Anda di halaman 1dari 15

Makalah

SEJARAH PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM ABU YUSUF


Diajukan sebagai salah satu tugas Mata Kuliah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung
Oleh :
ALFA ROHMATIN
2022020121

Dosen Pengampu
Dr Dedah Jubaedah, M,Si.

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI


SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2022
BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan ekonomi islam tidak pernah lepas dari sejarah pemikiran para ahli yang
terjadi pada masa lampau. Sejarah merupakan suatu potret yang telah terjadi pada masa
lalu, sejarah selalu menjadi perbincangan yang akan terus berjalan hingga paripurna
kehidupan kita di dunia. Dimensi masa lalu dengan segala persoalannya dari zaman
kapanpun selalu saja sampai kepada manusia berikutnya dalam bentuk kebaikan untuk
diteladani maupun sesuatu yang buruk sebagai pelajaran untuk tidak dilakukan kembali.
Tidak bisa di pungkiri bahwa keterlibatan pemikir-pemikir muslim dalam menuangkan
pemikiran nya terhadap keberlangsungan ekonomi secara islami terus menerus berjalan
seiringnya waktu, meskipun ada zaman dimana belum adanya pemisahan disiplin
keilmuan, menjadikan pemikir muslim melihat fenomena masyarakat lebih integratif. Hal
ini disebabkan karena cara pandang keilmuan mereka yang dimiliki membentuk cara
berpikir untuk menyelesaikan masalah, masalah masyarakat menjadi dasar bagi mereka
membentuk penyelesaian di bidang ekonomi, politik, sosial, budaya, kesehatan dan lain-
lain.
Dewasa ini kita lebih sering mengenal ataupun mendengar Adam Smith dan para tokoh
ekonomi lainnya yang berasal dari barat, akan tetapi kita belum terlalu mengenal ataupun
mendengar bahwa islam pun mempunyai tokoh ekonomi awal (klasik), seperti al-ghazali,
abu ubaid, abu yusuf dan dsb. Menampilkan pemikiran ekonomi para cendekiawan Muslim
terkemuka akan memberikan kontribusi positif bagi umat Islam, setidaknya dalam dua hal,
pertama, membantu menemukan berbagai sumber pemikiran ekonomi Islam kontemporer
dan kedua, memberikan kemungkinan kepada kita untuk mendapatkan pemahaman yang
lebih baik mengenai perjalanan pemikiran Islam selama ini.
Oleh karenanya menarik untuk dibicarakan satu tokoh ekonomi islam yang sangat luar
biasa pada masanya, yaitu abu yusuf yang terkenal dengan kitab al-kharaj nya, yang hidup
semasa Daulah Abassiyah yaitu pada masa kerajaan Khalifah Harun Al-Rasyid. Kitab ini
berisi tentang berbagai ketentuan tentang sistem ekonomi terutama dalam hal kharaj, usyur,
shadaqah, dan jawali. Tentu akan menarik jika pemikiran-pemikiran Abu yusuf tersebut
dibahas secara lebih lanjut.
BAB II

