Anda di halaman 1dari 127

KUMPULAN BORANG PORTOFOLIO PROGRAM DOKTER INTERNSIP

PERIODE 2021

Disusun Oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan

Pendamping:
dr. Fitri Isneni

Wahana:
RS Siti Aisyah Lubuklinggau

1. Portofolio Medik
Hemoroid Interna Grade IV
2. Portofolio Pediatrik
Kejang Demam Kompleks
3. Portofolio Penyakit Dalam
STEMI
4. Portofolio Obgyn
Preeklampsia Berat
5. Portofolio Paru
Asma Eksaserbasi Akut

KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM KESEHATAN BADAN
PPSDM KESEHATAN
KEMENTERIAN KESEHATAN RI 2021
HALAMAN PENGESAHAN

KUMPULAN BORANG PORTOFOLIO PROGRAM

INTERNSHIP KEDOKTERAN 2021

Oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan

1. Portofolio Medik
Hemoroid Interna Grade IV
2. Portofolio Pediatrik
Kejang Demam Kompleks
3. Portofolio Penyakit Dalam
STEMI
4. Portofolio Obgyn
Preeklampsia Berat
5. Portofolio Paru
Asma Eksaserbasi Akut

Telahdipresentasikandan diterima sebagaisalahsatusyarat untuk


Mengikuti Program Intemsip Dokter Indonesia
Periode 2020-2021

Lubuklinggau, November 2021

Pendamping

dr. Fitri Isneni


NIP :198107282008032001
ABSENSI LAPORAN KASUS
Judul : Hemoroid Interna Grade IV
Presentator : dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan
Pembimbing : dr. Hazairin, SpB
No. NAMA TANDA TANGAN
1. dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan 1.
2. dr. Cindy Virgina Larasati Susetyo 2.
3. dr. Imam Hakiki Mama 3.
4. dr. Steffi Isliana 4.
5. 5.
6. 6.
7. 7.
8. 8.
9. 9.
10. 10.
11. 11.
12. 12.

Pembimbing,

dr. Hazairin, SpB


Laporan Kasus

Hemoroid Interna Grade IV


Diajukan sebagai Salah Satu Syarat Program Dokter Internship di
Rumah Sakit Siti Aisyah Kota Lubuklinggau

Oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan

Pembimbing:
dr. Hazairin, SpB

dr. Fitri Isneni

DEPARTEMEN PENYAKIT DALAM


RUMAH SAKIT SITI AISYAH KOTA LUBUKLINGGAU

2021
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Hemoroid Interna Grade IV

Oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan

Telah diterima dan disetujui untuk memenuhi salah satu tugas dalam mengikuti Program
Internship Dokter Indonesia RS Siti Aisyah Kota Lubuklinggau Periode 13 Agustus 2021
– 12 November 2021.

Lubuklinggau, Oktober 2021

Pembimbing Pendamping

dr. Hazairin, SpB dr. Fitri Isneni


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
berkat dan rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan laporan kasus ini dengan
judul “Hemoroid Interna Grade IV”. Pada kesempatan ini, penulis juga mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Hazairin, SpB”, selaku pembimbing yang
telah meluangkan waktu untuk membimbing dan memberikan arahan dalam penyusunan
laporan kasus ini.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih
terdapat kekurangan, baik dari isi maupun teknik penulisan. Sehingga apabila ada kritik
dan saran dari semua pihak untuk kesempurnaan laporan kasus, penulis ucapkan banyak
terimakasih. Demikianlah penulisan laporan kasus ini, semoga dapat berguna bagi kita
semua.

Lubuklinggau, Oktober 2021

dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i


HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. ii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... 3
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................................... 4
BAB II. STATUS PASIEN .................................................................................. 5
BAB III. TINJAUAN PUSTAKA .........................................................................15
BAB IV. ANALISIS KASUS ................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................29

3
BAB I
PENDAHULAN

Hemoroid adalah pelebaran atau varises satu segmen atau lebih dari vena- vena
hemoroidalis. Hemoroid dibagi dalam dua jenis, yaitu hemoroid interna dan hemoroid
eksterna. Hemoroid interna merupakan varises vena hemoroidalis superior dan media.
Sedangkan hemoroid eksterna merupakan varises vena hemoroidalis inferior. Sesuai
istilah yang digunakan, maka hemoroid interna timbul di sebelah dalam otot sfingter ani
dan hemoroid eksterna timbul di sebelah luar otot sfingter ani. Hemoroid timbul akibat
kongesti vena yang disebabkan gangguan aliran balik vena hemoroidalis.
Kedua jenis hemoroid ini sangat sering terjadi dan terdapat pada sekitar 35%
penduduk, baik pria maupun wanita yang biasanya berusia lebih dari 25 tahun. Walaupun
keadaan ini tidak mengancam jiwa, tetapi dapat menyebabkan perasaan yang sangat tidak
nyaman. Gejala yang dirasakan, yaitu rasa gatal, terbakar, pendarahan, dan terasa sakit.
Penyakit ini biasanya hanya memerlukan perawatan ringan dan perubahan gaya hidup.

BAB II

4
STATUS PASIEN

2 Identitas Pasien

Nama : Tn. SS
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tanggal Lahir : 3 Juli 1959
Usia : 62 tahun
Alamat : Padat Karya Kel. Batu Urip
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani Nomor
rekam medis : 194666
Tanggal masuk RS : 5 Oktober
2021

3 Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara auto dan allo-anamnesis pada tanggal 5 Oktober


2021, pukul 13.12 WIB di IGD Rumah Sakit Siti Aisyah Lubuklinggau

3.1 Keluhan Utama


Terdapat benjolan yang keluar dari anus yang semakin membesar dan nyeri sejak ±2
hari yang lalu.

3.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan keluar benjolan dari anus saat buang air besar sejak
± 2 hari sebelum berobat ke puskesmas. Benjolan dirasakan lebih besar daripada
biasanya, benjolan tersebut tidak dapat dimasukan kembali kedalam anus, terasa nyeri,
gatal, dan pasien mengeluh tidak bisa duduk karena adanya benjolan. Saat buang air
besar biasanya di sertai dengan darah segar, menetes saat feses keluar, darah tidak
bercampur dengan feses.
Sejak ±2 tahun yang lalu pasien mengeluhkan adanya benjolan kecil yang keluar
pada saat buang air besar dan masih dapat dimasukan. Pasien tidak pernah mengontrol
keluhannya ke fasilitas kesehatan ataupun mengkonsumsi obat untuk mengobati
keluhanya dikarenakan merasa tidak mampu. Pasien jarang mengkonsumsi makanan
yang berserat seperti sayuran dan buah buahan. Pasien suka mengkonsumsi makanan

5
pedas, dan minum kurang dari 8 gelas perhari dan pada saat buang air besar suka
mengejan keras.

3.3 Riwayat Penyakit Dahulu

a. Pasien mempunyai riwayat hipertensi tidak terkontrol


b. Pasien menyangkal adanya Riwayat DM
c. Pasien menyangkal adanya riwayat asma dan alergi
d. Pasien meyangkal adanya riwayat operasi.

3.4 Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien memiliki keluhan serupa dengan pasien yaitu kakak


pasien dan orang tua pasien.

3.5 Riwayat Sosial Ekonomi

Pasien bekerja sebagai petani karet dengan kegiatan sehari-hari berdiri dan
mengangkat berat di kebun karet

4 PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan Umum
Keadaan sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Suhu : 36,3°C
Tekanan darah : 160/80 mmHg
Nadi : 80 x/menit
Pernafasan : 18 x/menit
Berat badan : 60 kg

1. Pemeriksaan Organ

a. Kepala Bentuk : Normocephal

Simetri : Simetris

b. Mata Exopthalmus/enophtal: (-)


Kelopak : Normal
6
Conjungtiva : Anemis (-)

Sklera : Ikterik (-)

Kornea : Normal

Pupil : Bulat, isokor, reflex cahaya

+/
+

Lensa : Normal, keruh (-)


Gerakan bola mata : Baik
c. Hidung : Tak ada kelainan

d. Telinga : Tak ada kelainan

e. Mulut Bibir : Lembab


Bau pernafasan : Normal
Gigi geligi : Lengkap
Palatum : Leviasi (-)
Gusi : Warna merah muda,
perdarahan (-)
Selaput Lendir : Normal
Lidah : Putih kotor, ulkus (-)
f. Leher KGB : Tak ada pembengkakan
Kel.tiroid : Tak ada pembesaran
JVP : 5 - 2 cmH20

7
g. Pulmo
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Statis & dinamis: Statis & dinamis :
simetris simetris
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Batas paru-hepar :ICS VI
kanan
Auskultasi Wheezing (-), rhonki (-) Wheezing (-), rhonki (-)
h. Jantung
Inspeksi Ictus cordis terlihat di ICS V linea midclavicula kiri
Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula kiri

Perkusi Batas-batas jantung :


Atas : ICS II kiri
Kanan : linea sternalis kanan
Kiri : ICS VI 2 jari bergeser ke lateral dari linea
midclavicula kiri
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

i. Abdomen
j.
Inspeksi Datar, skar (-), venektasi (-), spidernevi (-)
k.
l.Palpasi Nyeri tekan regio epigastrium (-), defans musculer
(-), , hepatomegali (-), splenomegali (-), nyeri ketok
m.
costovertebra (-/-)
n.
Perkusi
o. Timpani
Auskultasi
p. Bising usus (+) normal

j. Ekstremitas Atas : Edema (-), akral hangat, lihat status lokalis


Ekstremitas bawah : Edema (-), akral hangat, lihat status lokalis
Anus :
Inspeksi dan palpasi : Perianal terlihat tonjolan massa prolaps dari
anus, terdapat bagian yang hiperemis, padat kenyal, nyeri saat d
sentuh, ukuran± 4x6 cm, ekskoriasi (-), luka (-), tanda radang (-), darah (-).
Rectal Toucher : Tidak dilakukan

8
2. PEMERIKSAAN PENUNJANG

2.1 Pemeriksaan Laboratorium

Tabel 1.2 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien (5/10/2021)


Pemeriksaan Hasil Unit Referensi

HEMATOLOGY

Full Blood Count

Hemoglobin 14.60 g/dL 12.30 - 15.30

Hematocrit 42.60 % 36.00 - 45.00

Eritrosit 8.50 juta/uL 4.20 - 5.50

Leukosit 4.94 ribu/uL 4.50 - 11.00

Trombosit 274 ribu/uL 150-450


Bleeding time 130 detik 0-180
Clotting time 7.00 menit 3.00-7.00

Differential Count

Basophil 0 % 0–1

Eosinophil 0 % 0–4

Band Neutrophil 3 % 2–6

Segment Neutrophil 63 % 50 – 70

Lymphocyte 20 % 18 – 44

Monocyte 14 % 2-8

MCV, MCH, MCHC

MCV 86.30 fL 80.00 - 96.00

MCH 29.60 pg 27.50 - 33.20

9
MCHC 34.20 g/dL 33.40 - 35.50

BIOCHEMISTRY

Ureum 47 mg/dL 15-50

Creatinine 1.25 mg/dL 0.50 - 1.20

Gula darah sewaktu 92 Mg/dL 60-140

2.2 Elektrokardiogram (EKG)

Pada tanggal 5 Oktober 2021

Gambar 1.1 Hasil Pemeriksaan Elektrokardiogram Pasi

1
0
2.3 X-ray Thorax

Dilakukan pemeriksaan X-ray thorax dengan pandangan AP pada tanggal 5 Oktober 2021

Gambar 1.2 Hasil Pemeriksaan X-ray Toraks Pas


 Anjuran
 Anoskopi : untuk menilai mukosa rectal dan tingkat pembesaran hemoroid
 Sigmoideskopi : untuk memastikan tidak adanya diagnose banding lain seperti
kolitis, polip rektal, dan kanker

11
2.4 Diagnosis
Hemoroid Interna Grade IV
Hipertensi gr II

2.5 Diagnosis Banding


Hematoma Perianal
Fisura Anal

2.6 Tatalaksana :
 Non Medikamentosa
 Tirah baring untuk membantu mempercepat berkurangnya pembengkakan.
 Rendam duduk dengan air hangat yang bersih dapat dilakukan rutin dua
kali sehari selama 10 menit pagi dan sore selama 1 – 2 minggu, karena air
hangat dapat merelaksasi sfingter dan spasme.
 Makan makanan yang berserat (25-30 gram sehari), dan menghindari
obat- obatan yang dapat menyebabkan konstipasi.
 Mengkonsumsi cairan (6-8 gelas sehari)

 Medikamentosa
Konsul dr. Hazairin, SpB
 IVFD RL gtt xx/tpm
 Inj. Ceftriaxon 2x1 gr iv
 Inj. Asam Traneksamat 500 mg 2x1
 Amlodipine 1x10 mg
 Swab ag, cek lab DL, bss, ur, cr, ct, bt,
 pro Hemoroidektomi

11
3 FOLLOW UP

Tanggal Follow-Up
06/10/2021 S: pasien merasa nyeri dan masih BAB darah
O: Keadaan umum sakit sedang
Kesadaran compos mentis E4V5M6
Tekanan darah 128/90 mmHg
Nadi 87 x/menit
Laju nafas 20 x/menit
Suhu 36.5 0C

Mata: konjungtiva anemis (-/-)


Pulmo: suara vesikuler (+/+), rh(-/-), wheezing (-/-)
Cor: S1 S2 reguler gallop (-) murmur (-)
Abdomen: supel, BU (+)
Ekstremitas: akral hangat , CRT <3”

A:
 Hemoroid interna gr IV
 Ht gr II

P:
 Diet serat
 Rendam larutann PK pagi dan sore
 As tranexamat 3x500mg jika masih BAB darah
 Amlodipine 1x10mg

12
09/10/2021 S: pasien merasa benjolan mengecil, nyeri
minimal (+)
O: Keadaan umum sakit sedang
Kesadaran compos mentis E4V5M6
Tekanan darah 120/70 mmHg
Nadi 87 x/menit
Laju nafas 20 x/menit
Suhu 36.5 0C

Mata: konjungtiva anemis (-/-)


Pulmo: suara vesikuler (+/+), rh(-/-), wheezing (-/-)
Cor: S1 S2 reguler gallop (-) murmur (-)
Abdomen: supel, BU (+)
Ekstremitas: akral hangat , CRT <3”

A:
 Hemoroid interna grade IV
 Hipertensi terkontrol

P:
 post hemoroidektomi hari ini
 Tirah baring 12 jam
 Terpasang tampon
 Terpasang kateter foley
 Awasi KU
 Boleh makan dan minum jika sadar penuh
 Inj., ketorolac 3x1 IV
 Inj. Ceftriaxone 2x1 IV
 Inj. Pantoprazole 2x1 iv

13
11/10/2021 S: pasien merasa nyeri pada bekas luka, bab
darah (-)
O: Keadaan umum sakit sedang
Kesadaran compos mentis E4V5M6
Tekanan darah 126/80 mmHg
Nadi 93 x/menit
Laju nafas 20 x/menit
Suhu 36.6 0C

Mata: konjungtiva anemis (-/-)


Pulmo: suara vesikuler (+/+), rh(-/-), wheezing (-/-)
Cor: S1 S2 reguler gallop (-) murmur (-)
Abdomen: supel, BU (+)
Ekstremitas: akral hangat , CRT <3”

A:
 Hemoroid interna gr IV post hemoroidektomi
 Hipertensi gr II terkontrol

P:
 Tampon up
 Cateter up
 Ciprofloxacin 2x1 po
 Amlodipine 1x10mg po
 Vit b komp 1x1

14
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Hemoroid adalah pelebaran vena di dalam pleksus hemoroidales yang tidak
merupakan keadaan patologis, hanya apabila menimbulkan keluhan atau penyulit
diperlukan tindakan. Hemoroid adalah dilatasi varikosus vena dari plexus
hemorrhoidal inferior dan superior .
Hemoroid dibedakan menjadi dua, interna dan eksterna. Hemoroid interna
adalah pleksus vena hemoroidales superior diatas garis mukokutan dan ditutupi oleh
mukosa. Sering terdapat pada tiga posisi primer, yaitu kanan depan, kanan belakang,
dan kiri lateral, sedangkan hemoroid yang lebih kecil terdapat diantara ketiga letak
primer tersebut. Hemoroid eksterna merupakan pelebaran dan penonjolan pleksus
hemoroid inferior yang terdapat di bagian distal garis mukokutan di dalam jaringan
dibawah epitel anus .

1.1 Epidemiologi
Sekitar 75% orang mengalami penyakit hemoroid setidaknya sekali seumur
hidupnya, hemoroid banyak terjadi pada dewasa berusia 45 – 60 tahun, dan juga
sering terjadi pada wanita hamil .

1.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Penyebab pasti timbulnya hemoroid masih belum pasti, hanya saja ada
beberapa faktor pendukung terjadinya hemoroid, yaitu :
1. Anatomik : vena daerah anorektal tidak mempunyai katup dan pleksus
hemoroidalis kurang mendapat sokongan dari otot dan fascia sekitarnya.
2. Umur : pada umur tua terjadi degenerasi dari seluruh jaringan tubuh,
juga otot sfingter menjadi tipis dan atonis.
3. Keturunan : dinding pembuluh darah lemah dan tipis.

15
4. Pekerjaan : orang yang harus berdiri , duduk lama, atau harus
mengangkat barang berat mempunyai predisposisi untuk hemoroid.
5. Mekanis : semua keadaan yang menyebabkan meningkatnya tekanan
intra abdomen, misalnya penderita hipertrofi prostat, konstipasi
menahun dan sering mengejan pada waktu defekasi.
6. Endokrin : pada wanita hamil ada dilatasi vena ekstremitas dan anus oleh
karena ada sekresi hormone relaksin.
7. Fisiologi : bendungan pada peredaran darah portal, misalnya pada
penderita sirosis hepatis.

1.3 Klasifikasi
Diagnosa hemorrhoid dapat ditegakkan salah satunya dengan anoskopi.
Anoskopi adalah pemeriksaan pada anus dan rektum dengan menggunakan sebuah
spekulum. Pemeriksaan ini dapat menentukan letak dari hemorrhoid tersebut.
Secara anoskopi, berdasarkan letaknya hemorrhoid terbagi atas :
a. Hemorrhoid eksterna
Merupakan pelebaran dan penonjolan vena hemorrhoidalis inferior yang
timbul di sebelah luar musculus sphincter ani.
b. Hemorrhoid interna
Merupakan pelebaran dan penonjolan vena hemorrhoidalis superior dan
media yang timbul di sebelah proksimal dari musculus sphincter ani.
Kedua jenis hemorrhoid ini sangat sering dijumpai dan terjadi pada sekitar
35% penduduk yang berusia di atas 25 tahun.
Hemorrhoid eksterna diklasifikasikan sebagai bentuk akut dan kronis.
Bentuk akut dapat berupa pembengkakan bulat kebiruan pada pinggir anus yang
merupakan suatu hematoma. Bentuk ini sering terasa sangat nyeri dan gatal karena
ujung-ujung saraf pada kulit merupakan reseptor nyeri. Hemorrhoid eksterna kronis
atau skin tag biasanya merupakan sequele dari hematoma akut.

16
Hemorrhoid interna dan hemorrhoid externa

Hemoroid interna dikelompokkan ke dalam 4 derajat, yakni:


a. Derajat I : bila terjadi pembesaran hemorrhoid yang tidak prolaps ke luar
kanalis analis yang hanya dapat dilihat dengan anorektoskop.
b. Derajat II : pembesaran hemorrhoid yang prolaps dan menghilang atau
dapat masuk kembali ke dalam anus secara spontan.
c. Derajat III : pembesaran hemorrhoid yang prolaps dimana harus dibantu
dengan dorongan jari untuk memasukkannya kembali ke dalam anus.
d. Derajat IV : prolaps hemorrhoid yang yang permanen. Prolaps ini rentan
dan cenderung mengalami trombosis dan infark.

