Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NEONATUS DENGAN HIPERBILIRUBIN

Oleh:
I GEDE WAHYU SEPTIANA
219012739

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
DENPASAR
2021
LAPORAN PENDAHULAUAN
HIPERBILIRUBIN PADA NEONATUS

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


1. DEFINISI
Hiperbilirubin adalah gejala kuning pada sklera kulit dan mata akibat bilirubin
yang berlebihan didalam darah dan jaringan. Normalnya bilirubin serum kurang dari 9
μmol/L (0,5 mg%). Ikterus nyata secara klinis jika kadar bilirubin meningkat diatas 35
μmol/L (2mg%) (Nurarif, 2015).
Menurut Slusher (2013) Hiperbilirubin merupakan suatu kondisi di mana
produksi bilirurin yang berlebihan di dalam darah. Menurut Lubis (2013),
Hiperbilirubinemia merupakan salah satu fenomena klinis tersering ditemukan pada
bayi baru lahir, dapat disebabkan oleh proses fisiologis, atau patologis, atau kombinasi
keduanya.
Hiperbilirubinemia adalah suatu keadaan kadar bilirubin serum total yang lebih
dari 10 mg/dl pada 24 jam pertama yang ditandai dengan tampaknya ikterik pada kulit,
sklera, dan organ lain (Sritamaja, 2018).
Jadi, hiperbilirubinemia adalah suatu kondisi peningkatan kadar serum bilirubin
dalam jaringan ekstravaskuler pada bayi baru lahir sehingga dapat menimbulkan
gejala, kekuninngan pada kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya.

2. ETIOLOGI
Menurut Nurarif (2015), penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri
sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar, ikterus
neonatarum dapat dibagi :
a. Produksi yang berlebihan.
Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.
b. Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar
Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar, kurangnya substrat
untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan
infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukorinil transferase (Sindrom Criggler-
Najjar). Penyebab lain adalah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan
penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar.
c. Gangguan transportasi
Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar.
Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat,
sulfarazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin
indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.
d. Gangguan dalam eksresi
Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau di luar hepar.
Kelainan di luar hepar biasanya diakibatkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi
dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

3. KLASIFIKASI
Menurut Sritamaja (2018), ikterik neonatus dapat diklasifikasikan menjadi dua
yaitu Ikterik Fisiologis dan Ikterik Patologis:
a. Ikterik fisiologis
Ikterik fisiologis yaitu warna kuning yang timbul pada hari kedua atau
ketiga dan tampak jelas pada hari kelima sampai keenam dan menghilang sampai
hari kesepuluh. Ikterik fisiologis tidak mempunyai dasar patologis potensi kern
ikterus (suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak).
Bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik biasa, kadar bilirubin serum
pada bayi cukup bulan tidak lebih dari 12 mg/dl dan pada BBLR 10 mg/dl, dan
akan hilang pada hari keempat belas, kecepatan kadar bilirubin tidak melebihi 5%
perhari, kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %, ikterus hilang pada 10 hari
pertama, tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu,
dan bayi tampak biasa, minum baik, berat badan naik
b. Ikterik patologis
Ikterik ini mempunyai dasar patologis, ikterik timbul dalam 24 jam pertama
kehidupan: serum total lebih dari 12 mg/dl. Terjadi peningkatan kadar bilirubin 5
mg% atau lebih dalam 24 jam. Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg%
pada bayi kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg%pada bayi cukup bulan, ikterik
yang disertai dengan proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim
G-6-PD dan sepsis). Bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl atau kenaikan bilirubin
serum 1 mg/dl per-jam atau lebih 5 mg/dl perhari. Ikterik menetap sesudah bayi
umur 10 hari (bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBL,
dan ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, sepsis).
Beberapa keadaan yang menimbulkan ikterik patologis:
1. Penyakit hemolitik, isoantibody karena ketidak cocokan golongan darah ibu
dan anak seperti rhesus antagonis, ABO dan sebagainya.
2. Kelainan dalam sel darah merah pada defisiensi G-PD (Glukosa-6 Phostat
Dehidrokiknase), talesemia dan lain-lain.
3. Hemolisis: Hematoma, polisitemia, perdarahan karena trauma lahir.
4. Infeksi: Septisemia, meningitis, infeksi saluran kemih, penyakit, karena
toksoplasmosis, sifilis, rubella, hepatitis dan sebagainya.
5. Kelainan metabolik: hipoglikemia, galaktosemia.
6. Obat- obatan yang menggantikan ikatan bilirubin dengan albumin seperti
solfonamida, salisilat, sodium benzoate, gentamisin, dan sebagainya.
7. Pirau enterohepatic yang meninggi: obstruksi usus letak tinggi, penyakit
hiscprung, stenosis, pilorik, meconium ileus dan sebagainya