PEMBAHASAN
1. Sejarah kehidupan Abu Yusuf
Nama lengkap beliau adalah Abu Yusuf Ya’kub Bin Ibrahim Bin Habib Al-
Anshari. Beliau lahir di Kufah, Irak, pada tahun 113H/731M dan wafat di Baghdad
pada tahun 182 H/798 M. Beliau adalah sahabat sekaligus murid dari Abu Hanifah.
Beliau adalah ketua mahkamah agung pada masa Daulah Abbasiyah, seorang ahli fikir,
ahli tafsir, ahli hadits, sejarawan, sastrawan dan seorang teolog di Irak. Beliau berasal
dari suku Bujailah, salah satu suku bangsa Arab. Keluarganya disebut al-Anshari karena
dari pihak ibu masih masih mempunyai hubungan dengan kaum anshar.
Sejak kecil beliau memiliki minat ilmiyah yang tinggi, tetapi kelemahan
ekonomi orang tuanya memaksa beliau ikut bekerja mencari nafkah. Beliau sangat giat
belajar dan banyak meriwayatkan hadits sehingga banyak ahli hadits yang memujinya
dala hal periwayatan. Beliau meriwayatkan hadits dari gurunya antara lain Hisyam Bin
Urwah, Abu Ishaq Asy-Syaibani, Ata’ Bin Sa’ib, dan orang-orang yang sejajar dan
sezaman dengan mereka. Dalam hal belajar beliau menunjukkan kemampuan yang
tinggi sebagai ahlu ar-ra’yi yang dapat menghapal sejumlah besar hadits.
Beliau sangat terarik untuk mendalami ilmu fiqih. Beliau mulai belajar fiqih
pada Ibnu Abi Laila dan kemudian kepada Imam Abu Hanifah, pendiri Madzhab
Hanafi. Karena kecerdasan beliau, Abu hanifah berharap Abu Yusuf akan
menggantikannya sebagai penyebar madzhab Hanafi setelah beliau wafat. Abu Hanifah
pernah memuji beliau bahwa jika Abu Hanifah tidak mempunyai murid selain Abu
Yusuf maka itu sudah cukup menjadi kebangggan bagi umat manusia. Setelah Abu
Hanifah wafat maka Abu Yusuf menggantikan kedudukan gurunya pada perguruan
Imam Abu Hanifah selama 16 tahun dan tidak berhubungan dengan kegiatan
pemerintahan.
Hubungan Abu yusuf dengan Abu Hanifah bukanlah hubungan seseorang yang
bertaqlid dengan orang yang ditaqlidi, tetapi hubungan antara seorang murid dengan
seorang guru yang disertai dengan kebebasan berfatwa dan berijtihad. Abu Yusuf tidak
selalu puas dengan apa yang difatwakan oleh gurunya. Bahkan terkadang pendapat-
pendapat beliau sering kali menentang pendapat gurunya. Ini dikarenkan Abu yusuf
pernah berguru kepada banyak ulama dan dikatakan bahwa beliau lebih memegang
tradisi dibanding gurunya.
Pada tahun 166 H/782 M, beliau meninggalkan Kufah menuju Baghdad
dikarenakan faktor kesulitan ekonomi. Di Baghdad beliau menemui Khalifah
Abbasiyah, Al-Mahdi (159 H/775 M-169 H/785 M) yang langsung megangkatnya
sebagai hakim (al-qadhi) di Baghdad Timur. Jabatan hakim tersebut dipegang beliau
sampai masa pemerintahan Khalifah Al-Hadi (169 H/785 M-170 H/786 M). Pada masa
Khalifah Harun Ar-Rasyid (170 H/786-194 H/809 M) jabatannya naik menjadi ketua
para hakim atau hakim agung (qadhi al-qudah) pertama Daulah Abbasiyah. Jabatan ini
belum pernah ada sejak masa Bani Umayyah (abad ke-7) sampai pada masa Khalifah
Al-Mahdi dari Daulah Bani Abbasiyah (abad ke-8). Jabatan ini dianggap sangat pantas
diberikan kepada beliau karena selain ilmunya yang luas, kepribadiannya juga sangat
disukai oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid. Dalam mengadili suatu perkara, beliau tidak
membeda-bedakan apakah yang diadili tersebut dari kalangan istana atau luar istana.
Jabatan ketua hakim tersebut memberikan kewenangan yang lebih luas kepada
beliau karena disamping memutuskan suatu perkara, beliau juga bertanggungjawab
menyusun materi hukum yang diterapkan para hakim serta mengangkat para hakim di
seluruh negeri. Ini berbeda dengan jabatan sebelumnya yaitu pada masa kekhalifahan
al-mahdi dan al-hadi yang hanya bertanggungjawab memutuskan perkara dan memberi
fatwa.
A. Karya-karya Abu Yusuf
Disela-sela kehidupannya melaksanakan tugas sebagai murid, guru, hakim dan
terakhir pejabat penting dalam kehakiman, imam abu yusuf masih menyempatkan
waktunya untuk menulis berbagai buku yang sangat berpengaruh besar dalam
memperbaiki tatanan sistem kepemerintahan dan penyebaran madzhab hanafiyah,
beberapa karya beliau diantara lain adalah sebagai berikut:
a. Kitab Al-Atsar
Di dalam kitab ini dimuat hadits-hadits yang diriwayatkannya dari ayah dan
gurunya, yaitu Abu Hanifah, yang dari hadits-hadits tersebut sanadnya bersambung
sampai kepada Rasulullah SAW, ada yang sampai kepada sahabat, ada pula yang
sampai kepada tabi’in. Di dalamnya juga dijelaskan tentang perbedaan pendapat
beliau dengan gurunya sendiri yaitu Imam Abu Hanifah, pendapat beliau sendiri,
serta sebab-sebab terjadinya perbedaan pendapat tersebut.
b. Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Ibn Abi Laila
Di dalamnya dikemukakan pendapat Imam Abu Hanifah dan Ibnu Abi Laila
serta perbedaan pendapat mereka. Tidak ketinggalan pula kritik keras Abu Hanifah
terhadap ketetapan peradilan yang dibuat Ibnu Abi Laila dalam memutuskan
perkara. Dalil-dalil nas dan logika Imam Abu Hanifah juga dimuat dengan
terperinci.
c. Kitab Ar-Radd ‘Ala Syi’ar Al-Auza’i
Kitab memuat perbedaan pendapat beliau dengan pendapat Abdurrahman al-
Auza’i tentang perang dan jihad, termasuk bantahannya terhadap pendapat al
auza’i.
d. Kitab Al-Kharaj
Kitab ini merupakan karya yang paling populer di antara karya-karya beliau
yang lain. di dalamnya dijelaskan berbagai pemeikiran beliau tentang fiqih dalam
berbagai aspek seperti keuangan negara, pajak tanah, pemerintahan dan
musyawarah.
Selain karya-karya yang telah disebutkan di atas, Abu Yusuf juga menulis Al-
Jawami’, yaitu buku yang sengaja ditulis untuk Yahya bin Khalid. Di dalamnya
dibicarakan perdebatan tentang ra’yu dan rasio. Abu Yusuf adalah orang pertama yang
menyusun Ushul Fiqh Hanafiyyah, yakni data-data dan fatwa hukum yang disepakati
Imam Abu Hanifah bersama murid-muridnya. Menurut Ibnu Nadim, masih banyak lagi
kitab-kitab karya Imam Abu Yusuf yang lainnya misalnya kitab ash-shalah (tentang
