Anda di halaman 1dari 42

Subscribe to DeepL Pro to translate larger documents.

Visit www.DeepL.com/pro for more information.

PERLINDUNGAN WOWEN DAN ANAK PASCA


PERCERAIAN DALAM PERADILAN SYARIAH DI
ACEH: Sebuah PERSPEKTIF SOSIOLOGIS
Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib,
Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah Samad

Abstrak: Kajian ini membahas tentang perlindungan perempuan dan anak


pasca perceraian pada Mahkamah Syar'iyah di Aceh. Dengan pendekatan
sosiologi hukum, penelitian ini bersumber pada putusan-putusan
Mahkamah Syar'iyyah Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, dan
Lhokseumawe serta wawancara kepada hakim, tokoh masyarakat, kepala
desa, kepala Kantor Urusan Agama (KUA), akademisi, tokoh adat dan
aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Kajian ini menyimpulkan
bahwa Mahkamah Syar'iyah di Aceh dalam putusannya telah memastikan
hak-hak perempuan dan anak. Mahkamah Syar'iyah di Aceh menetapkan
pemberian nafkah 'iddah, nafkah muṭ'ah, harta bersama dan hak pengasuhan
anak kepada perempuan; dan anak mendapatkan biaya hidup, perwalian dari
keluarga dan pengasuhan dari ibu. Secara sosiologis, hukum telah berfungsi
sebagai alat kontrol sosial melalui Mahkamah Syar'iyah dan hakim sebagai
bagian utama dari struktur hukum yang didukung oleh elemen masyarakat
lainnya sehingga perlindungan terhadap perempuan dan anak dapat
terwujud secara adil.

Kata kunci: perlindungan perempuan dan anak; perceraian; sosiologi hukum;


Mahkamah Syar'iyah
AHKAM - Volume 22, Nomor 1, 2022 - 411
412 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad

Abstrak: Penelitian ini membahas tentang perlindungan perempuan dan


anak pasca perceraian di Mahkamah Syar'iyah di Aceh. Pendekatan
sosiologi hukum digunakan untuk menarik kesimpulan dari putusan-
putusan Mahkamah Syar'iyyah Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen,
dan Lhokseumawe. Wawancara dilakukan dengan para hakim, tokoh
masyarakat, kepala desa, kepala Kantor Urusan Agama (KUA),
akademisi, tokoh adat, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM).
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Mahkamah Syar'iyah di Aceh, dalam
putusannya, telah menjamin hak-hak perempuan dan anak. Mahkamah
Syar'iyah di Aceh menetapkan pemberian nafkah iddah, nafkah
muṭ'ah, harta gono-gini, dan hak pengasuhan anak kepada perempuan.
Anak-anak mendapatkan nafkah, perwalian dari keluarga, dan
pengasuhan dari ibu. Secara sosiologis, hukum telah berfungsi sebagai
alat kontrol sosial melalui Mahkamah Syar'iyah dan hakim sebagai bagian
utama dari struktur hukum yang didukung oleh elemen masyarakat lainnya
sehingga perlindungan terhadap perempuan dan anak dapat terwujud secara
adil.

Kata kunci: perlindungan perempuan dan anak; perceraian; sosiologi hukum;


syariah
pengadilan

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 413

Pendahuluan
Perlindungan perempuan dan anak dalam hukum keluarga
di negara-negara Muslim telah berkembang ke arah yang lebih
baik, seperti yang dibuktikan di beberapa wilayah seperti Timur
Tengah, Afrika Utara, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Di
Malaysia, upaya hukum telah dilakukan untuk melindungi
perempuan dan anak-anak melalui pencatatan pernikahan sejak
tahun 1980-an. Pernikahan yang tidak dicatatkan secara resmi oleh
negara dianggap tidak sah dan melanggar hukum, di mana pelakunya
dapat didenda sebanyak RM 1000 (sekitar Rp3.390.000,00) dan
dijatuhi hukuman penjara maksimal enam bulan (Harisudin &
Choriri, 2021; 471-495).
Selain itu, Brunei Darussalam telah memberlakukan
Undang-Undang Hukum Keluarga Islam, yang mengatur
pencatatan pernikahan. Menurut undang-undang ini, pasangan
suami istri yang tidak mendaftarkan pernikahan mereka dapat
didenda sebesar DB$ 1.000 - DB$ 2.000 (sekitar Rp2.400.000 -
Rp4.800.000) dan dijatuhi hukuman penjara 3-6 bulan. Sebagai
kebijakan pemerintah di Indonesia, UU Perkawinan 1974 dan
Kompilasi Hukum Islam (KHI) 1991 bertujuan untuk melindungi
perempuan dan anak-anak dengan mencatatkan pernikahan.
Menurut Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, para pencatat
pernikahan dapat dipenjara selama tiga bulan dan didenda
sebesar Rp7.500, sementara pasangan yang menikah didenda
sebesar Rp7.500. Kasus pencatatan pernikahan ilegal juga memicu
keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2012 tentang status
anak yang memiliki hubungan perdata dengan ayah biologisnya
(Heaton & Cammack, 2011; Nurlaelawati & Van Huis, 2019:
356-382). Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut pada
dasarnya bertujuan untuk melindungi hak-hak anak.
Meskipun demikian, kekerasan terhadap perempuan dan anak
terus meningkat setiap tahunnya baik di perkotaan maupun di
pedesaan (Hafsah, 2021:119-130). Oleh karena itu, sebagai negara
hukum, Indonesia melindungi perempuan dan anak melalui UU
Perkawinan 1974, Kompilasi Hukum Islam 1991, dan Peraturan
Mahkamah Agung 2017. Penetapan peraturan perundang-undangan
tersebut telah memberikan kepastian hukum dalam melindungi
perempuan dan anak. Hal ini dapat dilihat dari hak-hak perempuan
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
414 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
atas nafkah iddah, nafkah muṭ'ah, waris, dan harta gono-gini (Djawas
et al., 2021: 163-188; Hammad, 2014: 17). Selain itu, anak-anak
dapat dicegah untuk melakukan pernikahan dini,

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 415

dan mereka dapat memperoleh biaya hidup dan biaya pendidikan


setelah orang tua mereka bercerai, serta memperoleh hak untuk
diasuh selama mereka belum mandiri (Musawwamah, 2020: 67-92;
Salenda, 2016: 95-122). Sebuah studi menarik yang dilakukan oleh
Salim (Arskal Salim, Wahdi Sayuti, Euis
Nurlaelawati, 2009) membahas tentang ijtihad para hakim di pengadilan
agama dalam hal keberpihakan terhadap perempuan dan anak
dalam memutus perkara di tiga daerah, yaitu Aceh, Sumatera
Barat, dan Sulawesi Selatan. Setelah para hakim diberikan
pelatihan tentang sensitivitas gender dalam memutus perkara,
mereka dapat melindungi hak-hak perempuan dan anak dalam
putusan mereka. Misalnya, hak-hak perempuan untuk mendapatkan
nafkah iddah, nafkah muṭ'ah, harta gono-gini, pengasuhan anak, dan
warisan.
Nurlaelawati dan Salim (2013: 273) menyatakan bahwa Indonesia
masih belum mengoptimalkan dukungan negara terhadap
perlindungan perempuan, meskipun Indonesia telah menjadi negara
Muslim yang telah menjadi yang terdepan dalam pengangkatan
perempuan sebagai hakim di Pengadilan Agama sejak tahun
1960-an. Di antara para hakim perempuan tersebut, ada yang
masih terpaku pada teks-teks hukum yang mungkin tidak
mencerminkan keadilan gender. Dalam konteks perceraian,
dampaknya tentu tidak kecil. Perceraian dapat berdampak
secara personal, setidaknya pada anak dan perempuan atau ibu,
dan kemudian dampaknya meluas ke keluarga, mempengaruhi
ketahanan bangsa. Ada berbagai alasan perceraian, antara lain
kurangnya pemahaman agama, penggunaan media sosial,
pernikahan dini, dan kurangnya perhatian antar pasangan. Oleh karena
itu, pemerintah terus berupaya untuk menekan angka perceraian,
dan jika perceraian tidak dapat dihindari, maka setidaknya korban
dari perceraian tersebut dapat diminimalisir. Upaya yang dilakukan
pemerintah antara lain dengan mengadakan kursus pranikah,
memberikan ceramah pernikahan sebagai bekal untuk mencegah
perceraian, menyelenggarakan lomba keluarga bahagia, dan
merancang modul panduan pernikahan bagi calon pengantin (Djawas
et al., 2021: 163, 2022: 299; Kharlie et al., 2021: 255-286).
Pemerintah juga telah berupaya mengurangi angka perceraian
dengan memberlakukan UU Perkawinan 1974 dan Kompilasi
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
416 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
Hukum Islam 1991 (Cammack et al., 1997).
Perempuan dan anak-anak adalah pihak yang paling
terdampak oleh perceraian. Namun, angka perceraian di hampir
seluruh Indonesia terus meningkat, termasuk di Aceh. Berbagai
upaya telah dilakukan oleh setidaknya tiga kelompok, yaitu
pemerintah, masyarakat, dan lembaga swadaya masyarakat
(LSM), agar perempuan dan anak-anak tidak terlalu terbebani
setelah perceraian. Namun, dalam penelitian ini, fokusnya adalah
pada

