Hal ini penting, selain untuk mencegah terjadinya fenomena bypass, juga
sekaligus akan dapat mendorong berfungsinya sistem rujukan medik secara
efektif, efisien dan mantap.
Kondisi demikian akan dapat diwujudkan kalau Sistem Kesehatan Daerah
khususnya di tingkat Kabupaten/kota (District Health Sistem), sudah dapat
difungsikan dengan baik, yang sekaligus juga akan mendukung penguatan kualitas
pelayanan Kesehatan perseorangan melalui model pendekatan Primary Health
Care (PHC). Dan menyongsong diterapkannya Undang-Undang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Nomor 24 tahun 2011, diharapkan bahwa
pelayanan Kesehatan perseorangan yang didukung dengan sistem rujukan medik
yang efektif dan efisien serta mantap, dapat diimplementasikan secara baik, benar,
serta memuaskan pesertanya.
Code blue didefinisikan sebagai suatu kode aktivasi sistem untuk kondisi
gawat darurat yang terjadi di rumah sakit atau suatu institusi kesehatan dimana
terdapat pasien yang mengalami cardiopulmonary arrest dan perlu penanganan
sesegera mungkin. (Monangi S et al, 2018)
Code blue team adalah tim yang terdiri dari dokter dan paramedis yang
ditunjuk sebagai "code-team", yang secara cepat ke pasien untuk melakukan
tindakan penyelamatan. Tim ini menggunakan troli emergensi/ crash cart, kursi
roda/tandu, alat - alat penting seperti defibrilator, peralatan intubasi, suction,
oksigen, ambubag, obat-obatan resusitasi (adrenalin, atropin, lignocaine) dan IV
set untuk menstabilkan pasien dengan Bantuan Hidup Dasar. (Vindigni S, et al,
2017) Tim Code blue dapat dipanggil dengan mengaktifkan code blue. Code blue
merupakan suatu sistem aktivasi kode pada pasien yang mengalami kondisi henti
jantung, henti nafas, atau situasi gawat darurat yang membutuhkan resusitasi.
Beberapa rumah sakit besar di Indonesia telah menerapkan sistem pengaktifan
code blue dengan menggunakan jaringan telpon ke nomor tertentu yang disepakati
tiap rumah sakit. Saat ditemukan pasien yang mengalami kondisi henti nafas dan
henti jantung maka petugas kesehatan yang menemukan pasien tersebut akan
mengaktifkan tanda / code blue. Operator sentral akan menyebarkan informasi ke
kapten tim code blue berupa lokasi kejadian. Setelah kapten tim code blue
menerima pemberitahuan, kapten tim code blue langsung menuju lokasi kejadian
dengan durasi waktu yang dibutuhkan antara menerima pesan “code blue” (code
blue activation) dan kedatangan code blue team di lokasi kejadian adalah 5 sampai
10 menit. (Monangi S et al, 2018)
Penetapan sistem code blue bertujuan untuk mengurangi angka mortalitas
serta meningkatkan angka kembalinya sirkulasi spontan. Penanganan henti
jantung yang tertunda berhubungan dengan berkurangnya angka harapan hidup
dari pasien henti jantung. Untuk mencapai tujuan dari penerapan code blue system
diperlukan pengenalan awal dari kasus henti jantung, dalam hal ini pengetahuan
akan sistem code blue dan bantuan hidup dasar. Berdasarkan hal tersebut, aktivasi
sistem code blue yang ideal harus mampu memfasilitasi resusitasi pada pasien
dengan kegawat daruratan medis dan kondisi henti jantung dengan respon yang
adekuat. (Kilgannon J et al, 2016; Sing S et al, 2015)
1. EWS
EWS atau Early Warning System adalah suatu proses sistemik untuk
mengevaluasi dan mengukur resiko lebih awal guna mengambil langkah untuk
meminimalisir dampak terhadap sistem finansial. Sistem ini telah dikenalkan pada
dunia kesehatan sehingga memiliki definisi yaitu suatu prosedur spesifik untuk
deteksi awal dari menurunnya suatu frekuensi normal dari kasus klinis atau reaksi
serologis untuk penyakit tertentu dengan memonitor suatu sampel dari populasi
yang beresiko.