1.4 Gejala Klinis


Gejala klinis hemoroid dapat dibagi berdasarkan jenis hemoroid, yaitu :
1. Hemoroid Interna
Gejala yang biasa adalah protrusio, pendarahan, nyeri tumpul dan
pruritus. Trombosis atau prolapsus akut yang disertai edema atau ulserasi luar
biasa nyerinya. Hemoroid interna bersifat asimtomatik, kecuali bila prolaps dan
menjadi stangulata. Tanda satu-satunya yang disebabkan oleh hemoroid interna
adalah pendarahan darah segar tanpa nyeri per rektum

17
selama atau setelah defekasi. Gejala yang muncul pada hemoroid interna dapat
berupa:
 Perdarahan
Merupakan gejala yang paling sering muncul dan biasanya merupakan awal
dari penyakit ini. Perdarahan berupa darah segar dan biasanya tampak
setelah defekasi apalagi jika fesesnya keras. Selanjutnya perdarahan dapat
berlangsung lebih hebat, hal ini disebabkan karena prolaps bantalan
pembuluh darah dan mengalami kongesti oleh sphincter ani.
 Prolaps
Dapat dilihat adanya tonjolan keluar dari anus. Tonjolan ini dapat masuk
kembali secara spontan ataupun harus dimasukan kembali oleh tangan.
 Nyeri dan rasa tidak nyaman
Nyeri biasanya ditimbulkan oleh komplikasi yang terjadi (seperti fisura,
abses dll) hemoroid interna sendiri biasanya sedikit saja yang menimbulkan
nyeri. Kondisi ini dapat pula terjadi karena terjepitnya tonjolan hemoroid
yang terjepit oleh sphincter ani (strangulasi).
 Keluarnya Sekret
Walaupun tidak selalu disertai keluarnya darah, sekret yang menjadi lembab
sehingga rawan untuk terjadinya infeksi ditimbulkan akan menganggu
kenyamanan penderita dan menjadikan suasana di daerah anus.
2. Hemoroid Eksterna
 Rasa terbakar
 Nyeri, jika terjadi thrombosis yang luas dengan udem dan radang.
 Gatal atau pruritus anus.

18
1.5 Patogenesis

19
1.6 Diagnosis Banding
Diagnosa banding untuk hemoroid dapat bermacam, tabel dibawah ini
akan membaginya berdasarkan gejala klinis yang dapat muncul.
Jenis Nyeri Perdarahan Massa Lainnya
Penyakit
Fisura Anal + + - Terdapat skin tag
atau umbai kulit
(radang
Kronik dengan
bendungan limfe dan
fibrosis pada kulit)
Karsinoma - + + Pembengkakan KGB
Anal sekitar
Abses + - - Demam,
Anorektal leukositosis,
penderita tidak dapat
duduk di sisi bokong
Hematom + + + Sering terjadi pada
Perianal orang yang
Ulseratif mengangkat barang
berat, leukositosis.
Prolaps Polip - + + Adanya gejala mual,
Kolorektal muntah,dan
konstipasi
yang parah (jika
ukurannya besar)
Karsinoma - + + Karsinoma rektum
rektum

20
1.7 Diagnosis
Diagnosis hemoroid ditegakkan melalui anamnesa, pemeriksaan fisik,
dan pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesa
Pada anamnesa biasanya didapatkan pasien mengeluhkan adanya darah
segar pada saat buang air besar, darah yang keluar bisa menetes dan bisa juga
keluar terus menerus dan tidak bercampur dengan feses. Selain itu pasien juga
akan mengeluhkan adanya gatal-gatal pada daerah anus. Serta keluhan adanya
massa pada anus dan membuatnya merasa tidak nyaman, biasanya pada
hemoroid interna derajat II dan hemoroid eksterna. Pasien juga akan
mengeluhkan nyeri pada hemoroid interna derajat IV dan hemoroid eksterna.
Perdarahan yang disertai nyeri mengindikasikan hemoroid eksterna
yang sudah mengalami trombosis. Biasanya hemoroid interna mulai
menimbulkan gejala setelah terjadi prolapsus, sehingga mengakibatkan
perdarahan, ulserasi, atau trombosis. Hemoroid eksterna juga bisa terjadi tanpa
gejala atau dapat ditandai dengan nyeri akut, rasa tak nyaman, atau perdarahan
akibat ulserasi dan thrombosis.

2. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan adanya pembengkakan vena
yang mengindikasikan hemoroid eksterna atau hemoroid interna yang sudah
mengalami prolaps, biasanya jika berupa prolapsnya hemoroid interna akan
terlihat adanya mukus yang keluar saat pasien disuruh untuk mengedan. Jika
pasien mengeluhkan perdarahan kemungkinan bisa menyebabkan anemia
sekunder yang dapat dilihat dari konjungtiva palpebra pasien yang sedikit
anemis, tapi hal ini mungkin terjadi. Daerah perianal juga diinspeksi untuk
melihat ada atau tidaknya fisura, fistula, polip atau tumor. Pada rectal toucher
juga dinilai ukuran, perdarahan dan tingkat keparahan inflamasi. Biasanya agak
susah meraba hemoroid interna karena tekanan vena yang tidak tinggi dan
biasanya tidak nyeri. Rectal toucher juga dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan karsinoma rektum.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan dapat berupa pemeriksaan
laboratorium untuk mendeteksi apakah terjadi anemia pada pasien dan
21
pemeriksaan anoskopi serta sigmoideskopi. Anoskopi dilakukan untuk menilai
mukosa rektal dan mengevaluasi tingkat pembesaran hemoroid. Hasil anoskopi
hemoroid interna yang tidak mengalami prolaps biasanya terlihat gambaran
vascular yang menonjol keluar, dan apabila pasien diminta mengejan akan
terlihat gambaran yang lebih jelas. Sedangkan dengan menggunakan
sigmoideskopi dapat mengevaluasi kondisi lain sebagai diagnose banding untuk
perdarahan rektal dan rasa tak nyaman seperti pada fisura anal dan fistula,
colitis, polip rectal, dan kanker.

1.8 Penatalaksanaan
1. Terapi Non Farmakologi
Dapat diberikan pada semua kasus hemoroid terutama hemoroid interna
derajat 1, disebut juga terapi konservatif, diantaranya adalah :
 Koreksi konstipasi dengan meningkatkan konsumsi serat (25-30 gram
sehari), dan menghindari obat-obatan yang dapat menyebabkan konstipasi.
 Meningkatkan konsumsi cairan (6-8 gelas sehari)
 Menghindari mengejan saat buang air besar, dan segera ke kamar
mandi saat merasa akan buang air besar, jangan ditahan karena akan
memperkeras feses.
 Rendam duduk dengan air hangat yang bersih dapat dilakukan rutin dua
kali sehari selama 10 menit pagi dan sore selama 1 – 2 minggu, karena air
hangat dapat merelaksasi sfingter dan spasme.
 Tirah baring untuk membantu mempercepat berkurangnya pembengkakan.

2. Terapi Farmakologi
 Salep anastetik lokal
 Kortikosteroid
 Laksatif
 Analgesik

22
 Suplemen flavonoid, membantu mengurangi tonus vena dan
mengurangi hiperpermeabilitas serta efek antiinflamasi (Acheson dan
Schirfield, 2008)

3. Terapi Pembedahan
Hemorrhoid Institute of South Texas (HIST) menetapkan indikasi
tatalaksana pembedahan hemoroid antara lain :

 Hemoroid interna derajat II berulang


 Hemoroid derajat III dan IV dengan gejala
 Mukosa rektum menonjol keluar anus
 Hemoroid interna derajat I dan II dengan penyakit penyerta seperti fisura
 Kegagalan penatalaksanaan konservatif
 Permintaan pasien

Adapun jenis pembedahan yang sering dilakukan yaitu :


 Skleroterapi
Teknik ini dilakukan dengan menginjeksikan 5 % fenol dalam minyak
nabati yang tujuannya untuk merangsang. Lokasi injeksi adalah submukosa
hemoroid. Efek dari injeksi adalah edema, reaksi inflamasi dengan proliferasi
fibroblast dan thrombosis intravascular. Reaksi ini akan menyebabkan fibrosis
pada submukosa hemoroid sehingga akan mencegah atau mengurangi prolapsus
jaringan hemoroid. Terapi ini disertai anjuran makanan tinggi serat dapat efektif
untuk hemoroid interna derajat I dan II. Menurut Acheson dan Scholfield pada
tahun 2009, teknik ini murah dan mudah dilakukan, tetapi jarang dilaksanakan
karena tingkat kegagalan yang tinggi.
 Ligasi dengan gelang karet (Rubber band ligation)
Biasanya teknik ini dilakukan untuk hemoroid yang besar atau yang
mengalami prolaps. Dengan bantuan anuskop, mukosa diatas hemoroid yang
menonjol dijepit dan ditarik atau dihisap kedalam tabung ligator khusus. Efek
dari teknik ini adalah nekrosis iskemia, ulserasi, dan scarring yang akan
menghasilkan

23
fiksasi jaringan ikat ke dinding rektum. Komplikasi nya dapat terjadi perdarahan
setelah 7-10 hari dan nyeri.
 Bedah beku
Teknik bedah beku dilakukan dengan pendinginan hemoroid pada suhu
yang sangat rendah. Teknik ini tidak dipakai secara luas karena mukosa yg
nekrosis sukar ditentukan luasnya. Teknik ini lebih cocok untuk terapi paliatif
pada karsinoma rektum yang inoperable.
 Hemoroidektomi
Teknik dipakai untuk hemoroid derajat III atau IV dengan keluhan
menahun, juga untuk penderita denga perdarahan berulang dan anemia yang tidak
sembuh dengan terapi lain yang lebih sederhana. Prinsipnya adalah eksisi hanya
dilakukan pada jaringan yang benar-benar berlebihan, dan pada anoderm serta
kulit yang normal dengan tidak mengganggu sfingter anus. Selama pembedahan
sfingter anus biasanya dilatasi dan hemoroid diangkat dengan klem atau diligasi
dan kemudian dieksisi.
 Tindak bedah lain
Infrared thermocoagulation
Bipolar diathermy
Laser haemorrhoidectomy
Doppler ultrasound guided haemorrhoid artery ligation
Cryotherapy
o Stappled hemorrhoidopexy

24
BAB IV

ANALISIS KASUS

Pasien seorang laki-laki usia 62 tahun mengeluh terdapat benjolan yang keluar
dari anus yang semakin membesar dan nyeri sejak ± 2 hari yang lalu. Berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik, pasien ini didiagnosis menderita hemoroid interna
grade IV.
Pada anamnesis didapatkan adanya keluhan adanya benjolan yang tidak dapat
dimasukan kembali kedalam anus, terasa nyeri, gatal, dan pasien mengeluh tidak bisa
duduk karena adanya benjolan. Saat buang air besar biasanya di sertai dengan darah segar,
menetes saat feses keluar, darah tidak bercampur dengan feses. Ini sesuai dengan referensi
Derajat IV : Prolaps hemorrhoid yang permanen. Prolaps ini rentan dan cenderung
mengalami trombosis dan infark kemudian adanya darah yang keluar saat feses keluar
merupakan gejala yang paling sering muncul dan biasanya merupakan awal dari penyakit
ini. Perdarahan berupa darah segar dan biasanya tampak setelah defekasi apalagi jika
fesesnya keras. Selanjutnya perdarahan dapat berlangsung lebih hebat, hal ini disebabkan
karena prolaps bantalan pembuluh darah dan mengalami kongesti oleh sphincter ani.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan Perianal terlihat tonjolan massa prolaps dari
anus, terdapat bagian yang hiperemis, padat kenyal, nyeri saat d sentuh, ukuran
± 4x6 cm. Rectal Toucher : Tidak dilakukan.
Usulan pemeriksaan untuk pasien ini adalah Rectal toucher juga bertujuan untuk
menyingkirkan kemungkinan karsinoma rektum. proktosigmoideskopi yang dikerjakan
untuk memastikan bahwa keluhan bukan disebabkan oleh proses radang atau proses
keganasan di tingkat yang lebih tinggi karena hemoroid merupakan keadaan fisiologik
saja atau tanda yang menyertai. Kadang perdarahan hemoroid yang berulang dapat
menyebabkan timbulnya anemia sehingga pemeriksaan laboratorium darah juga
diperlukan.
Terapi hemroid interna yang simtomatik harus ditetapkan secara perorangan.
Hemoroid adalah normal oleh karenanya tujuan terapi bukan untuk menghilangkan
pleksus hemoroidal, tetapi untuk menghilangkan keluhan.

25
Kebanyaka pasien hemoroid derajat I dan II dapat ditolong dengan tindakan lokal
yang sederhana disertai nasehat tentang makan. Makanan sebainya terdiri atas makanan
berserat tinggi. Makanan ini membuat gumpalan isi usus besar, namun lunak sehingga
mempermudah defekasi dan mengurangi keharusan mengedan secara berlebihan.
Supositoria dan salep anus diketahui tidak mempunyai efek yang bermakna kecuali efek
anastetik dan astringen. Hemoroid interna yang mengalami prolap karena udem
umumnya dapat dimasukkan kembali secara perlahan disusul dengan istirahat baring dan
kompres lokal untuk mengurangi pembengkakan. Rendam duduk dengan cairan hangat
juga dapat mengurangi nyeri. Apabila ada penyakit radang usus besar yang
mendasarinya, misalnya penyaki Chron, terapi medik harus diberikan apabila hemoroid
menjadi simtomatik.
Terapi bedah dipilih untuk penderita yang mengalami keluhan menahun dan pada
penderita hemoroid grade III atau IV. Terapi bedah juga dapat dilakukan pada penderita
dengan perdarahan berulang dan anemia yang tidak sembuh dengan cara terapi lainnya
yang lebih sederhana. Pada kasus ini pasien didiagnosis menderita hemoroid interna grade
IV sehingga terapi yang dipilih adalah terapi operatif, hemoroidektomi. Prinsip yang
harus diperhatikan pada hemoroidektomi adalah eksisi hanya dilakukan pada jaringan
yang benar-benar berlebihan. Eksisi sehemat mungkin dilakukan pada anoderm dan kulit
yang normal dengan tidak mengganggu sfingter anus. Hemoroidektomi pada umumnya
memberikan hasil yang baik. Sesudah terapi penderita harus diajari untuk menghindari
obstipasi dengan makan makanan serat agar dapat mencegah timbulnya kembali gejala
hemoroid.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Silvia A.P, Lorraine M.W, Hemoroid, 2005. Dalam: Konsep – konsep Klinis
Proses Penyakit, Edisi VI, Patofisiologi Vol.1. Jakarta, Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Hal: 467
2. Susan Galandiuk, MD, Louisville, KY, A Systematic Review of Stapled
Hemorrhoidectomy – Invited Critique, Jama and Archives, Vol. 137 No. 12,
December, 2002, http://archsurg.ama.org/egi/content/extract. last update
Desember 2009.
3. Anonim, 2004, Hemorhoid, http://www.hemorjoid.net/hemoroid galery.html.
Last update Desember 2009.
4. Sjamsuhidajat, Wim de Jong. Hemoroid, 2004 Dalam: Buku Ajar Ilmu
Bedah, Ed.2, Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hal: 672 – 675
5. Werner Kahle ( Helmut Leonhardt,werner platzer ), dr Marjadi
Hardjasudarma ( alih bahasa ), 1998, Berwarna dan teks anatomi Manusia
Alat – Alat Dalam,Hal: 232
6. Mansjur A dkk ( editor ), 1999, Kapita selekta Kedokteran, Jilid II, Edisi III,
FK UI, Jakarta,pemeriksaan penunjang: 321 – 324.
7. Linchan W.M,1994,Sabiston Buku Ajar Bedah Jilid II,EGC, Jakarta,hal 56 – 59
8. Brown, John Stuart, Buku Ajar dan Atlas Bedah Minor, alih Bahasa, Devi H,
Ronardy, Melfiawati

27
Portofolio
PORTOFOLIO PEDIATRIK
“Kejang Demam Kompleks”

Disusun oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan

Pendamping:
dr. Fitri Isneni

Wahana:
RS Siti Aisyah Lubuklinggau

KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM
KESEHATAN BADAN PPSDM KESEHATAN

2021
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pendahuluan
Kejang demam merupakan penyakit kejang yang paling sering dijumpai di bidang
neurologi khususnya anak. Kejang selalu merupakan peristiwa yang menakutkan bagi
orang tua, sehingga bagi dokter kita wajib mengatasi kejang demam dengan tepat dan
cepat. Kejang demam pada umumnya dianggap tidak berbahaya dan sering tidak
menimbulkan gejala sisa; akan tetapi bila kejang berlangsung lama sehingga
menimbulkan hipoksia pada jaringan Susunan Saraf Pusat (SSP), dapat menyebabkan
adanya gejala sisa di kemudian hari.
Frekuensi dan lamanya kejang sangat penting untuk diagnosa serta tata laksana
kejang, ditanyakan kapan kejang terjadi, apakah kejang itu baru pertama kali terjadi atau
sudah pernah sebelumnya, bila sudah pernah berapa kali dan waktu anak berumur berapa .
Sifat kejang perlu ditanyakan, apakah kejang bersifat klonik, tonik, umum atau fokal.
Ditanya pula lama serangan, kesadaran pada waktu kejang dan pasca kejang. Gejala lain
yang menyertai diteliti, termasuk demam, muntah, lumpuh, penurunan kesadaran atau
kemunduran kepandaian. Pada neonatus perlu diteliti riwayat kehamilan ibu serta
kelahiran bayi.1
Kejang demam jarang terjadi pada epilepsi, dan kejang demam ini secara spontan
sembuh tanpa terapi tertentu. Kejang demam ini merupakan gangguan kejang yang paling
lazim pada masa anak, dengan pragnosa baik secara seragam. 2 Jumlah penderita kejang
demam diperkirakan mencapai 2 – 4% dari jumlah penduduk di AS, Amerika Selatan, dan
Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% di antara
jumlah penderita mengalami kejang demam kompleks yang harus ditangani secara lebih
teliti. Bila dilihat jenis kelamin penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang
anak laki-laki.3

1
1.2 Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan laporan kasus ini adalah:
1. Memahami mengenai kejang demam kompleks
2. Meningkatkan kemampuan menulis ilmiah di dalam bidang kedokteran
khususnya bagian ilmu kesehatan anak.
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Islam Malang dan RSUD
Kanjuruhan Kepanjen.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kejang demam merupakan kelainan neurologis akut yang paling sering dijumpai
pada anak yang terjadi pada suhu badan yang tinggi yang disebabkan oleh kelainan
ekstrakranial.3 Derajat tinggi suhu yang dianggap cukup untuk diagnosa kejang demam
adalah 38 derajat celcius di atas suhu rektal atau lebih. Anak yang pernah mengalami
kejang tanpa demam, kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang
demam. Kejang demam harus dibedakan dengan epilepsi, yaitu yang ditandai dengan
kejang berulang tanpa demam. Anak yang pernah mengalami kejang tanpa demam
kemudian kejang demam kembali tidak termasuk dalam kejang demam. 4

2.2 Epidemiologi3,5
Insiden terjadinya kejang demam terutama pada golongan anak umur 6 bulan
sampai 4 tahun. Hampir 3 % dari anak yang berumur di bawah 5 tahun pernah menderita
kejang demam. Kejang demam lebih sering didapatkan pada laki-laki daripada
perempuan. Hal tersebut disebabkan karena pada wanita didapatkan maturasi serebral
yang lebih cepat dibandingkan laki-laki.
Berdasarkan laporan dari daftar diagnosa dari lab./SMF Ilmu Kesehatan Anak
RSUD Dr. Soetomo Surabaya didapatkan data adanya peningkatan insiden kejang
demam. Pada tahun 1999 ditemukan pasien kejang demam sebanyak 83 orang dan tidak
didapatkan angka kematian (0 %). Pada tahun 2000 ditemukan pasien kejang demam 132
orang dan tidak didapatkan angka kematian (0 %). Dari data di atas menunjukkan adanya
peningkatan insiden kejadian sebesar 37%.
Jumlah penderita kejang demam diperkirakan mencapai 2 – 4% dari jumlah
penduduk di AS, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia dilaporkan
penderitanya lebih tinggi. Sekitar 20% di antara jumlah penderita mengalami kejang
demam kompleks yang harus ditangani secara lebih teliti. Bila dilihat jenis kelamin
penderita, kejang demam sedikit lebih banyak menyerang anak laki-laki.

