Anda di halaman 1dari 38

2.

LANDASAN TEORI

2.1. Proses Produksi Keramik


PT X memiliki dua jenis proses produksi yaitu proses single firing dan
proses double firing. Proses single firing yaitu keramik mengalami proses
pembakaran satu kali saja dan biasanya digunakan untuk keramik lantai. Proses
double firing yaitu proses pembakaran yang dilakukan hingga dua kali dan
biasanya digunakan untuk keramik dinding. Untuk dapat mengetahui langkah-
langkah pembuatan keramik maka digunakan peta proses operasi (Operating
Process Chart). Berikut merupakan Operating Process Chart (OPC) dari keramik
proses single firing:

4
Universitas Kristen Petra
5

PETA PROSES OPERASI

Nama Proyek : Pembuatan Keramik


Nomor Peta :1
Dipetakan Oleh : Daniel dan Yohanes
Tanggal Dipetakan : 31 Januari 2007

Glaze Material
Hard Material (Kwarsa &Feldspar)

O-9 Weighing O-1 Crushing

Air Tanah Liat (Clay Material)

O-10 Milling O-2 Weighing

Larutan Pengencer
Air

O-3
Milling (Ball Mill)
I-1

O-4
Penampungan (Slurry)
I-2

O-5
Spray Drying
I-3

O-6 Penampungan (Silo)

O-7 Pressing (Mesin Pres)


I-4

O-8
Drying (mesin drying)
I-5

O-11
Glaze Application
I-6

O-12 Drying (mesin drying)

O-13
Firing (Kiln)
I-7
Tinta Coretan

O-14 Sorting

Karton
Palet
Lem
Strapping Band

O-15 Packing

I-8 Inspeksi Akhir

S-1 Storage

Gambar 2.1. OPC Pembuatan Keramik


Universitas Kristen Petra
6

Keterangan:
O-1 : Proses Crushing yaitu proses menghancurkan hard material menjadi
butiran batuan dengan ukuran sekitar 6 mm. Hard material di sini
berupa batuan kwarsa (sebagai kerangka ubin), feldspar (untuk memberi
kekuatan setelah pembakaran) dan kapur.
O-2 : Proses Weighing yaitu proses penimbangan hard material dan clay
material sesuai dengan jumlah komposisi yang telah ditentukan. Clay
material yang dimaksud di sini yaitu tanah liat yang digunakan khusus
untuk membuat keramik. Tanah liat ini berfungsi sebagai pemberi sifat
plastis dan kekuatan sebelum pembakaran yang dalam beberapa
prosesnya terdapat beberapa warna pada campuran seperti agak merah
(banyak kandungan besi), hijau (banyak kandungan kompos), serta putih
(banyak kandungan aluminium) yang merupakan bahan pengikat.
O-3, I-1: Proses Milling yaitu mencampur hard material, clay material, larutan
pengencer dan air menjadi satu dan menggilingnya dengan
menggunakan ball mill. Campuran yang dihasilkan dari penggilingan ini
dinamakan slip. Pada mesin ball mill, terdapat batuan khusus untuk
membantu penggilingan tadi. Batu yang terdapat dalam ball mill akan
habis dalam jangka waktu tertentu dan diganti lagi. Pada proses ini
dilakukan pengendalian kualitas terhadap komposisi campuran.
Adapun beberapa kriteria yang digunakan dalam pengendalian kualitas
yang dimaksud yaitu:
• Berat jenis/densitas slip.
• Viskositas (° E, derajat Engler) slip.
• Residu slip.
Yaitu penimbangan jumlah butiran dari slip yang dihasilkan dengan
menggunakan saringan. Penimbangan residu ini dilakukan dengan
menggunakan menggunakan saringan 230 (230 mesh) dengan standar
63 (mikron).

Universitas Kristen Petra


7

O-4, I-2: Proses penampungan dan homogenitas slip tadi dalam suatu wadah
yang dinamakan sumur slurry. Pada proses ini juga dilakukan
pengendalian kualitas. Adapun beberapa kriteria yang digunakan
dalam pengendalian kualitas yang dimaksud yaitu:
• Berat jenis slip.
• Viskositas slip.
• Residu slip.
O-5, I-3: Proses Spray Drying yaitu proses menyemprotkan slip yang telah
ditampung tadi untuk kemudian dialirkan uap panas. Proses ini
dilakukan untuk memisahkan tanah liat dari kandungan air menjadi
bubuk (powder) yang memiliki kandungan air 1% - 5 %. Pada proses
ini juga dilakukan pengendalian kualitas, beberapa kriteria yang ada
yaitu:
• Kadar air
Yaitu pengecekan kandungan air agar tidak melebihi 6%. Hal ini
dilakukan untuk memudahkan dalam pembentukan keramik.
Powder yang terlalu besar kadar airnya akan membuat powder
tersebut lengket pada mesin press ketika proses pengepresan,
sedangkan powder yang terlalu kecil kandungan airnya tidak akan
mempunyai kerekatan ketika dibentuk menjadi keramik.
• Granulasi
Pada proses ini juga dilakukan pengecekan ukuran dari partikel
powder yang ada.
O-6 : Proses penampungan powder dalam silo. Hal ini dilakukan agar
powder menjadi homogen (kandungan airnya sama). Biasanya
powder tersebut diendapkan rata-rata 1 hari untuk kemudian masuk
ke proses selanjutnya.

Universitas Kristen Petra


8

O-7, I-4 : Proses pengepresan powder menjadi keramik dengan ukuran-ukuran


tertentu dengan menggunakan mesin press. Pada proses ini dilakukan
pengendalian kualitas dengan beberapa kriteria, yaitu:
• Kadar air powder.
• Ketebalan dari green body
Ketebalan dari hasil cetakan (body) diukur agar sesuai dengan
spesifikasi yang ditentukan.
• Tekanan press body tegel.
• Berat dari green body.
• Kepadatan green body.
Kepadatan diukur dengan menggunakan alat penetro.
• Uji bakar green body digunakan untuk melihat ukuran tegel setelah
dibakar.
O-8, I-5 : Proses pengeringan (drying) keramik yang telah dipress tadi dengan
menggunakan mesin dryer. Pada proses ini, kandungan air yang
terdapat pada hasil pengepresan dijaga agar kurang dari 1% yaitu
sekitar 0,5-0,6%. Pada proses ini juga dilakukan pengecekan terhadap
temperatur dari mesin drying.
O-9 : Proses Weighing yaitu proses penimbangan glaze material sesuai
dengan komposisi yang telah ditentukan. Glaze material ini nantinya
akan digunakan untuk melapisi keramik.
O-10 : Proses Milling yaitu proses penggilingan dari bahan glaze material
agar memiliki sifat yang homogen.
O-11, I-6: Proses Glaze Application yaitu proses melapisi keramik yang sudah
dicetak tadi dengan bahan glaze material. Lapisan-lapisan yang
termasuk glaze application yaitu lapisan engobe, glasur dan printing.
Beberapa teknik yang digunakan dalam glazing yaitu campana
(memberikan lapisan glaze material secara vertikal dan disc (melapisi
keramik dengan cara membuat kabut glassure). Pada proses glazing ini
juga dilakukan pelapisan engobe (antara glassure dengan body).
Pada proses ini juga dilakukan pengendalian kualitas. Adapun
beberapa kriteria yang digunakan yaitu:

Universitas Kristen Petra


9

• Berat jenis aplikasi, engobe, glasur dan pasta.


• Viskositas aplikasi, engobe, glasur dan pasta.
• Berat aplikasi, engobe, glasur dan pasta.
O-12 : Proses drying keramik yang telah diglassure untuk mengurangi
kandungan airnya. Proses drying ini dilakukan dengan menggunakan
udara panas.
O-13, I-7: Proses Firing yaitu proses pembakaran keramik yang telah dilapisi
glaze material tadi dengan menggunakan mesin kiln. Pembakaran
dilakukan dengan menggunakan temperatur rata-rata 1150° C. Pada
proses pembakaran ini juga dilakukan pengendalian kualitas dengan
beberapa kriteria yaitu:
• Cacat body.
• Cacat aplikasi.
• Cacat kiln.
Biasanya keramik yang dibakar dapat berjalan keluar dari jalur
yang ada dan kemudian bertabrakan dengan roll/pembatas dari
jalur tersebut.
• Planarity (kelurusan) dari keramik.
• Size (ukuran) dari keramik.
O-14 : Proses Sorting yaitu proses memilah-milah keramik yang sudah jadi
menjadi beberapa kriteria. Pada proses ini keramik akan digolongkan
dalam tiga golongan yaitu keramik dengan kualitas A, B, dan C. Untuk
jenis keramik selain kualitas A, B, dan C maka akan digolongkan
dalam golongan D. Keramik kualitas D ini nantinya akan dijual dengan
harga di bawah rata-rata. Pada keramik yang rusak (maksimum 30%
dari luas keramik) akan digolongkan dalam keramik dumping.
Untuk memisahkan kualitas dari keramik yang disortir maka
digunakan tinta coretan. Coretan untuk masing-masing kualitas
dibedakan dari letak dari coretannya. Coretan ini nantinya akan dibaca
oleh sensor untuk kemudian dipisahkan ke dalam masing-masing
kualitasnya.

