Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN AKHIR

PENGUSULAN OBAT BARU PADA FORMULARIUM RUMAH


SAKIT

DOSEN TUTOR :
Dr. apt. Wiranti Sri Rahayu, M.Si

NAMA KELOMPOK :
Ketua : Ayu Edilia Pratiwi (2108020165)
Sekretaris : Diah Masrifah (2108020166)
Anggota :1. Riani Saputri (2108020164)
2. Wa Ode Faatima (2108020167)
3. Sari Yuarsella (2108020168)
4. Melati Purnamasari (2108020169)
5. Rosy Pratiwi (2108020170)
6. Nurmila (2108020171)
7. Mustika Amalia (2108020172)
8. Retno Falutfi (2108020173)
9. Daya Ghufron Al Majid (2108020174)
10. Wahyu Ade Setiawan (2108020175)
11. Bella Afni Ganis (2108020176)
12. Nuraini (2108020177)

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PURWOKERTO

2022
1. Alur Pengusulan Obat Baru Kedalam Formularium Rumah Sakit.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/Menkes/200/2020 Tentang Pedoman Penyusunan Formularium Rumah Sakit
Kriteria pemilihan obat untuk masuk Formularium Rumah Sakit :
a. Obat yang dikelola di rumah sakit merupakan obat yang memiliki Nomor Izin Edar (NIE)
b. Mengutamakan penggunaan obat generic
c. Memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan penderita
d. Menguntungkan dalam hal kepatuhan dan penerimaan oleh pasien
e. Memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tertinggi berdasarkan biaya
langsung dan tidak langsung
f. Obat lain yang terbukti paling efektif secara ilmiah dan aman (evidence based medicines)
yang paling dibutuhkan untuk pelayanan dengan harga yang terjangkau.

Dalam rangka meningkatkan kepatuhan terhadap Formularium Rumah Sakit, maka


rumah sakit harus mempunyai kebijakan terkait dengan penambahan atau pengurangan obat
dalam Formularium Rumah Sakit dengan mempertimbangkan indikasi penggunaan,
efektivitas, risiko, dan biaya.

Pemilihan obat dalam Formularium Nasional didasarkan atas kriteria sebagai berikut
(Permenkes, No 54, 2018) :
1. memiliki khasiat dan keamanan yang baik berdasarkan bukti ilmiah terkini dan sahih
2. memiliki rasio manfaat-risiko (benefit-risk ratio) yang paling menguntungkan pasien
3. memiliki izin edar dan indikasi yang disetujui oleh BPOM
4. obat yang sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan masyarakat tetapi belum memiliki
izin edar, termasuk obat piatu (orphan drug) serta yang tidak mempunyai nilai komersial
5. memiliki rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio) yang tinggi
6. bukan obat tradisional dan suplemen makanan
7. apabila terdapat lebih dari satu pilihan yang memiliki efek terapi yang serupa, pilihan
dijatuhkan pada obat yang memiliki kriteria berikut:
• Obat yang sifatnya paling banyak diketahui berdasarkan bukti ilmiah;
• Sifat farmakokinetik dan farmakodinamik yang diketahui paling menguntungkan;
• Stabilitasnya lebih baik;
• Mudah diperoleh; dan
• Harga terjangkau
8. Obat jadi kombinasi tetap, harus memenuhi kriteria berikut :
• Obat hanya bermanfaat bagi penderita dalam bentuk kombinasi tetap
• ombinasi tetap harus menunjukkan khasiat dan keamanan yang lebih tinggi daripada
masing-masing komponen
• Perbandingan dosis komponen kombinasi tetap merupakan perbandingan yang tepat
untuk Sebagian besar penderita yang memerlukan kombinasi tersebut
• Kombinasi tetap harus meningkatkan rasio manfaat-biaya (benefit-cost ratio)
• Untuk antibiotika kombinasi tetap harus dapat mencegah atau mengurangi terjadinya
resistensi dan efek merugikan lainnya

Tahapan Penyusunan Formularium Rumah Sakit Penyusunan obat dalam Formularium


Rumah Sakit berdasarkan kebutuhan rumah sakit mengacu pada data morbiditas di rumah
sakit. Tahapan penyusunan Formularium Rumah Sakit sebagai berikut:

a. Meminta usulan obat dari masing-masing Kelompok Staf Medik (KSM) dengan
berdasarkan pada Panduan Praktik Klinis (PPK) dan clinical pathway.
b. Membuat rekapitulasi usulan obat dari masingmasing KSM berdasarkan standar terapi
atau standar pelayanan medik.
c. Mengelompokkan usulan obat berdasarkan kelas terapi.
d. Membahas usulan tersebut dalam rapat Komite/Tim Farmasi dan Terapi, jika diperlukan
dapat meminta masukan dari pakar.
e. Mengembalikan rancangan hasil pembahasan Komite/Tim Farmasi dan Terapi,
dikembalikan ke masing-masing Staf Medik Fungsional (SMF) untuk mendapatkan
umpan balik.
f. Membahas hasil umpan balik dari masing-masing SMF untuk mendapatkan obat yang
rasional dan cost effective.
g. Menyusun usulan daftar obat yang masuk ke dalam Formularium Rumah Sakit.
h. Menyusun usulan kebijakan penggunaan obat.
i. Penetapan Formularium Rumah Sakit oleh direktur.
Organisasi Komite/Tim Farmasi dan Terapi merupakan wadah yang merekomendasikan
kebijakan penggunaan obat kepada direktur/kepala rumah sakit. Rekomendasi yang disusun
oleh Komite/Tim Farmasi dan Terapi selanjutnya disetujui oleh direktur/kepala rumah sakit.
Komite/Tim Farmasi dan Terapi harus mengadakan rapat secara teratur paling sedikit 2 (dua)
bulan sekali dan untuk rumah sakit besar rapat diadakan sekali dalam 1 (satu) bulan. Rapat
Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat mengundang pakar dari dalam maupun dari luar rumah
sakit yang dapat memberikan masukan bagi pengelolaan Komite/Tim Farmasi dan Terapi,
memiliki pengetahuan khusus, keahlian-keahlian, atau pendapat tertentu yang bermanfaat bagi
Komite/Tim Farmasi dan Terapi. Komite/Tim Farmasi dan Terapi perlu menetapkan aturan
mengenai kuorum untuk memastikan bahwa stakeholder terwakili dalam pertemuan
Komite/Tim Farmasi dan Terapi, misalnya jumlah anggota minimal yang harus ada untuk
terselenggaranya rapat dan jumlah perwakilan yang harus ada dalam rapat.

Penyusunan dan revisi Formularium Rumah Sakit dikembangkan berdasarkan


pertimbangan terapeutik dan ekonomi dari penggunaan obat agar dihasilkan Formularium
Rumah Sakit yang selalu mutakhir dan dapat memenuhi kebutuhan pengobatan yang
rasional.

Perubahan obat dalam formularium dilakukan melalui pengusulan:

1. Permohonan harus diajukan secara resmi melalui KSM kepada Komite/Tim Farmasi dan
Terapi menggunakan Formulir 1 (untuk pengajuan obat masuk dalam formularium) atau
Formulir 2 (untuk pengajuan penghapusan obat dalam formularium)
a. Formulir pengajuan obat untuk masuk dalam formularium
2. Permohonan penambahan obat yang akan dimasukkan dalam Formularium Rumah Sakit
yang diajukan setidaknya memuat informasi:
a. Mekanisme farmakologi obat dan indikasi yang diajukan;
b. Alasan mengapa obat yang diajukan lebih baik daripada yang sudah ada di dalam
formularium; dan
c. Bukti ilmiah dari pustaka yang mendukung perlunya obat di masukkan ke dalam
formularium (Kepmenkes RI No. HK.01/MENKES/200/2020 Tentang Pedoman
Penyusunan Formularium Rumah Sakit).