Derajat Hiperbilirubin menurut KRAMER :


Derajat Perkiraan kadar
Daerah icterus
ikterus bilirubin
I Kepala dan leher 5,0 mg%
II Sampai badan atas (di atas umbilikus) 9,0 mg%
III Sampai badan bawah (di bawah umbilikus) hingga 11,4 mg/dl
tungkai atas (di atas lutut)
IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4 mg/dl
V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0 mg/dl
(Sumber : kapita selekta FKUI jilid 2 ed 3, dalam Nurarif 2015)

4. FAKTOR RISIKO
Menurut Nurarif (2015), faktor risiko untuk timbulnya ikterus neonatorum antara lain:
a. Faktor Maternal
1) Ras atau kelompok etnik tertentu (Asia, Native American,Yunani)
2) Komplikasi kehamilan (DM, inkompatibilitas ABO dan Rh)
3) Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik.
4) ASI
b. Faktor Perinatal
1) Trauma lahir (sefalhematom, ekimosis)
2) Infeksi (bakteri, virus, protozoa)
c. Faktor Neonatus
1) Prematuritas
2) Faktor genetik
3) Polisitemia
4) Obat (streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol)
5) Rendahnya asupan ASI
6) Hipoglikemia
7) Hipoalbuminemia

5. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan pada bayi usahakan di tempat penerangan yang cukup. Mintalah ibu
hadir selama pemeriksaan.
 Frekuensi napas : Normal 30-60 X/menit, tanpa retraksi dada, tanpa suara merintih
pada fase ekspirasi Pada bayi prematur ditemukan retraksi dada
 Denyut jantung: Normal 100 – 160 X/menit
 Suhu Aksila: Normal 36,5 – 37,50C
 Postur dan gerakan
 Tonus Otot atau tingkat kesadaran
 Kulit : Umumnya kulit bayi lembut
 Warna kulit
 Pemeriksaan warna kulit dilakukan dibawah sinar biasa (natural light)
Warna kulit kuning pada bayi yang disebut ikterus. Cara memeriksanya
dengan menekan tulang pada hidung atau dahi biasanya tampak bila kadar
bilirubin > 5 mg/dl. Keadaan ini abnormal pada bayi < 24 jam. Biasanya
disebabkan oleh inkompatibilitas rhesus, sepsis
 Penilaian ikterus dilakukan dengan cara menekan jari telunjuk pemeriksa
pada tempat bayi yang tulangnya menonjol seperti tulang hidung, tulang
dada dan lutut.
 Tali pusat
 Mata
 Kepala atau muka
 Telinga
 Abdomen
 Refleks : biasanya terjadi penurunan refleks mengisap
 Urine pekat dan Tinja pucat