Universitas Kristen Petra


10

O-15: Proses Packing yaitu proses pengepakan keramik dalam kardus dengan
dicantumkan keterangan berdasarkan kualitas keramik tersebut. Proses
pengepakan ini biasa dilakukan oleh robot dan manusia. Untuk proses ini,
keramik dengan kualitas A, B, dan C akan dipacking dengan
menggunakan robot/manusia dengan kardus bercorak sesuai dengan jenis
keramik itu sendiri sedangkan keramik dengan kualitas D akan diambil
manual oleh operator dan menggunakan kardus coklat dan stempel.
I-8 : Inspeksi Akhir yaitu proses sampling penerimaan yang dilakukan oleh
bagian QA (Quality Assurance) dan untuk meminimalkan jumlah keramik
yang tidak sesuai dengan kualitasnya sebelum dikirim ke konsumen.
S-1 : Proses penyimpanan keramik yang telah lolos inspeksi akhir ke dalam
gudang untuk kemudian dikirimkan ke konsumen.

2.2. Seven Tools untuk Pengendalian Kualitas


Ada banyak macam alat yang dapat digunakan untuk mendeteksi dan
memecahkan masalah pengendalian kualitas. Diantaranya adalah penggunaan
seven tools yang dapat digunakan untuk mendeteksi kecacatan yang terjadi.
Berikut ini adalah penjelasan mengenai seven tools yang pada umumnya
digunakan.

2.2.1. Diagram Pareto


Diagram Pareto adalah sebuah peta yang terdiri atas batangan-batangan
yang diurutkan dari nilai yang terbesar sampai yang terkecil (Hitoshi Kume,
1989). Data yang diplotkan biasanya adalah berupa kecacatan. Diagram ini sangat
berguna untuk melihat cacat yang paling banyak terjadi untuk kemudian diambil
tindakan atau ditangani. Keuntungan lain dari diagram ini adalah penggunaan
prinsip 80-20 yang artinya, 80% kecacatan yang terjadi timbul karena 20%
masalah.
Langkah-langkah untuk membuat diagram Pareto antara lain:
1. Menentukan permasalahan apa yang akan diteliti dan bagaimana cara
mengumpulkan data.
a. Menentukan macam masalah yang ingin diteliti.
Universitas Kristen Petra
11

Contoh: item rusak, kerugian dalam arti moneter, kejadian kecelakaan.


b. Menetapkan data apa yang diperlukan dan mengklasifikasikannya.
Contoh: rusak berdasarkan tipe, lokasi proses, mesin, pekerja, metode.
Catatan: item yang jarang muncul diringkas dalam judul “lain-lain”.
c. Menetapkan metode pengumpulan data dan periode selama data
dikumpulkan.
Catatan: dianjurkan menggunakan formulir penelitian yang dianjurkan.
2. Merencanakan lembaran catatan data yang mendaftar semua item, dengan
menyediakan ruang untuk jumlah total.
3. Mengisi lembaran catatan dan menghitung jumlah total.
4. Membuat lembaran data diagram Pareto yang mendaftar semua item, masing-
masing jumlah total, total kumulatif, prosentase terhadap total seluruhnya, dan
prosentase kumulatif.
5. Mengatur item dalam urutan jumlah, dan mengisi lembaran data.
Catatan: item “lain-lain” harus diletakkan pada garis terakhir, tanpa
mempermasalahkan berapa besarnya. Hal ini disebabkan oleh karena
merupakan kumpulan grup item yang masing-masing lebih kecil dari
item terkecil yang dicatat sebagai individu.
6. Menggambar dua sumbu vertikal dan sebuah sumbu horisontal.
a. Sumbu Vertikal
• Sumbu Vertikal Kiri
Menandai sumbu ini dengan skala dari 0 sampai total seluruhnya.
• Sumbu Vertikal Kanan
Menandai sumbu ini dengan skala dari 0% sampai 100%.
b. Sumbu Horisontal
Membagi sumbu ini dengan jumlah interval sampai jumlah item yang
diklasifikasikan.
7. Membuat diagram balok.
8. Menggambar kurva kumulatif (kurva Pareto).
Menandai nilai kumulatif (total kumulatif atau prosentase kumulatif), di atas
interval kanan dari setiap item, dan menghubungkan titik-titik tersebut dengan
garis.

Universitas Kristen Petra


12

9. Menulis item-item yang diperlukan pada diagram.


• Item yang berhubungan dengan diagram: judul, kuantitas sebenarnya, unit,
nama penggambar.
• Item yang berhubungan dengan data: periode, pokok, tempat penelitian,
dan jumlah total data.
Contoh dari diagram Pareto dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Diagram Pareto untuk Kecacatan Tube

100
90
80
80
70

Percent
60 60
Count

50
40 40
30
20 20
10
0 0

R R
Defect PD K BP PB

Count 73 9 8 5
Percent 76.8 9.5 8.4 5.3
Cum % 76.8 86.3 94.7 100.0

Gambar 2.2. Contoh Diagram Pareto

2.2.2. Cause and Effect Diagram (Diagram Fishbone)


Output atau hasil suatu proses dapat diatributkan dengan banyak faktor,
dan hubungan sebab-akibat dapat ditemukan di antara faktor-faktor tersebut. Kita
dapat menentukan struktur atau hubungan sebab-akibat yang berlipat dengan
mengamatinya secara sistematik. Sangat sulit memecahkan masalah yang
kompleks tanpa memperhatikan strukturnya, yang terdiri dari rantai sebab-akibat,
dan diagram sebab-akibat adalah metode untuk menyatakan hal ini secara
sederhana dan mudah.
Diagram sebab-akibat adalah sebuah diagram yang menunjukkan
hubungan antara karakteristik mutu dan faktor. Diagram ini berfungsi sebagai alat
untuk membantu mengorganisasi informasi tentang penyebab-penyebab potensial
Universitas Kristen Petra
13

dari suatu masalah. Ada lima faktor utama yang mempengaruhi adalah metode
(misalnya salah dalam menerapkan metode), material, mesin (misalnya mesin
tidak berfungsi lagi dengan baik karena umurnya sudah tua), orang (misalnya
kecerobohan operator, tidak disiplin), dan lingkungan (misalnya suara yang
bising).
Diagram sebab-akibat juga disebut “diagram tulang ikan atau fishbone
diagram” karena seolah olah seperti kerangka ikan, yang ditunjukkan seperti
Gambar 2.3. Atau kadang-kadang juga disebut “diagram pohon” atau “diagram
sungai”, tetapi nama “diagram tulang ikan” yang paling sering digunakan.
Langkah-langkah membuat diagram Sebab-akibat untuk
mengidentifikasikan sebab adalah:
a. Menentukan karakteristik mutu.
b. Memilih satu karakteristik mutu dan menulis pada sisi kanan, kemudian
menggambar tulang belakang dari kiri ke kanan dan memberi kotak pada
karakteristik mutu. Selanjutnya, menulis sebab utama yang mempengaruhi
karakteristik mutu sebagai tulang yang besar dan juga diberi kotak.
c. Menulis sebab lanjutan (sebab kedua) yang mempengaruhi tulang besar (sebab
utama) sebagai tulang ukuran sedang, dan menulis sebab berikutnya (sebab
ketiga) yang mempengaruhi tulang sedang sebagai tulang kecil.
d. Menentukan kepentingan setiap faktor dan menandai faktor yang kelihatannya
mempunyai pengaruh besar pada karakteristik mutu.
e. Mencatat informasi yang diperlukan.
Cara membuat diagram Sebab-akibat oleh sebab yang terdaftar sistematik
adalah:
a. Menentukan karakteristik mutu.
b. Menemukan sebanyak mungkin sebab yang mempengaruhi karakteristik mutu.
c. Mencari hubungan diantara sebab dan membuat diagram sebab-akibat dengan
menghubungkan elemen-elemen tersebut dengan karakteristik mutu dengan
hubungan sebab-akibat.
d. Menentukan kepentingan pada setiap faktor, dan menandai faktor yang
penting yang kelihatan mempunyai pengaruh jelas pada karakteristik mutu.
e. Menulis informasi-informasi yang diperlukan.