2. Tugas dan peran dari masing-masing anggota KFT yang terlibat dalam pengusulan obat
masuk dalam formularium rumah sakit
Tugas Komite/Tim Farmasi dan Terapi diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang mengatur mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, di antaranya
adalah melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam Formularium Rumah
Sakit dan memberikan rekomendasi kepada direktur/kepala rumah sakit mengenai kebijakan
penggunaan obat di rumah sakit. Anggota Komite/Tim Farmasi dan Terapi terdiri dari dokter
yang mewakili semua spesialisasi yang ada di rumah sakit, apoteker instalasi farmasi, serta
tenaga kesehatan lainnya apabila diperlukan.
Anggota Komite/Tim Farmasi dan Terapi terdiri dari dokter, apoteker, dan tenaga
kesehatan lain yang di perlukan. Komite/Tim Farmasi dan Terapi dapat diketuai oleh seorang
dokter atau seorang apoteker. Apabila diketuai oleh dokter maka sekretarisnya adalah
apoteker, namun apabila diketuai oleh apoteker, maka sekretarisnya adalah dokter.
Tugas
a. Menyusun program kerja yang akan dilakukan yang disetujui oleh direktur
b. Mengembangkan kebijakan tentang penggunaan obat di rumah sakit
c. Melakukan seleksi dan evaluasi obat yang akan masuk dalam Formularium
Rumah Sakit;
d. Mengembangkan standar terapi
e. Mengidentifikasi permasalahan dalam penggunaan obat
f. Melakukan intervensi dalam meningkatkan penggunaan obat yang rasional
g. Mengkoordinir penatalaksanaan reaksi obat yang tidak dikehendaki
h. Mengkoordinir penatalaksanaan kesalahan penggunaan obat (medication error)
i. Menyebarluaskan informasi terkait kebijakan penggunaan obat di rumah sakit.
Peran anggota Komite/Tim Farmasi dan Terapi Peranan ketua/sekretaris Komite/Tim
Farmasi dan Terapi bertindak sebagai motor penggerak dalam berbagai macam aktivitas
Komite/Tim Farmasi dan Terapi.

Peranan ketua dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi:


a. Memimpin Komite/Tim Farmasi dan Terapi.
b. Mengkoordinasi kegiatan Komite/Tim Farmasi dan Terapi.
c. Mengkoordinasi seluruh yang dibutuhkan dalam penyusunan Formularium
Rumah Sakit.

Peranan sekretaris dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi:

a. Mengajukan agenda yang akan dibahas


b. Pemberian usulan pokok bahasan rapat
c. Pencatatan dan penyiapan rekomendasi Komite/Tim Farmasi dan Terapi
d. Penyusunan kajian jika diperlukan
e. Komunikasi keputusan Komite/Tim Farmasi dan Terapi terhadap tenaga kesehatan
lain
f. Menetapkan jadwal pertemuan
g. Mencatat hasil keputusan
h. Melaksanakan keputusan
i. Membuat formularium berdasarkan kesepakatan.

Peran apoteker dalam Komite/Tim Farmasi dan Terapi:

a. Analisis dan diseminasi informasi ilmiah, klinis, dan farmakoekonomi yang terkait
dengan obat atau kelas terapi yang sedang ditinjau.
b. Evaluasi penggunaan obat dan menganalisis data.

Kegiatan Komite Farmasi dan Terapi khususnya terkait pengendalian penggunaan antibiotik,
melalui:
a. Pemilihan jenis antibiotik yang akan dimasukkan dalam pedoman penggunaan antibiotik,
formularium, dan yang diuji kepekaan
b. Analisis hasil evaluasi penggunaan antibiotik secara kuantitatif maupun kualitatif
c. Pembuatan kebijakan penggunaan antibiotik di rumah sakit.
d. Analisis cost effective, Drug Use Evaluation (DUE), dan evaluasi kepatuhan terhadap
pedoman penggunaan antibiotik maupun kebijakan terkait yang telah ditetapkan
e. Analisis dan pelaporan Efek Samping Obat (ESO)/Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan
(ROTD) (Kemenkes, 2020)
3. Penulusaran Artikel Ilmiah Berdasarkan Evidence Based Medicine Untuk
Menyelesaikan Masalah Pada Kasus.

Langkah dalam Evidence Based Practice


Merumuskan pertanyaan klinis yang dapat dijawab
Contoh :
Clinical Question: Bagaimanakah efektifitas pemeriksaan kardiotokograpi untuk mendeteksi
kesejahteraan janin dalam proses persalinan?

1. Menemukan bukti terbaik


a. Formulasi PICO
Patient Infant, neonatal
Intervention Carditocography
Comparator Intermitten auscultation
Outcome Assessment of fetal wellbeing

b. Frase Penelusuran
Search Terms
Patient/Population (Infant* OR Neonatal*)
Problem
Intervention (Cardiotocography*)

Comparator (Intermitten auscultation*)

Outcome (Assessment of fetal wellbeing*)

c. Frase Penelusuran Akhir


(Infant* OR Neonatal*) AND (Cardiotocography*) AND (Intermitten auscultation*)
AND (Assessment of fetal wellbeing*)
d. Hasil Penelusuran Jurnal
Search Pharase PUBMED
Infant 987981
(Infant*) 1048764
(Infant* OR Neonatal*) 1125994
(Infant* OR Neonatal*) AND (Cardiotocography*) 1019
(Infant* OR Neonatal*) AND (Cardiotocography*) AND 16
(Intermitten auscultation*)
(Infant* OR Neonatal*) AND (Cardiotocography*) AND 1
(Intermitten auscultation*) AND (Assessment of fetal
wellbeing*)

e. Hasil Penelusuran Jurnal


Contoh:
Judul Artikel: Admission cardiotocography: a randomised controlled trial. Lawrence
Impey, Margaret Reynolds, Kathryn MacQuillan, Simon Gates, John Murphy, Orla Sheil.

2. Menilai bukti secara kritis (mengetahui seberapa bagus bukti tersebut dan apa artinya)
Contoh :
Apakah hasil dari penelitian uji diagnosis ini valid?

Apakah ada perbandingan dengan baku · Iya alat screening pemantauan janin selama
emas yang dilakukan secara independen dan proses persalinan tersebut dibanding kan oleh
tersamar? gold standarnya yaitu auskultasi secara
intermitten denyut jantung janin.

Apakah alat diagnosis diuji akurasinya · Penelitian ini dilakukan di ruang bersalin
dalam spektrum pasien yang merta (seperti rumah sakit bersalin nasional di Dublin,
terjadi dalam praktek rutin?) irlandia.
· Pada jurnal dijelaskan bahwa responden
yang akan diteliti yaitu ibu hamil tunggal
dengan usia kehamilan kurang dari 42 minggu,
tidak ada kelainan janin dan komplikasi
kehamilan, suhu tubuh ibu kurang dari 37,5o C
saat masuk dan bersedia menjadi responden.
Dalam penelitian ini 2 orang perawat
memantau keadaan ibu secara atif. Pasien yang
menggunakan cardiotokograpi dan auskultasi
intermitten dikelola dengan perbandingan 1:1,
tugas itu dibuat diruang bersalin, disegel,
buram dan amplop diberi urutan nomor.
Awalnya pengacakan secara berurutan adalah
dari komersial package 10 dan menggunakan
ukuran blok tetap 100. Itu berubah setelah 2621
pasien telah direkrut dan digeneralisasikan oleh
unit perinatologi dengan ukuran block acak
100-250. Peserta yang direkrut oleh bidan
bersedia berpartisipasi, dibuka amplop dan
dialokasikan.

Apakah uji yang dipakai sebagai baku emas Tidak, pada penelitian ini jika salah satu
dilakukan dengan mengabaikan hasil dari kondisi seperti perlambatan denyut jantung
pemeriksaan lain yang sedang diuji janin atau takikardia pada auskultasi dan
akurasinya? ciaran ketuban bercampur mekonium, suhu
ibu >38oC, persalinan lebih dari 8 jam maka
digunakan EFM.

