nama berbeda, misalnya di pelaksanaan tradisi (terutama yang
Sulawesi Selatan dikenal dengan istilah bersifat syukuran).
mappacci, yang sebagiannya diisi dengan Fungsi keempat adalah
khatm al-Qur’an dan pembacaan al- transendensi kepada Allah. Semua fungsi
Barjanzi (Sarpinah, Salimin, & Andi di atas, kerekatan sosial, kemanusiaan,
Syahrir, 2018). dan kebebasan merupakan rangkaian
Radcliffe Brown (Kaplan, 1999, hal. dalam rangka mendekatkan diri kepada
77) menyebutkan bahwa upacara Allah. Fungsi transendensi ini dapat
keagamaan mempunyai fungsi untuk dilihat dari maksud dan tujuan

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 9


Dadan Rusmana

pelaksanaan tradisi ini, mayoritasnya, Ayi Badruddin (Badruddin, 2020), tradisi


ditujukan untuk mendapatkan lillahi khatam-an al-Qur’an yang dilakukan
ta’ala, ridha Allah, ‘amal shalih, atau calon memperlai perempuan mulai
untuk mendapatkan surga, bagja di memudar bahkan menghilang.
dunya jeung di akhirat (bahagia di dunia Menurutnya, calon-calon mempelai
dan di akhirat). perempuan atau bahkan keluarganya,
Seperti diungkap di atas, bahwa saat ini ini, meras enggan, malu, bahkan
fungsi dari tradisi pembacaan al- tidak mau untuk melaksanakan tradisi
Qur’an—kerekatan sosial, humanisasi, khatam-an al-Qur’an.
liberasi, dan transedensi—sangat Hal ini, menurutnya, lebih banyak
relevan dengan apa yang diinginkan oleh disebabkan oleh menurunnya ikatan
konsepsi budaya Islam yang terhadap tradisi beragama dari
menekankan pada aspek humanisme- masyarakat Muslim. Beberapa kalangan
teosentris dan terwujudkan dalam Sunda-Muslim merasa gengsi, enggan,
keempat fungsi di atas. Penulis tidak mau, atau bahkan untuk
berpendapat fungsi-fungsi tersebut di menunjukkan identitas-indentitas
atas diharapakan akan berpengaruh kemusliman mereka, terutama yang
terhadap sistem sosial budaya di berkaitan dengan budaya. Seringkali,
Indonesia yang hemat penulis telah menurutnya, masyarakat merasa rendah
mengalami persoalan yang jauh dari diri, kolot, kampungan, atau tradisional
konsep kebudayaan Islam. Kondisi sosial apabila masih melaksanakan tradisi-
dan budaya yang dirasakan dewasa ini, tradisi, termasuk khatam-an al-Qur’an.
hemat penulis dikarenakan tidak adanya Hal ini pun, menurutnya terjadi di
perhatian pada aspek humanisasi, kalangan keluarga-keluarga kyai atau
liberasi, dan transendensi. Sistem sosial pesantren, yang mulai meninggalkan
budaya kita terpengaruh oleh budaya tradisi khatam-an al-Qur’an menjelang
kapitalisme yang sangat bertolak pernikahan (Badruddin, 2020).
belakang dengan konsep Humanisme- Setidaknya, terdapat beberapa
Teosentris dalam Islam. Dengan faktor yang menyebabkan adanya
mengembangkan budaya-budaya lokal perubahan aktivitas pengajian al-Qur’an
yang mempunyai nilai seperti di atas pada tradisi pernikahan di kalangan
diharapkan dapat menjadi jawaban bagi masyarakat Sunda-Muslim, yakni a)
persoalan sistem sosial budaya di perbedaan (perubahan) nilai, b)
Indonesia dewasa ini. perubahan dimensi pernikahan dari
domain sakral ke domain profan.
Perubahan Aktivitas Pengajian al-
Qur’an Pada Tradisi Pernikahan di Perbedaan Nilai
Kalangan Masyarakat Sunda-Muslim Masyarakat dalam melakukan pola
Berdasarkan hasil pengamatan dan hidupnya didasarkan oleh adanya nilai-
wawancara, setidaknya terdapat nilai yang disepakatinya. Melalui nilai-
beberapa perubahan dalam aktivitas nilai inilah, masyarakat memperlihatkan
pengajian dalam tradisi pernikahan di kegiatan-kegiatannya baik bersifat
kalangan masyarakat Sunda-Muslim, individu maupun kolektif. Masyarakat
yakni menyangkut momen, person, dan agraris, mempunyai nilai tersendiri
makna religius dari aktivitas membaca dalam mengarahkan anggotanya kepada
al-Qur’an pada pernikahan di kalangan pola tingkah laku baik dengan dirinya,
masyarakat Sunda Muslim ini. Sejalan kelompoknya, ataupun lingkungan yang
dengan perubahan zaman, menurut K.H. lainnya. Durkheim sering menyebutnya