shalat), kitab az-zakat (tentang zakat), kitab ash-shiyam (tentang puasa), kitab al-bai’
(tentang jual-beli), kitab al-fara’id (tentang hukum waris), dan kitab al-wasiyyah
(tentang wasiyat).
B. Pemikiran Abu Yusuf
Kekuatan utama pemikiran abu yusuf adalah dalam permasalahan keuangan publik.
Terlepas dari prinsip-prinsip perpajakan, dan pertanggungjwaban negara Islam terhadap
kesejahteraan rakyatnya, beliau memberikan beberapa saran tentang cara-cara
mendapatkan sumber perbelanjaan untuk pembangunan janga panjang seperti
pembangunan infrastruktur dan irigasi bagi pertanian. Namun Abu Yusuf sangat
menentang eksploitasi terhadap sumber daya perekonomian yang ada dengan
mengesampingkan ajaran-ajaran agama yang kemudian dikenal dengan faham positifisme.
Dalam hal menyikapi tentang positivisme tersebut dalam salah satu pesan terhadap
Khalifah Harun Ar-Rasyid pada Kitab Al-Kharaj, mengatakan: “Anda tidak diciptakan
dengan sia-sia dan tidak akan dibiarkan tanpa pertangungjawaban. Allah akan menanyakan
tentang segala sesuatu yang anda miliki dan apa yang anda lakukan terhadapanya.”
1. Bidang Fiskal
Dalam pandangan Abu Yusuf, tugas utama pemerintah adalah mewujudkan serta
menjamin kesejahteraan rakyatnya. Beliau selalu menekankan pentingnya memenuhi
kebutuhan rakyat dan melakukan pembangunan yang berorientasi pada kesejahteraan
umum. Beliau berpendapat bahwa semua biaya yang dibutuhkan bagi pengadaan
pembangunan sarana dan prasarana publik harus ditanggung oleh negara. Dalam
mewujudkan kebijakan ekonomi di atas, Abu Yusuf menyarankan agar negara
menunjuk pejabat yang jujur dan amanah dalam berbagai tugas. Beliau mengecam
perlakuan kasar terhadap pembayar pajak dan menganggapinya sebagai tindakan
kriminal. Beliau berpendapat perlakuan yang baik terhadap para pembayar pajak akan
meningkatkan pendapatan pajak. Dalam hal ini pula, Abu Yusuf berpendapat bahwa
negara harus memberikan upah dan jaminan masa pensiun kepada kepada mereka yang
berjasa dalam menjaga kedaulatan Islam dan mendatangkan sesuatu yang baik dan
bermanfaat bagi kaum muslimin.
Secara umum sumber-sumber pendapatan negara dalam daulah islamiyyah yang
ditulis abu yusuf adalah ghanimah, zakat, dan harta fay’, yang di dalamnya termasuk
jizyah, ‘usyr, dan kharaj. Dalam hal pendistribusian pendapatan negara tersebut, Abu
yusuf mengingatkan bahwa hal tersebut ditujukan demi mewujudkan kesejahteraan
rakyat. Beliau mengutip pernyataan Khalifah Umar Bin Khaththab: “pajak dibenarkan
jika dipungut dengan cara adil dan sah serta digunakan secara adil dan sah pula.
Dalam hal ini, aku menganggap diriku seperti wali bagi anak yatim terhadap harta
kalian. Jika kalian bertanya maka akan saya jawab apakah pajak ini saya gunakan
dangan cara yang sah.”
Dalam hal penetapan pajak, Abu Yusuf cenderung menyetujui negara mengambil
bagian dari hasil pertanian dari para penggarap dari para penarik sewa dari lahan
pertanian. Menurut beliau, cara ini lebih adil dan memberikan dan memberikan hasil
produksi yang lebih besar dangan memberikan kemudahan dalam memperluas tanah
garapan. Dengan kata lain, beliau merekomendasikan menggunakan sistem kharaj
muqasamah daripada sistem kharaj wadhifah.
Argumen Abu Yusuf dalam hal ini bahwa pajak berdasarkan ukuran tanah (baik
yang ditanami atau yang tidak) dibenarkan hanya jika tanah tersebut subur. Ini
dikarenakan pada saat itu banyak tanah-tanah petani yang luas tetapi tidak subur. Selain
itu, sistem kharaj wadifah/misahah tidak memiliki ketentuan apakah pajak
dikumpulkan dalam bentuk uang atau sejumlah barang. Kecenderungan perubahan
harga bahan pangan (dalam hal ini gandum) selain akan mempengaruhi pembayaran
pajak oleh para petani juga akan mempengaruhi pendapatan negara. Dengan asumsi,
jika harga gandum turun maka petani akan terbebani dengan pembayaran pajak yang
tetap.
2. Bidang Ekonomi Makro
Abu Yusuf merupakan salah satu ulama yang menentang penetapan harga yang
dilakukan oleh pemerintah. Ini berdasarkan hadits Nabi yang menjelaskan bahwa
tinggi-rendahnya harga merupkan ketentuan Allah yang tidak boleh dicampuri. Selain
itu Abu Yusuf tercatat sebagai salah satu ulama yang paling awal menyinggung
mekanisme pasar. Beliau memperhatikan peningkatan dan penurunan produksi dalam
kaitannya dengan perubahan harga. Beliau mengatakan dalam kitab Kitab al-Kharaj:
“tidak ada batasan tertetu tentang murah dan mahal yang dapat dipastikan”. Hal
tersebut ada yang mengaturnya. Prinsipnya tidak bisa diketahui. Murah bukan karena
melimpahnya makanan, demikian juga mahal tidak disebabkan kelangkaan makanan.
Murah dan mahal adalah ketentuan Allah. Kadang-kadang makanan berlimpah tetapi
tetap mahal dan kadang-kadang makanan sangat sedikit tatapi murah.” Dari pernyataan
tersebut, dapat dikatakan bahwa Abu Yusuf membantah pendapat umum tetang
hubungan terbalik antara penawaran dan harga.
Pada kenyataannya, penawaran tidak tergantung pada penawaran saja tetapi juga
pada kekuatan penawaran atau daya beli. Oleh karena itu, peningkatan dan penuruan
harga tidak selalu berhubungan dengan penurunan atau peningkatan dalam produksi.
Abu Yusuf menegaskan bahwa ada variabel lain yang mempengaruhi, tetapi variabel
tersebut tidak dijelaskan secara rinci. Bisa jadi variabel tersebut adalah pergeseran
dalam permintaaan atau jumlah uang yang beredar dalam suatu negara, atau
penimbunan dan penahanan barang, atau semua hal tersebut. Fernomena yang terjadi
pada masa itu adalah pada saat terjadi kelangkaan barang maka harga akan cenderung
tinggi, sedangkan jika ketika persediaan barang melimpah maka harga akan cenderung
lebih rendah. Kenaikan dan penurunan harga yang berbanding terbalik dengan jumlah
persediaan barang selanjutnya dapat dijelaskan dalam bentuk drafik sebagai.
Gambar 1 : Grafik Kenaikan Harga

