Portofolio - Anggraini Tiara Septiyana Gunawan
Portofolio - Anggraini Tiara Septiyana Gunawan
PERIODE 2021
Disusun Oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan
Pendamping:
dr. Fitri Isneni
Wahana:
RS Siti Aisyah Lubuklinggau
1. Portofolio Medik
Hemoroid Interna Grade IV
2. Portofolio Pediatrik
Kejang Demam Kompleks
3. Portofolio Penyakit Dalam
STEMI
4. Portofolio Obgyn
Preeklampsia Berat
5. Portofolio Paru
Asma Eksaserbasi Akut
Oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan
1. Portofolio Medik
Hemoroid Interna Grade IV
2. Portofolio Pediatrik
Kejang Demam Kompleks
3. Portofolio Penyakit Dalam
STEMI
4. Portofolio Obgyn
Preeklampsia Berat
5. Portofolio Paru
Asma Eksaserbasi Akut
Pendamping
Pembimbing,
Oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan
Pembimbing:
dr. Hazairin, SpB
2021
HALAMAN PENGESAHAN
Laporan Kasus
Oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan
Telah diterima dan disetujui untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Program
Internship Dokter Indonesia RS Siti Aisyah Kota Lubuklinggau Periode 13 Agustus 2021
– 12 November 2021.
Pembimbing Pendamping
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus ini dengan
judul “Hemoroid Interna Grade IV”. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Hazairin, SpB”, selaku pembimbing yang
telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan dalam penyusunan
laporan kasus ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan, baik dari isi maupun teknik penulisan. Sehingga apabila ada kritik
dan saran dari semua pihak untuk kesempurnaan laporan kasus, penulis ucapkan banyak
terimakasih. Demikianlah penulisan laporan kasus ini, semoga dapat berguna bagi kita
semua.
3
BAB I
PENDAHULAN
Hemoroid adalah pelebaran atau varises satu segmen atau lebih dari vena- vena
hemoroidalis. Hemoroid dibagi dalam dua jenis, yaitu hemoroid interna dan hemoroid
eksterna. Hemoroid interna merupakan varises vena hemoroidalis superior dan media.
Sedangkan hemoroid eksterna merupakan varises vena hemoroidalis inferior. Sesuai
istilah yang digunakan, maka hemoroid interna timbul di sebelah dalam otot sfingter ani
dan hemoroid eksterna timbul di sebelah luar otot sfingter ani. Hemoroid timbul akibat
kongesti vena yang disebabkan gangguan aliran balik vena hemoroidalis.
Kedua jenis hemoroid ini sangat sering terjadi dan terdapat pada sekitar 35%
penduduk, baik pria maupun wanita yang biasanya berusia lebih dari 25 tahun. Walaupun
keadaan ini tidak mengancam jiwa, tetapi dapat menyebabkan perasaan yang sangat tidak
nyaman. Gejala yang dirasakan, yaitu rasa gatal, terbakar, pendarahan, dan terasa sakit.
Penyakit ini biasanya hanya memerlukan perawatan ringan dan perubahan gaya hidup.
BAB II
4
STATUS PASIEN
2 Identitas Pasien
Nama : Tn. SS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 3 Juli 1959
Usia : 62 tahun
Alamat : Padat Karya Kel. Batu Urip
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani Nomor
rekam medis : 194666
Tanggal masuk RS : 5 Oktober
2021
3 Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan keluar benjolan dari anus saat buang air besar sejak
± 2 hari sebelum berobat ke puskesmas. Benjolan dirasakan lebih besar daripada
biasanya, benjolan tersebut tidak dapat dimasukan kembali kedalam anus, terasa nyeri,
gatal, dan pasien mengeluh tidak bisa duduk karena adanya benjolan. Saat buang air
besar biasanya di sertai dengan darah segar, menetes saat feses keluar, darah tidak
bercampur dengan feses.
Sejak ±2 tahun yang lalu pasien mengeluhkan adanya benjolan kecil yang keluar
pada saat buang air besar dan masih dapat dimasukan. Pasien tidak pernah mengontrol
keluhannya ke fasilitas kesehatan ataupun mengkonsumsi obat untuk mengobati
keluhanya dikarenakan merasa tidak mampu. Pasien jarang mengkonsumsi makanan
yang berserat seperti sayuran dan buah buahan. Pasien suka mengkonsumsi makanan
5
pedas, dan minum kurang dari 8 gelas perhari dan pada saat buang air besar suka
mengejan keras.
Pasien bekerja sebagai petani karet dengan kegiatan sehari-hari berdiri dan
mengangkat berat di kebun karet
4 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Keadaan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : 36,3°C
Tekanan darah : 160/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Berat badan : 60 kg
1. Pemeriksaan Organ
Simetri : Simetris
Kornea : Normal
+/
+
7
g. Pulmo
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Statis & dinamis: Statis & dinamis :
simetris simetris
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Batas paru-hepar :ICS VI
kanan
Auskultasi Wheezing (-), rhonki (-) Wheezing (-), rhonki (-)
h. Jantung
Inspeksi Ictus cordis terlihat di ICS V linea midclavicula kiri
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula kiri
i. Abdomen
j.
Inspeksi Datar, skar (-), venektasi (-), spidernevi (-)
k.
l.Palpasi Nyeri tekan regio epigastrium (-), defans musculer
(-), , hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri ketok
m.
costovertebra (-/-)
n.
Perkusi
o. Timpani
Auskultasi
p. Bising usus (+) normal
8
2. PEMERIKSAAN PENUNJANG
HEMATOLOGY
Differential Count
Basophil 0 % 0–1
Eosinophil 0 % 0–4
Segment Neutrophil 63 % 50 – 70
Lymphocyte 20 % 18 – 44
Monocyte 14 % 2-8
9
MCHC 34.20 g/dL 33.40 - 35.50
BIOCHEMISTRY
1
0
2.3 X-ray Thorax
Dilakukan pemeriksaan X-ray thorax dengan pandangan AP pada tanggal 5 Oktober 2021
11
2.4 Diagnosis
Hemoroid Interna Grade IV
Hipertensi gr II
2.6 Tatalaksana :
Non Medikamentosa
Tirah baring untuk membantu mempercepat berkurangnya pembengkakan.
Rendam duduk dengan air hangat yang bersih dapat dilakukan rutin dua
kali sehari selama 10 menit pagi dan sore selama 1 – 2 minggu, karena air
hangat dapat merelaksasi sfingter dan spasme.
Makan makanan yang berserat (25-30 gram sehari), dan menghindari
obat- obatan yang dapat menyebabkan konstipasi.
Mengkonsumsi cairan (6-8 gelas sehari)
Medikamentosa
Konsul dr. Hazairin, SpB
IVFD RL gtt xx/tpm
Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv
Inj. Asam Traneksamat 500 mg 2x1
Amlodipine 1x10 mg
Swab ag, cek lab DL, bss, ur, cr, ct, bt,
pro Hemoroidektomi
11
3 FOLLOW UP
Tanggal Follow-Up
06/10/2021 S: pasien merasa nyeri dan masih BAB darah
O: Keadaan umum sakit sedang
Kesadaran compos mentis E4V5M6
Tekanan darah 128/90 mmHg
Nadi 87 x/menit
Laju nafas 20 x/menit
Suhu 36.5 0C
A:
Hemoroid interna gr IV
Ht gr II
P:
Diet serat
Rendam larutann PK pagi dan sore
As tranexamat 3x500mg jika masih BAB darah
Amlodipine 1x10mg
12
09/10/2021 S: pasien merasa benjolan mengecil, nyeri
minimal (+)
O: Keadaan umum sakit sedang
Kesadaran compos mentis E4V5M6
Tekanan darah 120/70 mmHg
Nadi 87 x/menit
Laju nafas 20 x/menit
Suhu 36.5 0C
A:
Hemoroid interna grade IV
Hipertensi terkontrol
P:
post hemoroidektomi hari ini
Tirah baring 12 jam
Terpasang tampon
Terpasang kateter foley
Awasi KU
Boleh makan dan minum jika sadar penuh
Inj., ketorolac 3x1 IV
Inj. Ceftriaxone 2x1 IV
Inj. Pantoprazole 2x1 iv
13
11/10/2021 S: pasien merasa nyeri pada bekas luka, bab
darah (-)
O: Keadaan umum sakit sedang
Kesadaran compos mentis E4V5M6
Tekanan darah 126/80 mmHg
Nadi 93 x/menit
Laju nafas 20 x/menit
Suhu 36.6 0C
A:
Hemoroid interna gr IV post hemoroidektomi
Hipertensi gr II terkontrol
P:
Tampon up
Cateter up
Ciprofloxacin 2x1 po
Amlodipine 1x10mg po
Vit b komp 1x1
14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Definisi
Hemoroid adalah pelebaran vena di dalam pleksus hemoroidales yang tidak
merupakan keadaan patologis, hanya apabila menimbulkan keluhan atau penyulit
diperlukan tindakan. Hemoroid adalah dilatasi varikosus vena dari plexus
hemorrhoidal inferior dan superior .
Hemoroid dibedakan menjadi dua, interna dan eksterna. Hemoroid interna
adalah pleksus vena hemoroidales superior diatas garis mukokutan dan ditutupi oleh
mukosa. Sering terdapat pada tiga posisi primer, yaitu kanan depan, kanan belakang,
dan kiri lateral, sedangkan hemoroid yang lebih kecil terdapat diantara ketiga letak
primer tersebut. Hemoroid eksterna merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus
hemoroid inferior yang terdapat di bagian distal garis mukokutan di dalam jaringan
dibawah epitel anus .
1.1 Epidemiologi
Sekitar 75% orang mengalami penyakit hemoroid setidaknya sekali seumur
hidupnya, hemoroid banyak terjadi pada dewasa berusia 45 – 60 tahun, dan juga
sering terjadi pada wanita hamil .
15
4. Pekerjaan : orang yang harus berdiri , duduk lama, atau harus
mengangkat barang berat mempunyai predisposisi untuk hemoroid.
5. Mekanis : semua keadaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan
intra abdomen, misalnya penderita hipertrofi prostat, konstipasi
menahun dan sering mengejan pada waktu defekasi.
6. Endokrin : pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas dan anus oleh
karena ada sekresi hormone relaksin.
7. Fisiologi : bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada
penderita sirosis hepatis.
1.3 Klasifikasi
Diagnosa hemorrhoid dapat ditegakkan salah satunya dengan anoskopi.
Anoskopi adalah pemeriksaan pada anus dan rektum dengan menggunakan sebuah
spekulum. Pemeriksaan ini dapat menentukan letak dari hemorrhoid tersebut.
Secara anoskopi, berdasarkan letaknya hemorrhoid terbagi atas :
a. Hemorrhoid eksterna
Merupakan pelebaran dan penonjolan vena hemorrhoidalis inferior yang
timbul di sebelah luar musculus sphincter ani.
b. Hemorrhoid interna
Merupakan pelebaran dan penonjolan vena hemorrhoidalis superior dan
media yang timbul di sebelah proksimal dari musculus sphincter ani.
Kedua jenis hemorrhoid ini sangat sering dijumpai dan terjadi pada sekitar
35% penduduk yang berusia di atas 25 tahun.
Hemorrhoid eksterna diklasifikasikan sebagai bentuk akut dan kronis.
Bentuk akut dapat berupa pembengkakan bulat kebiruan pada pinggir anus yang
merupakan suatu hematoma. Bentuk ini sering terasa sangat nyeri dan gatal karena
ujung-ujung saraf pada kulit merupakan reseptor nyeri. Hemorrhoid eksterna kronis
atau skin tag biasanya merupakan sequele dari hematoma akut.
16
Hemorrhoid interna dan hemorrhoid externa
17
selama atau setelah defekasi. Gejala yang muncul pada hemoroid interna dapat
berupa:
Perdarahan
Merupakan gejala yang paling sering muncul dan biasanya merupakan awal
dari penyakit ini. Perdarahan berupa darah segar dan biasanya tampak
setelah defekasi apalagi jika fesesnya keras. Selanjutnya perdarahan dapat
berlangsung lebih hebat, hal ini disebabkan karena prolaps bantalan
pembuluh darah dan mengalami kongesti oleh sphincter ani.
