Anda di halaman 1dari 68

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI

TEROWONGAN DAN
INFRASTRUKTUR JALAN BAWAH
TANAH
LAPORAN AKHIR

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TEROWONGAN DAN


INFRASTRUKTUR JALAN BAWAH TANAH
(KERJASAMA DENGAN BELANDA, tahun ke 1/3)

rn DEPARTEMEN
BADAN PENEL I T I AN DAN PENGEMBANGAN
PEKERJAAN

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PRASARANA TRANSPORTASI


UMUM

Jl. A.H. Nasution No. 264 Kotak Pos 2Ujungberung Telp. (022) 7802251 Fax. 7802726 Bandung 40294 e-mail:pusjal@melsa.net.id
__ _
/ "'N
-~ ~-.,

1t I · •· ... rf\~
:1 I / !-\
.. I • .,.,, ji,' M
-~ · l l • .t'.\ . .L t ~ !,.;_ .... ,. ._,,_., ~ r __ ' _
r
,• .~-:,· ""'
'.'
~ ·~ ,.! ~ •·• -itt

lo 16 I Q] lo 121 ~ 12 1211o 141

lAPORAN AKHIR

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TEROWONGAN DAN


INFRASTRUKTUR JALAN BAWAH TANAH
(KERJASAMA DENGAN BELANDA, tahun ke 1/3)

Bandung, Desember2004

DEPARTEMEN P E K E R J A A N U M U M
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PRASARANA TRANSPORTASI
.1. Raya Tmur No. 264 Ko!alc Pos 2 Ujungberung Telp. (022) 711!2251 Fax. 7S02726 ~ -40294 e-maa : pusja!@melsa.nelid
I o I s] OJ I o I 2 I ITJ I 2 I 2 I I o I 4 I
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TEROWONGAN DAN
INFRASTRUKTUR JALAN BAWAH TANAH
.(KERJASAMA DENGAN BE LANDA, tahun ke 1/3)

Disyabkan:
Pinbagpro Koordinator Kegiatan Peneliti Utam a,
Pengembang n Teknologi Litbang
Prasarana ansportasi, Balai Geoteknik Jalan,

(Drs. Tom adi Pumomo) (DR. Ir. Hedy Rahadian, M.Sc). (DR. Ir. Maulidya I. J, M.Sc.)
~- 110051126 ~ . 110043985 ~ - 110052491

Mengetahui:
.-~
·t Prasarana Transportasi
·.--:·"&-+
'6
I o Is I C!J I o I 2 I [TI 12 I 2 I I o 14 I
PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TEROWONGAN DAN
INFRASTRUKTUR JALAN BAWAH TANAH
(KERJASAMA DENGAN BELANDA, tahun ke 1/3)

Tim Pelaksana:

Peneliti Utama : DR. lr. Maulidya lndah Junica, M.Sc

Peneliti : lr. Benny M


lr. Benyamin Saptadi
DianAsri ST
Rumandi, A Md.
Wahyu Pumama, BE

Pembantu Peneliti/Teknisi : Yusuf Sukandar


lbsin

Peneliti Utama:

(DR. lr. Maulidya lndah Junica, M. Sc)


NIP. 110052491
EXECUTIVE SUMMARY

PENGEMBANGAN TEKNOLOGI TEROWONGAN DAN


INFRASTRUKTUR JALAN BAWAH TANAH
(KERJASAMA DENGAN BELANDA, tahun ke 113)
Maulidya lndah Junica, 2004

I. LATAR BELAKANG
Semakin terbatasnya lahan permukaan pada daerah perkotaan berakibat
pada makin terbatasnya pula lahan yang dapat digunakan untuk
pembangunan infrastruktur jalan. Sementara makin menguatnya
kesadaran akan lingkungan pada daerah-daerah sensitif.
Terowongan memiliki potensi untuk menjadi solusi masalah di atas, namun
temyata teknologi ini belum popular di masyarakat Indonesia, khususnya
masyarakat teknik. Sedangkan kenyataannya teknologi ini sudah
diaplikasikan sejak hampir satu abad yang lalu tetapi masyarakat
Indonesia tidak berperan dalam proses desainnya.
Untuk memperkenalkan teknologi ini perlu dipersiapkan suatu manual
untuk menjadi salah satu acuan untuk membangun terowongan
pegunungan yang rasional.
II. TUJUAN DAN SASARAN
Kegiatan litbang pada TA 2004 ini mempunyai tujuan untuk
mempersiapkan struktur panduan pembangunan terowongan di daerah
pegunungan Sedangkan sasaran litbangnya adalah tersedianya review
desain Kelok 9, tersedianya kajian awal data lintas Selat Sunda,
terbentuknya struktur NSPM bidang teknologi terowongan pegunungan.
Ill. KAJIAN LITERATUR
Dalam mendesain dan merencanakan sebuah terowongan, berbagai
kondisi teknis dan non teknis di sekitar lokasi pekerjaan harus dipahami.
Konsep dasar untuk memperoleh terowongan yang stabil dan aman adalah
memanfaatkan kekuatan yang dipunyai sendiri oleh massa batuan. Beban
yang bekerja di bagian atap terowongan ditahan oleh batuan dengan
kapasitas optimumnya dan penyangga dipasang sebagai penunjang
sampai tercapainya kapasitas yang diinginkan
Kriteria penentuan penampang melintang terowongan adalah bentuknya
dapat mengaktifkan seefektif mungkin penyanggaan sendiri oleh tanah di
sekitar bukaan terowongan. Penampang geometri galian sedapat mungkin
menyerupai bentuk lingkaran, untuk menfasilitasi pengaliran tegangan
semulus mungkin dalam tanah sekitar bukaan, yang juga meminimalkan
beban yang menekan lining terowongan. Sehingga dinding yang lurus dan
sudut yang tajam sebaiknya dihindarkan. Selain itu bentuk harus yang
meminimalkan volume galian.

iii
IV. METODOLOGI
Kegiatan litbang ini dilakukan dengan konsep teaming by doing:
mengumpulkan dan mengkaji data sekunder. Desain terowongan di Kelok
9 dibuat dan beberapa altematif trase terowongan di subruas
Piyungan-Gading ditetapkan. Pengumpulan sejumlah data terowongan
yang pemah dibangun di Indonesia dan membuat laporan sesuai dengan
yang ditentukan.
V. HASIL PENELITIAN DAN PENGKAJIAN
Ruas jalan Payakumbuh-Pekanbaru mempunyai area yang dinamakan
dengan Kelok 9 yang terletak pada Km 143+000 sampai dengan 149+000.
Ruas jalan sepanjang 6 km ini mempunyai 9 (sembilan) tikungan tajam,
yang temyata tidak memenuhi persyaratan standar alinyemen horisontal
dan vertikal.
Kualitas massa batuan di sepanjang lokasi calon terowongan adalah RMR
= 57, menunjukkan kualitas yang sedang. Sedangkan bila dihitung
kualitasnya terhadap kemiringan lereng (Slope Mass Rating, SMR) maka
kondisinya adalah 30 (rendah)-54,4 (sedang) yang mengindikasi lereng
yang tidak stabil, sehingga pemotongan dan pemeliharaan tebing
membutuhkan perhatian ekstra seperti pada bagian portal terowongan.
Terowongan dapat digali dengan metode bor manual dengan kombinasi
peledakan. Penyangga bukaan terowongan adalah kombinasi baut batuan
(rockbolt) panjang 3,5 m yang dipasang dalam jarak antaranya 1,5 m,
beton semprot setebal 50-100 mm di bagian atap dan 30 mm di dinding,
serta penggunaan tulangan pada bagian atap tersebut.
Nilai RMR tersebut menunjukkan bentang 2, 7 m untuk bukaan yang dapat
menyangga sendiri, serta bentang maksimumnya adalah 13 m.
Enam altematif trase jalan untuk memperbaiki subruas Piyungan - Gading
(Km 14+00-20+00) di 01 Yogyakarta diperoleh berdasarkan pertimbangan
faktor-faktor antara lain: kondisi geologi, kondisi geografis, kepemilikan
lahan dalam implementaslnya untuk terowongan jalan, pemanfaatan jalan
eksisting, panjang terowongan, geometri terowongan jalan
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
Dengan melakukan aplikasi langsung di lapangan dalam kegiatan
penetapan desain awal penampang melintang terowongan ruas jalan
Kelok 9 (Sumatera Barat) dan pemilihan altematif trase terowongan jalan
di subruas Piyungan-Gading (0.1. Yogyakarta) maka akan semakin mudah
menyusun struktur manual kegiatan Pra-Fs terowongan jalan.
Terhadap beberapa altematif trase terowongan yang telah ditetapkan perlu
dilakukan analisis terhadap kelayakan dilihat dari sisi geometri, selain
tentunya pertimbangr-:1-pertimbangan non-teknis lainnya seperti kondisi
sosial dan lingkungan di permukaan. Untuk mencapai tujuan secara
keseluruhan diperlukan untuk mengetahui dengan baik perilaku
tanah/batuan yang ditunjang dengan analisis dengan pendekatan numerik.

iv
Contoh Penampang Melintang Terowongan Kelok 9

--
leg!!flda

----·
ITEI
f:Mapn > ~

Saluankeba!F ~an
. . MlosenJUas)
D s-an-...... iF Sen* . t.lousen Bawalt)

P£RBUKITAN TEIUAl

......

- - - .. - - .. ,........
,.
I
: \ i
....
Trase Teorowongan - Alternatif 6
- ...
~;nu: Penggalian searah Dip
T1 = terowongan I
T2 = terowongan 2

v
r--. .,,'
I
·~ ~. ~.r-,n
~
.

II ~ •
I r
,- ·, I
. .A.
M
~-J l.. ,•. l.o:. '· - -·~ ......... - ....... t t- --. ~ .. ; ~

ABSTRAK

Saat melakukan kajian-pra kelayakan untuk mendesain dan merencanakan


suatu terowongan jalan, diperlukan untuk mengumpulkan semua data sekunder
yang berhubungan dengan pembangunan terowongan tersebut. Data geologi
dan geoteknik sekunder sangat berguna untuk mendapatkan gambaran
walaupun secara umum mengenai antisipasi perilaku batuanAanah di lokasi
dimana terowongan tersebut mungkin diletakkan. Laporan ini juga menjelaskan
mengenai proses pemilihan trase terowongan dan desain terowongan pada dua
rencana terowongan, dimana tahapan-tahapan tersebut dapat dirangkum
sebagai suatu bagian dari stroktur manual terowongan yang dibangun dengan
metode terowongan pegunungan.

vi
DAFTAR lSI

Lembar Pengesahan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. i
Tim ·Pelaksana . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ii
.Executive Summary .. . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . .. . . . . .. . . . . . .. . . . . . . .. . . . . ... .. . .. . . .. . . . . . . . . . iii
Abstrak ................................................................. ....................... vi
Daftar lsi . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. vii
·Daftar Gam bar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . ·ix
.BAS .I .PENDAHU.LUAN .... ... ... ... .... ..... .... ... ... ... ... ... ... . .. ... ... . .. ... ... ... ... 1
1.1 Latar Belakang . . . .. . .. . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . .. . . . . . . . . . . 1
1.2 Tujuan ......... ... ............ ... ...... ... .............................. ...... 2
1.3 Sasaran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
1.4 Lingkup Kegiatan . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . .. . ... . .. . . . . . . 3
1.5 Luaran . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 3
1.6 Manfaat . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3
BAB II KAJIAN .PUSTAKA . . . .. . . .. . . . . . . . .. .. . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . .. . .. . . . . . . . . . . . . . 5
2.1 Umum ................................................................. ....... 5
2.2 Desain dan Perencanaan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . .. .. . . . . . . . . . . .. 5
2.3 Survei, Penyelidikan Geologi, dan Penyelidikan Geoteknik
dalam Tahap-tahapan Pembangunan Terowongan . . . . . . . . . . . . .. . 6
2.4 Tahapan dafam Mendesain Terowongan ..................... ... ...... .. . 7
2.5 Konsep Dasar Kestabilan Terowongan ....... .......... ....... .. ... ... ... 10
2.6 Bentuk Penampang Terowongan ............................................ 10
BAS Ill METODOLOGI PENELITIAN .... ... ..... .. ... ... . . . .. .... .. . ... ... .. . ... .. . .. 12
3.1 Mengumpulkan dan Mengkaji Data Sekunder . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . 12
3.2 Kajian Pustaka . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
3.3 Penyusunan Struktur Manual . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 12
3.4 Oesain Geometrik Terowongan Kelok 9, Sumbar ................ 13
3.5 Pemilihan Trase Terowongan Jalan Subruas Piyungan -
Gading ...... ... ......... ... ... ....................................... ........ 13
3.6 Bank Data T-erowongan di Indonesia................................. 13
3. 7 Pelaporan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 13
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN ......................... 14
4.1 Keanggotaan di International Tunneling Association............ 14
4.2 Terowongan Kelok 9, Sumbar . . . . . . . .. .. . . . . . .. . .. . . . . . . ... .. . . . . . . . ... 14
4.3 Kegiatan Pembuatan Bank Data Terowongan Indonesia....... 18
4.4 Terowongan yang Melintasi Selat Sunda ................................ 18
4.5 Terowongan di Subruas Jalan Piyungan -Gading ............... 19
4.6 Beberapa Alternatif Trase Terowongan Jalan di Subruas
Piyungan - Gading . . .. ..... ... ... ... .. .. .. .. ... ... ... .... .. ...... ....... ... ......... 28
BAB V KESIMPULAN dan SARAN . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
5. 1 Kesimpulan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 33
5.2 Saran........................................................ ................ 33

vii
DAFTAR PUSTAKA 000 000000 0000 000000000000000000 000000000 000 Oo ooooooooooooooooo·o····oooooo···ooooo 000 0 0 34
LAMP IRAN

viii
DAFTAR GAMBAR

Gam bar 2.1 Contoh Potongan Melintang Terowongan . . . ... . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . 11