3
2.3 Etiologi
Etiologi dan pathogenesis kejang demam sampai saat ini belum diketahui, akan
tetapi umur anak, tinggi dan cepatnya suhu meningkat mempengaruhi terjadinya kejang.
Faktor hereditas juga mempunyai peran yaitu 8-22% anak yang mengalami kejang
demam mempunyai orang tua dengan riwayat kejang demam pasa masa kecilnya. 3
Semua jenis infeksi bersumber di luar susunan saraf pusat yang menimbulkan
demam dapat menyebabkan kejang demam. Penyakit yang paling sering menimbulkan
kejang demam adalah infeksi saluran pernafasan atas terutama tonsillitis dan faringitis,
otitis media akut(cairan telinga yang tidak segera dibersihkan akan merembes ke saraf di
kepala pada otak akan menyebabkan kejang demam), gastroenteritis akut, exantema
subitum dan infeksi saluran kemih. Selain itu, imunisasi DPT (pertusis) dan campak
(morbili) juga dapat menyebabkan kejang demam.6

2.4 Patofisiologi7
Sumber energi otak adalah glukosa yang melalui proses oksidasi dipecah menjadi
CO2 dan air. Sel dikelilingi oleh membran yang terdiri dari permukaan dalam yaitu lipoid
dan permukaan luar yaitu ionik. Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dilalui
dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion natrium (Na +) dan
elektrolit lainnya, kecuali ion klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam sel
neuron tinggi dan konsentrasi Na+ rendah, sedang di luar sel neuron terdapat keadaan
sebalikya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar sel, maka
terdapat perbedaan potensial membran yang disebut potensial membran dari neuron.
Untuk menjaga keseimbangan potensial membran diperlukan energi dan bantuan enzim
Na-K ATP- ase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran ini dapat diubah oleh :
 Perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraselular
 Rangsangan yang datang mendadak misalnya mekanisme, kimiawi atau
aliran listrik dari sekitarnya

4
 Perubahan patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau
keturunan
Pada keadaan demam kenaikan suhu 1oC akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15 % dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada anak 3
tahun sirkulasi otak mencapai 65 % dari seluruh tubuh dibandingkan dengan orang dewasa
yang hanya 15 %. Oleh karena itu kenaikan suhu tubuh dapat mengubah keseimbangan
dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat terjadi difusi dari ion kalium
maupun ion natrium akibat terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini
demikian besarnya sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel
sekitarnya dengan bantuan “neurotransmitter” dan terjadi kejang. Kejang demam yang
berlangsung lama (lebih dari 15 menit) biasanya disertai apnea, meningkatnya kebutuhan
oksigen dan energi untuk kontraksi otot skelet yang akhirnya terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, asidosis laktat disebabkan oleh metabolisme anerobik, hipotensi artenal
disertai denyut jantung yang tidak teratur dan suhu tubuh meningkat yang disebabkan
makin meningkatnya aktifitas otot dan mengakibatkan metabolisme otak meningkat.

2.5 Klasifikasi

Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, membagi kejang demam menjadi dua 4

1. Kejang demam sederhana (harus memenuhi semua kriteria berikut)

- Berlangsung singkat
- Umumnya serangan berhenti sendiri dalam waktu < 15 menit
- Bangkitan kejang tonik, tonik-klonik tanpa gerakan fokal
- Tidak berulang dalam waktu 24 jam

2. Kejang demam kompleks (hanya dengan salah satu kriteria berikut)

- Kejang berlangsung lama, lebih dari 15 menit


- Kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului dengan
kejang parsial

5
- Kejang berulang 2 kali atau lebih dalam 24 jam, anak sadar kembali di
antara bangkitan kejang.

2.6 Manifestasi Klinis8

Terjadinya bangkitan kejang pada bayi dan anak kebanyakan bersamaan dengan
kenaikan suhu badan yang tinggi dan cepat yang disebabkan oleh infeksi di luar susunan
saraf pusat, otitis media akuta, bronkitis, furunkulosis dan lain-lain. Serangan kejang
biasanya terjadi dalam 24 jam pertama sewaktu demam, berlangsung singkat dengan sifat
bangkitan dapat berbentuk tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau akinetik. Umumnya
kejang berhenti sendiri. Namun anak akan terbangun dan sadar kembali setelah beberapa
detik atau menit tanpa adanya kelainan neurologik.

Gejala yang timbul saat anak mengalami kejang demam antara lain : anak
mengalami demam (terutama demam tinggi atau kenaikan suhu tubuh yang terjadi secara
tiba-tiba), kejang tonik-klonik atau grand mal, pingsan yang berlangsung selama 30 detik-
5 menit (hampir selalu terjadi pada anak-anak yang mengalami kejang demam). Kejang
dapat dimulai dengan kontraksi yang tiba-tiba pada otot kedua sisi tubuh anak. Kontraksi
pada umumnya terjadi pada otot wajah, badan, tangan dan kaki. Anak dapat menangis
atau merintih akibat kekuatan kontaksi otot. Anak akan jatuh apabila dalam keadaan
berdiri.

Postur tonik (kontraksi dan kekakuan otot menyeluruh yang biasanya berlangsung
selama 10-20 detik), gerakan klonik (kontraksi dan relaksasi otot yang kuat dan berirama,
biasanya berlangsung selama 1-2 menit), lidah atau pipinya tergigit, gigi atau rahangnya
terkatup rapat, inkontinensia (mengeluarkan air kemih atau tinja diluar kesadarannya),
gangguan pernafasan, apneu (henti nafas), dan kulitnya kebiruan.

Saat kejang, anak akan mengalami berbagai macam gejala seperti :


1. Anak hilang kesadaran
2. Tangan dan kaki kaku atau tersentak-sentak

6
3. Sulit bernapas
4. Busa di mulut
5. Wajah dan kulit menjadi pucat atau kebiruan
6. Mata berputar-putar, sehingga hanya putih mata yang terlihat.

2.7 Diagnosis6,9,10
Diagnosis kejang demam dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyakit-
penyakit lain yang dapat menyebabkan kejang, di antaranya: infeksi susunan saraf pusat,
perubahan akut pada keseimbangan homeostasis, air dan elektrolit dan adanya lesi
structural pada system saraf, misalnya epilepsi. Diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang menyeluruh untuk
menegakkan diagnosis ini.
1. Anamnesis
- waktu terjadi kejang, durasi, frekuensi, interval antara 2 serangan
kejang
- sifat kejang (fokal atau umum)
- Bentuk kejang (tonik, klonik, tonik-klonik)
- Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
- Riwayat demam ( sejak kapan, timbul mendadak atau perlahan,
menetap atau naik turun)
- Menentukan penyakit yang mendasari terjadinya demam (ISPA,
OMA, GE)
- Riwayat kejang sebelumnya (kejang disertai demam maupun tidak
disertai demam atau epilepsi)
- Riwayat gangguan neurologis (menyingkirkan diagnosis epilepsi)
- Riwayat keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan
- Trauma kepala

7
2. Pemeriksaan fisik
- Tanda vital terutama suhu
- Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan
adanya kelainan struktur otak.
- Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan
hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi
pupil terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid
mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
- Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala
berlebihan yang disebabkan oleh trauma. Ubun –ubun besar yang
tegang dan membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan
intrakranial yang dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid
atau subdural. Pada bayi yang lahir dengan kesadaran menurun,
perlu dicari luka atau bekas tusukan janin dikepala atau fontanel
enterior yang disebabkan karena kesalahan penyuntikan obat
anestesi pada ibu.
- Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan
kraniofasial yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex
serebri.
- Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh
penimbunan cairan subdural atau kelainan bawaan seperti
parensefali atau hidrosefalus.
- Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya
demam (ISPA, OMA, GE)
- Pemeriksaan refleks patologis
- Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)

8
3. Pemeriksaan laboratorium
- Darah tepi lengkap
- Elektrolit, glukosa darah. Diare, muntah, hal lain yang dapat
mengganggu keseimbangan elektrolit atau gula darah.
- Pemeriksaan fungsi hati dan ginjal untuk mendeteksi gangguan
metabolisme
- Kadar TNF alfa, IL-1 alfa & IL-6 pada CSS, jika meningkat dapat
dicurigai Ensefalitis akut / Ensefalopati.

4. Pemeriksaan penunjang
- Lumbal Pungsi jika dicurigai adanya meningitis, umur kurang dari
12 bulan sangat dianjurkan, dan umur di antara 12-18 bulan dianjurkan.
- EEG, tidak dapat mengidentifikasi kelainan yang spesifik maupun
memprediksi terjadinya kejang yang berulang, tapi dapat
dipertimbangkan pada KDK. Tetapi beberapa ahli berpendapat EEG
tidak sensitif pada anak < 3 tahun.
- CT-scan atau MRI hanya dilakukan jika ada indikasi, misalnya:
kelainan neurologi fokal yang menetap (hemiparesis) atau terdapat
tanda peningkatan tekanan intrakranial.

2.8 Diagnosis Banding3

Menghadapi seorang anak yang menderita demam dengan kejang, harus


dipikirkan apakah penyebab kejang itu di dalam atau diluar susunan saraf pusat. Kelainan
di dalam otak biasanya karena infeksi, misalnya meningitis, ensefalitis, abses otak, dan
lain-lain.oleh sebab itu perlu waspada untuk menyingkirkan dahulu apakah ada kelainan
organis di otak.

Menegakkan diagnosa meningitis tidak selalu mudah terutama pada bayi dan
anak yang masih muda. Pada kelompok ini gejala meningitis sering tidak khas dan
gangguan neurologisnya kurang nyata. Oleh karena itu agar tidak terjadi

9
kekhilafan yang berakibat fatal dapat dilakukan pemeriksaan cairan serebrospinal yang
umumnya diambil melalui pungsi lumbal.

Baru setelah itu dipikirkan apakah kejang demam ini tergolong dalam
kejang demam atau epilepsi yang dprovokasi oleh demam.

Tabel Diagnosa Banding

No Kriteri Banding Kejang Epilepsi Meningitis


Demam Ensefalitis

1. Kejang Pencetusnya Tidak berkaitan Salah satu gejalanya


demam dengan demam demam
2. Kelainan Otak (-) (+) (+)
3. Kejang berulang (+) (+) (+)
4. Penurunan kesadaran (+) (-) (+)

2.9 Penatalaksanaan4,10

Dalam penanggulangan kejang demam ada 4 faktor yang perlu dikerjakan, yaitu :

1. Mengatasi kejang secepat mungkin

Biasanya kejang demam berlangsung singkat dan pada waktu datang, kejang sudah
berhenti. Apabila pasien dating dalam keadaan kejang, obat paling cepat untuk
menghentikan kejang adalah diazepam yang diberikan secara intravena dengan dosis 0,3-
0,5 mm/kgBB perlahan-lahan dengan kecepatan 1-2mg.menit atau dalam waktu 3-5 menit.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orang tua di rumah atau yang sering
digunakan di rumah sakit adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75
mg/kgBB atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 10 kg,
dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 10kg. atau diazepam rektal dengan dosis 5 mg
untuk anak di bawah usia 3 tahun atau 7,5 mg mg untuk anak diatas usia 3 tahun.

10
Jika kejang masih berlanjut :

1. Pemberian diazepam 0,2 mg/kgBB per infus diulangi. Jika belum terpasang
selang infus, 0,5 mg/kg per rektal
2. Pengawasan tanda-tanda depresi pernapasan

Jika kejang masih berlanjut :

1. Pemberian fenobarbital 20-30 mg/kgBB per infus dalam 30 menit


2. Pemberian fenitoin 10-20mg/kgBB per infus dalam 30 menit dengan
kecepatan 1 mg/kgBB/menit atau kurang dari 50mg/menit.

Jika kejang masih berlanjut, diperlukan penanganan lebih lanjut di ruang


perawatan intensif dengan thiopentone dan alat bantu pernapasan. Bila kejang telah
berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari jenis kejang demam sederhana atau
kompleks dan faktor risikonya.

2. Pengobatan penunjang

Pengobatan penunjang dapat dilakukan dengan memonitor jalan nafas,


pernafasan, sirkulasi dan memberikan pengobatan yang sesuai. Sebaiknya semua pakaian
ketat dibuka, posisi kepala dimiringkan untuk mencegah aspirasi lambung. Penting sekali
mengusahakan jalan nafas yang bebas agar oksigenasi terjamin, kalau perlu dilakukan
intubasi atau trakeostomi. Pengisapan lender dilakukan secara teratur dan pengobatan
ditambah dengan pemberian oksigen. Cairan intavena sebaiknya diberikan dan dimonitor
sekiranya terdapat kelainan metabolik atau elektrolit. Fungsi vital seperti kesadaran, suhu,
tekanan darah, pernafasan dan fungsi jantung diawasi secara ketat.

Pada demam, pembuluh darah besar akan mengalami vasodilatasi, manakala


pembuluh darah perifer akan mengalami vasokontrisksi. Kompres es dan alkohol tidak
lagi digunakan karena pembuluh darah perifer bisa mengalami vasokontriksi yang
berlebihan sehingga menyebabkan proses penguapan panas dari

11
tubuh pasien menjadi lebih terganggu. Kompres hangat juga tidak digunakan karena
walaupun bisa menyebabkan vasodilatasi pada pembuluh darah perifer, tetapi sepanjang
waktu anak dikompres, anak menjadi tidak selesa karena dirasakan tubuh menjadi semakin
panas, anak menjadi semakin rewel dan gelisah. Menurut penelitian, apabila suhu
penderita tinggi (hiperpireksi), diberikan kompres air biasa. Dengan ini, proses penguapan
bisa terjadi dan suhu tubuh akan menurun perlahan- lahan. Tidak ditemukan bukti bahwa
penggunaan antipiretik mengurangi resiko terjadinya kejang demam, namun para ahli di
Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang
digunakan adalah 10 – 15 mg/kgBB/kali diberikan 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali.
Dosis ibuprofen 5
– 10 mg/kgBB/kali, 3 – 4 kali sehari.

3. Memberikan pengobatan rumat

Setelah kejang diatasi harus disusul dengan pengobatan rumat dengan cara
mengirim penderita ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih lanjut. Kejang
demam kompleks merupakan salah satu indikasi seorang pasien untuk dirawat di rumah
sakit selain adanya hiperpireksia, pasien < 6 bulan, kejang demam yang pertama kali, dan
terdapat kelainan neurologis. Pengobatan ini dibagi atas dua bagian, yaitu:

 Profilaksis intermitten

Untuk mencegah terulangnya kejang di kemudian hari, penderita kejang demam


diberikan obat campuran anti konvulsan dan antipiretika yang harus diberikan kepada
anak selama episode demam. Antipiretik yang diberikan adalah paracetamol dengan dosis
10-15mg/kg/kali diberikan 4 kali sehari atau ibuprofen dengan dosis 5-10mg/kg/kali, 3-4
kali sehari. Antikonvulsan yang ampuh dan banyak dipergunakan untuk mencegah
terulangnya kejang demam ialah diazepam, baik diberikan secara rectal dengan dosis 5
mg pada anak dengan berat di bawah 10kg dan 10 mg pada anak dengan berat di atas
10kg, maupun oral dengan dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam pada saat tubuh ≥ 38,5 0C.
Profilaksis intermitten ini

12
sebaiknya diberikan sampai kemungkinan anak untuk menderita kejang demam sedehana
sangat kecil yaitu sampai sekitar umur 4 tahun. Fenobarbital, karbamazepin dan fenition
pada saat demam tidak berguna untuk mencegah kejang demam.

 Profilaksis jangka panjang

Profilaksis jangka panjang gunanya untuk menjamin terdapatnya dosis teurapetik


yang stabil dan cukup di dalam darah penderita untuk mencegah terulangnya kejang di
kemudian hari. Pengobatan jangka panjang dapat dipertimbangan jika terjadi hal berikut:

1. Kejang demam ≥ 2 kali dalam 24 jam


2. Kejang demam terjadi pada umur < 12 bulan
3. Kejang demam ≥ 4 kali per tahun

Obat yang dipakai untuk profilaksis jangka panjang ialah: 1).

Fenobarbital

Dosis 4-5 mg/kgBB/hari. Efek samping dari pemakaian fenobarbital jangka


panjang ialah perubahan sifat anak menjadi hiperaktif, perubahan siklus tidur dan kadang-
kadang gangguan kognitif atau fungsi luhur.

2). Sodium valproat / asam valproat

Dosisnya ialah 20-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 1-2 tahun dan
dihentikan secara bertahap selama 1-2 bulan. Efek samping yang dapat terjadi adalah
gejala toksik berupa rasa mual, kerusakan hepar, pankreatitis.

13
3). Fenitoin

Diberikan pada anak yang sebelumnya sudah menunjukkan gangguan sifat berupa
hiperaktif sebagai pengganti fenobarbital. Hasilnya tidak atau kurang memuaskan.
Pemberian antikonvulsan pada profilaksis jangka panjang ini dilanjutkan sekurang-
kurangnya 3 tahun seperti mengobati epilepsi. Menghentikan pemberian antikonvulsi
kelak harus perlahan-lahan dengan jalan mengurangi dosis selama 3 atau 6 bulan.

4. Mencari dan mengobati penyebab

Penyebab dari kejang demam baik sederhana maupun kompleks biasanya infeksi
traktus respiratorius bagian atas dan otitis media akut. Pemberian antibiotik yang tepat dan
kuat perlu untuk mengobati infeksi tersebut. Secara akademis pada anak dengan kejang
demam yang datang untuk pertama kali sebaiknya dikerjakan pemeriksaan pungsi lumbal.
Hal ini perlu untuk menyingkirkan faktor infeksi di dalam otak misalnya meningitis.
Apabila menghadapi penderita dengan kejang lama, pemeriksaan yang intensif perlu
dilakukan, yaitu pemeriksaan pungsi lumbal, darah lengkap, misalnya gula darah, kalium,
magnesium, kalsium, natrium, nitrogen, dan faal hati.

2. 10 Prognosis6,11
1. Kematian. Dengan penanganan kejang yang cepat dan tepat, prognosa
biasanya baik, tidak sampai terjadi kematian. Dalam penelitian ditemukan
angka kematian KDS 0,46 % s/d 0,74 %.
2. Terulangnya Kejang. Kemungkinan terjadinya ulangan kejang kurang lebih
25 s/d 50 % pada 6 bulan pertama dari serangan pertama.
3. Epilepsi. Angka kejadian Epilepsi ditemukan 2,9 % dari KDS dan 97 % dari
kejang demam kompleks. Resiko menjadi Epilepsi yang akan dihadapi oleh
seorang anak sesudah menderita KDS tergantung kepada faktor :
a. riwayat penyakit kejang tanpa demam dalam keluarga

14
b. kelainan dalam perkembangan atau kelainan sebelum anak menderita
c. kejang berlangsung lama atau kejang fokal.

Bila terdapat paling sedikit 2 dari 3 faktor di atas, maka kemungkinan


mengalami serangan kejang tanpa demam adalah 13 %, dibanding bila hanya
didapat satu atau tidak sama sekali faktor di atas.

4. Hemiparesis. Biasanya terjadi pada penderita yang mengalami kejang lama


(berlangsung lebih dari setengah jam) baik kejang yang bersifat umum
maupun kejang fokal. Kejang fokal yang terjadi sesuai dengan
kelumpuhannya. Mula-mula kelumpuhan bersifat flacid, sesudah 2 minggu
timbul keadaan spastisitas. Diperkirakan + 0,2 % KDS mengalami
hemiparese sesudah kejang lama.
5. Retardasi Mental. Ditemuan dari 431 penderita dengan KDS tidak
mengalami kelainan IQ, sedang kejang demam pada anak yang sebelumnya
mengalami gangguan perkembangan atau kelainan neurologik ditemukan
IQ yang lebih rendah. Apabila kejang demam diikuti dengan terulangnya
kejang tanpa demam, kemungkinan menjadi retardasi mental adalah 5x
lebih besar.