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 417

perlindungan perempuan dan anak yang dilakukan oleh


pemerintah melalui lembaga peradilan Mahkamah Syariah di Aceh
dan juga peran gampong (desa) dan Kantor Urusan Agama (KUA).
Studi ini menyoroti perlindungan perempuan dan anak dalam
masalah lembaga hukum dan menjadi isu bersama. Oleh karena itu,
semua elemen, terutama pemerintah, gampong, dan tokoh masyarakat,
perlu mengangkat isu ini agar dampak negatif dari perceraian dapat
dikurangi ketika perceraian tidak dapat dihindari.

Metode
Penelitian hukum empiris ini menggunakan teori sosiologi
hukum. Dalam kajian sosiologi hukum, hukum dikenal sebagai
alat kontrol untuk mengatur dan membuat masyarakat menjadi
lebih baik (Ali & Heryani, 2012; Fuady, 2018; Rahardjo, 1980).
Studi lapangan ini dilakukan di Provinsi Aceh pada tahun 2015-
2018, khususnya di Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, dan
Lhokseumawe. Data dikumpulkan melalui wawancara mendalam
dengan para hakim, akademisi, Kepala Kantor Urusan Agama, keuchik
(kepala desa), tokoh masyarakat, aktivis LSM, dan pengurus
Majelis Adat Aceh (MAA). Selain itu, dilakukan pula studi literatur
terhadap putusan hakim terkait perceraian dalam konteks
perlindungan perempuan dan anak, serta referensi lain yang
relevan.

Perlindungan Perempuan dan Anak dalam Perspektif Hukum


Islam
Hukum Islam memiliki ketentuan yang tegas dan jelas
mengenai perlindungan perempuan dan anak-anak. Islam telah
menghapus ajaran Jahiliyah yang merugikan perempuan dan
menempatkan perempuan pada posisi yang terhormat dan
bermartabat. Wanita juga diberikan bagian dalam warisan dan hak-
hak lain yang sebelumnya tidak mereka dapatkan. Allah berfirman
dalam Q.S. al-Nisā (4): 7, "Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi orang wanita
ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu-bapak dan
kerabatnya, baik sedikit atau banyak. (Ini adalah) bahagian yang wajib."
Hukum Islam akan memberikan pahala kebaikan kepada wanita

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


418 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
mukminah yang teguh dalam ketaatannya sebagaimana pahala
kebaikan yang diberikan kepada orang yang beriman.

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 419

manusia. Allah tidak membedakan antara laki-laki dan


perempuan dalam hal ini, seperti yang tertulis dalam Q.S. Āli
'Imrān (3: 195): "Maka Tuhan mereka menjawab kepada mereka:
"Aku tidak akan pernah menyia-nyiakan pahala perbuatanmu, baik
laki-laki maupun perempuan. Keduanya mendapat pahala yang
sama. Orang-orang yang berhijrah, diusir dari kampung halamannya,
dianiaya karena-Ku, berperang, dan ada pula yang mati syahid,
niscaya akan Kuampuni dosa-dosanya dan akan Kumasukkan
mereka ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya
sungai-sungai, sebagai pahala dari Allah. Dan di sisi Allah-lah
pahala yang sebaik-baiknya."
Hak-hak perempuan dilindungi oleh hukum waris. Hukum waris
Islam menetapkan bahwa ada tiga alasan bagi seseorang untuk
mendapatkan hak waris, yaitu kekerabatan (ikatan nasab),
pernikahan (semenda/affinal kin), dan al-walā (kekerabatan
karena suatu sebab yang sah karena berjasa memerdekakan
budak). Terdapat tiga kategori ahli waris berdasarkan hukum waris Islam
(al-Ṣābūnī, 1979: 34-36; Ash-Shiddieqy, 2010: 28; Hasballah et al.,
2021) meliputi ahli waris perempuan yang disebut sebagai nenek,
ibu, anak perempuan, dan cucu perempuan.
Selain itu, berdasarkan UU Perkawinan tahun 1975 dan
Inpres No. 1 tahun 1991 atau KHI, dijelaskan bahwa upaya
perlindungan terhadap perempuan dan anak salah satunya adalah
dengan melakukan pencatatan perkawinan. Hal ini dimaksudkan untuk
melindungi hak-hak perempuan dan anak dengan adanya akta
nikah. Di sisi lain, jika pernikahan tidak dicatatkan atau nikāḥ sirrī,
maka akan menimbulkan masalah hukum dan sosial bagi
perempuan dan anak (Khoiriyah, 2017: 397-408). Ketika pernikahan
terjadi, calon suami harus memberikan mahar kepada calon istri.
Mahar merupakan bentuk penghormatan dan penghargaan terhadap
perempuan karena mahar merupakan simbol martabat dan harga diri
perempuan. Ketika terjadi perceraian, istri akan mendapatkan
nafkah iddah, nafkah muṭ'ah, kiswah (pakaian), nafkah māḍiyah,
dan harta gono-gini (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, n.d.).
Secara umum, hukum Islam melindungi perempuan dengan
cukup baik. Hukum Islam formal yang dipraktikkan di Mahkamah
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
420 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
Syariah, yang mengacu pada KHI, misalnya, menyatakan: bahwa ahli
waris yang meninggal lebih dahulu dari pewaris, maka posisinya dapat
digantikan oleh anak laki-lakinya (Instruksi Presiden No. 1 Tahun
1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, tanpa tahun). Hal ini
terkait dengan ahli waris pengganti, di mana warisan disebut
sebagai hibah atau hadiah.