Gambar 4.1 Solusi untuk Ruas Kelok 9, Sumbar .......................................... 15
Gambar 4.2 Kondisi Topografi daerah Kelok 9, Sum bar . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 15
Gambar 4.3 Kondisi Geologi Memanjang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . 17
Gambar 4.4 Contoh Penampang Melintang Terowongan Kelok 9 .............. 18
Gambar 4.5 Penggalian searah dengan Dip . . . . . . . .. . . . . .. . . . . . . ... . .. . . . . . . . . . . . . .. 32
Bagan Alir 1 Tahapan dalam Mendesain Terowongan . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 8
Bagan Alir 2 Tahapan dalam Desain dan Pelaksanaan Konstruksi
Terowongan dengan Metode Pegunungan .. ...... .. ........ .. . .. ... ..... 9

ix
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Semakin terbatasnya lahan permukaan pada daerah perkotaan berakibat
pada makin terbatasnya pula lahan yang dapat digunakan untuk
pembangunan infrastruktur jalan. Sementara makin menguatnya
kesadaran akan lingkungan pada daerah-daerah sensitif, baik itu di daerah
perkotaan, pada daerah hutan lindung maupun daerah pedesaan juga
makin membatasi pembangunan infrastruktur jalan di permukaan karena
akan berdampak negatif pada lingkungan. Di samping itu, terdapat juga
tuntutan untuk mendapatkan alinyemen yang lebih baik pada jalan-jalan
yang melintasi perbukitan dan pegunungan sehingga dapat menjamin
kelancaran lalu lintas.
Dengan demikian teknologi konstruksi bawah tanah memiliki potensi untuk
menjadi solusi pembangunan infrastruktur pada daerah dengan
keterbatasan lahan dan daerah sensitif. Namun belum populemya
teknologi bawah tanah untuk ir.frastruktur jalan turut menghambat
kemungkinan dikembangkannya teknologi tersebut.
Padahal pembangunan terowongan di Indonesia sebagai salah satu pilihan
sebagai sarana infrastruktur telah dimulai hampir seabad yang lalu
terutama untuk prasarana jalan kereta api. Selain itu penggunaan
konstruksi bawah tanah dalam pekerjaan pertambangan, penyedia tenaga
listrik menggunakan energi air, dan terowongan-terowongan pengelak air di
bangunan damlbendungan semakin bertambah akhir-akhir 1n1.
Pembangunan konstruksi bawah tanah dan terowongan yang pemah ada
ini perlu untuk didokumentasikan, disimpan dalam satu wadah tertentu
yang nantinya akan menjadi dasar bagi pengembangan teknolgi
terowongan di Indonesia dengan memperhatikan kondisi geologi yang unik
di Indonesia.
Adalah perlu untuk mempersiapkan suatu manual atau standar
pembangunan terowongan yang sesuai dengan kondisi geologi dan
topografi di Indonesia yang bersifat menyeluruh, memenuhi segi keamanan,
efisien dalam hal waktu dan biaya. Manual atau standar ini secara garis
besar berisikan tahapan survei dan penyelidikan geologi, dll, desain, sistem
kontrak dan kompensasi, aspek legal dan hukum, pelaksanaan konstruksi
sampai dsngan tahapan pemeliharaan. Dengan manual atau standar
tersebut dimaksudkan untuk menjadi salah satu acuan untuk membangun
terowongan yang rasional.
Untuk lebih menyosialisasikan teknologi terowongan dan infrastruktur jalan
bawah tanah, ada beberapa kegiatan yang dilakukan pada tahun anggaran
2004 ini dan beberapa lainnya dalam kategori direncanakan, antara lain:

1
(1) Pembentukan sekretariat Himpunan Pengembang Terowongan
Indonesia (Indonesia Tunneling Association) ~ nama sementara dan
penyusunan kegiatan regular organisasi dan anggota organisasi. Nama
asosiasi im belum berfaku dengan resmi.
(2) Menghimpun data untuk penulisan country report kegiatan-kegiatan
pembangunan terowongan di Indonesia dan mengirimkan 2 orang staf
ke World Tunneling Conference yang berlangsung dari tanggal 22
sampai dengan 27 Mei 2004 di Singapura, tennasuk mendukung
financial selama program tersebut.
(3) Ter1ibat aktif pada pengkajian geologi dan geoteknik Kelok 9 di Provinsi
Sumatera Barat yang telah ditetapkan sebagai pilot project dalam
kerangka kerjasama antara Pemerintah Indonesia dan Belanda di
bidang teknologi terowongan, yang secara garis besar meliputi:
(a) Mengumpulkan data sekunder yang berkaitan dengan lokasi Kelok
9 baik berupa peta topografi, geologi, maupun data investigasi tanah
yang pernah dilakukan di sekitar Kelok 9 yang selanjutnya akan
diterjemahkan ke dalam Digital Terrain Model (DTM).
(b) Survei geologi, topografi dan pemetaan detail, dan penyelidikan
geoteknik di eaton lokasi terowongan Kelok 9 dan lingkungan
sekitamya.
(c) Membuat desain teknik terowongan Kelok 9 (Detail Engineering
Design} berdasarkan i1asil survey, penyelidikan, dan pengamatan
seperti pada butir (b).
(d) Menghimpun data pendukung pembangunan terowongan lintas
Selat Sunda.
Adapun yang menjadi fokus dalam kegiatan litbang ini adalah yang
berhubungan dengan butir (a} dan (b). Kegiatan litbang ini akan dilakukan
dalam 3 {tiga) tahun anggaran dan pada tahun ini difokuskan pada
pengkajian data sekunder guna tersedianya struktur NSPM (normalisasi
standar pedoman manual), evaluasi kajian Lintas Selat Sunda serta desain
geometrik dan kelayakan teknik terowongan Kelok 9.

1.2 Tujuan
Tujuan dari kegiatan ini adalah tersedianya Panduan Teknologi Bangunan
Bawah Tanah untuk Jalan.
Sedangkan sesuai dengan rencana tiga tahun program kegiatan dalam
bidang teknologi terowongan ini, maka direncanakan bahwa:
(1) Tujuan kegiatan tahun 2004 adalah mempersiapkan struktur panduan
pembangunan terowongan di daerah pegunungan (mountain tunneling
method).
(2) Tujuan kegiatan tahun 2005 adalah mempersiapkan struktur panduan
pembangunan struktur lintas bawah air.

2
f
~ ~
~· f ~
r~ --., - t ::-rr"-
-" .
'I./' 1\.
" 1- \ !-'ANM
. ..1 • . . . . .,, . ••.. .

·..·. ' l i. e. \. , ' ' .• : .,,, "•• -·~ · ' ' --··
. "~·
.•.
-;-.Ki'.
~:"., ! .
. ...... ·~ .. •·• .... -114

(3) Tujuan kegiatan tahun 2006 adalah mempersiapkan struktur panduan


pembangunan terowongan perisai (shield tunneling method).

1.3 Sasaran
Secara umum sasaran kegiatan ini (3 tahun) adalah:
Tersedianya Panduan Teknologi Bawah Tanah untuk Jalan
Adapun sasaran kegiatan untuk TA 2004 adalah:
(1) Tersedianya review desain Kelok 9.
(2) Tersedianya kajian awal data lintas Selat Sunda.
{3) Terbentuknya struktur NSPM bidang teknologi terowongan pegunungan
(mountain tunnel).
Kegiatan tahun anggaran 2005 mempunyai sasaran:
{1) Tersedianya review desain terowongan lintas Selat Sunda.
(2) Terbentuknya struktur NSPM bidang teknologi lintas bawah air.
Sedangkan sasaran kegiatan TA 2006 adalah:
(1) Tersedianya review desain terowongan tipe perisai.
(2) Terbentuknya struktur NSPM bidang teknologi terowongan perisai
(shield tunnel).

1.4 Lingkup Kegiatan


Kegiatan m1 melingkupi kajian kebutuhan-kebutuhan dan
persyaratan-persyaratan teknis untuk merencanakan dan mendesain
sebuah terowongan jalan raya. Termasuk juga melaksanakan kajian
terhadap data geologi sekunder.

1.5 Luaran
Luaran kegiatan ini untuk tahun anggaran 2004:
(1) Kelayakan dan desain teknik terowongan Kelok 9.
(2) State of Art kajian lintas Selat Sunda
(3) Struktur NSPM bidang teknologi terowongan pegunungan
Luaran kegiatan tahun anggaran 2005 dan 2006 adalah panduan untuk
bahan NSPM bidang teknologi bangunan lintas bawah air, dan teknologi
terowvngan perisai.

1.6 rJanfaat
Mensosialisasikan teknologi terowongan sebagai salah satu pilihan
struktur prasarana transportasi. Menyediakan referensi yang berkaitan

3
dengan teknologi terowongan, yaitu teknologi terowongan pegunungan
(tahun 2004), bangunan lintas bawah air (tahun 2005), dan terowongan
perisai (tahun 2006).

4
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Umum
Pustaka yang digunakan selama kegiatan ini diambil dari buku-buku yang
berkaitan dengan metode membangun terowongan pegunungan.
Beberapa metode membangun terowongan di pegunungan yang
umumnya telah dikembangkan di Jepang maupun Eropa akan dikaji untuk
kemudian dipilih sesuai dengan kondisi geologi Indonesia.
Pustaka penunjang lainnya sehubungan dengan shotcrete, rockbolt. dan
lain-lain adalah termasuk dalam kegiatan kajian pustaka ini.
Laporan hasil penyelidikan geologi, catatan proyek atau laporan hasil
kegiatan pembangunan prasarana transportasi lainnya yang berdekatan
dengan lokasi kegiatan dipelajari sebagai bahan penunjang kelayakan
teknik dari terowongan.
Pustaka-pustaka yang menjelaskan terubahnya lingkungan sebagai
dampak pembangunan terowongan dipelajari untuk membuat suatu
perbandingan kelayakan terowongan dilihat dari sudut lingkungan
dibandingkan jenis prasarana transportasi lainnya.

2.2 Desain dan Perencanaan


Jika mendesain dan merencanakan sebuah terowongan, berbagai kondisi
yang perlu dipelajari antara lain: penampilan tooografi daerah sekitar
dimana terowongan akan diletakkan, geologi, perilaku cuaca, lingkungan,
kondisi lokasi dimana terowongan akan dibangun, serta jumlah dan volume
lalu lintas yang diharapkan melintas terowongan pada saat ini dan masa
akan datang, dll. Lebih jauh adalah perlu untuk mempertimbangkan
keamanan dan ekonomi selama pelaksanaan pembangunan terowongan,
keamanan dan kenyamanan pengguna (termasuk kendaraan) yang akan
melalui di dalam terowongan dan juga keekonomisan biaya pemeliharaan
selama terowongan berada dalam masa layannya. Sudut pandang
ekonomi adalah bukan hanya memasukkan unsur finansial saja tetapi juga
faktor lingkungan dan sosial untuk masa jauh ke depan, yang terkadang
sulit untuk digambarkan dengan besarnya nilai uang.
Kegiatan survei dan penyelidikan geologi untuk pembangunan terowongan
dimulai dari survei pemilihan jalur terowongan, membuat rencana untuk
desain dan konstruksi, dan tahap pelaksanaan konstruksi itu sc..1diri.
Secara umum survei untuk membuat rencana desain dan konstruksi
meliputi kegiatan pembacaan foto-foto udara, peta-peta topografi, survei
geologi tanah permukaan, pengujian-pengujian geoteknik dengan

5
pemboran, prospek seismik, uji conto tanah dan batuan, dll.
Hasil dari survei, penyelidikan geologi dan pengujian geoteknik serta hasil
analisa kajiannya adalah nantinya menjadi faktor yang dipertimbangkan
dalam pemilihan metode penggalian, metode pemajuan pembangunan
terowongan, desain dan pemasangan penyangga terowongan, dinding
terowongan (lining), dan jenis pekerjaan lainnya untuk struktur
terowongan.
Dari kajian pustaka, tahapan-tahapan kegiatan dalam membangun
terowongan dapat direkomendasikan seperti pada butir 2. 3 dan
selanjutnya.

2.3 Survei, Penyelidikan Geologi, dan Penyelidikan Geoteknik dalam


Tahap-tahapan Pembangunan Terowongan
Survei maupun penyelidikan geologi untuk membangun terowongan
dilaksanakan dari mulai tahap awal perancangan terowongan sampai
dengan terowongan selesai dibangun. Tujuan dan ketelitian dari rangkaian
survei dan penyelidikan geoteknik tersebut dapat saja berubah selama
pekerjaan pembangunan terowongan. Temuan-temuan kondisi geologi
teknik yang baru selama penggalian (pemboran) yang temyata berbeda
dengan interpretasi pada tahap pern~a, akan menjadi data masukan
untuk perubahan desain.
Kegiatan survei dan penyelidikan geoteknik pembangunan terowongan
dilakukan pada tahap-tahap:
(a) Survei pada kegiatan Pra-kelayakan (Pra-FS).
Kegiatan Pra-kelayakan (Pra-FS) terowongan bertujuan untuk:
- menetapkan koridor proyek dan sejumlah altematif trase
terowongan yang memenuhi standar geometri dan ketersediaan
ruang kerja konstruksi yang dengan mempertimbangkan
kaidah-kaidah lingkungan,
- rekomendasi untuk kegiatan geoteknik dan geologi pada tahapan
Kelayakan (FS).
(b) Survei pada kegiatan Kelayakan (FS).
Kegiatan Kelayakan (FS) terowongan bertujuan untuk:
- menetapkan trase terowongan terpilih dari sejumlah trase yang
diperoleh dalam kajian Pra-kelayakan,
mendapatkan informasi geologi dan geomorphologi sepanjang jalur
terowongan yang direkomendasikan, serta profil geologinya,
mendapatkan informasi geoteknik
desain awal dari terowongan,
merencanakan jadwal proyek dan perkiraan biaya,

6
membuat suatu rekomendasi untuk kajian lingkungan,
membuat suatu rekomendasi untuk kegiatan Perencanaan Teknis
terowongan.
(c) Survei peruntukan Perencanaan Teknis
Kegiatan Perencanaan Teknis terowongan bertujuan untuk:
- mendapatkan informasi geologi dan geoteknik rinci pennukaan dan
bawah permukaan yang berisikan antara lain informasi mengenai
geologi, hidrologi, geohidrologi, sifat-sifat fisik, mekanis, dan kimia
tanah serta interpretasinya peruntukan terowongan,
membuat suatu rekomendasi untuk Penentuan AJinyemen Final dan
Pengembangan Hal-hal lainnya yang Berhubungan dengan
Terowongan,
membuat rekomendasi teknis rinci untuk pelaksanaan konstruksi.
(d) Survei pemantauan muka-terowongan (face) pada setiap siklus
penggalian dengan kegiatan-kegiatan antara lain:
- melakukan lagi pengklasifikasian batuan pada setiap siklus
penggalian
- melakukan lagi pengklasifikasian (kelas) sistem penyanggaan
berdasarkan klasifikasi batuan yang baru ditetapkan
- melakukan modilikasi segera sistem penyanggaan bila diperlukan
(e) Pemasangan instrumen geoteknik untuk memantau dan merekam data
yang berhubungan dengan kestabilan terowongan, lingkungan di
sekitar terowongan termasuk misalnya penurunan permukaan tanah.