P1

P2

Q2 Q1
P1 dan P2 menunjukkan tinggi rendahnya harga (price), sedangkan Q1 dan Q2
menunjukkan jumlah persediaan barang atau komoditas ekonomi (qwantity). Sesuai
dengan teori permintaan, jika P naik maka Q turun, begitu pula sebailiknya, jika P turun
maka Q naik. Dari skema tersebut dapat disimpulkan bahwa jika harga komoditas naik
maka akan direspon dengan penurunan jumlah komoditas yang dibeli. Begitu pula
sebaliknya jika harga komoditas turun, maka akan direspon oleh konsumen dengan
meningkatkan jumlah komoditi tersebut.
Hal ini lah yang kemudian dikritisi oleh Abu Yusuf yang menyatakan bahwa jika
kadang-kadang makanan berlimpah tetapi harga tetap tinggi, dan kadang-kadang jumlah
makanan sedikit tetapi harganya tetap murah. Abu Yusuf menyangkal pendapat umum
tentang hubungan terbalik antara persediaan barang dangan harga karena pada
kenyataannya harga tidak tergantung pada permintaan saja, tetapi juga pada tergantung
pada kekuatan penawaran. Jika jumlah barang banyak dengan daya beli masayarakat yang
tinggi pula maka harga juga akan mengalami kenaikan. Begitu juga sebaliknya, jika
persediaan sedikit tetapi daya beli masyarakat rendah maka harga juga akan mengalami
penurunan.
Gambar 2: Grafik Kenaikan Harga 2

P1

P2

Q2 Q1
Dalam hukum penawaran, dikatakan bahwa hubungan antara harga dengan
banyaknya komoditas yang ditawarkan mempunyai kemiripan positif. Bila harga
komoditas naik maka pasar akan merespon dengan menambah jumlah komoditas yang
ditawarkan tersebut. Begitu juga sebaliknya jika harga komoditas turun, maka akan
direspon dengan pengurangan jumlah komoditas yang diatwarkan. Pendapat Abu
Yusuf tentang hubungan harga dengan jumlah permintaan dapat diformulasikan
sebagai berikut:

D = Q = f (P)
Formulasi ini menjelaskan pengaruh harga terhadap jumlah permintaan adalah
negatif. Ketika terjadi kelangkaan barang maka harga akan cenderung tinggi dan
sebaliknya jika barang melimpah maka harga akan cenderung turun atau rendah.
Hukum permintaan dalam hal ini mengatakan jika harga komoditas naik maka akan
menyebabkan konsumen menurunkan jumlah komoditi yang dibeli, sedangkan jika
harga turun maka konsumen akan meningkatkan jumlah komoditi yang dibeli.

Abu Yusuf memang tidak secara rinci menyebutkan sebab-sebab naik atau
turunnya suatu harga komoditas. Beliau hanya membantah bahwa harga barang tidak
selalu dipengaruhi oleh ketersediaan barang dipasar. Karya-karya beliau juga tidak
pernah menyinggung masalah ini, sehingga tidak dapat disimpulkan secara pasti apa
alasan beliau mengemukakan pendapatnya tersebut.