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 10


Pengajian Al-Qur’an dalam Tradisi Pernikahan pada Masyarakat Sunda:
Keberlangsungan dan Perubahan

dengan masyarakat mekanik yang sangat dari budaya populer. Term ini dimaknai
berorientasi pada nilai-nilai yang dianut sebagai pranata sosial-budaya
oleh tokoh-tokoh panutannya. Dalam hal masyarakat yang terindustrialisasi
ini, kyai di masyarakat mempunyai nilai- karena perkembangan teknologi
nilai tersendiri dalam melakaukan informasi serta dapat diproduksi,
perannya di masyarakat. Ada sebuah diakses, dan dikonsumsi publik secara
tradisi yang masih diberlakukan di massif. Pernikahan sebagai bagian
masyarakat dan dianggap masih bersifat awalnya merupakan kegiatan yang
feodalistik dan paternalistik. Dua sifat diposisikan sakral berubah menjadi
inilah yang masih ditanamkan pada bagian dari industri hiburan
setiap warganya, baik yang ada di dalam (entertainment) dengan menggunakan
pesantren maupun luar pesantren. teknologi informasi, baik yang dimiliki
Sehingga pola santri dan masyarakat pun oleh individu (seperti vlog, facebook,
dalam merespon kyai sangat manut instagram, dan twitter) atau institusi (TV
(Patuh). atau media massa mainstream) (Enga,
Nilai-nilai mekanik di atas, ketika 2017; Widana, 2017).
dihadapkan pada realitas yang berbeda Pada beberapa kasus, aktivitas
di masyarakat mendapat perlawanan pengajian al-Qur’an dalam tradisi
dari masyarakat. Masyarakat pernikahan menjadi bagian dari budaya
menganggap bahwa pola nilai tersebut pop ini, di mana ritual keislaman
telah menjadikan kemandegan tersendiri bergeser dari “ibadah” menjadi sekedar
bagi perkembangan seseorang dalam selebrasi yang lebih mementingkan
mengarungi samudera kehidupan yang unsur prestise, kepuasan, keramaian,
kian mengalami perubahan. Masyarakat dan kesenangan. Diferensiasi nilai
yang sudah diwarnai pula oleh nilai-nilai keislaman terjadi disebabkan adanya
baru, dalam term Durkheim bersifat upaya formalisasi atau kontekstualisasi
organis, menjadikan dirinya berbeda pemahaman (indvidu atau komunitas)
dengan pola yang dilakukan kyai di Islam di ruang publik (Fealy, 2007;
pesantren atau masyarakat sehingga apa Kitiarsa, 2008).
kata kyai belum tentu direspon dengan Misalnya, ketika keluarga
baik oleh masyarakat. Apalagi sistem pengantin mampu mendatangkan qâri
pendidikan yang kian meningkat internasional yang lagi populer dengan
menjadikan masyarakat lebih berfikir reputasi internasional, maka hal itu
rasional yang tidak lagi menjadi budak- menjadi ukuran prestasi, identitas diri,
budak untuk melakukan apa yang status strata sosial, dan bahkan menjadi
dikatakan seorang tokoh yang dianggap bagian dari kemapanan ekonomi sosial.
tidak lagi sesuai dengan pola zaman yang Ukuran keberhasilannya tidak lagi
menuntut pada kedewasaan dan terletak pada dimensi ibadah dan
kecerdasan berfikir, tidak lagi menjadi internalisasi nilai-nilai al-Qur’an dari
orang yang hanya bersikap ajrih dan ayat yang dibaca, tetapi bertumpu pada
manut tetapi menuntut sikap kritis jumlah stratifikasi sosial undangan yang
terhadap berbagai tantangan hidup. datang, like, comment, subscribe
terhadap video yang diup load. Hal ini
Dari Sakralitas menuju Profanitas dapat dipandang sebagai simulacra atau
Pada beberapa upacara ilusi modernitas, yakni mengeksploitasi
pernikahan, pelaksanaannya menjadi kesalehan simbolik di ruang publik.
bagian dari komoditas publik. Dalam Demikian pula dengan penggunaan
dimensi ini, pernikahan menjadi bagian hafalan al-Qur’an sebagai mahar (mas