2.4 Tahapan dalam Mendesain Terowongan


Terowongan didesain dalam beberapa tahap, yang dalam prosesnya
desainnya dapat saja berubah. Perubahan desain tersebut te~adi akibat
temuan-temuan geologi dan geoteknik selama survei.
Tahapan mendesain terowongan dapat dilihat pada bagan alir di bawah ini:

7
Pemilihan jalur terowongan,
PERENCANAAN kesesuaian alinyemen dipelajari
DESAIN dari peta topografi, dengan
penyesuaian kebutuhan ventila-
si, penampang terowongan, di-
desain sementara
Survei jalur,
kajian rinci primer

- Mempelajari struktur dasar


DESAIN terowongan
DASAR - Perkiraan biaya konstruksi,
peng~asmkth
Survei rinci,
kajian rinci sekunder
(penyelidikan tambahan
akan dilakukan sesuai
Digunakan untuk menyusun
dengan permintaan) r dokumen kontrak, desain
DESAIN rinci struktur, pemt.uatan
RINCI rencana konstruksi, dan
perkiraan kuantitatif.

Penetapan urutan
pelaksanaan konstruksi ~

r Modifikasi sistem penyangga


MODIFIKASI sesuai dengan kondisi batuan
DESAIN yang ditemui sewaktu menggali
dan ha~l pengukuran

Bagan alir 1 Tahapan dalam Mendesain Terowongan

Sedangkan urutan desain dan kegiatan pelaksanaan konstruksi terowongan


dengan metode terowongan pegunungan dapat dilihat pada bagan alir di bawah
ini:

8
~· ·~ .. · ~ .... _.,

~
-!~
Klasffikasi
massa batuan

Penerapan Desain
pola penyanggaan individual

----------------------------------- ------------------------------------·
Pelaksanaan
r-----------• Konstruksi

,-----------------------------------
I
-~ I
I
c(\'J I

Ol
I
l
Pengecekan kondisi
cCJ)C I
tanah/batuan
"0«1 ' berdasarkan hasil pengamatan
·- Ol
[5 dan pengukuran -~
E ~ (\'J
roe
1/) CJ) ICJ)
1/)

c-- "0
~>.
«l«J ·;n
CD
~-­
:Jc sesuai ~
roCD ~
- 1/) "0
-o_
· - CJ)
0
wCJ> E
CJ)IJ)
1/)

e
a. ber1ebih atau tidak memuaskan
I

Modifikasi perubahan sistem penyangga, penerapan


desain metode tambahan, perub3han metode
penggalian, pembuatan cincin ~ebih awal, dll
-----------------------------------------------------------------------•

Bagan Alir 2 Tahapan daiam Desain dan Pelaksanaan


Konstruksi Terowongan dEmgan Metode Pegunungan

9
2.5 Konsep Casar Kestabilan Terowongan
Memanfaatkan kekuatan yang dipunyai sendiri oleh massa batuan adalah
konsep dasar metode terowongan pegunungan. Beban yang akan bekerja
di bagian atas terowongan (atap) ditahan oleh batuan itu sendiri dengan
kapasitas optimumnya dan penyangga dipasang sebagai penambah
(penunjang) sampai tercapainya kapasitas yang diinginkan. Berdasarkan
pemikiran ini adalah perlu untuk memahami dengan benar sifat dan
kekuatan batuan di sekeliling lubang bukaan teroYJOngan.
Kekuatan massa batuan biasanya dihubungan dengan klasifikasi massa
batuan. Klasifikasi massa batuan ini sendiri diperoleh berdasarkan
pendekatan empirik dan dikembangkan menggunakan riwayat pekerjaan
terowongan atau bangunan bawah lainnya.
Salah satu sistem pengklasifikasian batuan yang umumnya digunakan
yaitu Rock Mass Rating (RMR) dikembangkan oleh Bieniawski
(1972-1973). Sistem ini memerlukan 6 (enam) parameter untuk
memperoleh jenis batuan. Parameter-parameter tersebut adalah:
(a) nilai kuat tekan bebas material intact batuan,
(b) RQD (rock quality index)
(c) spasi diskontinuitas
(d) kondisi diskontinuitas
(e) kondisi air tanah
(f) orientasi diskontinuitas

I: panjang total potongan inti > panjang dari 10 em


RQD=----------------------------------
panjang total inti

Berdasarkan klasifikasi massa batuan yang diperoleh, maka Biewniaski


merekomendasikan sistem penyangga bukaan (Bieuniaski, 1989)

2.6 Bentuk Penampang Terowongan


Bentuk penampang melintang terowongan jalan adalah sedemikian rupa
sehingga memenuhi kriteria sebagai berikut:
a) Dapat mengaktifkan seefektif mungkin, penyanggaan sendiri oleh
tanah di sekitar bukaan terowongan. Penampang geometri galian
sedapat mungkin menyerupai bentuk lingkar?n, untuk menfasilitasi
pengaliran tegangan semulus mungkin dalam tanah sekitar bukaan,
yang juga meminimalkan beban yang menekan lining terowongan.
b) Untuk mengakomodasi kriteria butir a), maka dinding yang lurus dan
sudut yang tajam sebaiknya dihindarkan.
c) Sehubungan dengan butir a) dan b), maka bentuk harus yang

10
meminimalkan volume galian.
Gambar 2. 1 di bawah mengilustrasikan bentuk penampang melintang
terowongan jalan yang umum dipilih.

12

8.7m

Gambar 2.1 Contoh Potongan Melintang Terowongan

1 Tepi lingkaran teori


2 Penyangga yang dipasang segera
3 Pondasi
4 Pipa drainase lateral
5 Sistem kedap air
6 Dinding beton akhir yang tidak bertulang
7 Pipa drainase utama
8 Tempat pejalan kaki
9 Bak kontrol
10 Permukaan jalan
11 Kipas ventilasi
12 Baut batuan

11
BAB Ill

METODOLOGI

Kegiatan pengembangan teknologi terowongan dan infrastruktur jalan bawah


tanah ini dilakukan dengan mengadakan kajian pustaka serta diskusi dengan
pihak yang terkait sehubungan dengan metode pembangunan terowongan
pegunungan yang telah dikembangkan dan digunakan di beberapa negara di
Eropa dan Jepang.
Pengumpulan data lapangan dan yang bersifat sekunder dilakukan untuk desain
terowongan Kelok 9.
Secara rinci tahapan kerja kegiatan ini dapat dilihat sebagai berikut:

3.1 Mengumpulkan dan Mengkaji Data Sekunder:


(1) Struktur NSPM versi COB (Belanda) dan negara-negara lainnya.
(2) Desain Kelok 9 versi jembatan termasuk peta topografi, geologi, dan
hasil penyelidikan tanahlbatuan yang pemah dilakukan di sekitar kelok
9, Sumbar.
(3) Pendukung desain penghubung tetap Selat Sunda.
(4) Ruas jalar. Piyungan- Gading, Dl Yogyakarta.

Kegiatan (3) tidak dilakukan dengan aktif. Tetapi terdapat kegiatan


tambahan untuk keper1uan kajian pustaka yaitu pengumpulan data
pelaksanaan terowongan yang pemah dibuat di Indonesia yang nantinya
akan disusun menjadi bank data. Selain itu dilakukan juga kegiatan
tambahan kajian pustaka untuk daerah bakal terowongan Piyungan (DI.
Yogyakarta).

3.2 Kajian Pustaka


Literatur yang digunakan selama litbang ini diambil dari:
( 1) Literatur yang berkaitan dengan teknologi terowongan dan prasarana
jalan bawah tanah
(2) Panduan atau manual yang telah ada di bidang teknologi terowongan
(3) Tambahan kegiatan seperti tercantum di halaman 9.

3.3 Penyusunan Struktur Manual


Kerangka manual akan disusun dengan metode "learning by doing".
Langkah-langkah kegiatan Pra-Kelayakan terhadap kasus terowongan
jalan di ruas jalan Piyungan - Gading diambil sebagai kasus langsung di
lapangan.

12
3.4 Desain Geometrik Terowongan Kelok 9, Sumbar
Desain terowongan Kelok 9 dilakukan berdasarkan hasil DTM dan data
hasil penyelidikan geoteknik yang pemah dilakukan di sekitar Kelok 9.
Peta topografi, geologi, hidrologi dan curah hujan, serta hasil uji lapangan
dan laboratorium yang pemah dilakukan di sekitar Kelok 9 digunakan juga
sebagai dasar desain tahap awal geometrik terowongan Kelok 9.

3.5 Pemilihan Trase Terowongan Jalan Subruas Piyungan - Gading


Beberapa altematif trase terowongan jalan ruas Piyungan - Gading
diperoleh berdasarkan data sekunder dari peta geologi, peta topografi,
peta tata guna lahan, dan catatan rekaman curah hujan. Data yang
terkumpul dari survei berjalan di lokasi adalah menjadi masukan yang
berharga. Catatan teknis geologi yang tersimpan pada instansi lainnya
dipelajari dengan baik untuk mengetahui peluang dan hambatan secara
geologi walaupun masih secara kasar.

3.6 Bank Data Terowongan di Indonesia


Kegiatan pengumpulan data berbagai terowongan yang dibangun di
Indonesia dilakukan pada litbang ini. Jenis terowongan yang ada yaitu
terowongan jalan air untuk pembangkit listrik, untuk saluran irigasi, sebagai
bagian dari bendungan.

3. 7 Pelaporan
Kemajuan kegiatan litbang ini dituliskan dalam laporan pendahuluan,
laporan interim, draft laporan akhir, dan laporan akt;ir sesuai dengan jadwal
yang ditetapkan.

13
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN

4.1 Keanggotaan di International Tunneling Association


Indonesia resmi masuk keanggotaan International Tunneling Association
pada General Assembly di Konferensi Terowongan Dunia (World Tunneling
Congress) di Singapura tanggal 22 - 27 Mei 2004.

4.2 Terowongan Kelok 9, Sumbar


4.2.1 Latar Belakang
Ruas jalan Payakumbuh-Pekanbaru mempunyai area yang dinamakan
dengan Kelok 9 yang terletak pada km 143+000 sampai dengan 149+000.
Ruas jalan sepanjang 6 km ini mempunyai 9 tikungan tajam sehingga
dinamakan dengan Kelok 9. Ruas Kelok 9 ini temyata tidak memenuhi
persyaratan standar alinyemen horisontal dan vertikal. Tikungan yang
berjumlah sembilan buah ini mempunyai jari-jari kurva rata-rata yaitu R =
7,5-20 meter. Kemiringan ruas jalan ini umumnya 4-6% dan beberapa
di antaranya bahkan lebih besar dari 6%. Koridor di sekitar jalan yang ada
adalah sempit hanya sekitar 300 m. Kondisi ini sangat memberatkan bagi
kendaraan truk dan bus bila harus menikung ataupun menanjak. Rencana
perbaikan alinyemen dimaksudkan untuk mengurangi kemacetan yang
seringkali terjadi dan sekaligus mengembalikan fungsi jalan sebagai jalan
arteri, jalan nasional antar-provinsi.
Struktur terowongar. dipilih untuk dibangun karena memberikan dampak
yang rendah terhadap lingkungan selama kegiatan pembangunan. Kondisi
topografi dan terrain yang tidak menguntungkan dimana seringkali
diharuskannya memotong tebing yang cukup tinggi, akan sangat rentan
terhadap longsoran atau jatuhan massa tanahlbatuan.
Letak terowongan pada Ruas Kelok 9 dapat dilihat pada Gambar 4. 1.

14
- " , ... ,.,

. ~. lD
.. , ., •• ~.-, •• ,w.,u.id UiU.; nn;://pusuka.ou.•.ld

posisi terowongan yang direkomendasikan


dengan panjang 400 m {Sumber: Dinas Bina
Ma,Ya, Provinsi Sumatera Barat)

- jalan yang ada


- rencana jaian, jembatan, dan terowongan
- sungai

Gam bar 4.1 Solusi untuk Ruas Kelok 9, Sumbar (Sumber: Dinas Bina
Marga. Provinsi Sumatera Barat)

4.2.2 Keadaan Topografi


Ruas jalan yang ada di Km 143+000 sampai dengan Km 148+000 terletak
pada sebuah bukif yang dikelilingi oleh dua buah bukit yang cukup tinggi
(Bukit Rangkak dan Bukit Nanas) dengan ketinggian antara 700-750 m di
atas permukaan air laut. Di antara dua bukit ini terdapat sungai Batang
Sinipan. Kondisi topografi ini dapat dilihat pada Gambar 4.2.

Gambar 4.2 Kondisi Topografi daerah Kelok 9, Sumbar (Sumber:


Dinas Bina Marga, Prov. Sumatera Barat)

15
4.2.3 Keadaan Hidrologi
Berdasarkan rekaman intensitas hujan dan stasiun klimatologi Tanjung Pati
yang terletak 15 km dari Kelok 9, intensitas hujan maksimum harian dari
tahun 1980 sampai dengan tahun 2000 memperlihatkan angka 50 sampai
dengan 149 mm.
4.2.4 Keadaan Geologi
Berdasarkan kondisi fisiografi, Kelok 9 terletak pada Bukit Barisan Timur
(Merugi Terrane).
Stratigrafi regional Kelok 9 terdiri dari:
(a) Aluvial sungai (Qal); lempung, pasir, gravel dan batu bulat, batuan
igneous dan kuarsit.
(b) Tufa Pumice {Qpt); gravel dan lapili.
(c) Andesit sampai dengan Basalt (Ta); hasil aliran lava, breksi, dll.
(d) Formasi Ombilin (Tmol); batu pasir kuarsa micaceous yang
bermetamorfosa menjadi kuarsit.
{e) Formasi Brabi {Tab); konglomerat dengan interkolasi batupasir.
{f) Pilit dari formasi Kuantan.
(g) Gamping dari formasi Kuantan.
Sedangkan keadaan stratigrafi lokal Kelok 9 adalah
(a) Deposit sungai yang ditemui sepanjang sungai terdiri dari pasir, gravel
dengan batu bulat berdiameter kurang Jebih 3 m. Deposit ini lepas
dengan material konglomerat dan batupasir. Ketebalannya berkisar
kurang lebih 2 meter.
(b) Deposit Talus yang terdiri dari lanau kepasiran, pasir kerikilan, kerikil
dan batu bulat masif.
(c) Konglomerat yang meliputi hampir 60% area Kelok 9. Konglomerat
terdiri dari batu pasir dengan nilai kuat tekan bebas (qc} sebesar 131,7
kg/cm2 .
{d) Kuarsit berupa tufa dengan nilai kuat tekan bebas {qc) sebesar 450,0
kg/cm 2
(e) Slate
Struktur geologi regional yang melalui Kelok 9 adalah patahan normal yang
dinamakan patahan Kelok 9. Sedangkan lokal geologi struktur dipengaruhi
oleh patahan Semangko tingkat 2 dengan arah strike dari Utara ke Selatan.
Kondisi geologi dimana terowongan akan melintas dapat dilihat pada
Gambar4.3.