15
BAB III
LAPORAN KASUS

I. IDENTIFIKASI
Identitas Pasien
a. Nama : Anak D
b. Umur : 5 Juni 2017 (4 tahun)
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Alamat : Durian Remuk, Muara Beliti
e. Agama : Islam
f. Suku bangsa : Sumatera Selatan
g. No RM : 187700
h. MRS Tanggal : 11 september 2021

II. ANAMNESIS
(Alloanamnesis dilakukan tanggal 11 september 2021, diberikan oleh ibu pasien pukul 18.36
WIB)

A. Keluhan Utama : Kejang


B. Keluhan tambahan : Diare, muntah, demam
C. Riwayat Perjalanan Penyakit
+ 8 jam sebelum masuk rumah sakit, pasien muntah ketika makan pagi. Muntah
tidak menyemprot, muntah apa yang dimakan. + 6 jam SMRS pasien mulai diare,
frekuensi 7 kali, ampas (+), cair (+), darah (-), lendir (-), banyaknya kira-kira ½ gelas
setiap BAB. Pasien mulai rewel dan tidak mau makan. + 4 jam SMRS ibu pasien
mengatakan badan pasien mulai panas, namun suhu tidak diukur. BAK (+) normal, BAB
(+) cair, muntah (-). Pasien mulai lemas. Pasien dibawa ke bidan, diberikan sirup
antibiotik. + 1 jam SMRS, dan disuruh untuk langsung berobat ke RS. Dalam perjalanan
ke RS, pasien kejang, mata mendelik ke atas, durasi +20 menit, mulut berbusa, gigi saling
mengigit, badan kaku. Kejang berhenti tanpa pemberian obat. Pasien kejang hanya 1 kali,
setelah kejang pasien langsung menangis dan meronta. Pasien lalu dibawa ke UGD RSUD
Siti Aisyah Lubuk Linggau.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


16
 Riwayat kejang dengan demam sebelumnya (-)
 Riwayat trauma kepala (-)
 Riwayat keluar cairan dari telinga (-)
 Riwayat keganasan pada otak (-)
 Riwayat penyakit radang otak dan selaput otak tidak ada

E. Riwayat Penyakit Dalam Keluarga


 Riwayat dalam keluarga yang pernah mengalami kejang demam (-)
 Riwayat epilepsi dalam keluarga disangkal.
 Riwayat tumor otak dalam keluarga disangkal.

F. Riwayat Kehamilan dan Kelahiran


Lahir dari ibu P1A0
Masa Kehamilan : 38 minggu
Partus : Normal
Ditolong oleh : Dukn beranak
Kondisi lahir : Langsung menangis
Tanggal : 5 Juni 2017
BB : 3000 gram
PB : 45 cm
LK : ibu lupa
Riwayat ibu demam saat hamil (-), riwayat KPSW (-), riwayat ketuban hijau dan berbau (-),
riwayat penyakit lain pada ibu saat hamil (-).

G. Riwayat Imunisasi

IMUNISASI DASAR
Umur Umur Umur Umur
BCG -
DPT 1 - DPT 2 - DPT 3 - DPT 4 -
HEP B 1 - HEP B 2 - HEP B 3 -

Hib 1 - Hib 2 - Hib 3 -Hib 4 -


POLIO 1 - POLIO 2 - POLIO 3 -
POLIO 4 -
MR - MR -
KESAN : Riwayat imunisasi dasar dan imunisasi tambahan tidak pernah dilakukan

H. Riwayat Nutrisi
17
ASI ekslusif : 0 - 6 bulan, frekuensi ±10 kali sehari
ASI : sampai usia 2 tahun
Susu formula : tidak pernah diberikan
Tahapan makanan
1. Pada usia 6 bulan anak diberikan makanan pendamping ASI berupa bubur susu dan buah yang
diberikan dengan frekuensi 4 kali sehari, satu mangkuk kecil setiap kali makan.
2. Pada usia 9 bulan anak diberikan nasi tim/lembek dengan frekuensi 3 kali sehari hingga usia 1
tahun.
3. Pada usia 1 tahun hingga sekarang anak sudah mendapat makanan dewasa berupa nasi biasa
beserta lauk, sayur dan buah, frekuensi 3 kali sehari.

I. Riwayat Sosial Ekonomi


Pekerjaan ayah pasien adalah buruh harian lepas dengan pendapatan ± Rp 2.000.000/bulan.
Menurut Badan Pusat Statistik golongan pendapatan sedang yaitu Rp 1.500.000 – Rp 2.500.000.
Kesan: golongan pendapatan sedang.

J. Kondisi Lingkungan Tempat Tinggal


Pasien tinggal bersama ayah, ibu dan nenek di rumah milik sendiri, terdiri atas dua kamar, satu
dapur dan satu kamar mandi dan WC, menggunakan bak penampungan air terletak didalam rumah.
Sumber air yang dipakai berasal dari sumur. Air sumur yang disaring dan dimasak.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. PEMERIKSAAN FISIK UMUM
Keadaan Umum : Tampak rewel
Kesadaran : Compos mentis
BB : 15 kg
TB : 95 cm
LK : 52 cm

Status Antropometri
BB/U : 0 s/d -2 SD (Normal)
TB/U : 0 s/d -2 SD (Normal)
BB/TB : 0 s/d +1 SD (Normal), status gizi normal
LK/U : 0 s/d +1 SD (Normal)
UUB : tertutup
Edema (-), sianosis (-), dispnue (-), anemia (-), ikterus (-), dismorfik (-)

18
Nadi : 108 kali/menit, reguler, cepat, isi dan tegangan cukup
Pernapasan : 26 kali/menit
Suhu : 39,5 oC
Kulit : tidak ada kelainan

B. PEMERIKSAAN KHUSUS
KEPALA
Mata : Cekung (-), konjungtiva anemis (-), sklera ikterik
(-), edema palpebra (-), pupil isokor 3 mm, refleks
cahaya (+/+),
Hidung : Kavum nasi dextra ex sinistra lapang, secret (+),
perdarahan (-)
Telinga : CAE dextra et sinistra lapang, secret (-), serumen
(-), refleks cahaya membran timpani (+)
Mulut : Perdarahan gusi (-), karies dentis (+), mukosa bibir
pucat (-), mukosa bibir kering (-), cheilitis
angularis (-)
Faring – : Dinding faring hiperemis (-), tonsil T1 – T1 tenang,
Tonsil hiperemis (-)

LEHER
Pembesaran KGB (-), JVP (5-2 mmHg)

THORAX
Paru-paru
Inspeksi : Statis dan dinamis simetris
Palpasi : Strem fremitus kanan = kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Auskultasi : RR= 26 kali/menit, Vesikuler (+/+) normal, ronkhi (-/-), wheezing
(-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis dan thrill tidak teraba
19
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : HR = 108 kali/menit, Bunyi jantung I dan II (+) normal,
irama reguler, murmur dan gallop (-)

ABDOMEN
Inspeksi : Datar
Auskultasi : Bising usus (+) 5x/menit meningkat
Palpasi : Lemas, Hepar dan lien tidak teraba, turgor kulit segera
kembali
Perkusi : Timpani

Lipat paha dan genitalia


Tidak dilakukan pemeriksaan
EKSTREMITAS
Superior : Akral hangat, pucat (-), sianosis (-), edema (-),
petechie (-), CRT <3s
Inferior : Akral hangat, pucat (-), sianosis (-), edema (-),
petechie (-), CRT <3s

C. STATUS NEUROLOGIS

Lengan Tungkai
Kanan Kiri Kanan Kiri
Fungsi motorik
Gerakan Luas Luas Luas Luas
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Reflex fisiologis Normal Normal Normal Normal
Reflex patologis - - - -
Gejala rangsang Kaku kuduk (-), Brudzinsky I, II (-), Kernig sign (-)
meningeal
Fungsi sensorik Baik

20
Nervi craniales Baik

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium (Tanggal 11 september 2021)
Pemeriksaan Hasil Nilai
normal
Darah Rutin
Hb 10,90 g/dl 14.0-17.0
g/dL
Leukosit 35.600/µL 4.5 – 11
/µL
Trombosit 377 ribu/µL 150 – 450
ribu/µL
Hematokrit 30.60 % 41.50 -
50.40 %
Diff Count 0/0/1/88/8/3
Basofil 0% 0–1%
Eosinofil 0% 0–4%
Neutrofil 1% 3–5%
Batang 88 % 46 – 73 %
Neutrofil 8% 18 – 44 %
Segmen 3% 3–9%
Limfosit
Monosit
Kimia Klinik
GDS 103 mg/dL 60-140
mg/dL
Widal
S Paratyphi 1/160 Negatif
AH
S Paratyphi 1 /160 Negatif
AO
S Paratyphi 1/160 Negatif
H
S Paratyphi 1/160 Negatif
O
Rapid Test Antibodi SARS CoV-2
IgM Non-reaktif Non-reaktif
IgG Non-reaktif Non-reaktif

IV. DIAGNOSIS BANDING


 Kejang demam kompleks + Gastroenteritis Akut ec Rotavirus Tanpa Dehidrasi
 Ensefalitis + Gastroenteritis Akut ec Rotavirus Tanpa Dehidrasi

V. DIAGNOSIS KERJA

21
Kejang demam kompleks + Gastroenteritis Akut Tanpa Dehidrasi

VI. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa:
 IVFD RL gtt XV/menit
 Ceftriaxone 1 x 750 mg
 Paracetamol 15 cc / 8 jam
 Zinc 20mg/5cc / 24 jam
 Lacto-B 1 sach/24 jam
 Stesolid 10 mg supp k/p
 Drip Diazepam 20 mg dalam 500 cc RL gtt X/menit
 Injeksi Dexamethasone 5 mg/8 jam IV
 Asam valproat 2 x 5cc  terapi pulang
 Observasi kejang
 Observasi tanda vital

Non Medikamentosa:
 Menyakinkan bahwa kejang demam umumnya mempunyai prognosis baik.
 Memberitahukan cara penanganan kejang.
 Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
 Pemberian obat untuk mencegah rekurensi memang efektif tetapi harus diingat adanya efek
samping.

VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

22
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Seorang anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa ke RS Siti Aisyah Lubuk Linggau dengan
keluhan utama kejang sejak kurang lebih 20 menit sebelum masuk ke rumah sakit. Kurang lebih
8 jam SMRS pasien muntah ketika sarapan, muntah tidak menyemprot, namun hanya apa yang
dimakan. Kurang lebih 4 jam SMRS ibu pasien mengatakan pasien mulai demam, namun suhu
tidak diukur. Pasien dibawa berobat ke bidan, diberikan sirup antiobiotik. Pasien lalu
disarnakan untuk berobat ke RSUD Siti Aisyah. Kurang lebih 1 jam SMRS, ketika dalam
perjalanan ke RS, pasien kejang, mata mendelik ke atas, gigi saling menggigit, dan badan kaku
kurang lebih selama 20 menit. Kejang berhenti tanpa pemberian obat, dan pasien langsung
menangis setelah kejang. Pasien lalu dibawa ke RSUD Siti Aisyah.
Pada kasus didapatkan anak berusia 3 tahun 6 bulan yang dibawa ke RS karena kejang,
dan ketika suhu tubuh diukur menggunakan thermo-gun didapatkan hasil 39,5oC. Kejang
demam umumnya terjadi pada anak berusia 6 bulan hingga 5 tahun dengan kenaikan suhu tubuh
(kenaikan suhu diatas 38oC dengan metode pengukuran suhu apapun yang tidak disebabkan
oleh proses intrakranial). Pada kasus didapatkan bahwa fokus infeksi anak berasal dari
gangguan traktus gastrointestinal, yaitu gastroenteritis akut, serta pada anak juga tidak
didapatkan adanya defisit neurologis. Hal ini dapat menapiskan bahwa kenaikan suhu anak dan
kejang disebabkan oleh suatu proses intrakranial seperti infeksi sistem saraf pusat. 1,3
Pada anamnesis didapatkan bahwa anak hanya mengalami kejang dengan frekuensi 1 kali
lamanya kurang lebih 20 menit, lalu anak langsung sadar dan menangis setelah kejang selesai.
Hal ini dapat menyimpulkan bahwa diagnosis kerja pada kasus adalah kejang demam
kompleks, dimana terpenuhi salah satu dari 3 kriteria berikut, diantaranya: kejang lama (> 15
menit), kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului kejang parsial, dan
kejang berulang lebih dari 1 kali dalam waktu 24 jam. 3
Pada kasus kejang demam, tetap harus dipikirkan diagnosis banding yang disebabkan
oleh proses intrakranial seperti meningitis, meningoensefalitis, atau ensefalitis. Dari anamnesis
tidak ditemukan adanya penurunan kesadaran dan dari pemeriksaan neurologis juga tidak
dijumpai adanya kelainan, yang biasanya kita jumpai pada pasien dengan infeksi intrakranial.
Dari hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda infeksi sistem saraf pusat, yang
biasanya ditandai dengan gangguan upper motor neuron (gejala gangguan SSP), yang biasanya

23
ditemukan pada kasus meningitis. Dari riwayat perjalanan penyakit didapatkan pasien tidak
pernah mengalami kejang tanpa demam sebelumnya yang berarti dapat menyingkirkan suatu
epilepsi.1,3,4
Selanjutnya, penyebab terjadinya demam pada anak dapat disebabkan oleh gastroenteritis
akut. Pada anamnesis diperoleh informasi bahwa anak mengalami muntah ketika diberi makan,
kemudian anak juga mengalami diare dengan frekuensi kurang lebih 7 kali kira-kira banyaknya
¼ gelas belimbing setiap diare. BAB cair, berwarna kekuningan, berbau asam, berampas, tidak
berlendir, dan berdarah. Pada pemeriksaan fisis didapatkan mata tidak cekung, tidak ditemukan
adanya perut yang cekung, turgor kulit masih baik, dan bising usus realtif meningkat. Secara
klinis ketika di IGD, anak masih mau minum. Berdasarkan data tersebut dapat disimpulakn
bahwa anak mengalami gastroenteritis akut tanpa dehidrasi. Etiologi penyebab dari
gastroenteritis pada kasus kemungkinan disebabkan oleh Rotavirus. Hal tersebut dikarenakan
pada BAB yang cair (watery stools) tanpa disertai darah dan lendir merupakam ciri khas dari
diare akibat rotavirus. Maka dari itu, etiologi lain seperti Shigella, Salmonella, dan EIEC dapat
disingkirkan karena patogen tersebut memberikan gambaran klinis berupa BAB yang berdarah,
12,14
lembek, dan berlendir. Gastroenteritis memiliki hubungan yang cukup signifikan dengan
kejadian kejang demam
Pada kasus tidak dilakukan pemeriksaan pencitraan, EEG, atau pungsi lumbal, karena
tidak terdapat indikasi yang jelas seperti defisit neurologis, kejang fokal, atau gerak rangsang
meningeal. Selain itu pada pasien ini tidak memenuhi indikasi dilakukan lumbal pungsi seperti
adanya tanda dan gejala rangsang meningeal, adanya kecurigaan infeksi SSP dari anamnesis
dan pemeriksaan fisik. Pemeriksaan darah tepi dilakukan untuk membantu mengidentifikasi
underlying etiology.3
Tatalaksana yang diberikan pada pasien meliputi pemberian cairan rumatan, pemberian
antibiotik, antipiretik, preparat zinc, probiotik, dan anti konvulsan. Pada kasus kejang demam,
tatalaksana perlu dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu tatalaksana ketika saat anak sedang
kejang, tatalaksana demam, pemberian antikonvulsan, serta tatalaksana sumber penyebab
terjadinya demam. Pada kasus didapatkan bahwa anak datang dalam kondisi tidak kejang lagi,
maka dari itu tidak diberikan antikonvulsan ketika anak sampai di IGD. Saat pasien dalam
keadaan kejang, penggunaan diazepam intravena dengan dosis 0,2 – 0,5 mg/kgBB, maksimal
10 mg, IV pelan dapat menghentikan kejang dengan cepat. Terdapat pula prehospital treatment
yang sebenarnya dapat diberikan orangtua ketika anak kejang di rumah, yaitu pemberian
diazepam rektal dengan dosis 0,5 – 0,75 mg/kgBB atau lebih praktis dapat digunakan diazepam
24
rektal sediaan 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat
badan lebih dari 12 kg.1,3,5,8,9
Selanjutnya pasien juga diberikan Asam Valproat dengan dosis 2 x 250mg/5cc. Asam
valproat merupakan antikonvulsan rumat dalam tatalaksana kejang demam dengan indikasi
kejang fokal, kejang lama >15 menit, dan terdapat kelainan neurologis nyata sebelum atau
sesudah kejang. Pada kasus didapatkan gejala klinis berupa kejang generalisata selama 20
menit, maka asam valproat adalah terapi antikonvulsan yang tepat. Dosis asam valproat adalah
15 – 40 mg/kgBB/hari yang dibagi dalam 2 dosis, sehingga pada kasus dapat diberikan
sebanyak 225 – 600 mg per hari. Pemberian antikonvulsan rumat wajib diteruskan selama 1
tahun dan tidak membutuhkan tapering off. 3
Pemberian antipiretik diberikan di IGD dan juga saat perawatan di bangsal, hal tersebut
sudah sesuai dengan pedoman tatalaksana kejang demam pada anak, dimana diberikan injeksi
150mg/15cc Parasetamol (dosis 10 – 15 mg /kgBB/kali) yang diberikan setiap 8 jam.
Antipiretik dapat diberikan secara oral maupun intravena tergantung dengan kondisi klinis
pasien. Selain daripada parasetamol, dapat pula diberikan ibuprofen 5 – 10 mg/kgBB/kali
dengan frekuensi 3 – 4 kali sehari.1,3,8,9
Penanganan diare pada kasus ini cukup dilakukan rencana terapi A menurut MTBS
karena pada kasus tidak ditemukan adanya dehidrasi, namun karena perawatan di rumah sakit
akibat kejang demam, maka pemberian cairan hanya diberikan secara suportif melalui cairan
intravena. Perhitungan kebutuhan cairan anak dengan berat badan 15 kg dihitung berdasarkan
rumus Holliday-Segar, yakni sebanyak 1.250 mL/hari atau 50 mL/jam, sehingga diperoleh
sekitar 15 – 16 tetes/menit dengan perangkat infus ukuran makro. Terapi diare tanpa dehidrasi
pada dasarnya hanya pemberian cairan lebih banyak dari biasanya, baik dengan makanan
berkuah, air matang, hingga pemberian oralit. Pemberian oralit untuk usia lebih dari 1 tahun
adalah 100-200cc setiap kali BAB.14
Lalu pada kasus juga sudah diberikan obat zinc 20mg/5cc per hari yang berfungsi untuk
membantu memperbaiki vili-vili usus yang rusak. Pemberian preparat seng dilakukan selama 10
hari berturut-turut walaupun diare sudah berhenti. Pemberian mikronutrien ini bertujuan untuk
mempertahankan integritas mukosa usus melalui fungsi regenrasi sel dan stabilitas membran
sel. Seng dapat menghalangi pembentukan NO yang kemudian akan mengaktivasi c-GMP yang
memberikan manifestasi klinis diare sekresi. Hubungan saluran pencernaan dan seng sangat
erat, dimana saluran pencernaan memiliki kandungan limfosit terbanyak setelah thymus,
sehingga defisieni seng cenderung menyebabkan terjadinya infeksi kuman pada saluran
25
pencernaan anak.12
Pemberian probiotik pada kasus bertujuan untuk memperbaiki keseimbangan microflora
usus. Probiotik akan mencegah kolonisasi bakteri penyebab diare, memicu respon imun mukosa
usus untuk memproduksi secretory immunoglobulin A (sIgA) yang berperan dalam imunitas
humoral lokal dan cell -mediated immunity.12
Terapi nonfarmakologis yang diberikan pada pasien yaitu diet sesuai kebutuhan dan tirah
baring atau istirahat. Perkiraan kebutuhan kalori pasien menggunakan rumus RDA yaitu =
kebutuhan kalori menurut usia TB x berat badan ideal TB. Berat badan ideal pasien adalah 15,5
kg (untuk TB 95 cm) dan kebutuhan kalori menurut usia TB (3 tahun6 bulan) adalah 100 kkal.
Kebutuhan kalori adalah = 15,5 x 100 = 1550 kkal. Rute pemberian nutrisi masih dapat
diberikan per oral karena didapatkan nafsu makan anak masih baik walaupun anak diare.
Bentuk sediaan makanan yang dapat diberikan adalah makanan cair dan makanan lunak,
mengingat fungsi absorbs nutrisi oleh usus masih terganggu karena kerusakan mukosa usus
akibat kemungkinan infeksi Rotavirus. 10,11,13
Monitoring yang perlu dilakukan pada pasien adalah monitoring kesadaran dan tanda vital
untuk menilai apakah terdapat kegawatan yang dapat muncul sewaktu-waktu serta observasi
timbulnya kejang ulangan. Monitoring suhu juga perlu dilakukan untuk kepentingan
pengobatan, seperti perlu tidaknya pengobatan intermitten diberikan, serta untuk menilai
perjalanan infeksi, apakah terdapat perbaikan dengan pemberian terapi farmakologis dan non-
farmakologis. Pada anak juga perlu dilakukan monitoring dan evaluasi terhadap pemberian
nutrisi. Parameter yang digunakan untuk penilaian adalah acceptability (apakah anak menyukai
dan dapat menghabiskan makanan), tolerance (adakah efek samping pemberian makanan,
seperti apakah terjadi diare pada pemberian susu full cream), dan efficacy (monitoring
pertumbuhan, BB, TB, LK). Prognosis dari kejang demam adalah bonam apabila penyebab
demam dapat disingkirkan.13

