Anda di halaman 1dari 20

KEBIJAKAN AKTIVASI SISTEM KEGAWAT DARURATAN MEDIS

Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,


kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat
kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Pembangunan kesehatan
diselenggerakan berdasarkan perikemanusiaan, pemberdayaan dan kemandirian,
adil dan merata, serta pengutamaan dan manfaat dengan perhatian khusus yang
diberikan kepada penduduk rentan, antara lain ibu, bayi, anak, lanjut usia, dan
keluarga miskin.

Upaya-upaya Kesehatan, dalam hal ini upaya Kesehatan perseorangan,


diselenggarakan melalui upaya-upaya peningkatan, pencegahan, pengobatan,
pemulihan dan paliatif yang ditujukan pada perseorangan, dilaksanakan secara
menyeluruh, terpadu, berkesinambungan, dan didukung sistem rujukan yang
berfungsi secara mantap. Sistem rujukan dalam upaya Kesehatan perseorangan
disebut sebagai sistem rujukan medik, yang berkaitan dengan upaya pengobatan
dan pemulihan.

Sistem rujukan medik tersebut dapat berupa pengiriman pasien, spesimen,


pemeriksaan penunjang diagnostik, dan rujukan pengetahuan tentang penyakit.
Rujukan medik diselenggarakan dalam upaya menjamin pasien dapat menerima
pelayanan Kesehatan perseorangan secara berkualitas dan memuaskan, pada
fasilitas pelayanan Kesehatan yang terdekat dari lokasi tempat tinggalnya, pada
tingkat biaya yang paling sesuai (low cost) sehingga terjangkau pasien umumnya,
sehingga pelayanan dapat terselenggara secara efektif dan efisien. Diharapkan
pelayanan yang diberikan dimulai dari institusi pelayanan Kesehatan tingkat dasar
sudah harus berkualitas dan pasien merasa puas menerima pelayanan di fasilitas
pelayanan Kesehatan dasar, sehingga hanya kasus yang benar-benar tidak mampu
ditangani di tingkat pelayanan dasar yang akan dirujuk.

Hal ini penting, selain untuk mencegah terjadinya fenomena bypass, juga
sekaligus akan dapat mendorong berfungsinya sistem rujukan medik secara
efektif, efisien dan mantap.
Kondisi demikian akan dapat diwujudkan kalau Sistem Kesehatan Daerah
khususnya di tingkat Kabupaten/kota (District Health Sistem), sudah dapat
difungsikan dengan baik, yang sekaligus juga akan mendukung penguatan kualitas
pelayanan Kesehatan perseorangan melalui model pendekatan Primary Health
Care (PHC). Dan menyongsong diterapkannya Undang-Undang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial Nomor 24 tahun 2011, diharapkan bahwa
pelayanan Kesehatan perseorangan yang didukung dengan sistem rujukan medik
yang efektif dan efisien serta mantap, dapat diimplementasikan secara baik, benar,
serta memuaskan pesertanya.

Code blue didefinisikan sebagai suatu kode aktivasi sistem untuk kondisi
gawat darurat yang terjadi di rumah sakit atau suatu institusi kesehatan dimana
terdapat pasien yang mengalami cardiopulmonary arrest dan perlu penanganan
sesegera mungkin. (Monangi S et al, 2018)

Code blue team adalah tim yang terdiri dari dokter dan paramedis yang
ditunjuk sebagai "code-team", yang secara cepat ke pasien untuk melakukan
tindakan penyelamatan. Tim ini menggunakan troli emergensi/ crash cart, kursi
roda/tandu, alat - alat penting seperti defibrilator, peralatan intubasi, suction,
oksigen, ambubag, obat-obatan resusitasi (adrenalin, atropin, lignocaine) dan IV
set untuk menstabilkan pasien dengan Bantuan Hidup Dasar. (Vindigni S, et al,
2017) Tim Code blue dapat dipanggil dengan mengaktifkan code blue. Code blue
merupakan suatu sistem aktivasi kode pada pasien yang mengalami kondisi henti
jantung, henti nafas, atau situasi gawat darurat yang membutuhkan resusitasi.
Beberapa rumah sakit besar di Indonesia telah menerapkan sistem pengaktifan
code blue dengan menggunakan jaringan telpon ke nomor tertentu yang disepakati
tiap rumah sakit. Saat ditemukan pasien yang mengalami kondisi henti nafas dan
henti jantung maka petugas kesehatan yang menemukan pasien tersebut akan
mengaktifkan tanda / code blue. Operator sentral akan menyebarkan informasi ke
kapten tim code blue berupa lokasi kejadian. Setelah kapten tim code blue
menerima pemberitahuan, kapten tim code blue langsung menuju lokasi kejadian
dengan durasi waktu yang dibutuhkan antara menerima pesan “code blue” (code
blue activation) dan kedatangan code blue team di lokasi kejadian adalah 5 sampai
10 menit. (Monangi S et al, 2018)
Penetapan sistem code blue bertujuan untuk mengurangi angka mortalitas
serta meningkatkan angka kembalinya sirkulasi spontan. Penanganan henti
jantung yang tertunda berhubungan dengan berkurangnya angka harapan hidup
dari pasien henti jantung. Untuk mencapai tujuan dari penerapan code blue system
diperlukan pengenalan awal dari kasus henti jantung, dalam hal ini pengetahuan
akan sistem code blue dan bantuan hidup dasar. Berdasarkan hal tersebut, aktivasi
sistem code blue yang ideal harus mampu memfasilitasi resusitasi pada pasien
dengan kegawat daruratan medis dan kondisi henti jantung dengan respon yang
adekuat. (Kilgannon J et al, 2016; Sing S et al, 2015)