Prolaps
Dapat dilihat adanya tonjolan keluar dari anus. Tonjolan ini dapat masuk
kembali secara spontan ataupun harus dimasukan kembali oleh tangan.
Nyeri dan rasa tidak nyaman
Nyeri biasanya ditimbulkan oleh komplikasi yang terjadi (seperti fisura,
abses dll) hemoroid interna sendiri biasanya sedikit saja yang menimbulkan
nyeri. Kondisi ini dapat pula terjadi karena terjepitnya tonjolan hemoroid
yang terjepit oleh sphincter ani (strangulasi).
Keluarnya Sekret
Walaupun tidak selalu disertai keluarnya darah, sekret yang menjadi lembab
sehingga rawan untuk terjadinya infeksi ditimbulkan akan menganggu
kenyamanan penderita dan menjadikan suasana di daerah anus.
2. Hemoroid Eksterna
Rasa terbakar
Nyeri, jika terjadi thrombosis yang luas dengan udem dan radang.
Gatal atau pruritus anus.
18
1.5 Patogenesis
19
1.6 Diagnosis Banding
Diagnosa banding untuk hemoroid dapat bermacam, tabel dibawah ini
akan membaginya berdasarkan gejala klinis yang dapat muncul.
Jenis Nyeri Perdarahan Massa Lainnya
Penyakit
Fisura Anal + + - Terdapat skin tag
atau umbai kulit
(radang
Kronik dengan
bendungan limfe dan
fibrosis pada kulit)
Karsinoma - + + Pembengkakan KGB
Anal sekitar
Abses + - - Demam,
Anorektal leukositosis,
penderita tidak dapat
duduk di sisi bokong
Hematom + + + Sering terjadi pada
Perianal orang yang
Ulseratif mengangkat barang
berat, leukositosis.
Prolaps Polip - + + Adanya gejala mual,
Kolorektal muntah,dan
konstipasi
yang parah (jika
ukurannya besar)
Karsinoma - + + Karsinoma rektum
rektum
20
1.7 Diagnosis
Diagnosis hemoroid ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa
Pada anamnesa biasanya didapatkan pasien mengeluhkan adanya darah
segar pada saat buang air besar, darah yang keluar bisa menetes dan bisa juga
keluar terus menerus dan tidak bercampur dengan feses. Selain itu pasien juga
akan mengeluhkan adanya gatal-gatal pada daerah anus. Serta keluhan adanya
massa pada anus dan membuatnya merasa tidak nyaman, biasanya pada
hemoroid interna derajat II dan hemoroid eksterna. Pasien juga akan
mengeluhkan nyeri pada hemoroid interna derajat IV dan hemoroid eksterna.
Perdarahan yang disertai nyeri mengindikasikan hemoroid eksterna
yang sudah mengalami trombosis. Biasanya hemoroid interna mulai
menimbulkan gejala setelah terjadi prolapsus, sehingga mengakibatkan
perdarahan, ulserasi, atau trombosis. Hemoroid eksterna juga bisa terjadi tanpa
gejala atau dapat ditandai dengan nyeri akut, rasa tak nyaman, atau perdarahan
akibat ulserasi dan thrombosis.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembengkakan vena
yang mengindikasikan hemoroid eksterna atau hemoroid interna yang sudah
mengalami prolaps, biasanya jika berupa prolapsnya hemoroid interna akan
terlihat adanya mukus yang keluar saat pasien disuruh untuk mengedan. Jika
pasien mengeluhkan perdarahan kemungkinan bisa menyebabkan anemia
sekunder yang dapat dilihat dari konjungtiva palpebra pasien yang sedikit
anemis, tapi hal ini mungkin terjadi. Daerah perianal juga diinspeksi untuk
melihat ada atau tidaknya fisura, fistula, polip atau tumor. Pada rectal toucher
juga dinilai ukuran, perdarahan dan tingkat keparahan inflamasi. Biasanya agak
susah meraba hemoroid interna karena tekanan vena yang tidak tinggi dan
biasanya tidak nyeri. Rectal toucher juga dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan karsinoma rektum.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan
laboratorium untuk mendeteksi apakah terjadi anemia pada pasien dan
21
pemeriksaan anoskopi serta sigmoideskopi. Anoskopi dilakukan untuk menilai
mukosa rektal dan mengevaluasi tingkat pembesaran hemoroid. Hasil anoskopi
hemoroid interna yang tidak mengalami prolaps biasanya terlihat gambaran
vascular yang menonjol keluar, dan apabila pasien diminta mengejan akan
terlihat gambaran yang lebih jelas. Sedangkan dengan menggunakan
sigmoideskopi dapat mengevaluasi kondisi lain sebagai diagnose banding untuk
perdarahan rektal dan rasa tak nyaman seperti pada fisura anal dan fistula,
colitis, polip rectal, dan kanker.
1.8 Penatalaksanaan
1. Terapi Non Farmakologi
Dapat diberikan pada semua kasus hemoroid terutama hemoroid interna
derajat 1, disebut juga terapi konservatif, diantaranya adalah :
Koreksi konstipasi dengan meningkatkan konsumsi serat (25-30 gram
sehari), dan menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi.
Meningkatkan konsumsi cairan (6-8 gelas sehari)
Menghindari mengejan saat buang air besar, dan segera ke kamar
mandi saat merasa akan buang air besar, jangan ditahan karena akan
memperkeras feses.
Rendam duduk dengan air hangat yang bersih dapat dilakukan rutin dua
kali sehari selama 10 menit pagi dan sore selama 1 – 2 minggu, karena air
hangat dapat merelaksasi sfingter dan spasme.
Tirah baring untuk membantu mempercepat berkurangnya pembengkakan.
2. Terapi Farmakologi
Salep anastetik lokal
Kortikosteroid
Laksatif
Analgesik
22
Suplemen flavonoid, membantu mengurangi tonus vena dan
mengurangi hiperpermeabilitas serta efek antiinflamasi (Acheson dan
Schirfield, 2008)
3. Terapi Pembedahan
Hemorrhoid Institute of South Texas (HIST) menetapkan indikasi
tatalaksana pembedahan hemoroid antara lain :
23
fiksasi jaringan ikat ke dinding rektum. Komplikasi nya dapat terjadi perdarahan
setelah 7-10 hari dan nyeri.
Bedah beku
Teknik bedah beku dilakukan dengan pendinginan hemoroid pada suhu
yang sangat rendah. Teknik ini tidak dipakai secara luas karena mukosa yg
nekrosis sukar ditentukan luasnya. Teknik ini lebih cocok untuk terapi paliatif
pada karsinoma rektum yang inoperable.
Hemoroidektomi
Teknik dipakai untuk hemoroid derajat III atau IV dengan keluhan
menahun, juga untuk penderita denga perdarahan berulang dan anemia yang tidak
sembuh dengan terapi lain yang lebih sederhana. Prinsipnya adalah eksisi hanya
dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebihan, dan pada anoderm serta
kulit yang normal dengan tidak mengganggu sfingter anus. Selama pembedahan
sfingter anus biasanya dilatasi dan hemoroid diangkat dengan klem atau diligasi
dan kemudian dieksisi.
Tindak bedah lain
Infrared thermocoagulation
Bipolar diathermy
Laser haemorrhoidectomy
Doppler ultrasound guided haemorrhoid artery ligation
Cryotherapy
o Stappled hemorrhoidopexy
24
BAB IV
ANALISIS KASUS
Pasien seorang laki-laki usia 62 tahun mengeluh terdapat benjolan yang keluar
dari anus yang semakin membesar dan nyeri sejak ± 2 hari yang lalu. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien ini didiagnosis menderita hemoroid interna
grade IV.
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan adanya benjolan yang tidak dapat
dimasukan kembali kedalam anus, terasa nyeri, gatal, dan pasien mengeluh tidak bisa
duduk karena adanya benjolan. Saat buang air besar biasanya di sertai dengan darah segar,
menetes saat feses keluar, darah tidak bercampur dengan feses. Ini sesuai dengan referensi
Derajat IV : Prolaps hemorrhoid yang permanen. Prolaps ini rentan dan cenderung
mengalami trombosis dan infark kemudian adanya darah yang keluar saat feses keluar
merupakan gejala yang paling sering muncul dan biasanya merupakan awal dari penyakit
ini. Perdarahan berupa darah segar dan biasanya tampak setelah defekasi apalagi jika
fesesnya keras. Selanjutnya perdarahan dapat berlangsung lebih hebat, hal ini disebabkan
karena prolaps bantalan pembuluh darah dan mengalami kongesti oleh sphincter ani.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan Perianal terlihat tonjolan massa prolaps dari
anus, terdapat bagian yang hiperemis, padat kenyal, nyeri saat d sentuh, ukuran
± 4x6 cm. Rectal Toucher : Tidak dilakukan.
Usulan pemeriksaan untuk pasien ini adalah Rectal toucher juga bertujuan untuk
menyingkirkan kemungkinan karsinoma rektum. proktosigmoideskopi yang dikerjakan
untuk memastikan bahwa keluhan bukan disebabkan oleh proses radang atau proses
keganasan di tingkat yang lebih tinggi karena hemoroid merupakan keadaan fisiologik
saja atau tanda yang menyertai. Kadang perdarahan hemoroid yang berulang dapat
menyebabkan timbulnya anemia sehingga pemeriksaan laboratorium darah juga
diperlukan.
Terapi hemroid interna yang simtomatik harus ditetapkan secara perorangan.
Hemoroid adalah normal oleh karenanya tujuan terapi bukan untuk menghilangkan
pleksus hemoroidal, tetapi untuk menghilangkan keluhan.
25
Kebanyaka pasien hemoroid derajat I dan II dapat ditolong dengan tindakan lokal
yang sederhana disertai nasehat tentang makan. Makanan sebainya terdiri atas makanan
berserat tinggi. Makanan ini membuat gumpalan isi usus besar, namun lunak sehingga
mempermudah defekasi dan mengurangi keharusan mengedan secara berlebihan.
Supositoria dan salep anus diketahui tidak mempunyai efek yang bermakna kecuali efek
anastetik dan astringen. Hemoroid interna yang mengalami prolap karena udem
umumnya dapat dimasukkan kembali secara perlahan disusul dengan istirahat baring dan
kompres lokal untuk mengurangi pembengkakan. Rendam duduk dengan cairan hangat
juga dapat mengurangi nyeri. Apabila ada penyakit radang usus besar yang
mendasarinya, misalnya penyaki Chron, terapi medik harus diberikan apabila hemoroid
menjadi simtomatik.
Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan menahun dan pada
penderita hemoroid grade III atau IV. Terapi bedah juga dapat dilakukan pada penderita
dengan perdarahan berulang dan anemia yang tidak sembuh dengan cara terapi lainnya
yang lebih sederhana. Pada kasus ini pasien didiagnosis menderita hemoroid interna grade
IV sehingga terapi yang dipilih adalah terapi operatif, hemoroidektomi. Prinsip yang
harus diperhatikan pada hemoroidektomi adalah eksisi hanya dilakukan pada jaringan
yang benar-benar berlebihan. Eksisi sehemat mungkin dilakukan pada anoderm dan kulit
yang normal dengan tidak mengganggu sfingter anus. Hemoroidektomi pada umumnya
memberikan hasil yang baik. Sesudah terapi penderita harus diajari untuk menghindari
obstipasi dengan makan makanan serat agar dapat mencegah timbulnya kembali gejala
hemoroid.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Silvia A.P, Lorraine M.W, Hemoroid, 2005. Dalam: Konsep – konsep Klinis
Proses Penyakit, Edisi VI, Patofisiologi Vol.1. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal: 467
2. Susan Galandiuk, MD, Louisville, KY, A Systematic Review of Stapled
Hemorrhoidectomy – Invited Critique, Jama and Archives, Vol. 137 No. 12,
December, 2002, http://archsurg.ama.org/egi/content/extract. last update
Desember 2009.
3. Anonim, 2004, Hemorhoid, http://www.hemorjoid.net/hemoroid galery.html.
Last update Desember 2009.
4. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Hemoroid, 2004 Dalam: Buku Ajar Ilmu
Bedah, Ed.2, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 672 – 675
5. Werner Kahle ( Helmut Leonhardt,werner platzer ), dr Marjadi
Hardjasudarma ( alih bahasa ), 1998, Berwarna dan teks anatomi Manusia
Alat – Alat Dalam,Hal: 232
6. Mansjur A dkk ( editor ), 1999, Kapita selekta Kedokteran, Jilid II, Edisi III,
FK UI, Jakarta,pemeriksaan penunjang: 321 – 324.