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Haslam Robert H. A. Sistem Saraf, dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson,


Vol. 3, Edisi 15. Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta. 2000; XXVII :
2059 – 2060
2. Hendarto S. K. Kejang Demam. Subbagian Saraf Anak, Bagian Ilmu
Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, RSCM,
Jakarta. Cermin Dunia Kedokteran No. 27. 1982 : 6 – 8.
3. Behrman dkk, (e.d Bahasa Indonesia), Ilmu Kesehatan Anak. Edisi 15,
EGC, 2000. Hal 2059-2067.
4. Pusponegoro HD, Widodo DP, Sofyan I. Konsensus Penatalaksanaan
Kejang Demam. Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak
Indonesia, Jakarta. 2006 : 1 – 14.
5. Price, Sylvia, Anderson. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. EGC, Jakarta 2006.
6. Febrile Seizures: Causes, Symptoms, Diagnosis and Treatment. Diunduh
pada tanggal 9 Februari 2013. Didapatkan dari:
www.medicinenet.com/febrile_seizures/article.htm
7. Mary Rudolf, Malcolm Levene. Pediatric and Child Health. Edisi ke-2.
Blackwell pulblishing; 2006. Hal 72-90.
8. Rudolph AM. Febrile Seizures. Rudoplh Pediatrics. Edisi ke-20. Appleton
dan Lange, 2002
9. Pudjaji AH, Hegar B, Handryastuti, Idris NS, Gandaputra EP, Harmoniati
ED. Pedoman pelayanan medis. Ikatan Dokter Anak Indonesia; Jakarta.
2010. h. 150-2.
10. Ministry of health service. Guidelines and protocols febrile seizure. British
columbia medical association. 2010.
11. Febrile Seizures Fact Sheets: National Institutes of Neurology and Stroke
Diunduh pada tanggal 9 Februari 2013. Didapatkan dari:
www.ninds.nih.gov/disorders/febrile_seizures/detail_febrile_seizures.htm

27
Portofolio

PORTOFOLIO PENYAKIT DALAM


STEMI

Disusun oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan

Pendamping:
dr. Fitri Isneni

Wahana:
RS Siti Aisyah Lubuklinggau

KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM
KESEHATAN BADAN PPSDM KESEHATAN

2021

28
BAB I
PENDAHULAN

Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan
untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina
pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark
miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan
infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation
myocardial infarction/STEMI).
Jika terjadi penyempitan arteri koroner, iskemia miokardium merupakan peristiwa yang
awal terjadi. Iskemia miokardium terjadi bila kebutuhan oksigen lebih besar daripada suplai
oksigen ke miokardium. Infark miokardium adalah nekrosis atau kematian sel miokardium.
Daerah subendokardial merupakan daerah pertama yang terkena, karena berada paling jauh
dari aliran darah. Jika iskemia makin parah, akan terjadi kerusakan sel miokardium. Oklusi
akut karena adanya trombus pada arteri koroner menyebabkan berkurangnya suplai oksigen ke
miokardium.
Di Indonesia PJK adalah pembunuh nomor satu dan jumlah kejadiannya terus
meningkat dari tahun ke tahun. Data statistik menunjukkan bahwa pada tahun 1992 persentase
penderita PJK di Indonesia adalah 16,5%, dan pada tahun 2000 melonjak menjadi 26,4%.
Tiga dari 1.000 penduduk Indonesia menderita PJK.
Sindrom Koroner Akut (SKA) dalam kasus ini Angina Pektoris berdasarkan SKDI
merupakan kompetensi 3B, dengan demikian dokter umum harus mampu menegakkan
diagnosis, melakukan tatalaksana awal pada keadaan gawat darurat dan kemudian menentukan
rujukan yang tepat, lalu menindaklanjuti setelah di rujuk. Dengan demikian diharapkan melalui
case ini dapat meningkatkan pengetahuan mengenai penyakit ini.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


a. Nama : Tn. Y
b. Jenis Kelamin : Laki-Laki
c. Tanggal lahir : 12/08/1995
d. Umur : 25 tahun
e. Agama : Islam
f. Alamat : Muara Beliti, Musi Rawas
g. Tingkat Pendidikan : SMA
h. MRS : 20 September 2021

2.1 ANAMNESIS (20 September 2021)


Autoanamnesis dengan keluarga pasien
Keluhan Utama :
Nyeri dada kiri menjalar sejak 2 jam SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit:
Pasien datang ke IGD dengan keluhan nyeri dada kiri yang menjalar ke
dada kanan dan pundak sejak 2 jam SMRS. Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk dan
panas. Sebelumnya pasien sedang melakukan pekerjaan ringan (berjalan), lalu dada
nyeri tiba-tiba, demam (-), sakit kepala (-), batuk (-), sesak (-)
Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat kencing manis disangkal
- Riwayat darah tinggi (+), minum amlodipin 5 mg
- Riwayat Penyakit Dalam Keluarga
- Riwayat penyakit dengan keluhan yang sama pada keluarga disangkal.
- Riwayat keluarga menderita kencing manis disangkal.
- Riwayat keluarga menderita darah tinggi disangkal.
Riwayat Sosial Ekonomi, Pekerjaan dan Kebiasaan
- Riwayat merokok ± 2 bungkus
- Riwayat konsumsi alkohol disangkal.
- Riwayat olahraga teratur disangkal.
- Riwayat menyukai makan goreng-gorengan.

10
Riwayat Gizi
Makan teratur 3 kali sehari, porsi sedang.

2.2 PEMERIKSAAN FISIK (tanggal 20 September 2021


KEADAAN UMUM
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tekanan Darah : 130/110 mmHg
Nadi : 89x/menit, reguler, isi dan tegangan cukup
Pernafasan : 20x/menit, Tipe pernapasan torakoabdominal
Suhu : 37o C
Berat Badan : 65 kg
Tinggi Badan : 175 cm
IMT : BB Ideal

KEADAAN SPESIFIK
Pemeriksaan Organ
Kepala
Bentuk : Normocephali
Ekspresi : Wajar
Rambut : Hitam
Alopesia : (-)
Deformitas : (-)
Perdarahan temporal : (-)
Nyeri tekan : (-)
Wajah sembab : (-)
Mata
Eksoftalmus : (-)
Endoftalmus : (-)
Palpebral : Edema (-)
Konjungtiva palpebra : Anemis (-)
Sklera : Ikterik (-)
Kornea : Katarak (-)
Pupil : Bulat, isokor, diameter 3/3, refleks cahaya (+/+)

1
Hidung
Sekret : (-)
Epistaksis : (-)
Napas Cuping hidung : (-)
Telinga
Meatus akustikus eksternus : lapang
Nyeri tekan : processus mastoideus (-/-), tragus (-/-)
Nyeri tarik : aurikula (-/-)
Sekret : (-)
Pendengaran : baik
Mulut
Higiene : baik
Bibir : cheilitis (-), rhagaden (-),sianosis (-),
Lidah : kotor (-), atrofi papil (-)
Mukosa
Mulut : basah, stomatitis (-), ulkus (-)
Gusi : hipertrofi (-), berdarah (-), stomatitis (-)
Faring hiperemis : (-)
Leher
Inspeksi : trakea deviasi (-)
Palpasi : pembesaran kel. tiroid/struma (-)
Tekanan vena jugularis : (5-2) cmH2O.

Dada
Paru-paru (Anterior)
Inspeksi : bentuk dada normal, sela iga melebar (-), retraksi dinding dada (-
), spider nevi (-), venektasi (-),
Statis : simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis : simetris kanan sama dengan kiri
Palpasi : Stemfemitus kiri lebih menurun dari kanan
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru.
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)

10
Paru-paru (Posterior)
Inspeksi :
Statis : simetris kanan sama dengan kiri
Dinamis : simetris kanan menurun dari kiri
Palpasi : Stemfemitus kanan dan kiri sama
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Vesikuler kiri menurun, ronkhi (-/-), wheezing(-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas kanan ICS II linea sternalis kanan
Batas kanan bawah ICS V linea sternalis kanan
Batas kiri ICS VI linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : HR 86 x/menit. BJ I-II irreguler, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-), scar (-).
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba,
Ballotement ginjal (-)
Perkusi :Timpani, shifting dullness (-), nyeri ketok CVA(-)
Auskultasi : Bising usus normal, 6 x / menit
Ekstremitas
Inspeksi :
Superior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema (-/-), koilonikia (-),
sianosis (-), jari tabuh (-), , kulit lembab, flapping tremor (-),
onikomikosis (-)
Inferior : Deformitas (-), kemerahan (-), edema pretibial (+/+), koilonikia
(-), sianosis (-), jari tabuh (-), onikomikosis (-)
Palpasi :
Superior : Akral hangat (+/+), Edema (-/-), krepitasi (-/-), CRT <2 detik
Inferior : Akral hangat (+/+), Edema (-/-), krepitasi (-/), CRT <2 detik
ROM :
Superior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas.
Inferior : Kekuatan 5, rom aktif pasif luas.
Alat Kelamin : Tidak diperiksa

1
Kulit
Kulit : Sawo matang
Efloresensi : (-)
Pigmentasi : (-)
Jaringan parut : (-)
Turgor : Baik
Keringat : Baik
Pertumbuhan rambut : Dalam batas normal
Lapisan lemak : Tebal
Ikterus : (-)
Lembab/kering : Lembab

Kelenjar Getah Bening (KGB)


Tidak terdapat pembesaran KGB pada regio periauricular, submandibula,
cervical anterior dan posterior, supraclavicula, infraclaviculla, axilla, dan inguinal.
Pembuluh Darah
a.temporalis, a.carotis, a.brakhialis, a.femoralis, a.poplitea, a.tibialis posterior,
a.dorsalis pedis : teraba

2.3 Pemeriksaan Penunjang

 Laboratorium Darah (tanggal 20 September 2021):


Hemotologi
- Hemoglobin (Hb) : 13.8 g/dL
- Eritrosit (RBC) : 4.84 x 106/mm3
- Leukosit (WBC) : 14,7 x 103/mm3
- Hematokrit (HT) : 39,7 %
- Hitung jenis (DC) :0/0/66/26/6
Kimia Klinik
Hati
- AST/SGOT : 39 U/L
- ALT/SGPT : 32 U/L
Metabolisme Sewaktu
- Glukosa Sewaktu : 143 mg/dL
Ginjal

10
- Ureum : 21 mg/dL
- Creatinin : 1.01 mg/dL
Profil Lipid
- Kolesterol : 299 mg/dL
- HDL : 74 mg/dL
- LDL : 219 mg/dL
- Trigliserida : 326 mg/dL

 EKG (tanggal 20 September 2021):

2.4 Diagnosis
STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction) Lateral

2.5 Penatalaksanaan
Non Farmakologis:
 Istirahat

 Edukasi
o Edukasi mengenai sindrom koroner akut, penyebab dan bagaimana
mengenal serta upaya bila timbul keluhan, dan dasar pengobatan
o Tirah baring
o Edukasi pola diet, kontrol asupan garam, air dan hindari makanan yang
dapat meningkatkan kolestrol total dan gula tinggi.

1
Farmakologis:
Tatalaksana IGD :
 IVFD Nacl 0,9% 500cc/24 jam (makro)

 O2 nasal canul 3-5 l/m

 ISDN 5 mg (sublingual) + 5 mg (po)

 Aspilet 80 mg (4 tablet) (sublingual)

 Clopidogrel 75 mg (8 tablet) (po)

 1 amp morfin diencerkan dalam NS 10 cc --> injeksi 2cc (iv pelan) max 3
kali jeda 1 jam.

 Atorvastatin 40 mg

 Nitrofak 5 mg

 Rawat ICU

Tatalaksana Ruang Rawat Inap :


 Konsul dr. Novi, Sp.JP

 Clopidogrel 1x75mg po

 Aspilet 1x80mg po

 Atrvastatin 1x40mg po

 Amlodipine 1x5mg po

 ISDN 5 mg sublingual k/p

 Nitrokaf 2x5 mg po

 Inj.Lovenox 2x0,6 cc subkutan

 Laxadin syr 1x1 cth po

 Disarankan rujuk untuk dilakukan revaskularisasi

2.6 Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam

Quo ad functionam: dubia ad bonam

Quo ad sanationam: dubia ad bonam

10
37
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Jantung


Jantung terletak di dada diantara belakang tulang dada paru-paru dan diafragma
atas biasa disebut mediastinum. Dikelilingi oleh perikardium yaitu perikardium fibrosa
dan perikardium serosa. Ukuran jantung yakni sebesar kepalan tangan dan memiliki berat
sekitar 250-300 gram. Dinding jantung terdiri dari tiga lapisan ;
a) Epikardium
Epikardium adalah lapisan luar dari dinding jantung dan dibentuk oleh lapisan
visceral pericardium. Visceral pericardium ini disebut sebagai lapisan epicardium (Shah
et al., 2009). Pericardium terdiri dari dua lapisan, lapisan luar disebut pericardium fibrous
dan lapisan dalam disebut epitel (VanPutte et al., 2016) Diantara dinding pericardium,
ada rongga pericardial (Gambar 2.1). Ruang sempit ini biasanya berisi 10-15 ml cairan
pericardial yang berfungsi memudahkan pergerakan jantung saat proses pemompaan
darah (Curran and Sheppard, 2011).
b) Miokardium
Lapisan tengah dinding jantung disebut miokardium. Lapisan ini paling tebal dan
terdiri atas sel-sel otot jantung yang melapisi dinding jantung. Miokardium
berkontraksi untuk memompa darah dari jantung ke aorta. Ketebalan miokard bervariasi
dari satu ruang jantung ke ruang yang lainnya (Curran and Sheppard, 2011).
c) Endokardium
Endokardium merupakan lapisan terdalam dari jantung, tersusun dari jaringan
endotalim dan jaringan ikat subendotelial. Lapisan ini melapisi jantung, katup, dan
menyambung lapisan endotelial yang melapisi pembuluh darah yang memasuki dan
meninggalkan jantung (Curran and Sheppard, 2011).

Jantung memiliki empat ruang yang berbeda dengan ketebalan dinding otot yang
berbeda yaitu atrium kiri (LA), atrium kanan (RA), ventrikel kiri (LV) dan ventrikel
kanan (RV) Atrium menerima darah dari sistem vena dan paru-paru, kemudian
berkontraksi dan mengeluarkan darah ke dalam ventrikel. Kemudian ventrikel memompa
darah ke seluruh tubuh atau paru-paru. Jantung memliki empat katup, yaitu katup
trikuspid, katup mitral, katup pulmonary dan katup aorta. Darah mengalir ke atrium kanan
melalui vena kava superior dan inferior. Masing-masing atria kiri dan kanan terhubung ke
ventrikel melalui katup mitral dan katup trikuspid (Gambar 2.2) (Shah et al., 2009).
Darah terdeoksigenasi dari vena cava superior, vena cava inferior dan sinus
koroner (miokardium) mencapai RA. RA yang penuh dengan darah terdeoksigenasi,
meningkatkan tekanan di dalam ruang atrium. Ketika tekanan
1
atrium melebihi tekanan di RV, katup tricuspid akan terbuka dan memungkinkan darah
masuk ke RV. Ketika kapasitas di ruang RV sudah mencukupi akan memaksa katup
tricuspid menutup dan membuka katup pulmonal, sehingga mengeluarkan darah ke arteri
pulmonalis dan paru-paru (Gambar 2.2) (Shah et al., 2009).
Darah beroksigen dari paru-paru mencapai LA melalui vena paru, ketika melebihi
dari kapasitas LA katup mitral terbuka, memungkinkan darah untuk memasuki LV. Ketika
darah mengisi LV, LV mulai berkontraksi dan terjadi peningkatan tekanan ruang LV
sehingga memaksa katup mitral menutup dan membuka katup aorta, sehingga
mengeluarkan darah ke aorta, untuk didistribusikan ke seluruh tubuh (Shah et al., 2009).

2.2 Definisi Infark Miokard Akut

Infark Miokard Akut (IMA) adalah penyakit jantung yang terjadi karena kematian
jaringan otot jantung atau nekrosis yang diawali dengan iskemik. Infark miokard
merupakan salah satu manifestasi akut dari penyakit jantung koroner yang berhubungan
dengan arteriosklerosis. Infark miokard yang merupakan hasil dari penyakit jantung
koroner, yang mana obstruksi aliran darah karena plak arteri koroner atau mekanisme
yang menghalanginya (misalnya spasm of plaquefree arteries). Plak selalu konsekuensi
dari aterosklerosis. Dimana plak yang ditandai dengan terjadinya peradangan pada
pembuluh darah dilokasi plak berada. Ditempat tersebut kemungkinan terjadi erosi,
fissuring atau bahkan pecahnya plak (Mendis et al., 2010).
IMA adalah kondisi dimana tidak mencukupinya pemasokan darah dan oksigen ke
miokardium karena adanya trombus yang menyumbat arteri koroner yang mengakibatkan
nekrosis miokard (Fauci 2010). IMA terjadi ketika iskemia miokard terjadinya nekrosis.
IMA paling sering disebabkan oleh rupture

10
39

aterosklerosis dalam arteri koroner, sehingga menyebabkan pembentukan trombus arteri


berhenti memasokkan darah ke jantung (Gambar 2.3) (Aaronson et al., 2013).

2.3 Epidemiologi Infark Miokard Akut


Cardiovascular Disease adalah penyebab kematian no. 1 di dunia, lebih banyak
orang yang meninggal setiap tahunnya karena penyakit kardiovaskular daripada penyakit
lainnya. Diperkirakan 17,5 juta orang meninggal karena penyakit kardiovaskular pada
tahun 2012, mewakili 31% dari seluruh kematian di dunia. Dari kematian ini,
diperkirakan 7,4 juta adalah karena penyakit jantung koroner dan 6,7 juta adalah akibat
stroke. Penyakit jantung koroner merupakan penyakit kardiovaskular yang berkaitan
dengan pembuluh darah yang mengangkut suplai oksigen ke jantung (WHO, 2016). IMA
merupakan salah satu dari lima manifestasi akut penyakit jantung koroner, yaitu angina
pektoris stabil, angina pektoris tidak stabil, infark miokard, gagal jantung dan henti jantung
(Mendis et al., 2010).
Menurut data American Heart Association ada 81.100.000 kasus penyakit jantung
diseluruh duna, diantaranya sebanyak 17.600.000 kasus penyakit jantung koroner adalah
manifestasi IMA. Laporan American Heart Association tahun 2010 kasus IMA terjadi
8.500.000. Terhitung sebanyak 7.200.000 (12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini di
seluruh dunia. IMA merupakan penyebab kematian nomor dua pada negara
berpenghasilan rendah, dengan angka mortalitas 2.470.000 (9,4%) (Budiman dkk, 2015).
Di Indonesia pada tahun 2002, penyakit IMA merupakan penyebab kematian
pertama, dengan angka mortalitas 220.000 (14%). Direktorat Jendral Pelayanan Medik
Indonesia meneliti pada tahun 2007, jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat
inap dan rawat jalan di Rumah Sakit di Indonesia ada 239.548 jiwa. Kasus terbanyak adalah
penyakit jantung iskemik (110.183 kasus). Case Fatality Rate (CFR) tertinggi terjadi
pada IMA (13,49%) dan kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42%) dan penyakit
jantung lainnya (13,37%) (Budiman dkk, 2015). Berdasarkan Riskesdas tahun 2014
menunjukkan bahwa prevalensi penyakit jantung koroner berdasarkan pernah diagnosis
dokter di Indonesia pada tahun 2013 sebesar 0,5 persen, sedangkan berdasarkan diagnosis
dokter atau gejala sebesar 0,13 persen (info datin, 2014).

1
2.4 Etiologi Infark Miokard Akut
IMA terjadi ketika aliran darah ke jantung menurun menyebabkan iskemia miokard
(kerusakan atau cedera pada otot jantung). Dalam banyak kasus, IMA disebabkan oleh
oklusi dari satu atau lebih pembuluh darah koroner oleh thrombus, dan disertai dengan
nyeri dada yang parah. Dalam beberapa kasus, selain thrombus aliran darah berkurang
disebabkan oleh masalah pembuluh darah. Penyebab yang paling mendasari dari IMA
adalah penyakit arteri koroner aterosklerosis, yang menyebabkan obstruksi progresif dari
arteri di jantung. Adapun faktor resiko yang mempengaruhi perkembangan penyakit
koroner adalah riwayat keluarga, diet, kurang olahraga, peningkatan LDL, penurunan
HDL, merokok, hipertensi dan diabetes melitus (Mattingly and Lohr, 1990; Fauci et al.,
2010).