Akankah kemungkinan sakit setelah Iya, bila janin terdiagnosa gawat janin setelah
pemeriksaan mempengaruhi manajemen dan pemeriksaan maka mempengaruhi manajemen
pertolongan anda kepada pasien? (Dapatkah dan pertolongan pada ibu bersalin.
hal ini menggerakkan anda dari nilai Melakukan kolaborasi dengan dokter spesialis
ambang pemeriksaan dan terapi? Apakah kandungan dan spesialis anak untuk
pasien anda merupakan berkeinginan penanganan lebih lanjut.
menjadi partner dalam melakukan
pemeriksaan ini?

Akankah konsekuensi-konsekuensi Efek dari gawat janin tidak hanya dialami bayi
pemeriksaan menolong pasien anda? pada saat lahir, tetapi juga berpengaruh pada
perkembangan bayi. Dengan melakukan
deteksi gawat janin secara rutin akan
membantu pasien2 yang mengalami kelainan
pada masa persalinan.

3. Mengaplikasikan Bukti
Contoh:
Apakah hasil yang valid dari penelitian uji diagnosis ini penting?
Hitungan anda:

Target penyakit: gawat janin


Total
postif Negative

Positif a b a+b=
Cardiotocography
Negatif c d c+d=

a+b+c+d=
Total a + c = 46 b + d = 104
4298

Sensitivitas (SN) = a/(a+c) =


Spesifisitas (SP) = d/(b+d) =
Positive Predictive Value (Nilai ramal positif) = a/(a+b) =
Negative Predictive Value (Nilai ramal negatif) = d/(c+d) =
Pre test Probability (Kemungkinan sakit sebelum diperiksa (prevalensi) =
(a+c)/(a+b+c+d) =
RR= 0,90;95% CI, 0,75-1,08
ARR=1-RR
1-0,90= 0,1 (10%;95 CI, 0,75-1,08)
NNT= 1/ARR=1/0,1=10
Apakah anda dapat menerapkan bukti ilmiah yang valid dan penting dari
penelitian uji diagnosis dalam merawat pasien anda?

Apakah alat diagnosis ini tersedia, dapat Alat diagnosis ini sudah banyak digunakan di
diadakan, tepat, teliti di tempat anda bekerja? pelayanan kesehatan khususnya di rumah sakit
karena mudah dan murah.

Dapatkah anda membuat estimasi Sebelum dilakukan pemeriksaan kita bisa


kemungkinnan sakit sebelum dilakukan membuat estimasi kemungkinan gawat janin
pemeriksaan (dari data-data praktek sehari- Dengan cara sederhana, pemantauan dilakukan
hari, dari pengalaman pribadii, dari laporan melalui analisa keluhan ibu (anamnesis),
atau dari spekulasi klinis)? pemantauan gerak harian janin dengan kartu
gerak janin, pengukuran tinggi fundus uteri
dalam sentimeter, pemantauan denyut jantung
janin (DJJ) dan analisa penyakit pada ibu.

4. Mengevaluasi efektivitas dan efisiensi dalam melaksanakan langkah-langkah 1-4 dan


mencari cara untuk meningkatkan mereka berdua untuk waktu berikutnya.
a. PICO
Contoh :
PICO percobaan cardiotokograpi cocok dengan pertanyaan klinis kita yaitu
bagaimanakah efektifitas pemeriksaan kardiotokograpi untuk mendeteksi kesejahteraan
janin dalam proses persalinan.
b. Validitas Internal
1) Rekrutmen
Contoh :
Pada percobaan cardiotokograpi, subjek direkrut dari awal secara sukarela. Kriteria
inklusi/eksklusi menunjukkan bahwa perekrutan subjek mewakili populasi yang jelas
(ibu hamil tunggal dengan usia kehamilan kurang dari 42 minggu, tidak ada kelainan
janin dan komplikasi kehamilan, suhu tubuh ibu kurang dari 37,5 o C saat masuk dan
bersedia menjadi responden). Ini termasuk penelitian yang besar karena jumlah
responden sebanyak 8580 wanita( Admission CTG= 4298, Usual care=4282). Jumlah
subjek cukup menyediakan sampel yang mewakili.
2) Alokasi
Penempatan kelompok secara acak tetapi metode yang dipakai (amplop tertutup)
bukan metode paling efektif untuk menghilangkan bias penempatan. subjek tahu di
mana kelompoknya berada.
Contoh :
Baik karena bias penempatan ((ibu hamil tunggal dengan usia kehamilan kurang dari
42 minggu, tidak ada kelainan janin dan komplikasi kehamilan, suhu tubuh ibu
kurang dari 37,5o C saat masuk dan bersedia menjadi responden). Terdapat perbedaan
signifikan secara statistik pada peningkatan operasi SC antara 2 kelompok.
3) Maintenance
Sekali subjek ditempatkan ke kelompok, maka semua subjek diatur secara sama,
outcome yang relevan diukur menggunakan metodelogi yang sama untuk kedua
kelompok tersebut, akan tetapi banyak yang hilang pada saat follow upI.
4) Measurement
 Blinding / penyamaran – bidan yang melakukan pemeriksaan dengan
menggunakan gold standar mengetahui keadaan pasien sebelumnya.
 Objectivity /objektivitas – pengukuran outcome tergantung interprestasi dari alat
cardiotocography dan auskultasi intermitten
 Overall / keseluruhan (Validitas internal) : percobaan dilakukan dengan baik
c. Overall/keseluruhan (Validitas internal)
Percobaan dilaksanakan dengan baik tapi memiliki kelemahan metodologi yang bisa
berdampak pada outcomes.
d. Hasil
Contoh :
Hasil menunjukkan perbedaan besar antara kelompok perlakuan dengan kelompok
kontrol, tidak signifikan secara statistik (karena CI melewati angka 1
ARR = 1 – RR
1 - 0,90 = 0,1 (10%;95 CI, 0,75-1,08)
NNT= 1/ARR=1/0,1=10
e. Kesimpulan
Contoh :
Hasil penelitian menunjukkan cardiotocography memiliki dua peran potensial. Pertama,
mungkin bertindak sebagai stress test untuk janin yang mungkin menjadi hipoksia dalam
proses persalinan. Kedua, mungkin mendeteksi dan pelayanan yang cepat dari beberapa
janin yang sudah kronis hypoxic. Sementara itu angka NNT cukup besar (10), sekarang
tinggal seberapa penting keputusan klinis sehubungan dengan konsekuensinya.
f. Level Evidance Based Diagnostic Accuracy
Contoh :
Judul Metode Level
Admission cardiotocography: randomised controlled trial II B
(Murti, 2015).
Jurnal 1

Jurnal 2
Jurnal 1
Total biaya Biaya
Jenis Terapi Efektifitas (%) ACER (Rp) ICER
rata-rata terapi
Terapi Amlodipin 5 mg 293073,0 69,23 % 4233,3 1063,5 8640.0
Terapi Kaptopril 12,5 m 280214,9 57,14 % 4904,0 - 4223.6
Terapi Amlodipin 10 mg 215115,4 57,14 % 3764,7 - 10149.9
Terapi Kaptopril 25 mg 243753,8 50,00 % 4875,1 - 4578.3
Kesimpulan:
Kelompok antihipertensi yang memiliki efektivitas paling baik dalam terapi hipertensi dan paling
hemat biaya adalah antihipertensi golongan CCB yaitu amlodipin baik pada dosis tinggi maupun
dosis rendah.