7. Linchan W.M,1994,Sabiston Buku Ajar Bedah Jilid II,EGC, Jakarta,hal 56 – 59
8. Brown, John Stuart, Buku Ajar dan Atlas Bedah Minor, alih Bahasa, Devi H,
Ronardy, Melfiawati
27
Portofolio
PORTOFOLIO PEDIATRIK
“Kejang Demam Kompleks”
Disusun oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan
Pendamping:
dr. Fitri Isneni
Wahana:
RS Siti Aisyah Lubuklinggau
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pendahuluan
Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di bidang
neurologi khususnya anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi
orang tua, sehingga bagi dokter kita wajib mengatasi kejang demam dengan tepat dan
cepat. Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak
menimbulkan gejala sisa; akan tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga
menimbulkan hipoksia pada jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP), dapat menyebabkan
adanya gejala sisa di kemudian hari.
Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata laksana
kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi atau
sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak berumur berapa .
Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal.
Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain
yang menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau
kemunduran kepandaian. Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta
kelahiran bayi.1
Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini secara spontan
sembuh tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang paling
lazim pada masa anak, dengan pragnosa baik secara seragam. 2 Jumlah penderita kejang
demam diperkirakan mencapai 2 – 4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan, dan
Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% di antara
jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih
teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang
anak laki-laki.3
1
1.2 Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Memahami mengenai kejang demam kompleks
2. Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah di dalam bidang kedokteran
khususnya bagian ilmu kesehatan anak.
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang dan RSUD
Kanjuruhan Kepanjen.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai
pada anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan
ekstrakranial.3 Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk diagnosa kejang demam
adalah 38 derajat celcius di atas suhu rektal atau lebih. Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan
kejang berulang tanpa demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. 4
2.2 Epidemiologi3,5
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan
sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita
kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada
perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral
yang lebih cepat dibandingkan laki-laki.
Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang
demam. Pada tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak
didapatkan angka kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132
orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya
peningkatan insiden kejadian sebesar 37%.
Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2 – 4% dari jumlah
penduduk di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan
penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah penderita mengalami kejang
demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin
penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki.
3
2.3 Etiologi
Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan
tetapi umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang.
Faktor hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang
demam mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam pasa masa kecilnya. 3
Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan
demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan
kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis,
otitis media akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di
kepala pada otak akan menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, exantema
subitum dan infeksi saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak
(morbili) juga dapat menyebabkan kejang demam.6
2.4 Patofisiologi7
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid
dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na +) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan
sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim
Na-K ATP- ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya
4
Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan
dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium
maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel
sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal
disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan
makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.
2.5 Klasifikasi
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi dua 4
- Berlangsung singkat
- Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
- Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam waktu 24 jam
5
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di
antara bangkitan kejang.
Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan
saraf pusat, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat
bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya
kejang berhenti sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah beberapa
detik atau menit tanpa adanya kelainan neurologik.
Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain : anak
mengalami demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara
tiba-tiba), kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-
5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang
dapat dimulai dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak. Kontraksi
pada umumnya terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis
atau merintih akibat kekuatan kontaksi otot. Anak akan jatuh apabila dalam keadaan
berdiri.
Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung
selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya
terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya),
gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.
6
3. Sulit bernapas
4. Busa di mulut
5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6. Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat.
2.7 Diagnosis6,9,10
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-
penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat,
perubahan akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi
structural pada system saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk
menegakkan diagnosis ini.
1. Anamnesis
- waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan
kejang
- sifat kejang (fokal atau umum)
- Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
- Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
- Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan,
menetap atau naik turun)
- Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA,
OMA, GE)
- Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak
disertai demam atau epilepsi)
- Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
- Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
- Trauma kepala
7
2. Pemeriksaan fisik
- Tanda vital terutama suhu
- Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan
adanya kelainan struktur otak.
- Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan
hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi
pupil terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid
mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
- Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala
berlebihan yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang
tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan
intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid
atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun,
perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel
enterior yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat
anestesi pada ibu.
- Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan
kraniofasial yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex
serebri.
- Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh
penimbunan cairan subdural atau kelainan bawaan seperti
parensefali atau hidrosefalus.
- Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya
demam (ISPA, OMA, GE)
- Pemeriksaan refleks patologis
- Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
8
3. Pemeriksaan laboratorium
- Darah tepi lengkap
- Elektrolit, glukosa darah. Diare, muntah, hal lain yang dapat
mengganggu keseimbangan elektrolit atau gula darah.
- Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk mendeteksi gangguan
metabolisme
- Kadar TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS, jika meningkat dapat
dicurigai Ensefalitis akut / Ensefalopati.
4. Pemeriksaan penunjang
- Lumbal Pungsi jika dicurigai adanya meningitis, umur kurang dari
12 bulan sangat dianjurkan, dan umur di antara 12-18 bulan dianjurkan.
- EEG, tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun
memprediksi terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat
dipertimbangkan pada KDK. Tetapi beberapa ahli berpendapat EEG
tidak sensitif pada anak < 3 tahun.
- CT-scan atau MRI hanya dilakukan jika ada indikasi, misalnya:
kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau terdapat
tanda peningkatan tekanan intrakranial.
Menegakkan diagnosa meningitis tidak selalu mudah terutama pada bayi dan
anak yang masih muda. Pada kelompok ini gejala meningitis sering tidak khas dan
gangguan neurologisnya kurang nyata. Oleh karena itu agar tidak terjadi
9
kekhilafan yang berakibat fatal dapat dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal yang
umumnya diambil melalui pungsi lumbal.
Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam
kejang demam atau epilepsi yang dprovokasi oleh demam.
2.9 Penatalaksanaan4,10
Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :
Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu datang, kejang sudah
berhenti. Apabila pasien dating dalam keadaan kejang, obat paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-
0,5 mm/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2mg.menit atau dalam waktu 3-5 menit.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah atau yang sering
digunakan di rumah sakit adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75
mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg,
dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10kg. atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg
untuk anak di bawah usia 3 tahun atau 7,5 mg mg untuk anak diatas usia 3 tahun.
10
Jika kejang masih berlanjut :
1. Pemberian diazepam 0,2 mg/kgBB per infus diulangi. Jika belum terpasang
selang infus, 0,5 mg/kg per rektal
2. Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan
2. Pengobatan penunjang
11
tubuh pasien menjadi lebih terganggu. Kompres hangat juga tidak digunakan karena
walaupun bisa menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah perifer, tetapi sepanjang
waktu anak dikompres, anak menjadi tidak selesa karena dirasakan tubuh menjadi semakin
panas, anak menjadi semakin rewel dan gelisah. Menurut penelitian, apabila suhu
penderita tinggi (hiperpireksi), diberikan kompres air biasa. Dengan ini, proses penguapan
bisa terjadi dan suhu tubuh akan menurun perlahan- lahan. Tidak ditemukan bukti bahwa
penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali.
Dosis ibuprofen 5
– 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari.
Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat dengan cara
mengirim penderita ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih lanjut. Kejang
demam kompleks merupakan salah satu indikasi seorang pasien untuk dirawat di rumah
sakit selain adanya hiperpireksia, pasien < 6 bulan, kejang demam yang pertama kali, dan
terdapat kelainan neurologis. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:
Profilaksis intermitten
12
sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita kejang demam sedehana
sangat kecil yaitu sampai sekitar umur 4 tahun. Fenobarbital, karbamazepin dan fenition
pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.
Fenobarbital
Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 1-2 tahun dan
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah
gejala toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis.
13
3). Fenitoin
Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan sifat berupa
hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang memuaskan.
Pemberian antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-
kurangnya 3 tahun seperti mengobati epilepsi. Menghentikan pemberian antikonvulsi
kelak harus perlahan-lahan dengan jalan mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.
Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks biasanya infeksi
traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang tepat dan
kuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Secara akademis pada anak dengan kejang
demam yang datang untuk pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal.
Hal ini perlu untuk menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis.
Apabila menghadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan yang intensif perlu
dilakukan, yaitu pemeriksaan pungsi lumbal, darah lengkap, misalnya gula darah, kalium,
magnesium, kalsium, natrium, nitrogen, dan faal hati.
2. 10 Prognosis6,11
1. Kematian. Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa
biasanya baik, tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan
angka kematian KDS 0,46 % s/d 0,74 %.
2. Terulangnya Kejang. Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih
25 s/d 50 % pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.
3. Epilepsi. Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari
kejang demam kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh
seorang anak sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
a. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga
14
b. kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita
c. kejang berlangsung lama atau kejang fokal.
15
BAB III
LAPORAN KASUS
I. IDENTIFIKASI
Identitas Pasien
a. Nama : Anak D
b. Umur : 5 Juni 2017 (4 tahun)
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Durian Remuk, Muara Beliti
e. Agama : Islam
f. Suku bangsa : Sumatera Selatan
g. No RM : 187700
h. MRS Tanggal : 11 september 2021
II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 11 september 2021, diberikan oleh ibu pasien pukul 18.36
WIB)
G. Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
Umur Umur Umur Umur
BCG -
DPT 1 - DPT 2 - DPT 3 - DPT 4 -
HEP B 1 - HEP B 2 - HEP B 3 -
H. Riwayat Nutrisi
17
ASI ekslusif : 0 - 6 bulan, frekuensi ±10 kali sehari
ASI : sampai usia 2 tahun
Susu formula : tidak pernah diberikan
Tahapan makanan
1. Pada usia 6 bulan anak diberikan makanan pendamping ASI berupa bubur susu dan buah yang
diberikan dengan frekuensi 4 kali sehari, satu mangkuk kecil setiap kali makan.
2. Pada usia 9 bulan anak diberikan nasi tim/lembek dengan frekuensi 3 kali sehari hingga usia 1
tahun.
3. Pada usia 1 tahun hingga sekarang anak sudah mendapat makanan dewasa berupa nasi biasa
beserta lauk, sayur dan buah, frekuensi 3 kali sehari.
Status Antropometri
BB/U : 0 s/d -2 SD (Normal)
TB/U : 0 s/d -2 SD (Normal)
BB/TB : 0 s/d +1 SD (Normal), status gizi normal
LK/U : 0 s/d +1 SD (Normal)
UUB : tertutup
Edema (-), sianosis (-), dispnue (-), anemia (-), ikterus (-), dismorfik (-)
18
Nadi : 108 kali/menit, reguler, cepat, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 26 kali/menit
Suhu : 39,5 oC
Kulit : tidak ada kelainan
B. PEMERIKSAAN KHUSUS
KEPALA
Mata : Cekung (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik
(-), edema palpebra (-), pupil isokor 3 mm, refleks
cahaya (+/+),
Hidung : Kavum nasi dextra ex sinistra lapang, secret (+),
perdarahan (-)
Telinga : CAE dextra et sinistra lapang, secret (-), serumen
(-), refleks cahaya membran timpani (+)
Mulut : Perdarahan gusi (-), karies dentis (+), mukosa bibir
pucat (-), mukosa bibir kering (-), cheilitis
angularis (-)
Faring – : Dinding faring hiperemis (-), tonsil T1 – T1 tenang,
Tonsil hiperemis (-)
LEHER
Pembesaran KGB (-), JVP (5-2 mmHg)
THORAX
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris
Palpasi : Strem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : RR= 26 kali/menit, Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis dan thrill tidak teraba
19
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR = 108 kali/menit, Bunyi jantung I dan II (+) normal,
irama reguler, murmur dan gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) 5x/menit meningkat
Palpasi : Lemas, Hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit segera
kembali
Perkusi : Timpani
C. STATUS NEUROLOGIS
Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Fungsi motorik
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Reflex fisiologis Normal Normal Normal Normal
Reflex patologis - - - -
Gejala rangsang Kaku kuduk (-), Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-)
meningeal
Fungsi sensorik Baik
20
Nervi craniales Baik
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium (Tanggal 11 september 2021)
Pemeriksaan Hasil Nilai
normal
Darah Rutin
Hb 10,90 g/dl 14.0-17.0
g/dL
Leukosit 35.600/µL 4.5 – 11
/µL
Trombosit 377 ribu/µL 150 – 450
ribu/µL
Hematokrit 30.60 % 41.50 -
50.40 %
Diff Count 0/0/1/88/8/3
Basofil 0% 0–1%
Eosinofil 0% 0–4%
Neutrofil 1% 3–5%
Batang 88 % 46 – 73 %
Neutrofil 8% 18 – 44 %
Segmen 3% 3–9%
Limfosit
Monosit
Kimia Klinik
GDS 103 mg/dL 60-140
mg/dL
Widal
S Paratyphi 1/160 Negatif
AH
S Paratyphi 1 /160 Negatif
AO
S Paratyphi 1/160 Negatif
H
S Paratyphi 1/160 Negatif
O
Rapid Test Antibodi SARS CoV-2
IgM Non-reaktif Non-reaktif
IgG Non-reaktif Non-reaktif
V. DIAGNOSIS KERJA
21
Kejang demam kompleks + Gastroenteritis Akut Tanpa Dehidrasi
VI. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
IVFD RL gtt XV/menit
Ceftriaxone 1 x 750 mg
Paracetamol 15 cc / 8 jam
Zinc 20mg/5cc / 24 jam
Lacto-B 1 sach/24 jam
Stesolid 10 mg supp k/p
Drip Diazepam 20 mg dalam 500 cc RL gtt X/menit
Injeksi Dexamethasone 5 mg/8 jam IV
Asam valproat 2 x 5cc terapi pulang
Observasi kejang
Observasi tanda vital
Non Medikamentosa:
Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
Memberitahukan cara penanganan kejang.
Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek
samping.
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam
22
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS
Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa ke RS Siti Aisyah Lubuk Linggau dengan
keluhan utama kejang sejak kurang lebih 20 menit sebelum masuk ke rumah sakit. Kurang lebih
8 jam SMRS pasien muntah ketika sarapan, muntah tidak menyemprot, namun hanya apa yang
dimakan. Kurang lebih 4 jam SMRS ibu pasien mengatakan pasien mulai demam, namun suhu
tidak diukur. Pasien dibawa berobat ke bidan, diberikan sirup antiobiotik. Pasien lalu
disarnakan untuk berobat ke RSUD Siti Aisyah. Kurang lebih 1 jam SMRS, ketika dalam
perjalanan ke RS, pasien kejang, mata mendelik ke atas, gigi saling menggigit, dan badan kaku
kurang lebih selama 20 menit. Kejang berhenti tanpa pemberian obat, dan pasien langsung
menangis setelah kejang. Pasien lalu dibawa ke RSUD Siti Aisyah.
Pada kasus didapatkan anak berusia 3 tahun 6 bulan yang dibawa ke RS karena kejang,
dan ketika suhu tubuh diukur menggunakan thermo-gun didapatkan hasil 39,5oC. Kejang
demam umumnya terjadi pada anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun dengan kenaikan suhu tubuh
(kenaikan suhu diatas 38oC dengan metode pengukuran suhu apapun yang tidak disebabkan
oleh proses intrakranial). Pada kasus didapatkan bahwa fokus infeksi anak berasal dari
gangguan traktus gastrointestinal, yaitu gastroenteritis akut, serta pada anak juga tidak
didapatkan adanya defisit neurologis. Hal ini dapat menapiskan bahwa kenaikan suhu anak dan
kejang disebabkan oleh suatu proses intrakranial seperti infeksi sistem saraf pusat. 1,3
Pada anamnesis didapatkan bahwa anak hanya mengalami kejang dengan frekuensi 1 kali
lamanya kurang lebih 20 menit, lalu anak langsung sadar dan menangis setelah kejang selesai.
Hal ini dapat menyimpulkan bahwa diagnosis kerja pada kasus adalah kejang demam
kompleks, dimana terpenuhi salah satu dari 3 kriteria berikut, diantaranya: kejang lama (> 15
menit), kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, dan
kejang berulang lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam. 3
Pada kasus kejang demam, tetap harus dipikirkan diagnosis banding yang disebabkan
oleh proses intrakranial seperti meningitis, meningoensefalitis, atau ensefalitis. Dari anamnesis
tidak ditemukan adanya penurunan kesadaran dan dari pemeriksaan neurologis juga tidak
dijumpai adanya kelainan, yang biasanya kita jumpai pada pasien dengan infeksi intrakranial.
Dari hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda infeksi sistem saraf pusat, yang
biasanya ditandai dengan gangguan upper motor neuron (gejala gangguan SSP), yang biasanya
23
ditemukan pada kasus meningitis. Dari riwayat perjalanan penyakit didapatkan pasien tidak
pernah mengalami kejang tanpa demam sebelumnya yang berarti dapat menyingkirkan suatu
epilepsi.1,3,4
Selanjutnya, penyebab terjadinya demam pada anak dapat disebabkan oleh gastroenteritis
akut. Pada anamnesis diperoleh informasi bahwa anak mengalami muntah ketika diberi makan,
kemudian anak juga mengalami diare dengan frekuensi kurang lebih 7 kali kira-kira banyaknya
¼ gelas belimbing setiap diare. BAB cair, berwarna kekuningan, berbau asam, berampas, tidak
berlendir, dan berdarah. Pada pemeriksaan fisis didapatkan mata tidak cekung, tidak ditemukan
adanya perut yang cekung, turgor kulit masih baik, dan bising usus realtif meningkat. Secara
klinis ketika di IGD, anak masih mau minum. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulakn
bahwa anak mengalami gastroenteritis akut tanpa dehidrasi. Etiologi penyebab dari
gastroenteritis pada kasus kemungkinan disebabkan oleh Rotavirus. Hal tersebut dikarenakan
pada BAB yang cair (watery stools) tanpa disertai darah dan lendir merupakam ciri khas dari
diare akibat rotavirus. Maka dari itu, etiologi lain seperti Shigella, Salmonella, dan EIEC dapat
disingkirkan karena patogen tersebut memberikan gambaran klinis berupa BAB yang berdarah,
12,14
lembek, dan berlendir. Gastroenteritis memiliki hubungan yang cukup signifikan dengan
kejadian kejang demam
Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan pencitraan, EEG, atau pungsi lumbal, karena
tidak terdapat indikasi yang jelas seperti defisit neurologis, kejang fokal, atau gerak rangsang
meningeal. Selain itu pada pasien ini tidak memenuhi indikasi dilakukan lumbal pungsi seperti
adanya tanda dan gejala rangsang meningeal, adanya kecurigaan infeksi SSP dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan darah tepi dilakukan untuk membantu mengidentifikasi
underlying etiology.3
Tatalaksana yang diberikan pada pasien meliputi pemberian cairan rumatan, pemberian
antibiotik, antipiretik, preparat zinc, probiotik, dan anti konvulsan. Pada kasus kejang demam,
tatalaksana perlu dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu tatalaksana ketika saat anak sedang
kejang, tatalaksana demam, pemberian antikonvulsan, serta tatalaksana sumber penyebab
terjadinya demam. Pada kasus didapatkan bahwa anak datang dalam kondisi tidak kejang lagi,
maka dari itu tidak diberikan antikonvulsan ketika anak sampai di IGD. Saat pasien dalam
keadaan kejang, penggunaan diazepam intravena dengan dosis 0,2 – 0,5 mg/kgBB, maksimal
10 mg, IV pelan dapat menghentikan kejang dengan cepat. Terdapat pula prehospital treatment
yang sebenarnya dapat diberikan orangtua ketika anak kejang di rumah, yaitu pemberian
diazepam rektal dengan dosis 0,5 – 0,75 mg/kgBB atau lebih praktis dapat digunakan diazepam
24
rektal sediaan 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 12 kg.1,3,5,8,9
Selanjutnya pasien juga diberikan Asam Valproat dengan dosis 2 x 250mg/5cc. Asam
valproat merupakan antikonvulsan rumat dalam tatalaksana kejang demam dengan indikasi
kejang fokal, kejang lama >15 menit, dan terdapat kelainan neurologis nyata sebelum atau
sesudah kejang. Pada kasus didapatkan gejala klinis berupa kejang generalisata selama 20
menit, maka asam valproat adalah terapi antikonvulsan yang tepat. Dosis asam valproat adalah
15 – 40 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam 2 dosis, sehingga pada kasus dapat diberikan
sebanyak 225 – 600 mg per hari. Pemberian antikonvulsan rumat wajib diteruskan selama 1
tahun dan tidak membutuhkan tapering off. 3
Pemberian antipiretik diberikan di IGD dan juga saat perawatan di bangsal, hal tersebut
sudah sesuai dengan pedoman tatalaksana kejang demam pada anak, dimana diberikan injeksi
150mg/15cc Parasetamol (dosis 10 – 15 mg /kgBB/kali) yang diberikan setiap 8 jam.
Antipiretik dapat diberikan secara oral maupun intravena tergantung dengan kondisi klinis
pasien. Selain daripada parasetamol, dapat pula diberikan ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali
dengan frekuensi 3 – 4 kali sehari.1,3,8,9
Penanganan diare pada kasus ini cukup dilakukan rencana terapi A menurut MTBS
karena pada kasus tidak ditemukan adanya dehidrasi, namun karena perawatan di rumah sakit
akibat kejang demam, maka pemberian cairan hanya diberikan secara suportif melalui cairan
intravena. Perhitungan kebutuhan cairan anak dengan berat badan 15 kg dihitung berdasarkan
rumus Holliday-Segar, yakni sebanyak 1.250 mL/hari atau 50 mL/jam, sehingga diperoleh
sekitar 15 – 16 tetes/menit dengan perangkat infus ukuran makro. Terapi diare tanpa dehidrasi
pada dasarnya hanya pemberian cairan lebih banyak dari biasanya, baik dengan makanan
berkuah, air matang, hingga pemberian oralit. Pemberian oralit untuk usia lebih dari 1 tahun
adalah 100-200cc setiap kali BAB.14
Lalu pada kasus juga sudah diberikan obat zinc 20mg/5cc per hari yang berfungsi untuk
membantu memperbaiki vili-vili usus yang rusak. Pemberian preparat seng dilakukan selama 10
hari berturut-turut walaupun diare sudah berhenti. Pemberian mikronutrien ini bertujuan untuk
mempertahankan integritas mukosa usus melalui fungsi regenrasi sel dan stabilitas membran
sel. Seng dapat menghalangi pembentukan NO yang kemudian akan mengaktivasi c-GMP yang
memberikan manifestasi klinis diare sekresi. Hubungan saluran pencernaan dan seng sangat
erat, dimana saluran pencernaan memiliki kandungan limfosit terbanyak setelah thymus,
sehingga defisieni seng cenderung menyebabkan terjadinya infeksi kuman pada saluran
25
pencernaan anak.12
Pemberian probiotik pada kasus bertujuan untuk memperbaiki keseimbangan microflora
usus. Probiotik akan mencegah kolonisasi bakteri penyebab diare, memicu respon imun mukosa
usus untuk memproduksi secretory immunoglobulin A (sIgA) yang berperan dalam imunitas
humoral lokal dan cell -mediated immunity.12
Terapi nonfarmakologis yang diberikan pada pasien yaitu diet sesuai kebutuhan dan tirah
baring atau istirahat. Perkiraan kebutuhan kalori pasien menggunakan rumus RDA yaitu =
kebutuhan kalori menurut usia TB x berat badan ideal TB. Berat badan ideal pasien adalah 15,5
kg (untuk TB 95 cm) dan kebutuhan kalori menurut usia TB (3 tahun6 bulan) adalah 100 kkal.
Kebutuhan kalori adalah = 15,5 x 100 = 1550 kkal. Rute pemberian nutrisi masih dapat
diberikan per oral karena didapatkan nafsu makan anak masih baik walaupun anak diare.