16
Gambar 4.3 Kondisi Geologi Memanjang

4.2.5 Tipe Tanah dan Batuan di Lokasi Calon Terowongan


Jenis tanah dan batuan yang terdapat pada daerah calon lokasi
terowongan adalah:
(a) Lapis penutup yang terdiri dari lanau kepasiran berwarna coklat
kemerahan, dengan plastisitas rendah dan mengandung sisa
tumbuhan. Ketebalannya berkisar 0, 1 m.
{b) Konglomerat dengan kondisi terfapuk sampai dengan segar.
Konglomerat terlapuk sempuma terdiri dari pasir lunak mengandung
kuarsit, tufa, fragmen slate. Nilai kecepatan seismiknya berkisar antara
340 m/det sampai dengan 500 mldet.
(c) Kuarsit terlapuk ringan sampai dengan segar sedangkan tufa
berkondisi lapukan tinggi sampai dengan sedang, rapuh, dan umumnya
berfragmen.
Kualitas massa batuan di sepanjang lokasi eaton terowongan adalah RMR 57. =
Berdasarkan metode klasifikasi massa batuan yang dikembangkan oleh
Biawniski (1989), Rxk Mass Rating (RMR), maka batuan tersebut adalah
sedang dan dimasukkan dalam kelas Ill. Sedangkan bila dihitung kualitasnya
terhadap kemiringan lereng (Slope Mass Rating, SMR) maka kondisinya adalah
30 (rendah) - 54,4 (sedang). Nilai ini menunjukkan kondisi lereng yang tidak
stabil, sehingga pemotongan tebing membutuhkan perhatian ekstra dan
pemeliharaan yang ekstra pula. Sedangkan nilai ini untuk peruntukan
terowongan adalah untuk keperluan perencanaan dan desain portal (mulut
terowongan).
Berdasarkan nitai RMR = 57, terowongan dapat digali dengan metode bor
manual dengan kombinasi peledakan. Penyangga bukaan terowongan adalah
kombinasi baut batuan (rock bolt) panjang 3,5 m yang dipasang dalam jarak
antarnya 1, 5 m, beton semprot setebal 50 - 100 mm di bagian atap dan 30 mm
di dinding, serta penggunaan tulangan pada bagian atap tersebut. Nilai RMR
tersebut juga menunjukkan bentang 2, 7 m untuk bukaan yang dapat menyangga
sendiri, serta bentang maksimumnya adalah 13 m.
Penampang melintang terowongan adalah seperti yang diilustrasikan pada
Gambar 4.4 di bawah. Pemakaian lantai dasar nantinya akan ditentukan dari

17
ada atau tidaknya potensial pengangkatan tanah (heaving).

Gambar 4.4 Contoh Penampang Melintang Terowongan Kelok 9

4.3 Kegiatan Pembuatan Bank Data Terowongan Indonesia


Untuk kebutuhan pembuatan bank data pelaksanaan terowongan di
Indonesia telah dilakukan pengumpulan referensi sebagai berikut:
(a) Panti Rao Irrigation, Ministry of Public Works, 1984.
(b) Singkarak Hydro-electric Power Project, PT Perusahaan listrik Negara
(Persero), 2000.
(c) Musi Hydro-electric Power Project
(d) \Nay Besai Hydro-electric Power Project
(e) Bendungan Bili-bili di Sulawesi Selatan
(f) Bendungan Pelaparado, Nusa Tenggara Barat
(g) Bendung Sangiran, Jawa Tengah

4.4 Terowongan yang Melintasi Selat Sunda


Ide membuat penghubung tetap Selat Sunda dengan konstruksi
terowongan dikenalkan pada publik dalam tulisan yang dimuat dalam
Presiding Konferensi Terowongan Dunia (World Tunneling Congress) di

18
Singapura tanggal 22 - 27 Mei 2004 dengan judul • The Introduction of
Recent Proposed Tunnel Work in Indonesia" (lihat lampiran)

4.5 Terowongan di Subruas Jalan Piyungan - Gading

4.5.1 Latar Belakang

Pada ruas jalan nasional Yogyakarta - Wonosari, terutama subruas


Piyungan - Gading masih terdapat beberapa tempat yang belum
memenuhi persyaratan alinyemen vertikal dan horisontal. Kondisi tikungan
dan tanjakan tajam pada jalan tersebut semakin dirasakan menjadi
penghambat dalam memperlancar arus barang dan orang, ditambah
semakin bertambahnya volume lalu lintas. Tingkat kenyamanan dan
keamanan pada jalan tersebut belum optimal.
Ruas jalan tersebut, khususnya di antara Km 14+00 sampai dengan Km
20+00 dengan dua tikungan; Bokong Semar dan Ngembes belum
memenuhi ketentuan standar alinyemen, karena itu mendapat prioritas
untuk diperbaiki dengan membangun terowongan dengan kemungkinan
kombinasi pembangunan jalan baru dan atau jembatan baru. Terowongan
yang akan direncanakan tersebut akan merupakan suatu pilihan yang
optimal dalam segi teknis, keamanan, kenyamanan, dan ekonomi.
Dengan mempertimbangkan kondisi subruas ja!an selain antara Sta 14+00
- 20+00 yang telah memenuhi standar maupun yang akan diperbaiki
dengan jenis infrastruktur lain selain terowongan, maka akan dicari suatu
altematif trase terowongan bersama jenis prasarana jalan lainnya
sehingga harmonis dengan infrastruktur lainnya tersebut, ramah terhadap
lingkungan alam, dan permukiman di sekitamya.
Berdasarkan peta geologi lembar Yogyakarta, skala 1:250.000, trase
terowongan terpilih umumnya akan menembus perbukitan struktural
dengan perkiraan teballapis tanah penutup antara 60 m sampai dengan 75
m. Topografi berbukit-bukit ini terbentuk dari lapisan batu pasir dan batu
lanau bersifat tufaan serta batu lempung vulkanik yang terkadang disisipi
breksi. Kompleksitas daerah ini ditandai juga dengan adanya lapukan
batuan beku andesit berupa lempung dan lanau. Pada kaki perbukitan
terdapat sungai berdebit besar yang mengalir sepanjang tahun.
4.5.2 Pemilihan Trase Terowongan
Untuk mendapatkan beberapa altematif trase terowongan dilakukan
tahapan yang termasuk dalam Kajian Pra-Kelayakan (Pre-FS).
Survei yang dilakukan pada tahapan untuk mendapatkan trase terowongan
ini difokuskan pada pengumpulan, kajian data sekunder yang bersifat
teknis dan non teknis, serta melakukan survei berjalan keliling lokasi dan
pemetaan permukaan.
Data yang akan diperoleh atau yang akan digunakan adalah data sekunder
dengan seminimum mungkin melakukan pekerjaan lapangan.

19
Analisis yang dilakukan pada tahap ini adalah suatu pendekatan secara
asumsi dari data sekunder.
Tolok ukur dalam dasar pemikiran untuk pembuatan trase jalan
berdasarkan pertimbangan secara teknis maupun berdasarkan kajian
nonteknis, namun dalam hal ini pembahasan hanya dibatasi oleh kajian
teknis yaitu berupa desk study yang dilakukan dengan menggunakan
data sekunder yang dimiliki yaitu :
a) Peta Geologi Regional Daerah Yogyakarta skala 1 : 100.000 yang
diterbitkan oleh P3Geologi - Direktorat Geologi dan Sumber Daya
Mineral - Bandung.
b) Peta Rupa Bumi skala 1 : 25.000, Bakosurtanal -Jakarta.
c) Kajian Teknis Daerah 0.1. Yogyakarta- P3JJ Yogyakarta.
d) Kajian Geologi lokal- Teknik Geologi- UGM Yogyakarta.
Enam altematif trase jalan diperoleh berdasarkan pertimbangan
faktor-faktor antara lain:
a) kondisi geologi,
b) kondisi geografis,
c) kepemilikan lahan dalam implementasinya untuk terowongan jalan
d) pemanfaatan jalan eksisting
e) panjang terowongan
f) geometri terowongan jalan
4.5.3 Kondisi Geologi Piyungan dan Sekitamya
Daerah Piyungan dan sekitamya secara administrasi termasuk pada
administrasi Kecamatan Piyungan - Kabupaten Bantul, Daerah lstimewa
Yogyakarta. Sedangkan secara pembagian geografis daerah ini terfetak
pada 110° 29' 0" BT hingga 110° 29' 30" BT dan 7o 50' o· LS hingga 7° 51'
20"LS.
Pembahasan kondisi geologi daerah Piyungan terdiri dari 3 (tiga) bagian
besar yaitu :
a) Morfologi Piyungan
b) Stratigrafi Piyungan
c) Struktur Geologi Piyungan
a) Morfologi Piyungan
Secara regional morfologi daerah Piyungan termasuk perbukitan
bagian dari rangkaian Pegunungan Selatan, merupakan paparan
pegunungan mulai arah Tenggara hingga arah Timur Daerah lstimewa
Yogyakarta, sepanjang pantai selatan hingga daerah Jawa Timur.
Morfologinya secara lokal terbagi dalam 3 (tiga) bagian. Dasar
pembagian satuan morfologi berdasarkan pembagian klasifikasi Van
Zuidam (1978). Penggunaan klasifikasi ini dengan melihat pembagian
bentang alamnya adalah untuk memudahkan dalam interpretasi di
lapangan serta dapat diaplikasikan terhadap persentase sudut

20
bentang alamnya adalah untuk memudahkan dalam interpretasi di
lapangan serta dapat diaplikasikan terfladap persentase sudut
kemiringan. Sedangkan untuk penamaan disesuaikan dengan proses
pembentukan bentang alam tersebut.
Klasifikasi dibagi dalam 3 (tiga) bagian yaitu ;
1. Satuan Dataran AI uvial
2. Satuan Perbukitan sedang - terjal
3. Satuan perbukitan dataran tinggi
Pengklasifikasian tersebut hanya bersifat lokal sehingga belum tepat
untuk digunakan ditempat lain. Untuk memudahkan interpretasi di
lapangan, pembagian klasifikasi serta penamaan sebarannya didasari
pada daerah yang dominan di kondisi asli lapangan yaitu :
1. Satuan Dataran aluvial
Satuan Dataran Aluvial merupakan dataran rendah yang menyebar
di sekitar kecamatan Piyungan hingga daerah arah menuju ·sokong
Semar", Satuan Data ran AI uvial merupakan daerah relatif datar
dengan kemiringan umumnya berkisar 0 - 2 %, batuan penyusun
terdiri dari tanah penutup yang merupakan tanah horizon A, yaitu
lempung, lanau yang bersifat lepas.
Tata guna lahan Satuan Dataran Aluvial pada umumnya merupakan
daerah pemukiman, ladang maupun perkebunan masyarakat.
Sungai Satuan Dataran AJuvial umumnya merupakan aliran sungai
stadia dewasa, dimana pengaruh erosional dasar sungai sudah
tidak bertangsung cepat.
Kondisi Satuan Dataran Aluvial secara keseluruhan tidak
mempunyai masalah terhadap kemiringan elevasi jalan sehingga
kondisi jalan baik secara memanjang maupun melintang jalan.
Permasalahan yang mungkin terjadi adalah sistem pengaliran
saluran samping dapat berjalan tidak baik bila perawatan yang
kurang memadai, hal tersebut dikaitkan terhadap kemiringan
pengaliran drainase kurang diperhatikan mengingat perbedaan
elevasi dasar saluran tidak secara alami relatif datar.
2. Satuan Perbukitan Sedang - Terjal
Daerah Perbukitan Sedang- Terjal menempati area antara daerah
"Bokong Semar" hingga daerah Patuk kearah Barat. Satuan
Perbukitan Sedang - Terjal merupakan daerah yang memiliki
kemiringan sedang hingga terjal dengan persentase kemiringan
umumnya berkisar 35 - 40 %. Batua.1 penyusunnya terdiri dari
tanah penutup yang merupakan tanah horizon A, yaitu lempung,
lanau yang bersifat lepas, batuan induk berupa batupasir tufaan,
batulanau, batupasir, tuff, dan batu~sir kerikilan.
Tata guna lahan Satuan Perbukitan Sedang - Terjal sebagian kecil
merupakan daerah pemukiman dan sebagian besar adalah ladang