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 11


Dadan Rusmana

kawin). Di dalamnya terdapat fungsi DAFTAR PUSTAKA


ta’lîm (pembelajaran) (Fauzi, 2011),
terutama dalam konteks pemenuhan Ekadjati, E. S. (2014). Kebudayaan Sunda,
kebutuhan (calon) mempelai Suatu Pendekatan Sejarah. Bandung:
perempuan. Dalam hal ini, pemberian Pustaka Jaya.
mahar dalam bentuk bacaan atau hafalan Enga, A. H. . (2017). Komodifikasi
al-Qur’an dipersyaratkan mampu Pernikahan “ Menuju Janji Suci “ Di
memberikan kepuasan terhadap Trans Tv. Interaksi: Jurnal Ilmu
pasangannya, serta tidak menyebabkan Komunikasi, 5(2), 177.
ketidakadilan gender (Faidullah, 2018). https://doi.org/10.14710/interaksi.
5.2.177-186
Faidullah, S. (2018). Konsep Mahar
KESIMPULAN Perkawinan Berupa Hafalan Surah
Aktivitas pengajian al-Qur’an pada al-Qur’an (Perspektif Keadilan
tradisi pernikahan di kalangan Sunda- Gender). Al-Risalah, 14(2), 239–264.
Muslim merupakan kegiatan yang ada Diambil dari
dengan berbagai variasi momen, person, http://jurnal.stairakha-
cara, dan pemaknaan religiusnya. Di amuntai.ac.id/index.php/alris/articl
tengah-tengah terpaan arus e/view/48
industrialisasi, globalisasi informasi, dan Fauzi, M. (2011). Manfatat Ta‘lim al-
modernisasi, pembacaan al-Qur’an Qur’an Sebagai Mahar Penikahan
dalam berbagai ritus yang menyangkut (Kajian Fiqh Muqaran). Wahana
kehidupan tersebut masih Akademika, Jurnal Studi Islam dan
dipertahankan oleh sebagian masyarakat Sosial, 12(1), 29–40. Diambil dari
Sunda-Muslim. Sejalan dengan dinamika https://journal.walisongo.ac.id/ind
masyarakat, yang disebabkan faktor- ex.php/wahana/article/view/2256/
faktor internal dan eksternal, terjadi pula 1562
transformasi dan otoregulasi dalam Fealy, G. (2007). Consuming Islam:
pemahaman masyarakat terhadap nilai- Commodified Religion and
nilai, format, dan keberlangsungan Aspirational Pietism in
tradisi tersebut, termasuk tradisi Contemporarary Indonesia (G. Fealy
pembacaan al-Qur'an dalam berbagai & S. White, Ed.). Singapore: Institue
ritus yang dilaksanakan pada tradisi of Southeast Asian Studies.
pernikahan. Tradisi dan ritus, termasuk Harfi, Y. (2019, Juni 15). 4 Kisah
tradisi pembacaan al-Qur'an, memiliki pernikahan dengan mahar bacaan
nilai-nilai dan daya ikat bagi masyarakat Alquran.
pelaksana tradisi tersebut. Pada satu sisi, https://www.brilio.net/wow/4-
tradisi menjadi media yang melahirkan, kisah-pernikahan-dengan-mahar-
memelihara, dan memperkuat integrasi bacaan-alquran-190615t.html.
sosial, sekalipun pada sisi lain, ia Diambil dari
menjadi media disintegrasi. Selain itu, https://www.brilio.net/wow/4-
berbagai tradisi tersebut pada gilirannya kisah-pernikahan-dengan-mahar-
mempengaruhi perilaku sosial dan bacaan-alquran-190615t.html
keberagamaan masyarakat pelaksana Irawan, I., & Jayusman. (2019). Mahar
tradisi tersebut, termasuk pelaksana Hafalan al-Qur’an Perpsektif Hukum
pembacaan al-Qur'an tersebut. Islam. Palita: Journal of Social-
Religion Research, 4(02), 121–136.
Irawan, I., Jayusman, & Hermanto, A.