Berdasarkan kajian-kajian di atas, pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang


Kebijakan aktivasi sistem kegawatdaruratan medik harus dimiliki setiap petugas medis
yang bertugas di rumah sakit.

Penilaian dan Tujuan Code blue

1. EWS
EWS atau Early Warning System adalah suatu proses sistemik untuk
mengevaluasi dan mengukur resiko lebih awal guna mengambil langkah untuk
meminimalisir dampak terhadap sistem finansial. Sistem ini telah dikenalkan pada
dunia kesehatan sehingga memiliki definisi yaitu suatu prosedur spesifik untuk

deteksi awal dari menurunnya suatu frekuensi normal dari kasus klinis atau reaksi
serologis untuk penyakit tertentu dengan memonitor suatu sampel dari populasi
yang beresiko.
Sistem EWS memiliki suatu proses evaluasi dalam bentuk skor, sistem skor
ini diukur berdasarkan observasi rutin terhadap fisiologi dari tanda-tanda vital
pasien. Early warning score dihitung berdasarkan lima parameter fisiologi yaitu
respon mental, denyut nadi, tekanan darah sistolik, laju pernafasan, suhu dan urine
output ( untuk pasien dengan pemasangan kateter). Tiap parameter memiliki nilai
tertinggi yaitu tiga dan terendah yaitu nol.
TABEL 1 Early Warning Score

Sistem EWS hingga kini dinilai belum mampu digunakan hingga potensi
maksimalnya, sehingga menjadi pertanyaan apakah dampaknya berarti pada praktik
klinisnya. Diperlukan suatu monitoring rutin pada pasien. Sedangkan di banyak
kasus di rumah sakit, EWS masih berbasis pada rekam medis pasien yang dimana
tanda vital pasien diperiksa hanya pada waktu tertentu bukan continues. Terdapat
beberapa contoh kasus dimana aplikabilitas dari EWS sendiri dipertanyakan, seperti
pada beberapa impending illness seperti infark miocard, dimana pasien meninggal
akibat aritmia dengan early warning score yang rendah karena penilaian tanda vital
pasien normal. Karenanya EWS mempunyai modifikasi yang disempurnakan untuk
mencapai potensi maksimal dalam menilai adanya kegawatdaruratan dan tindakan
yang dilakukan. (Georgaka D et al, 2012)
2. MEWS
Untuk menurunkan kasus henti jantung pada pasien rawat inap, ada beberapa hal
yang dapat dimonitoring. Pada tahun 2007 oleh National Institute For Health and
Clinical Excellence (NICE) merekomendasikan Modified Early Warning System
(MEWS) untuk harus digunakan dalam memantau semua pasien dewasa yang
dirawat ke untuk memungkinkan memantau perburukan pasien. Poin dengan nilai
abnormal dalam berguna untuk memandu intervensi dan untuk memantau
kemajuan atau perburukan pasien. Ini merupanan sistem yang menggantikan grafik
tradisional yang mencakup nilai-nilai diplot pada grafik dan tidak ditentukan level
intervensi. Setelah mencapai ambang yang telah ditentukan, Rapid Response Team
akan datang.
Berikut table MEWS dan Tindakan yang dilakukan yang disesuaikan
dengan keadaan pasien. ( Mathukia et al,2014)

TABEL 2 Tabel Modified Early Warning System


Tujuan dari sistem code blue adalah:
1. Memberikan resusitasi dan stabilisasi yang cepat bagi korban yang mengalami
kondisi darurat henti jantung yang berada dalam situasi rumah sakit.