Bentuk sediaan makanan yang dapat diberikan adalah makanan cair dan makanan lunak,
mengingat fungsi absorbs nutrisi oleh usus masih terganggu karena kerusakan mukosa usus
akibat kemungkinan infeksi Rotavirus. 10,11,13
Monitoring yang perlu dilakukan pada pasien adalah monitoring kesadaran dan tanda vital
untuk menilai apakah terdapat kegawatan yang dapat muncul sewaktu-waktu serta observasi
timbulnya kejang ulangan. Monitoring suhu juga perlu dilakukan untuk kepentingan
pengobatan, seperti perlu tidaknya pengobatan intermitten diberikan, serta untuk menilai
perjalanan infeksi, apakah terdapat perbaikan dengan pemberian terapi farmakologis dan non-
farmakologis. Pada anak juga perlu dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pemberian
nutrisi. Parameter yang digunakan untuk penilaian adalah acceptability (apakah anak menyukai
dan dapat menghabiskan makanan), tolerance (adakah efek samping pemberian makanan,
seperti apakah terjadi diare pada pemberian susu full cream), dan efficacy (monitoring
pertumbuhan, BB, TB, LK). Prognosis dari kejang demam adalah bonam apabila penyebab
demam dapat disingkirkan.13
26
DAFTAR PUSTAKA
27
Portofolio
Disusun oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan
Pendamping:
dr. Fitri Isneni
Wahana:
RS Siti Aisyah Lubuklinggau
2021
28
BAB I
PENDAHULAN
Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan
untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina
pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark
miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan
infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation
myocardial infarction/STEMI).
Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa yang
awal terjadi. Iskemia miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada suplai
oksigen ke miokardium. Infark miokardium adalah nekrosis atau kematian sel miokardium.
Daerah subendokardial merupakan daerah pertama yang terkena, karena berada paling jauh
dari aliran darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusakan sel miokardium. Oklusi
akut karena adanya trombus pada arteri koroner menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke
miokardium.
Di Indonesia PJK adalah pembunuh nomor satu dan jumlah kejadiannya terus
meningkat dari tahun ke tahun. Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1992 persentase
penderita PJK di Indonesia adalah 16,5%, dan pada tahun 2000 melonjak menjadi 26,4%.
Tiga dari 1.000 penduduk Indonesia menderita PJK.
Sindrom Koroner Akut (SKA) dalam kasus ini Angina Pektoris berdasarkan SKDI
merupakan kompetensi 3B, dengan demikian dokter umum harus mampu menegakkan
diagnosis, melakukan tatalaksana awal pada keadaan gawat darurat dan kemudian menentukan
rujukan yang tepat, lalu menindaklanjuti setelah di rujuk. Dengan demikian diharapkan melalui
case ini dapat meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit ini.
1
BAB II
LAPORAN KASUS
10
Riwayat Gizi
Makan teratur 3 kali sehari, porsi sedang.
KEADAAN SPESIFIK
Pemeriksaan Organ
Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Wajar
Rambut : Hitam
Alopesia : (-)
Deformitas : (-)
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan : (-)
Wajah sembab : (-)
Mata
Eksoftalmus : (-)
Endoftalmus : (-)
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebra : Anemis (-)
Sklera : Ikterik (-)
Kornea : Katarak (-)
Pupil : Bulat, isokor, diameter 3/3, refleks cahaya (+/+)
1
Hidung
Sekret : (-)
Epistaksis : (-)
Napas Cuping hidung : (-)
Telinga
Meatus akustikus eksternus : lapang
Nyeri tekan : processus mastoideus (-/-), tragus (-/-)
Nyeri tarik : aurikula (-/-)
Sekret : (-)
Pendengaran : baik
Mulut
Higiene : baik
Bibir : cheilitis (-), rhagaden (-),sianosis (-),
Lidah : kotor (-), atrofi papil (-)
Mukosa
Mulut : basah, stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis : (-)
Leher
Inspeksi : trakea deviasi (-)
Palpasi : pembesaran kel. tiroid/struma (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cmH2O.
Dada
Paru-paru (Anterior)
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi dinding dada (-
), spider nevi (-), venektasi (-),
Statis : simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : Stemfemitus kiri lebih menurun dari kanan
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
10
Paru-paru (Posterior)
Inspeksi :
Statis : simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis : simetris kanan menurun dari kiri
Palpasi : Stemfemitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler kiri menurun, ronkhi (-/-), wheezing(-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas kanan ICS II linea sternalis kanan
Batas kanan bawah ICS V linea sternalis kanan
Batas kiri ICS VI linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR 86 x/menit. BJ I-II irreguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-), scar (-).
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
Ballotement ginjal (-)
Perkusi :Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA(-)
Auskultasi : Bising usus normal, 6 x / menit
Ekstremitas
Inspeksi :
Superior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia (-),
sianosis (-), jari tabuh (-), , kulit lembab, flapping tremor (-),
onikomikosis (-)
Inferior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (+/+), koilonikia
(-), sianosis (-), jari tabuh (-), onikomikosis (-)
Palpasi :
Superior : Akral hangat (+/+), Edema (-/-), krepitasi (-/-), CRT <2 detik
Inferior : Akral hangat (+/+), Edema (-/-), krepitasi (-/), CRT <2 detik
ROM :
Superior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas.
Inferior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas.
Alat Kelamin : Tidak diperiksa
1
Kulit
Kulit : Sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan parut : (-)
Turgor : Baik
Keringat : Baik
Pertumbuhan rambut : Dalam batas normal
Lapisan lemak : Tebal
Ikterus : (-)
Lembab/kering : Lembab
10
- Ureum : 21 mg/dL
- Creatinin : 1.01 mg/dL
Profil Lipid
- Kolesterol : 299 mg/dL
- HDL : 74 mg/dL
- LDL : 219 mg/dL
- Trigliserida : 326 mg/dL
2.4 Diagnosis
STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction) Lateral
2.5 Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
Istirahat
Edukasi
o Edukasi mengenai sindrom koroner akut, penyebab dan bagaimana
mengenal serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan
o Tirah baring
o Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan hindari makanan yang
dapat meningkatkan kolestrol total dan gula tinggi.
1
Farmakologis:
Tatalaksana IGD :
IVFD Nacl 0,9% 500cc/24 jam (makro)
O2 nasal canul 3-5 l/m
ISDN 5 mg (sublingual) + 5 mg (po)
Aspilet 80 mg (4 tablet) (sublingual)
Clopidogrel 75 mg (8 tablet) (po)
1 amp morfin diencerkan dalam NS 10 cc --> injeksi 2cc (iv pelan) max 3
kali jeda 1 jam.
Atorvastatin 40 mg
Nitrofak 5 mg
Rawat ICU
2.6 Prognosis
10
37
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Jantung memiliki empat ruang yang berbeda dengan ketebalan dinding otot yang
berbeda yaitu atrium kiri (LA), atrium kanan (RA), ventrikel kiri (LV) dan ventrikel
kanan (RV) Atrium menerima darah dari sistem vena dan paru-paru, kemudian
berkontraksi dan mengeluarkan darah ke dalam ventrikel. Kemudian ventrikel memompa
darah ke seluruh tubuh atau paru-paru. Jantung memliki empat katup, yaitu katup
trikuspid, katup mitral, katup pulmonary dan katup aorta. Darah mengalir ke atrium kanan
melalui vena kava superior dan inferior. Masing-masing atria kiri dan kanan terhubung ke
ventrikel melalui katup mitral dan katup trikuspid (Gambar 2.2) (Shah et al., 2009).
Darah terdeoksigenasi dari vena cava superior, vena cava inferior dan sinus
koroner (miokardium) mencapai RA. RA yang penuh dengan darah terdeoksigenasi,
meningkatkan tekanan di dalam ruang atrium. Ketika tekanan
1
atrium melebihi tekanan di RV, katup tricuspid akan terbuka dan memungkinkan darah
masuk ke RV. Ketika kapasitas di ruang RV sudah mencukupi akan memaksa katup
tricuspid menutup dan membuka katup pulmonal, sehingga mengeluarkan darah ke arteri
pulmonalis dan paru-paru (Gambar 2.2) (Shah et al., 2009).
Darah beroksigen dari paru-paru mencapai LA melalui vena paru, ketika melebihi
dari kapasitas LA katup mitral terbuka, memungkinkan darah untuk memasuki LV. Ketika
darah mengisi LV, LV mulai berkontraksi dan terjadi peningkatan tekanan ruang LV
sehingga memaksa katup mitral menutup dan membuka katup aorta, sehingga
mengeluarkan darah ke aorta, untuk didistribusikan ke seluruh tubuh (Shah et al., 2009).
Infark Miokard Akut (IMA) adalah penyakit jantung yang terjadi karena kematian
jaringan otot jantung atau nekrosis yang diawali dengan iskemik. Infark miokard
merupakan salah satu manifestasi akut dari penyakit jantung koroner yang berhubungan
dengan arteriosklerosis. Infark miokard yang merupakan hasil dari penyakit jantung
koroner, yang mana obstruksi aliran darah karena plak arteri koroner atau mekanisme
yang menghalanginya (misalnya spasm of plaquefree arteries). Plak selalu konsekuensi
dari aterosklerosis. Dimana plak yang ditandai dengan terjadinya peradangan pada
pembuluh darah dilokasi plak berada. Ditempat tersebut kemungkinan terjadi erosi,
fissuring atau bahkan pecahnya plak (Mendis et al., 2010).
IMA adalah kondisi dimana tidak mencukupinya pemasokan darah dan oksigen ke
miokardium karena adanya trombus yang menyumbat arteri koroner yang mengakibatkan
nekrosis miokard (Fauci 2010). IMA terjadi ketika iskemia miokard terjadinya nekrosis.
IMA paling sering disebabkan oleh rupture
10
39
1
2.4 Etiologi Infark Miokard Akut
IMA terjadi ketika aliran darah ke jantung menurun menyebabkan iskemia miokard
(kerusakan atau cedera pada otot jantung). Dalam banyak kasus, IMA disebabkan oleh
oklusi dari satu atau lebih pembuluh darah koroner oleh thrombus, dan disertai dengan
nyeri dada yang parah. Dalam beberapa kasus, selain thrombus aliran darah berkurang
disebabkan oleh masalah pembuluh darah. Penyebab yang paling mendasari dari IMA
adalah penyakit arteri koroner aterosklerosis, yang menyebabkan obstruksi progresif dari
arteri di jantung. Adapun faktor resiko yang mempengaruhi perkembangan penyakit
koroner adalah riwayat keluarga, diet, kurang olahraga, peningkatan LDL, penurunan
HDL, merokok, hipertensi dan diabetes melitus (Mattingly and Lohr, 1990; Fauci et al.,
2010).
10
41
1
Aktivasi dari SNS setelah iskemia miokard merupakan mekanisme kompensasi.
Mekanisme kompensasi (penyempitan pembuluh darah, peningkatan curah jantung, dan
retensi natrium dan air di ginjal) bertujuan untuk mempertahankan curah jantung, terjadi
ketika jaringan luka yang terbentuk pada daerah nekrotik menghambat kontraksi.
Pelebaran ventrikel juga dapat terjadi dalam proses yang disebut remodeling. Fungsinya,
infark miokard dapat menyebabkan penurunan kontraktilitas dan gerakan dinding yang
abnormal, mengurangi volume stroke, mengurangi fraksi ejeksi, dan peningkatan tekanan
akhir diastol ventrikel kiri (Arnold et al., 2001).
Usia Hipertensi
10
43
Merokok Inaktivasi
Fisik
1
2.6.2 Faktor Resiko yang Dapat Dimodifikasi.
2.6.2.1 Hipertensi
Pasien infark miokard akut lebih banyak pada pasien dengan riwayat penyakit
hipertensi. Hipertensi dapat meningkatakan beban kerja jantung, tekanan darah yang
tinggi secara terus menerus menyebabkan kerusakan pembuluh darah arteri dengan
perlahan-lahan arteri tersebut mengalami pengerasan serta dapat terjadinya oklusi koroner
(Soeharto, 2001; Abduelkarem et al., 2012; Budiman et al., 2015).
2.6.2.2 Dislipidemia
Kejadian infark miokard akut lebih banyak terjadi pada penderita dyslipidemia,
yang mana dapat menjadi faktor risiko infark miokard akut karena proses terganggunya
profil lipid dalam darah terjadi penimbunan lemak pada lapisan pembuluh darah yang
akhirnya mengurangi diameter lumen pembuluh darah akibatnya terjadi iskemia dengan
manifestasi lanjutannya adalah terjadi infark (Soeharto, 2001; Budiman et al., 2015).