6. PATOFISIOLOGI
Bilirubin adalah produk pemecahan hemoglobin yang berasal dari pengrusakan
sel darah merah/RBCs. Ketika RBCs rusak maka produknya kan masuk sirkulasi,
dimana hemoglobin pecah menjadi heme dan globin. Gloobin {protein} digunakan
kembali oleh tubuh sedangkan heme akan dirubah menjadi bilirubin unkonjugata dan
berikatan dengan albumin. Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat
penambahan beban bilirubin pada streptucocus hepar yang terlalu berlebihan.
Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit,
polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari
sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan
bilirubin plasma terjadi apabila kadar protein-Z dan protein-Y terikat oleh anion lain,
misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia, ditentukan
gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukuronii transferase) atau bayi
menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan
saluran empedu intra/ekstra hepatika.
Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusakan jaringan
otak. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek. Sifat indirek ini yang
memungkinkan efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus
sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau
ensefalopati biliaris. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak
hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan
neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila pada
bayi terdapat keadaan imaturitas. Berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia,
hipoglikemia dan kelainan susunan saraf pusat yang karena trauma atau infeksi.
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan.
Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin
pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan
penghancuran Eritrosit, Polisitemia. Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat
menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar
protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi hipoksia, asidosis.
Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila
ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan
ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu. Pada derajat tertentu Bilirubin ini akan
bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada
Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak.
sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi
dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut
kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut
mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah
tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung
pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak
apabila bayi terdapat keadaan BBLR, hipoksia, dan hipoglikemia (Nurarif, 2015).
7. PATHWAY

Hemoglobin

Globin Hema

Bilivirdin Feco

Peningkatan destruksi eritrosit (gangguan konjugasi bilirubin/gangguan


transport bilirubin/peningkatan siklus entero hepatik), Hb dan eritrosit
abnormal

Pemecahan bilirubin berlebih / bilirubin yang tidak berikatan dengan


albumin meningkat

Suplai bilirubin melebihi kemampuan hepar

Hepar tidak mampu melakukan konjugasi

Sebagian masuk kembali ke siklus


enterohepatik

Peningkatan bilirubin unconjugned dalam darah, pengeluaran meconeum


terlambat, obstruksi usus, tinja berwarna pucat

Dx : IKTERIK
NEONATUS Icterus pada sklera, leher dan badan
peningkatan bilirubin indirek > 12 Dx :
mg/dl GANGGUAN
Kurang informasi INTEGRITAS
terhadap penanganan Indikasi Fototerapi KULIT
ikterik neonatus
Sinar dengan intensitas
tinggi
Dx : DEFISIT
PENGETAHUAN

Dx : RISIKO Dx : RISIKO Dx :
CIDERA HYPOVOLEMIA HIPERTERMIA

(Refrensi dari Nurarif, 2015).


8. MANIFESTASI KLINIS
Dikatakan Hiperbilirubinemia apabila ada tanda-tanda sebagai berikut (Sritamaja,
2018) :
- Warna kuning yang dapat terlihat pada sklera, selaput lender, kuku atau kulit atau
organ lain dan membran mukosa akibat penumpukan bilirubin
- Ikterik terjadi pada 24 jam pertama
- Peningkatan konsentrasi bilirubin 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
- Konsentrasi bilirubin serum 10 mg% pada neonatus cukup bulan, dan 12,5 mg%
pada neonatus cukup bulan
- Ikterik yang disertai proses hemolisis
- Ikterik yang disertai dengan berat badan lahir < 2000 gr, masa gestasi < 36 mg,
asfiksia, hipoksia, sindrom gangguan pernafasan, infeksi, trauma lahir pada kepala,
hipoglikemia, hiperkarbia, hiperosmolalitas darah
- Muntah, anoksia, fatigue, warna urin gelap dan warna tinja pucat, seperti dempul
- Perut membuncit dan pembesaran pada hati
- Letargik (lemas), kejang, tidak mau menghisap

9. KOMPLIKASI
Menurut Nurarif (2015), komplikasi pada ikterik neonatus :
 Bilirubin enchepalopathy (komplikasi serius)
 Kern ikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, retardasi mental, hiperaktif,
bicara lambat, tidak ada koordinasi otot dan tangisan yang melengking.