2. Membentuk suatu tim yang terlatih lengkap dengan perlatan medis darurat yang
dapat digunakan dengan cepat.
3. Memulai pelatihan keterampilan BLS dan penggunaan defibrillator eksternal
otomatis (AED) untuk semua tim rumah sakit baik yang berbasis klinis maupun
non klinis.
4. Penempatan peralatan BLS di berbagai lokasi strategis di dalam kawasan rumah
sakit untuk memfasilitasi respon cepat bagi keadaan darurat medis.
5. Melatih rumah sakit mampu menangani keadaan medis yang darurat.

Organisasi Tim Code blue


Tim Code blue merupakan tim yang selalu siap setiap saat/ sepanjang waktu.
Tim code blue respon primer beranggotakan kru yang telah menguasai Basic Life
Support (BLS) atau Bantuan Hidup Dasar. Tim Code blue terdiri dari 3 sampai 4
anggota,yaitu: (Singh S et al, 2015)
• 1 Koordinator Tim
• 1 Petugas Medis
• 1 Assisten Petugas Medis dan 1 atau 2 perawat (perawat pelaksana dan
tim resusitasi)
• 1 Kelompok Pendukung (jika perlu)

Uraian Tugas:
a. Koordinator Tim
•Dijabat oleh dokter ICU/NICU
•Bertugas mengkoordinir segenap anggota tim. Bekerjasama dengan
diklat membuat pelatihan kegawatdaruratan yang dibutuhkan oleh
anggota tim.

b. Penanggung Jawab Medis


• Dokter jaga/ dokter ruangan
• Mengidentifikasi awal / triage pasien
• Memimpin penanggulangan pasien saat terjadi kegawatdaruratan
• Memimpin tim saat pelaksanaan RJP
• Menentukan sikap selanjutnya
c. Perawat Pelaksana
• Bersama dokter pemanggungjawab medis melakukan triage pada pasien
• Membantu dokter penanggungjawab medis menangani pasien gawat dan
gawat darurat

d. Tim Resusitasi
• Perawat-perawat terlatih dan dokter ruangan /dokter jaga
• Memberikan bantuan hidup dasar kepada pasien gawat atau gawat
darurat
• Melakukan resusitasi jantung paru kepada pasien gawat atau gawat
darurat
• Daftar nama Tim Code blue meruapakan tanggung jawab Koordinator
setiap bulan dalam MECC
Setiap anggota tim code blue akan memiliki tanggung jawab yang ditunjuk
seperti pemimpin tim, manajer airway, kompresi dada, IV line, persiapan obat dan
defibrilasi. Setiap anggota tim yang ditunjuk harus membawa hand phone.

Ruang Lingkup Sistem Code blue


Sistem respon cepat code blue dibentuk untuk memastikan bahwa semua
kondisi darurat medis kritis tertangani dengan resusitasi dan stabilisasi sesegera
mungkin. Sistem respon terbagi dalam 2 tahap:
a. Respon awal (responder pertama) berasal petugas rumah sakit yang berada di
sekitarnya, dimana terdapat layanan Basic Life Support (BLS).
b. Respon kedua (responder kedua) merupakan tim khusus dan terlatih yang berasal
dari departemen yang ditunjuk oleh pihak rumah sakit.
Sistem respon dilakukan dengan waktu respon tertentu berdasarkan
standar kualitas pelayanan yang telah ditentukan oleh rumah sakit. Untuk
menunjang hal tersebut yang dilakukan adalah:
1. Semua personil di rumah sakit harus dilatih dengan keterampilan BLS untuk
menunjang kecepatan respon untuk BLS di lokasi kejadian.
2. Peralatan BLS harus ditempatkan di lokasi yang strategis dalam kawasan
rumah sakit, misalnya lobi rumah sakit, ruang tunggu poliklinik dan ruang
rawat inap,
dimana peralatan dapat dipindah atau dibawa untuk memungkinkan respon yang
cepat.

Tatalaksana Sistem Code blue


Tim dibentuk dengan ketentuan tiap tim terdiri dari 3 sampai 5 anggota yang
terlatih dalam BLS. Peralatan resusitasi darurat yang mudah untuk dibawa, harus
ditempatkan di lokasi strategis di seluruh kawasan rumah sakit terutama di daerah
di mana probabilitas tinggi terjadi kondisi darurat medis atau di mana tim rumah
sakit telah dilatih dalam keterampilan BLS. Setidaknya satu kit resusitasi dasar
harus ditempatkan di setiap area kerja satu departemen sehingga tim dapat dengan
cepat memobilisasi dan memanfaatkan peralatan resusitasi. Jika tersedia peralatan
resusitasi yang lebih maka efektifitas dan waktu respon dari Code blue teaim akan
lebih baik dan harapan hidup pasien meningkat.
Hal ini sama pentingnya bahwa semua personil rumah sakit, terutama
tenaga non-dokter dan non-medis, dilatih BLS sehingga mereka juga dapat
memberikan resusitasi awal kehidupan (CPR) di lokasi kejadian sambil menunggu
respon primer atau Code blue tiba, dengan demikian juga meningkatkan
kemungkinan hasil yang baik bagi para korban darurat medis. Pelatihan tim rumah
sakit dalam keterampilan BLS dan penggunaan AED juga dapat dilakukan oleh
ETD.