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 421

Dalam hukum adat Aceh, perlindungan terhadap perempuan


dengan memberikan harta disebut dengan istilah peunulang. Adat Aceh,
misalnya, mengenal istilah harta peunulang, yang dapat disebut
sebagai pemberian dari orang tua kepada anak perempuannya,
biasanya dalam bentuk rumah dan tanah. Harta peunulang melindungi
perempuan dalam masyarakat Aceh karena orang tua membantu
menyediakan modal hidup bagi anak perempuan mereka dalam rumah
tangga. Oleh karena itu, ada alasan mengapa istri di Aceh juga disebut
peurumoh, yang berarti orang yang memiliki rumah. Dalam kasus
peunulang yang disidangkan di Mahkamah Syariah, hakim tetap
memutuskan untuk melindungi harta yang diberikan kepada
perempuan. Hal ini mengindikasikan bahwa Mahkamah Syariah
menjadikan adat dan budaya masyarakat sebagai pertimbangan hukum
(Hasballah et al., 2021; Ilyas, 2016; Sari et al., 2021).
Di sisi lain, perlindungan anak dalam perspektif hukum Islam
diimplementasikan melalui biaya pendidikan, biaya hidup, biaya
kesehatan, dan hak untuk diasuh (haḍānah) jika anak belum
mencapai usia dewasa. Hukum Islam memiliki perspektif yang lebih
komprehensif dalam melindungi hak-hak anak. Jaminan perlindungan
dimulai sejak anak masih berupa janin hingga ia dewasa, misalnya
larangan aborsi dan keringanan bagi ibu hamil untuk tidak berpuasa
selama bulan Ramadan. Hukum Islam juga memberikan hak untuk
hidup, hak untuk melakukan aqīqah (penyembelihan hewan
pada saat kelahiran anak), hak untuk mendapatkan nama yang
baik, dan hak untuk mendapatkan ASI selama dua tahun
(Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, n.d.; Nurjanah, 2017: 391-432).
Lebih lanjut, ayat Al-Quran menjelaskan hak anak untuk
mendapatkan perawatan dengan disusui dan diberikan makanan
dan pakaian oleh ayah mereka. Allah berfirman dalam Surat al-
Baqarah (2:233), "Para ibu hendaklah menyusukan anak-
anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin
menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma'ruf.
Tidak seorangpun dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
Tidak ada seorang ibu atau ayah yang boleh disengsarakan karena
anaknya." Demikian juga, selama aqīqah, seorang anak harus diberi
nama yang baik sebagai bentuk doa. Hasan dari Samurah
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
422 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
meriwayatkan bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Anak laki-laki itu
digadaikan dengan aqiqahnya, disembelih untuknya pada hari
ketujuh (kelahirannya), diberi nama, dan dicukur rambutnya." (H.R.
Turmudzi). Demikianlah,

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 423

Menyusui, 'aqīqah, memberikan nama yang baik, dan mengasuh


anak dengan baik dan penuh kasih sayang membuktikan bahwa
hukum Islam memberikan perlindungan terhadap anak.
Dalam hal ini, UU Perkawinan 1974, Kompilasi Hukum Islam
1991, dan peraturan hukum terkait merupakan produk hukum Islam
yang dibuat oleh pemerintah Indonesia untuk melindungi
perempuan dan anak dalam memperoleh hak-haknya secara
adil dan bermartabat (Bedner & Van Huis, 2010; Nasution &
Nasution, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa hukum Islam
menawarkan perlindungan bagi perempuan dan anak, baik dalam
bentuk hukum syariah maupun yang diformalkan dalam bentuk
undang-undang tentang Hukum Perkawinan dan Kompilasi
Hukum Islam.

Langkah-langkah yang Diambil dalam Melindungi Perempuan


Perlindungan terhadap perempuan di ranah hukum dapat
dilakukan melalui aturan hukum, penegakan hukum, dan budaya
hukum. Menurut aturan hukum, putusan tidak dapat dinyatakan
atau diputuskan oleh hakim apabila tidak diajukan dalam
permohonan istri (penggugat). Namun, jika diajukan atau
dimohonkan oleh istri, maka hakim harus memutuskan dan
mencantumkannya dalam putusan. Namun, pada tahun 2013,
hakim memutus perkara cerai gugat di mana istri mengajukan
permohonan nafkah 'iddah dan nafkah muṭ'ah yang dikabulkan
dan dituangkan dalam putusan.
Alasan dari putusan tersebut adalah bahwa istri berhak
mendapatkan nafkah selama masa iddah, dan tidak ada yang
menanggung biaya apapun untuknya kecuali dari hartanya.
Keputusan tersebut didasarkan pada Yurisprudensi Mahkamah
Agung melalui putusan Pengadilan Agama sebelumnya dan
dikuatkan oleh Mahkamah Agung. Langkah ini diambil untuk
melindungi dan memperjuangkan hak-hak perempuan di lembaga
pengadilan. Oleh karena itu, ke depan, hakim harus memiliki
pemikiran yang progresif dan maju, tidak hanya berpatokan pada
apa yang tertulis di dalam aturan yuridis dan tertulis. Terkadang
aturan yuridis hanya mempertimbangkan persoalan keadilan hukum
tanpa mempertimbangkan rasa keadilan (Salwa, komunikasi pribadi,

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


424 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
23 Desember 2015).
Demikian juga, putusan Mahkamah Syariah Meulaboh, Aceh
Barat, menyatakan bahwa istri dapat memperoleh nafkah iddah
sebesar Rp 3.000.000,00 dan nafkah muṭ'ah sebesar satu mayam
emas (sekitar Rp 2.000.000,00) serta hak asuh atas dua orang anak
yang masih di bawah umur. Pekerjaan suami

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 425

Suami bekerja sebagai wiraswasta, sedangkan istri sebagai ibu


rumah tangga (Putusan Mahkamah Syariah Meulaboh, No.
0034/Pdt.G/2013/MS.MBO). Demikian pula, kasus perceraian
dengan ṭalāq di Mahkamah Syariah Lhokseumawe juga
memberikan nafkah 'iddah sebesar Rp. 1.500.000,- dan hak asuh
anak yang masih di bawah umur. Sang suami adalah seorang
wiraswasta dan sang istri adalah ibu rumah tangga (Putusan
Mahkamah Syariah Lhokseumawe, 215/Pdt.G/2015/MS.Lsm, n.d.).
Meskipun istri adalah ibu rumah tangga, dan suami adalah
pedagang, semua harta tersebut adalah harta bersama yang harus
dibagi dua menurut Kompilasi Hukum Islam (Putusan
Mahkamah Syariah Sigli, 071/Pdt.G/2014/MS.Sgi, n.d.).
Dalam hal masalah harta perkawinan atau harta gono-gini (harta
bersama), para hakim di Mahkamah Syariah telah membuat
keputusan berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, yaitu 50:50
atau perbandingan 1:1, yaitu masing-masing pihak mendapatkan
bagian 50% dari harta bersama. Namun, hakim berpendapat
bahwa hal ini tidak harus selalu demikian, misalnya, jika wanita
adalah pencari nafkah dan suami tidak memiliki penghasilan,
pembagiannya bisa saja 70:30, di mana istri mendapat 70 dan
suami 30. Hal ini karena, dalam hal tanggung jawab dan pekerjaan,
istri memiliki tanggung jawab yang lebih berat. Oleh karena itu,
perempuan yang tidak berpenghasilan akan mendapatkan 50% dari
harta bersama yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam
(Salwa, 2015). Di Mahkamah Syariah, pertimbangan hakim
dalam memutuskan harta bersama didasarkan pada seberapa
besar kontribusi masing-masing pihak terhadap harta bersama.
Namun, perlu dicatat bahwa para hakim juga memperhatikan
perlindungan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender (Nurdin,
2019: 139-152).
Lebih lanjut, perlindungan terhadap perempuan melalui ijtihad
hakim dilakukan dengan putusan yang memberikan nafkah
muṭ'ah, nafkah 'iddah, bahkan nafkah māḍiyah (jika ada tuntutan
dari pihak istri) (Devy & Suci, 2020: 416-422). Terkait penilaian ini,
seorang hakim Mahkamah Syariah Aceh mengungkapkan bahwa
sensitivitas gender seorang hakim dalam memeriksa perkara
perceraian dapat dilihat dari sejauh mana hakim menjamin
ketersediaan nafkah 'iddah dan nafkah muṭ'ah sebagai nafkah
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
426 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
lampau (māḍiyah) bagi istri. Hakim diyakini tidak akan ragu-ragu
untuk mengabulkan permohonan istri untuk menyita harta suami
dalam perkara perceraian. Tindakan ini menjamin bahwa suami
dapat membayar nafkah muṭ'ah dan nafkah iddah dengan baik dan
tepat waktu kepada mantan istrinya. Hakim memahami bahwa
penerapan hukum Islam selalu bersifat dinamis