10. PENATALAKSANAAN
Menurut Sritamaja (2018), penatalaksanaan medis pada ikterik neonatus :
1. Mempercepat metabolisme dan pengeluaran bilirubin
 Menyusui bayi denga ASI, bilirubin dapat pecah jika bayi banyak
mengeluarkan feses dan urine, untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI.
Seperti yang diketahui ASi memiliki zat zat terbaik yang dapat memperlancar
BAB dan BAK
 Pemberian fenobarbital, fenobarbital berfungsi untuk mengadakan induksi
enzim mikrosoma, sehingga konjungsi bilirubin berlangsung dengan cepat.
2. Fototerapi
Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin dari suatu senyawa tetrapirol yang
sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air, dan
dikeluarkan melalui urine, tinja, sehingga kadar bilirubin menurun.
 Cara kerja fototerapi
Foto terapi dapat menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawa
tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut
dalam air dan cairan empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya
pengeluaran cairan empedu kedalam usus sehingga peristaltik usus menngkat
dan bilirubin akan keluar dalam feses.
Mekanisme :
 Terapi sinar dilakukan pada bayi dengan kadar billirubin indirek > 10
mg/dl dan bayi denga proses hemolisis  ditandai dengan ikterus pada
hari I
 Bayi diletakkan 8 inci di bawah sinar lampu. Jarak ini dianggap jarak yang
terbaik untuk mendapatkan energi yang optimal
 Terapi sinar terdiri dari 10 buah lampu neon, paralel. Dipasang dalam
kotak yang berventilasi, energi cahaya yang optimal (350-470 nanometer),
dengan jarak  50 cm. Dibagian bawah kotak lampu dipasang fleksiglas
biru (untuk menahan sinar ultraviolet yang tidak bermanfaat untuk
penyinaran).
 Saat penyinaran  usahakan bagian tubuh terpapar seluas-luasnya, posisi
bayi diubah setiap 1 – 2 jam (menyeluruh).
 Kedua mata dan gonad bayi ditutup dengan bahan yang dapat
memantulkan cahaya agar tidak membahayakan retina mata dan sel
reproduksi bayi..
 Kadar billirubin dan Hb bayi dipantau secara berkala sekurang-kurangnya
tiap 24 jam.
 Suhu bayi diukur secara berkala setiap 4-6 jam.
 Hemoglobin harus diperiksa secara berkala terutama pada bayi dengan
hemolisis
 Dihentikan bila kadar billirubin < 10 mg/dl.
 Lamanya penyinaran biasanya tidak > 100 jam.
 Penghentian/peninjauan kembali dilakukan bila ditemukan efek samping :
Enteritis, hypertermi, dehidrasi, kelainan kulit (ruam), gangguan minum,
letargi, dan iritabilitas.
 Komplikasi fototerapi
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada fototerapi adalah:
 Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan
peningkatan Insensible Water Loss (penguapan cairan). Pada BBLR
kehilangan cairan dapat meningkat 2-3 kali lebih besar.
 Frekuensi defekasi meningkat sebagai akibat meningkatnya bilirubin
indirek dalam cairan empedu dan meningkatkan peristaltik usus.
 Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar (berupa
kulit kemerahan) tetapi akan hilang jika fototerapi selesai.
 Gangguan pada retina jika mata tidak ditutup.
 Kenaikan suhu akibat sinar lampu, jika hal ini terjadi sebagian lampu
dimatikan, tetapi diteruskan dan jika suhu terus naik, lampu semua
dimatikan sementara, dan berikan ekstra minum kepada bayi.
3. Transfusi tukar
Transfuse tukar dilakukan pada keadaan hyperbilirubinemia yang tidak
dapat diatasi dengan tindakan lain, misalnya telah diberikan fototerapi kadar
bilirubin tetap tinggi. Pada umumnya transfuse tukar dilakukan pada ikterus yang
disebabkan hemolisis yang terdapat pada ketidakselarasan rhesus ABO, defisiensi
enzim glukuronil transferase G-6-PD, infeksi toksoplasmosis dan sebagainya.
Indikasi untuk melakukan transfusi tukar adalah kadar bilirubin indirek
lebih dari 20 mg%, peningkatan kadar bilirubin indirek cepat yaitu 0,3-1 mg%
per-jam, anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung, bayi dengan
kadar hemoglobin tali pusat kurang dari 14 mg% dan uji comb positif. Tujuan
transfuse tukar adalah mengganti ertitrosit yang dapat menjadi hemolisis,
membuang antibody yang menyebabkan hemolisis, menurunkan kadar bilirubin
indirek dan memperbaiki anemia.

11. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Menurut Nurarif (2015), pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada ikterik
neonatus adalah :
a. USG, Radiologi
b. Kadar bilirubin serum (total). Kadar bilirubin serum direk dianjurkan untuk
diperiksa, bila dijumpai bayi kuning dengan usia kurang lebih dari 10 hari dan tau
dicurigai adanya suatu kolestatis.
c. Darah tepi lengkap dan gambaran apusan darah tepi untuk melihat morfologi
eritrosit dan hitumg retikulosit
d. Penentuan golongan darah dan factor Rh dari ibu dan bayi. Bayi yang berasal dari
ibu dengan Rh negative harus dilakukan pemeriksaan golongan darah, faktor Rh uji
coombs pada saat bayi dilahirkan, kadar hemoglobin dan bilirubin tali pusat juga
diperiksa (Normal bila Hb >14mg/dl dan bilirubin Tali Pusat , < 4 mg/dl ).
e. Pemeriksaan enzim G-6-PD (glukuronil transferase ).
f. Pada Ikterus yang lama, lakukan uji fungsi hati (dapat dilanjutkan dengan USG
hati, sintigrafi system hepatobiliary, uji fungsi tiroid, uji urine terhadap
galaktosemia.
g. Bila secara klinis dicurigai sepsis, lakukan pemeriksaan kultur darah, dan
pemeriksaan C reaktif protein (CRP).