Fase Code blue

Sistem Alert
Harus ada sistem yang baik dan terkoordinasi di tempat yang digunakan
untuk mengaktifkan peringatan terjadinya keadaan darurat medis dalam lingkup
rumah sakit kepada anggota tim code blue. Sistem telepon yang ada akan
digunakan.
Jika terjadi keadaan darurat medis, personil rumah sakit di mana saja dalam
lingkup rumah sakit tersebut dapat mengktifkan respon dari code blue lewat
telepon untuk bantuan dan pengaktifan:
a. Local Alert
• Pengumuman melalui sistem PA
• Menampilkan nama-nama tim code blue primer di lokasi strategis
di zona mereka
• Setelah aktivasi code blue terjadi, Tim Primer harus meninggalkan
pekerjaannya dan mengambil tas code blue dan bergegas ke lokasi dan
memulai CPR / BLS
b. Hospital Alert : Nomor telepon code blue Pusat Panggilan
Kegawatdaruatan Medis:
Prioritas 1: Untuk mengaktifkan team code blue sekunder dari ETD
Prioritas 2: Untuk memeriksa (sebagai jaring pengaman kedua)
pengaktifan team code blue primer.
Anggota tim respon code blue primer yang telah ditentukan di sekitar tempat
terjadinya kegawatdaruatan medis akan menanggapi situasi code blue sesegera
mungkin. Anggota tim akan memobilisasi alat resusitasi mereka dan bergegas ke
lokasi darurat medis. Tim ETD code blue juga akan menanggapi situasi code blue.
Jika semua tim tidak yakin apakah lokasi darurat medis tersebut tercakup di daerah
cakupan mereka, mereka tetap harus merespon alarm 'code blue'.
Standar layanan untuk durasi waktu yang dibutuhkan antara menerima
pesan 'code blue' (code blue aktivasi) dan kedatangan tim code blue di lokasi
kejadian adalah 5 sampai 10 menit.

Intervensi Segera di Tempat Kejadian


Tim di tempat kejadian darurat medis (pasien tidak sadar atau dalam
cardiac dan respiratory arrest) telah terjadi memiliki tanggung jawab untuk
meminta bantuan lebih lanjut, memulai resusitasi menggunakan pedoman Basic
Life Support (BLS) dan keterampilan ALS dan peralatan jika cukup terlatih dan
lengkap. Nomor tim code blue Rumah Sakit akan ditempatkan di bangsal,
departemen, divisi, unit, kantor, lobi lift, koridor, kantin, taman, tempat parkir,
trotoar dan lokasi lain di dalam halaman rumah sakit. (Garg R et al, 2017)
Personil rumah sakit yang menemukan korban harus mengaktifkan
pemberitahuan lokal untuk tim code blue primer atau seseorang menginstruksikkan
mereka untuk melakukannya, mereka juga harus meminta bantuan lebih lanjut dari
tim terdekat jika tersedia. Sementara menunggu kedatangan tim utama menanggapi
code blue, jika tersedia tim yang terlatih untuk BLS, mereka harus memulai BLS
(posisi airway, bantuan pernapasan, kompresi dada dll).Jika tidak ada tim yang
terlatih BLS, tim yang ditempat kejadian harus menunggu bantuan yang
berpengalaman dan menjaga lokasi dari kerumunan orang.
Jika monitor jantung, defibrillator manual atau defibrillator eksternal
otomatis (AED) tersedia, peralatan ini harus melekat kepada pasien untuk
menentukan kebutuhan defibrilasi; fase ini dilakukan oleh tim yang berpengalaman
atau tim terlatih dalam Alert Cardiac Life Support (ACLS). (Garg R et al, 2017)
Setiap departemen, divisi, atau unit bangsal harus berusaha untuk
memastikan bahwa tim mereka dilatih dalam setidaknya keterampilan BLS dan
mereka dilengkapi dengan resusitasi kit atau troli, setidaknya peralatan resusitasi
dasar dan ditempatkan di lokasi strategis.Tim dari masing-masing ruangan akan
bertanggung jawab untuk pemeliharaan resusitasi kit mereka.
Jika korban berhasil diresusitasi, sambil menunggu kedatangan tim respon
code blue, tim dilokasi harus menempatkan pasien dalam posisi pemulihan dan
monitor tanda-tanda vital. Semua kasus code blue harus mengirim ke ETD untuk
evaluasi lebih lanjut dan manajemen terlepas hasilnya. (Garg R et al, 2017)

Peralatan dan Perencanaan Sistem Code blue


Semua tingkat tim rumah sakit harus cukup terlatih setidaknya dalam BLS
dan penggunaan AED. AED dan resusitasi kit dasar harus ditempatkan di berbagai
daerah di dalam halaman rumah sakit dan mudah diakses bagi tenaga medis dan
tim Code blue untuk digunakan.