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 427

dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Hakim pada umumnya


memiliki latar belakang pendidikan dayah yang luas dan tidak
memiliki pemahaman yang kaku terhadap isu-isu hukum kontemporer
yang tidak memiliki rujukan langsung dalam sumber hukum Islam.
Dengan demikian, dalam konteks seperti ini, terbuka peluang bagi
hakim Mahkamah Syariah untuk melakukan ijtihād, dalam bentuk
inovasi-inovasi yang tetap mengakomodir budaya, adat istiadat, dan
kearifan lokal masyarakat (Salim, Sayuti, Nurlaelawati, 2009:65).
Salah satu bentuk perlindungan hakim terhadap
perempuan adalah ketika mantan suami yang ingin menjatuhkan
ṭalāq harus membawa uang tunai nafkah 'iddah dan muṭ'ah pada
hari pengucapan ikrar ṭalāq. Jika suami tidak membawa uang
yang telah ditetapkan dalam putusan sebagai nafkah 'iddah dan
muṭ'ah, maka suami tidak diperkenankan mengucapkan ikrar
ṭalāq. Namun, hakim lain menyatakan bahwa aturan ini tergantung
pada kondisi pasangan, karena terkadang suami tidak mampu
secara finansial untuk membayar nafkah 'iddah dan muṭ'ah,
atau istri tidak ingin menunggu lebih lama lagi hingga
perceraian terjadi. Bagi istri, menunda ikrar ṭalāq hanya akan
memperpanjang penderitaannya. Dalam situasi seperti ini,
dengan izin istri, hakim akan meminta suami untuk mengikrarkan
ikrar talak dan meminta mereka untuk menyepakati teknis
pembayaran nafkah iddah dan muṭ'ah. Menurut para hakim di Aceh,
hal ini jauh lebih baik daripada berlarut-larut dalam proses
perceraian (Salim, Sayuti, Nurlaelawati, 2009: 65).
Namun demikian, upaya yang dilakukan oleh pemerintah
melalui Badan Penasehat Pembinaan dan Pelestarian Pernikahan (BP4)
yang dibentuk oleh Kementerian Agama belum efektif karena
beberapa alasan, salah satunya adalah kurangnya dana yang
disediakan oleh pemerintah. Dana yang disediakan oleh pemerintah
sebesar Rp 50.000 per kasus yang ditangani, namun untuk
mendamaikan dan memfasilitasi orang yang bercerai tidaklah
mudah. Pada lembaga BP4 di salah satu kecamatan di
Kabupaten Bireuen, ketuanya adalah perwakilan dari Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU), wakilnya adalah Kepala KUA
Kecamatan, dan anggotanya adalah beberapa tokoh masyarakat.
Perlu dicatat bahwa BP4 menangani masalah perceraian yang
terus meningkat dari tahun ke tahun, sementara dana dari
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
428 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
pemerintah sangat minim. Proses rujuk umumnya dilakukan sebanyak
tiga kali di kantor KUA. Jika kasus tersebut tidak dapat
diselesaikan, maka akan

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 429

dibawa ke Mahkamah Syariah (Hisyam, komunikasi pribadi, 27


Desember 2015).
Peran lembaga BP4 (Badan Penasihat Pembinaan dan Pelestarian
Perkawinan) di kecamatan dalam upaya memberikan
penasihatan, pembinaan dan pelestarian perkawinan sejauh ini
belum optimal. Beberapa hal yang menjadi penyebab kurang
optimalnya kinerja lembaga ini antara lain adalah
keterbatasan dana, tumpang tindihnya tugas anggota yang memiliki
latar belakang pekerjaan yang berbeda, keterbatasan sumber daya
manusia baik secara kualitas maupun kuantitas, keinginan untuk
bercerai yang sudah kuat, dan sulitnya mendamaikan pasangan
yang bersengketa (Zuhri, 2016: 78).
BP4 memiliki fungsi dan peran yang cukup strategis karena
merupakan lembaga sosial keagamaan yang memiliki legalitas untuk
menangani permasalahan keluarga seperti Nikah, Talak dan Rujuk.
Namun, kinerja lembaga ini belum maksimal. Oleh karena itu,
pemerintah harus memberikan perhatian lebih kepada BP4, mulai
dari manajemen organisasi, kinerja, dan kerja sama dengan
lembaga lain. Sehingga optimalisasi kerja yang bertujuan untuk
membina dan melestarikan pernikahan di masyarakat dapat
tercapai dengan baik (Fatonah, 2015: 98; Yanti, 2020: 57-70).
Dalam konteks Aceh, tokoh masyarakat dan tokoh adat seperti
teungku imum, imuem mukim, dan teungku dayah cukup efektif
dalam menjalankan peran ini karena mereka cukup dekat
dengan masyarakat dalam kehidupan sosial-keagamaan.
Singkatnya, langkah-langkah yang diambil untuk
melindungi perempuan di Mahkamah Syariah telah dilakukan
dengan berbagai cara, termasuk dengan memberikan nafkah
iddah, nafkah muṭ'ah, nafkah māḍiyah, dan harta bersama, serta hak
asuh anak. Para hakim mengadvokasi perlindungan perempuan
sesuai dengan tujuan hukum Islam dalam mewujudkan keadilan
dan pemenuhan hak.

Perlindungan Anak
Mengenai perlindungan anak setelah perceraian, ada beberapa hal
yang perlu dipertimbangkan, termasuk penyediaan tunjangan hidup
atau biaya hidup dan hak untuk mendapatkan hak asuh atau
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
430 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
pengasuhan anak. Namun, dalam hal suami membayar
tunjangan anak kepada istri, hakim memainkan peran penting.
Hakim akan memberikan tunjangan anak meskipun

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 431

istri tidak memintanya dalam rekonvensi. Selain itu, perilaku


pasangan juga menjadi dasar untuk mempertimbangkan jumlah
tunjangan yang harus dibayarkan.
Perlindungan terhadap anak yang dilakukan oleh hakim dapat
dilihat pada putusan perkara cerai talak di Mahkamah Syariah
Meulaboh, di mana anak mendapatkan nafkah sebesar Rp.
1.250.000,- untuk dua orang anak. Kedua anak tersebut juga
berada di bawah hak asuh ibu karena mereka belum dewasa
(Putusan Mahkamah Syariah Meulaboh,
00fi4/Pdt.G/201fi/MS.MBO, n.d.). Kasus cerai talak lainnya di
Mahkamah Syariah Bireuen membebankan tergugat (suami) untuk
menanggung nafkah tiga orang anak hingga mereka dewasa
sebesar Rp. 1.500.000,- per bulan (Putusan Mahkamah Syariah
Bireuen, 0252/Pdt.G/201fi/MS.Bir, tanpa tahun). Demikian pula,
sebuah kasus perceraian karena ṭalāq di Mahkamah Syariah
Lhokseumawe mengabulkan perlindungan anak dengan
memberikan nafkah untuk satu orang anak sebesar Rp. 1.000.000,-
. Anak tersebut juga mendapatkan pengasuhan dari ibunya
karena belum dewasa (Putusan Mahkamah Syariah Lhokseumawe,
215/Pdt.G/2015/MS.Lsm, n.d.).
Contoh lainnya adalah perlindungan anak di Mahkamah
Syariah Sabang, di mana seorang anak menjadi yatim piatu pada usia
enam tahun karena kedua orang tuanya meninggal dunia. Sang bibi
(saudara perempuan dari ibu) kemudian mengajukan permohonan
untuk menjadi wali bagi anak tersebut. Hakim menetapkan sang bibi
sebagai wali anak tersebut. Keputusan ini diambil berdasarkan
pertimbangan Permensos 2013 pasal 35 yang mengatur bahwa
permohonan penunjukan wali keluarga diajukan oleh salah satu orang
tua, saudara kandung, dan keluarga sampai derajat ketiga.
Karena kedua orang tua telah meninggal dunia, maka yang
berhak mengasuh anak tersebut adalah bibi (dari pihak ibu), hal ini
sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah Saw. dalam
memutuskan hak asuh anak perempuan Hamzah. Dari al-Barrā' bin
Azb, Nabi Muhammad Saw. telah memutuskan anak perempuan
Hamzah diasuh oleh saudara perempuan ibunya. Beliau bersabda
Saudara perempuan ibu (bibi) memiliki kedudukan yang sama
dengan ibu." (H.R. Bukhari) (Putusan Mahkamah Syariah
Sabang, 048/Pdt.P/2014/MS-Sab, n.d.).
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
432 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
Pengasuhan anak (haḍānah) merupakan salah satu isu penting
dalam kasus perceraian bagi pasangan yang telah dikaruniai anak.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia, seperti KHI, telah
mengatur pengasuhan anak dengan baik. Di dalam KHI, anak