Jurnal 2
Jenis Terapi Rata-rata biaya Rata-rata lama perawatan Nilai ACER
Captopril Rp. 147.905 3,5 42.258,57
Amlodipine Rp. 111.966 3,4 32.931,28
Kesimpulan :
Obat yang memilki efektivitas paling baik dalam terapi pengobatan penyakit hipertensi dengan
biaya relatif lebih murah adalah antihipertensi golongan CCB yaitu amlodipin dengan Nilai
ACER yang didapatkan sebesar 32.931,28.
4. Komponen-Komponen Farmakoekonomi
A. Prespektif Penilaian
Perspektif penilaian merupakan hal penting dalam Kajian Farmakoekonomi,
karena perspektif yang dipilih menentukan komponen biaya yang harus
disertakan. Seperti yang telah disampaikan, penilaian dalam kajian ini dapat
dilakukan dari tiga perspektif yang berbeda, yaitu:
a. Prespektif masyarakat (societal)
Sebagai contoh Kajian Farmakoekonomi yang mengambil perspektif
masyarakat luas adalah penghitungan biaya intervensi kesehatan, seperti
program penurunan konsumsi rokok, untuk memperkirakan potensi
peningkatan produktivitas ekonomi (PDB, produk domestik bruto) atau
penghematan biaya pelayanan kesehatan secara nasional dari intervensi
kesehatan tersebut.
b. Perspektif kelembagaan (institutional)
Contoh kajian farmakoekonomi yang terkait kelembagaan antara lain
penghitungan efektivitas-biaya pengobatan untuk penyusunan
Formularium Rumah Sakit. Contoh lain, di tingkat pusat, penghitungan
AEB untuk penyusunan DOEN dan Formularium Nasional.
c. Prespektif Individu (individual perspective)
Salah satu contoh kajian farmakoekonomi dari perspektif individu adalah
penghitungan biaya perawatan kesehatan untuk mencapai kualitas hidup
tertentu sehingga pasien dapat menilai suatu intervensi kesehatan cukup
bernilai atau tidak dibanding kebutuhan lainnya (termasuk hiburan).
B. Hasil pengobatan (outcome)
Kajian farmakoekonomi senantiasa mempertimbangkan dua sisi, yaitu
biaya (cost) dan hasil pengobatan (outcome). Kenyataannya, dalam kajian yang
mengupas sisi ekonomi dari suatu obat/pengobatan ini, faktor biaya (cost) selalu
dikaitkan dengan efektivitas (effectiveness), utilitas (utility) atau manfaat
(benefit) dari pengobatan (pelayanan) yang diberikan.
Efektivitas merujuk pada kemampuan suatu obat dalam memberikan
peningkatan kesehatan (outcomes) kepada pasien dalam praktek klinik rutin
(penggunaan sehari-hari di dunia nyata, bukan di bawah kondisi optimal
penelitian). Dengan mengaitkan pada aspek ekonomi, yaitu biaya, kajian
farmakoekonomi dapat memberikan besaran efektivitas-biaya (cost-
effectiveness) yang menunjukkan unit moneter (jumlah rupiah yang harus
dibelanjakan) untuk setiap unit indikator kesehatan baik klinis maupun nonklinis
(misalnya, dalam mg/dL penurunan kadar LDL dan/atau kolesterol total dalam
darah) yang terjadi karena penggunaan suatu obat. Semakin kecil unit moneter
yang harus dibayar untuk mendapatkan unit indikator kesehatan (klinis maupun
non-klinis) yang diinginkan, semakin tinggi nilai efektivitas-biaya suatu obat.
Utilitas merujuk pada tambahan usia (dalam tahun) yang dapat dinikmati
dalam keadaan sehat sempurna oleh pasien karena menggunakan suatu obat.
Jumlah tahun tambahan usia (dibanding kalau tidak diberi obat) dapat dihitung
secara kuantitatif, yang jika dikalikan dengan kualitas hidup yang dapat dinikmati
(katakanlah, setara dengan sekian bagian sehat sempurna) akan memberikan unit
yang disebut Quality Adjusted Life Years-QALY atau ‗jumlah tahun yang
disesuaikan‘ (JTKD). Dikaitkan dengan aspek biaya, Kajian Farmakoekonomi ini
akan memberikan unit utilitas-biaya (cost-utility) yang menunjukkan unit moneter
yang harus dikeluarkan untuk setiap JTKD yang diperoleh. Semakin kecil jumlah
rupiah yang harus dibayar untuk mendapatkan tambahan JTKD, semakin tinggi
utilitas-biaya suatu obat.
Sementara itu, manfaat (benefit) merujuk pada nilai kepuasan yang
diperoleh pasien dari penggunaan suatu obat. Nilai kepuasan ini dinyatakan dalam
besaran moneter setelah dilakukan konversi dengan menggunakan ―nilai rupiah
yang rela dibayarkan untuk mendapat kepuasan tersebut‖ (willingness to pay).
Semakin tinggi willingness to pay relatif terhadap harga riil obat (cost), semakin
layak obat tersebut dipilih
C. Biaya
Dalam kajian farmakoekonomi, biaya selalu menjadi pertimbangan
penting karena adanya keterbatasan sumberdaya, terutama dana. Dalam kajian
yang terkait dengan ilmu ekonomi, biaya (atau biaya peluang, opportunity cost)
didefinisikan sebagai nilai dari peluang yang hilang sebagai akibat dari
penggunaan sumberdaya dalam sebuah kegiatan. Patut dicatat bahwa biaya tidak
selalu melibatkan pertukaran uang. Dalam pandangan pada ahli farmakoekonomi,
biaya kesehatan melingkupi lebih dari sekadar biaya pelayanan kesehatan, tetapi
termasuk pula, misalnya, biaya pelayanan lain dan biaya yang diperlukan oleh
pasien sendiri.
Dalam proses produksi atau pemberian pelayanan kesehatan, biaya dapat
dibedakan menjadi sebagai berikut:
a. Biaya rerata dan biaya marjinal
Biaya rerata adalah jumlah biaya per unit hasil yang diperoleh,
sementara biaya marjinal adalah perubahan biaya atas penambahan atau
pengurangan unit hasil yang diperoleh (Bootman et al., 2005). Sebagai
contoh, jika sebuah cara pengobatan baru memungkinkan pasien pulang
dari rumah sakit sehari lebih cepat dibanding cara pengobatan lama
mungkin akan terpikir untuk menghitung biaya rerata rawat inap sebagai
penghematan sumberdaya. Kenyataannya, semua biaya tetap yang
terhitung ke dalam biaya tetap tersebut (misalnya, biaya laboratorium
tidak mengalami perubahan. Yang berubah hanyalah biaya yang terkait
dengan lamanya pasien dirawat (biaya makan, pengobatan, jasa dokter dan
perawat, inilah biaya marjinal, biaya yang betul-betul megalami
perubahan.
b. Biaya tetap dan baiaya variable
Biaya tetap adalah biaya yang jumlahnya tidak berubah dengan perubahan
kuantitas atau volume produk atau layanan yang diberikan dalam jangka
pendek (umumnya dalam rentang waktu 1 tahun atau kurang), misalnya
gaji karyawan dan depresiasi aset. Sementara itu, biaya variabel berubah
seiring perubahan hasil yang diperoleh, seperti komisi penjualan dan biaya
penjualan obat
c. Biaya tambahan (ancillary cost)
Biaya tambahan adalah biaya atas pemberian tambahan pelayanan pada
suatu prosedur medis, misalnya jasa laboratorium, skrining sinar-X, dan
anestesi.
d. Biaya Total
Biaya total adalah biaya keseluruhan yang harus dikeluarkan untuk
memproduksi serangkaian pelayanan kesehatan.