Universitas Kristen Petra


14

Contoh diagram Cause and Effect dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Supplier

Saat di truk
Cacat awal

Bentuk
Penyok
Letak

Penyusun
an

Gambar 2.3. Contoh Diagram Cause and Effect

2.3. Definisi Ergonomi


Istilah “ergonomi” berasal dari bahasa latin yaitu ergon (kerja) dan
nomos (hukum alam) dan dapat didefinisikan sebagai studi tentang aspek-aspek
manusia dalam lingkungan kerjanya yang ditinjau secara anatomi, fisiologi,
psikologi, engineering, manajemen, dan desain perancangan. Ergonomi berkenaan
pula dengan optimasi, efisiensi, kesehatan, keselamatan, dan kenyamanan
manusia di tempat kerja (Nurmianto, 1991). Di dalam ergonomi dibutuhkan studi
tentang sistem dimana manusia, fasilitas kerja, dan lingkungannya saling
berinteraksi dengan tujuan utama yaitu menyesuaikan suasana kerja dengan
manusianya.
Penerapan ergonomi pada umumnya merupakan aktivitas rancang bangun
(design) ataupun rancang ulang (redesign) yaitu perancangan ulang suatu alat
kerja yang sudah ada dengan penambahan maupun penyesuaian tertentu sehingga
dapat sesuai dengan manusia yang menggunakan. Di samping itu ergonomi juga
memberikan peranan penting dalam meningkatkan faktor keselamatan, kesehatan
maupun kenyamanan kerja misalnya desain tempat kerja untuk mengurangi rasa
nyeri dan ngilu pada sistem kerangka dan otot manusia. Penerapan faktor
Universitas Kristen Petra
15

ergonomi lainnya yang tidak kalah pentingnya adalah untuk desain dan evaluasi
produk. Produk-produk ini haruslah dapat dengan mudah diterapkan (dimengerti
dan digunakan) pada sejumlah populasi masyarakat tertentu tanpa mengakibatkan
bahaya dalam penggunaannya.

2.4. Dasar Keilmuan dari Ergonomi


Ilmu-ilmu terapan yang banyak berhubungan dengan fungsi tubuh
manusia adalah anatomi dan fisiologi. Untuk menjadi ergonom diperlukan
pengetahuan dasar tentang fungsi dari sistem kerangka otot. Yang berhubungan
dengan hal tersebut adalah kinesiologi (mekanika pergerakan manusia) dan
biomekanika (aplikasi ilmu mekanika teknik untuk analisis sistem kerangka, otot
manusia). Ilmu-ilmu ini akan memberikan modal dasar untuk mengatasi masalah
postur dan pergerakan manusia di tempat dan ruang kerjanya.
Di samping itu, suatu hal yang vital pada penerapan ilmiah untuk
ergonomi adalah antropometri (dimensi tubuh manusia). Dalam hal ini terjadi
penggabungan dan pemakaian data antropometri dengan ilmu-ilmu statistik yang
menjadi prasyarat utamanya.

2.5. Antropometri
Antropometri adalah studi tentang tubuh manusia yang digunakan dalam
mendesain suatu sistem. Suatu desain yang digunakan untuk kepentingan manusia
harus melibatkan dimensi tubuh manusia baik dalam hal lingkungan/tempat kerja
maupun produk/alat. Antropometri menurut Stevenson (1989) yang dikutip
Nurmianto (1991) merupakan kumpulan data numerik yang berhubungan dengan
karakteristik fisik manusia baik bentuk, ukuran, dan kekuatan serta penerapan data
tersebut untuk penanganan masalah desain.

2.5.1. Sumber Variabilitas


Perbedaan antara satu populasi dengan populasi yang lain adalah
dikarenakan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

Universitas Kristen Petra


16

1. Jenis kelamin
Secara umum, dimensi tubuh pria lebih besar bila dibandingkan dengan
dimensi tubuh wanita kecuali panggul, paha, dan ketebalan lipatan kulit. Oleh
karenanya data antropometri untuk kedua jenis kelamin tersebut harus dipisah.
2. Usia
Secara umum, dimensi tubuh manusia tumbuh mulai bayi sampai kira-kira
berumur 20 tahun. Setelah itu, pertumbuhan akan berhenti atau malah
berkurang terutama setelah berumur 40 tahun, tinggi manusia mempunyai
kecenderungan untuk menurun yang antara lain disebabkan oleh berkurangnya
elastisitas tulang belakang (intervertebral discs). Selain itu juga berkurangnya
dinamika gerakan tangan dan kaki.
3. Posisi tubuh
Posisi tubuh yang berbeda akan menghasilkan dimensi yang berbeda pula.
Karena itu, suatu standar harus digunakan untuk menghasilkan dimensi yang
berlaku secara universal.
4. Jenis pekerjaan
Beberapa jenis pekerjaan menuntut adanya persyaratan dalam seleksi
karyawan/stafnya. Seperti misalnya buruh dermaga/pelabuhan harus
mempunyai postur tubuh yang relatif lebih besar dibandingkan dengan
karyawan perkantoran pada umumnya.
5. Pakaian
Ketebalan pakaian yang digunakan pada saat pengukuran akan menambah
ukuran dimensi tubuh sehingga akan berpengaruh pada hasil pengukuran
dimensi tubuh manusia. Selain itu pakaian juga akan berpengaruh terhadap
keleluasaan gerak.
6. Faktor kehamilan pada wanita
Faktor kehamilan juga akan berpengaruh pada pengukuran dimensi tubuh.
Faktor ini sudah jelas akan mempunyai pengaruh perbedaan yang berarti jika
dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Oleh karena itu perancangan
alat kerja harus dapat disesuaikan juga untuk wanita hamil.

Universitas Kristen Petra


17

7. Cacat tubuh secara fisik


Dalam perancangan, diperlukan desain yang ergonomis untuk para penderita
cacat tubuh secara fisik sehingga mereka dapat ikut serta merasakan
”kesamaan” dalam penggunaan fasilitas kerja sesuai dengan ilmu ergonomi.
Data antropometri di sini akan diperlukan untuk perancangan produk bagi
orang-orang cacat (kursi roda, kaki/tangan palsu, dan lain-lain).

2.5.2. Penggunaan Data Antropometri


Data antropometri akan menentukan bentuk, ukuran dan dimensi yang
tepat yang berkaitan dengan produk yang dirancang dan manusia yang akan
mengoperasikan menggunakan produk tersebut. Dalam kaitan ini maka perancang
produk harus mampu mengakomodasikan dimensi tubuh dari populasi terbesar
yang akan menggunakan produk hasil rancangannya tersebut. Dalam menentukan
ukuran maksimum atau minimum biasanya digunakan 5-th dan 95-th persentil.
Dalam antropometri, angka 95-th akan menggambarkan ukuran manusia yang
terbesar dan 5-th persentil akan menunjukkan ukuran terkecil. Rancangan produk
yang dapat diatur secara fleksibel jelas memberikan kemungkinan lebih besar
bahwa produk tersebut akan mampu dioperasikan oleh setiap orang meskipun
ukuran tubuh mereka akan berbeda-beda.

2.5.3. Jenis Pengukuran Antropometri


Alat ukur yang harus digunakan untuk mengukur antropometri adalah
antropometer. Pada pengukuran posisi duduk harus disediakan bangku atau kursi
dengan ukuran 40x40 cm tanpa sandaran. Secara umum pengukuran antropometri
dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu:
a. Pengukuran antropometri statis/dimensi struktural
Dimensi struktural/antropometri statis
Jenis pengukuran ini biasanya dilakukan dalam dua posisi yaitu posisi berdiri
dan duduk di kursi. Data diambil pada saat posisi tubuh dalam keadaan diam
dan standar.