2.5 Patofisiologi Infark Miokard Akut


Pada gambar 2.4, plak koroner yang rawan pecah biasanya kecil dan non-
obstruktif, dengan inti yang kaya akan lipid yang besar ditutupi oleh fibrosa cap tipis.
Plak ini biasanya berisi makrofag yang berlimpah dan limfosit T yang diduga melepaskan
metalloprotease dan sitokin yang melemahkan fibrosa cap, yang menyebabkan plak
mudah robek atau mengikis karena tegangan yang disebabkan oleh aliran darah. Pecahnya
plak membuat kolagen subendothelial terpapar sehingga mengaktivasi platelet dan
menyebabkan agregasi. Defisit (kekurangan) yang dihasilkan dari faktor antitrombotik
seperti trombomodulin dan prostasiklin

10
41

meningkatkan pembentukan thrombus. Nekrosis mulai berkembang di subendokardium


sekitar 15-30 menit setelah oklusi koroner. Wilayah nekrotik meluas ke luar epicardium
selama 3-6 jam setelahnya, hingga meluas ke seluruh dinding ventrikel. Antara 4-12 jam
setelah kematian sel dimulai, pada miokardium yang mengalami infark mulai mengalami
koagulasi nekrosis. Setelah sekitar 18 jam, neutrophil (limfosit fagosit) memasuki infark.
Setelah 3-4 hari, jaringan granulasi muncul di zona infark, yang terdiri dari makrofag,
fibroblast, yang menyusun jaringan luka dan kapiler baru. ketika jaringan granulasi
bermigrasi ke dalam menuju pusat infark selama beberapa minggu, jaringan nekrotik akan
dimakan dan dicerna oleh makrofag. Setelah 2-3 bulan, infark menyembuh,
meninggalkan wilayah non kontak dari dinding ventrikel yang menipis, mengeras dan
berwarna abu-abu pucat (Aaronson et al., 2013).
 Aktivasi Sympathetic Nervous System (SNS)
Rasa sakit dan kecemasan terkait dengan infark miokard akut mengaktifkan SNS,
yang menyebabkan vasokontriksi sistemik dan stimulasi jantung. Sedangkan aktivasi SNS
membantu menjaga tekanan arteri, yang mana juga menyebabkan peningkatan yang besar
dalam permintaan oksigen miokard yang dapat menyebabkan hipoksia miokard yang
lebih besar, memperluas wilayah infark, memicu aritmia dan selanjutnya bisa merusak
fungsi jantung (Rozanski et al., 1999).

1
Aktivasi dari SNS setelah iskemia miokard merupakan mekanisme kompensasi.
Mekanisme kompensasi (penyempitan pembuluh darah, peningkatan curah jantung, dan
retensi natrium dan air di ginjal) bertujuan untuk mempertahankan curah jantung, terjadi
ketika jaringan luka yang terbentuk pada daerah nekrotik menghambat kontraksi.
Pelebaran ventrikel juga dapat terjadi dalam proses yang disebut remodeling. Fungsinya,
infark miokard dapat menyebabkan penurunan kontraktilitas dan gerakan dinding yang
abnormal, mengurangi volume stroke, mengurangi fraksi ejeksi, dan peningkatan tekanan
akhir diastol ventrikel kiri (Arnold et al., 2001).

2.6 Faktor Resiko Infark Miokard Akut


Terdapat sejumlah faktor atau kondisi yang dapat meningkatkan kemungkinan
seseorang akan mengalami penyakit kardiovaskular. Faktor resiko biasanya sebagai
penyebab atau promotor dari penyakit kardiovaskular. Faktor resiko ada yang bersifat
tetap dan ada yang dapat dimodifikasi atau diperbaiki. Faktor resiko yang tidak dapat
dimodifikasi atau bersifat tetap meliputi usia, jenis kelamin, ras dan riwayat keluarga.
Faktor resiko yang dapat dimodifikasi seperti merokok, dislipidemia, hipertensi, diabetes
mellitus, obesitas dan inaktivitasi fisik, yang mana dapat diperbaiki atau dihilangkan
dengan perubahan gaya hidup dan/atau dengan terapi farmakologi. Pendekatan ini telah
terbukti dapat menurunkan kejadian dan keparahan dari penyakit kardiovaskular, dan
secara khusus disetujui karena penyakit kardiovaskular yang nya bersifat irreversible dan
mematikan (Aaronson et al., 2013).
Tabel II. 1 Faktor Resiko IMA
Faktor Resiko Infark Miokard Akut

Tidak Dapat Dimodifikasi Dapat Dimodifikasi

Usia Hipertensi

Jenis Kelamin Dislipidemia

Riwayat keluarga Obesitas

10
43

Ras Diabetes Mellitus

Merokok Inaktivasi

Fisik

(Aaronson et al., 2013)

2.6.1 Faktor Resiko yang Tidak Dapat Dimodifikasi


2.6.1.1 Usia
Usia merupakan salah satu faktor yang tidak dapat dimodifikasi. Dalam jurnal
penelitian ‘Risk factors for myocardial infarction in women and men: insights from
the INTERHEART study’ oleh Sonia S. Anand dkk, mengatakan bahwa rata-rata
usia yang terkena IMA yakni berada pada umur diatas 50 tahun, baik itu pada pria
ataupun wanita (Anand et al., 2008). Selain itu, orang yang lebih tua cenderung
meninggal karena penyakit jantung. Sekitar 80% kematian dari penyakit jantung
terjadi pada orang yang berusia 65 tahun lebih (Huma et al., 2012).

2.6.1.2 Jenis Kelamin


Jenis kelamin merupakan faktor resiko yang sangat signifikan dalam IMA. Laki-
laki cenderung terkena serangan jantung daripada wanita. Serangan jantung meningkat
pada wanita setalah mengalami menaopause tetapi tetap memiliki tingkat yang tidak sama
dengan pria (Huma et al., 2012). Pada wanita lebih mungkin mengalami IMA tanpa nyeri
dada dan memiliki mortality yang tinggi dibandingkan dengan pria. Faktor resiko yang
lebih dominan pada wanita dibandingkan pria yaitu seperti hipertensi, diabetes, alkohol
serta aktivitas fisik, sedangkan pada pria yang lebih dominan dibandingkan wanita yaitu
faktor kebiasaan seperti merokok (Canto et al., 2012; Anand et al., 2008).

2.6.1.3 Riwayat Keluarga


Peningkatan risiko pertama adanya hubungan darah yang relatif yang memiliki
penyakit jantung koroner atau stroke, sebelum usia 55 tahun untuk saudara laki-laki dan
65 tahun untuk saudara perempuan (Huma et al., 2012).

1
2.6.2 Faktor Resiko yang Dapat Dimodifikasi.
2.6.2.1 Hipertensi
Pasien infark miokard akut lebih banyak pada pasien dengan riwayat penyakit
hipertensi. Hipertensi dapat meningkatakan beban kerja jantung, tekanan darah yang
tinggi secara terus menerus menyebabkan kerusakan pembuluh darah arteri dengan
perlahan-lahan arteri tersebut mengalami pengerasan serta dapat terjadinya oklusi koroner
(Soeharto, 2001; Abduelkarem et al., 2012; Budiman et al., 2015).

2.6.2.2 Dislipidemia
Kejadian infark miokard akut lebih banyak terjadi pada penderita dyslipidemia,
yang mana dapat menjadi faktor risiko infark miokard akut karena proses terganggunya
profil lipid dalam darah terjadi penimbunan lemak pada lapisan pembuluh darah yang
akhirnya mengurangi diameter lumen pembuluh darah akibatnya terjadi iskemia dengan
manifestasi lanjutannya adalah terjadi infark (Soeharto, 2001; Budiman et al., 2015).

2.6.2.3 Obesitas
Kelebihan berat badan dan obesitas berhubungan dengan risiko yang tinggi pada
IMA. Kelebihan berat badan dan obesitas dapat mempengaruhi kesehatan dan perlu
adanya kontrol body mass indeks (BMI) untuk mencegah terjadinya IMA (Zhu et al.,
2014).

2.6.2.4 Diabetes Mellitus


Prevalensi diabetes lebih tinggi terjadi pada orang tua dibandingkan dengan yang
lebih muda. Penelitian lain menunjukkan tingginya prevalensi diabetes dan perannya
yang cukup besar pada IMA untuk usia tua, selain tingginya angka kematian
IMA/ischemic heart disease pada penderita diabetes dibandingkan dengan yang tidak
menderita diabetes, serta pentingnya mengontrol diabetes pada pasien ischemia heart
disease/ima pada lansia (Dabiran et al., 2015).

2.6.2.5 Merokok
Merokok dapat merangsang proses aterosklerosis karena efek langsung terhadap
dinding arteri. Karbon monoksid (CO) dapat menyebabkan hipoksia jaringan arteri,
nikotin merupakan mobilisasi katekolamin yang dapat menyababkan kerusakan dinding
arteri, sedang glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif dinding
arteri (Rilantono et al., 2004).

10
45

2.6.2.6 Inaktivasi Fisik


Orang-orang yang tidak aktif dengan faktor resiko jantung lebih mungkin
berkembang menjadi infark miokard. Untuk mendapatakan kebaikan, harus dimulai dengan
latihan-latihan yang sederhana. Harus ada faktor risiko modifikasi yang agresif sebelum
pelaksanaan aktivitas yang kuat (Huma et al., 2012).

2.7 Manifestasi Klinik


Meskipun beberapa orang tidak menunjukkan gejala-gejala yang jelas dari infark
miokard (serangan jantung), adapaun manifestasi klinis yang signifikan biasanya terjadi:
 Timbul rasa sakit yang bisanya mendadak
 Mual dan muntah
 Rasa lemah
 Nyeri perut, gangguan pencernaan, kulit lembab dan dingin atau pusing (gejala
yang biasa dialami wanita)
 Kulit menjadi dingin, lembab dan pucat karena vasokontriksi simpatis
 Output urine menurun terkait dengan penurunan aliran darah ginjal dan
peningkatan aldosterone dan ADH.
 Takikardia
 Rasa cemas (stress)
Manifestasi klinik klasik dari IMA sama seperti angina tetapi mungkin sedikit lebih
parah yaitu seperti adanya tekanan yang berat pada dada atau perasaan seperti diremas,
perasaan terbakar, atau kesulitan bernapas. Rasa tidak nyaman tersebut dapat menjalar ke
bahu kiri, leher, atau lengan. Biasanya hal tersebut terjadi secara tiba-tiba, berlangsung
lebih dari 30 menit dan sering juga terjadi sesak napas, lemah, mual, serta muntah
(Bonow et al., 2012).
Infark miokard paling sering terjadi pada pagi hari. Mekanisme yang dapat
menjelaskan variasi sirkadian ini mencakup peningkatan nada simpatik di pada hari yang
menyebabkan tekanan darah, denyut jantung, tonus pembuluh darah koroner, dan
kontraktilitas miokard; peningkatan viskositas darah di pagi hari, koagulabilitas, dan
aggregability platelet; dan peningkatan kadar serum kortisol pagi hari dan katekolamin
plasma yang mengarah ke aktivitas simpatik yang berlebihan, sehingga mengakibatkan
peningkatan kebutuhan miokard (Zafari, 2017; Wijnbergen et al., 2012).

2.8 Klasifikasi Infark Miokard Akut


Infark miokard akut dibagi menjadi NSTEMI (Non-ST Elevation Myocardial
Infarction) dan STEMI (ST Elevation Myocardial Infarction). Pada NSTEMI
1
disebabkan oleh penurunan pasokan oksigen dan/atau oleh peningkatan oksigen
miokard. Sedangkan pada STEMI biasanya terjadi ketika aliran darah koroner
menurun tiba-tiba setelah oklusi trombotik dari arteri koroner akibat dari
arterosklerosis (Fauci et al., 2010).

Selain itu, infark miokard diklasifikasi kedalam berbagai jenis, berdasarkan pada
perbedaan patogologis, klinis dan prognostik. Terdapat 5 tipe infark miokard (Thygesen
et al., 2012):
1) MI tipe 1 : infark miokard spontan
2) MI tipe 2 : infark miokard sekunder ketidakseimbangan iskemik
3) MI tipe 3 : infark miokard yang mengakibatkan kematian ketika nilai-
nilai biomarker tidak tersedia
4) MI tipe 4a : infark miokard berkaitan dengan intervensi Percutaneus
Coronary Intervention (PCI)
5) MI tipe 4b : infark miokard berkaitan dengan thrombosis stent, yang
didokumentasikan oleh angiography atau otopsi.
6) MI tipe 5 : infark miokard yang berkaitan dengan Coronary Artery
Bypass Graft (CABG)

2.8.1 Infark Miokard Akut dengan NSTEMI


Pada NSTEMI kerusakan pada plak lebih berat dan menimbulkan oklusi yang
persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Pada kurang lebih ¼ pasien NSTEMI,
terjadi oklusi thrombus yang berlangsung lebih dari 1 jam, tetapi distal dari penyumbatan
terdapat koleteral. Trombolisis spontan, resolusi vasokonstriksi dan koleteral memegang
peranan penting dalam mencegah terjadinya STEMI (BINFAR, 2006).
a) Patofisiologi NSTEMI
Lima proses patofisiologi yang berperan terhadap perkembangan UA/NSTEMI
(Sudoyo et al., 2014):
1. Ruptur plak atau erosi plak dengan tumpukan thrombus non oklusif
(penyebab ini yang berperan dalam terjadinya NSTEMI).
2. Obstruksi dinamis yang disebabkan oleh:
a. Spasme arteri koroner epikardium, seperti pada variant Prinzmetal angina;
b. Resistensi pembuluh darah koroner
c. Vasokontriktor lokal seperti tromboksan A2, yang dilepaskan dari
trombosit
d. Disfungsi dari endotel koroner; dan
e. Stimulus adrenergik termasuk dingin dan kokain
3. Penyempitan hebat lumen arteri koroner yang disebabkan oleh pembentukan
arterosklerotik yang progresif atau restenosis pasca-PCI.
4. Inflamasi
10
5. Angina pectoris tidak stabil sekunder, yang menyebabkan peningkatan
47
kebutuhan oksigen atau penurunan suplai oksigen (misalnya dalam keadaan
takikardi, demam, hipotensi atau anemia).

2.8.2 Infark Miokard Akut dengan STEMI


Pada STEMI disrupsi plak terjadi pada daerah yang lebih besar dan menyebabkan
terbentuknya thrombus yang fixed dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard
terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 (satu) jam dan menyebabkan
nekrosis miokard transmural (BINFAR, 2006).

a) Patofisologi

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah
koroner menurun secara mendadak setelah oklusi thrombus pada plak arterosklerosis
yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat
biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.
STEMI terjadi jika thrombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri
vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan
akumulasi lipid. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi
arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme
koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik (Sudoyo et al., 2014).
Pasien dengan STEMI memiliki kelainan pada regulasi peredaran darah. Proses ini
dimulai dengan obstruksi anatomi atau fungsional dalam vaskuler koroner, yang
mengakibatkan iskemia miokard regional dan jika iskemia tetap ada, infark (pada gambar
2. 7). Jika infark memiliki ukuran yang cukup dapat menekan fungsi keseluruhan LV
sehingga volume stroke LV menurun dan tekanan meningkat. Depresi volume stroke LV,
menurunkan tekanan aorta dan mengurangi tekanan perfusi koroner. Kondisi ini dapat
mengintensifkan iskemia miokard dan dengan demikian akan memulai lingkaran yang
berkelanjutan .

2.9 Diagnosis Infark Miokard Akut


Pada semua pasien dengan dugaan Infark Miokard diawasi secara ketat selama 72
jam untuk memastikan diagnosa dan mengantisipasi komplikasi Diagnosis IMA
ditetapkan dengan dilakukannya amnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram, dan pemeriksaan enzim jantung (PERKI, 2015; Thaler, 2007).

 Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding. Regurgitasi
mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan hipotensi hendaknya selalu
diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi iskemia. Ditemukannya tanda-tanda
regurgitasi katup mitral akut, hipotensi, diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru
1
meningkatkan kecurigaan terhadap SKA. Pericardial friction rub karena pericarditis,
kekuatan nadi tidak seimbang dan regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta,
pneumotoraks, nyeri pleuritic disertai suara napas yang tidak seimbang perlu
dipertimbangkan dalam memikirkan diagnosis banding SKA (PERKI, 2015).
 Elektrokardiogram
Pemeriksaan elektrokardiogram penting untuk membedakan STEMI dan SKA
lainnya. Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan secepat mungkin pada pasien yang
diduga menderita IMA untuk menegakkan diagnosis. Adanya perubahan gelombang T
yang tinggi dan hiperakut merupakan manifestasi pertama dari oklusi koroner yang akut.
Adanya elevasi segmen ST pada gambaran EKG menunjukkan STEMI, sedangkan
adanya depresi segmen ST atau inversi gelombang T dapat menunjukkan suatu NSTEMI
atau UAP (Gambar 2.8) (Griffin and Topol, 2009).
Perubahan karakteristik tertentu terjadi setelah transmural infark miokard khas,
yaitu mempengaruhi ketebalan miokard penuh. ST segmen cepat meningkat, hanya
menetap normal setelah beberapa minggu. Patologi Q-wave terjadi lebih awal dan tetap
sebagai spidol permanen dari infark miokard masa lalu. Lead EKG tertentu yang
mendeteksi perubahan ini menunjukkan posisi infark dalam miokardium, sedangkan
besarnya menunjukkan keparahan dari infark miokard. Kurang umum, jika infark tidak
mempengaruhi ketebalan dinding jantung, Q-wave tetap normal dan segmen ST depresi.
Ini adalah non-Q-wave atau infark subendocardial (Greene and Harris, 2008).
Selama infark miokard akut, gambaran EKG berubah melalui tiga stadium (Thaler,
2007):
1. Gelombang T meninggi (T hiperakut) yang diikuti inversi gelombang T.
2. Elevasi segmen ST
3. Munculnya gelombang Q baru
Troponin adalah protein kompleks yang terdiri atas tiga subunit yaitu troponin
C (TnC), troponin I (TnI), dan troponin T (TnT). Tiap-tiap komponen troponin
memainkan fungsi khusus. TnC mengikat Ca2+, TnI menghambat aktivitas ATPase
aktomiosin dan TnT mengatur ikatan troponin pada tropomyosin (Filatov et al., 1999;
Samsu dan Sargowo, 2007). Struktur asam amino TnT dan TnI yang ditemukan pada otot
jantung berbeda dengan struktur troponin pada otot skeletal, sedangkan struktur TnC pada
otot jantung dan skeletal identic(Murphy and Berding, 1999; Samsu dan Sargowo, 2007).
TnI dan TnT merupakan cardiac specific yang sangat tinggi dan sensitive untuk infark
miokard. Peningkatan awal troponin dikarenakan pelepasan cytoplasmic troponin
dimana peningkatan selanjutnya yang terus menerus disebabkan oleh pelepasan troponin
yang kompleks dari miofilamen-miofilamen yang hancur (Lee, 2009). Kadar normal
untuk TnI adalah <0,35 ng/mL atau <0,35 µg/L, sedangkan kadar normal TnT adalah
<0,2 ng/mL atau 0,2 µg/L (Fischbach and Dunning, 2009). Troponin juga dapat
meningkat saat kerusakan miosit non-iskemik, seperti miokarditis, kardiomiopati, dan
pericarditis (Bender, 2011).
Pemeriksaan enzim Troponin I juga merupakan bagian penting evaluasi pada
10
kecurigaan adanya infark miokardium karena enzim ini meningkat lebih awal daripada
isoenzim CK-MB. Kadar CK biasanya tidak meningkat sampai 6 jam sesudah infark dan
49
kembali normal dalam 48 jam (Thaler, 2007).

 Pemeriksaan laboratorium
Data laboratorium, disamping marka jantung, yang harus dikumpulkan di ruang
gawat darurat adalah tes darah rutin, gula darah sewaktu, status elektrolit, koagulasi
darah, tes fungsi ginjal, dan panel lipid (PERKI 2015).