Berkaitan dengan kenaikan atau penuruhan harga komoditas di pasaran, bahwa


tidak hanya dipengaruhi oleh jumlah permintaan saja, dapat digunakan teori penawaran.
Dalam hal kenaikan dan penurunan harga komoditas, tidak hanya dipengaruhi oleh
ketersediaan barang tetapi dapat juga dipengaruhi oleh kekuatan penawaran. Ini dapat
diformulasikan secara sederhana dalam rumus sebagai berikut:
S = Q = f (p)

Dalam hal ini, pengaruh harga terhadap jumlah permintaan suatu komoditi
adalah positif. Jika harga suatu komoditi mengalalami kenaikan maka permintaan juga
akan mengalami kenaikan begitu pula sebaliknya jika harga turun, maka permintaan
juga mengalami penurunan. Dengan demikian maka hukum penawaran adalah jika
harga naik maka akan direspon dengan penambahan jumlah komoditi yang ditawarkan,
sebaliknya juga jika harga komoditi turun maka akan direspon dengan penurunan
jumlah komoditi yang akan ditawarkan.
3. Keuangan Publik
Penerimaan pendapatan Negara dalam Daulah Islamiyah menurut Abu Yusuf
dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu ghanimah, sadaqah, dan harta fa’i (jizyah, ‘usyur
dan kharaj). Penerimaan-penerimaan tersebut dapat digunakan untuk membiayai
aktifitas pemerintahan. Ketiga sumber penerimaan tersebut, memiliki aturan- aturan
dalam pemungutannya, yaitu sebagai berikut :
a). Ghanimah
Ghanimah merupakan sesuatu yang dikuasai oleh kaum muslim dari harta orang
kafir melalui peperangan. Baik berupa uang, senjata, barang-barang dagangan,
bahan pangan dan lainnya. Abu Yusuf menyebutkan, bahwa pemasukan ghanimah
pada waktu itu menjadi bagian yang penting dalam keuangan public karena pada
masa itu masa ekspansi wilayah masih terus berjalan walaupun tidak terlalu besar.
Akan tetapi, karena sifatnya yang tidak rutin, maka pos ini dapat digolongkan
sebagai pendapatan yang tidak tetap bagi Negara. Selanjutnya Abu Yusuf
mengatakan jika ghanimah didapatkan dari hasil pertempuran dengan musuh maka
harus dibagikan sesuai dengan panduan di dalam Al-Qur’an, surat An-Nahl ayat 41.
Pembagiannya yaitu 1/5 atau 20 % dari total rampasan untuk Allah dan Rasul-Nya
serta orang- orang miskin dan kerabat. Sedangkan sisanya adalah untuk mereka
yang ikut berperang.
b). Zakat
Sebagai salah satu instrument keuangan Negara, zakat tetap menjadi salah satu
sumber keuangan Negara pada saat itu. Diantara objek zakat yang menjadi objek
perhatiaanya adalah :
Pertama, zakat pertanian, jumlah pembayaran zakat pertanian adalah sebesar ‘usyr
yaitu 10% dan 5%, tergantung dari jenis tanah dan irigasi. Tanah yang tidak banyak
membutuhkan tenaga untuk penyiapan sarana pengairan, jumlah pajaknya 10%,
sedangkan tanah yang memerlukan kerja keras untuk menyediakan saluran air dan
irigasi, jumlah pajaknya 5%.
Kedua, objek zakat yang menjadi perhatian Abu Yusuf adalah zakat dari hasil
mineral atau barang tambang lainnya. Abu Yusuf dan Ulama Hanafiyah
berpendapat bahwa standar zakat untuk barang-barang tersebut, tarifnya seperti
ghanimah, yaitu 1/5 atau 20% dari total produksi.
c). Harta Fay’
Fay’ adalah segala sesuatu yang dikuasai kaum muslim dari orang kafir tanpa
peperangan, termasuk harta yang mengikutinya, yaitu kharaj tanah tersebut, jizyah
perorangan dan usyr dari perdagangan. Semua harta Fay’ dan harta- harta yang
mengikutinya berupa kharaj, jizyah dan usyr merupakan harta yang boleh
dimanfaatkan oleh kaum muslimin dan disimpan dalam baitul mal, semuanya
termasuk kategori pajak dan merupakan sumber pendapatan tetap bagi Negara,
harta tersebut dapat dibelanjakan untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan
masyarakat.
d). Jizyah
Jizyah adalah kewajiban yang dibebankan kepada penduduk non muslim yang
tinggal di Negara Islam sebagai pengganti biaya perlindungan atas hidup, property
dan kebebasan untuk menjalankan agama mereka. Agar pemungutan jizyah berjalan
efektif dan tetap berprinsip pada nilai-nilai keadilan, Abu Yusuf menyarankan
kepada khalifah untuk menunjuk seorang administrator yang jujur disetiap kota
dengan asisten yang akan berhubungan langsung dengan kepala dari komunitas
Dzimmi untuk mengumpulkan jizyah melalui mereka.
e). ‘Usyr (Bea cukai)
‘Usyr merupakan hak kaum muslim yang diambil dari harta perdagangan ahl
dzimmah dan penduduk darul harbi yang melewati perbatasan Negara Islam. ‘Usyr
dibayar dengan uang cash atau barang. Tarif ‘usyr ditetapkan sesuai dengan status
pedagang. Jika ia muslim maka ia akan dikenakan zakat perdagangan sebesar 2,5%