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


A. PENGKAJIAN
1. Aktivitas/ istirahat: letargi, malas
2. Sirkulasi: mungkin pucat, menandakan anemia
3. Eliminasi: Bising usus hipoaktif, vasase meconium mungkin lambat, feces
mungkin lunak atau coklat kehijauan selama pengeluaran billirubin. Urine
berwarna gelap.
4. Makanan cairan: Riwayat pelambatan/ makanan oral buruk.
5. Palpasi abdomen: dapat menunjukkan pembesaran limpa, hepar.
6. Neurosensori:
 Chepalohaematoma besar mungkin terlihat pada satu atau kedua tulang
parietal yang berhubungan dengan trauma kelahiran.
 Oedema umum, hepatosplenomegali atau hidrops fetalis, mungkin ada
dengan inkompathabilitas Rh.
 Kehilanga refleks moro, mungkin terlihat.
 Opistotonus, dengan kekakuan lengkung punggung, menangis lirih, aktifitas
kejang.
7. Pernafasan: krekels (oedema fleura)
8. Keamanan: Riwayat positif infeksi atau sepsis neonatus, akimosis berlebihan,
pteque, perdarahan intrakranial, dapat tampak ikterik pada awalnya pada wajah
dan berlanjut pada bagian distal tubuh.
9. Seksualitas: mungkin praterm, bayi kecil usia untuk gestasi (SGA), bayi dengan
letardasio pertumbuhan intra uterus (IUGR), bayi besar untuk usia gestasi (LGA)
seperti bayi dengan ibu diabetes. Terjadi lebih sering pada bayi pria daripada bayi
wanita.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Ikterik neonatus berhubungan dengan ikterus pada sclera, leher dan badan
2. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan perubahan pigmentasi
(peningkatan kadar bilirubin)
3. Hipertermia berhubungan dengan indikasi fototerapi terpapar lingkungan panas
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi
5. Risiko hipovolemia berhubungan dengan efek samping fototherapi dan pemaparan
sinar dengan intensitas tinggi.
6. Risiko cedera berhubungan dengan ( terpapar zat kimia toksik) peningkatan
bilirubin indirek dalam darah yang bersifat toksik terhadap otak
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
NO No Dx TUJUAN & KRITERIA HASIL INTERVENSI RASIONAL
1 1 Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama SIKI Label
…x…Jam diharapkan Adaptasi Neonatus Fototerapi Neonatus
membaik dapat teratasi dengan kriteria hasil :  Monitor ikterik pada  Untuk mengetahui
SLKI Label sclera dan kulit bayi seberapa ikterik yang
Adaptasi Neonatus dialami bayi
 Kulit kuning menurun  Monitor tanda-tanda  Untuk mengetahui
 Sclera kuning menurun vital bayi keadaan umum pasien
 Kadar bilirubin dalam batas normal
( Bilirubin total <12 mg/dl )  Anjurkan ibu  Untuk pemenuhan
menyusui sesering nutrisi bayi, dan bayi
mungkin dapat mengeluarkan
urine dan feses
harapannya agar
bilirubin yang berlebih
dapat larut dalam urine
dan feses untuk
menurunkan kadar
bilirubin
 Kolaborasi  Untuk mengetahui
pemeriksaan darah kadar bilirubin dan
vena bilirubin dan total
total
2 2 Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1. Monitor aktivitas dan 1. Untuk memastikan bayi
…x24 Jam diharapkan gangguan integritas mobilisasi pasien dapat melakukan
kulit dapat teratasi dengan kriteria hasil: mobilisasi atau perubahan
1. Integritas kulit yang baik bisa posisi agar tidak terjadi
dipertahankan (sensasi, elastisitas, penekanan pada satu sisi
temperatur, hidrasi, pigmentasi) 2. Anjurkan pasien untuk 2. Agar kulit bayi terhindar
2. Tidak ada luka atau lesi pada kulit menggunakan pakaian dari lecet dan kemerahan
3. Perfusi jaringan baik yang longgar jika menggunakan pakaian
ketat
3. Jaga kebersihan kulit agar 3. Memaksimalkan elastisitas
tetap bersih dan kering turgor kulit bayi
4. Mobilisasi pasien ( ubah 4. Perubahan posisi
posisi pasien) setiap 2 jam mempertahankan sirkulasi
sekali yang adekuat dan
mencegah penekanan yang
berlebihan pada satu sisi
5. Oleskan lotion atau 5. Untuk mencegah
minyak/baby oil pada kerusakan kulit lebih parah
daerah tertekan
6. Memandikan pasien 6. Menjaga temperatur tubuh
dengan sabun dan air bayi agar tetap stabil serta
hangat menjaga kebersihan kulit
bayi
3 3 Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1. Identifikasi penyebab 1. Untuk mengetahui