21
maupun perkebunan masyarakat.
Sungai Satuan Perbukitan Sedang - Terjal umumnya merupakan
aliran sungai stadia muda, dimana pengaruh erosional dasar sungai
masih berlanjut ditandai dengan lembah sungai sempit yang
diakibatkan adanya kemiringan permukaan cukup tinggi sehingga
gradien hidrolik air menjadi sangat tinggi.
Kondisi Satuan Perbukitan Sedang - Terjal secara keseluruhan
mempunyai permasalahan beda tinggi yang sangat rapat terhadap
interval kontumya yang mengakibatkan permasalahan kemiringan
elevasi jalan baik secara memanjang maupun melintang jalan. Di
samping permasalahan elevasi jalan tersebut, yang mungkin juga
terjadi adalah sistem pengaliran saluran samping dapat
mengakibatkan gerusan dasar saluran sehingga mengakibatkan
gangguan kestabilan lereng termasuk lereng badan jalan.
Perawatan yang kurang memadai dan tidak ter1alu baik konstruksi
saluran samping dapat mengakibatkan kerusakan konstruksi
bangunan pengaliran saluran samping, hal tersebut dikaitkan
terhadap kemiringan pengaliran saluran air drainase cukup tinggi
mengingat perbedaan elevasi dasar saluran secara alami relatif
memiliki persentase kamiringan yang besar.
3. Satuan Dataran tinggi
Satuan Dataran Tinggi yaitu merupakan dataran pada daerah yang
relatif tinggi dibandingkan satuan dataran rendah. Secara relief alam
atau bentang alam satuan tersebut merupakan satuan perbukitan
bergelombang sedang dan memiliki sudut lereng berkisar 1oo - 15°.
Perbedaan juga ter1etak pada tingkat stadia sungai dimana
umumnya pola aliran sungai pada satuan tersebut memiliki tingkat
erosional sedang - rendah. Satuan Dataran Tlnggi menyebar di
sekitar Patuk ke arah tenggara hingga keluar dari daerah kajian
kecamatan Piyungan hingga ke daerah arah ·aokong Semar".
Satuan Dataran Aluvial merupakan daerah relatif datar dengan
kemiringan umumnya berkisar 0 - 2 o/o, batuan penyusun terdiri dari
tanah penutup yang merupakan tanah horizon A, yaitu lempung dan
lanau yang bersifat lepas.
Tata guna lahan Satuan Dataran Tinggi pada umumnya merupakan
daerah pemukiman, persawahan, ladang rnaupun perkebunan
masyarakat.
Sungai Satuan Dataran Tlnggi umumnya merupakan aliran sungai
stadia muda - dewasa, dimana pengaruh erosional dasar sungai
masih ber1angsung cepat.
Kondisi Satuan Dataran Tinggi secara keselun•"lan tidak
mempunyai masalah terhadap kemiringan elevasi jalan sehingga
kondisi jalan baik secara memanjang maupun melintang jalan
adalah tidak berpotensi bermasalah begitu pula sistem pengaliran

22
saluran sampingnya. Hal tersebut ditunjang terhadap kemiringan
pengaliran drainase mengingat perbedaan elevasi dasar saluran
secara alami mempunyai persentase kemiringan yang baik.
b) Stratigrafi Piyungan
Stratigrafi Piyungan secara regional merupakan bagian dari Perbukitan
Jalur Selatan.
Secara spesifik batuan yang tersingkap pada daerah Piyungan adalah
satuan batuan bagian dari Formasi - Formasi dari muda- tua, sebagai
berikut:
1. Satuan Endapan Kuarter
2. Formasi Nglanggran
3. Formasi Semilir
1. Satuan Endapan Kuarter
Satuan batuan yang terdiri dari pasir-lempung, dominan terdiri dari
material lepas, berukuran pasir - lempung . Satuan ini menempati
dataran dan badan sungai terutama pada sungai-sungai stadia
dewasa, sesuai dengan pada daerah tempat pengendapannya pada
daerah dataran aluvial dan satuan ini terendapkan pada bagian
yang tidak selaras dengan Formasi dibagian bawahnya.
Umur satuan ini berumur kuarter- resen
2. Formasi Nglanggran
Formasi ini tersusun oleh breksi gunung api, aglomerat, tuff dan lava
andesitan. Pada umumnya breksi gunung api dan aglomerat tidak
bertapis.
Umur Formasi Nglanggran adalah Miosen Awol- Miosen Tengah.
3. Formasi Semilir
Formasi ini tersusun oleh batupasir tufaan, tuff, breksi, batuapung
dasitan dan serpih. Pada umumnya menunjukkan perlapisan yang
struktur lapisannya menunjukkan per1apisan oleh aktivitas turbidit
akibat dari proses lengseran di daerah neritik.
Umur Formasi Semilir adalah Miosen Awal - Miosen Tengah.
Secara umur, pembentukan batuan dari Formasi Nglanggran dan
Formasi Semilir terjadi pada umur tersier yang sama yaitu Miosen
Tengah - Miosen Awal.
Berdasarkan Penelitian yar.g dilakukan oleh Peneliti terdahulu (Surono
dkk, 1992) bahwa kedua Formasi mempunyai sifat menjari, sedangkan
yang membedakannya adalah proses genesa pembentukan kedua
formasi tersebut di'lana proses pembentukan Formasi Semilir
merupakan proses pembentukan pada kondisi tenang dan hanya
dipengaruhi oleh lengseran tepi neritik yang terlihat dengan pola
struktur perlapisan batuan berorientasi turbidit (Walker, 1992).

23
Sedangkan Formasi Nglanggran terbentuk akibat adanya aktivitas
gunung api dan transportasi maupun orogenesa dari sistem
pegunungan di daerah kajian.
Jenis batuan dan karateristik batuan pada daerah kajian dilakukan
dengan klasifikasi tersendiri berdasarkan batuan yang tersingkap di
lokasi kajian.
Pembagian satuan batuan berdasarkan penamaan setempat yang
diambil dari satuan batuan yang mendominsasi kenampakan di daerah
kajian, yaitu :
1. Satuan batuan batupasir
2. Satuan batuan breksi
3. Satuan endapan pasir- lempung
Urutan satuan batuan ini berdasarkan urutan endapan yang
diperkirakan relatif lebih tua dan susunan perlapisan yang tersingkap di
lapangan. Deskripsi detailnya adalah sebagai berikut :
1. Satuan Batuan Batupasir
Satuan Batupasir terdiri dari perulangan batupasir kasar - halus,
batupasir sedang - halus dan struktur berlapis. Struktur lapisan
pasir berupa laminasi konvolut. Struktur ini mencirikan bahwa
satuan tersebut terendapkan berdasarkan proses turbidit.
Satuan ini berdasarkan peneliti terdahulu dapat di selaraskan
dengan satuan batuan pada Formasi Semilir yang dicirikan
berdasarkan litologinya berupa batupasir tufaan dan batupasir
kerikilan (Surono, 1992 ).
Satuan ini tersingkap di daerah Piyungan, "Bokong Semar" hingga
di daerah arah Ngembes yang bersifat setempat-setempar.
Satuan ini terlihal pada singkapan sepanjang sisi jalan Piyungan -
"Bokong Semar" - Ngembes dan relatif telah lapuk rendah hingga
tinggi, hal tersebut menunjukkan bahwa satuan batupasir tersebut
banyak mengandung mineral yang dapat mudah lapuk.
Batuan tersebut juga dipengaruhi oleh percepatan pelapukan,
proses pembentukan, dan juga oleh proses tektonik yang terjadi.
Proses pembentukan diketahui bahwa satuan ini terbentuk pada
proses turbidit dimana pada proses tersebut terjadi secara cepat
bergradasi lambat. Akibat proses turbidit yang diikuti dengan proses
lengsesan, maka kadang-kadang mengakibatkan terjadinya
rekahan-rekahan pada lapisan yang relatif telah terkonsolidasi.
Rekahan-rekahan terutama pada lapisan batupasir yang memiliki
gradasi sedang - kasar terkadang terisi mineral sekunder sebagai
mineral pengotor pada satuan ini ~ehinga menyebabkan mudah
terjadi pelapukan.
Sedangkan proses tektonik juga memberikan proses percepatan

24
dari proses pelapukan yaitu dengan terbentuknya kekar-kekar pada
satuan ini, yang disebabkan oleh adanya struktur patahan maupun
perfipatan. Struktur yang cukup berkembang adalah struktur
patahan normal dan patahan geser.
Proses patahan memberikan kontribusi yang sangat kuat terhadap
proses pelapukan maupun penurunan kualitas kekuatan batuan.
Dapat tertihat bahwa sebagian besar pada daerah zonasi patahan
terjadi zona hancuran batuan dari satuan ini.
Siklus hidrologi di daerah setempat bertangsung secara alami dan
pertahan hingga saat ini, mengakibatkan satuan tersebut terutama
pada daerah yang tersingkap menjadi lapuk.
Pelapukan batuan menjadikan permasalahan tersendiri dalam
pembahasan di satuan batuan batupasir. Permasalahan yang
sering terjadi adalah perubahan mineralisasi tufa menjadi mineral
lempung. Hal tersebut terjadi akibat proses yang telah disebutkan di
atas juga ditunjang oleh aktivitas terhadap perlakuan permukaan
tanah oleh kegiatan masyarakat setempat.
Bila terjadi, maka berpotensi menurunkan tingkat kestabilan lereng,
baik kestabilan lereng alami maupun lereng akibat rekayasa
geoteknik. Satuan ini sebagian besar menempati pada daerah
satuan morfologi Perbukitan Sedang - Terjal pada pembahasan
morfologi daerah kajian.
Proses erosional akibat aliran mengakibatkan satuan ini mudah
tergerus terutama pada tingkatan pelapukan sedang. Cirinya terlihat
di lapangan adalah pada aliran anak sungai di daerah sekitar
"Bokong Semar". Di samping terjadi erosional yang cukup kuat
satuan lapisan batupasir dapat menjadi suatu lapisar akifer
terutama pada satuan batupasir yang didominasi oleh pasir sedang
- kasar. Walaupun daerah tangkapan air hujan bersifat setempat,
tetapi tetap dapat memberikan gangguan kestabilan lereng.
Berdasarkan kesejajaran dengan geologi regional yaitu Formasi
Semilir, satuan ini memiliki lapisan serpih, sehingga bila lapisan
serpih menjadi satu lapisan kedap sementara di bagian atasnya
merupakan lapisan batupasir maka dapat menimbulkan
permasalahan geoteknik di daerah tersebut terutama bila rekayasa
geoteknik dikerjakan tanpa dilakukan suatu perkuatan-perkuatan
untuk mengantisipasi hal tersebut.
2. Satuan Breksi
Satuan Breksi terdiri dari fragmen andesitan yang merupakan
aliran debris, dan gradasinya tidak memiliki keteraturan secara pasti.
Sebagian mencirikan perubahan gradasi semakin ke atas semakin
halus. sebagian tempat terdapat fragmen andesti ukuran aglomerat
tertanam pada masa dasar pasir sebagai matriknya, satuan ini
memiliki sisipan lava andesit walaupun setempat-setempat.

25
Satuan ini berdasarkan peneliti terdahulu dapat di selaraskan
dengan satuan batuan pada Formasi Nglanggran yang dicirikan
oleh litologi berupa breksi andesitan dan secara pembentukannya
selaras dengan Satuan Batupasir (Surono, 1992 ).
Satuan ini tersingkap di daerah ,sebagian di ·aokong Semar",
Ngembes hingga daerah Patuk.
Satuan ini terlihat pada singkapan sepanjang sisi jalan "Bokong
Semar" - Ngembes - Patuk dan relatif telah lapuk rendah hingga
sedang. Hal tersebut menunjukkan bahwa Satuan Breksi tersebut
banyak mengandung mineral relatif tidak mudah lapuk.
Sedangkan percepatan pelapukan dipengaruhi oleh proses
pembentukan dan proses tektonik yang terjadi. Dari proses
pembentukan diketahui bahwa satuan ini terbentuk aktivitas gunung
api dimana secara siklus letusan tidak semua produk letusan
memiliki keseragaman material. Akibat proses letusan yang tidak
selalu diikuti keseragaman material, maka terjadi proses endapan
material debu yang kemudian disebut tuf sebagai sisipan pada
satuan ini sehingga menyebabkan mudah terjadi pelapukan.
Sedangkan proses tektonik juga memberikan proses percepatan
terhadap pelapukan yaitu dengan terbentuknya kekar-kekar pad a
satuan ini akibat adanya struktur patahan maupun perlipatan.
Struktur cukup berkembang adalah struktur patahan normal dan
patahan geser.
Proses patahan memberikan kontribusi yang sangat kuat terhadap
terjadinya proses pelapukan maupun penurunan kualitas kekuatan
batuan serta sebagian besar pada daerah zonasi patahan terjadi
zona hancuran batuan dari satuan ini.
Siklus hidrologi di daerah setempat berlangsung secara alami dan
perlahan hingga saat, sehingga menjadikan satuan tersebut
terutama pada daerah yang tersingkap menjadi lapuk.
Pelapukan batuan di satuan batuan Breksi yang sering terjadi
adalah perubahan mineralisasi tuf sebagai sisipan pada satuan
Breksi berubah menjadi mineral lempung. Hal tersebut terjadi akibat
proses yang telah disebutkan diatas juga ditunjang oleh aktivitas
terhadap perlakuan permukaan tanah oleh kegiatan masyarakat
setempat.
Walaupun ini terjadi, tetapi tidak akan menurunkan tingkat
kestabilan lereng baik kestabilan lereng alami maupun lereng akibat
rekayasa geoteknik, karena satuan Breksi hanya hanya sebagian
kecil menempati pada daerah satuan morfologi Perbukitan Sedang
- Terjal pada pembahasan morfologi daerah kajian.
Proses erosional akibat aliran mengakibatkan satuan ini tidak
mudah tergerus walaupun pada tingkatan pelapukan sedang seperti

26
yang terlihat di lapangan adalah pada aliran anak sungai di daerah
sekitar Ngembes dan Patuk.
3. Satuan Pasir- Lempung
Satuan batuan yang terdiri dari pasir-lempung, dominan merupakan
material lepas, berukuran pasir - lempung. Satuan ini menempati
dataran dan badan sungai terutama pada sungai-sungai stadia
dewasa. Sesuai dengan pada daerah tempat pengendapannya
pada daerah dataran aluvial. satuan ini terendapkan pada bagian
yang tidak selaras dengan Formasi di bagian bawahnya.
c) Struktur Geologi Piyungan
Secara umum pola struktur Pegunungan Selatan dipengaruhi oleh pola
struktur regional di Pulau Jawa, yang secara umum dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Jalur Subduksi Zaman Kapur - Paleogen yang memotong Jawa
Barat, Jawa Tengah menuju ke timur sampai Kalimantan bagian
Tenggara.
2. Jalur Magma Zaman Kapur di bagian Utara Pulau Jawa.
3. Jalur Magma Zaman Tersier yang menempati pegunungan bawah
laut di Selatan Pulau Jawa.
4. Palung Laut yang terletak di Selatan Pulau Jawa merupakan batas
dimana lempeng atau kerak samudra menyusup dibawah Pulau
Jawa.
Sedangkan pola struktur yang terdapat pada daerah kajian, mempunyai
3 pola struktur yang terbentuk dari satu sistem yaitu sistem struktur
patahan.
Adapun pola struktur adalah sebagai berikut :
1. Pola struktur kekar
2. Pola struktur patahan normal
3. Pola struktur patahan mendatar
Pola struktur terbentuk akibat adanya proses orogenesa pada daerah
Piyungan dan sekitamya terkait dengan proses orogenesa secara
regional di Pulau Jawa.
Dalam pek~an rekayasa geoteknik permasalahan struktur kadang
menjadi kendala dalam menentukan bangun konstruksi yang tepat bila
di daerah tersebut dilakukan ~rlakun teknis dalam melakukan
pembangunan infrastruktur.
Namun sejalan kemajuan rekayasa teknis permasalahan tersebut tidak
terlalu menjadi kendala, ~aren secara teknis dapat dilakukan
pemasangan perkuatan-perkuatan sesuai pola struktur geologi yang
terbentuk di daerah tersebut.