Biaya untuk perawatan kesehatan seringkali bukan hanya biaya obat


ditambah biaya langsung lain. Selain berbagai biaya langsung tersebut, ada pula
biaya tidak langsung yang harus ditanggung, termasuk biaya transportasi,
hilangnya produktivitas karena pasien tidak bekerja, dan lain- lain termasuk
depresi dan rasa sakit yang sangat sulit dikonversikan ke unit moneter.

a. Biaya langsung
Biaya langsung adalah biaya yang terkait langsung dengan perawatan
kesehatan, termasuk biaya obat (dan perbekalan kesehatan), biaya
konsultasi dokter, biaya jasa perawat, penggunaan fasilitas rumah sakit
(kamar rawat inap, peralatan), uji laboratorium, biaya pelayanan informal
dan biaya kesehatan lainnya. Dalam biaya langsung, selain biaya medis,
seringkali diperhitungkan pula biaya non-medis seperti biaya ambulan dan
biaya transportasi pasien lainnya.
b. Biaya tidak langsung
Biaya tidak langsung adalah sejumlah biaya yang terkait dengan hilangnya
produktivitas akibat menderita suatu penyakit, termasuk biaya
transportasi, biaya hilangnya produktivitas, biaya pendamping (anggota
keluarga yang menemani pasien).
c. Biaya nirwujud (intangible cost)
Biaya nirwujud adalah biaya-biaya yang sulit diukur dalam unit moneter,
namun sering kali terlihat dalam pengukuran kualitas hidup, misalnya rasa
sakit dan rasa cemas yang diderita pasien dan/atau keluarganya
d. Biaya terhindarkan (averted cost, avoided cost)
Biaya terhindarkan adalah potensi pengeluaran yang dapat dihindarkan
karena penggunaan suatu intervensi kesehatan.

Selain itu, masih ada beberapa istilah biaya lainnya yang bersifat teknis
terkait dengan perawatan kesehatan. Beberapa biaya yang juga sering
diperhitungkan dalam telaah ekonomi kesehatan tersebut antara lain

a. Biaya perolehan
Biaya perolehan adalah biaya atas pembelian obat, alat kesehatan dan/atau
intervensi kesehatan, baik bagi individu pasien maupun institusi
b. Biaya yang diperkenankan
Biaya yang diperkenankan adalah biaya atas pemberian pelayanan atau
teknologi kesehatan yang masih dapat ditanggung oleh penyelenggara
jaminan kesehatan atau pemerintah pasien maupun institusi
c. Biaya pengeluaran
Biaya pengeluaran sendiri adalah porsi biaya yang harus dibayar oleh
individu pasien dengan uangnya sendiri. Sebagai contoh, iur biaya peserta
asuransi kesehatan
d. Biaya peluang
Biaya peluang adalah biaya yang timbul akibat pengambilan suatu pilihan
yang mengorbankan pilihan lainnya. Bila seorang pasien memutuskan
untuk membeli obat A, dia akan terkena biaya peluang karena tak dapat
menggunakan uangnya untuk hal terbaik lainnya, termasuk pendidikan,
hiburan, dan sebagainya
D. Metode analisis dalam kajian farmakoekonomi

E. Analisis efektifitas biaya (AEB)


a. Membandingkan dua atau lebih jenis obat dari kelas terapi yang sama
tetapi memberikan besaran hasil pengobatan berbeda, misalnya dua obat
antihipertensi yang memiliki kemampuan penurunan tekanan darah
diastolik yang berbeda
b. Membandingkan dua atau lebih terapi yang hasil pengobatannya dapat
diukur dengan unit alamiah yang sama, walau mekanisme kerjanya
berbeda, misalnya obat golongan proton pump inhibitor dengan H2
antagonist untuk reflux oesophagitis parah.

Pada AEB, biaya intervensi kesehatan diukur dalam unit moneter (rupiah)
dan hasil dari intervensi tersebut dalam unit alamiah/indikator kesehatan baik
klinis maupun non klinis (non-moneter). Tidak seperti unit moneter yang
seragam atau mudah dikonversikan, indikator kesehatan sangat beragam—
mulai dari mmHg penurunan tekanan darah diastolik (oleh obat
antihipertensi), banyaknya katarak yang dapat dioperasi dengan sejumlah
biaya tertentu (dengan prosedur yang berbeda), sampai jumlah kematian yang
dapat dicegah (oleh program skrining kanker payudara, vaksinasi meningitis,
dan upaya preventif lainnya).

Pada penggunaan metode AEB perlu dilakukan penghitungan rasio biaya


rerata dan rasio inkremental efektivitas-biaya (RIEB = incremental cost-
effectiveness ratio/ICER). Dengan RIEB dapat diketahui besarnya biaya
tambahan untuk setiap perubahan satu unit efektivitasbiaya. Selain itu, untuk
mempermudah pengambilan kesimpulan alternatif mana yang memberikan
efektivitas-biaya terbaik, pada kajian dengan metode AEB dapat digunakan
tabel efektivitas-biaya.

Kelompok Alternatif berdasarkan Efektivitas-biaya

a. Posisi dominan  kolom G (Juga kolom D dan H)


Jika suatu intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih tinggi dengan
biaya sama (Kolom H) atau efektivitas yang sama dengan biaya lebih
rendah (Kolom D), dan efektivitas lebih tinggi dengan biaya lebih rendah
(Kolom G), pasti terpilih sehingga tak perlu dilakukan AEB.
b. Posisi didominasi  kolom C (JUGA Kolom B dan F)
Sebaliknya, jika sebuah intervensi kesehatan menawarkan efektivitas lebih
rendah dengan biaya sama (Kolom B) atau efektivitas sama dengan biaya
lebih tinggi (Kolom F), apalagi efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih
tinggi (Kolom C), tidak perlu dipertimbangkan sebagai alternatif, sehingga
tak perlu pula diikutsertakan dalam perhitungan AEB.
c. Posisi seimbang  kolom E
Sebuah intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas dan biaya yang
sama (Kolom E) masih mungkin untuk dipilih jika lebih mudah diperoleh
dan/atau cara pemakaiannya lebih memungkinkan untuk ditaati oleh
pasien, misalnya tablet lepas lambat yang hanya perlu diminum 1 x sehari
versus tablet yang harus diminum 3 x sehari. Sehingga dalam kategori ini,
ada faktor lain yang perlu dipertimbangkan di samping biaya dan hasil
pengobatan, misalnya kebijakan, ketersediaan, aksesibilitas, dan lain-lain.
d. Posisi yang memerlukan pertimbangan efektivitas-biaya  kolom A dan I
Jika suatu intervensi kesehatan yang menawarkan efektivitas yang lebih
rendah dengan biaya yang lebih rendah pula (Kolom A) atau, sebaliknya,
menawarkan efektivitas yang lebih tinggi dengan biaya yang lebih tinggi,
untuk melakukan pemilihan perlu memperhitungkan RIEB.

