Anda di halaman 1dari 4

Implementasi Tujuan PMII dalam Ruang Kaderisasi

“Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT,


berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggungjawab dalam mengamalkan
ilmunya, serta komitmen dalam memperjuangkan cita-cita kemerdekaan
Indonesia” (AD/ART PMII Pasal 5)

Suatu hari ada mahasiswa yang bertanya-tanya, kenapa di kampus ini banyak stand
pendaftaran dan bendera yang berkibar dipelataran jalan, setiap kerumunan yang
dipisahkan oleh meja yang berbeda. Saling beradu dominan, menunjukan
kegagahan benderanya masing-masing, terkadang ada yang berteriak-teriak penuh
semangat sebari memagang megaphone, adapun yang bersenandung ria bersama
lantunan petik gitar dengan lagu-lagu Iwan Fals yang didendangkan. Baginya
realitas ini adalah barang baru yang ia temukan ketika langkah pertamanya
memasuki kampus disambut dengan keramaian orang dipelataran jalan, rasa
panasarannya memenuhi rasa keingintahuannya pada khalayak ramai yang
berderet tersebut.

Peristiwa yang tak aneh bagi sebagian orang, karena bagi orang yang terbiasa
hidup dikampus pasti hal tersebut menjadi pemandangan musiman. Karena
sejatinya sejarah telah mencatat bahwa dari kampuslah terlahir pemuda-pemuda
tangguh yang memiliki visi kuat dalam menentukan arah perubahan suatu bangsa.
Mungkin tempo dulu, kemerdekaanlah yang menjadi sumbu perjuangan mereka,
keinginan untuk bebas dari belenggu penjajahan. Deretan para pemuda itulah yang
tadi digambarkan sebagai calon martir perubahan masyarakat, tapi apakah begitu
adanya?

Rekonstruksi paradigmatik atas kondisi realitas yang menyuguhkan keadaan


senyatanya (sebenarnya) dari masyarakat. Dan inilah yang seharusnya menjadi
telaah serius bagi para pemuda penggerak khususnya kader muda PMII, tunas
harapan yang harus mekar dan memberikan keteduhan bagi orang-orang
sekitarnya. Rekonstruksi menjadi tawaran mutlak Karena saat ini arus tantangan
yang dihadapi begitu berbeda adanya, setiap kali “waktu” bergeser maka beriringan
perubahan kondisi pun menyertai dan masyarakat menjadi pusat objektikasi
perubahan atas konseukwensi yang diberikan sang waktu, waktu mempengaruhi
ruang dan ruang itu sendiri yang harus menentukan arah pengaruhnya untuk
menemukan bentuk terbaik.

Diatas sempat kita singgung tentang muatas isi dari tujuan PMII, pada sudut
pandang paling dominan tujuan PMII terkesan Individualistis “Terbentuknya
Pribadi”. Penekanan aspek Individual didorong atas harapan besar organisasi akan
terlahirnya individu-individu tercerahkan (Ulul albab). Tempo dulu para rasul pun
hanya seorang diri tapi mampu menggiring arus perubahan masyarakat, bukan
berarti melakukan segala persoalan sendiri ataupun mengasingkan diri dari
keramaian, tapi berangkat dari satu individu yang tercerahkan akan melahirkan
ribuan bahkan jutaan orang yang memiliki kesadaran dan semangat perjuangan
yang sama, dari sanalah arus perubahan suatu masyarakat dapat ditentukan.

Dari sana dorongan untuk meraba-raba akan muncul, apa yang seharusnya
dilakukan kader PMII dengan dasar pengetahuan idelogis ditambah tujuan mutlak
organisasi. Pengetahuan yang hanya melangit tak akan mampu merubah
masyarakat bumi, karena untuk merubah masyarakat bumi kita butuh pengetahuan
yang membumi serta pengalaman orang-orang bumi. maka niscaya apabila kita
bergerak dengan modal segudang teori-teori yang masih melangit, sampai
kapanpun perubahan masyarakat bumi hanya jadi utopia yang takkan pernah ada.

Aktualisasi Tujuan PMII Melalui Rumusan Kaderisasi

Rumusan untuk membumikan tujuan PMII haruslah tertuang dalam strategi


implementatif yang jelas dengan pengukuran matematis berdasarkan arah
persinggungan waktu yang berefek pada perubahan ruang. Waktu tak akan mampu
kita hentikan dengan segala keagungan yang ada hanya tuhan yang mampu
menghentikannya, maka perubahan ruanglah yang mungkin dan mampu kita telisiki
melalui pembacaan secara komprehensif atas pergeseran-pergeseran yang telah
dan akan terus terjadi pada ruang yang kita tempati.