2.6.2.3 Obesitas
Kelebihan berat badan dan obesitas berhubungan dengan risiko yang tinggi pada
IMA. Kelebihan berat badan dan obesitas dapat mempengaruhi kesehatan dan perlu
adanya kontrol body mass indeks (BMI) untuk mencegah terjadinya IMA (Zhu et al.,
2014).
2.6.2.5 Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap
dinding arteri. Karbon monoksid (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri,
nikotin merupakan mobilisasi katekolamin yang dapat menyababkan kerusakan dinding
arteri, sedang glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif dinding
arteri (Rilantono et al., 2004).
10
45
Selain itu, infark miokard diklasifikasi kedalam berbagai jenis, berdasarkan pada
perbedaan patogologis, klinis dan prognostik. Terdapat 5 tipe infark miokard (Thygesen
et al., 2012):
1) MI tipe 1 : infark miokard spontan
2) MI tipe 2 : infark miokard sekunder ketidakseimbangan iskemik
3) MI tipe 3 : infark miokard yang mengakibatkan kematian ketika nilai-
nilai biomarker tidak tersedia
4) MI tipe 4a : infark miokard berkaitan dengan intervensi Percutaneus
Coronary Intervention (PCI)
5) MI tipe 4b : infark miokard berkaitan dengan thrombosis stent, yang
didokumentasikan oleh angiography atau otopsi.
6) MI tipe 5 : infark miokard yang berkaitan dengan Coronary Artery
Bypass Graft (CABG)
a) Patofisologi
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak arterosklerosis
yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan
akumulasi lipid. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi
arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Sudoyo et al., 2014).
Pasien dengan STEMI memiliki kelainan pada regulasi peredaran darah. Proses ini
dimulai dengan obstruksi anatomi atau fungsional dalam vaskuler koroner, yang
mengakibatkan iskemia miokard regional dan jika iskemia tetap ada, infark (pada gambar
2. 7). Jika infark memiliki ukuran yang cukup dapat menekan fungsi keseluruhan LV
sehingga volume stroke LV menurun dan tekanan meningkat. Depresi volume stroke LV,
menurunkan tekanan aorta dan mengurangi tekanan perfusi koroner. Kondisi ini dapat
mengintensifkan iskemia miokard dan dengan demikian akan memulai lingkaran yang
berkelanjutan .
Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi
mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu
diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda
regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
1
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena pericarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritic disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA (PERKI, 2015).
Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram penting untuk membedakan STEMI dan SKA
lainnya. Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan secepat mungkin pada pasien yang
diduga menderita IMA untuk menegakkan diagnosis. Adanya perubahan gelombang T
yang tinggi dan hiperakut merupakan manifestasi pertama dari oklusi koroner yang akut.
Adanya elevasi segmen ST pada gambaran EKG menunjukkan STEMI, sedangkan
adanya depresi segmen ST atau inversi gelombang T dapat menunjukkan suatu NSTEMI
atau UAP (Gambar 2.8) (Griffin and Topol, 2009).
Perubahan karakteristik tertentu terjadi setelah transmural infark miokard khas,
yaitu mempengaruhi ketebalan miokard penuh. ST segmen cepat meningkat, hanya
menetap normal setelah beberapa minggu. Patologi Q-wave terjadi lebih awal dan tetap
sebagai spidol permanen dari infark miokard masa lalu. Lead EKG tertentu yang
mendeteksi perubahan ini menunjukkan posisi infark dalam miokardium, sedangkan
besarnya menunjukkan keparahan dari infark miokard. Kurang umum, jika infark tidak
mempengaruhi ketebalan dinding jantung, Q-wave tetap normal dan segmen ST depresi.
Ini adalah non-Q-wave atau infark subendocardial (Greene and Harris, 2008).
Selama infark miokard akut, gambaran EKG berubah melalui tiga stadium (Thaler,
2007):
1. Gelombang T meninggi (T hiperakut) yang diikuti inversi gelombang T.
2. Elevasi segmen ST
3. Munculnya gelombang Q baru
Troponin adalah protein kompleks yang terdiri atas tiga subunit yaitu troponin
C (TnC), troponin I (TnI), dan troponin T (TnT). Tiap-tiap komponen troponin
memainkan fungsi khusus. TnC mengikat Ca2+, TnI menghambat aktivitas ATPase
aktomiosin dan TnT mengatur ikatan troponin pada tropomyosin (Filatov et al., 1999;
Samsu dan Sargowo, 2007). Struktur asam amino TnT dan TnI yang ditemukan pada otot
jantung berbeda dengan struktur troponin pada otot skeletal, sedangkan struktur TnC pada
otot jantung dan skeletal identic(Murphy and Berding, 1999; Samsu dan Sargowo, 2007).
TnI dan TnT merupakan cardiac specific yang sangat tinggi dan sensitive untuk infark
miokard. Peningkatan awal troponin dikarenakan pelepasan cytoplasmic troponin
dimana peningkatan selanjutnya yang terus menerus disebabkan oleh pelepasan troponin
yang kompleks dari miofilamen-miofilamen yang hancur (Lee, 2009). Kadar normal
untuk TnI adalah <0,35 ng/mL atau <0,35 µg/L, sedangkan kadar normal TnT adalah
<0,2 ng/mL atau 0,2 µg/L (Fischbach and Dunning, 2009). Troponin juga dapat
meningkat saat kerusakan miosit non-iskemik, seperti miokarditis, kardiomiopati, dan
pericarditis (Bender, 2011).
Pemeriksaan enzim Troponin I juga merupakan bagian penting evaluasi pada
10
kecurigaan adanya infark miokardium karena enzim ini meningkat lebih awal daripada
isoenzim CK-MB. Kadar CK biasanya tidak meningkat sampai 6 jam sesudah infark dan
49
kembali normal dalam 48 jam (Thaler, 2007).
Pemeriksaan laboratorium
Data laboratorium, disamping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid (PERKI 2015).
Ini terjadi pada 95% pasien dengan infark miokard akut. Sinus takikardia sering
dijumpai dan merupakan petunjuk beratnya penyakit. Sinus bradikardia sering ditemui
pada saat infark akut, kadang-kadang merupakan bagian dari sindroma vasovagal,
terutama berhubungan dengan infark miokard inferior dan bisa juga diprovokasi oleh
morfin atau digitalis. Gangguan ini biasanya ringan tetapi dapat menyebabkan hipotensi
atau menimbulkan irama ektopik. Bila blok jantung merupakan komplikasi dari infark
anterior, kematian biasanya tinggi. Blok ini disebabkan kerusakan kedua cabang berkas
dan biasanya bersamaan dengan kerusakan miokard yang luas. Penderita biasanya
mengalami gagal jantung dan prognosisnya buruk walaupun blok jantungnya ditangani
dengan baik (Rilantono et al., 2004).
b) Gagal Jantung Kiri
Gagal jantung kiri jarang ditemui pada serangan infark miokard akut, tetapi bila
terjadi pada 2/3 penderita biasanya timbul dalam waktu 48 jam. Pada penderita gagal
jantung, selain takikardia bisa terdengar bunyi jantung ke tiga, krepitasi paru yang luas
dan terlihat kongesti vena paru atau edema paru pada foto rontgen toraks. Tekanan pada
pembuluh baji paru biasanya lebih dari 20 mmHg (Rilantono et al., 2004).
c) Gagal Ventrikel Kanan
Gagal ventrikel kanan ditandai oleh peningkatan tekanan vena jugularis dan sering
ditemui pada hari-hari pertama sesudah infark akut. Infark ventrikel kanan, yang hamper
selalu bersamaan dengan infark dinding inferior dapat menyebabkan tekanan vena yang
tinggi dan sindroma renjatan, walaupun fungsi ventrikel kiri masih baik. Gambaran klasik
gagal jantung kanan yang berupa edema perifer dan pembesaran hepar jarang dijumpai
dan memerlukan beberapa hari untuk timbulnya gejala, walaupun itu pada penderita
dengan kerusakan miokard yang luas (Rilantono et al., 2004).
10
51
1
2.11.2.1.1 Penggunaan Oksigen
Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi diberikan oksigen selama 6 jam pertama (Sudoyo
et al., 2014).
Suplemen oksigen dengan masker atau nasal cannula diindikasikan untuk pasien
yang terengah-engah, hipoksia (saturasi oksigen <90%), atau yang dengan gagal jantung.
Penggunaan oksigen pada pasien dengan IMA yang tidak termasuk dalam salah satu dari
tiga kategori yang disebutkan diatas masih belum jelas, dengan beberapa penelitian yang
menunjukkan bahaya pada pasien tersebut (Cabello et al., 2013).
2.11.2.1.2 Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik mungkin tidak berguna pada pasien yang datang lebih dari 12
jam setelah onset gejala, meskipun pedoman praktek saat merekomendasikan
pertimbangan fibrinolisis pada pasien dengan gejala area besar miokardium berisiko
(berdasarkan EKG atau pencitraan kardiovaskular) atau ketidaksatbilan hemodinamik jika
PCI tidak tersedia (Zafari, 2017).
Tujuan utama fibrinolysis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat
beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan
cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang selanjutnya melisiskan
thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non
spesifik fibrin seperti streptokinase (Sudoyo et al., 2014).
Tabel II. 2 Obat Fibrinolitik dalam Pengobatan STEMI
Streptokinase Alteplase
(rt-PA)
Dosis 1,5 juta unit dalam 100 mL Bolud 15 mg intravena 0,75 mg/kg
dextrose 5% atau larutan selama 60 menit.
salin 0,9% dalam waktu 30-
Dosis total tidak lebih dari 100 mg
60 menit
(PERKI, 2015)
10
53
2.11.2.1.3 Antiplatelet
a) Aspirin
Aspirin untuk semua pasien tanpa kontraindikasi dalam waktu 24 jam sebelum atau
setelah kedatang ke rumah sakit. Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang
dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan
absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya untuk
dosis pemeliharaan seumur hidup, aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg setelah
STEMI. Karena peningkatan resiko perdarahan pada pasien yang meneruma aspirin
ditambah inhibitor P2Y12, aspirin dosis rendah (81 mg sehari) lebih disukai diikuti PCI
(Dipiro et al., 2015; Sudoyo et al., 2014).
1
GP IIb/IIIa inhibitor reseptor memblokir jalur akhir dari agregasi platelet, yaitu
closs-linking trombosit oleh jembatan fibrinogen antara GP IIb dan IIIa reseptor di
permukaan platelet. GP IIb/IIIa inhibitor tidak diberikan pada pasien STEMI yang tidak
mendapatkan terapi PCI (Dipiro et al., 2015).
Abciximab: 0,25 mg/kg IV bolus diberikan 10 sampai 60 menit sebelum
dimulainya PCI, diikuti 0,125 mcg/kg/menit (maksimum 10 mcg/menit)
selama 12 jam.
Eptifibatide: 180 mcg/kg IV bolus, diulang dalam 10 menit, dilanjutkan
dengan infus 2 mcg/kg/menit untuk 18 sampai 24 jam setelah PCI.
Tirofiban: 25 mcg/kg IV bolus, kemudian 0,15 mcg/kg/menit sampai 18
sampai 24 jam setelah PCI.
2.11.2.1.4 Antikoagulan
Antikoagulan merupakan terapi tambahan penting untuk terapi reperfusi terlepas
dari strategi yang dipilih (PCI primer atau terapi fibrinolitik). Antikoagulan yang berbeda
tersedia; utilitas masing-masing agen tergantung pada konteks klinis dengan
mempertimbangkan metode reperfusi. Untuk pasien yang menjalani PCI, hentikan
antikoagulan segera setelah prosedur. Pada pasien yang menerima antikoagulan ditambah
fibrinolitik, lanjutkan UFH selama minimal 48 jam dan enoxaparin dan fondaparinux
selama rawat inap, hingga 8 hari. Pada pasien yang tidak menjalani terapi reperfusi, terapi
antikoagulan dapat diberikan hingga 48 jam untuk UFH atau selama rawat inap untuk
enoxaparin atau fondaparinux (Dipiro et al., 2015).