Diagram Efektivitas-Biaya

a. Menurut diagram ini, jika suatu intervensi kesehatan memiliki


efektivitas lebih tinggi tetapi juga membutuhkan biaya lebih tinggi
dibanding intervensi standar, intervensi alternatif ini masuk ke
Kuadran I (Tukaran, Trade-off). Kuadran I memerlukan
pertimbangan sumberdaya (terutama dana) yang dimiliki, dan
semestinya dipilih jika sumberdaya yang tersedia mencukupi.
b. Suatu intervensi kesehatan yang menjanjikan efektivitas lebih
rendah dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi
standar juga masuk kategori Tukaran, tetapi di Kuadran III.
Pemilihan intervensi alternatif yang berada di Kuadran III
memerlukan pertimbangan sumberdaya pula, yaitu jika dana yang
tersedia lebih terbatas.
c. Jika suatu intervensi kesehatan memiliki efektivitas lebih tinggi
dengan biaya yang lebih rendah dibanding intervensi standar,
intervensi alternatif ini masuk ke Kuadran II (Dominan) dan
menjadi pilihan utama. Sebaliknya, suatu intervensi kesehatan
yang menawarkan efektivitas lebih rendah dengan biaya lebih
tinggi dibanding intervensi standar, dengan sendirinya tak layak
untuk dipilih
F. Analisis Utilitas-Biaya (AUB)
Metode analisis utilitas-biaya (AUB) mirip dengan AEB, tetapi hasil (outcome)-
nya dinyatakan dengan utilitas yang terkait dengan peningkatan kualitas atau
perubahan kualitas akibat intervensi kesehatan yang dilakukan
a. Utilitas (utility)
Analisis utilitas-biaya (AUB) menyatakan hasil dari intervensi sebagai
utilitas atau tingkat kepuasan yang diperoleh pasien setelah mengkonsumsi
suatu pelayanan kesehatan, misalnya setelah mendapatkan pengobatan
kanker atau penyakit jantung. Unit utilitas yang digunakan dalam Kajian
Farmakoekonomi biasanya ‗Jumlah Tahun yang Disesuaikan‘ (JTKD)
atau quality-adjusted life years (QALY).
b. Kualitas hidup (quality of life)
Kualitas hidup dalam AUB diukur dengan dua pendekatan, yaitu
pendekatan kuantitas (duration of life) dan pendekatan kualitas (quality of
life). (Bootman et al., 1996). Kualitas hidup merupakan sebuah konsep
umum yang mencerminkan keadaan yang terkait dengan modifikasi dan
peningkatan aspek-aspek kehidupan, yaitu fisik, politik, moral dan
lingkungan sosial.
c. Qaly (quality adjusted life years)
Quality-adjusted life years (QALY) atau ‗Jumlah Tahun yang
Disesuaikan‘ (JTKD) adalah suatu hasil yang diharapkan dari suatu
intervensi kesehatan yang terkait erat dengan besaran kualitas hidup. Pada
QALY, pertambahan usia (dalam tahun) sebagai hasil intervensi
disesuaikan nilainya dengan kualitas hidup yang diperoleh
G. Analisis manfaat-biaya
Analisis Manfaat Biaya (AMB - cost benefit-analysis, CBA) adalah suatu
teknik analisis yang diturunkan dari teori ekonomi yang menghitung dan
membandingkan surplus biaya suatu intervensi kesehatan terhadap manfaatnya.
Untuk itu, baik surplus biaya dan manfaat diekspresikan dalam satuan moneter
(misal. Rupiah, US Dollar).
Suatu program kesehatan selalu diperbandingkan dengan beberapa
alternatif, baik dengan program/intervensi kesehatan lainnya maupun dengan
tidak memberikan program/ intervensi. Nilai manfaat dari suatu
program/intervensi adalah meningkatnya hasil pengobatan (outcome) bila
dibandingkan dengan hasil serupa dari program / intervensi lain. Outcome dapat
berupa nilai terkait pasien (misal : kesembuhan, pulihnya abilitas fisik, dll), nilai
pilihan (manfaat keberadaan program/intervensi saat dibutuhkan), dan nilai
altruistik (manfaat peningkatan kesehatan orang lainnya). Parameter outcome
diukur dengan satuan moneter (mata uang), umumnya dengan Kemauan untuk
Membayar (Willingness to Pay, WTP). Dan untuk menghitung surplus biaya
program/intervensi, biaya dari program / intervensi dan hal-hal terkaitnya (misal.
obat, dokter, rumah sakit, home care, biaya pasien dan keluarga, biaya kehilangan
produktivitas, biaya lain karena hilangnya waktu, dll) dikurangi biaya yang serupa
dari program/intervensi lainnya.
Dasar dari AMB adalah surplus manfaat, yaitu manfaat yang diperoleh
dikurangi dengan surplus biaya. Surplus manfaat adalah kriteria dasar dalam
AMB. Bila surplus manfaat suatu intervensi/program bernilai positif, maka
umumnya intervensi/program tersebut dapat diterima untuk dilaksanakan
AMB menggunakan perspektif sosial (masyarakat) dan mencakup seluruh
biaya dan manfaat yang relevan. Namun, perhitungan dari biaya (terutama biaya
tidak langsung) yang terkait biasanya diperdebatkan/ kontroversial. AMB jarang
digunakan untuk membandingkan obat atau alternatif terapi medis karena
pertimbangan etika. Penilaian kondisi kesehatan menggunakan nilai moneter dan
metode yang dipakai untuk hal tersebut seringkali diperdebatkan.
AMB memiliki dua keuntungan, yang salah satunya bersifat unik/khas
AMB. Keuntungan pertama, AMB memungkinkan adanya perbandingan antara
program/intervensi dengan outcome yang sangat berbeda (misal. program klinik
antikoagulan atau program klinik antidiabetes), sehingga memungkinkan
perbandingan dengan nilai moneter antar program/ intervensi yang sama sekali
tidak berkaitan. Ketentuan pengambilan keputusannya adalah memilih
program/intervensi dengan surplus manfaat yang paling besar.
Kesulitan AMB adalah melakukan konversi/menerjemahkan kondisi klinis
non-moneter dan outcome kualitas hidup (misal. tahun hidup terselamatkan)
menjadi nilai moneter. Lebih lanjut, metode yang umum digunakan untuk
melakukan konversi/ penerjemahan tersebut Kemauan untuk Membayar
(Willingness to Pay, WTP) mengundang perdebatan etika karena condong kepada
preferensi kekayaan. Oleh karenanya, teknik analisa ini tidak umum digunakan
dalam perumusan kebijakan kesehatan
AMB umumnya dilakukan berdasarkan model dan menggunakan asumsi-
asumsi yang signifikan. Oleh karenanya, perlu dilakukan analisa sensitivitas
untuk memvalidasi model dan asumsi yang digunakan serta untuk menilai
kekuatan dari hasil analisisnya
H. Penyesuaian nilai (discounting)
Interpretasi hasil kajian farmakoekonomi seringkali mengkaitkan durasi
waktu (time horizon) yang panjang. Hasil perhitungan rasio manfaat terhadap
biaya biasanya melibatkan durasi waktu lebih dari setahun, terutama pada terapi-
terapi yang hasilnya baru dapat dinikmati dalam jangka panjang, misalnya
imunisasi. Di sisi lain, masyarakat umumnya lebih mengharapkan manfaat
tersebut dapat diterima segera, pada saat ini, sehingga nilai suatu parameter baik
biaya maupun efektivitas terapi harus dapat diinterpretasikan untuk kondisi masa
sekarang.
Untuk mendapatkan nilai sekarang atau nilai saat ini, diperlukan
penyesuaian nilai dengan faktor koreksi yang disebut discounting. Didasarkan
pada tingkat inflasi, baik yang telah terjadi (retrospektif) maupun yang diharapkan
(prospektif) faktor koreksi ini dapat digunakan untuk menyesuaikan nilai pada
masa lalu maupun masa datang menjadi nilai saat ini. Dengan menghitung nilai
saat ini (atau nilai pada tahun tertentu yang sama), dapat dilakukan pembandingan
biaya dan/atau hasil yang setara (apple to apple). Untuk sebagian kajian
farmakoekonomi yang memiliki dampak pengobatan jangka panjang memerlukan
informasi discounting. Untuk pengobatan jangka waktu kurang dari satu tahun
tidak memerlukan penyesuaian nilai atau discounting.
Untuk mendapatkan nilai sekarang atau nilai saat ini, diperlukan
penyesuaian nilai dengan faktor koreksi yang disebut discounting. Tingkat
diskonto (discounting rate) tidak sama dengan tingkat inflasi; keduanya berbeda
secara konsep. Inflasi menggambarkan perubahan harga, sementara discounting
terkait dengan preferensi waktu yang diperhitungkan dengan nilai uang.
I. Analisis sensitivitas
Kajian farmakoekonomi memperhitungkan aspek ketidakpastian (uncertainty)
dari berbagai data yang digunakan maupun dihasilkan. Ketidakpastian timbul
antara lain karena:
a. Kurangnya ketersediaan data, sehingga prediksi yang dihasilkan kurang
tajam (precise)
b. Hasil Kajian terhadap parameter umumnya berupa nilai diskrit (single
point, misalnya rerata), sementara dalam realita parameter tersebut berupa
nilai kontinyu yang terdistribusi acak dalam suatu kisaran tertentu.
c. Model analisis yang digunakan, misalnya yang terkait dengan metode
pengkombinasian parameter atau penggeneralisasian hasil kajian.