Tabel 3. Peralatan BLS (The American National Red Cross, 2015)

Bagian atas Troli


Resuscitator x 1 (Tersegel)
Sungkup muka ukuran 3/4 & Pocket Face Mask dengan klep 1 arah
5
Resuscitator termasuk bag & reservoir Obat-obatan emergensi dalam segel plastik
Pipa Oropharyngeal Ukuran 3 & 4
(sekali pakai)
Laci 1 – Peralatan Intubasi – Paket (sekali pakai) + Gagang Laringoskop Handle

Gagang Laryngoskop x 1 Bilah Laringoskop: No 3 & 4


Introducer x 1 Forsep Magill's x 1
Pipa Endotracheal:
Ukuran 7.5, 8, 8.5 x 2 Saset Gel Pelumas x 2
Yankauer disposable sucker x 1 Kateter Suction: 12g & 14g x 2 each
Catheter mount x 1 Angle Konektor x 1
10ml syringe x 1 Forsep Arteri x 1
Micropore 25mm x 1 Tracheostomy tape ~ 1m Gunting x 1
Pipa Nasofaring Ukuran Size 7
Laci 2 – Peralatan IV
Paket IV (Sekali
Pakai)
Basic Dressing Packs x 2 Torniket x 2 Swab Alkohol x 12 Silet x 1
IV Cannula Syringes Jarum Tabung
16g x 4 3ml, 5ml x 19g x 6 Darah: FBC
18g x 4 3 10ml x 21g x 6 x2
20g x 4 4, 25g x 2 U&E x 2 (Li
20ml x 1 Heparin) Cross
match x 1
Occlusive Dressing x 2 IV Giving Sets x 2 Normal Saline10ml
Additive labels x 2 Long Airways x 1 ABG syringes x 2 ampul x 4
Laci 3 atau Rak Bawah Laci 4 atau Rak Bawah
Larutan IV: Perlengkapan
Plasma Volume Expander (Haemaccel) pelindung:
500ml Dekstrose 5% dalam 1 liter H2O masker
Normal Saline 0.9% 1 liter gogel
Apron plastik
aprons
Sarung tangan sekali pakai

Attachments: Form Rekam Emergensi, Papan kertas,


Silinder O2 ukuran C dengan regulator, flow Pulpen
meter, O2 Sharps Container
tubing & medium flow masker O2
Pipa Suction

Defibrilator Semi Otomatis/ Semi Automated Defibrillator (SAED) harus


ada di dekat Troli Emergensi. Paket elektroda SAED x 2 dan sebuah razor sekali
pakai harus di simpan di dalam kotak paket SAED. Paket elektroda tidak boleh
dibuka sampai sebelum pemakaian. (The American National Red Cross, 2015)
Peralatan resusitasi diletakkan di area yang sering membutuhkan bantuan
resusitasi sehingga bila code blue muncul tim yang ditunjuk sebagai code blue Tim
akan segera dapat mengakses peralatan tersebut. Jika code blue disebut di suatu
daerah tanpa crash-cart, tim yang ditunjuk code blue akan membawa crash-cart
atau kit resusitasi.
Perencanaan kegiatan Tim Code blue meliputi :
1. Pelayanan Sehari-hari: merupakan kegiatan sehari-hari dalam rangka
mengidentifikasi (Triage) pasien-pasien yang ada di ruangan perawatan. Sehingga
keadaan gawat/ gawat darurat pasien dapat lebih dini diketahui dan ditanggulangi
sehingga mencegah kematian dan kecacatan yang tidak perlu terjadi.
2. Pelayanan Kegawatdaruratan Pasien Di Ruangan: merupakan kegiatan
pelayanan dalam menangani pasien gawat darurat dengan memberikan pertolongan
bantuan hidup dasar dan resusitasi jantung, paru dan otak (RJP).
3. Pelatihan dan Peningkatan SDM. Guna menjaga dan meningkatkan
kualitas kemampuan anggota tim, maka dibuatkan suatu pendidikan dan pelatihan
meliputi teori dan praktek sesuai kebutuhan tim.
4. Evaluasi dan Kendali Mutu: Pelaksanaan kegiatan penanggulangan dan
penanganan pasien gawat/ gawat darurat oleh Blue Team harus dapat dievaluasi
dan kendali mutu agar kesempurnaan kegiatan menjadi lebih baik. Oleh karena
itulah Tim Pengendalian Mutu rumah sakit diharapkan dapat turut berperan dalam
hal evaluasi dan kendali mutu Blue Team. (The American National Red Cross,
2015)