2.10 Komplikasi Infark Miokard


a) Gangguan Irama dan Konduksi

Ini terjadi pada 95% pasien dengan infark miokard akut. Sinus takikardia sering
dijumpai dan merupakan petunjuk beratnya penyakit. Sinus bradikardia sering ditemui
pada saat infark akut, kadang-kadang merupakan bagian dari sindroma vasovagal,
terutama berhubungan dengan infark miokard inferior dan bisa juga diprovokasi oleh
morfin atau digitalis. Gangguan ini biasanya ringan tetapi dapat menyebabkan hipotensi
atau menimbulkan irama ektopik. Bila blok jantung merupakan komplikasi dari infark
anterior, kematian biasanya tinggi. Blok ini disebabkan kerusakan kedua cabang berkas
dan biasanya bersamaan dengan kerusakan miokard yang luas. Penderita biasanya
mengalami gagal jantung dan prognosisnya buruk walaupun blok jantungnya ditangani
dengan baik (Rilantono et al., 2004).
b) Gagal Jantung Kiri
Gagal jantung kiri jarang ditemui pada serangan infark miokard akut, tetapi bila
terjadi pada 2/3 penderita biasanya timbul dalam waktu 48 jam. Pada penderita gagal
jantung, selain takikardia bisa terdengar bunyi jantung ke tiga, krepitasi paru yang luas
dan terlihat kongesti vena paru atau edema paru pada foto rontgen toraks. Tekanan pada
pembuluh baji paru biasanya lebih dari 20 mmHg (Rilantono et al., 2004).
c) Gagal Ventrikel Kanan
Gagal ventrikel kanan ditandai oleh peningkatan tekanan vena jugularis dan sering
ditemui pada hari-hari pertama sesudah infark akut. Infark ventrikel kanan, yang hamper
selalu bersamaan dengan infark dinding inferior dapat menyebabkan tekanan vena yang
tinggi dan sindroma renjatan, walaupun fungsi ventrikel kiri masih baik. Gambaran klasik
gagal jantung kanan yang berupa edema perifer dan pembesaran hepar jarang dijumpai
dan memerlukan beberapa hari untuk timbulnya gejala, walaupun itu pada penderita
dengan kerusakan miokard yang luas (Rilantono et al., 2004).

2.11 Penatalaksanaan Terapi


Terapi awal untuk IMA yakni diarahkan restorasi perfusi sesegera mungkin
untuk menyelamatkan miokardium sebanyak yang mungkin dapat membahayakan.
Hal ini dapat dilakukan melalui cara-cara medis atau mekanis, seperti Percutaneus
Coronary Intervention (PCI) atau Coronary Artery Bypass Graft (CABG).
1
Meskipun pengobatan awal dari berbagai jenis sindrom koroner akut (SKA)
mungkin tampak mirip, sangat penting untuk membedakan antara apakah pasien memiliki
ST-elevasi MI (STEMI) atau Non-STEMI (NSTEMI), karena terapi definitif berbeda
antara kedua jenis MI. Pertimbangan tertentu dan perbedaan membedakan urgensi terapi
dan tingkat bukti mengenai pilihan farmakologis yang berbeda (Zafari, 2017).

10
51

2.11.1 Terapi Non Farmakologi


Untuk pasien dengan STEMI dalam waktu 12 jam onset gejala, pilihan pengobatan
reperfusi adalah awal reperfusi dengan penanganan pasien yang mengalami primary PCI
arteri dalam waktu 90 menit kontak medis pertama. Untuk pasien dengan NSTEMI,
direkomendasikan angiografi koroner dengan PCI atau operasi CABG revaskularisasi
sebagai pengobatan awal untuk pasien berisiko tinggi, namun juga dapat dipertimbangkan
untuk pasien yang tidak berisiko tinggi (Dipiro et al., 2015).

2.11.2 Terapi Farmakologi


2.11.2.1 Terapi untuk STEMI

Gambar 2. 10 Skema terapi farmakologi pada STEMI (Dipiro et al., 2015)

1
2.11.2.1.1 Penggunaan Oksigen
Oksigen harus diberikan pada pasien dengan saturasi oksigen arteri <90%. Pada
semua pasien STEMI tanpa komplikasi diberikan oksigen selama 6 jam pertama (Sudoyo
et al., 2014).
Suplemen oksigen dengan masker atau nasal cannula diindikasikan untuk pasien
yang terengah-engah, hipoksia (saturasi oksigen <90%), atau yang dengan gagal jantung.
Penggunaan oksigen pada pasien dengan IMA yang tidak termasuk dalam salah satu dari
tiga kategori yang disebutkan diatas masih belum jelas, dengan beberapa penelitian yang
menunjukkan bahaya pada pasien tersebut (Cabello et al., 2013).

2.11.2.1.2 Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik mungkin tidak berguna pada pasien yang datang lebih dari 12
jam setelah onset gejala, meskipun pedoman praktek saat merekomendasikan
pertimbangan fibrinolisis pada pasien dengan gejala area besar miokardium berisiko
(berdasarkan EKG atau pencitraan kardiovaskular) atau ketidaksatbilan hemodinamik jika
PCI tidak tersedia (Zafari, 2017).
Tujuan utama fibrinolysis adalah restorasi cepat patensi arteri koroner. Terdapat
beberapa macam obat fibrinolitik antara lain: tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK) dan reteplase (rPA). Semua obat ini bekerja dengan
cara memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang selanjutnya melisiskan
thrombus fibrin. Terdapat 2 kelompok yaitu: golongan spesifik fibrin seperti tPA dan non
spesifik fibrin seperti streptokinase (Sudoyo et al., 2014).
Tabel II. 2 Obat Fibrinolitik dalam Pengobatan STEMI
Streptokinase Alteplase

(rt-PA)

Dosis 1,5 juta unit dalam 100 mL Bolud 15 mg intravena 0,75 mg/kg
dextrose 5% atau larutan selama 60 menit.
salin 0,9% dalam waktu 30-
Dosis total tidak lebih dari 100 mg
60 menit

(PERKI, 2015)

10
53

2.11.2.1.3 Antiplatelet
a) Aspirin
Aspirin untuk semua pasien tanpa kontraindikasi dalam waktu 24 jam sebelum atau
setelah kedatang ke rumah sakit. Aspirin merupakan tatalaksana dasar pada pasien yang
dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindrom koroner akut inhibisi cepat
siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar tromboksan A2 dicapai dengan
absorpsi aspirin bukal dengan dosis 160-325 mg di ruang emergensi. Selanjutnya untuk
dosis pemeliharaan seumur hidup, aspirin diberikan oral dengan dosis 75-162 mg setelah
STEMI. Karena peningkatan resiko perdarahan pada pasien yang meneruma aspirin
ditambah inhibitor P2Y12, aspirin dosis rendah (81 mg sehari) lebih disukai diikuti PCI
(Dipiro et al., 2015; Sudoyo et al., 2014).

b) Inhibitor Platelet P2Y12


Clopidogrel, prasugrel, dan ticargrelor memblokir sbtype dari reseptor ADP
(reseptor P2Y12) pada trombosit, mencegah pengikatan ADP ke resptor dan ekspresi
berikutnya dari trombosit reseptor GP IIb/IIIa, mengurangi agregasi platelet. Inhibitor
reseptor P2Y12 selain aspirin direkomendasikan untuk semua pasien dengan STEMI.
Untuk pasien yang menjalani PCI primer, diberikan clopidogrel, prasurgel, atau
ticagrelor, selain aspirin, untuk mencegah subakut stent thrombosis dan kardiovaskular
jangka panjang. Durasi yang dianjurkan inhibitor P2Y12 untuk menjalani PCI pasien (baik
STEMI atau NSTEMI) setidaknya 12 bulan untuk pasien yang menerima baik logama
kosong atau stent drug-eluting (Dipiro et al., 2015).
 Ticagrelor : dosis awal yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk perfusi menggunakan fibrinolitik (PERKI, 2015).
 Clopidogrel : dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan
dosis pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjurkan adalah clopidogrel) (PERKI, 2015).
c) Glycoprotein IIb/IIIa Receptor Inhibitor

1
GP IIb/IIIa inhibitor reseptor memblokir jalur akhir dari agregasi platelet, yaitu
closs-linking trombosit oleh jembatan fibrinogen antara GP IIb dan IIIa reseptor di
permukaan platelet. GP IIb/IIIa inhibitor tidak diberikan pada pasien STEMI yang tidak
mendapatkan terapi PCI (Dipiro et al., 2015).
 Abciximab: 0,25 mg/kg IV bolus diberikan 10 sampai 60 menit sebelum
dimulainya PCI, diikuti 0,125 mcg/kg/menit (maksimum 10 mcg/menit)
selama 12 jam.
 Eptifibatide: 180 mcg/kg IV bolus, diulang dalam 10 menit, dilanjutkan
dengan infus 2 mcg/kg/menit untuk 18 sampai 24 jam setelah PCI.
 Tirofiban: 25 mcg/kg IV bolus, kemudian 0,15 mcg/kg/menit sampai 18
sampai 24 jam setelah PCI.

2.11.2.1.4 Antikoagulan
Antikoagulan merupakan terapi tambahan penting untuk terapi reperfusi terlepas
dari strategi yang dipilih (PCI primer atau terapi fibrinolitik). Antikoagulan yang berbeda
tersedia; utilitas masing-masing agen tergantung pada konteks klinis dengan
mempertimbangkan metode reperfusi. Untuk pasien yang menjalani PCI, hentikan
antikoagulan segera setelah prosedur. Pada pasien yang menerima antikoagulan ditambah
fibrinolitik, lanjutkan UFH selama minimal 48 jam dan enoxaparin dan fondaparinux
selama rawat inap, hingga 8 hari. Pada pasien yang tidak menjalani terapi reperfusi, terapi
antikoagulan dapat diberikan hingga 48 jam untuk UFH atau selama rawat inap untuk
enoxaparin atau fondaparinux (Dipiro et al., 2015).
Tabel II. 3 Jenis dan Dosis antikoagulan untuk IMA

Antikoagulan Dosis

Fondaparinuks 2,5 mg subkutan

Enoksaparin 1mg/kg, dua kali sehari

Heparin tidak Bolus i.v 60 Unit/kg, dosis maksimal 4000 U.


terfraksi
(UFH) Infus i.vi. 12 Unit/kg selama 24-48 jam dengan dosis
maksimal 1000 U/jam target aPTT 1½-2x control

(PERKI, 2015)

10
55

2.11.2.1.5 Beta Bloker


Beta blocker menghambat kronotropik, inotropic, dan respons vasokontriktor pada
katekolamin, epinefrin dan norepinefrin. Beta blocker memiliki efek yang berbeda pada 3
reseptor adrenergic (β1, β2, dan α) dan efek durasinya. Beta blocker kardioselektif
menghambat reseptor β1 yang terdapat di miokardium. Beta blocker non-kardioselektif
juga menghambat reseptor β2, yang ditemukan dalam otot polos di paru-paru, pembuluh
darah, dan organ lainnya. Beta blocker dengan intrinsic sympathomimetic activity (ISA)
berperan sebagai agonis adrenergik parsial dan memiliki efek bradikardi dan
bronkokonstriksi yang lebih sedikit dari beta blockers lainnya (Helfand et al., 2009).
Banyak beta bloker yang memiliki sifat tambahan yang mempengaruhi pilihan pada
hipertensi (BHS, 2008):
 Selektivitas: karena efek yang diinginkan dari beta bloker dimediasi oleh
blokade β1 reseptor yang mendominasi pada jantung, agen “kardioselektif”
dengan relative selektivitas untuk reseptor lebih disukai. Namun, reseptor
selektivitas tidak mutlak dan hilang pada dosis tinggi. Yang termasuk dalam
kardioselektif beta bloker adalah atenolol, bisoprolol dan metoprolol.
 Aktivitas agonis parsial (aktivitas simpatomimetik intrinsik):
bermanifestasi sebagai efek beta stimulan ketika aktivitas adrenergic rendah
(misal tidur) tapi beta-blokade terjadi ketika aktivitas adrenergic meningkat
(misal saat berolahraga). Yang termasuk dalam beta bloker dengan aktivitas
agonis parsial ini yaitu pindolol.
 Menstabilkan aktivitas membran: memberikan bius lokal dan efek
antiaritmia misalnya sotalol.
 Lainnya: beberapa beta bloker juga memblokir efek mediasi di alpha
adrenoseptor perifer (missal carvedilol dan labetalol), merangsang beta2-
adrenoseptor (missal celiprolol) atau memiliki aktivitas vasodilator
langsung (misal nebivolol).
Obat ini memiliki potensi untuk menekan ektopi ventrikel akibat iskemia atau
kelebihan katekolamin. Dalam pengaturan iskemia miokard, beta blocker memiliki sifat
antiaritmia dan mengurangi kebutuhan oksigen miokard sekunder untuk peningkatan
denyut jantung dan inotropi (Zafari, 2016).

1
Mekanisme kerjanya yaitu beta bloker sebagai antagonis kompetitif terhadap norepinefrin
pada beta reseptor. Menurut Bellau, efek pemblokan beta reseptor terjadi karena adanya
substituent yang besar pada atom nitrogen. Dengan mengikat cincin adenine dari ATP, substituent
tersebut mencegah proses alih proton, dengan menggantikan cincin adenine dari tempat
pengikatan pada permukaan reseptor (Siswandono dan Soekardjo, 2008).
Tabel II. 4 Generasi Beta Blocker

Properties Drugs

1st Generation Non-selective Propranolol, Timolol,


Pindolol, Nadolol,
No vasodilatation
Sotalol

2nd Generation β1-selective without vasodilation Atenolol, Bisoprolol,


Metoprolol

Nebivolol, Acebutolol
β1-selective with vasodilation

3rd Generation Non-selective with vasodilation Carvedilol, Bucindolol

(Opie and Gersh, 2008)


Penggunaan beta bloker dalam 24 jam pertama dan berlanjut tanpa henti. Memberikan manfaat
hasil dari blokade β1-reseptor dalam miokardium seperti mengurangi denyut jantung,
kontraktilitas miokard, dan tekanan darah, sehingga mengurangi kebutuhan oksigen miokard.
Selain itu, denyut jantung berkurang meningkatkan waktu diastolik, sehingga meningkatkan
pengisian ventrikel dan pergusi arteri koroner. Beta bloker mengurangi resiko iskemia berulang,
ukuran infark, reinfarction, dan artimia ventrikel (Dipiro et al., 2015).
 Metoprolol: 5 mg IV bolus dengan pemberian lambat (lebih dari 1-2 menit),
diulang setiap 5 menit untuk total dosis awal 15 mg.
 Propanolo: 0,5-1 mg IV bolus dengan pemberian lambat, diikuti dalam 1-2 jam
dengan 40-80 mg per oral setiap 6-8 jam.
 Atenolol: 5 mg IV, diikuti 5 menit kemudian dengan dosis 5 mg IV kedua,
kemudian 50-100 mg per oral sekali sehari 1-2 jam setelah dosis IV.
Tabel II. 5 Dosis beta bloker yang digunakan pada terapi IMA

Beta bloker Selektivitas Aktivitas Dosis untuk angina (oral)


agonis parsial

5
6
57

Atenolol β1 - 50-200 mg/ hari

Bisoprolol β1 - 10 mg/hari

Metoprolol β1 - 50-200 mg/hari

Propanolol Nonselektif - 2x20-80 mg/hari

(PERKI, 2015)
2015)

57
BAB III
PEMBAHASAN
Pada anamnesis didapatkan bahwa pasien datang dengan keluhan utama adalah
nyeri dada kiri yang tidak berkurang sejak 4 jam SMRS. Keluhan sesak tidak dipengaruhi
cuaca, posisi dan emosi. Semakin hari dirasakan semakin bertambah sesak. Klinis
mengenai keluhan sesak napas dapat di bagi menjadi beberapa gangguan pada organ
tubuh. Gangguan pada organ paru terutama menjadi petimbangan utama, diikuti gangguan
jantung yang dapat menimbulkan sesak napas apabila terjadi edema paru, gangguan pada
ginjal juga dapat menimbulkan retensi cairan dan berakibat pada edem paru.

Pasien adalah seorang laki-laki berusia 27 tahun. Pada anamnesis didapatkan


bahwa pasien tidak ada keluhan demam, tidak ada batuk lama, tidak ada penurunan nafsu
makan, tidak ada keringat di malam hari, sehingga kemungkinan keluhan sesak disebabkan
oleh TB dapat disingkirkan. Selain itu, sesak pada pasien ini tidak dipengaruhi oleh cuaca,
emosi, dan debu, serta tidak ada keluhan mengi, sehingga kemungkinan asma dapat
disingkirkan.

Kemudian tidak ditemukan peningkatan tekanan vena jugularis, edema pretibial


dan ascites sehingga diagnosis sesak karena gagal jantung kanan dapat disingkirkan, juga
tidak ditemukan ronkhi basah pada suara napas pasien sehingga diagnosis sesak karena
edema pulmonum dapat disingkirkan.

Pemeriksaan penunjang yang disarankan pada pasien adalah pemeriksaan


elektrokardiografi. Pemeriksaan EKG ini digunakan untuk menilai anatomi dan fungsi
jantung, miokardium dan pericardium, dan mengevalusi gerakan regional dinding jantung
saat istirahat dan saat diberikan stress. Rekaman EKG yang dilakukan saat sedang nyeri
dada sangat bermanfaat, dapat mengetahui segmen ST dan mencari apakah adanya inversi
gelombang T. Dari gambaran EKG yang dilakukan pada pasien ini ditemukan peningkatan
segmen ST yang membantu menegakkan diagnosa bahwa pasien ini mengalami STEMI
lateral. Selain itu dibutuhkan juga diperiksanya kadar dari enzim jantung, karena dari
tingginya enzim jantung atau abnormalitasnya nilai enzim jantung dapat menentukan
sudah terjadi atau belumnya miokard infark pada kasus ini.
Tata laksana awal yang dapat diberikan pada pasien adalah pemberian oksigen
melalui nasal canule 3-4 L/m dan dapat diberikan obat golongan nitrogliserrin short acting
(isosorbide dinitrate) sublingual saat nyeri dada serta pemasangan IV line. Pemeriksaan

5
8
59

EKG, pemberian aspilet 80 mg, clopidogrel 75 mg, dan morfin jika nyeri juga tidak berkurang.
dan pasien disarankan untuk dirujuk untuk dilakuan revaskularisasi.

59
DAFTAR PUSTAKA

1. Alwi, I., 2014. Infark Miokard Akut dengan Elevasi ST. In Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:
Interna Publishing. pp.1457-72.
2. Darliana, D., 2010. MANAJEMEN PASIEN ST ELEVASI MIOKARDIAL INFARK
(STEMI). Idea Nursing Journal, 1, pp.14-20.
3. Gayatri, N.I., Firmansyah, S., Hidayat, S. & Rudiktyo, E., 2016. Prediktor Mortalitas
Dalam-Rumah-Sakit Pasien Infark Miokard ST Elevation (STEMI) Akut di RSUD dr.
Dradjat Prawiranegara Serang, Indonesia. CDK, 43, pp.171-74.
4. Irmalita et al., 2015. PEDOMAN TATALAKSANA SINDROM KORONER AKUT.
Jakarta: Centra Communications.
5. Wagyu, E.A., Rampengan, S.H. & Pangemanan, J., 2013. GAMBARAN PASIEN
INFARK MIOKARD DENGAN ELEVASI ST (STEMI) YANG DIRAWAT DI BLU
RSUP PROF. DR. R. D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI. Jurnal e-CliniC
(eCl), 1, pp.1-8

6
0
61

Portofolio

PORTOFOLIO OBGYN
“PREEKLAMPSIA BERAT”

Disusun oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan

Pendamping:
dr. Fitri Isneni

Wahana:
RS Siti Aisyah Lubuklinggau

KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM
KESEHATAN BADAN PPSDM KESEHATAN

2021

61
1

BAB I
PENDAHULUAN

AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di negara Asia Tenggara.
Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia
sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.1 Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan
(30%), hipertensi dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan kasus
preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju. Prevalensi
preeklampsia di negara maju adalah 1,3%
- 6%, sedangkan di negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia di Indonesia
sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. 2
Pre-eklampsia adalah bentuk tersering dari hipertensi yang menjadi komplikasi pada
kehamilan, didefinisikan dengan adanya onset baru hipertensi ditambah dengan onset baru
proteinuria. Namun, walaupun kedua kriteria ini dianggap sebagai definisi klasik, beberapa wanita
dengan hipertensi dan tanda multi-sistem merupakan indikasi keparahan penyakit walaupun tanpa
adanya proteinuria.3
Definisi preeklampsia direvisi di tahun 2014 dan definisikan sebagai hipertensi yang
terjadi setelah 20 minggu kehamilan dengan satu atau lebih tanda berikut: proteinuria, disfungsi
organ maternal (termasuk gangguan renal, hepatik, hematologi, dan neurologis) atau pertumbuhan
janin terhambat. Hal terpenting dari pembaharuan ini adalah definisi ini tidak menuntut adanya
proteinuria untuk menegakkan diagnosa. Ditambahkannya pertumbuhan janin terhambat sebagai
salah satu kriteria diagnosis dapat meningkatkan jumlah wanita yang memenuhi kriteria
preeklampsia dan hal ini merupakan perubahan yang signifikan.3
Penegakan diagnosis preeklampsia masih menjadi tantangan bagi klinisi, bahkan dengan
preeklampsia berat, seorang wanita dapat terlihat asimptomatik. Beberapa penelitian melaporkan
38% wanita preeklampsia tampak asimptomatik. Semakin awal onset dari preeklampsia berasosiasi
dengan hambatan pada pertumbuhan janin. Tidak teridentifikasinya gangguan pada pertumbuhan
janin berkontribusi dengan kematian janin, 1 dari 20 kematian janin tanpa adanya kelainan
abnormal adalah akibat dari preeklampsia yang tidak terdiagnosa. Angka mortalitas dan morbiditas
ibu dan janin yang cukup tinggi akibat preeklampsia memerlukan pemahaman dan manajemen
yang memadai, selain itu perlunya identifikasi preeklampsia lebih dini serta identifikasi faktor-
faktor risiko pada ibu hamil dapat membantu menurunkan angka mortalitas dan morbiditas pada ibu
dan janin.