Universitas Kristen Petra


18

Posisi berdiri:
1. Tinggi badan
2. Tinggi mata
3. Tinggi bahu
4. Tinggi siku
5. Tinggi pinggang
6. Tinggi tulang pinggul
7. Tinggi kepalan tangan posisi siap
8. Tinggi jangkauan atas
9. Panjang depa
10. Panjang lengan
11. Panjang lengan atas
12. Panjang lengan bawah
13. Lebar bahu
14. Lebar dada

Gambar 2.4. Pengukuran Antropometri Posisi Berdiri


Sumber: Tarwaka (2004, halaman 22)

Universitas Kristen Petra


19

Posisi duduk:
1. Tinggi kepala
2. Tinggi mata
3. Tinggi bahu
4. Tinggi siku
5. Tinggi pinggang
6. Tinggi tulang pinggul
7. Panjang butoock-lutut
8. Panjang butoock-popliteal (lekuk lutut)
9. Tinggi telapak kaki-lutut
10. Tinggi telapak kaki-popliteal (lekuk lutut)
11. Panjang kaki (tungkai-ujung jari kaki)
12. Tebal paha

Gambar 2.5. Pengukuran Antropometri Posisi Duduk


Sumber: Tarwaka (2004, halaman 22)

b. Pengukuran antropometri dinamis/dimensi fungsional


Data diambil untuk berbagai posisi tubuh yang sedang bekerja. Beberapa
dimensi fungsional yang penting adalah panjang dan tinggi pada posisi
tengkurap, tinggi pada posisi jongkok, dan lain-lain.
Universitas Kristen Petra
20

2.6. Aplikasi Ergonomi untuk Perancangan Tempat Kerja


Perancangan tempat kerja pada dasarnya merupakan suatu aplikasi data
antropometri, tetapi masih memerlukan dimensi fungsional yang tidak terdapat
pada data statis. Dimensi-dimensi tersebut lebih baik diperoleh dengan cara
pengukuran langsung daripada data statis. Misalnya, gerakan menjangkau,
mengambil sesuatu, mengoperasikan suatu alat adalah suatu hal yang sukar untuk
didefinisikan. Ada dua aspek penting dari perancangan tempat kerja yaitu:
• Daerah kerja horisontal pada sebuah bangku.
• Ketinggiannya dari atas lantai.

2.6.1. Daerah Kerja Horisontal


Diperlukan untuk mendefinisikan batasan-batasan dari suatu daerah kerja
horisontal untuk memastikan bahwa material atau alat kontrol tidak dapat
ditempatkan begitu saja diluar jangkauan tangan. Batasan untuk jarak menjangkau
semakin meningkat jika operator mengendalikan beberapa macam gerakan tubuh.
Sebagai contoh, operator duduk yang menghindari gangguan keseimbangan pada
saat menjangkau. Bahkan jika berdiri, jangkauan ke depan dibatasi oleh pinggiran
bangku, hal ini akan dapat mengganggu keadaan badan dan menimbulkan tekanan
pada punggung.
Dalam buku R. M. Barnes (Motion and Time Study, terbit tahun 1980)
yang dikutip oleh Sritomo Wignjosoebroto (2003) mendefinisikan daerah kerja
normal dan maksimum, dengan batasan yang ditentukan oleh ruas tengah jari (mid
points of fingers), sebagai berikut:
• Daerah Normal
Lengan bawah yang berputar pada bidang horisontal dengan siku tetap.
• Daerah Maksimum
Lengan direntangkan keluar dan diputar sekitar bahu.

Universitas Kristen Petra


21

Gambar 2.6. Dimensi Standar Daerah Normal dan Maksimum Area Kerja
Bidang Horisontal untuk Operator Laki-laki
Sumber: Sritomo Wignjosoebroto (2003, halaman 79)

Gambar 2.7. Dimensi Standar Daerah Normal dan Maksimum Area Kerja
Bidang Horisontal untuk Operator Wanita
Sumber: Sritomo Wignjosoebroto (2003, halaman 79)

2.6.2. Ketinggian Bangku/Kursi Kerja


Ada dua macam dasar untuk menentukan ketinggian permukaan kerja
yaitu:
a. Bangku atau mesin yang tepat untuk bekerja sambil berdiri (walaupun duduk
dan berdiri bergantian adalah suatu hal yang mungkin dan diikuti dengan
tersedianya kursi yang sesuai).
b. Bangku atau kursi yang disesuaikan hanya untuk pekerjaan sambil duduk.

Universitas Kristen Petra


22

Prinsip-prinsip yang diterapkan dalam perancangan untuk ketinggian dua


jenis permukaan kerja yaitu:
a. Hindari beban otot yang terlalu berat yang disebabkan oleh lengan atas yang
disampingkan terlalu tinggi.
b. Hindari tekanan tajam pada sisi lengan dengan bagian bawah dari pinggiran
bangku, jika permukaan tempat kerja terlalu tinggi.
c. Hindari posisi membungkuk secara terus jika permukaan tempat kerja terlalu
rendah.

2.6.2.1. Desain Stasiun Kerja dan Sikap Kerja Duduk


Posisi tubuh dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang
dilakukan. Masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda
terhadap tubuh. Bekerja dengan posisi duduk mempunyai keuntungan antara lain:
pembebanan pada kaki, pemakaian energi dan keperluan untuk sirkulasi darah
dapat dikurangi. Namun demikian, kerja dengan sikap duduk terlalu lama dapat
menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang akan melengkung
sehingga cepat lelah.
Mengingat posisi duduk mempunyai keuntungan maupun kerugian, maka
untuk mendapatkan hasil kerja yang lebih baik tanpa pengaruh buruk pada tubuh,
perlu dipertimbangkan pada jenis pekerjaan apa saja yang sesuai dilakukan
dengan posisi duduk. Menurut Pulat (1992) yang dikutip oleh Tarwaka (2004),
memberikan pertimbangan tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan
posisi duduk adalah sebagai berikut:
1. Pekerjaan yang memerlukan kontrol dengan teliti pada kaki.
2. Pekerjaan utama adalah menulis atau memerlukan ketelitian pada tangan.
3. Tidak diperlukan tenaga dorong yang besar.
4. Objek yang dipegang tidak memerlukan tangan bekerja pada ketinggian lebih
dari 15 cm dari landasan kerja.
5. Diperlukan tingkat kestabilan tubuh yang tinggi.
6. Pekerjaan dilakukan pada waktu yang lama.
7. Seluruh objek yang dikerjakan masih dalam jangkauan dengan posisi duduk.

Universitas Kristen Petra


23

Pada pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk, tempat duduk yang
dipakai harus memungkinkan untuk melakukan variasi perubahan posisi. Ukuran
tempat duduk disesuaikan dengan dimensi ukuran antropometri pemakainya.
Fleksi lutut membentuk sudut 90° dengan telapak kaki bertumpu pada lantai atau
injakan kaki. Jika landasan kerja terlalu rendah, tulang belakang akan
membungkuk ke depan, dan jika terlalu tinggi bahu akan terangkat dari posisi
rileks, sehingga menyebabkan bahu dan leher menjadi tidak nyaman. Menurut
Sanders dan Mc Cormick (1987) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), memberikan
pedoman untuk mengatur ketinggian landasan kerja pada posisi duduk sebagai
berikut:
1. Jika memungkinkan menyediakan meja yang dapat diatur turun dan naik.
2. Landasan kerja harus memungkinkan lengan menggantung pada posisi rileks
dari bahu, dengan lengan bawah mendekati posisi horisontal atau sedikit
menurun.
3. Ketinggian landasan kerja tidak memerlukan fleksi tulang belakang yang
berlebihan.

2.6.2.2. Desain Stasiun Kerja dan Sikap Kerja Berdiri


Selain posisi kerja duduk, posisi berdiri juga banyak ditemukan di
perusahaan. Seperti halnya posisi duduk, posisi kerja berdiri juga mempunyai
keuntungan maupun kerugian. Menurut Sutalaksana (2000) yang dikutip oleh
Tarwaka (2004), bahwa sikap berdiri merupakan sikap siaga baik fisik maupun
mental, sehingga aktivitas kerja yang dilakukan lebih cepat, kuat, dan teliti.
Namun demikian mengubah posisi duduk ke berdiri dengan masih menggunakan
alat kerja yang sama akan melelahkan. Pada dasarnya berdiri itu sendiri lebih
melelahkan daripada duduk dan energi yang dikeluarkan untuk berdiri lebih
banyak 10-15% dibandingkan dengan duduk.
Untuk meminimalkan pengaruh kelelahan dan keluhan subjektif maka
pekerjaan harus didesain agar tidak terlalu banyak menjangkau, membungkuk,
atau melakukan gerakan dengan posisi yang tidak alamiah. Untuk maksud tersebut
Pulat (1992) dan Clark (1996) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), memberikan

Universitas Kristen Petra


24

pertimbangan tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi berdiri
adalah sebagai berikut:
1. Tidak tersedia tempat untuk kaki dan lutut.
2. Harus memegang objek yang berat (lebih dari 4,5 kg).
3. Sering menjangkau ke atas, ke bawah, dan ke samping.
4. Sering dilakukan pekerjaan dengan menekan ke bawah.
5. Diperlukan mobilitas tinggi.