27
Untuk mengetahui secara rinci mengenai kondisi struktur geologi yang
bekerja pada daerah Piyungan perlu dilakukan kajian lebih dalam,
sehingga arah dan pola struktur yang terbentuk baik struktur kekar,
patahan normal dan patahan mendatar dapat diketahui secara pasti.
Pola struktur secara langsung mempengaruhi tingkat pelapukan batuan
penyusun seperti yang telah dijelaskan pada bagian stratigrafi daerah
Piyungan. Dengan mengetahui pola-pola struktur yang terbentuk akan
diketahui pula perkiraan zonasi hancuran akibat bekerjanya pola
struktur patahan di daerah Piyungan.
Zonasi hancuran secara alami terbentuk menerus hingga lapisan jauh
di bawah permukaan sehingga tingkat pelapukan pada daerah tersebut
relatif lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi yang jauh dari daerah
zonasi hancuran akibat struktur patahan.
Sedangkan kekar-kekar terbentuk sejalan pola struktur, sehingga
menjadikan tingkat pelapukannya relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan yang terdapat di luar pola kekar tersebut.
Kemiringan lapisan akibat proses orogenesa perlu menjadi perhatian
secara seksama, karena kemiringan lapisan mempunyai kontribusi
terhadap permasalahan kestabilan lereng bila dikaitkan dengan
rekayasa geoteknik. Permasalahan mungkin timbul pada
lapisan-lapisan yang mudah lapuk pada satuan - satuan batuan yang
terdapat pada lokasi kajian.

4.6 Beberapa Altematif Trase Terowongan Jalan di Subruas Piyungan -


Gading
4.6.1 Alternatif Trase Terowongan jalan 1
a) Panjang perbaikan jalan 2 + 450 Km (memanfaatkan jalan eksisting
dengan melakukan penimbunan bervariasi 2 meter hingga 20 meter
dan galian 5 hingga 20 meter sebelum masuk dalam terowongan,
sedangkan pada outlet terowongan melakukan galian double cutting
sedalam 35 meter menurun hingga ujung total jalan perbaikan)
b) Panjang terowongan 800 meter
c) Kondisi geologi berupa breksi serta tufaan
d) Kondisi geografis terowongan yang direncanakan memiliki ketinggian
265 meter dpl
e) Diluar sistem pola aliran air permukaan maupun bawah permukaan
Dari alternatif 1 ini dapat diinformasikan bahwa:
a) Panjang terowongan hanya 800 meter
b) Kemiringan jalan di dalam terowongan relatif datar sepanjang 700
meter.
c) Kemiringan dalam terowongan 3% naik sepanjang 100 meter

28
_._ __ . "'~ -;.·.10 L-

d) Fungsi jalan eksisting dapat tetap dimanfaatkan


e) Permasalahan stuktur geologi relatif tidak ada
Permasalahan yang mungkin ditemukan pada altematif 1 ini adalah :
a) Timbunan tinggi hingga 20 meter
b) Galian tinggi dan double cutting
c) Perfu proteksi tebing galian
d) Pembebasan lahan penduduk sesudah terowongan
4.6.2 Alternatif Trase Terowongan jalan 2
a) Panjang perbaikan jalan 2 + 600 Km (memanfaatkan jalan eksisting
dengan melakukan penimbunan bervariasi 2 meter hingga 20 meter
dan galian 5 hingga 20 meter sebelum masuk dalam terowongan,
sedangkan pada outlet terowongan dilakukan galian double cutting
sedalam 35 meter menurun hingga ujung total jalan perbaikan)
b) Panjang terowongan 800 meter
c) Kondisi geologi berupa breksi serta tufaan
d) Kondisi geografis terowongan yang direncanakan memiliki ketinggian
265 meter dpl
e) Di luar sistem pola aliran air permukaan maupun bawah permukaan
Dari alternatif 2 ini dapat diinformasikan bahwa:
a) Panjang terowongan hanya 800 meter
b) Kemiringan jalan di dalam terowongar. relatif datar sepanjang 600
meter.
c) Kemiringan dalam terowongan 3 % naik sepanjang 200 meter
d) Fungsi jalan eksisting dapat tetap dimanfaatkan
e) Permasalahan stuktur geologi relatif tidak ada
Permasalahan yang mungkin ditemukan pada aplikasi alternatif 2 ini
adalah:
a) Timbunan tinggi hingga 20 - 25 meter
b) Galian tinggi dan double cutting
c) Pertu proteksi tebing galian
d) Pembebasan lahan penduduk sesudah terowongan
4.6.3 Alternatif Trase Terowongan jalan 3
a) Panjang perbaikan jalan 2 + 550 Km (memanfaatkan jalan eksisting
dengan melakukan penimbunan bervariasi 2 meter hingga 20 meter
dan galian 5 hingga 35 meter sebelum masuk dalam terowongan,
sedangkan pada outlet terowongan dilakukan galian double cutting
sedalam 30 meter menurun hingga ujung total jalan perbaikan)
b) Panjang terowongan 800 meter
c) Kondisi geologi berupa breksi serta tufaan
d) Kondisi geografis terowongan yang direncanakan memiliki ketinggian
265 meter dpl
e) Di luar sistem pola aliran air permukaan maupun bawah permukaan

29
Dari alternatif 3 ini dapat diinformasikan:
a) Panjang terowongan hanya 800 meter
b) Kemiringan dalam terowongan 3% naik sepanjang 800 meter
c) Kemiringan jalan total 5 %
d) Fungsi jalan eksisting dapat tetap dimanfaatkan
e) Pennasalahan stuktur geologi relatiftidak ada
Pennasalahan yang mungkin ditemukan pada aplikasi altematif 3 ini
adalah:
a) Timbunan tinggi hingga 20 - 25 meter
b) Galian tinggi hingga 35 meter dan double cutting
c) Perlu proteksi tebing galian
d) Pembebasan lahan penduduk sesudah terowongan
4.6.4Aiternatif Trase Terowongan jalan 4
a) Panjang perbaikan jalan 2 + 550 Km (memanfaatkan jalan eksisting
dengan melakukan penimbunan bervariasi 2 meter hingga 15 meter
dan galian 5 hingga 30 meter sebelum masuk dalam terowongan,
sedangkan pada outlet terowongan dilakukan galian double cutting
sedalam 35 meter menu run hingga ujung total jalan perbaikan)
b) Panjang terowongan 800 meter
c) Kondisi geologi berupa breksi serta tufaan
d) Kondisi geografis terowongan yang direncanakan memiliki ketinggian
265 meter dpl
e) Di luar sistem pola aliran air permukaan maupun bawah pennukaan
Dari alternatif 4 ini dapat diinformasikan:
a) Panjang terowongan hanya 800 meter
b) Kemiringan dalam terowongan 3% naik sepanjang 800 meter
c) Kemiringan jalan totalS%
d) Fungsi jalan eksisting dapat tetap dimanfaatkan
e) Permasalahan stuktur geologi relatif tidak ada
Permasalahan yang mungkin ditemukan pada penggunaan altematif 4 ini
adalah:
a) Timbunan tinggi hingga 10 - 15 meter
b) Galian tinggi hingga 35 meter dan double cutting sebelum dan sesudah
terowongan
c) Perlu proteksi tebing galian
d) Pembebasan lahan penduduk
4.6.5 Alternatif Trase Terowongan jalan 5
a) Panjang perbaikan jalan 2 + 900 Km (memanfaatkan jalan eksisting
dengan melakukan penimbunan bervariasi 2 meter hingga 15 meter
dan galian 5 hingga 30 meter sebelum masuk dalam terowongan,
sedangkan pada outlet terowongan dilakukan galian double cutting
sedalam 35 meter menurun hingga ujung total jalan perbaikan)

30
sedangkan pada outlet terowongan dilakukan galian double cutting
sedalam 35 meter menurun hingga ujung total jalan perbaikan)
b) Panjang terowongan 950 meter
c) Kondisi geologi berupa breksi serta tufaan
d) Kondisi geografis terowongan yang direncanakan memiliki ketinggian
265 meter dpl
e) Sebagian melalui sistem pola aliran air pennukaan maupun bawah
pennukaan
Dari alternatif 5 ini dapat diinformasikan bahwa:
a) Panjang terowongan hanya 950 meter
b) Kemiringan dalam terowongan 3 % naik sepanjang 950 meter
c) Kemiringan jalan total7% dan sepanjang 200 meter> 20 %, sebelum
masuk ke dalam terowongan
d) Fungsi jalan eksisting dapat tetap dimanfaatkan
e) Pennasalahan stuktur geologi melalui daerah patahan
Pennasalahan yang mungkin ditemukan pada aplikasi altematif 5 ini
adalah:
a) Timbunan tinggi hingga 10 - 15 meter
b) Sepanjang 200 meter kemiringan jalan mencapai > 20 %, sebelum
masuk ke dalam terowongan
c) Galian tinggi hingga 15 meter dan merupakan double cutting sebelum
dan sesudah terowongan
d) Perlu proteksi tebing galian
4.6.6Aitematif Trase Terowongan jalan 6
a) Panjang perbaikan jalan 2 + 900 Km (memanfaatkan jalan eksisting
dengan melakukan penimbunan bervariasi 2 meter hingga 7 meter dan
galian 2 hingga 10 meter sebelum masuk ke (lalam terowongan,
sedangkan pada outlet terowongan dilakukan galian double cutting
sedalam 10 meter menurun hingga ujung total jalan perbaikan)
b) Panjang terowongan 950 meter dan 350 meter
c) Kondisi geologi berupa breksi serta tufaan
d) Kondisi geografis terowongan yang direncanakan memiliki ketinggian
265 meter dpl
e) Sebagian melalui sistem pola aliran air permukaan maupun bawah
permukaan
Dari alternatif 6 ini dapat diinformasikan:
a) Panjang terowongan 950 meter dan 350 meter
b) Kemiringan dalam terowonga'l 3% naik sepanjang 950 meter dan 350
meter
c) Kemiringan jalan total 7 %
d) Fungsi jalan eksisting d?:->at tetap dimanfaatkan
e) Permasalahan stuktur geologi melalui daerah patahan
Permasalahan yang mungkin ditemukan pada aplikasi altematif 6 ini

31
b) Galian tinggi hingga 10 meter dan double cutting sebelum dan sesudah
terowongan
c) Terdapat 2 terowongan
d) Terdapat jembatan sepanjang 200 meter
e) Pembebasan lahan penduduk hanya didaerah rencana jembatan
f) Pertu proteksi tebing galian
Matriks pemilihan beberapa altematif trase tersebut dapat dilihat pada
lembar lampiran Tabel L. 1. Sedangkan posisi trase alternatif 1 sampai
dengan 6 dapat dilihat pada lembar lampiran Gambar L. 1 - 6.
Dari gambar pada lampiran L. 1 - 6 dapat dilihat bahwa arah penggalian
terowongan searah dengan dip.

Gambar 4.5 Penggalian searah dengan Dip

Tertihat bahwa panjang terowongan yang dibutuhkan adalah cukup panjang,


lebih dari 500 m. Sistem ventilasi dengan kipas (jet fan) mungkin saja
dibutuhkan untuk mengalirkan udara bersih ke dalam terowongan. Jumlah dan
jarak antara kipas tersebut tergantung dengan jumlah kendaraan yang melintas
terowongan dalam kecepatan tertentu. Sistem ventilasi dapat menjadi lebih
efisien dengan memanfaatkan aliran udara dari luar terowongan yang dibawa
oleh sejumlah kendaraan yang m&3uk ke dalam terowongan.

32
BAB V

KESIMPULAN dan SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari kegiatan penelitian dan pengembangan terowongan jalan ini dapat
diambil beberapa kesimpulan, sebagai berikut:
a) Data sekunder dan data lapangan teknis dan non teknis, seperti
geologi, geoteknik, topografi, tata guna lahan, dll telah cukup
membantu dalam mendesain penampang melintang terowongan Ruas
jalan Kelok 9.
b) Dengan melakukan aplikasi langsung di lapangan seperti contoh
kegiatan pemilihan altematif trase terowongan jalan di subruas
Piyungan - Gading, akan semakin mudah menyusun struktur manual
cara-cara melakukan suatu Pra-FS terowongan jalan.
5.2 Saran
Terhadap beberapa alternatif trase terowongan yang telah ditetapkan perlu
dilakukan analisis terhadap kelayakan dilihat dari sisi geometri, selain
tentunya pertimbangan-pertimbangan non teknis lainnya seperti kondisi
sosial, ekonomi, dan lingkungan permukaan.