…x 24 Jam diharapkan hipertermia dapat hipertermia (mis : penyebab hipertermia
teratasi dengan kriteria hasil : dehidrasi, terpapar
1. Suhu tubuh dalam rentang normal (36,5- lingkungan panas)
37,5 °C) 2. Monitor suhu bayi sampai 2. Untuk memantau suhu
2. Nadi dan RR dalam rentang normal (N: stabil (36,50 C – 37,50 C) tubuh bayi apakah sudah
120-160 x / menit , RR: 40-60 x / menit) normal apa belum
3. Tidak ada perubahan warna kulit 3. Monitor warna dan suhu 3. Untuk memantau suhu
kulit tubuh bayi
4. Longgarkan atau lepaskan 4. Agar tidak terjadi
pakaian peningkatan suhu badan
bayi dan bayi dapat
mengeluarkan keringat
5. Tingkatkan asupan cairan 5. Untuk memenuhi
dan nutrisi yang adekuat kebutuhan cairan dan
nutrisi pasien
6. Anjurkan tirah baring 6. Memberikan kesempatan
pasien untuk istirahat lebih
banyak dalam pasca
penyembuhan
7. Kolaborasi pemberian 7. Untuk memenuhi
cairan dan elektrolit kebutuhan cairan pasien
intravena , jika perlu
4 4 Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 1. Identifikasi kemungkinan 1. Untuk mengetahui
…x 24 Jam diharapkan pengetahuan terhadap penyebab dengan cara penyebab keluarga pasien
penyakit dapat meningkat dengan kriteria hasil yang tepat mengalami defisit
1. Keluarga menyatakan pemahaman tentang pengetahuan
penyakit, kondisi, prognosis,dan program 2. Gambarkan tanda dan 2. Untuk memberikan
pengobatan gejala yang biasa muncul edukasi atau pemahaman
2. Keluarga mampu melaksanakan prosedur pada penyakit, dengan informasi mengenai
yang dijelaskan secara benat cara yang tepat penyakit yang dialami
3. Keluarga mampu menjelaskan kembali pasien
apa yang dijelaskan perawat/tim 3. Sediakan informasi pada 3. Agar keluarga pasien
kesehatan lain pasien tentang kondisi, memahami mengenai
dengan cara yang tepat kondisi yang dialami
pasien
4. Diskusikan pilihan terapi 4. Agar keluarga pasien
atau penanganan mengetahui terapi dan
penanganan yang akan
dilakukan demi proses
penyembuhan
5 5 Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1. Periksa tanda dan gejala 1. Mengindentifikasi
…x… diharapkan status cairan membaik hypovolemia (mis : perubahan-perubahan yang
dengan kriteria hasil : frekuensi nadi meningkat, akan terjadi pada keadaan
1. Mempertahankan urine output sesuai nadi teraba lemah, turgor umum pasien terutama
dengan usia dan BB kulit menurun, membrane tanda dan gejala
2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam mukosa kering) hipovolemia
batas normal (TD : Sistolik : 50-70 mmhg, 2. Monitor intake dan output 2. Membantu dalam
diastolic : 41-52 mmhg, N: 120-160 x / cairan menganalisa
menit , RR: 40-60 x / menit) keseimbangan cairan dan
3. Tidak ada tanda dehidrasi derajat kekurangan cairan
4. Elastisitas turgor kulit baik, membrane 3. Monitor berat badan 3. Untuk memonitor status
mukosa lembab nutrisi pasien
4. Monitor vital sign 4. Untuk mengetahui
keadaan umum pasien
5. Berikan asupan cairan oral 5. Untuk memenuhi
kebutuhan cairan pasien
6. Kolaborasi dalam 6. Pemberian cairan tepat
pemberian obat dan cairan melalui IV line sebagai
IV pengganti cairan yang
hilang
6 6 Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 1. Identifikasi kebutuhan 1. Untuk meminimalkan
…x… diharapkan tingkat cedera menurun keselamatan kejadian risiko cedera
dengan kriteria hasil : terhadap pasien
1. Tidak ada lecet pada kulit 2. Identifikasi area 2. Hal-hal yang
2. Tidak ada memar lingkungan yang membahayakan
3. Tidak ada perdarahan menyebabkan cedera dilingkungan pasien dapat
berakibat fatal untuk
keselamatan pasien
3. Modifikasi lingkungan 3. Untuk meminimalkan
untuk meminimalkan kejadian risiko cedera
bahaya dan resiko terhadap pasien
4. Gunakan pengaman 4. Agar pasien terhindar dari
tempat tidur sesuai dengan risiko cedera yang
kebijakan fasilitas memungkinkan terjadi
pelayanan kesehatan pada pasien dan agar
pasien tetap safety
5. Ajarkan individu, keluarga 5. Untuk meminimalkan
dan kelompok resiko bahan berbahaya dan
tinggi bahaya lingkungan beresiko dari lingkungan
pasien
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Melaksanakan implementasi sesuai dengan apa yang direncanakan di intervensi keperawatan