Sistem EWS memiliki suatu proses evaluasi dalam bentuk skor, sistem skor
ini diukur berdasarkan observasi rutin terhadap fisiologi dari tanda-tanda vital
pasien. Early warning score dihitung berdasarkan lima parameter fisiologi yaitu
respon mental, denyut nadi, tekanan darah sistolik, laju pernafasan, suhu dan urine
output ( untuk pasien dengan pemasangan kateter). Tiap parameter memiliki nilai
tertinggi yaitu tiga dan terendah yaitu nol.
TABEL 1 Early Warning Score
Sistem EWS hingga kini dinilai belum mampu digunakan hingga potensi
maksimalnya, sehingga menjadi pertanyaan apakah dampaknya berarti pada praktik
klinisnya. Diperlukan suatu monitoring rutin pada pasien. Sedangkan di banyak
kasus di rumah sakit, EWS masih berbasis pada rekam medis pasien yang dimana
tanda vital pasien diperiksa hanya pada waktu tertentu bukan continues. Terdapat
beberapa contoh kasus dimana aplikabilitas dari EWS sendiri dipertanyakan, seperti
pada beberapa impending illness seperti infark miocard, dimana pasien meninggal
akibat aritmia dengan early warning score yang rendah karena penilaian tanda vital
pasien normal. Karenanya EWS mempunyai modifikasi yang disempurnakan untuk
mencapai potensi maksimal dalam menilai adanya kegawatdaruratan dan tindakan
yang dilakukan. (Georgaka D et al, 2012)
2. MEWS
Untuk menurunkan kasus henti jantung pada pasien rawat inap, ada beberapa hal
yang dapat dimonitoring. Pada tahun 2007 oleh National Institute For Health and
Clinical Excellence (NICE) merekomendasikan Modified Early Warning System
(MEWS) untuk harus digunakan dalam memantau semua pasien dewasa yang
dirawat ke untuk memungkinkan memantau perburukan pasien. Poin dengan nilai
abnormal dalam berguna untuk memandu intervensi dan untuk memantau
kemajuan atau perburukan pasien. Ini merupanan sistem yang menggantikan grafik
tradisional yang mencakup nilai-nilai diplot pada grafik dan tidak ditentukan level
intervensi. Setelah mencapai ambang yang telah ditentukan, Rapid Response Team
akan datang.
Berikut table MEWS dan Tindakan yang dilakukan yang disesuaikan
dengan keadaan pasien. ( Mathukia et al,2014)
2. Membentuk suatu tim yang terlatih lengkap dengan perlatan medis darurat yang
dapat digunakan dengan cepat.
3. Memulai pelatihan keterampilan BLS dan penggunaan defibrillator eksternal
otomatis (AED) untuk semua tim rumah sakit baik yang berbasis klinis maupun
non klinis.
4. Penempatan peralatan BLS di berbagai lokasi strategis di dalam kawasan rumah
sakit untuk memfasilitasi respon cepat bagi keadaan darurat medis.
5. Melatih rumah sakit mampu menangani keadaan medis yang darurat.
Uraian Tugas:
a. Koordinator Tim
•Dijabat oleh dokter ICU/NICU
•Bertugas mengkoordinir segenap anggota tim. Bekerjasama dengan
diklat membuat pelatihan kegawatdaruratan yang dibutuhkan oleh
anggota tim.
d. Tim Resusitasi
• Perawat-perawat terlatih dan dokter ruangan /dokter jaga
• Memberikan bantuan hidup dasar kepada pasien gawat atau gawat
darurat
• Melakukan resusitasi jantung paru kepada pasien gawat atau gawat
darurat
• Daftar nama Tim Code blue meruapakan tanggung jawab Koordinator
setiap bulan dalam MECC
Setiap anggota tim code blue akan memiliki tanggung jawab yang ditunjuk
seperti pemimpin tim, manajer airway, kompresi dada, IV line, persiapan obat dan
defibrilasi. Setiap anggota tim yang ditunjuk harus membawa hand phone.