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 433

diidentifikasikan dengan dua kondisi: pertama, anak di bawah satu


tahun (ghayr mumayyiz), dan kedua, anak di atas satu tahun
(mumayyiz). Peraturan pengasuhan anak dalam KHI tidak
mencantumkan syarat-syarat pihak yang berhak mengasuh.
Sebaliknya, hukum Islam menetapkan bahwa seorang
pengasuh harus memenuhi beberapa kriteria untuk mendapatkan
hak asuh anak (Salim, Sayuti, Nurlaelawati, 2009:69).
Seorang keuchik di Aceh menyebutkan bahwa upaya yang
dilakukan oleh aparat gampong dalam melindungi perempuan dan
anak pasca perceraian adalah dengan melakukan mediasi dan
musyawarah antara kedua belah pihak keluarga untuk
menghimbau agar ayah atau mantan suami memberikan
perhatian kepada anak, terutama pendidikan anak. Jika ayah tidak
menafkahi dan ibu tidak menafkahi, maka gampong akan
menanggung biaya pendidikan anak. Namun, kasus seperti ini
belum pernah terjadi, namun gampong tetap berkomitmen untuk
melindungi warganya (Puteh, 2017). Memang, anggaran gampong
biasanya disediakan untuk memberdayakan perempuan dan anak-
anak, termasuk anak-anak yang memiliki masalah sosial dan hukum
yang disebabkan oleh perceraian. Pihak gampong dibantu oleh
lembaga-lembaga lain (seperti LSM) untuk mendampingi anak
tersebut (Laili, komunikasi pribadi, 4 April 2017).
Selain itu, anak-anak yang orang tuanya bercerai akan
menghadapi stigma atau pelabelan yang kurang baik di masyarakat.
Mereka juga dapat terlibat dalam perilaku atau tindakan yang
bertentangan dengan hukum. Menurut Undang-Undang
Perlindungan Anak tahun 2014, anak-anak harus dilindungi
melalui advokasi sosial, perlindungan pribadi, kesehatan, dan hak-
hak lainnya sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan.
Undang-undang tersebut juga menambahkan bahwa anak di bawah
18 tahun tidak dapat ditahan (dipenjara) (UU No. 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak). Hal ini merupakan bagian
dari perlindungan anak menurut aturan hukum dan juga
dipertimbangkan oleh lembaga peradilan seperti Mahkamah
Syariah.
Dari empat kasus yang terjadi di Sabang, Meulaboh, Bireuen,
dan Lhoksuemawe, Mahkamah Syariah telah memberikan
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
434 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
beberapa bentuk perlindungan anak sebagai berikut: pertama,
perlindungan ekonomi melalui nafkah dan biaya hidup; kedua,
perlindungan pendidikan melalui biaya pendidikan; ketiga,
perlindungan kesehatan; dan, keempat, perlindungan sosial dan
psikologis melalui pengasuhan oleh wali anak dan hubungan yang
tidak terputus antara orang tua dengan anak meskipun telah terjadi
perceraian.

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 435

Analisis Sosiologi Hukum tentang Perlindungan Perempuan dan


Anak
Secara sosiologis, hukum merupakan alat untuk
mengendalikan masyarakat, dan hakim sebagai bagian dari
penegak hukum telah menjalankan tugas dan fungsinya dengan
baik. Sebagai penegak hukum, hakim melalui putusannya telah
melindungi hak-hak perempuan dan anak.
Soekanto (2006:13) menguraikan bahwa ada tiga faktor yang
menunjukkan efektif atau tidaknya suatu aturan hukum atau dengan
kata lain efektivitas hukum, yaitu: pertama, substansi hukum yang
mengacu pada inti peraturan perundang-undangan itu sendiri;
kedua, struktur hukum yang mengacu pada para penegak hukum
atau mereka yang terlibat langsung dalam bidang penegakan
hukum; dan ketiga, kultur hukum yang dapat diartikan sebagai
sikap dari masyarakat hukum di tempat hukum itu dijalankan.
Apabila terdapat kesadaran masyarakat untuk mematuhi peraturan
yang telah ditetapkan, maka masyarakat akan menjadi faktor
pendukung. Namun, apabila masyarakat tidak mematuhi peraturan
yang ada, maka masyarakat akan menjadi faktor penghambat
utama dalam menegakkan peraturan yang bersangkutan.
Substansi, inti, atau norma hukum disebut sebagai pola-pola
perilaku manusia dalam masyarakat dan diatur dalam sistem
hukum baik secara materiil, yaitu hukum pidana, perdata, tata
usaha negara, dan hukum tata negara, maupun secara formil, yaitu
hukum acara pidana, hukum acara perdata, dan hukum tata usaha
negara. Struktur hukum, dalam hal ini penegak hukum di lembaga
peradilan, yaitu hakim, juga memiliki kewajiban sesuai dengan UU
Kekuasaan Kehakiman tahun 2004. Kewajiban tersebut melekat
pada profesinya sebagai hakim, yang meliputi kewajiban untuk
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Kewajiban tersebut juga
termasuk mempertimbangkan berat ringannya tindak pidana, di
mana hakim juga harus memperhatikan sifat baik dan jahat dari
terdakwa (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun
2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, n.d.).
Struktur hukum atau lembaga hukum, seperti Mahkamah
Syariah di Aceh, juga mempertimbangkan faktor sosiologis
dalam memutus perkara perlindungan perempuan dan anak.
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
436 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
Selain itu, hakim juga membuat argumentasi hukum berdasarkan
Al-Quran, Sunnah, dan pendapat para ulama dalam putusannya.
Argumen-argumen tersebut disesuaikan dengan karakteristik
sosiologis masyarakat Aceh. Hal ini mengindikasikan bahwa
Mahkamah Syariah, sebagai bagian dari sistem sosial dan
hakim sebagai aktor sosial, telah berfungsi untuk melindungi anak
dari