Dasar Pengembangan Sistem Rujukan

Terdapat beberapa landasan yang harus dipegang dalam mengembangkan


dan menerapkan sistem rujukan ini. Landasan atau dasar tersebut adalah
keselamatan pasien yang juga mencakup mutu pelayanan, efisiensi, ketertiban,
persaingan global, keadilan dan implementasi Sistem Kesehatan Nasional (Sistem
Kesehatan Nasional). Suatu sistem rujukan yang baik sudah pasti mengedepankan
dan mengutamakan keselamatan pasien di atas hal-hal lainnya. Semua keputusan
terkait merujuk harus dibuat demi keselamatan pasien. Keselamatan pasien
merupakan bagian integral dari semua tahap pelayanan Kesehatan yang bermutu.

Sistem rujukan diselenggarakan dengan tujuan memberikan pelayanan


Kesehatan secara bermutu, sehingga tujuan pelayanan tercapai tanpa harus
menggunakan biaya yang mahal. Hal ini disebut efektif sekaligus efisien. Efisien
yang dimaksud disini juga diartikan dengan berkurangnya waktu tunggu dalam
proses merujuk dan berkurangnya rujukan yang tidak perlu karena sebenarnya
dapat ditangani di Fasyankes asal, baik dengan bantuan teknologi mutakhir
ataupun teknologi tepat guna atau low cost technology, yang tetap masih dapat
dipertanggung-jawabkan.
Sistem pelayanan Kesehatan yang diselenggarakan sebagaimana
disebutkan akan berlangsung dengan baik jika ada ketertiban dalam
pelaksanaannya. Artinya segala sesuatu yang dilaksanakan harus mengikuti
pedoman yang telah dibuat. Karena itu perlu terlebih dahulu disusun satu
pedoman yang dapat digunakan di seluruh Indonesia dengan baik, dan dapat
diperbaiki dari waktu ke waktu. Persaingan global juga menjadi salah satu dasar
pemikiran dalam mengembangkan sistem rujukan, karena Indonesia merupakan
negara kepulauan yang luas, berbatasan dengan beberapa negara lain baik
langsung di perbatasan daratan ataupun tidak langsung pada pulau-pulau kecil
terluar. Penduduk Indonesia yang bermukim di perbatasan negara tetangga
tersebut ada yang secara geografis lebih dekat dan lebih mudah untuk mengakses
pelayanan Kesehatan dan atau rujukan ke Fasyankes di negara tetangga
dibandingkan dengan Fasyankes yang merupakan tujuan rujukan di Indonesia,
belum lagi pertimbangan kualitas layanan di negara lain seringkali diasumsikan
lebih baik dari pada pelayanan fasyankes di Indonesia.

Sistem Kesehatan Nasional 2009 yang selanjutnya diperbaharui menjadi Sistem


Kesehatan Nasional 2012, disusun dengan landasan idiel Pancasila, landasan
konstitusionil Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan landasan operasionail
Undang-Undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Selanjutnya Sistem
Kesehatan Nasional 2012 sebagai dokumen kebijakan pengelolaan Kesehatan
akan menjadi acuan dalam penyelenggaraan pembangunan Kesehatan, sekaligus
mempertegas makna pembangunan Kesehatan dalam rangka pemenuhan Hak
Asasi Manusia. Sistem Kesehatan Nasional yang disusun juga memperhatikan
inovasi atau terobosan dalam penyelenggaraan pembangunan Kesehatan secara
luas termasuk penguatan sistem rujukan.

Organisasi dan Pengelolaan dalam Pelaksanaan Sistem Rujukan

Agar sistem rujukan ini dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien, maka perlu
diperhatikan organisasi dan pengelolaannya. Mata rantai kewenangan dan
tanggung jawab dari masing-masing unit pelayanan yang terlibat harus jelas,
termasuk aturan pelaksanaan dan koordinasinya. Sistem rujukan akan berjalan
dengan baik dan harus dapat memberikan manfaat, tidak hanya untuk institusi
yang merujuk namun juga untuk institusi yang menerima rujukan, dengan
mengutamakan manfaat bagi pasien yang dirujuk. Harus ada sanksi yang
disepakati oleh semua pihak sehubungan dengan pengaturan dalam merujuk.