dari total barang yang dibawanya. Sedangkan ahl dzimmah dikenakan tariff 5%.
Kafir harbi dikenakan tariff 10% sesuai dengan tarif yang mereka tetapkan kepada
pedagang muslim ketika melintasi kawasan mereka. Dalam pengumpulan bea cukai
Abu Yusuf mensyaratkan dua hal yang harus dipertimbangkan, yaitu : Pertama,
barang-barang tersebut haruslah barang-barang yang dimaksudkan untuk
diperdagangkan. Kedua, nilai barang yang dibawa tidak kurang dari 200 dirham.
4. Relevansi Pemikiran Ekonomi Abu Yusuf dengan ekonomi Indonesia
Abu Yusuf cenderung membahas persoalan-persoalan ekonomi makro seperti
halnya tentang pendapatan dan pengeluaran negara. Abu Yusuf telah banyak
mencurahkan pemikirannya dalam bidang ekonomi, khususnya dalam ekonomi yang
bersifat makro, yakni terkait dengan kebijakan-kebijakan penguasa atau pemerintah
untuk menjaga stabilitas pendapatan dan pengeluaran negara dengan tujuan akhir
menciptakan kemakmuran bagi rakyat dan pemerintah.
Pajak menjadi salah satu sumber pendapatan negara, dan Abu Yusuf telah
memberikan sumbangsih pemikirannya terkait dengan perpajakan pada masanya. Pajak
merupakan iuran wajib yang di berikan kepada negara dan dimanfaatkan sebesar-
besarnya untuk kepentingan umum, termasuk pembayar pajak. Dalam persoalan
perpajakan Abu Yusuf telah meletakkan prinsip-prinsip dasar perpajakan yang pada
perkembangan selanjutnya dikenal dengan cannons of taxation. yakni asas-asas yang
digunakan dalam pemungutan pajak, seperti asas persamaan, asas kepastian, asas
kemampuan dan keadilan, asas efisiensi serta asas kenyamanan dalam pembayaran.
Menurut Abu Yusuf, jika asas-asas ini diterapkan maka akan tercipta situasi
yang kondusif dan mempermudah serta menjamin pembayaran pajak bagi para wajib
pajak. Dengan demikian ketika pembayaran pajak lancar, tentunya akan berpengaruh
terhadap pendapatan negara. Prinsip-prinsip dasar dalam pemungutan pajak ini
menghendaki adanya kelonggaran bagi para wajib pajak dalam hal membayar pajak.
Dalam hal ini, Abu Yusuf mencontohkan prilaku Umar bin Khattab yang bersikap
lembut pada Bani Tlaghlah, ia mengutip pernyataan Umar bin Khattab, “Pajak
dibenarkan jika di pungut dengan cara yang adil dan sah serta digunakan secara adil
dan sah pula. Berkaitan dengan pajak yang dipungut, aku menganggap diriku sendiri
seperti wali kekayaan anak yatim. Masyarakat berhak untuk bertanya, apakah aku
menggunakan pajak yang dikumpulkan tersebut dengan sah” (Abdullah, 2010). Sebagai
upaya mencegah adanya kesalahan dalam perpajakan, maka Abu Yusuf melakukan
sentralisasi administrasi pembuatan kebijakan perpajakan dengan merumuskan
beberapa ketentuan, seperti:
1. Charging a justifiable minimum, Departemen perpajakan menentukan
persentase pajak sesuai dengan jenisnya. Jumlah nominal tarif yang harus ditagih serta
hukumnya harus diatur.
2. No oppression of tax payers, Departemen perpajakan tidak boleh melakukan
pemaksaan dan penindasan ataupun berupa ancaman kepada wajib pajak. Wajib pajak
berhak membayar kewajibannya tanpa harus adanya pemaksaan dan penindasan dari
petugas pajak. Karena hal ini dapat membuat wajib pajak menjadi tidak nyaman dan
memilih melarikan diri dari wajib pajak dan ini akan menjadi sebuah kerugian bagi
negara.
3. Maintenance of a healthy treasury, pemerintahan harus senantiasa melakukan
pemeliharaan dan pemeriksaan terhadap asset-aset yang dimiliki, baik aset tetap
ataupun tidak tetap. Karena hal ini akan mempermudah dalam mengetahui nilai asetnya,
sehingga dapat memaksimalkan pengeluaran negara.
4. Benefiting both goverenment and payers, harus ada sinergi antara departemen
perpajakan dengan wajib pajak. Karena pada dasarnya keduanya saling
menguntungkan, pemungut pajak memiliki keuntungan atas pajak yang dikumpulkan
dan wajib pajak dapat memperoleh keuntungan berupa fasilitas yang dibangun dari
pajak tersebut.
5. In choosing between alternative policies having the same effect on treasury,
preferring the one that benefits tax payers, dalam menentukan pilihan keuntungan
antara departemen perpajakan dengan wajib pajak maka didahulukan keuntungan untuk
wajib pajak. Karena pada dasarnya negara membutuhkan peran wajib pajak untuk
mendapatkan pemasukan dan pendapatan agar dapat membiayai anggaran belanja
negara. Ketika departemen perpajakan memaksa wajib pajak dengan cara-cara
penindasan maka para wajib pajak akan memilih lari dan tidak membayar pajak
(Zunaidi, 2021).
Dalam Islam dikenal beberapa jenis pajak, antara lain:
1. Kharaj, merupakan pajak yang dikenakan kepada lahan-lahan yang
ditaklukan melalui peperangan, singkatnya kharaj adalah pajak atas tanah
2. Jizyah, merupakan pajak yang dikenakan bagi warga non-muslim yang
tinggal dinegara Islam dan sebagai jaminan yang diberikan oleh Negara Islam.
3. Usyr, adalah pajak perdagangan atau pajak yang dikenakan untuk aktivitas
perdagangan ekspor dan impor (bea cukai) (Karim, 2002).
Abu Yusuf mencurahkan pemikirannya mengenai ketiga jenis pajak ini dalam
kitabnya al-Kharaj. Tentang kharaj (pajak atas tanah) terdapat beberapa cara untuk
menentukan tarif pajaknya,yaitu:
1. Metode misahah (fixed tax), yakni sistem penetapan tarif pajak tanah yang
didasarkan pada ukuran dan luas lahan tanpa mempertimbangakan jenis tanah,
kesuburan tanah serta tidak melihat sistem irigasi yang digunakan dan tanaman yang
ditanam.
2. Metode muqasamah (proporsional tax), adalah sistem penentuan tarif pajak
dengan menggunakan persentase disesuaikan dengan produktifitas tanah dan tanpa
memperhatikan jumlah pengenaan pajak. Misalnya seperti, PBB sebesar 5%, PPN
sebesar 10%, serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan sebesar 5%. Persentase
ini bernilai tetap dan tidak berubah. Adapun untuk pertanian, perhitungannya
didasarkan pada jenis tanaman, jenis tanah serta sistem irigasi yang digunakan.
Abu Yusuf menentukan tarif pajak yang berbeda-beda atas setiap lahan yang
dikenakan pajak, sesuai dengan sistem irigasinya, seperti:
1. Tarif pajak saat musim panas sebesar 25%.
2. Tarif pajak untuk lahan yang sistem irigasinya menggunakan irigasi buatan
sebesar 30%, dan
3. Tarif pajak untuk tanah yang sistem irigasinya menggunakan hujan alami
sebesar 40% (Amalia, 2005).
Abu Yusuf lebih cenderung memilih menggunakan sistem muqasamah
(proporsional tax) dibandingkan dengan sistem misahah (fixed tax), karena penentuan
pajak tanah secara proporsional atas dasar produktifitas dianggap lebih efektif untuk
digunakan. Adapun untuk Usyr’ Abu Yusuf mengajukan dua syarat, yaitu barang
dagangan yang dikenai pajak hendak diperdagangkan di negara tersebut dan nilai dari
barang dagangan yang dikenai pajak minimal sebesar 200 dirham. Pemikiran ekonomi
Abu Yusuf tentang pajak memiliki relevansi dengan kebijakan ekonomi tentang pajak
pada masa kini, khususnya di Indonesia.
Misalnya seperti pengenaan pajak tanah, pajak tanah di Indonesia bisa dilihat
pada Pajak Bumi Bangunan (PBB). Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak
yang tarik atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan atau keadaan ekonomi
yang lebih baik yang bagi orang atau badan usaha yang memiliki hak atasnya dan
memperoleh keuntungan dari padanya. Penetapan tarif PBB ini berdasarkan pada Nilai
Jual Objek Pajak(NJOP) yakni harga pasar/harga rata-rata nilai jual tanah yang setiap
satu tahun sekali besarannya di tetapkan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia,
dengan pertimbangan dari Bupati/Walikota setempat. Dalam menentukan besaran
NJOP ini ada beberapa faktor yang menjadi pertimbangan, yaitu:
1. Untuk NJOP bumi, pertimbangannya adalah letak, pemanfaatannya,
peruntukan serta kondisi lingkungannya.
2. Untuk NJOP bangunan, dasar pertimbangannya yaitu bahan yang digunakan
dalam bangunan, rekayasa, kondisi dan letak bangunan (Firman, 2020).
Rumus untuk menentukan Pajak Bumi Bangunan adalah perkalian kena pajak
0,5% dengan NJKP (Nilai Jual Kena Pajak). NJKP adalah 20% dari NJOP. Dalam
pengenaan pajak bumi/tanah ada beberapa hal yang menjadi indikatornya seperti, letak,
pemanfaatan, peruntukan dan kondisi lingkungannya secara tidak langsung indikator-
indikator ini sudah menunjukkan bahwa pengenaan pajak bumi di Indonesia
disesuaikan berdasarkan produktifitas tanahnya bukan hanya dari luas tanah. Dengan
demikian bahwa apa yang Abu Yusuf dulu sarankan, pada saat ini masih relevan untuk
diterapkan.
Baik konsep kharaj ataupun konsep PBB keduanya dipungut dan hasilnya
dimanfaatkan oleh negara sebagai pendapatan negara, yang kemudian dapat
diperuntukan bagi kepentingan umum. Adapun perbedaan kedua konsep ini ialah jika
PBB dibebankan kepada semua jenis tanah yang berada di wilayah negara, sedangakan
kharaj hanya dibebankan pada tanah pertanian saja.
Kemudian konsep pajak usyr’ yang diterapkan pada masa Abu Yusuf sama
dengan pajak bea cukai yang diterapkan di masa kini. Konsep Usyr’ Abu Yusuf
diterapkan bermula dari dterapkannya tarif pajak bagi pedagang muslim yang masuk