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 437

menciptakan ketertiban dan ketentraman umum (Kasim et al., 77,


2021b). Logika hukum mengasumsikan bahwa ketika seorang anak
dilindungi, maka ibunya juga harus dilindungi, dan sebaliknya,
terutama ketika anak tersebut belum dewasa dan masih
membutuhkan pengasuhan ibunya.
Selain itu, budaya hukum dalam masyarakat Aceh menunjukkan
bahwa adat dan budaya memiliki nilai-nilai untuk merawat dan
melindungi perempuan dan anak. Ada sinkronisasi yang dibangun
antara budaya hukum dan institusi hukum di Aceh. Dalam konteks
budaya hukum di masyarakat, penyelesaian konflik perceraian
diselesaikan di tingkat gampong. Proses pertama ditangani oleh
kepala jurong (dusun), dan jika tidak selesai, baru kemudian
ditangani oleh keuchik, teungku imum, dan tuha puet (pemuka
adat). Masalah terkadang diselesaikan di meunasah (masjid kecil)
agar masyarakat gampong tidak mengetahui masalah tersebut
untuk mencegah trauma pada anak. Proses penyelesaian juga
dilakukan di rumah pihak-pihak yang berselisih, dan aparat
gampong mengunjungi rumah tersebut untuk melakukan
musyawarah. Banyak kasus konflik yang dapat diselesaikan tanpa
harus dibawa ke pengadilan formal. Namun, kasus-kasus yang tidak
terselesaikan pada akhirnya juga diajukan ke Mahkamah Syariah
(Syam, komunikasi pribadi, 27 Desember 2018).
Ada juga perlindungan bagi perempuan dengan adanya
ketentuan hareuta peunulang, sebuah adat yang diakomodasi oleh
Mahkamah Syariah. Meskipun dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam),
tidak ada aturan mengenai hareuta peunulang, dalam praktiknya,
hareuta peunulang masih termasuk dalam hibah atau pemberian
orang tua kepada anak perempuan. Secara adat, posisi
perempuan juga cukup kuat dalam keluarga peunulang.
Sehingga dari segi budaya, anak perempuan masih bisa tinggal
di dalam lingkungan keluarga, dan istri bisa memiliki posisi sebagai
pemilik rumah (peurumoh) (Daud & Akbar, 2020).
Keputusan Mahkamah Syariah meliputi nafkah iddah,
muṭ'ah, harta gono-gini, dan hak asuh ketika anak belum dewasa.
Hal-hal yang harus dipenuhi dalam perlindungan anak antara
lain biaya hidup, perwalian dari keluarga ayah atau ibu, warisan
dari orang tua berupa gaji orang tua sebagai pegawai negeri sipil
(PNS), dan diasuh oleh ibu jika belum dewasa. Selain itu,
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
438 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
hubungan dan komunikasi antara orang tua dan anak harus tetap
dibangun.

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 439

Tabel 1.Perlindungan Perempuan dan Anak di Pengadilan Syariah


Tid Tahun/ Jenis Kasus Perlindungan Perlindungan Anak
ak. Lokasi Perempuan

1 215/2015 Perceraian Penghasilan Mendapatkan biaya hidup


oleh perempuan
Lhokseumawe ṭalāq 'iddah sebanyak- untuk satu orang anak
banyaknya sebesar Rp
Pengadilan Rp 1.500.000 dan 1.000.000 dan menerima
Syariah
hak untuk merawat perawatan dari ibu
anak di bawah umur karena anak tersebut masih
di bawah umur
2 071/2014 Distribusi Wanita
mendapatkan
Sigli Syariah dari Joint setengah dari yang
permanen
Pengadilan Properti rumah dan tanah,
setengah dari dua
pintu,
toko dua lantai,
sebidang tanah
kosong
tanah, penjualan
sepeda motor untuk
sebanyak Rp
2.600.000 bersama
dengan rumah
tangga
perabotan,
misalnya,
satu set kayu
tempat tidur, televisi,
sebuah lemari, dan
sekelompok tamu
kursi yang digunakan
bersama dengan
mantan suaminya
3 048/2014/ Anak Seorang anak yatim piatu
berusia 6 tahun
Sabang Syariah Penitipan anak yang diberikan hak
asuh di bawah
Pengadilan bibi (saudara perempuan ibu),
dan warisan dalam
bentuk gaji PNS
orang tua
4 0034/2013/ Perceraian Seorang wanita yang Tunjangan hidup anak
oleh berpenghasilan
Meulaboh ṭalāq 'Nafkah iddah dari diberikan sebanyak
Pengadilan RP 3.000.000, Rp 1.250.000 untuk dua
Syariah orang
tunjangan muṭ'ah anak-anak, dan ibu
dari satu mayam mengurus anak di bawah umur
emas (sekitar IDR anak-anak
2.000.000), dan
hak asuh atas

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


440 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
dua anak di bawah
umur
5 0252/2013/ Perceraian Penghasilan Tunjangan hidup anak
oleh perempuan
Bireuen Litigasi 'Nafkah iddah dari diberikan sebanyak Rp
Syariah
Pengadilan RP 4.500.000, 1.500.000 (minimum)
tunjangan muṭ'ah dari jumlah) per bulan
RP 1.000.000, untuk tiga anak, dan
dan hak asuh anak anak-anak dalam pengasuhan
ibu karena belum
orang dewasa

Sumber: Keputusan Mahkamah Syariah di Aceh, 2013-2015.

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 441

Tabel 1 menunjukkan contoh-contoh perlindungan terhadap


perempuan dan anak yang digambarkan oleh putusan Mahkamah
Syariah di Sabang, Meulaboh, Sigli, Bireuen, dan Lhokseumawe.
Perlindungan tersebut memberikan hak-hak dalam bentuk aset
material, biaya hidup, dan non-material. Masalah non-materiil
menyangkut hubungan kasih sayang antara ibu dan anak, karena orang
yang berada di bawah perwalian diatur dalam KHI, terutama jika anak
belum dewasa. Demikian juga hubungan antara anak dan ayah
tidak terhalang meskipun telah terjadi perceraian.
Lebih lanjut, selain perlindungan pengadilan, menurut Majelis
Adat Aceh (MAA), dalam masyarakat Aceh, anak-anak diberikan
pendidikan sejak usia dini di dalam keluarga, seperti pendidikan akidah
dan diperkenalkan dengan nilai-nilai budaya dan sosial. Setelah itu,
ketika anak-anak beranjak remaja, mereka akan diantar ke rumah
teungku gampong untuk belajar mengaji dan belajar di meunasah
bersama teungku meunasah. Oleh karena itu, meunasah menjadi pusat
kegiatan keagamaan, sosial, pendidikan, dan budaya ((Ismail,
komunikasi pribadi, 5 Mei 2018; Nurdin et al., 2021: 760-779).
Dengan demikian, anak-anak akan memiliki nilai-nilai agama
dan sosial yang kaya ketika mereka menjadi remaja dan dewasa.
Ketika anak membutuhkan perlindungan, sistem pendukungnya sudah
ada. Dalam hal ini, anak akan memiliki karakter dan modal yang kuat
dalam menghadapi kehidupan bermasyarakat yang lebih kompleks.
Demikian pula, salah satu Kepala Kantor Urusan Agama di
Aceh berpendapat bahwa masyarakat Aceh harus memperkuat
pemahaman agama, budaya, dan adat istiadat Aceh. Pemahaman
agama dapat diperoleh dengan meningkatkan pendidikan agama
melalui pendidikan formal dan informal, pengajian, pengajian, dan
zikir. Melalui proses pendidikan ini, seseorang akan benar-benar
menemukan tujuan utama dari Pernikahan. Selain itu, orang
Aceh biasa belajar agama dan Al-Quran di meunasah atau rumah
dara baro (pengantin wanita) setelah pernikahan. Mereka
berharap pasangan tersebut dapat memperdalam nilai-nilai
agama, memperkenalkan linto baro (pengantin pria) kepada
masyarakat, dan mempererat tali silaturahmi antar sesama
(Musa, komunikasi pribadi, 30 Desember 2015).
Penting untuk melindungi anak dan memastikan bahwa Mahkamah
Syariah dibantu oleh Kantor Urusan Agama dan gampong sebagai
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
442 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
lembaga hukum dan lembaga sosial yang memberikan rasa
keadilan dengan

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 443

pemberian hak-hak perempuan dan anak-anak. Pemberian hak-hak


kepada perempuan dan anak menunjukkan bahwa sosiologi hukum
melindungi dan mewujudkan ketertiban dan kedamaian dalam
masyarakat. Hal ini mengindikasikan fungsi lembaga peradilan
sebagai garda terdepan dalam struktur hukum dan para hakim
sebagai aktor sosial untuk menciptakan budaya hukum yang
berkeadilan dan mengayomi masyarakat. Dengan demikian, fungsi
sosial kontrol hukum untuk menciptakan ketertiban dan kedamaian
dalam masyarakat dapat tercapai. Fungsi Peradilan Syariah
sebagai institusi hukum dan peradilan secara umum, secara
sosiologis cukup penting untuk memastikan keadilan dan kesetaraan
serta pemenuhan hak-hak perempuan dan anak serta seluruh
elemen masyarakat diterapkan dengan baik.