Tabel II. 3 Jenis dan Dosis antikoagulan untuk IMA
Antikoagulan Dosis
(PERKI, 2015)
10
55
1
Mekanisme kerjanya yaitu beta bloker sebagai antagonis kompetitif terhadap norepinefrin
pada beta reseptor. Menurut Bellau, efek pemblokan beta reseptor terjadi karena adanya
substituent yang besar pada atom nitrogen. Dengan mengikat cincin adenine dari ATP, substituent
tersebut mencegah proses alih proton, dengan menggantikan cincin adenine dari tempat
pengikatan pada permukaan reseptor (Siswandono dan Soekardjo, 2008).
Tabel II. 4 Generasi Beta Blocker
Properties Drugs
Nebivolol, Acebutolol
β1-selective with vasodilation
5
6
57
Bisoprolol β1 - 10 mg/hari
(PERKI, 2015)
2015)
57
BAB III
PEMBAHASAN
Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan utama adalah
nyeri dada kiri yang tidak berkurang sejak 4 jam SMRS. Keluhan sesak tidak dipengaruhi
cuaca, posisi dan emosi. Semakin hari dirasakan semakin bertambah sesak. Klinis
mengenai keluhan sesak napas dapat di bagi menjadi beberapa gangguan pada organ
tubuh. Gangguan pada organ paru terutama menjadi petimbangan utama, diikuti gangguan
jantung yang dapat menimbulkan sesak napas apabila terjadi edema paru, gangguan pada
ginjal juga dapat menimbulkan retensi cairan dan berakibat pada edem paru.
5
8
59
EKG, pemberian aspilet 80 mg, clopidogrel 75 mg, dan morfin jika nyeri juga tidak berkurang.
dan pasien disarankan untuk dirujuk untuk dilakuan revaskularisasi.
59
DAFTAR PUSTAKA
1. Alwi, I., 2014. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. In Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing. pp.1457-72.
2. Darliana, D., 2010. MANAJEMEN PASIEN ST ELEVASI MIOKARDIAL INFARK
(STEMI). Idea Nursing Journal, 1, pp.14-20.
3. Gayatri, N.I., Firmansyah, S., Hidayat, S. & Rudiktyo, E., 2016. Prediktor Mortalitas
Dalam-Rumah-Sakit Pasien Infark Miokard ST Elevation (STEMI) Akut di RSUD dr.
Dradjat Prawiranegara Serang, Indonesia. CDK, 43, pp.171-74.
4. Irmalita et al., 2015. PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT.
Jakarta: Centra Communications.
5. Wagyu, E.A., Rampengan, S.H. & Pangemanan, J., 2013. GAMBARAN PASIEN
INFARK MIOKARD DENGAN ELEVASI ST (STEMI) YANG DIRAWAT DI BLU
RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI. Jurnal e-CliniC
(eCl), 1, pp.1-8
6
0
61
Portofolio
PORTOFOLIO OBGYN
“PREEKLAMPSIA BERAT”
Disusun oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan
Pendamping:
dr. Fitri Isneni
Wahana:
RS Siti Aisyah Lubuklinggau
2021
61
1
BAB I
PENDAHULUAN
AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di negara Asia Tenggara.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia
sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.1 Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan
(30%), hipertensi dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan kasus
preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi
preeklampsia di negara maju adalah 1,3%
- 6%, sedangkan di negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia di Indonesia
sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. 2
Pre-eklampsia adalah bentuk tersering dari hipertensi yang menjadi komplikasi pada
kehamilan, didefinisikan dengan adanya onset baru hipertensi ditambah dengan onset baru
proteinuria. Namun, walaupun kedua kriteria ini dianggap sebagai definisi klasik, beberapa wanita
dengan hipertensi dan tanda multi-sistem merupakan indikasi keparahan penyakit walaupun tanpa
adanya proteinuria.3
Definisi preeklampsia direvisi di tahun 2014 dan definisikan sebagai hipertensi yang
terjadi setelah 20 minggu kehamilan dengan satu atau lebih tanda berikut: proteinuria, disfungsi
organ maternal (termasuk gangguan renal, hepatik, hematologi, dan neurologis) atau pertumbuhan
janin terhambat. Hal terpenting dari pembaharuan ini adalah definisi ini tidak menuntut adanya
proteinuria untuk menegakkan diagnosa. Ditambahkannya pertumbuhan janin terhambat sebagai
salah satu kriteria diagnosis dapat meningkatkan jumlah wanita yang memenuhi kriteria
preeklampsia dan hal ini merupakan perubahan yang signifikan.3
Penegakan diagnosis preeklampsia masih menjadi tantangan bagi klinisi, bahkan dengan
preeklampsia berat, seorang wanita dapat terlihat asimptomatik. Beberapa penelitian melaporkan
38% wanita preeklampsia tampak asimptomatik. Semakin awal onset dari preeklampsia berasosiasi
dengan hambatan pada pertumbuhan janin. Tidak teridentifikasinya gangguan pada pertumbuhan
janin berkontribusi dengan kematian janin, 1 dari 20 kematian janin tanpa adanya kelainan
abnormal adalah akibat dari preeklampsia yang tidak terdiagnosa. Angka mortalitas dan morbiditas
ibu dan janin yang cukup tinggi akibat preeklampsia memerlukan pemahaman dan manajemen
yang memadai, selain itu perlunya identifikasi preeklampsia lebih dini serta identifikasi faktor-
faktor risiko pada ibu hamil dapat membantu menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada ibu
dan janin.
1
BAB II
STATUS PASIEN
b. : Ny. T
2.2 Anamnesis
3
edema palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+), visus menurun (+)
b. Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran tiroid (-), limfadenopati (-)
c. Pulmo :
Inspeksi: simetris statis dan dinamis, skar (-), retraksi (-)
Palpasi: stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-) Perkusi:
sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+) ronkhi (-), wheezing (-)
d. Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I&II normal, regular, laju jantung 86x/menit, murmur (-), gallop (-)
e. Abdomen
Inspeksi : cembung, skar (+) bekas SC
Lihat pemeriksaan obstetrik
f. Ekstremitas : Akral hangat, CRT <3’’, edema pretibial (+/+),
g. Pemeriksaan Obstetrik:
Pemeriksaan Luar :
Tinggi Fundus Uteri (TFU) 3 jari bawah processus xiphoideus (33 cm), situs memanjang.
Punggung kanan, presentasi kepala, penurunan 5/5, HIS (-), DJJ 140 x/menit, TBJ 3100
gram
Pemeriksaan Dalam (VT) :
Portio lunak, posterior, portio tampak kuncup, effacement 0%, kepala floating, ketuban
dan petunjuk belum dapat dinilai.
h. Indeks Gestosis
0 1 2 3
2.6 Tatalaksana
2.6.1 Tatalaksana di unit gawat darurat
Non-Farmakologi:
Informed consent
Stabilisasi 1-3 jam
5
Ekspektatif dan aktif
Observasi tanda-tanda vital ibu, his, denyut jantung janin (DJJ), dan tanda-tanda
inpartu
Tirah baring, miring kiri
Kateter menetap
Cek lab darah rutin, kimia darah, dan ureum kreatinin
Cek urin rutin
Farmakologi:
IVFD Ringer Laktat gtt xx /menit
Loading dose: Inj. MgSO4 40% 4 gr (IV) (dalam 10 cc) selama 15 menit.
Maintenance dose : Drip MgSO4 40% 6 gr (IV) (dalam larutan RL 500cc/6 jam)
Nifedipine 10mg/6 jam (PO)
2.7 Prognosis
Prognosis Ibu : Dubia ad bonam
Prognosis Janin : Dubia ad bonam
7
BAB III
PEMBAHASAN
Ny. PA, 25 tahun G2P1A0 hamil cukup bulan datang ke IGD RSSA dengan
keluhan darah tinggi. + 6 jam SMRS, os kontrol dengan bidan dan dikatakan darah tinggi,
lalu os disarankan untuk ke RSSA. Riwayat perut mulas menjalar ke pinggang yang
dirasakan semakin lama semakin kuat dan sering (-). Riwayat keluar darah lendir (-).
Riwayat keluar air-air (-). Riwayat darah tinggi sebelum hamil (-), riwayat kejang (-), kaki
sembab (+), kencing berbusa (+), riwayat trauma (-), riwayat perut diurut-urut (-), post
coitus (-), riwayat minum jamu-jamuan (-), riwayat minum alkohol dan merokok (-),
Riwayat darah tinggi selama hamil (-). Riwayat sakit kepala (-). Riwayat mual muntah (-).
Riwayat nyeri ulu hati (-). Pasien mengaku hamil cukup bulan, dengan gerakan janin
masih dirasakan.
Berdasarkan hasil anamnesis, didapatkan bahwa os datang dengan keluhan darah
tinggi. Keluhan darah tinggi pada kehamilan memiliki beberapa kemungkinan berupa
hipertensi kronik, hipertensi gestasional, preeklamsia dan eklamsia. Keluhan utama pasien
dapat diperinci dengan anamnesis dan dikonfirmasi melalui pemeriksaan fisik.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan 2 kali pengukuran tekanan darah 162/100
mmHg dan uji urinalisis didapatkan proteinuria (+). Os tidak memiliki riwayat darah tinggi
sebelum kehamilan. Pada kehamilan ini, Os mengetahui darah tinggi saat kontrol yang
terakhir. Kunjungan pemeriksaan antenatal sebanyak 4 kali, yakni pada trimester 1
kunjungan 1x dengan waktu anjuran sebelum minggu 16, kunjungan trimester 2 minimal
1x kunjungan dengan waktu anjuran minggu 24-28, dan kunjungan pada trimester 3
minimal 2x kunjungan antra minggu 30-32 dan antara minggu 36-38. Hipertensi kronik
adalah hipertensi tanpa proteinuria yang timbul dari sebelum kehamilan dan menetap
setelah persalinan. Preeklamsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada
kehamilan/ diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Eklampsia
adalah hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu
disertai adanya gangguan organ disertai kejang.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang adanya
riwayat darah tinggi (Sistol >140 mmhg) pada kehamilan sekarang, kencing berbusa
(konfirmasi preinuria +), menunjukkan kondisi preeklampsia berat yang diderita oleh
pasien. Preeklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :
1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
7
diastolikpada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang
sama.
2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta:
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV).
Riwayat keluar air-air dari kemaluan disangkal. Riwayat perut mulas menjalar ke
pinggang yang durasinya semakin lama, semakin kuat dan semakin sering (-). Riwayat
keluar darah dan lendir (-). Pada pemeriksaan obstetri pada pemeriksaan luar didapatkan
Tinggi fundus uteri (TFU) 3 jari dibawah proc. xyphoideus (33 cm), situs memanjang.
Punggung kanan, presentasi kepala, penurunan 5/5, HIS (-), DJJ 144 x/menit, TBJ 3100
gram. Pada pemeriksaan dalam didapatkan Portio lunak, posterior, portio tampak kuncup,
effacement 0%, kepala floating, ketuban dan petunjuk belum dapat dinilai. Hal ini
menunjukkan tanda belum inpartu pada Os.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka
diagnosis pasien ini adalah G2P1sA0 Hamil 41 Minggu Belum Inpartu dengan Pre-
eklampsia Berat JTH Preskep.
Penatalaksanaan awal pada pasien adalah stabilisasi pasien dan mencegah agar
preeklampsia berat tidak berubah menjadi eklampsia. Pasien diberikan IVFD RL gtt
xx/menit, pemasangan kateter foley dan pemberian MgSO4 40%. Pemberian awal MgSO 4
40% secara intravena dengan dosis 4 mg. Selanjutnya dosis pemeliharaan diberikan drip
MgSO4 40% 6 mg dalam RL 500cc/6 jam. Pemberian antihipertensi berupa Nifedipine
10mg/6 jam bertujuan untuk menurunkan tekanan darah. Pada tahap ini dilakukan
pemantauan secara berkala tanda-tanda vital ibu.
Pada anamnesis ditemukan tanda-tanda impending preeklampsia yang mendandakan
adanya faktor untuk harus dilakukan manajemen aktif yaitu terminasi. Dari hasil follow-up
yang dilakukan selama 6 jam untuk tekanan darah menunjukkan perbaikan, yaitu
130/90mmHg sehingga segera direncanakan untuk dilakukan SC.