2.6.2.3. Desain Stasiun Kerja dan Sikap Kerja Dinamis


Desain stasiun kerja sangat ditentukan oleh jenis dan sifat pekerjaan yang
dilakukan. Baik desain stasiun kerja untuk posisi duduk maupun berdiri keduanya
mempunyai keuntungan dan kerugian. Menurut Clark (1996) yang dikutip oleh
Tarwaka (2004), mencoba mengambil keuntungan dari kedua posisi tersebut dan
mengkombinasikan desain stasiun kerja untuk posisi duduk dan berdiri menjadi
satu desain dengan batasan sebagai berikut:
1. Pekerjaan dilakukan dengan duduk pada suatu saat dan pada saat lainnya
dilakukan dengan berdiri saling bergantian.
2. Perlu menjangkau sesuatu lebih dari 40 cm ke depan dan atau 15 cm di atas
landasan kerja.
3. Tinggi landasan kerja dengan kisaran antara 90-120 cm, merupakan
ketinggian yang paling tepat baik untuk posisi duduk maupun berdiri. Stasiun
kerja untuk sikap kerja dinamis (duduk di suatu saat dan berdiri di saat
lainnya) dapat diilustrasikan seperti Gambar 2.8.

Universitas Kristen Petra


25

Gambar 2.8. Stasiun Kerja dan Sikap Kerja Dinamis sesuai Keinginan Pekerja
Sumber: Tarwaka (1994, halaman 26)

Sedangkan Das (1991) dan Pulat (1992) yang dikutip oleh Tarwaka
(2004), menyatakan bahwa posisi duduk-berdiri merupakan posisi terbaik dan
lebih dikehendaki daripada hanya posisi duduk saja dan berdiri saja. Hal tersebut
disebabkan karena memungkinkan pekerja berganti posisi kerja untuk mengurangi
kelelahan otot karena sikap paksa dalam satu posisi kerja.
Tarwaka (1995) memberikan batasan ukuran ketinggian landasan kerja
untuk pekerjaan yang memerlukan sedikit penekanan yaitu 15 cm di bawah tinggi
siku untuk ke dua posisi kerja. Selanjutnya dibuat kursi tinggi yang menyesuaikan
ketinggian landasan kerja posisi berdiri dengan dilengkapi sandaran kaki agar
posisi kaki tidak menggantung. Sedangkan pemilihan posisi kerja harus sesuai
dengan jenis pekerjaan yang dilakukan, seperti pada Tabel 2.1.

Universitas Kristen Petra


26

Tabel 2.1. Pemilihan Sikap Kerja terhadap Jenis Pekerjaan yang Berbeda-beda
Sikap kerja yang dipilih
Jenis Pekerjaan
Pilihan Pertama Pilihan Kedua
Mengangkat > 5 kg Berdiri Duduk - berdiri
Bekerja di bawah tinggi siku Berdiri Duduk - berdiri
Menjangkau horisontal di luar Berdiri Duduk - berdiri
daerah jangkauan optimum
Pekerjaan ringan dengan Duduk Duduk - berdiri
pergerakan berulang
Pekerjaan perlu ketelitian Duduk Duduk - berdiri
Inspeksi dan monitoring Duduk Duduk - berdiri
Sering berpindah-pindah duduk - berdiri Berdiri

Sumber: Tarwaka (2004, halaman 27)

Menurut Helander (1995) yang dikutip oleh Tarwaka (2004), posisi


duduk-berdiri yang telah banyak dicobakan di industri, ternyata mempunyai
keuntungan secara biomekanis dimana tekanan pada tulang belakang dan
pinggang 30% lebih rendah dibandingkan dengan posisi duduk maupun berdiri
terus menerus.

2.7. Kondisi Lingkungan Fisik Kerja yang Mempengaruhi Aktivitas Kerja


Manusia
Manusia sebagai makhluk “sempurna” tidak luput dari kekurangan,
dalam arti kata segala kemampuannya masih dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Faktor-faktor tersebut bisa datang dari dirinya sendiri (intern) atau mungkin dari
pengaruh luar (extern). Salah satu faktor yang berasal dari luar adalah kondisi
lingkungan kerja yang akan berpengaruh secara signifikan terhadap hasil kerja
manusia.

Universitas Kristen Petra


27

2.7.1. Penerangan di Tempat Kerja


Penerangan yang baik adalah penerangan yang memungkinkan tenaga
kerja dapat melihat objek-objek yang dikerjakan secara jelas, cepat, dan tanpa
upaya-upaya yang tidak perlu (Tarwaka, 2004). Penerangan yang cukup dan
diatur secara baik juga akan membantu menciptakan lingkungan kerja yang
nyaman dan menyenangkan sehingga dapat memelihara kegairahan kerja. Telah
kita ketahui hampir semua pelaksanaan pekerjaan melibatkan fungsi mata, dimana
sering kita temui jenis pekerjaan yang memerlukan tingkat penerangan tertentu
agar tenaga kerja dapat dengan jelas mengamati objek yang sedang dikerjakan.
Intensitas penerangan yang sesuai dengan jenis pekerjaannya jelas akan dapat
meningkatkan produktivitas kerja. Sanders & Mc Cormick (1987) yang dikutip
oleh Tarwaka (2004), menyimpulkan dari hasil penelitian pada 15 perusahaan,
dimana seluruh perusahaan yang diteliti menunjukkan kenaikan hasil kerja antara
4-35%. Selanjutnya Armstrong (1992) yang dikutip oleh Tarwaka (2004),
menyatakan bahwa intensitas penerangan yang kurang dapat menyebabkan
gangguan visibilitas dan eyestrain. Sebaliknya intensitas penerangan yang
berlebihan juga dapat menyebabkan glare (silau); reflections; excessive shadows
(bayangan); visibility dan eyestrain.
Tenaga kerja di samping harus dengan jelas dapat melihat objek-objek
yang sedang dikerjakan juga harus dapat melihat dengan jelas pula benda/alat dan
tempat di sekitarnya yang mungkin mengakibatkan kecelakaan. Maka penerangan
umum harus memadai. Dalam suatu pabrik dimana banyak terdapat mesin-mesin
dan proses pekerjaan yang berbahaya maka penerangan harus didesain sedemikian
rupa sehingga dapat mengurangi kecelakaan kerja. Pekerjaan yang berbahaya
harus dapat diamati dengan jelas dan cepat, karena banyak kecelakaan terjadi
akibat penerangan yang kurang memadai.

2.7.1.1. Pengaruh Penerangan di Tempat Kerja


Secara umum jenis penerangan atau pencahayaan dibedakan menjadi dua
yaitu penerangan buatan (penerangan artifisial) dan penerangan alamiah (dari
sinar matahari). Untuk mengurangi pemborosan energi disarankan untuk
menggunakan penerangan alamiah, akan tetapi setiap tempat kerja harus pula

Universitas Kristen Petra


28

disediakan penerangan buatan yang memadai. Hal ini untuk menanggulangi jika
dalam keadaan mendung atau kerja di malam hari. Perlu diingat bahwa
penggunaan penerangan buatan harus selalu diadakan perawatan yang baik oleh
karena lampu yang kotor akan menurunkan intensitas penerangan sampai dengan
30%. Tingkat penerangan pada tiap-tiap pekerjaan berbeda tergantung sifat dan
jenis pekerjaannya. Sebagai contoh gudang memerlukan intensitas penerangan
yang lebih rendah dari tempat kerja administrasi, dimana diperlukan ketelitian
yang lebih tinggi.
Menurut Grandjean (1993) yang dikutip oleh Tarwaka (2004),
penerangan yang tidak didesain dengan baik akan menimbulkan gangguan atau
kelelahan penglihatan selama kerja. Pengaruh dari penerangan yang kurang
memenuhi syarat akan mengakibatkan:
• Kelelahan mata sehingga berkurangnya daya dan efisiensi kerja.
• Kelelahan mental.
• Keluhan pegal di daerah mata dan sakit kepala di sekitar mata.
• Kerusakan indra mata dan lain-lain.
Selanjutnya pengaruh kelelahan pada mata tersebut akan bermuara
kepada penurunan performansi kerja, termasuk:
• Kehilangan produktivitas.
• Kualitas kerja rendah.
• Banyak terjadi kesalahan.
• Kecelakaan kerja meningkat.