Sistem Alert
Harus ada sistem yang baik dan terkoordinasi di tempat yang digunakan
untuk mengaktifkan peringatan terjadinya keadaan darurat medis dalam lingkup
rumah sakit kepada anggota tim code blue. Sistem telepon yang ada akan
digunakan.
Jika terjadi keadaan darurat medis, personil rumah sakit di mana saja dalam
lingkup rumah sakit tersebut dapat mengktifkan respon dari code blue lewat
telepon untuk bantuan dan pengaktifan:
a. Local Alert
• Pengumuman melalui sistem PA
• Menampilkan nama-nama tim code blue primer di lokasi strategis
di zona mereka
• Setelah aktivasi code blue terjadi, Tim Primer harus meninggalkan
pekerjaannya dan mengambil tas code blue dan bergegas ke lokasi dan
memulai CPR / BLS
b. Hospital Alert : Nomor telepon code blue Pusat Panggilan
Kegawatdaruatan Medis:
Prioritas 1: Untuk mengaktifkan team code blue sekunder dari ETD
Prioritas 2: Untuk memeriksa (sebagai jaring pengaman kedua)
pengaktifan team code blue primer.
Anggota tim respon code blue primer yang telah ditentukan di sekitar tempat
terjadinya kegawatdaruatan medis akan menanggapi situasi code blue sesegera
mungkin. Anggota tim akan memobilisasi alat resusitasi mereka dan bergegas ke
lokasi darurat medis. Tim ETD code blue juga akan menanggapi situasi code blue.
Jika semua tim tidak yakin apakah lokasi darurat medis tersebut tercakup di daerah
cakupan mereka, mereka tetap harus merespon alarm 'code blue'.
Standar layanan untuk durasi waktu yang dibutuhkan antara menerima
pesan 'code blue' (code blue aktivasi) dan kedatangan tim code blue di lokasi
kejadian adalah 5 sampai 10 menit.
Agar sistem rujukan ini dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka perlu
diperhatikan organisasi dan pengelolaannya. Mata rantai kewenangan dan
tanggung jawab dari masing-masing unit pelayanan yang terlibat harus jelas,
termasuk aturan pelaksanaan dan koordinasinya. Sistem rujukan akan berjalan
dengan baik dan harus dapat memberikan manfaat, tidak hanya untuk institusi
yang merujuk namun juga untuk institusi yang menerima rujukan, dengan
mengutamakan manfaat bagi pasien yang dirujuk. Harus ada sanksi yang
disepakati oleh semua pihak sehubungan dengan pengaturan dalam merujuk.
Di era desentralisasi, peran serta daerah terutama Kabupaten/ kota, menjadi sangat
penting dalam upaya memfungsikan sistem rujukan yang dibangun sesuai dengan
ketentuannya.
Titik awal dari suatu proses rujukan Kesehatan perseorangan kecuali untuk kasus
emergensi adalah fasyankes yang difungsikan sebagai Gate keeper, yaitu:
Rujukan selanjutnya akan melalui tahapan awal mula dari sistem rujukan di tingkat
Kabupaten/kota dimaksud.
Untuk dapat membangun suatu sistem rujukan Kesehatan perseorangan secara baik,
mantap dan berkesinambungan, perlu terlebih dahulu dibuat pemetaan wilayah dan
alur rujukan di masing-masing tingkat sistem rujukan, yang selanjutnya
digabungkan menjadi satu sistem rujukan nasional dengan satuan-satuan sistem
rujukan didalamnya. Tugas melakukan pemetaan (mapping) sistem rujukan di
tingkat kabupaten/kota menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/kota,
BPJS Kesehatan dan jejaringnya (kantor cabang, divre). Sedangkan untuk sistem
rujukan ditingkat propinsi dan yang lebih tinggi, yang bertanggung-jawab
melakukan pemetaan (mapping) adalah Dinas Kesehatan Propinsi dan Kementerian
Kesehatan khususnya Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan (BUKR).