33
DAFTAR PUSTAKA

Bieniawski, Z. T., (1989), "Engineering Rock mass Classification", John Wiley &
Sons, Inc., Canada
Dinas Prasarana Jalan Provinsi Sumatera Barat (2002), "Detail Design of Road
and Bridges for Kelok 9 - West Sumatera"
John 0, Bickel, et. al., (1996), "Tunnel Engineering Hand Book", 2nd Edition,
Kluwer Academic
Komisi Terowongan-Himpunan lnsinyur Sipil Jepang, (2002), "Pedoman
Pekerjaan Terowongan Pegunungan, JSCE
P3JJ Yogyakarta, "Kajian Teknis Daerah D. I. Yogyakarta•
UGM Yogyakarta, "Kajian Geologi Lokal - Teknik Geologi"

34
r ~- 7 ALTERNATIF 1

I
! [
-~
f,...-.:..

r (
I I
. !
'

. f
\) PETA GEOLOGILOKAL DAERAH PIYUNGAN

SKALA 1 :25.000

Legenda :
Endapan volkanik
- - - - · - · - · · - KetldakMiaraHn
Satuan breksl (F. Nglanggran • Mlosen Alas)
D Satuan batupasir (F. Semllir - Miosen Bawah)

~ : JALAN EKSISTING

'---
,, : RENCANATEROWONGAN

'-.U'-.
, D --.., ,
....
J"':,'/
,,,
,
'
: PATAHAN YANG 01 PERKIRAKAN

,,
I-
Gam bar L.1 Trase Terowongan 1 r-,..-. ~ r. i\ "~
\}l \ '
~-' •• , 1 .;~_:->!J'Wtld
GRAPHIC SCALE
( '" ~t'JER.S I
'~ LHCO i
6~(1

f;.i_lfJ

~0

r-~
4~1)

4(.1{)
LV•200m LV•200m LV• 20<0rr.
3~0 EL•288.750 EL•288.750 £l• 45.!.,7SC'
ST•0+750 ;t- 1+~!X
300 l~- JC')n ST•1+450 1 ,. ~.co i'
(.·~},\')

0.~
[L4 •' "g}~ 10-r;p!lo
-- .·t- ··- ··- ~·f- - •.,._
-1~ -~ -·
~
I ... ~.O'XI- _r,.:~ ..:-~·1. : -+~·
coo .. _~:"'
- terowongan dengan L•800m
l'O

§I~6~ ~ ~
~

i~
I

'0
~ ~i
~
II! "I'~I: ~a
~ ~
,..ij
~
Finished :-;.-, ~ ~ i~ ~ :;.
., '. ~; ~ ~ :·..
Grade ~ .~' ;:-, .,
" '· " ~ :fj •n .,
·"
Ground -· "' "'" .. 2~: ~ ~ .·, "~ ~ ..-· ~
~ § § ~ § ~ ~ ~ ~ ~
~

~
~ ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~
~
Level '0 ·~
~ oc
IS
~ N
~
,, ,.,
" " N N

Station 0+100 0•200 0•300 i)+4t)l)


0+500 )+~0 0+700 o•eoo 0•900 1+000 1•100 1•200 1•300 t••oo 1+500 1•600 \+700 1•900 1+900 2+000 e•IO•l c•coo 2+300 2•401
0+000 2+"'

Profil Memanjang Alternatif Trase Terowongan 1


ALTERNATIF 2

PETA GEOLOGI LOKAL DAERAH PIYUNGAN

SKALA 1 : 25.000

Legenda :

l ~!i l Endapan volkanlk


· - · - KMidllkMIWII8n
(iiJ Satuan breksl (F. Nglanggran · Mlosen Atas)
\
0 Satuan batupaslr (F. Semlllr • Mlosen Bawah)
\\ ~
t\ : JALAN EKSISTING

"'---
',',U
,,
: RENCANATEROWONGAN

....,
,,
D '.... , : PATAHAN YANG 01 PERKIRAKAN
,;'/
,,, ,,

Gambar L.2 Trase Terowongan 2


. ~ ·l
..-···-- j
,
~-
...
~\ • .. ~ •! "•,
• , ~ . - ·~" )
' ... • .· '
. ~ ~ ~r ~ i.A \
. ·· ... l "'-
p ~I ~ -..
......... : •

· ...'.·t iMti M
.. ,,,, •)

~ ~ _:j h;._, .. i .:. ov•· .. l.~'• • r ~ -.t~i('A, ~ <J,.rlI·Cf -,.sabQUIJ) . td


GRAPHIC SCALE
(IN UmR8!

·;. LJ----1 T i
~SQ ~so

•o~ 600

~50
~'o
~9
--·······-----+--------·-+------1 -+------- -- -·~J.
·1~0 •so
4(10
LV•200m •oo
J~O LV•200m EL•248.750m 3~0

~sro
300 EL•198.750m
ST•0+850 o.c~ ____[L~.i-
L\• li»n
.. --. -~
ST•1+950
__ L \i.(l)~

iB'l.•
300

!(10
... !:w.r.t-
-:~-t· ·-±--
1 ·
·-t.~1J
terowongan dengan L•SOOm
· · · - -·--··
.-~ .!00

150 1~0

L
,~

~li ~ ..
1oo I. · 111 1"'
=! I ~~ ~ -~
100

50
I ~ ~ u .
50

.-. .;
~ 11 ;ii. "., ;;j
~;.:
~ ;~ ~· :0:: ?.... ~·
~
Finished ~' ~;.
:; i:
,., ~ ~
,..;
Grade ·'· .~
~
~ ;,ti ~ <0 ~

"'
., §
§ ~
"'"'
Ground 5l \"l ~ t; i' ~ f!1 ~ iii 11! ~ 5:! $(
: ~
~

., ~ ~ ;:;
ri
Level ~ ~! "'Oo ~ "' F! ~ ill [!] ~ ~ ~
" "' 00 00

2+000
Station 0+000 0... 10(1 0+200 0+300 0+400 0+500 ... 600 0•700 0-t. JO
0• 901 1+000 1•100 1+200 1+300 1+401 1+500 1•600 1+700 1+800 1+901 2+100 2+200 2+300 2•400 2+500 613.78

Profil Memanjang Alternatif Trase Terowongan 2


ALTERNATIF 3

PETA GEOLOGILOKAL DAERAH PIYUNGAN

SKALA 1 : 25.000.

Legenda :

I x:il Endapan volkanlk


-----K.cldak•._...,
Iii) Satuan breksi (F. Nglanggran • Miosen At as)
D Satuan batupasir (F. Semilir • Miosen Bawah)

~ : JALAN EKSISTING

"---
', ,,u
,,
'•,
,
: RENCANA TEROWONGAN

0 ............., : PATAHAN YANG 01 PERKIRAKAN

,,,11';'/
,,,

Gam bar L.3 Trase Terowongan 3


GRAPHIC SCALE
(INim'BIII)

i 6 'j i i
6-~0 650

t-00 ~0

~0 ~50

~ ~
A~IJ 450

400 400

350 LV• 100m 350


LV•100m EL•187.000m
300 300
EL•170.000m ST•1+500 • e.co~

~-
- - ....... _______________ t,_ ____ - --------

.

ST•0+800 ~
.. ~.0!1 -"'~ . ,.~· . !00
----:-.- ~-
·····----,-·----;-----····· -·f~ 150
0 - -- · -- - terowongan dengan' L•SOOm

I
.-.:..----·.,.;'

-i~'I~ . ~-~
~ ~
100 100
.. .,. e!;l=:

~ ~
50 50

I I _1_
Finished
Grade .,
-~: ·.:.2 ~:

~
.'..- • .
..:: ~ ~
;.
~; ;.~
·-
§
r~
§
Cl
.:-;..
9
~ ;;
., .
0

., -- ...
Ground ~-:,.,: "'~ ~ ii ~ s 0
~ :··,, ~

0 § § :;! § ~

~ ~ ~ ~: '·'
:;:
..•· ~
:;, i' ~ " ~ 0

Level ::·i .-. ~


~ ; ...;
r.. ~ ?! ~ r. ~ ~ f. ~ ~ r:: ~ ~ M ,, ~
~
~

1+500 1+600 1+700 1+800 2+100 Z•ZOO 2•300 2•400


Station 0+000 0•100 0+200 0+300 ~·40
0+500
)+600 0+700 0•800 0•9or 1+000 1•100 1+200 1+300 I•AOO l+ 900 2+000 2+455.434,

Profil Memanjang Alternatif Trase Terowongan 3


ALTERNATIF 4

PETA GEOLOGI LOKAL DAERAH PIYUNGAN

SKALA 1 : 25.000

Legends :

li!J Endapan volkanlk


- - - - - - Kllld111........
__ Satuan brekti (F. Nglanggran • Mioeen Atas)
D Satuan batupasir (F. Semilir • Miosen Bawah)

~ : JALAN EKSISTING

"---
,,
'~. ##
: RENCANA TEROWONGAN

0 ...........,, : PATAHAN YANG 01 PERKIRAKAN


~#/
,,,,,

Gambar L.4 Trase Terowongan 4

__ ..... ~ ,,-v,:'IJ \JMUM


)lie~'•·" ....... 1 ......:.~t,-;o<J ~.ruB :ru - liwtJ lO
.• t ·--'1 Ttip,(CI1 ' 1l 9 5lU,tx:.S(Ii~pJXufgo . ld U~ htp: f .........ld
GRAPHIC SCALE
tIN WmRS)

- I - - -

~0 &~D

6il0 600

S!.lj 5SO

·- ·-··- ·-~1 ··- - -~ --·- ----- ---- -l-------1----·- -~ -- ---+-----+--- " -- - - -l·1+~
"!-rj ~!i

400 •oo
J~lj LV•100m 3M
LV• 100m EL•197 .OOOm

e-..
lOO ~0

L5a
EL•170.000m
ST•0+800
Ill
+-- - I I
ST•1+500
t
_
==t= ------
P~- ___ Mo~
-~
..
!---- -- - - --1-----=4m
... ----•· •-·t;~n, eoo
• ~Ci(]

L~80
i100
'f ---- _]- 1
- ---------- -·

~-, ~("'
~ ISO

100

L_ il I= I I I I I. I
lOti
~0 :I~ el- 50

~ f
~;:
.-. § § ~ ~ ;::;
""'
:;;!
Finished i" --- ;., :(; ~
>.; :·: :.~

Grade ~ - !· ~ ~ ::! ~ ..... ~


:;: .. ..,, .,
;;.

ill
~
~ § ~,; ~ ~ ~
~

Ground :~ ~ ~ ~ Y. ~ iji 5 :i
Level ?3 ~- ;; .., :;: f. " ~- iS
,,.;
;-"j ~l ~ ~ "
.,-;
:::. g ~ ~ ~ "'
~ ~1 :<: ~ ~
0•100 0•200 0•300 0+400
0+500 1•6.00 0•700 ~·80 I'IA.OI'ft
00 1•100 1•200 1•300 l+AOO 1+500 •600 1+700 1•900 1' 90 • 2+000 2•100 2•200 2•300 2'••oo 2+500 2•613.789
, Slalion 0+000 1+000

Profil Memanjang Alternatif Trase Terowongan 4


1- -.F-
)::_"). ALTERNATIF 5

' [
r r PETA GEOLOGILOKAL DAERAH PIYUNGAN
t )

r
SKALA 1 : 25.000
:c
( -· -· -~
t • ..,
i,--1 legenda:
'\
l ~j• J Endapan volkanik

~-
r\ \ - - - - - - - - Kttldabelaraun
Nil Satuan breksl (F. Nglanggran - Mlosen Atas)
0 Satuan batupaslr (F. Semillr - Miosen Bawah)
~ : JALAN EKSISTING

"----
',
',U ,, I
I
: RENCANATEROWONGAN

D ...............,~ : PATAHAN YANG 01 PERKIRAKAN


~'/
,,,,

Gambar L.5 Trase Terowongan 5


GRAPHIC SCALE
( IJI mvtt)

i I i T T
450
·~
.,,
1:1 ·~
"'
1-- 250
1,/!l';, -·~ ----
.·--.
-~;

-- _... _ terowongan dengan L•9!50m
I:o•J t;o

'~..
_._..,.

---+---- .':.\"'!'- - -------· '"'
ii
1001 -···------- 100
1 ,1) a~
f----. 0
l l
I I I ~·
Pinlsheo R ~
§ ~ § :!.
Grade -. ";( i:
~

':"'
-----------------------
,.,. .:;
:(: ~ ~
Grourad ~ ~
"'
~
'<
:~I
~
n ~
l·.
-~
~
'~ ..
3 'I
.o :'!: .,
.,,
~
~ il
" ~ I G'
r;
q
' '~ ~ ~ ~
Level
1St.atio
0+000
r· "
0+100
)j;

O•COO
~

,....300
;..;

..... 0+500

···c.c onl)) 0•80iJ U•9UQ


"
1•0
;,
1+000
~-
•200 1•300
---------
hoi{
1+500
...
.... ~-!
1•1tl6 "
1•900
I,

,... 2+000
Ill
•JOO
~
14100
~
l•lf))
!il ~
''" 2+500 ~·
~:
l•':'(l\1 ..... !'!
2••
~

3+000
Jll "
)19

Profil Memanjang Alternatif Trase Terowongan 5


AlllRNATI· 6

Legenda :

BSiJ Endapan volkanik


------ICttl•b• l•atn
i!J Setuan brekti (F. N~wan · Mioseo Alas)
0 Saluan balupasif (F Semlir • Mioseo Bawah)

Gambar L.6 Trase Terowongan 6

PERSUKITAN HOMOKUN
PERBUKITAN TERJAL

ou• •.llll._..ISq

Oftl.AIIMlll R I
Mil
I
tiO ~ -
I I
eft ~ -I ~ t.n ~ 'I Dim I
till
I
tWill t
I. f 1M .u~l td'IA
l
tM
I
•-
I
_.
.bn ~ J. J. •
I .6. J- •
I ,.
!1'501 I •
Tabel L.1 Dasar-<lasar Pemllihan Trase Jalan untuk Terowongan Jalan Subruas Plyungan • Gadlng (DI Yogyakarta)
Pemlllhan Geograft Geologl latl guna Iehan Kestabllan lereng Galien Hmbunan jembllan keml~nga j111an penjang terowongan kemlrlngan )alan Panjang lolal
No Trase Jalln perbalkan
1 Altemotlf 1 kedolamen 30 -40 mtr bltuen brekal perumahan pe~u proteksl Rendllh • tinggl randah • tinggl tidllk ada 0%-20% eoo mel8r 100 melltr terowongon 2+ 425Km
tlrowongan dl d..rah kondlsllepuk-segar perkebunen 0 meter • 35 mater 0 melltr • 20 meter menalk5%
perbukltlln relcahen hutan produkol 700 meter tlfowongan
pemotongan teblng dlluer alatem slrllktur rnenalk 3%
ganda
dlluar pola allran air

2 Allamotlf2 kedalarnan 30 -40 mtr batuan brakol 1*\lmahan perlu proteksl Rendlh • Hnggl rendah • tinggl tidok Ida 0%-20'16 eoo melltr 200 meter terowongan 2 + 600 km
I
terowongon dl daerah kondlallllpuk-seger pert<ebunan 0 meter • 35 meter 0 meter • 20 met.r men.lk5'16
perbukltlln rekahln hutan produkol eoo meter terowongan
pernotongen teblng dlluer slltem struktur menalk3'16
gendl
dlluar poll allran air

3 Alternatlf3 kedal1men 30 -40 mtr bltuen brekal perumahan perlu protekal Rendah • Unggl rendah • Hnggl tidakada 0'16·11" 800meMt' 800 meter terowonaan 2+ Se<lkm
terowongan dl datrah kondlalllpuk-aegar petkebunan 0 meter • 35 meter 0 meter • 20 meter nalk3'16
perbukltlln rekahln hutan produkal
pemotongan leblng dlluar llalem atruklur
Qlndl
dlluar pola allran air