Perangkat implementatif tujuan PMII ada dalam wilayah kaderisasi yang dilakukan,
kaderisasi adalah proses pembentukan individu anggota/kader melalui program
kegiatan organisasi dengan Pola kaderisasi PMII yang terbagi pada tiga jenis yaitu;
Formal, Informal dan Non formal, setiap pola harus memiliki visi primer dalam
rangka pembentukan individu anggota/kader.
Proses pembentukan awal pasca rekrutmen anggota (Mapaba) diarahkan agar
kader mampu mengenali identitas kemanusiaannya serta potensi dan karakter yang
melekat pada dirinya, identitas kemanusiaan menjadi modal utama yang harus
didapatkan agar anggota baru sadar bahwa mereka harus mendaulatkan diri secara
sadar menjadi penghuni utuh dari masyarakat bumi, karena senyatanya kita adalah
masyarakat penghuni bumi dengan bekal kesadaran langit.

Selanjutnya, mengenai potensi dan karakter diri akan mendorong seseorang untuk
menentukan minat serta peranannya untuk hidup ditengah-tengah masyarakat,
begitulah mungkin kondisi pendidikan hari ini, dikotakan berdasarkan minat dan
jurusan yang berbeda-beda. Namun organisasi mampu mewadahi mahasiswa
dalam mengembangkan potensi individu untuk menentukan secara jujur kemana ia
harus memilih.

Setidanya pada persoalan yang paling penting organisasi berhasil membentuk pola
dasar pengetahuannya yang diarahkan pada perjuangan kemanusiaan. Itulah bekal
utama yang harus dimiliki para kader, sehingga menjadi apapun nantinya
merupakan pilihan sadar individu dalam menentukan nasibnya, langkah yang
dilaluinya akan terus membawa pesan suci organisasi. Peran sosialnya akan
mencerminkan usaha-usaha kemanusiaan karena didorong atas kesadaran nilai-
nilai ideologis yang telah diajarkan.

Dalam kaderisasi informal, seorang kader harus menjadikan kampus sebagai ruang
pengembangan potensi diri, ruang akademik akan mengarahkannya menjadi
seorang akademisi atau profesioanalis dalam bidang pendidikan, sedangkan ruang
keorganisasiaan akan membentuk kepekaan sosial baik proses yang dilakukan
melalui resepsi komunikasi dengan birokrasi ataupun mengasah watak perlawanan
atas relasi kontradiktif dengan kebijakan-kebijakan kampus yang menyudutkan
serta merugikan mahasiswa.

Tapi kampus pun menyediakan kurikulum dalam mendidik mahasiswanya, apabila


kita sadar. Bahwa corak pendidikan kita kebanyakan merupakan warisan kolonial.
Sehingga seokarno pun menjadi individu yang sadar bukan karena kurikulum
lembaga pendidikan, melainkan lewat diskusi-diskusi kecil diasrama tempat
menginapnya. Adapula tokoh Minke dalam tetralogi Pram yang merasa dibodohkan
atas kurikulum sekolahnya, justru ia mendapatkan kesadaran kemanusiaannya
melalui benturan sosial dan bimbingan dari mertuanya sendiri -Nyai Ontosoroh.
Karena sejatinya kesadaran untuk merubah kondisi sosial tidak hadir diruang-ruang
kelas, melainkan ditengah-tengah masyarakat itu sendiri, ruang kelas hanya terus
mengasingkan diri kita pada realitas yang senyatanya.

Kampus hanya merupakan laboratorium pembentukan individu, dengan rancangan


simulasi kerja-kerja kemasyarakatan. Dan mereka tidak akan selamanya hidup
dalam ruang pembentukan. Akan ada masanya seorang kader harus
mempertanggungjawabkan keilmuanya setelah ia lulus perkuliahan, disinilah
pengujian yang sebenarnya. Bagi individu yang sadar, mereka akan langsung
menentukan pilihan hidupnya untuk berkiprah pada ruang sosial.

Akses pengembangan potensi dan karakter diri megarahkannya pada kecocokan


bidang pekerjaan, kemerdekaannya akan menuntun orang-orang disekitarnya
menemukan kebebasan yang sama. Dan dalam priode jangka panjang menularkan
semangat kebebasan dan nilai-nilai kamusiaan yang menjadi arah perjuangan
suatu bangsa. Sehingga kita tidak menghianati cita-cita kemerdekaan, dan tidak
akan menjadi orang yang apatis memanfaatkan pengetahuannya demi mencari
keuntungan pribadi, tapi akan menjadi seorang bidan yang membantu melahirkan
kesadaran-kesadaran baru.

Anda mungkin juga menyukai