2.7.1.2. Sistem Pendekatan Aplikasi Penerangan di Tempat Kerja


Di dalam mempertimbangkan aplikasi penerangan di tempat kerja,
secara umum dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu:
a. Desain tempat kerja untuk menghindari masalah penerangan
Kebutuhan intensitas penerangan bagi pekerja harus selalu dipertimbangkan
pada waktu mendesain bangunan, pemasangan mesin-mesin, alat, dan sarana
kerja. Desain instalasi penerangan harus mampu mengontrol cahaya kesilauan,
pantulan dan bayang-bayang serta untuk tujuan kesehatan dan keselamatan
kerja.
Universitas Kristen Petra
29

b. Identifikasi dan penilaian problem dan kesulitan penerangan


Agar masalah penerangan yang muncul dapat ditangani dengan baik, faktor-
faktor yang harus diperhitungkan adalah sumber penerangan, pekerja dalam
melakukan pekerjaannya, jenis pekerjaan yang dilakukan dan lingkungan kerja
secara keseluruhan. Selanjutnya teknik dan metode yang dapat digunakan
untuk mengidentifikasi dan menilai masalah penerangan di tempat kerja
meliputi:
• Konsultasi atau wawancara dengan pekerja dan supervisor di tempat kerja.
• Mempelajari laporan kecelakaan kerja sebagai bahan investigasi.
• Mengukur intensitas penerangan, kesilauan, pantulan, dan bayang-bayang
yang ada di tempat kerja.
• Mempertimbangkan faktor lain seperti sikap kerja, lama kerja, warna,
umur pekerja, dan lain-lain.
c. Pengembangan dan evaluasi pengendalian resiko akibat penerangan
Setelah penerangan dan pengaruhnya telah diidentifikasi dan dinilai, langkah
selanjutnya adalah mengendalikan resiko yang potensial menyebabkan
gangguan kerja. Pengendalian resiko sangat tergantung dari kondisi yang ada,
tetapi secara umum dapat mengikuti hirarki pengendalian yang sudah lazim
yaitu pengendalian yang dipilih dari yang paling efektif. Di bawah ini akan
diberikan secara garis besar langkah-langkah pengendalian masalah
penerangan di tempat kerja, yaitu:
i. Modifikasi sistem penerangan yang sudah ada seperti:
• Menaikkan atau menurunkan letak lampu didasarkan pada objek kerja.
• Merubah posisi lampu.
• Menambah atau mengurangi jumlah lampu.
• Mengganti jenis lampu yang lebih sesuai.
• Mengganti tudung lampu.
• Mengganti warna lampu yang digunakan.
ii. Modifikasi pekerjaan seperti:
• Membawa pekerjaan lebih dekat ke mata, sehingga objek dapat dilihat
dengan jelas.

Universitas Kristen Petra


30

• Merubah posisi kerja untuk menghindari bayang-bayang, pantulan,


sumber kesilauan dan kerusakan penglihatan.
iii. Pemeliharaan dan pembersihan lampu
iv. Penyediaan penerangan lokal

2.7.1.3. Standar Penerangan di Tempat Kerja


Intensitas penerangan yang dibutuhkan di masing-masing tempat kerja
ditentukan dari jenis dan sifat pekerjaan yang dilakukan. Semakin tinggi tingkat
ketelitian suatu pekerjaan, maka akan semakin besar kebutuhan intensitas
penerangan yang diperlukan, demikian pula sebaliknya. Standar penerangan di
Indonesia telah ditetapkan seperti tersebut dalam Peraturan Menteri Perburuhan
(PMP) No. 7 Tahun 1964, tentang syarat-syarat kesehatan, kebersihan dan
penerangan di tempat kerja. Standar penerangan yang ditetapkan untuk di
Indonesia tersebut secara garis besar hampir sama dengan standar internasional.
Secara ringkas intensitas penerangan yang dimaksud dapat dijelaskan pada tabel
di bawah ini:

Tabel 2.2. Tingkat Penerangan Berdasarkan Area Kegiatan


Tingkat Penerangan Contoh-contoh Area Kegiatan
(lux)
Pencahayaan umum untuk Layanan penerangan yang minimum dalam area sirkulasi
ruangan dan area yang 20 luar ruangan , pertokoan di daerah terbuka , halaman
jarang digunakan dan /atau tempat penyimpanan
tugas-tugas atau visual 50 Tempat pejalan kaki dan panggung
sederhana 70 Ruang Boiler
150 Halaman trafo , ruangan tungku, dan lain-lain
Area sirkulasi di industri , pertokoan dan ruang
penyimpan
200 Layanan penerangan yang minimum dalam tugas
Meja dan mesin kerja ukuran sedang , proses umum
300 dalam industri kimia dan makanan , kegiatan membaca
dan membuat arsip
Gantungan baju, pemeriksaan kantor untuk
Pencahayaan umum untuk
450 menggambar , perakitan mesin dan bagian yang halus ,
interior
pekerjaan warna , tugas menggambar kritis
Pekerjaan mesin dan di atas meja yang sangat halus ,
perakitan mesin presisi kecil dan instrumen , komponen
1500 elektronik , pengukuran dan pemeriksaan bagian kecil
yang rumit (sebagian mungkin diberikan oleh tugas
pencahayaan setempat )
Pencahayaan tambahan
setempat untuk tugas visual Pekerjaan berpresisi dan rinci sekali , misal instrumen
3000 yang sangat kecil , pembuatan jam tangan , pengukiran
yang tepat

Universitas Kristen Petra


31

Dalam menempatkan sumber cahaya ada beberapa pertimbangan yaitu:


1. Direct Lighting (Pencahayaan langsung)
Pencahayaan langsung yang dimaksud adalah dimana sumber cahaya terletak
tepat di atas atau depan objek/benda kerja yang diamati sehingga dapat
menyebabkan pantulan cahaya dari benda atau objek dan langsung mengenai
mata. Posisi ini rentan dengan resiko mata silau (glare) sehingga
menyebabkan mata cepat menjadi lelah. Kelemahan dari posisi ini adalah
terjadinya pantulan cahaya langsung dari benda dapat menyebabkan silau pada
mata. Silau yang diakibatkan oleh pencahayaan langsung ini dapat diatasi
dengan cara:
• Meletakkan posisi sumber cahaya dibawah garis mata horisontal tanpa
menghalangi pandangan operator ke benda kerja.
• Menambahkan filter ataupun penggunaan selubung berwarna dof atau
matt untuk mengurangi ketajaman dari sumber cahaya.
Keuntungan dari pencahayaan langsung ini adalah posisi sumber cahaya tepat
di atas benda kerja dengan peletakan yang tepat dapat membantu operator
dalam mengamati objek tersebut sehingga pendeteksian terhadap objek dapat
lebih teliti.
2. Indirect Lighting (Pencahayaan tidak langsung)
Pencahayaan tidak langsung yang dimaksud yaitu dimana sumber cahaya akan
diletakkan sedemikian rupa dengan sudut tertentu terhadap operator dan benda
kerja yang diamati (permukaan benda kerja) sehingga area kerja tetap terang
tapi tidak akan menyebabkan silau pada mata dari sumber cahaya secara
langsung maupun dari silau akibat pantulan permukaan benda kerja terhadap
mata. Keuntungan dari posisi pencahayaan tidak langsung ini yaitu bila
diletakkan dengan sudut yang tepat (area pancaran sinar) di atas area kerja
maka cahaya yang dihasilkan akan optimal tanpa resiko silau langsung akibat
sumber cahaya ataupun dari pantulan.
Sudut yang paling tepat dalam memposisikan sumber cahaya dalam area kerja
adalah dengan meletakkan sumber cahaya di atas area kerja dengan posisi
agak di samping sehingga pancaran cahayanya akan membentuk sudut 45o-
50o.

Universitas Kristen Petra


32

A B C

Tampak samping

Gambar 2.9. Posisi Pencahayaan Ideal (tampak samping)

• Posisi lampu A kurang baik karena menimbulkan pantulan pada obyek


yang diamati oleh pekerja.
• Posisi lampu B kurang baik karena menimbulkan hilangnya kekontrasan
obyek yang diamati oleh pekerja.
• Posisi lampu C kurang baik karena menimbulkan silau pada mata pekerja

D B E

Tampak depan

Universitas Kristen Petra


33

Gambar 2.10. Posisi Pencahayaan Ideal (tampak depan)


Sumber: Christian Darmasetiawan dan Lestari Puspakesuma (1991,
halaman 63)

• Posisi lampu D dan E adalah posisi yang terbaik bagi pekerja


Penyinaran yang benar bila penyinaran dari lampu D lebih terang daripada
lampu E. Adaptasi terhadap kondisi terang dan untuk kondisi gelap sangat
berbeda dimana adaptasi untuk kondisi terang akan lebih cepat bila
dibandingkan dengan adaptasi retina mata dalam situasi gelap. Kepekaan
retina dapat berkurang dengan lebih cepat pada kondisi terang meskipun
adaptasi terhadap kondisi terang akan berlangsung selama beberapa detik.
Tetapi lain halnya dengan kepekaan retina pada kondisi gelap terutama
apabila mata diharuskan untuk beradaptasi dari kondisi terang ke kondisi
gelap dimana masa adaptasi akan berlangsung lebih lama. Waktu yang
dibutuhkan selama adaptasi untuk tempat yang gelap dapat mencapai 25
hingga 30 menit meskipun pada beberapa menit pertama mata cukup cepat
beradaptasi, tetapi untuk adaptasi secara penuh akan terjadi setelah 20
hingga 25 menit berikutnya.
Untuk daerah pandang yang terdiri dari kondisi terang dan gelap, adaptasi
oleh retina mata untuk kondisi kontras ini akan berlangsung di beberapa
bagian retina, sehingga disebut adaptasi sebagian. Adaptasi sebagian ini hanya
berlangsung untuk beberapa saat dan kemudian akan menyebar ke seluruh
bagian retina sehingga penglihatan akan lebih jelas. Prinsip ergonomi yang
disarankan untuk kondisi penerangan seperti di atas yaitu sebagai berikut:

Universitas Kristen Petra


34

• Untuk menghindari efek silau pada mata maka semua permukaan benda
kerja dan sekitarnya yang masih termasuk dalam daerah pandang harus
memiliki intensitas cahaya yang sama.
• Tingkat penerangan tidak boleh berubah-ubah dengan cepat sehingga tidak
akan mempengaruhi penglihatan karena reaksi pupil untuk beradaptasi
terhadap kondisi tersebut tidak terlalu cepat.