Metoda yang paling sederhana, analisis sensitivitas satu arah, dilakukan


dengan mengubah nilai suatu variabel dalam kisaran yang memungkinkan dengan
menjaga nilai variabel lainnya konstan. Hasil metode analisis sensitivitas satu
arah ini sering ditampilkan dalam diagram tornado, dimana variabel yang
berdampak paling besar ditempatkan di puncak diagram, dan seterusnya sampai
ke bawah sesuai urutan besarnya dampak (Kemenkes, 2013)

5. Mahasiswa mampu menghitung cost effectiveness analysis pada kasus

ICER =
Jurnal 1
Total biaya Biaya
Jenis Terapi Efektifitas (%) ACER (Rp) ICER
rata-rata terapi
Terapi Amlodipin 5 mg 293073,0 69,23 % 4233,3 1063,5 8640.0
Terapi Kaptopril 12,5 m 280214,9 57,14 % 4904,0 - 4223.6
Terapi Amlodipin 10 mg 215115,4 57,14 % 3764,7 - 10149.9
Terapi Kaptopril 25 mg 243753,8 50,00 % 4875,1 - 4578.3

Jurnal 1
Keteranngan
A = Amlodipin 5 mg
B = Kaptopril 12,5
Diketahui:
Biaya obat amlodipine 5 mg : 293.073 Efektifitas (%) : 69,23
Biaya obat Kaptopril 12,5 mg : 280.214 Efektifitas (%) :57,14
ICER = = 1063,5

Keterangan
A = Amlodipin 10 mg : 215115,4 Efektifitas (%) : 57,14
B = Kaptopril 25 mg : 243753,8 Efektifitas (%) : 50,00

ACER =

a. Amlodipine 5 mg
= 4233,3

b. Kaptopril 12,5 m
4904,0

c. Amlodipin 10 mg
3764,7

d. Kaptopril 25 mg
4875,1
Jurnal 2
Jenis Terapi Rata-rata biaya Rata-rata lama perawatan Nilai ACER
Captopril Rp. 147.905 3,5 42.258,57
Amlodipine Rp. 111.966 3,4 32.931,28
Kesimpulan :
Obat yang memilki efektivitas paling baik dalam terapi pengobatan penyakit hipertensi dengan
biaya relatif lebih murah adalah antihipertensi golongan CCB yaitu amlodipin dengan Nilai
ACER yang didapatkan sebesar 32.931,28.

Jurnal 2
Keteranngan
A = Amlodipin (diusulkan)
B = Kaptopril (obat lama)
Diketahui:
Biaya obat amlodipine : 111.966 Efektifitas (%) : 3,4
Biaya obat Kaptopril : 147.905 Efektifitas (%) :3,5
ICER = = Rp 359,390/QLAYs

Keterangan
Biaya obat Amlodipin : 111.966 Efektifitas (%) : 3,4
Biaya obat Kaptopril : 147.905 Efektifitas (%) : 3,5

ACER =

a. Amlodipine
= Rp. 32.931/QLAYs

b. Kaptopril

Rp. 42.258,75/QLAYs
6. Interpretasikan Hasil Cost Effectiveness Analisis Pada Kasus

Judul Jurnal Kesimpulan Interpretasi


Analisis Efektivitas Kelompok antihipertensi yang Amlodipine dengan efektifitas paling
Biaya Penggunaan memiliki efektivitas paling tinggi dan dengan biaya rendah maka
Amlodipin baik dalam terapi hipertensi dapat digolongkan pada kolom G
Dibandingkan dan paling hemat biaya adalah (dominan) yang artinya pasti terpilih
Kaptopril Pada Pasien antihipertensi golongan CCB sehingga tak perlu dilakukan AEB
Hipertensi Di Rsud yaitu amlodipin baik pada (Analisis efektifitas biaya).
Majene dosis tinggi maupun dosis ACER menunjukkan biaya rata-rata
rendah. yang yang dibutuhkan untuk
mendapatkan satu outcome terapi. Dari
hasil perhitungan nilai ACER tersebut
dapat kita lihat bahwa nilai ACER
captopril sebesar Rp 42.258,57/QLAYs
dengan outcome terapi 3,5% dan nilai
ACER amlodipin yaitu Rp
32.931,28/QLAYs dengan outcome
terapi 3,4%. Dari hasil tersebut dapat
dinyatakan bahwa obat amlodipin lebih
cost-effective dibandingkan dengan
obat captopril, karena nilai ACER dari
amlodipin lebih rendah dibandingkan
dengan nilai ACER obat captopril.
Semakin kecil nilai ACER maka
semakin cost-effective obat tersebut.
Dengan perhitungan ACER dipilih
alternatif dengan biaya lebih rendah
untuk setiap outcome yang diperoleh.
ICER merupakan besarnya biaya
tambahan yang diperlukan atau biaya
tambahan yang akan dikeluarkan untuk
memperoleh 1% penurunan tekanan
darah. ICER yang diperoleh sebesar Rp.
359,390/QLAYs
Analisis Efektivitas Obat yang memilki efektivitas Amlodipine dengan efektifitas paling
Biaya Terapi Penyakit paling baik dalam terapi tinggi dan dengan biaya rendah maka
Hipertensi Dengan pengobatan penyakit hipertensi dapat digolongkan pada kolom G
Perbandingan Terapi dengan biaya relatif lebih (dominan) yang artinya pasti terpilih
Obat Amlodipin Dan murah adalah antihipertensi sehingga tak perlu dilakukan AEB
Captopril Di Rumah golongan CCB yaitu amlodipin (Analisis efektifitas biaya).
Sakit Wirabuana Palu dengan Nilai ACER yang Nilai ACER dari amlodipim adalah
didapatkan sebesar 32.931,28. 32.931,28/QLAYs dan lebih kecil
dibandingkan nilai ACER captopril
(42.258,57) maka dapat dikatakan
Amlodipin lebih Cost Effectiveness di
banding dengan Captopril.
Rekomendasi : Amlodipin diusulkan
sebagai obat baru di formularium
Rumah Sakit.
LAMPIRAN (Notulensi Pertemuan Ke-2)

a. Mahasiswa mampu mengetahui alur pengusulan dan penambahan obat baru kedalam
formularium Rumah Sakit
Wahyu:
Kriteria penambahan obat rs:
Memiliki izin edar, generic, obat yang lebih efektif dan aman dengan pertimbangan

Nuraini:

Bella : mengajukan ke KFT, mengisi formulir, permohonan pengajuan obat, mekanisme,


alasan pengusulan obat, bukti ilmiah penambahan obat tersebut

Wahyu : pertimbangan penambahan dan pengurangan obat  terciptanya formularium


yang sesuai untuk mengurasngi kesalahan, dengan pertimbangan efektifitas, resiko obat
yang digunakan dan biaya yang digunakan.
Riani : isi formularium: harus sesuai dengan pola penyakit rs, populasi, dan gejala pasien
sesuai dengan kelas terapi

Sari: bertanya: kapan pengajuan obat baru?


Melati : obat baru dengan efektifitas yang lebih baik.
Daya : pemantauan obat lama terlebih dahulu, jika terdapat ketidakefektifitasan maka
dapat diganti dan pengajuan obat baru ke dalam formularium.

b. Mahasiswa mampu mengetahui tugas dan peran kft


Wa ode :
Pemberi rekomendasi  KFT (Dokter, apoteker dan tenaga medis lain).
Ketua : memmpin kft, mengkoordinasi dalam penyususunan formularium
Sekretaris : mengajukan agenda yang akan di bahas, usulan pokok, pencatatan
rekomendasi,penyusunan kasjian, jadwal, melaksanakan keputusan
Analisis desimisasi farmakoekonomi, menganalisis data dengan pertimbangan kemanaan
dan kefektifitasan