Kesimpulan
Perceraian tidak diragukan lagi menimbulkan permasalahan
yang kompleks, salah satunya adalah munculnya konsekuensi hukum
bagi pasangan yang bercerai. Mahkamah Syar'iyah di Aceh, melalui
hakim sebagai bagian utama dari struktur hukum dan aktor sosial,
telah berusaha melindungi perempuan dan anak yang tercermin dalam
putusan-putusannya. Perlindungan terhadap perempuan meliputi hak-
hak setelah perceraian, seperti nafkah iddah, nafkah muṭ'ah, nafkah
māḍiyah, harta gono-gini, dan hak asuh anak. Perlindungan anak
terdiri dari hak untuk mendapatkan biaya hidup, perwalian, dan
pengasuhan dari orang tua. Selain itu, Kepala Urusan Agama dan
tokoh masyarakat juga telah berupaya mencegah terjadinya
perceraian agar perempuan dan anak tetap mendapatkan hak-
haknya melalui keluarga yang utuh. Teori sosiologi hukum, dalam
konteks substansi dan struktur hukum, menekankan hukum sebagai
sarana pengendalian masyarakat, karena dapat menciptakan
kedamaian dan ketertiban. Tujuan tersebut dapat tercapai karena
substansi hukum atau aturan perundang-undangan dapat
diterapkan oleh Mahkamah Syariah untuk melindungi perempuan
dan anak. Dengan demikian, sebagai kelompok rentan, perempuan
dan anak dapat merasakan keadilan dan memperoleh hak-
haknya secara bermartabat.

Referensi
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
444 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
Al-Ṣābūnī, M. 'Alī. (1979). al-Mawārith fi al-Sharī'ah al-Islāmiyyah. 'Alīm al-
Kutub.
Ali, A., & Heryani, W. (2012). Sosiologi Hukum: Kajian Empiris Terhadap
Pengadilan, cet. Ke-1. In 1. Jakarta: Kencana.
Ash-Shiddieqy, T. M. H. (2010). Fiqh Mawarits: Hukum Pembagian Warisan
Menurut Syariat Islam. Pustaka Rizki Putra.

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 445

Bedner, A., & Van Huis, S. (2010). Pluralitas Hukum Perkawinan dan
Pencatatan Perkawinan bagi Umat Islam di Indonesia: Sebuah
Pembelaan terhadap Pragmatisme. Utrecht Law Review, 6(2), 175-191.
http://www.utrechtlawreview.org.
Cammack, M., Young, L. A., & Heaton, T. B. (1997). Kajian Empiris terhadap
Hukum Perceraian di Indonesia. Studia Islamika, 4(4).
https://doi.org/https:// doi.org/10.15408/sdi.v4i4.766.
Daud, M. K., & Akbar, R. (2020). Hareuta Peunulang: Perlindungan
Perempuan di Aceh Menurut Hukum Adat dan Hukum Islam. Samarah:
Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, 4(1), 259-281.
https://doi.org/http://dx.doi. org/10.22373/sjhk.v4i1.5921
Putusan Pengadilan Syariah Lhokseumawe, 215/Pdt.G/2015/MS.Lsm. (n.d.).
Putusan Mahkamah Syariah Sigli, 071/Pdt.G/2014/MS.Sgi. (n.d.).
Putusan Mahkamah Syariah Bireuen, 0252/Pdt.G/201fi/MS.Bir. (n.d.).
Putusan Mahkamah Syariah Meulaboh, 00fi4/Pdt.G/201fi/MS.MBO. (n.d.).
Putusan Mahkamah Syariah Sabang, 048/Pdt.P/2014/MS-Sab. (n.d.).
Devy, S., & Suci, D. M. (2020). Pelaksanaan Eksekusi Putusan Pemberian
Nafkah Maḍiyah Pasca Perceraian Menurut Hukum Islam (Studi Kasus di
Mahkamah Syar'iyyah Banda Aceh). Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan
Hukum Islam, 4(2), 416-442. https://doi.org/http://dx.doi.
org/10.22373/sjhk.v4i2.6179.
Djawas, M., Nadhiran, H., Samad, S. A. A., Mubarrak, Z., & Azizi, M.
A. (2022). Menciptakan Ketahanan Keluarga di Indonesia: Sebuah
Studi tentang Program "Bimbingan Perkawinan" di Aceh dan
Sumatera Selatan. AL-IHKAM: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 17(1),
299-324. https://doi.org/org/10.19105/ al-lhkam.v17i1.6150.
Djawas, M., Ridhwan, R., Devy, S., & Husna, A. (2021). Peran Pemerintah
dalam Menurunkan Angka Perceraian di Indonesia: Kasus Aceh dan
Sulawesi Selatan. Ahkam: Jurnal Ilmu Syariah, 21(1).
https://doi.org/10.15408/ ajis.v21i1.20870.
Fatonah, Y. S. U. dan S. (2015). Evaluasi Strategi Komunikasi Konselor BP4
dalam Mencegah Perceraian. CHANNEL: Jurnal Komunikasi, fi(2). https://
doi.org/http://dx.doi.org/10.12928/channel.v3i2.3276.
Fuady, M. (2018). Metode Penelitian Hukum: Pendekatan Teori dan Konsep.
Rajawali Pers
Hafsah. (2021). Perlindungan Hukum terhadap Anak dari Kekerasan dalam
Rumah Tangga di Masyarakat Perkotaan Indonesia pada Masa Pandemi
Covid-19. Jurnal Internasional Ilmu Hukum Pidana, 16(2).
https://doi.org/10.5281/zenodo.4756065.
Hammad, M. (2014). Hak-Hak Perempuan Pasca Perceraian: Nafkah Iddah
Talak dalam Hukum Keluarga Muslim Indonesia, Malaysia, dan Yordania. Al-

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


446 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
Ahwal: Jurnal Hukum Keluarga Islam, 7(1), 17-28.

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 447

Hanapi, A., & Yuhermansyah, E. (2020). Urgensi Pencatatan Perkawinan


Bagi Perempuan dan Perlindungan Anak di Kabupaten Gayo Lues.
Samarah: Jurnal Hukum Keluarga Dan Hukum Islam, 4(2), 528-544.
https://doi.org/http:// dx.doi.org/10.22373/sjhk.v4i2.7942.
Harisudin, M. N., & Choriri, M. (2021). Sanksi Hukum Terhadap
Pelanggaran Pencatatan Perkawinan di Negara-Negara Asia Tenggara:
Perspektif Maqasid Al-Syariah Jasser Auda. Samarah: Jurnal Hukum
Keluarga Dan Hukum Islam, 5(1), 471-495.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22373/ sjhk.v5i1.9159.
Hasballah, K., Nurdin, R., Zainuddin, M., & Fahmi, M. (2021). Patah
Titi dan Ahli Waris Pengganti: Kajian Pluralisme Hukum terhadap
Sistem Kewarisan pada Masyarakat Aceh. Ahkam: Jurnal Ilmu
Syariah, 21(2). https:// doi.org/10.15408/ajis.v21i2.22792.
Heaton, T., & Cammack, M. (2011). Menjelaskan Peningkatan Perceraian di
Indonesia: Idealisme Pembangunan dan Pengaruh Perubahan Politik.
Asian Journal of Social Science, fi)(6), 776-796. https://www.jstor.org/
stable/43498088.
Ilyas, I. (2016). Analisis Penyelesaian Hareuta Peunulang Menurut Hukum
Adat dan Hukum Islam di Kota Banda Aceh. Kanun Jurnal Ilmu Hukum,
18(1), 93-107.
Ismail, B., Anggota Majelis Adat Aceh, di Provinsi Aceh, komunikasi
pribadi, 5 Mei 2018.
Kasim, F. M., Nurdin, A., & Ridhwan, R. (2021b). Perspektif Sosiologi
Hukum Terhadap Perlindungan Anak di Mahkamah Syar'iyah Aceh.
Kesetaraan Gender: Jurnal Studi Anak dan Gender, 7(1), 70-79.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22373/equality.v7i1.8656.
Khairuddin, K., Badri, B., & Auliyana, N. (2020). Pertimbangan Hakim Terhadap
Putusan Nafkah Pasca Perceraian (Analisis Putusan Mahkamah Syar'iyah
Aceh Nomor 01/Pdt.G/2019/MS. Aceh). El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga,
fi(1), 164-189. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22373/ujhk.v3i2.7700.
Kharlie, A. T., Fathudin, F., & Triana, W. (2021). Reformasi Birokrasi
Perkawinan Islam di Indonesia: Pendekatan dan Dampaknya. Al-Jami'ah:
Jurnal Studi Keislaman, 5)(2), 255-286.
https://doi.org/10.14421/ajis.2021.592.255-
286.
Khoiriyah, R. (2017). Aspek Hukum Perlindungan Perempuan dan Anak
Dalam Nikah Siri. Sawwa: Jurnal Studi Gender, 12(3), 397-408. https://
doi.org/10.21580/sa.v12i3.2094.
Laili, aktivis LSM, komunikasi pribadi, 4 April 2017.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 Tahun 1)74 tentang Perkawinan.
(n.d.).
Undang-Undang Republik Indonesia No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman. (n.d.).
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
448 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad
Mansari, M., Jauhari, I., Yahya, A., & Hidayana, M. I. (2018). Hak Asuh Anak
Pasca Terjadinya Perceraian Orangtua Dalam Putusan Hakim Mahkamah

