Anda di halaman 1dari 2

Nama : Tarissa A.

Yuris
NIM : G0119114
Kelas : C 2019

Analisis Film “Coach Carter” (2005)

Film ini menceritakan sebuah kisah nyata yang sangat inspiratif. Kasarnya, film ini
memproyeksikan kata-kata mutiara yang sering kita dengar, yakni, “Tidak ada yang mustahil
selama kita memiliki keberanian dan kemauan yang kuat.” Film ini menggambarkan
perjalanan Ken Carter dalam melatih tim basket SMA Richmond. Sebelum Mr. Carter
datang, komunikasi internal maupun karier di lapangan dari tim basket SMA Richmond
sangat berantakan. Terlihat dari adegan pertama yang ditampilkan, yakni ketika tim SMA
Richmond kalah melawan tim SMA St. Francis, mereka berkelahi dan lanjut melontarkan
kata-kata kasar di ruang ganti serta mengungkit-ungkit masalah pribadi. Konflik yang ada di
sini merupakan konflik disfungsional, karena menghambat kinerja tim.
Kemudian, Mr. Carter datang dengan segala pola pikir, strategi, dan peraturan yang
tegas untuk diterapkan kepada tim. Pada awalnya, Mr. Carter sangat diremehkan oleh para
pemain dan perkataannya selalu ditentang. Dalam rangka menyelesaikan konflik, Mr. Carter
menggunakan teknik penyelesaian Altering the Human Variables, yang mana ia
menggunakan teknik perubahan perilaku berupa pelatihan intensif dan didikan yang tegas
kepada pemainnya. Selain itu, ia juga berusaha menjalin komunikasi dengan sopan karena
menurutnya, respect is the key. Setelah kedatangan Mr. Carter, performa tim perlahan
membaik dan mengejutkan tim-tim dari sekolah lain. Namun, hal ini tidak cukup bagi Mr.
Carter, karena ternyata nilai para pemain anjlok. Hal ini membuat Mr. Carter geram karena
berarti kontraknya dilanggar.
Muncul konflik baru. Mr. Carter memberhentikan latihan basket agar para siswa
belajar dan mengejar nilai yang baik. Kejadian ini masuk ke dalam siklus Storming.
Kekacauan mulai terjadi. Para orang tua murid protes kepada pihak sekolah yang kemudian
membawa pihak sekolah untuk mengadakan musyawarah untuk menentukan nasib tim basket
yang diberhentikan. Di sini terdapat proses negosiasi antara orang tua murid, pihak sekolah,
dan Mr. Carter. Namun pada akhirnya, Mr. Carter mengundurkan diri dari jabatan pelatih tim
basket SMA Richmond. Baru saja ia mengundurkan diri, ketika ia mengunjungi gymnasium,
ia melihat para pemainnya sedang belajar bersama bersama guru mereka dan meminta Mr.
Carter untuk melatih mereka kembali. Tahap ini masuk ke dalam siklus Norming, di mana
para pemain mulai menyadari keuntungan adanya Mr. Carter dalam tim mereka. Di tahap ini,
dapat dibilang telah terjadi kelekatan atau cohesiveness. Kemudian, mereka dapat mencapai
tahap Performing, yakni mereka tahu apa tujuan mereka, kemudian saling bahu-membahu,
dan berhasil menjuarai berbagai turnamen.
Pada akhirnya, tim basket SMA Richmond merupakan Team Work yang baik karena
berhasil membangun sinergi positif, saling bekerja sama dan melengkapi, serta memiliki
komunikasi yang baik. Berdasarkan jenis tim menurut Robbins & Judge (2008), tim ini
masuk ke dalam Problem Solving Teams. Sementara, tipologi kelompok tim basket ini masuk
ke dalam Interacting Groups, di mana mereka paham tujuan mereka dan saling berkoordinasi
untuk mencapai tujuan mereka. Pola pelatihan yang diterapkan oleh Mr. Carter dengan segala
kontroversinya ternyata efektif untuk menjadikan tim basket SMA Richmond sebagai tim
yang andal, juga menjadikan siswa-siswanya berprestasi dalam akademis mereka.

Anda mungkin juga menyukai