1. Organisasi atau Lembaga yang terlibat di dalam sistem rujukan

Selain fasilitas pelayanan Kesehatan yang memberikan pelayanan langsung


kepada pasien, juga terdapat organisasi atau lembaga yang terlibat di dalam sistem
rujukan ini. Organisasi yang terlibat dalam pelaksanaan sistem rujukan adalah:

1. Pemilik dan penyelenggara fasilitas pelayanan Kesehatan dengan penanggung-


jawabnya
2. Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Dinas Kesehatan Propinsi
3. Kementerian Kesehatan, melalui Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan
4. BPJS Kesehatan dengan jejaringnya
5. Organisasi profesi tenaga-tenaga Kesehatan yang terlibat dalam pelayanan
Kesehatan perseorangan.
6. Lembaga Pendidikan Kedokteran, Keperawatan, Farmasi, dan lembaga
pendidikan tenaga Kesehatan lainnya yang terkait dengan pelayanan Kesehatan
perseorangan.

2. Fasyankes dari semua tingkat sistem rujukan sebagai simpul-simpul


sistem rujukan

Di era desentralisasi, peran serta daerah terutama Kabupaten/ kota, menjadi sangat
penting dalam upaya memfungsikan sistem rujukan yang dibangun sesuai dengan
ketentuannya.

Titik awal dari suatu proses rujukan Kesehatan perseorangan kecuali untuk kasus
emergensi adalah fasyankes yang difungsikan sebagai Gate keeper, yaitu:

1. Puskesmas dan Klinik-klinik Pratama milik pemerintah dan swasta,


2. Praktek Swasta Dokter/Dokter Gigi dan Praktek Dokter/ Dokter Pelayanan Primer, yang
berada dalam wilayah administrasi pemerintahan daerah kabupaten/kota.

Rujukan selanjutnya akan melalui tahapan awal mula dari sistem rujukan di tingkat
Kabupaten/kota dimaksud.

B. Membangun Sistem Rujukan Kesehatan Perseorangan dan Supervisinya


1. Pemetaan (mapping) wilayah dan alur rujukan

Untuk dapat membangun suatu sistem rujukan Kesehatan perseorangan secara baik,
mantap dan berkesinambungan, perlu terlebih dahulu dibuat pemetaan wilayah dan
alur rujukan di masing-masing tingkat sistem rujukan, yang selanjutnya
digabungkan menjadi satu sistem rujukan nasional dengan satuan-satuan sistem
rujukan didalamnya. Tugas melakukan pemetaan (mapping) sistem rujukan di
tingkat kabupaten/kota menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/kota,
BPJS Kesehatan dan jejaringnya (kantor cabang, divre). Sedangkan untuk sistem
rujukan ditingkat propinsi dan yang lebih tinggi, yang bertanggung-jawab
melakukan pemetaan (mapping) adalah Dinas Kesehatan Propinsi dan Kementerian
Kesehatan khususnya Direktorat Bina Upaya Kesehatan Rujukan (BUKR).

Apabila belum berhasil dilakukan pemetaan (mapping) wilayah dan alur rujukan
dalam suatu sistem rujukan timbal balik secara

berkesinambungan, maka institusi pelayanan medik bersangkut- an, wajib


berkonsultasi kepada tingkat diatasnya secara berjen- jang. Dalam kondisi tertentu
Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK) harus dapat memfasilitasi dan
memberikan solusi terbaiknya. Selanjutnya Ditjen BUK juga mempunyai kewajiban
memampukan daerah dalam memfungsikan sistem rujukan di wilayahnya, secara
terkoordinasi dengan pihak-pihak terkait.

Agar sistem rujukan dapat dibangun dan selanjutnya difungsikan dengan baik,
maka pemetaan (mapping) wilayah dan alur sistem rujukan harus dilakukan
dengan sebaik-baiknya serta teliti, didukung data yang lengkap dan akurat,
tentang:

1. Data geografis wilayah, data sarana dan prasarana sistem transportasi; baik
transportasi darat, laut dan atau udara
2. Data fasyankes, lokasi dan tingkat kemampuan/kompetensinya dalam memberikan
pelayanan Kesehatan perseorangan, dikaitkan dengan fungsinya sebagai pusat
rujukan medik pada tingkat dan area wilayahnya.
3. Data ketersediaan sarana, prasarana, peralatan, bahan/obat, ketersediaan
pembiayaan dan tenaga Kesehatan menurut jenis dan jumlah serta tingkat
pendidikan dan kompetensinya, dikaitkan dengan Standar Pelayanan Minimal
(SPM) yang ditentukan untuk fasyankes bersangkutan sebagai pusat rujukan di
tingkatnya, dalam mendukung berfungsinya sistem rujukan di wilayahnya.
4. Data ketersediaan perangkat dan sistem operasional serta penguasaan TIK
(Teknologi Informasi dan Komunikasi) atau ICT (Information Communication
Tecnology), yang memungkinkan untuk dikembangkannya sistem rujukan yang
mampu memberikan layanan rujukan jarak jauh/ tidak langsung secara cepat
melalui telemedicine, e-health, u-health, khususnya untuk melayani rujukan
daerah terpencil dan wilayah yang luas, dengan kualitas yang tetap dapat
dipertanggung-jawabkan.