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 12


Pengajian Al-Qur’an dalam Tradisi Pernikahan pada Masyarakat Sunda:
Keberlangsungan dan Perubahan

(2019). Studi Fatwa al-Lajnah al- Nisa, F. F., Nurjamil, D., & Muhtadi, D.
Daimah li al-Buhus al-Ilmiyya wa al- (2019). Studi Etnomatematika pada
-Ifta: Kritik Atas Larangan Mahar Aktivitas Urang Sunda dalam
Pernikahan Berupa Hafalan al- Menentukan Pernikahan, Pertanian
Qur’an. Kodifikasia, Jurnal Penelitian dan Mencari Benda Hilang. Jp3M,
Islam, 13(12), 299–320. 5(2), 63–74.
https://doi.org/10.1017/CBO97811 Rasmussen, A. K. (2010). Women, The
07415324.004 Recited Qur’an, and Islamic Music in
Jusmaindah. (2018). 4 pemuda ini nikah Indonesia. London, England:
dengan mahar hafalan Ayat Al University of California Press.
Quran. Diambil dari Rosilawati, R. (2018). Akulturasi
https://makassar.terkini.id/4- Karesmen Mapag Panganten Adat
pemuda-nikah-mahar-hafalan-ayat- Sunda Di Kota Bandung.
al-quran/ website: Makalangan, 5(2), 77–86.
https://makassar.terkini.id/4- Sarpinah, Salimin, & Andi Syahrir.
pemuda-nikah-mahar-hafalan-ayat- (2018). Nilai-Nilai yang Terkandung
al-quran/ dalam Budaya Mappacci pada
Kaplan. (1999). Teori Kebudayaan. Rangkaian Pelaksanmaan
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Perkawinan Orang Bugis. Journal of
Kitiarsa, P. (2008). Religious Chemical Information and Modeling,
Commodifications in Asia, Marketing 47(3), 211–218.
Gods (P. Kitiarsa, Ed.). London and https://doi.org/10.1017/CBO97811
New York: Routledge, Taylor & 07415324.004
Farncis Group. Sholikhin, M. (2010). Ritual dan Tradisi
Kusmayadi, Y. (2018). Tradisi Sawer Islam Jawa. Yogyakarta: Narasi.
Panganten Sunda Di Desa Parigi Supinah, P. (2006). Sawer: Komunikasi
Kecamatan Parigi Kabupaten Simbolik pada Adat Tradisi Suku
Pangandaran. Agastya: Jurnal Sunda dalam Upacara Setelah
Sejarah dan Pembelajarannya, 8(2). Perkawinan. Mediator: Jurnal
Masduki, A. (2010). Upacara Komunikasi, 7(1), 85–94.
Perkawainan Adat Sunda di Di https://doi.org/10.29313/mediator
Kecamatan Cicalengka Kabupaten .v7i1.1225
Bandung. Patanjala, 377–393. Widana, I. K. A. (2017). Peran
Diambil dari Stakeholders dalam Komodifikasi
https://media.neliti.com/media/pu Tradisi Perkawinan Hindu pada
blications/292003-upacara- Paker Wisata Wedding di Kawasan
perkawinan-adat-sunda-di- Wisata. Pariwisata Budaya, 2(2), 20–
kecamat-e034079f.pdf 31. Diambil dari
Maulana, M. (2014). Upacara Daur Hidup http://ejournal.ihdn.ac.id/index.ph
dalam Pernikahan Adat Sunda. p/PB/article/view/838/694
Refleksi, 13(5), 623–640.
https://doi.org/10.15408/ref.v13i5.
916 Wawancara
Muda’i, S. (2018). Kontroversi Mahar Abdurrahman, A. (2020, Pebruari 16).
Hafalan al-Qur’an dalam Literatur Tradisi Pengajian al-Qur'an Pada
Fikih Klasik. Usratuna, 1(2), 44–73. Pernikahan. (D. Rusmana,
https://doi.org/10.1017/CBO97811 Pewawancara)
07415324.004

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 13


Dadan Rusmana

Atusluddin. (2020, Maret 27). Aktivitas


Pengajian al-Qur'an dalam Tradisi
Pernikahan Masyarakat Sunda-
Muslim. (D. Rusmana,
Pewawancara)
Badruddin, A. (2020, Maret 14). Aktivitas
Pengajian al-Qur'an dalam Tradisi
Pernikahan di Kalangan
Masyarakat Sunda-Muslim. (D.
Rusmana, Pewawancara)
Jailani, K. A. (2018, Desember 23).
Tradisi Pengajian al-Qur'an dalam
Pernikahan Masyarakat Sunda-
Muslim. (D. Rusmana,
Pewawancara)

Al-Tsaqafa : Jurnal Ilmiah Peradaban Islam. Vol 17 No. 1, 2020 14

Anda mungkin juga menyukai