E. EVALUASI
No Hari/Tgl/Jam No Evaluasi Nama dan
Diagnosa TTD
1 1 S=Data yang disampaikan langsung oleh
klien/keluarga
O= Elastisitas meningkat, pigmentasi
abnormal menurun, tetap mempertahankan
laktasi
A=Apakah kriteria hasil pada intervensi
tercapai, tercapai sebagian dan /atau tidak
tercapai
P=Planning/Rencana yang dibuat
berdasarkan hasil analisa: pertahankan
kondisi, lanjutkan intervensi dan/atau
modifikasi intervensi
2 2 S=Data yang disampaikan langsung oleh
klien/keluarga
O= Integritas kulit yang baik bisa
dipertahankan (sensasi, elastisitas,
temperatur, hidrasi, pigmentasi), tidak ada
luka atau lesi pada kulit, perfusi jaringan
baik
A=Apakah kriteria hasil pada intervensi
tercapai, tercapai sebagian dan /atau tidak
tercapai
P=Planning/Rencana yang dibuat
berdasarkan hasil analisa: pertahankan
kondisi, lanjutkan intervensi dan/atau
modifikasi intervensi
3 3 S=Data yang disampaikan langsung oleh
klien/keluarga
O= Suhu tubuh dalam rentang normal (36,5-
37,5 °C), nadi dan RR dalam rentang normal
(N: 120-160 x / menit , RR: 40-60 x / menit),
tidak ada perubahan warna kulit
A=Apakah kriteria hasil pada intervensi
tercapai, tercapai sebagian dan /atau tidak
tercapai
P=Planning/Rencana yang dibuat
berdasarkan hasil analisa: pertahankan
kondisi, lanjutkan intervensi dan/atau
modifikasi intervensi
4 4 S=Data yang disampaikan langsung oleh
klien/keluarga
O= Keluarga menyatakan pemahaman
tentang penyakit, kondisi, prognosis,dan
program pengobatan, keluarga mampu
melaksanakan prosedur yang dijelaskan
secara benat, keluarga mampu menjelaskan
kembali apa yang dijelaskan perawat/tim
kesehatan lain
A=Apakah kriteria hasil pada intervensi
tercapai, tercapai sebagian dan /atau tidak
tercapai
P=Planning/Rencana yang dibuat
berdasarkan hasil analisa: pertahankan
kondisi, lanjutkan intervensi dan/atau
modifikasi intervensi
5 5 S=Data yang disampaikan langsung oleh
klien/keluarga
O= Mempertahankan urine output sesuai
dengan usia dan BB, tekanan darah, nadi,
suhu tubuh dalam batas normal (TD :
Sistolik : 50-70 mmhg, diastolic : 41-52
mmhg, N: 120-160 x / menit , RR: 40-60 x /
menit), tidak ada tanda dehidrasi, elastisitas
turgor kulit baik, membrane mukosa lembab
A=Apakah kriteria hasil pada intervensi
tercapai, tercapai sebagian dan /atau tidak
tercapai
P=Planning/Rencana yang dibuat
berdasarkan hasil analisa: pertahankan
kondisi, lanjutkan intervensi dan/atau
modifikasi intervensi
6 6 S=Data yang disampaikan langsung oleh
klien/keluarga
O= Tidak ada lecet pada kulit, tidak ada
memar, tidak ada perdarahan
A=Apakah kriteria hasil pada intervensi
tercapai, tercapai sebagian dan /atau tidak
tercapai
P=Planning/Rencana yang dibuat
berdasarkan hasil analisa: pertahankan
kondisi, lanjutkan intervensi dan/atau
modifikasi intervensi
DAFTAR PUSTAKA
Bulecheck, Gloria M.,dkk. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC). Fifth Edition. Iowa:
Mosby Elsavier.

Lubis, N.M. 2013. Psikologi Kespro Wanita dan Perkembangan Reproduksinya Ditinjau dari
Aspek Fisik dan Psikologi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Moorhead, Sue dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC) Edisi ke-5.
Singapore:Elsevier

Nurarif, Amin Huda dan Hardhi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis dan NANDA NIC-NOC SLE/LES (Sistemik Lupus Eritematosus). Jilit
2. Hlm 221-226. Jogjakarta: Mediaction.

Slusher, dkk. 2013.. 2012. Fototerapi Sinar Matahari Yang Disaring Secara Selektif Aman dan
Berkhasiat untuk Pengobatan Penyakit Kuning Neonatal Di Nigeria. American
Academy of Pediatrics National Conference and Exhibition: New Orleans.

Sritamaja, I Kadek.2018. Gambaran Asuhan Keperawatan Pada Bayi Hiperbilirubinemia


Dengan Masalah Keperawatan Ikterik Neonatus Di Ruang Nicu Rsud Mangusada
Badung Tahun 2018. Diploma Thesis, Poltekkes Denpasar. (Online). Available from :
http://repository.poltekkes-denpasar.ac.id/1252/ (10 Desember 2020).

Tim Pogja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan
Indikator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Anda mungkin juga menyukai