4 Alternatlf 4 kedalaman 30 -40 mtr bltuan brekol perumahln pe~u protekol Rendah • tinggl randlh • tinggl tidak adll 0'16-5% 800 meter eoo meter larowongan 2+5e<lkm
tlrowng~ dl daerah kondlallapuk-aegar perkabunan 0 meter • 3!5 meter 0 meter • 15 meter nalk 3 '16
perbukltlln rekahan hUIIIn produksl
pemotongan teblng dlluer slstem struktur
ganda
dlluar poll allran air

5 Allernatlf 5 kedallmen 30 -40 mtr bltuan breksJ perkebunan perlu protlksl Rendllh • tinggl rendah • tin(lgl tidak eda 0%-7'16 9SOmeter 950 meter tlrowongan 2+900Km
terowongan dl daarah kondlsllapuk-segar hUIIIn produkal 0 meter • 15 meter 0 meter • 7 meter nalk 3 '16 I
I
perbukltan rekahan
pemotongan tablng dilullr slatem slrllktur
ganda
dlluar pola allran air

6 Allematif6 kedalamen 30 -40 mtr batuan breksl perkebunan pe~u proteksJ Randah • tinggl rendah • tinggl Jembltan 0%-5'16 9SOmeter 9SO meter terowongan 2+ 900Km
tlrowongan dl dllerah kondlallapuk-segar hUIIIn produkal 0 meter -10 meter 0 meter • 7 meter (200 meter) nalk 3 '16
perbukltlln rekahln
pemotongan lablng dlluar sJstem struktur 350 meter 350 meter terowongan

L_ ~ ~
ganda
dlluer DOll allran air__ ----- -~
- - I nalk 3 '16

,.... "-=J-l r-"' _ . . , - -... ~ :::- .,~ t\ A 1\.. J


"' '.v·.f·\.1"
1
' I
f • •' ·~. ~ ..
· .,.'.:1 JMi_ IM
_1, -~'l!; ~

t'-.;~ r~ . ~ ~ Q.i' ;Jr1. ;.(~ t' ,~J J fJ).td


<- -~ h)-.\ .. L;:~ , v .~ ... i.. 0.:.:.1 •I
The Introduction of Recent Proposed Tunnel Work in Indonesia

M.I. Junica, A.Widjajanto, K. Mangkusubroto

Indonesian Road Development Association, Indonesia

ABSTRACT

The paper presents an idea of tunnel construction crossing Sunda Strait which called Nusantara Tunnel.
The transportation between Java and Sumatera is currently serviced by air system and ferry
transportation. The tunnel will be located on the Sunda Strait of25 krn wide at its narrowest point. The
Nusantara tunnel should deal with a complex geology structure and relatively high seismic activity,
while strong and high waves occur arow1d the area.

I. INTRODUCTION

The notation of constructing a linkage infrastructure between Java and Surnatera Islands across Sunda
Strait has emerged initially and developed during 1960-1965 by a team of Bandung Institute of
Technology. The first proposal was to build several suspension bridges, each of 2.5 km. During a
seminar held by !vtinistry of Public Works in 1986, it was discussed two types of the linkage system
alternatives, i.e. long-span bridge and undersea tunnel. The initial concept of this transportation
development was to connect Java as an industrial zone and Sumatera as a provided basic commodity
zone. Furthennore, the idea was followed up by a series of preliminary studies and surveys by
domestic and international institutions. Nevertheless, real construction actions have never been
initiated. The main reason to put this connecting infrastructure aside is a classical factor of the
financial matter.

However, the construction of this linkage system is urgent, since the existing ferry system, i.e. the only
mass transportation system, will become unmanageable to serve people, vehicles, cargos, and goods in
coming years. The traffic in Sunda Strait is dense; a report in the year of2002 has shown that the flow
from Merak Harbour in Java to Bakauhuni Port in Sumatera has achieved 4.81 million passengers and
1.18 million vehicles. The prediction of a moderate growth rate of 3% will result the overflow of 8.93
million people and 3.09 million vehicles. Even with the existing ferry system, a bottlenecking
frequently occurs and will become a serious problem in the coming years.

2. GE:\ER..; L CO:\CFPT

The paper presents a proposal of an integrated system for the linkage infrastructure with regwnal
development, particularly in the interrelated provinces Lampung (in Sumatera) and Banten (i11 Java)
with encouraging the growth of economy and social of the areas in many sectors to a better standard
level. The Sunda Strait infrastructure connects the two islands which also as an important point for
Asian Highway and Asean Highway.

To handle the classic problem of financial support, it is needed to understand that the execution works
of this tunnel should deal with the matter of efficiency. Moreover, it is necessary to bring it into a
multinational corporation concept. The Central Government is not only the one who responsible for
achieving this plan, however the local governments, Public Corporation, private sectors, domestic and
foreign need to be involved in the funding process. Since the concept of this tunnel is for a
multipurpose transportation infrastructure, the involvement of a regional development concept into it
is needed to get the strong financial support.

This fixed linkage infrastructure is design to not take over the current ferry system but to compete
positively with that shipping line.

3. TECHNICAL CONCEPT

The Sunda Strait is potentially affected by the tectonic activity which is located in the transition
zone resulted from the movement of two major plates, namely Indian-Australian, as shown in
Figure I. The southern part is a meet point of the Indo-Australia plain and the Eurasia plain, where
the Anak Krakatau volcano is located. Figure 2 shows the proposal of Nusantara Tunnel route. The
safe zone between the fault of Sukadana-Gede Mountain and Rajabasa-Danau at the southern with 15
km wide and 20-60 m deep is the area where the tunnel will be constructed. The total length of the
tunnel will be 33 km, where 26 km is under the sea bed.

An idea ca:ne ""ith constru.:ting the Nusa•Jtara Tunnel by rlaciPg the tuPile! (J:l the C0n.::rete c;:.~enary
pipes driven into the seabed. It is a chalienging work; moreover the high seismic activity and strong
waves need to be taken into account. Considering from the past tunnel constructions crossing under
water with similar geology condition such as Seikan Tunnel, the tunnel may be bored in the ground
below the seabed. The tunnel will be bored in the safe zone, 40 m below the seabed, maximwn of 70
m below the sea water level. The tunnel will appear on the surface 3.7 km from the Sumatera coast
line in Lampung province and 3 km from the Java coast line in Banten pro\ince. This infrastructure is
a combination between the tunnel and the bridges. The longitudinal gradient rea.::hes a maximum at
2 % with a minimum radius of a horizontal curve of 3,000 m.

lN

·~

I
I

Figure 1 Deformation active Zone (after Natawidjaya, 2003)


,
~ I ....l·
/ ,.

7 JAVA

..-.--
__ ..,_,"""'
--F..._T
--TUM!.
L-~
FigLlfe 2 Proposed route ofNusantara Tunnel in the stable zone

4. MULTIPURPOSE TUNNEL

Figure 3 and 4 illustrate the transportation model in the Nusantara Tunnel. ll1is tunnel is designed to
transport electric car trains that move passengers, cars, buses, trucks, trailers, and combination trucks.
lt is reasonable to be accepted that the train tunnel is the lesser capital investment and better system for
both passengers and cargos comparing to the road tunnel. In addition to the electric train system, the
tunnel will function as the multipurpose twmel as well, which is used to accommodate facilities for oil
and gas, coal slurry, extra high power transmission, and telecommunication lines.

Special carriages will be provided for the passengers, while cars, buses, trucks, and trailers will be
loaded onto flat cars, which all pulled by electric locomotives that will cross through the nmnel. The
tunnel does not require to be provided with massiYe ventilation. furthermore the use of the electric car
trains will make the construction costs are cheaper, and the passengers and vehicles are safer than in a
road tunnel.

As shown in Figure 5, the Nusantara Tunnel is designed in a f0m1 of a double eli ipse with 55 square
meters. ll1e tunnel will be equipped with a pair of galleties on the left and tight side of the train track
that will function as maintenance galleries and emergency passageways if emergency situation occurs
in the tunnel. Hydrant pipes and pipes carrying C0 2 gas will be available to put out tire, once happens
in the train passage, while passengers can wait safely in the emergency galleries.
0
D

Clearance for passanger wagon Wagon double decker (50 tons)

container 40 feet

Clearance for trailer Trailer (61 tons)

Clearance for tru..:k (double) Truck combination (61 tons)

'' .
·~=t-L<.
--
·. 1\ •
... ,,

\• ~ .:-~- ·-~?l:
......... .J~-
--:-~ ,_ :_::-
-

Clearance for bus Bus (59 tons)


Clearance for ttuck Truck (66 tons)

Clearance for 1/4 truck 1/4 truck (47 tons)

Clearance for cars Cars (55 tons)

----=-----='
,'' >l
/ ;_.;•.)}----..{_

..:5'...'.:..:.. 0
6
-+-·'-<----.
I' '

~ --·4-
F-t----:--1-'l
-- -- -- - ...!...-- .r - - : . : -. -

Clcamncc for locomotive Electric locomotive

Figure 4 Model of transportation using electric car trains for Nusantara Tunnel
limitL __________ _ timi1II
r---- ---liinit nt
biges~ ~*- ~I.U!-­ -·-----------·-
Il0111'UI electric currcm I .-------•i!JlifE_.
Jo_W~l·-=

I!
i
:I
~ ~
I.,._
I I
I:
I I
I:
! j

~i_;

Figure 5 Cross-section ofNusantara Tunnel

5. REGIONAL DEVELOPMENT ASSOCIATION

1l1e supporting facilities are needed to be constructed in the approaching tunnel areas in two islands.
At the same, it is necessary to develop these supporting regions. Terminals, depots for oil, gas, coal etc,
and the train system itself should be construr-ted by the active involvement of the provinces. Beside
that colleges, recreation areas, sport areas, residential areas, etc should be developed to attract people.

Regional development concept will take note of existing land use and facilities already available and
operating. The appearance of the tunnel on the surface will be located in the areas where are relatively
under utilized by people in a comparatively flat topography. The routes of the Nusantara Tunnel as
well as the terminals are designed to consider the existing land transportation routes, i.e. road routes
and train tracks. It is hoped to activate the current listlessness train routes and to link the existing north
and south railway lines in Swnatera as well. Considering a long-term of the future plan to cormect
Swnatera and the Malaya Peninsula by railway, the Nusantara tunnel will take a part in connecting
Java-Sumatera, Malaysia, and other states in Asia.

6. TERMINAL AND TRAIN OPERATION

Both related provinces will be provided with special queuing lanes in the terminal, for each classii)'
vehicles according to certain classes. From the queuing lane, the vehicles will proceed to the
loadingup<.~ apron where the flat cars have been prepared to load the vehicles according to their
classification. A special carriage will be provided for passengers. Concerning to safety and comfort,
passengers will not be allowed to stay in their vehicles.
The journey using the train through Nusantara Tunnel is designed to take about 60 minutes in total,
which consist of 15 minutes for loading, 30 minutes for the trip across Sunda Strait in the tmmel, and
the remain 15 minutes for unloading. The trains will depart from the tenninal about once in every hour.
Hence, 24 trains will depart in one day from Baeten as well as Larnpung.

7. CAPACITY OF NUSANTARA TUNNEL

To overcome the fluctuation of total passengers, especially at a certain peak times as well as the level
of growth that increases every year, the operation of the train through the Nusantara Tunnel is planned
with three modes of operation as follow:

a. Standard Operation; in Standard Operation which is the normal daily operation, the tunnel is
designed to carry 6,000 passengers car wlit (pcu) per day or equivalent to 30,000 passengers per
day, so that an average of I 0.8 million passengers a year can be transported.
b. Maximum Operation; at certain times, when the total number of passengers increases enough, so
the Standard Operation mode become not sufficient, for example at the weekend, holidays, or at
peak times. Maximum Operation mode which allows carrying 12,500 pcu per day is introduced.
This corresponds to 62,500 passengers per day or 22.5 million passengers a year.
c. Sp~ial Operation; whenever the train capacity in M~imu Ope-mtion rr:ode 1s srill not suffi:::ient,
then it is necessmy to activate the Special Ope1ation. Special Operation will cany 15,500 pcu per
day or about 77,500 passengers per day so that in one year 28 million passengers can be carried.

8. DEVELOPMENT OF NVSANT ARA TUNNEL

To anticipate the growth in total nwnber of passengers and goods to be transported through the tunnel
each year, or when the tunnel reaches 80% of its maximum capacity, there will be a need to provide
another tunnel parallel to the first one.

9. MULTIPLIER EFFECTS

The development of Nusantara Tunnel creates multiplier effects that will accelerat"' regional as well as
national growth. In addition, there are more key features as all immediate benefit that will be
discovered at the same time with the realization of Nusantara Tunnel. The tunnel development will
absorb large-scale human resources as well as will bring about multilevel job creation during the
construction and operation phases. In the construction phase, natural resources that are available in
Sumatra and Java will be utilized considerably remembering that the construction of the tunnel will
need sizeable amount of domestic contents. Therefore, it \\;11 facilitate enonnous opportunity for
industries to grow. While during the operational of the tunnel, all uneven distribution in broad aspects
that is presently concentrated in Java can be relocated to Sumatra more easily and in less expensive
>"~<:y. ~lorev. the concept of multifunction tunnel that transports energy resources (coal, oil, an.j
gas) as well as electric power fro111 Sumatra t~ Java will enhance the integration of supply-demand
system, hence creating a more efficient economy. This condition will increase the national
compditiveness in the global level.

10. FINANCIAL ANALYSIS

The development of Nusantara Tunnel will need about US$1.5-2 billion for construction and about
US$ 4 million per year for maintenance and operation. The toll fee required will be as much as US$ 20
per pcu.
11. REFERENCES

Agency for the Assessment and Application ofTechnology and Department of Public Works Republic
of Indonesia, 1986. Record of Japan-Indonesia Seminar on Large Scale Bridges and Undersea Ttmnel,
Jakarta.

Japan-Indonesia Science and Technology Fomm, 1986. Report of the Preliminary Study on Sumatra-
Java Direct Linkage.

Matsuno, S., et.all, 1999. Proyek Perhubungan Antar Pulau di Asia Tenggara di Masa Krisis Ekonomi,
Sebuah Studi Kasus di Pulau Sumatera-Jawa Jalan dan Transportasi Magazine, No. 095.

Nobuaki, F., 1990. Various Aspects Regarding Sumatra-Java Linkage Project. Department of Public
Works Republic of Indonesia
Powered by TCPDF (www.tcpdf.org)

Anda mungkin juga menyukai