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022


Perlindungan Perempuan dan Anak Pasca Perceraian di Pengadilan Syariah d i
Aceh 449

Sya'iyah Banda Aceh. Kesetaraan Gender: Jurnal Internasional Studi


Anak dan Gender, 4(2), 103-124. https://doi.org/10.22373/equality.v4i2.4539
Marwing, A. (2018). Perlindungan Hak-hak Perempuan Pasca Perceraian (Studi
terhadap Putusan Pengadilan Agama Palopo). Palita: Jurnal Sosial
Religion Research, 1(1), 45-62. https://doi.org/10.24256/pal.v1i1.60
Musa, J., Kepala Kantor Urusan Agama, di Aceh, komunikasi pribadi, 30
Desember 2015.
Musawwamah, S. (2020). Implementasi PERMA No. 3 Tahun 2017
Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan
Hukum Sebagai Upaya Pemberdayaan Perempuan Di Lingkungan
Peradilan Di Madura. Al-Ihkam: Jurnal Hukum & Pranata Sosial, 15(1), 67-
92. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.19105/ al-ihkam.v15i1.2883.
Nasution, K., & Nasution, S. (2021). Implementasi Hukum Keluarga
Islam Indonesia dalam Menjamin Hak-hak Anak. Al-Jami'ah: Jurnal
Studi Keislaman, 5)(2), 347-374.
https://doi.org/https://doi.org/10.14421/ ajis.2021.592.347-374.
Nurdin, A. (2019). Pembagian Harta Bersama dan Pemenuhan Hak-Hak Perempuan
di Aceh Menurut Hukum Islam. El-Usrah: Jurnal Hukum Keluarga, 2(2),
139-152. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22373/ujhk.v2i2.7652.
Nurdin, A., Kasim, F. M., Rizwan, M., & Daud, M. (2021). Penerapan Syariat
Islam Berbasis Meunasah di Aceh: Perspektif Modal Sosial dan
Hukum Islam. Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam,
5(2), 760-779. https://doi.org/10.22373/sjhk.v5i2.10710.
Nurjanah, S. (2017). Keberpihakan Hukum Islam Terhadap Perlindungan Anak. Al-
'Adalah, 14(2), 391-432. https://doi.org/https://doi.org/10.24042/adalah.
v14i2.2905.
Nurlaelawati, E., & Salim, A. (2013). Genderisasi Peradilan Islam: Hakim
Perempuan di Pengadilan Agama Indonesia. Al-Jami'ah: Jurnal Studi
Keislaman, 51(2), 247-278. https://doi.org/10.14421/ajis.2013.512.247-
278.
Nurlaelawati, E., & Van Huis, S. C. (2019). Status Anak yang Lahir di Luar
Nikah dan Anak Angkat di Indonesia: Interaksi antara Norma Islam,
Adat, dan Hak Asasi Manusia. Jurnal Hukum dan Agama, fi4(3), 356-
382. https://doi.org/https://doi.org/10.1017/jlr.2019.41.
Instruksi Presiden No. 1 tahun 1))1 tentang Kompilasi Hukum Islam. (n.d.).
Puteh, H., Keuchik, komunikasi pribadi, 27 Desember 2017
Rahardjo, S. (1980). Hukum dan Masyarakat. Angkasa.
Salenda, K. (2016). Penyalahgunaan Hukum Islam dan Perkawinan Anak di
Sulawesi Selatan Indonesia. Al-Jami'ah: Jurnal Studi Islam, 54(1), 95-121.
https://doi. org/https://doi.org/10.14421/ajis.2016.541.95-121.
Salim, A, Sayuti, W, Nurlaelawati, E, L. M. N. (2009). Demi Keadilan
dan Kesetaraan: Dokumentasi Program Sensitivitas Jender Hakim
Agama di Indonesia. Puskumham UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022
450 - Fajri M. Kasim, Abidin Nurdin, Salman Abdul Muthalib, Samsinar Syarifuddin, dan Munawwarah
Samad

Salma, A., Elfia, A., & Djalal, A. (2017). Perlindungan Hukum bagi Perempuan
dan Anak (Analisis Putusan Hakim Tentang Nafkah Madhiyah
Pada Pengadilan Agama di Sumatera Barat). Istinbath, 16(1), 106-208.
https:// doi.org/org/10.20414/ijhi.v16i1.77
Salwa, S., Hakim, komunikasi pribadi, 23 Desember 2015
Sari, D. P., Jaswir, I., & Daud, M. (2021). Faktor-Faktor yang
Mempengaruhi Keberhasilan Implementasi MS1500 oleh Industri
Makanan Halal Malaysia. Jurnal Riset Halal Internasional.
http://www.ijhalal.org/index.php/hr/article/view/32
Soekanto, S. (2006). Pengantar penelitian hukum. Penerbit Universitas Indonesia
(UI-Press).
Suadi, A. (2018). Peranan Peradilan Agama dalam Melindungi Hak Perempuan
dan Anak Melalui Putusan yang Memihak dan Dapat Dilaksanakan.
Jurnal Hukum Dan Peradilan, 7(3). https://
doi.org/10.25216/Jhp.7.3.2018.353-374
Duad Syam, Tokoh Adat, komunikasi pribadi, 27 Desember 2018. Yanti.
(2020). Perceraian di Luar Pengadilan Agama untuk Perguruan Tinggi
(Pascasarjana). Al-IHKAM: Jurnal Hukum Keluarga Jurusan Ahwal Al-
Syakhshiyyah Fakultas Syariah IAIN Mataram, 12(1). https://doi.org/https://
doi.org/10.20414/alihkam.v12i1.2255.
Zuhri. (2016). Peranan BP4 dalam Mengendalikan Perceraian di Kecamatan
Sangkapura Pulau Bawean Kab. Gresik, Cendikia, : : Jurnal Studi Keislaman,
2(1). https://doi.org/https://doi.org/10.37348/cendekia.v2i1.19.

Fajri M. Kasim1 , Abidin Nurdin2 , Salman Abdul Muthalib3 , Samsinar Syarifuddin4


,
Munawwarah Samad5
1,2Universitas Malikussaleh, Aceh, Indonesia
3,5Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Indonesia
4Institut Agama Islam Negeri Bone, Sulawesi Selatan, Indonesia

E-mail:1 fajri@unimal.ac.id,2 abidin@unimal.ac.id,3 salman@ar-raniry.ac.id,4


samsinarakbar20@gmail.com,5 munawwarah@ar-raniry.ac.id

AHKAM - Volume 22, Nomor 2, 2022

Anda mungkin juga menyukai