Apabila belum berhasil dilakukan pemetaan (mapping) wilayah dan alur rujukan
dalam suatu sistem rujukan timbal balik secara
Agar sistem rujukan dapat dibangun dan selanjutnya difungsikan dengan baik,
maka pemetaan (mapping) wilayah dan alur sistem rujukan harus dilakukan
dengan sebaik-baiknya serta teliti, didukung data yang lengkap dan akurat,
tentang:
1. Data geografis wilayah, data sarana dan prasarana sistem transportasi; baik
transportasi darat, laut dan atau udara
2. Data fasyankes, lokasi dan tingkat kemampuan/kompetensinya dalam memberikan
pelayanan Kesehatan perseorangan, dikaitkan dengan fungsinya sebagai pusat
rujukan medik pada tingkat dan area wilayahnya.
3. Data ketersediaan sarana, prasarana, peralatan, bahan/obat, ketersediaan
pembiayaan dan tenaga Kesehatan menurut jenis dan jumlah serta tingkat
pendidikan dan kompetensinya, dikaitkan dengan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang ditentukan untuk fasyankes bersangkutan sebagai pusat rujukan di
tingkatnya, dalam mendukung berfungsinya sistem rujukan di wilayahnya.
4. Data ketersediaan perangkat dan sistem operasional serta penguasaan TIK
(Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau ICT (Information Communication
Tecnology), yang memungkinkan untuk dikembangkannya sistem rujukan yang
mampu memberikan layanan rujukan jarak jauh/ tidak langsung secara cepat
melalui telemedicine, e-health, u-health, khususnya untuk melayani rujukan
daerah terpencil dan wilayah yang luas, dengan kualitas yang tetap dapat
dipertanggung-jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Blewer, A. L., Leary, M., Esposito, E. C., Gonzalez, M., Riegel, B., Bobrow, B. J.,
& Abella, B. S. (2012). Continuous chest compression cardiopulmonary
resuscitation training promotes rescuer self-confidence and increased
secondary training: a hospital-based randomized controlled trial*. Critical
care medicine, 40(3), 787-92.
Dame, R.B., Kumaat, L.T., Laihad. M.L., (2018). Gambaran Tingkat Pengetahuan
Perawat Tentang Code blue Sistem di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Jurnal e-Clinic (eCl), 6(2)
Garg R, Ahmed SM, Kapoor MC, Rao SC, Mishra BB, Kalandoor MV, et al,
(2017). Comprehensive cardiopulmonary life support (CCLS) for
cardiopulmonary resuscitation by trained paramedics and medics inside the
hospital. Indian J Anaesth ;61:883-94
Institute For Clinical Systems Improvement, (2011). Health Care Protocol: Rapid
Response Team, 3RD ed. Bloomington.
Kilgannon, J. H., Kirchhoff, M., Pierce, L., Aunchman, N., Trzeciak, S., & Roberts,
B. W. (2016). Association between chest compression rates and clinical
outcomes following in-hospital cardiac arrest at an academic tertiary hospital.
Resuscitation, 110, 154-161.
Royal Brisbance & Women’s Hospital Health Service District, (2007). Code blue
Manual. RBWH Publisher, Herston
Singh S, Sharma DK, Bhoi S, Sardana SR, Chauhan S., (2015). Code blue Policy
for a Tertiary Care Trauma Hospital in India. Int J Res Foundation Hosp
Healthc Adm; 3(2); 114-122.
The American National Red Cross, (2015). Basic Life Support for Healthcare
Providers. Staywell, United States.