Pembagian wilayah pelayanan sistem rujukan mengikuti kriteria


sebagaimana tersaji pada Bagan 1 berikut ini
Kementerian Kesehatan telah memiliki tools di dalam SIRS on-line (Sistem
Informasi Rumah Sakit On Line) yang dapat dimanfaatkan untuk mempermudah
proses pemetaan dan juga menciptakan keseragaman secara nasional. Untuk itu
setiap Fasyankes diwajibkan untuk mengisi data-data yang diperlukan. Penertiban
dalam hal pengisian tersebut akan menjadi tanggung jawab Dinas Kesehatan
Provinsi masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Aminuddin, (2013). Analisis Faktor Yang Berhubungan Dengan Kesiapan Perawat


Dalam Menangani Cardiac Arrest Di Ruangan Iccu Dan Icu Rsu Anutapura
Palu. Jurnal Keperawatan Sudirman, 8(3).

Blewer, A. L., Leary, M., Esposito, E. C., Gonzalez, M., Riegel, B., Bobrow, B. J.,
& Abella, B. S. (2012). Continuous chest compression cardiopulmonary
resuscitation training promotes rescuer self-confidence and increased
secondary training: a hospital-based randomized controlled trial*. Critical
care medicine, 40(3), 787-92.

Dame, R.B., Kumaat, L.T., Laihad. M.L., (2018). Gambaran Tingkat Pengetahuan
Perawat Tentang Code blue Sistem di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado.
Jurnal e-Clinic (eCl), 6(2)

Garg R, Ahmed SM, Kapoor MC, Rao SC, Mishra BB, Kalandoor MV, et al,
(2017). Comprehensive cardiopulmonary life support (CCLS) for
cardiopulmonary resuscitation by trained paramedics and medics inside the
hospital. Indian J Anaesth ;61:883-94

Georgaka D, Mparparousi M, Vitos M. (2012). Early Warning Systems. Hospital


Chonicles 1: 37–43.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Sistem Rujukan Nasional.


Jakarta: Direktorat Jenderal BUK (Bina Upaya Kesehatan) Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia. 2012
Maharjan RK, A. (2014). Ethical Analysis of Medical Futility in Cardiopulmonary
Resuscitation. Journal of Clinical Research & Bioethics, 05(03).
Mathukia, C., Fan, W., Vadyak, K., Biege, C. and Krishnamurthy, M. (2015).
Modified Early Warning System improves patient safety and clinical
outcomes in an academic community hospital. Journal of Community
Hospital Internal Medicine Perspectives, 5(2), p.26716.

Institute For Clinical Systems Improvement, (2011). Health Care Protocol: Rapid
Response Team, 3RD ed. Bloomington.

Monangi S, Setlur R, Ramanathan R, Bhasin S, Dhar M, (2018). Analysis of


functioning and efficiency of a code blue system in a tertiary care hospital.
Saudi J Anaesth; 12:245-9.

Kilgannon, J. H., Kirchhoff, M., Pierce, L., Aunchman, N., Trzeciak, S., & Roberts,
B. W. (2016). Association between chest compression rates and clinical
outcomes following in-hospital cardiac arrest at an academic tertiary hospital.
Resuscitation, 110, 154-161.

Royal Brisbance & Women’s Hospital Health Service District, (2007). Code blue
Manual. RBWH Publisher, Herston

Saed, MD & Amin, M. (2011). Code Blue System. Emergency


and Trauma Departmrnt, Hospital Sultanah Aminah Johor Bahru.

Singh S, Sharma DK, Bhoi S, Sardana SR, Chauhan S., (2015). Code blue Policy
for a Tertiary Care Trauma Hospital in India. Int J Res Foundation Hosp
Healthc Adm; 3(2); 114-122.

The American National Red Cross, (2015). Basic Life Support for Healthcare
Providers. Staywell, United States.

Vindigni, S. M., Lessing, J. N., & Carlbom, D. J. (2017). Hospital resuscitation


teams: a review of the risks to the healthcare worker. Journal of intensive care,
5, 59.

Anda mungkin juga menyukai