2.7.2. Temperatur
Tubuh manusia akan selalu berusaha mempertahankan keadaan normal
dengan suatu sistem tubuh yang sempurna sehingga dapat menyesuaikan diri
dengan perubahan-perubahan yang terjadi di luar tubuh tersebut. Tetapi
kemampuan untuk menyesuaikan dirinya dengan temperatur luar adalah jika
perubahan temperatur luar tubuh tersebut tidak melebihi 20% untuk kondisi panas
dan 35% untuk kondisi dingin. Semuanya ini dari keadaan normal tubuh. Dalam
keadaan normal tiap anggota tubuh manusia mempunyai temperatur berbeda-beda
seperti bagian mulut sekitar lebih kurang 37° C, bagian dada lebih kurang 35° C
dan bagian kaki lebih kurang 28° C. Tubuh manusia bisa menyesuaikan diri
karena kemampuannya untuk melakukan proses konveksi, radiasi, dan penguapan
jika terjadi kekurangan atau kelebihan panas yang membebaninya.
Menurut penyelidikan untuk berbagai tingkat temperatur akan
memberikan pengaruh yang berbeda-beda seperti berikut:
• ± 49° C à Temperatur yang dapat ditahan sekitar 1 jam, tetapi jauh di atas
tingkat kemampuan fisik dan mental.
• ± 30° C à Aktivitas mental dan daya tanggap mulai menurun dan cenderung
untuk membuat kesalahan dalam pekerjaan, timbul kelelahan fisik.
• ± 24° C à Kondisi optimum.
• ± 10 °C à Kelakuan fisik yang ekstrim mulai muncul.
Dari suatu penyelidikan pula dapat diperoleh hasil bahwa produktivitas
kerja manusia akan mencapai tingkat yang paling tinggi pada temperatur sekitar
24° C sampai 27° C.

Universitas Kristen Petra


35

2.7.3. Kebisingan (Noise)


Pengertian kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki
yang bersifat menganggu pendengaran dan bahkan dapat menurunkan daya dengar
seseorang. Sedangkan definisi kebisingan menurut Tarwaka (2004) adalah semua
suara yang tidak dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan
atau alat-alat kerja yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan gangguan
pendengaran. Ada tiga aspek yang menentukan kualitas bunyi yang bisa
menentukan tingkat gangguan terhadap manusia yaitu:
• Lama waktu bunyi tersebut terdengar. Semakin lama telinga kita mendengar
kebisingan akan semakin buruk akibatnya bagi pendengaran (tuli).
• Intensitas yang menunjukkan besarnya arus energi per satuan luas, biasanya
diukur dengan satuan desibel (dB).
• Frekuensi suara yang menunjukkan jumlah dari gelombang-gelombang suara
yang sampai di telinga kita setiap detik dinyatakan jumlah getaran per detik
atau Hertz (Hz).
Pengaruh kebisingan secara umum dapat dikategorikan menjadi dua yang
didasarkan pada tinggi rendahnya intensitas kebisingan dan lamanya waktu bunyi
tersebut terdengar, yaitu:
a. Pengaruh Kebisingan Intensitas Tinggi
• Pengaruh kebisingan dengan intensitas tinggi (di atas Nilai Ambang Batas)
adalah terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat
menyebabkan penurunan daya dengar, baik yang bersifat sementara
maupun bersifat permanen atau ketulian. Sebelum terjadi kerusakan
pendengaran yang permanen, biasanya didahului dengan pendengaran
yang bersifat sementara yang dapat menganggu kehidupan yang
bersangkutan baik di tempat kerja maupun di lingkungan keluarga dan
lingkungan sosialnya.
• Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya
terputus-putus dan sumbernya tidak diketahui.
• Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan
gangguan kesehatan seperti, meningkatnya tekanan darah, dan denyut
jantung, resiko serangan jantung meningkat, gangguan pencernaan.

Universitas Kristen Petra


36

• Reaksi masyarakat, apabila kebisingan akibat suatu proses produksi


demikian hebatnya sehingga masyarakat sekitarnya protes menuntut agar
kegiatan tersebut dihentikan.
b. Pengaruh Kebisingan Intensitas Rendah
Tingkat intensitas kebisingan rendah atau di bawah Nilai Ambang Batas
(NAB) banyak ditemukan di lingkungan kerja seperti perkantoran, ruang
administrasi perusahaan, dan lain-lain. Intensitas kebisingan yang masih di
bawah NAB tersebut secara fisiologis tidak menyebabkan kerusakan
pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering dapat menyebabkan
penurunan performansi kerja, sebagai salah satu penyebab stress dan
gangguan kesehatan lainnya. Stress yang disebabkan karena kebisingan dapat
menyebabkan terjadinya kelelahan dini, kegelisahan, dan depresi. Secara
spesifik stress karena kebisingan tersebut dapat menyebabkan antara lain:
• Stress menuju keadaan cepat marah, sakit kepala, dan gangguan tidur.
• Gangguan reaksi psikomotor.
• Kehilangan konsentrasi.
• Gangguan komunikasi antara lawan bicara.
• Penurunan performansi kerja yang kesemuanya itu akan bermuara pada
kehilangan efisiensi dan produktivitas kerja.

2.7.4. Kualitas Udara dalam Ruang Kerja


2.7.4.1. Pengertian Kualitas Udara dalam Ruang Kerja
Menurut National Health and Nedical Research Council (NHMRC,
1985) yang dikutip oleh Tarwaka (2004) bahwa yang dimaksud dengan kualitas
udara dalam ruangan adalah udara di dalam suatu bangunan yang dihuni atau
ditempati untuk suatu periode yang sekurang-kurangnya 1 jam oleh orang dengan
berbagai status kesehatan yang berlainan. Pada suatu ruangan kerja, dimana
ditempati oleh banyak orang dengan berbagai kondisi kesehatan maka
kemungkinan untuk dapat terpapar oleh resiko infeksi melalui kontak dengan
orang lain sangat besar. Ruang kerja yang terlalu padat penghuninya dan sistem
AC yang kurang terawat dengan sirkulasi udara yang kurang memadai akan dapat

Universitas Kristen Petra


37

meningkatkan resiko timbulnya gangguan kesehatan. Resiko tersebut


kemungkinan dapat lebih diperparah oleh kondisi sebagai berikut:
• Asap rokok dalam ruangan.
• Bahan-bahan bangunan, furniture, dan peralatan-peralatan modern.
• Produk-produk pembersih ruangan.
• Bahan-bahan pencemar udara dari luar ruangan, dan lain-lain.
Mengingat kualitas udara yang memenuhi syarat kesehatan dan
keselamatan sangat diperlukan oleh semua penghuni ruangan maka harus selalu
dijaga dan diupayakan tetap dalam kisaran yang nyaman untuk bekerja.