ke daerah kafir harbi sebesar 1/10, maka sebagai gantinya pedagang dari wilayah lain
yang masuk dan berdagang di negara muslim dikenakan tarif pajak juga. Pada pedagang
kafir dzimmi dikenakan pajak sebesar 5%, adapun untuk pedagang muslim kenakan
pajak sebesar 5% (Zunaidi, 2021).
Pengenaan pajak usry’ ini pada prinsipnya memiliki kesamaan dengan apa yang
diterapkan di Indonesia yang dikenal dengan bea cukai. Penarikan dan penetapan tarif
bea cukai di Indonesia diatur dalam PMK199/PMK.010/2019 tentang ketentuan
Kepabeanan, Cukai dan Pajak atas Barang Impor Kiriman. Peraturan menteri keuangan
ini meliputi aturan-aturan seperti barang yang dikenai bea cukai, kuantitas barang atau
batas barang yang di bebani pajak cukai serta ketentuan tarif barang yang dikenai bea
cukai.
Konsep Usyr’ pada masa Abu Yusuf ketentuannya lebih sedikit dan sederhana
berbeda dengan bea cukai yang menyesuaikan dengan perkembangan zaman terasa
lebih kompleks. Pada intinya bahwa pengenaan usyr dan bea cukai ini memiliki
persamaan yakni untuk menjamin masyarakat dan kemashlatan umat.
BAB III
KESIMPULAN
Dari pemaparan di atas dapat diambil beberapa kesimpulan, diantaranya yaitu: pertama,
Pemikiran ekonomi Abu Yusuf dapat ditemukan dalam karyanya al-Kharaj, inti dari pemikiran
ekonominya berbicara tentang penekanan terhadap peranan Negara dalam menjamin
kesejahteraan warganya.
Dalam corak pemikirannya, Abu Yusuf memadukan antara pendekatan ahl ra’yu dengan ahl
hadits yang menjadikan pemikirannya lebih aktual. Pemikiran ekonomi tokoh ini memiliki
relevansi dengan kebijakan ekonomi yang diterapkan di Indonesia, diantaranya pemikiran
ekonomi Abu Yusuf tentang perpajakan (al-kharaj) yang pada perkembangan saat ini masih
relevan diterapkan pada sistem ekonomi kontemporer di Indonesia. Konsep al-kharaj dari Abu
Yusuf tidak semuanya sama dan dapat di adopsi pada masa kini, persamaanya terletak pada
penetapan tarif pajak secara persentase berdasarkan produktifitas tanah serta peruntukan pajak
baik konsep al-kharaj maupun perpajakan di Indonesia, didasarkan pada kemaslahatan ummat
dan digunakan untuk kepentingan umum bagi negara dan masyarakat. Adapun beberapa
perbedaannya ialah penetapan kharaj yang hanya dibebankan kepada tanah pertanian saja,
berbeda dengan pajak tanah di Indonesia yang diberlakukan pada semua jenis tanah.
Bahwa dalam pemungutan pajak yang dilakukan oleh negara, Abu Yusuf menyarankan
pemerintah menggunakan sistem kharaj muqasamah (proporsional tax), di mana pajak
dipungut berdasarkan hasil dari pertanian, bukan dari luasnya lahan. Ini dimaksudkan untuk
melindungi para petani yang mempunyai lahan yang luas tetapi terdapat lahan-lahan yang
kurang produktif. Selain itu, fluktuasi harga komoditas pertanian yang tidak menentu akan
menjadi beban kepada masyarakat jika kharaj wadhifah/misahah dengan tarif berdasarkan luas
lahan tetap dilaksanakan.
Bahwa dalam kebijakan pengendalian harga komoditas ekonomi, Abu Yusuf menentang
intervensi pemerintah dalam menentukan harga. Beliau juga berpendapat bahwa harga
komoditas ekonomi tidak selalu bergantung pada banyak atau sedikitnya produksi. Menurut
beliau, selain pengaruh dari jumlah penawaran, harga juga dipengaruhi oleh kekuatan
permintaan. Ada faktor-faktor yang tidak dapat dilihat dalam menentukan tinggi-rendahnya
suatu harga.
DAFTAR PUSTAKA
Al-jawali, merupakan jama’ dari kata jaliyah yaitu suatu kelompok atau golongan yang
memisahkan diri dari kedaulatan negaranya dan membentuk suatu negara baru. Lihat
footnote 1, Abu Yusuf. Ibid.
Adiwarman Azwar Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: PT.
Pustaka Pelajar, 2001).
Adiwarman Azwar Karim. Ekonomi Islam, Suatu Kajian Kotemporer. Cet. Kedua
(Jakarta: Gema Insani Press, 2003).
Nur Chamid. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010).
A. Rahman Ritonga, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve,
1996). Hlm. 12. Lihat Heri Sudarsono. Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar
(Yogyakarta: EKONISIA, 2004).
A. Rahman Ritonga, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam…
9 H. A. R. Gibb, dkk. The Encyclopaedia Of Islam, New Edition (Leiden: E.J. Brill, 1960).
A. Rahman Ritonga, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam.
Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam dari Masa Klasik Hingga Kontemporer,
Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005

Anda mungkin juga menyukai