9
9
DAFTAR PUSTAKA
12. Petersen F, Heller S, Joshi V. Lesions of the placenta associated with pathologic
maternal clinical presentations and/or underlying maternal disorders. Placental
pathology. 2nd edition. 2006; 223-5
11
Portofolio
PORTOFOLIO PARU
“ ASMA EKSASERBASI AKUT
”
Disusun oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan
Pendamping:
dr. Fitri Isneni
Wahana:
RS Siti Aisyah Lubuklinggau
2021
12
13
BAB I
PENDAHULUAN
13
1
BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : Ny. SS
Umur : 34 Tahun
Deskripsi :
Keluhan Utama :
Sesak nafas hebat sejak 3 jam SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit :
3 jam SMRS pasien mengeluh sesak napas yang bertambah berat. Sesak
napas muncul setelah 1 hari sebelumnya pasien menghirup asap pembakaran
sampah. Sesak dirasakan terus menerus, sesak dirasakan sedikit berkurang bila
pasien duduk, sesak tidak seperti tertimpa beban berat, sesak tidak dipengaruhi
aktivitas. Mengi (+), batuk (+), berdahak, warna putih, darah (-), demam (-),
keringat pada malam hari (-),j penurunan berat badan (-), mual (-), muntah (-),
nyeri dada (-). Pasien masih dapat berkomunikasi dalam kalimat. Pasien mengaku
keluhan sesak napas disertai mengi seperti ini terakhir kali dirasakan pasien 3
tahun yang lalu. Riwayat keluar kota disangkal, riwayat kontak dengan pasien
terkonfirmasi Covid-19 disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
4 hari SMRS pasien mengeluh demam. Demam dirasakan sepanjang hari
tidak terlalu tinggi, demam tidak disertai menggigil dan keringat malam hari.
Pasien juga mengeluh nyeri tenggorokan, batuk (+), dahak (+) sulit dikeluarkan,
sesak (+), sesak tidak dipengaruhi aktivitas, mual (+), muntah (-), badan terasa
lemas (+). Pasien berobat ke praktek dokter keluhan berkurang.
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Asma Eksaserbasi Akut Derajat Ringan/Sedang
- Sesak napas
- Batuk berdahak
1
2. Riwayat Pengobatan :
Riwayat pengobatan asma (+) pasien lupa nama obat.
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
Riwayat asma sejak umur ± 9 tahun.
Riwayat batuk lama dan minum obat 6 bulan disangkal.
Riwayat DM disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
4. Riwayat Keluarga :
Riwayat asma diderita oleh ibu kandung
Riwayat penyakit jantung pada keluarga disangkal
Riwayat batuk lama dan minum obat selama 6 bulan dalam keluarga disangkal
Riwayat kontak dengan penderita TB disangkal
Tidak ada riwayat alergi makanan dan obat
5. Riwayat Pekerjaan :
Ibu Rumah Tangga
2
3
Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Sens: CM GCS : E4M6V5 tampak sakit sedang
TTV :
- Tekanan darah : 130/90 mmHg
- Nadi : 105x/ menit, regular, isi dan tegangan
cukup
- Pernapasan : 32x/ menit, tipe thoracoabdominal
- Suhu : 36,5˚ C (aksilar)
- SpO2 : 95% dengan O2 nasal canule 4L/m
Status Lokalis
KEPALA
1. Ekspresi : normal
2. Simetris muka : simetris kiri = kanan
3. Deformitas : (-)
4. Hematom : (-)
5. Laserasi : (-)
6. Rambut : hitam, keriting, sukar dicabut
3
MATA
1. Eksoftalmus/ endoftalmus: (-)
2. Gerakan : tidak dapat dinilai
3. Kelopak mata : ptosis (-)
4. Konjungtiva : anemis (-)
5. Sklera : ikterus (-)
6. Kornea : refleks kornea +/+
7. Pupil : refleks cahaya +/+, isokor, 2,5 mm
TELINGA
1. Nyeri tekan di proc. Mastoideus : (-)
2. Pendengaran : tidak dapat dinilai
HIDUNG
1. Perdarahan : (-)
2. Sekret : (-)
MULUT
1. Bibir : kering (+), sianosis (-)
2. Gigi geligi : karies (-)
3. Gusi : perdarahan (-)
4. Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
5. Farings : hiperemis (-)
6. Lidah : kotor (-)
LEHER
1. Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
2. Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
3. Massa tumor : (-)
4. Nyeri tekan : (-)
4
5
THORAKS
1. Inspeksi : simetris kiri = kanan, retraksi (-), luka (-), hematom
(-)
2. Palpasi : nyeri tekan (-)
3. Perkusi : sonor
4. Auskultasi : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing +/+ Ekspirasi
pada semua lapang paru
COR
1. Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : ictus cordis tidak teraba
3. Perkusi : pekak, batas atas jantung ICS II sinistra, batas
kanan jantung ICS IV linea parasternalis dextra, batas kiri jantung ICS
V linea midclavicularis sinistra
4. Auskultasi : BJ I/II murni reguler, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
1. Inspeksi : datar
2. Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
3. Perkusi : timpani (+)
4. Auskultasi : Bising usus (+) normal
EKSTREMITAS
1. Edema : (-)
2. Akral : hangat
3. CRT : < 2 detik
5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai normal Keterangan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (Hb) 12,5 g/dL 12-15 g/dL Normal
Eritrosit (RBC) 4,2 x 106/mm3 3,00-5,40x106/mm3 Normal
Leukosit (WBC) 9900/ mm3 5.000-10.000/mm3 Normal
Hematokrit (Ht) 35% 33-47% Normal
Trombosit 146 x 103/L 150-450 x 103/L Menurun
Daftar Masalah
1. Sesak napas
2. Batuk berdahak
Diagnosis
Asma Eksaserbasi Akut Derajat Ringan/Sedang
6
7
Sukralfat 3 x 1 c PO
Omeprazole 2 x 40 mg PO
Methylprednisolone 3 x 4 mg PO (selama 3hari)
Simbicort 2 x1 (pagi dan sore)
Barotec KP sesak napas berat
2. Pendidikan: mengedukasi pasien untuk berobat teratur, Hindari faktor
pencetus, seperti cuaca dingin, makanan, asap rokok, dll, istirahat yang
cukup, gaya hidup sehat, olahraga teratur, serta penatalaksanaan penyakit
apabila dalam serangan.
3. Konsultasi: menjelaskan mengenai diagnosis Asma dan Covid 19
berdasarkan hasil pemeriksaan, terapi yang diberikan, dan prognosis.
7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1 Asma
1.1 Pengertian Asma
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan sel
dan elemennya, di mana dapat menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas
yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa
berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
inflamasi pada saluran napas. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses
inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hipereaktivitas. Faktor
pemacu tersebut adalah rinovirus, ozon dan pemakaian β2 agonis.
c. Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi maka bila individu terpajan
oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma. Faktor pencetus asma
adalah semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara
dingin, histamin dan metakolin . Secara umum faktor pencetus serangan asma
adalah: Alergen, Infeksi saluran pernapasan, Tekanan jiwa, Olahraga/kegiatan
jasmani yang berat, Obat-obatan. Polusi udara
9
menyempit yaitu hipertrofi dari bagian bawah, membrane, lender plugging,
hipertrofi otot polos dan penyempitan kontribusi (bagian bawah). Sel-sel inflamasi
menyebar, memproduksi submukosa edema epitel, mengisi lumen saluran nafas
dengan selular dan memperlihatkan otot polos saluran nafas untuk mediator lainnya
(kiri atas)
10
11
c. Asma gabungan
Merupakan bentuk asma yang paling umum. Asma ini memiliki karakteristik dari
bentuk alergik maupun idiopatik/nonalergik. Dalam Pedoman Pengendalian
Penyakit Asma oleh Depkes RI (2009) dijelaskan klasifikasi derajat asma sebagai
berikut:
11
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis Secara Umum
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
Intermitten Bulanan APE ≥80%
Gejala < ≤2 kali sebulan - VEP1 ≥ 80%
1x/minggu NILAI PREDIKSI
Tanpa gejala ape ≥80% nilai
diluar serangan terbaik
- Variabiliti
APE ≤20%
Persisten ringan Mingguan APE ≥80%
Gejala > 1x/ 2 kali sebulan - VEP1≥80%
minggu tetapi < nilai prediksi APE
1x/hari ≥80 % nilai terbaik
Serangan dapat - Variabiliti
mengganggu APE 20-30%
aktivitas dan tidur
Persisten sedang Harian APE 60-80%
- Gejala setiap hari > 2 kali sebulan - VEP1 60-80% nilai
- Serangan prediksi APE 60-
mengganggu 80% nilai terbaik
aktivitas dan tidur - Variabiliti
- Membutuhkan APE>30%
bronkodilator
setiap hari
Persisten berat Kontinyu APE 60≤%
- Gejala terus Sering - VEP1 ≤60% nilai
menerus prediksi APE≤60%
- Sering kambuh nilai terbaik
- Aktivitas fisik - Variabiliti
terbatas APE>30%
12
13
APE = Arus Puncak Ekspirasi, VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa detik pertama
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan
di Indonesia, 2004.
1.7 Diagnosis
Diagnosis asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan
fisiknya dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada
pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi,
karena pasien sudah lelah untuk bernapas). Dan yang cukup penting adalah
pemeriksaan fungsi paru, yang dapat diperiksa dengan spirometri. Spirometri
adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada
kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan kooperasi
pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai
yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai
prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75% (Depkes, 2007).
Penanda utama untuk mendiagnosis adanya asma antara lain :
1) Mengi pada saat menghirup nafas.
2) Riwayat batuk yang memburuk pada malam hari, dada sesak yang terjadi
berulang dan nafas tersenggal-senggal.
3) Hambatan pernafasan yang reversible secara bervariasi selama siang hari.
4) Adanya peningkatan gejala pada saat olahraga, infeksi virus, eksposur terhadap
allergen dan perubahan musim.
5) Terbangun malam-malam dengan gejala seperti di atas.
1.8 Terapi
Asma merupakan penyakit kronis, sehingga membutuhkan pengobatan
yang perlu dilakukan secara teratur untuk mencegah kekambuhan. Berdasarkan
penggunaannya, maka obat asma terbagi dalam dua golongan yaitu pengobatan
jangka panjang untuk mengontrol gejala asma dan pengobatan cepat (quick relief
medication) untuk mengatasi serangan akut asma. Beberapa obat yang digunakan
13
untuk pengobatan jangka panjang antara lain inhalasi steroid, β2 agonis aksi
panjang, sodium kromoglikat atau kromolin, nedokromil, modifier leukotrien dan
golongan metil ksantin. Sedangkan untuk pengobatan cepat sering digunakan suatu
bronkodilator (β2 agonis aksi cepat, antikolinergik, metilksantin) dan kortikosteroid
oral (sistemik).obat-obat asma dapat dijumpai dalam bentuk oral, larutan nebulizer,
dan metered-dose inhaler (Ikawati, 2006). Menurut GINA (2009), pengobatan
berdasarkan berat asma dibagi menjadi 4, yaitu asma intermiten, asma persisten
ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat
14
15
esophageal refluks disease (GERD), dan infeksi virus. Prosedur yang dilakukan
untuk mengatasi kegawatan dalam asma dibagi
menjadi :
1) Pemberian oksigen, baik melalui kanula maupun melalui masker dengan
kecepatan yang disesuaikan dengan tingkat intensitas asma. Biasanya dibutuhkan
antara 1-15 liter per menit tergantung PaO2.
2) Pemberian bronkodilator Pemberian ini dibagi dalam 2 tahap yaitu 250 mg
aminofilin dalam bentuk bolus dalam glukosa 40%, kemudia dilanjutkan dengan
pemberian dosis pemeliharaan per infus 250 mg.
3) Kortikosteroid
Dosis kortikosteroid bervariasi, tetapi sebagai pegangan dapat diberikan
hidrokortison 4mg/kg BB/jam, dapat pula diberikan mukolitik dan ekspektoransia.
4) Bila pengeluaran cairan tinggi atau terjadi dehidrasi maka dapat dikontrol dengan
pemberian cairan.
15
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
16
17
10. Sundaru, Heru, Sukamto. 2006. Asma Bronkial dalam Sudoyo, Aru W, B.
Setiyohadi,
11. Alwi, M. Simadhibrata, S. Setiati, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.
12. Wibisonojusuf, dkk (2010). Buku ajar ilmu Penyakit Paru. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
3.1.
17