2.7.4.2. Kontaminan Udara dalam Ruang Kerja


Kadar kontaminan yang rendah dapat menyebabkan gangguan kesehatan
meskipun tidak berat masih sering diabaikan. Padahal apabila telah terjadi
akumulasi dari bahan-bahan pencemar meskipun kadarnya rendah, akan dapat
menyebabkan gangguan kesehatan yang bersifat kronis. Di bawah ini akan kita
bahas beberapa jenis kontaminan atau bahan pencemar yang sering dapat
menurunkan kualitas udara dalam suatu ruang kerja, yaitu:
1. Karbondioksida (CO2)
Karbondioksida merupakan sisa hasil pembakaran dari sistem pernafasan. CO2
jarang dipertimbangkan sebagai suatu bahan pencemar, padahal secara umum
dapat mempengaruhi kenyamanan penghuninya. Kadar CO2 merupakan
indikator yang bagus untuk mengetahui efektif tidaknya sistem ventilasi dalam
ruangan yang bersangkutan. Kadar CO2 dalam suatu ruangan harus diusahakan
< 1.000 ppm. Apabila kadar CO2 melebihi batas tersebut maka memberikan
indikasi bahwa jumlah udara segar yang dialirkan melalui sistem ventilasi
tidak mencukupi. Dari hasil penelitian Tarwaka dan Bakri (2001) dilaporkan
bahwa suatu ruangan dengan konsentrasi karbondioksida di atas 1.000 ppm
menyebabkan gangguan kesehatan dan kenyamanan penghuninya.
2. Produk hasil pembakaran
Menurut Hau (1997) yang dikutip oleh Tarwaka (1994) bahwa produk sisa
hasil pembakaran dapat meliputi karbon monoksida (CO), nitrogen oksida
(NO dan NO2) dan mungkin hidrokarbon (HC). Gas-gas tersebut dapat
Universitas Kristen Petra
38

bersumber dari dalam bangunan itu sendiri seperti: pembakaran akibat proses
masak-memasak, merokok dalam ruang kerja. Timbal (Pb) merupakan bahan
pencemar yang potensial yang sering ditemukan dalam kadar cukup tinggi di
ruangan kerja dekat dengan parkir. CO yang terikat dalam darah terutama
haemoglobin akan menghambat fungsi oksigen dalam sirkulasi. Pada
konsentrasi tinggi CO dapat menyebabkan kematian, sedangkan NO dapat
menyebabkan iritasi mata dan gangguan saluran pernafasan. standar untuk
kadar gas CO di ruang kerja perkantoran adalah 10 ppm untuk 8 jam kerja
(WHO, 1976; SAA, 1980).
3. Formaldehid
Formaldehid merupakan gas yang tidak berwarna dengan bau yang cukup
tajam. Formaldehid biasanya dihasilkan dari bahan-bahan bangunan seperti
plywood, karpet, furniture, dan lain-lain. Formaldehid pada kadar yang cukup
rendah 0,05-0,5 ppm dapat menyebabkan mata terbakar, iritasi pada saluran
nafas bagian atas.
4. Ozon (O3)
Berbagai proses kegiatan dan peralatan yang menggunakan sinar ultra violet
(UV) atau menyebabkan ionisasi udara mungkin menghasilkan ozon.
Peralatan kerja yang dapat mengeluarkan ozon antara lain: printer laser, lampu
UV, mesin photo copy, dan ionizer. Ozon merupakan gas yang sangat beracun
dan memepunyai efek pada konsentrasi rendah. Menurut WHS (1992) yang
dikutip oleh Tarwaka (2004), bahwa ozon dapat menyebabkan iritasi pada
mata dan saluran pernafasan. Oleh karena ozon merupakan gas yang sangat
mudah bereaksi, pada umumnya hanya dapat dijumpai dekat dengan
sumbernya dan hanya mempunyai pengaruh yang kecil pada lingkungan udara
dalam ruang kerja.
Oksigen merupakan gas yang sangat dibutuhkan oleh makhluk hidup
terutama untuk menjaga kelangsungan hidup yaitu untuk proses metabolisme.
Udara di sekitar kita dikatakan kotor apabila kadar oksigen dalam udara tersebut
telah berkurang dan terus bercampur dengan gas-gas atau bau-bauan yang
berbahaya bagi kesehatan tubuh. Kotornya udara di sekitar kita dapat dirasakan
dengan sesaknya pernafasan kita dan ini tidak boleh dibiarkan berlangsung terlalu

Universitas Kristen Petra


39

lama, karena mempengaruhi kesehatan tubuh dan mempercepat proses kelelahan


Sirkulasi udara dengan memberikan ventilasi yang cukup (lewat jendela), akan
menggantikan udara yang kotor dengan yang bersih.

2.7.5. Kelembaban
Kelembaban adalah banyaknya air yang terkandung dalam udara.
Kelembaban ini sangat berhubungan atau dipengaruhi oleh temperatur udaranya.
Suatu keadaan dimana udara sangat panas dan kelembaban tinggi akan
menimbulkan pengurangan panas dari tubuh secara besar-besaran (karena sistem
penguapan). Pengaruh lainnya adalah semakin cepatnya denyut jantung karena
makin aktifnya peredaran darah untuk memenuhi kebutuhan akan oksigen.

2.7.6. Pengaturan Waktu Kerja dan Waktu Istirahat


Pengaturan waktu kerja dan waktu istirahat harus disesuaikan dengan
sifat, jenis pekerjaan, dan faktor lingkungannya yang mempengaruhinya seperti
panas, dingin, bising, berdebu, dan lain-lain. Di Indonesia telah ditetapkan
lamanya waktu kerja sehari maksimum adalah 8 jam kerja dan selebihnya adalah
waktu istirahat (untuk kehidupan keluarga dan sosial masyarakat).
Memperpanjang waktu kerja lebih dari itu hanya akan menurunkan efisiensi kerja,
meningkatkan kelelahan, kecelakaan, dan penyakit akibat kerja. Tetapi dalam
pelaksanaannya, banyak perusahaan yang mempekerjakan karyawannya di luar
jam kerja (kerja lembur) dengan berbagai alasan, di sisi lain para karyawan juga
merasa senang melakukan kerja lembur, karena akan mendapatkan penghasilan
tambahan dari luar.
Dalam hal lamanya waktu kerja melebihi ketentuan yang telah ditetapkan
(8 jam per hari atau 40 jam seminggu), maka perlu diatur waktu-waktu istirahat
khusus agar kemampuan kerja dan kesegaran jasmani tetap dapat dipertahankan
dalam batas-batas toleransi. Pemberian waktu istirahat tersebut secara umum
dimaksudkan untuk:
• Mencegah terjadinya kelelahan yang berakibat kepada penurunan kemampuan
fisik dan mental serta kehilangan efisiensi kerja.
• Memberi kesempatan tubuh untuk melakukan pemulihan atau penyegaran.
Universitas Kristen Petra
40

• Memberi kesempatan waktu untuk melakukan kontak sosial.


Berdasarkan pengalaman dan pengamatan di lapangan, ternyata terdapat
empat jenis istirahat yang dilakukan oleh para pekerja selama jam kerja
berlangsung, yaitu istirahat secara spontan, istirahat curian, istirahat oleh karena
ada hubungannya dengan proses kerja dan istirahat yang merupakan ketetapan
resmi.
1. Istirahat spontan adalah istirahat pendek segera setelah pembebanan kerja.
Sebagai contoh: pekerja mengangkat dan mengangkut beras tersebut secara
otomatis pekerja akan beristirahat pendek untuk mengembalikan hutang
oksigen yang telah digunakan pada waktu mengangkat dan mengangkut tadi.
2. Istirahat curian adalah istirahat yang terjadi jika beban kerja tak dapat
diimbangi oleh kemampuan kerja. Istirahat demikian terjadi apabila beban
pekerjaan baik fisik maupun mental lebih besar dari kemampuan kerjanya,
sehingga menimbulkan reaksi tubuh untuk mengatasi kelebihan beban
tersebut.
3. Istirahat oleh karena proses kerja tergantung dari bekerjanya mesin-mesin,
peralatan atau prosedur-prosedur kerja. Sebagai contoh: pada proses produksi
dengan sistem ban berjalan, waktu istirahat tergantung dari keterampilan, dan
kecepatan kerja operatornya. Semakin terampil dan cepat dia bekerja maka
akan semakin banyak waktu istirahat yang diperoleh.
4. Istirahat yang ditetapkan adalah istirahat atas dasar ketentuan perundang-
undangan yang berlaku, seperti istirahat selama 1 jam setelah melakukan 4
jam kerja, dan diselingi dengan istirahat 15 menit setelah 2 jam kerja dan lain-
lain.
Pada kenyataannya keempat jenis waktu istirahat tersebut
memperlihatkan saling keterkaitan antara satu dengan yang lainnya. Apabila
waktu istirahat resmi telah diatur dengan tepat (kapasitas kerja = beban utama +
beban tambahan) maka dengan sendirinya istirahat curian dan istirahat spontan
dapat diminimalisasikan. Kemudian semakin lelah kondisi seorang pekerja maka
akan semakin banyak dia melakukan istirahat curian.
Jumlah jam kerja yang efisien untuk seminggu adalah antara 40-48 jam
yang terbagi dalam 5 atau 6 hari kerja. Maksimum waktu kerja tambahan yang

Universitas Kristen Petra


41

masih efisien adalah 30 menit. Sedangkan di antara waktu kerja harus disediakan
waktu istirahat yang jumlahnya antaranya 15-30% dari seluruh waktu kerja.
Apabila jam kerja melebihi dari ketentuan tersebut akan ditemukan hal-hal seperti
penurunan kecepatan kerja, gangguan kesehatan, angka absensi karena sakit
meningkat, yang semuanya akan berpengaruh pada produktivitas kerja.

Universitas Kristen Petra

Anda mungkin juga menyukai