Retno : tugas KFT


Terapi : menyusun proker yang di setujui direktur, membuat kebijakan penggunaan obat
di rs, seleski obat yang akan di masukkan ke formualrium, identtifkasi permasalahan
dalam penggunaan obat.
Mustika : wewenang  menentukan standarisasi kebjakan di rs
Kebijakan  melaksanakan sesaui dengan prosedur di rs

c. Mahasiswa mampu mengetahui penelusuran artikel ilmiah berdasarkan EBM pada kasus
Langkah :
(Presentasi masing-masing hasil pencaria dan penelusuran Artikel ilmiah)

d. Mahasiswa mampu menjabarkan komponen-komponen yang termasuk dalam cost


effectiveness analisis
Melati : data biaya  3 prespektif (masyarakat, kelembagaan dan individu)
Data hasil pengobatan : (klinis dan humanistic ) hasil pengoabatn antara : tekanan darah
Humanistic : Quals
Ekonomi : besarnya penghematan biasa (rp) (biya tetap, langsung tidak langsusng, biaya
total dan biaya satuan)

Daya : biaya umum  biaya rata-rata dan marginal


Biaya rata-rata  jumlah biaya per unit
Biaya marginal  perubahan biaya atas penambahan atau pengurangan unit yang
diperoleh
Tetap  jumlahnya tidak berubah

variable baiaya yang dapat berubah


Biaya tambahan  opsional (data lab)
Biaya total  keseluruhan

Nurmila :
Biaya langsung : biaya perlatan, obat, konsultasi
Biaya tidak langsung : hilangnya produktifitas terhadap penyakit (transportasi,
pendampingan selama sakit, nirwujud yang sulit di ukur yang apat diukur dalam bentuk
kualitas hidup)
Biaya perolehan : pembelian obat, alat-alat kesehatan atau intervensi keshatan
Biaya pengeluran sendiri : iuran untuk jaminan kesehatan (BPJS)
Biaya terhindarkan : dapat di hindarkan karena ada intervensi

Wa ode:
CMA  membandingkan generik yang berlogo dan ber merek
CEA  membandingkan 2 atau lebih terapi dengan membandingkan unit alenia yang
sama
CUA  membandingkan biaya dengan kualitas hidup
CBAmembandingkan manfaat dengan biaya yang dikeluarkan untuk pengobatan

Bella :
Coi : memperkirakan biaya yang disebabkan oleh suatu penyakit di suatu populasi
Cea : analisis untuk membandingkan biaya dan hasil, dari 2 atau lebih

e. Mahasiswa mampu menghitung cost effectiveness dari kasus tersebut

Jurnal 1
Keteranngan
A = Amlodipin 5 mg
B = Kaptopril 12,5
Diketahui:
Biaya obat amlodipine 5 mg : 293.073 Efektifitas (%) : 69,23
Biaya obat Kaptopril 12,5 mg : 280.214 Efektifitas (%) :57,14
ICER = = 1063,5

Keterangan
A = Amlodipin 10 mg : 215115,4 Efektifitas (%) : 57,14
B = Kaptopril 25 mg : 243753,8 Efektifitas (%) : 50,00

ACER =

a. Amlodipine 5 mg
= 4233,3

b. Kaptopril 12,5 m
4904,0

c. Amlodipin 10 mg
3764,7

d. Kaptopril 25 mg

4875,1

Jurnal 2
Keteranngan
A = Amlodipin (diusulkan)
B = Kaptopril (obat lama)
Diketahui:
Biaya obat amlodipine : 111.966 Efektifitas (%) : 3,4
Biaya obat Kaptopril : 147.905 Efektifitas (%) :3,5

ICER = = Rp 359,390/QLAYs

Keterangan
Biaya obat Amlodipin : 111.966 Efektifitas (%) : 3,4
Biaya obat Kaptopril : 147.905 Efektifitas (%) : 3,5

ACER =

a. Amlodipine
= Rp. 32.931/QLAYs

b. Kaptopril
Rp. 42.258,75/QLAYs
f. Mahasiswa mampu menginterpretasikan hasil dari cost effectiveness pada kasus
Judul Jurnal Kesimpulan Interpretasi
Analisis Efektivitas Kelompok antihipertensi yang Amlodipine dengan efektifitas paling
Biaya Penggunaan memiliki efektivitas paling tinggi dan dengan biaya rendah maka
Amlodipin baik dalam terapi hipertensi dapat digolongkan pada kolom G
Dibandingkan dan paling hemat biaya adalah (dominan) yang artinya pasti terpilih
Kaptopril Pada Pasien antihipertensi golongan CCB sehingga tak perlu dilakukan AEB
Hipertensi Di Rsud yaitu amlodipin baik pada (Analisis efektifitas biaya).
Majene dosis tinggi maupun dosis ACER menunjukkan biaya rata-rata
rendah. yang yang dibutuhkan untuk
mendapatkan satu outcome terapi. Dari
hasil perhitungan nilai ACER tersebut
dapat kita lihat bahwa nilai ACER
captopril sebesar Rp 42.258,57/QLAYs
dengan outcome terapi 3,5% dan nilai
ACER amlodipin yaitu Rp
32.931,28/QLAYs dengan outcome
terapi 3,4%. Dari hasil tersebut dapat
dinyatakan bahwa obat amlodipin lebih
cost-effective dibandingkan dengan
obat captopril, karena nilai ACER dari
amlodipin lebih rendah dibandingkan
dengan nilai ACER obat captopril.
Semakin kecil nilai ACER maka
semakin cost-effective obat tersebut.
Dengan perhitungan ACER dipilih
alternatif dengan biaya lebih rendah
untuk setiap outcome yang diperoleh.
ICER merupakan besarnya biaya
tambahan yang diperlukan atau biaya
tambahan yang akan dikeluarkan untuk
memperoleh 1% penurunan tekanan
darah. ICER yang diperoleh sebesar Rp.
359,390/QLAYs
Analisis Efektivitas Obat yang memilki efektivitas Amlodipine dengan efektifitas paling
Biaya Terapi Penyakit paling baik dalam terapi tinggi dan dengan biaya rendah maka
Hipertensi Dengan pengobatan penyakit hipertensi dapat digolongkan pada kolom G
Perbandingan Terapi dengan biaya relatif lebih (dominan) yang artinya pasti terpilih
Obat Amlodipin Dan murah adalah antihipertensi sehingga tak perlu dilakukan AEB
Captopril Di Rumah golongan CCB yaitu amlodipin (Analisis efektifitas biaya).
Sakit Wirabuana Palu dengan Nilai ACER yang Nilai ACER dari amlodipim adalah
didapatkan sebesar 32.931,28. 32.931,28/QLAYs dan lebih kecil
dibandingkan nilai ACER captopril
(42.258,57) maka dapat dikatakan
Amlodipin lebih Cost Effectiveness di
banding dengan Captopril.
Rekomendasi : Amlodipin diusulkan
sebagai obat baru di formularium
Rumah Sakit.
DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI, 2013. Pedoman Penerapan Kajian Farmakoekonomi. Jakarta: Kemenkes RI.

Kemenkes RI. 2014. Pedoman Penyusunan Formularium Rumah Sakit. Jakarta: Kemenkes RI

Rusli. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Farmasi: Farmasi Rumah Sakit Dan Klinik, Cetakan Pertama.
Jakarta: Pusdik Sdm Kesehatan

Maulana, Andi. 2021, Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Amlodipin Dibandingkan Kaptopril
Pada Pasien Hipertensi Di Rsud Majene. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina, 6(2), Oktober 2021, 262-
271 P-Issn: 2502-647x; E-Issn: 2503-1902

Murti B., 2015, Pengantar Evidence-Baced Medicine, FK UNS: Solo.

Paul A. 2008, Cost-Effectiveness Of Chlorthalidone, Amlodipine, And Lisinopril As First-Step Treatment


For Patients With Hypertension: An Analysis Of The Antihypertensive And Lipid-Lowering
Treatment To Prevent Heart Attack Trial. Society Of General Internal Medicine 2008.

Wirawan, Wayan. 2020. Analisis Efektivitas Biaya Terapi Penyakit Hipertensi Dengan Perbandingan
Terapi Obat Amlodipin Dan Captopril Di Rumah Sakit Wirabuana Palu. Farmasi 2020;5(1): 1-6
E-Issn : 2657-0408.

Anda mungkin juga menyukai