1
BAB II
STATUS PASIEN

2.1 Identitas Pasien


a. Nama

b. : Ny. T

c. Jenis Kelamin : Perempuan


d. Tanggal lahir : 11 Juni 1997
e. Umur : 23 tahun
f. Agama : Islam
g. Alamat : Megang Sakti, Musi Rawas
h. Tingkat Pendidikan : SMA
i. MRS : 4 September 2021

2.2 Anamnesis

Keluhan Utama : Hamil cukup bulan dengan darah tinggi

Keluhan Tambahan : Kaki bengkak dan penglihatan kabur

Riwayat Perjalanan Penyakit:


± 4 jam SMRS, os kontrol dengan bidan dan dikatakan darah tinggi, lalu os disarankan untuk
ke RS Siti Aisyah. Riwayat perut mulas menjalar ke pinggang yang dirasakan semakin lama
semakin kuat dan sering (+). Riwayat keluar darah lendir (-). Riwayat keluar air-air (-). Riwayat
darah tinggi sebelum hamil (-), riwayat kejang (-), kaki sembab (+), kencing berbusa (+),
penglihatan kabur (+), nyeri kepala (+), riwayat trauma (-), riwayat perut diurut-urut (-), post coitus
(-), riwayat minum jamu-jamuan (-), riwayat minum alkohol dan merokok (-), Riwayat darah tinggi
selama hamil (+) pada kehamilan sebelumnya (+). Riwayat mual muntah (-). Riwayat nyeri ulu hati
(-). Pasien mengaku hamil cukup bulan, dengan gerakan janin masih dirasakan.
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat darah tinggi pada kehamilan (+) hingga kejang
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat penyakit tiroid disangkal
 Riwayat penyakit jantung dalam kehamilan disangkal
3

 Riwayat asma disangkal


 Riwayat alergi disangkal
Riwayat Penyakit dalam Keluarga :
 Riwayat darah tinggi dalam keluarga (+) pada ibu pasien
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat persalinan prematur dalam keluarga (-)

Riwayat Pengobatan: rutin ANC di bidan, sudah 3x


Riwayat Kontrasepsi: tidak ada
Status sosiekonomi dan gizi : cukup
Status pernikahan : menikah, 1 kali, lama menikah 4 tahun
Status reproduksi : menarche, 13 tahun, teratur, lama haid 7 hari, siklus 28 hari
Status sosiekonomi dan gizi : cukup
Status persalinan :
1. 2016, anak laki-laki, kurang bulan, 2500 gram, SC di RS a/i eklampsia, anak sehat
2. Hamil ini
Riwayat kehamilan sekarang
 HPHT : 25 November 2021
a. Taksiran persalinan : 4 September 2021

2.3 Pemeriksaan Fisik


2.3.1 Status Generalis
a. Keadaan umum : Tampak sakit sedang
b. Kesadaran : Compos Mentis (E4M6V5)
c. Tekanan darah : 162/100 mmHg
d. Laju nadi : 86x/menit, reguler, kuat angkat, isi/kualitas cukup
e. Laju nafas : 20x/menit, reguler
f. Suhu : 36,5°C
g. Saturasi oksigen : 98%
h. BB : 78 kg
i. TB : 154 cm

2.3.2 Pemeriksaan Spesifik


a. Kepala : normosefali, konjungtiva anemis (+), sklera ikterik (-), eksoftalmos (-),

3
edema palpebra (-/-), refleks cahaya (+/+), visus menurun (+)
b. Leher : JVP 5-2 cmH2O, pembesaran tiroid (-), limfadenopati (-)
c. Pulmo :
Inspeksi: simetris statis dan dinamis, skar (-), retraksi (-)
Palpasi: stem fremitus kanan=kiri, nyeri tekan (-) Perkusi:
sonor di kedua lapangan paru
Auskultasi: suara dasar vesikuler (+/+) ronkhi (-), wheezing (-)

d. Cor
Inspeksi : iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : iktus kordis tidak teraba
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : BJ I&II normal, regular, laju jantung 86x/menit, murmur (-), gallop (-)

e. Abdomen
Inspeksi : cembung, skar (+) bekas SC
Lihat pemeriksaan obstetrik
f. Ekstremitas : Akral hangat, CRT <3’’, edema pretibial (+/+),
g. Pemeriksaan Obstetrik:
Pemeriksaan Luar :
Tinggi Fundus Uteri (TFU) 3 jari bawah processus xiphoideus (33 cm), situs memanjang.
Punggung kanan, presentasi kepala, penurunan 5/5, HIS (-), DJJ 140 x/menit, TBJ 3100
gram
Pemeriksaan Dalam (VT) :
Portio lunak, posterior, portio tampak kuncup, effacement 0%, kepala floating, ketuban
dan petunjuk belum dapat dinilai.

h. Indeks Gestosis
0 1 2 3

Edema Tidak ada Pretibia Umum

Proteinuria + ++ +++ ++++


Kuantitatif

TD Sistolik <140 140-160 160-180 >180

TD Diastolik <90 90-100 100-110 >110

Total Score Pada Pasien : 5


5

2.4 Pemeriksaan Penunjang


a. 2.4.1 Pemeriksaan Laboratorium 4 September 2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hematologi
Hb 8,2* 11,40-15,00 g/dL
RBC 4,50 4,00-5,70x106/mm3
WBC 18,69* 4,73-10,89x103 /mm3
35-45%
Ht 27
Nilai kritis: <20 - >55
Trombosit 310 189-436 x103/ul
Diff. Count
Basofil 0 0-1%
Eosinofil 1 1-6%
Neutrofil 70 50-70%
Limfosit 22 20-40%
Monosit 7 2-8%
SGOT 24 0-32
SGPT 15 0-31
Ureum 15* 16,6-48,5
Creatinin 0,76 0,5-0,9
Ca 8,0* 8,8-10,2
GDS 81 <200
Na 144 135-155
K 2,9* 3,5-5,5
Cl 115* 96-106
Urin rutin
Warna urin Kuning Kuning
Kejernihan Jernih Jernih
Berat jenis 1,010 1,003-1,03
PH 7 5-9
Protein + Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Darah ++ Negatif
Bakteri + Negatif

2.5 Diagnosis Kerja


G2P1A0 Hamil 41 Minggu Belum Inpartu dengan Pre-eklampsia Berat JTH Preskep

2.6 Tatalaksana
2.6.1 Tatalaksana di unit gawat darurat
Non-Farmakologi:
 Informed consent
 Stabilisasi 1-3 jam

5
 Ekspektatif dan aktif
 Observasi tanda-tanda vital ibu, his, denyut jantung janin (DJJ), dan tanda-tanda
inpartu
 Tirah baring, miring kiri
 Kateter menetap
 Cek lab darah rutin, kimia darah, dan ureum kreatinin
 Cek urin rutin

Farmakologi:
 IVFD Ringer Laktat gtt xx /menit
 Loading dose: Inj. MgSO4 40% 4 gr (IV) (dalam 10 cc) selama 15 menit.
 Maintenance dose : Drip MgSO4 40% 6 gr (IV) (dalam larutan RL 500cc/6 jam)
 Nifedipine 10mg/6 jam (PO)

2.7 Prognosis
Prognosis Ibu : Dubia ad bonam
Prognosis Janin : Dubia ad bonam
7

BAB III
PEMBAHASAN

Ny. PA, 25 tahun G2P1A0 hamil cukup bulan datang ke IGD RSSA dengan
keluhan darah tinggi. + 6 jam SMRS, os kontrol dengan bidan dan dikatakan darah tinggi,
lalu os disarankan untuk ke RSSA. Riwayat perut mulas menjalar ke pinggang yang
dirasakan semakin lama semakin kuat dan sering (-). Riwayat keluar darah lendir (-).
Riwayat keluar air-air (-). Riwayat darah tinggi sebelum hamil (-), riwayat kejang (-), kaki
sembab (+), kencing berbusa (+), riwayat trauma (-), riwayat perut diurut-urut (-), post
coitus (-), riwayat minum jamu-jamuan (-), riwayat minum alkohol dan merokok (-),
Riwayat darah tinggi selama hamil (-). Riwayat sakit kepala (-). Riwayat mual muntah (-).
Riwayat nyeri ulu hati (-). Pasien mengaku hamil cukup bulan, dengan gerakan janin
masih dirasakan.
Berdasarkan hasil anamnesis, didapatkan bahwa os datang dengan keluhan darah
tinggi. Keluhan darah tinggi pada kehamilan memiliki beberapa kemungkinan berupa
hipertensi kronik, hipertensi gestasional, preeklamsia dan eklamsia. Keluhan utama pasien
dapat diperinci dengan anamnesis dan dikonfirmasi melalui pemeriksaan fisik.
Berdasarkan pemeriksaan fisik didapatkan 2 kali pengukuran tekanan darah 162/100
mmHg dan uji urinalisis didapatkan proteinuria (+). Os tidak memiliki riwayat darah tinggi
sebelum kehamilan. Pada kehamilan ini, Os mengetahui darah tinggi saat kontrol yang
terakhir. Kunjungan pemeriksaan antenatal sebanyak 4 kali, yakni pada trimester 1
kunjungan 1x dengan waktu anjuran sebelum minggu 16, kunjungan trimester 2 minimal
1x kunjungan dengan waktu anjuran minggu 24-28, dan kunjungan pada trimester 3
minimal 2x kunjungan antra minggu 30-32 dan antara minggu 36-38. Hipertensi kronik
adalah hipertensi tanpa proteinuria yang timbul dari sebelum kehamilan dan menetap
setelah persalinan. Preeklamsia didefinisikan sebagai hipertensi yang baru terjadi pada
kehamilan/ diatas usia kehamilan 20 minggu disertai adanya gangguan organ. Eklampsia
adalah hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20 minggu
disertai adanya gangguan organ disertai kejang.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang adanya
riwayat darah tinggi (Sistol >140 mmhg) pada kehamilan sekarang, kencing berbusa
(konfirmasi preinuria +), menunjukkan kondisi preeklampsia berat yang diderita oleh
pasien. Preeklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :
1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg

7
diastolikpada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang
sama.
2. Trombositopenia : trombosit < 100.000 / mikroliter
3. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar
kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
4. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau
adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi uteroplasenta:
Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan absent or
reversed end diastolic velocity (ARDV).
Riwayat keluar air-air dari kemaluan disangkal. Riwayat perut mulas menjalar ke
pinggang yang durasinya semakin lama, semakin kuat dan semakin sering (-). Riwayat
keluar darah dan lendir (-). Pada pemeriksaan obstetri pada pemeriksaan luar didapatkan
Tinggi fundus uteri (TFU) 3 jari dibawah proc. xyphoideus (33 cm), situs memanjang.
Punggung kanan, presentasi kepala, penurunan 5/5, HIS (-), DJJ 144 x/menit, TBJ 3100
gram. Pada pemeriksaan dalam didapatkan Portio lunak, posterior, portio tampak kuncup,
effacement 0%, kepala floating, ketuban dan petunjuk belum dapat dinilai. Hal ini
menunjukkan tanda belum inpartu pada Os.
Berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang maka
diagnosis pasien ini adalah G2P1sA0 Hamil 41 Minggu Belum Inpartu dengan Pre-
eklampsia Berat JTH Preskep.
Penatalaksanaan awal pada pasien adalah stabilisasi pasien dan mencegah agar
preeklampsia berat tidak berubah menjadi eklampsia. Pasien diberikan IVFD RL gtt
xx/menit, pemasangan kateter foley dan pemberian MgSO4 40%. Pemberian awal MgSO 4
40% secara intravena dengan dosis 4 mg. Selanjutnya dosis pemeliharaan diberikan drip
MgSO4 40% 6 mg dalam RL 500cc/6 jam. Pemberian antihipertensi berupa Nifedipine
10mg/6 jam bertujuan untuk menurunkan tekanan darah. Pada tahap ini dilakukan
pemantauan secara berkala tanda-tanda vital ibu.
Pada anamnesis ditemukan tanda-tanda impending preeklampsia yang mendandakan
adanya faktor untuk harus dilakukan manajemen aktif yaitu terminasi. Dari hasil follow-up
yang dilakukan selama 6 jam untuk tekanan darah menunjukkan perbaikan, yaitu
130/90mmHg sehingga segera direncanakan untuk dilakukan SC.
9

Dengan demikian dilakukan tindakan manajemen aktif (sambil memberi pengobatan,


kehamilan diakhiri) menjadi pilihan dalam kasus ini karena memenuhi indikasi dari
manajemen aktif dari PEB dengan usia aterm dan bayi viable.

9
DAFTAR PUSTAKA

1. Prawirohardjo,S., 2014. Ilmu Kebidanan. Hipertensi dalam Kehamilan. Jakarta:


Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Hal 522-60
2. American College of Obstetricians and Gynecologists. 2013. Hypertension in
pregnancy. ACOG Technical Bulletin No. 219.
3. Cunningham, FG., et al. 2014. Obstetri Williams (Williams Obstetri) Edisi 4.
Hypertensive Disorder. Jakarta : EGC. Hal. 728-64
4. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto
Maternal 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis Dan Tata
Laksana Pre-Eklampsia. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia.
5. LeiH ,Zhiling Y,et al. 2014. Antepartum or Immediate Postpartum Renal Biopsi
Preeklampsia of Pregnancy: new Morphologic and Clinical
Findings.IntJClinExpPathol. 7(8): 5129-5143.
6. Staff Anne C, Benton Samantha J, Dadelszen Peter V et al. 2013. Redefining
Preeklampsia Using Placenta - Derived Biomarkers.Hypertension. 61: 932-942.
7. Sulistyowati Sri, AbadiAgus, Hood J et al. 2010. The Influence of Low HLA-G
Protein Expression on HSP-70 and VCAM-1 Profile in Preeklampsia.Indonesian J
ObstetGynecol. Vol 34(4).185-190.
8. Powe CE, Levine RJ, Karumanchi A. 2014. Preeclampsia, a disease of the maternal
endothelium : the role of antiangiogenic factors and implications for later
cardiovascular disease. American Heart Association Journals;123(24) : Hal.. 2856-
69.
9. Wibowo, N et all. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Diagnosis dan
Tatalaksana Pre-eklamsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia
Himpunan Kedokteran Feto Maternal.
10. Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY.
Pregnancy hypertension. Williams Obstetric. 23rd ed. New York. Mc Graw-Hill
Companies, Inc; 2010: p. 706-56
11. Redman CW, Sargen IL. Immunological faktors and placentation: Implication for
preeklampsia. Lyall F, Belforrt M. Preeklampsia, Etiology and clinical practice.
Cambridge, 2007; 112-14
11

12. Petersen F, Heller S, Joshi V. Lesions of the placenta associated with pathologic
maternal clinical presentations and/or underlying maternal disorders. Placental
pathology. 2nd edition. 2006; 223-5

11
Portofolio

PORTOFOLIO PARU
“ ASMA EKSASERBASI AKUT

Disusun oleh:
dr. Anggraini Tiara Septiyana Gunawan

Pendamping:
dr. Fitri Isneni

Wahana:
RS Siti Aisyah Lubuklinggau

KOMITE INTERNSIP DOKTER INDONESIA


PUSAT PERENCANAAN DAN PENDAYAGUNAAN SDM
KESEHATAN BADAN PPSDM KESEHATAN

2021

12
13

BAB I
PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang


melibatkan sel dan elemennya, di mana dapat menyebabkan
peningkatan hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala
episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.

Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas,


mengi, rasa berat di dada. Gejala biasanya timbul atau memburuk
terutama malam atau dini hari Setelah pasien asma terpajan alergen
penyebab maka akan timbul dispnea, pasien merasa seperti tercekik
dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan tenaga lebih
kuat untuk bernapas. Kesulitan utama terletak saat ekspirasi,
percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi
namun sulit untuk memaksa udara keluar dari bronkiolus yang sempit
karena mengalami edema dan terisi mukus. Akan timbul mengi yang
merupakan ciri khas asma saat pasien berusaha memaksakan udara
keluar. Biasanya juga diikuti batuk produktif dengan sputum berwarna
keputih-putihan.

13
1

BAB II
LAPORAN KASUS
Nama : Ny. SS
Umur : 34 Tahun
Deskripsi :
Keluhan Utama :
Sesak nafas hebat sejak 3 jam SMRS
Riwayat Perjalanan Penyakit :
3 jam SMRS pasien mengeluh sesak napas yang bertambah berat. Sesak
napas muncul setelah 1 hari sebelumnya pasien menghirup asap pembakaran
sampah. Sesak dirasakan terus menerus, sesak dirasakan sedikit berkurang bila
pasien duduk, sesak tidak seperti tertimpa beban berat, sesak tidak dipengaruhi
aktivitas. Mengi (+), batuk (+), berdahak, warna putih, darah (-), demam (-),
keringat pada malam hari (-),j penurunan berat badan (-), mual (-), muntah (-),
nyeri dada (-). Pasien masih dapat berkomunikasi dalam kalimat. Pasien mengaku
keluhan sesak napas disertai mengi seperti ini terakhir kali dirasakan pasien 3
tahun yang lalu. Riwayat keluar kota disangkal, riwayat kontak dengan pasien
terkonfirmasi Covid-19 disangkal. BAB dan BAK tidak ada keluhan.
4 hari SMRS pasien mengeluh demam. Demam dirasakan sepanjang hari
tidak terlalu tinggi, demam tidak disertai menggigil dan keringat malam hari.
Pasien juga mengeluh nyeri tenggorokan, batuk (+), dahak (+) sulit dikeluarkan,
sesak (+), sesak tidak dipengaruhi aktivitas, mual (+), muntah (-), badan terasa
lemas (+). Pasien berobat ke praktek dokter keluhan berkurang.
1. Diagnosis / Gambaran Klinis :
Asma Eksaserbasi Akut Derajat Ringan/Sedang
- Sesak napas
- Batuk berdahak

1
2. Riwayat Pengobatan :
Riwayat pengobatan asma (+) pasien lupa nama obat.
3. Riwayat Kesehatan/Penyakit :
Riwayat asma sejak umur ± 9 tahun.
Riwayat batuk lama dan minum obat 6 bulan disangkal.
Riwayat DM disangkal
Riwayat hipertensi disangkal
Riwayat penyakit jantung disangkal
4. Riwayat Keluarga :
Riwayat asma diderita oleh ibu kandung
Riwayat penyakit jantung pada keluarga disangkal
Riwayat batuk lama dan minum obat selama 6 bulan dalam keluarga disangkal
Riwayat kontak dengan penderita TB disangkal
Tidak ada riwayat alergi makanan dan obat
5. Riwayat Pekerjaan :
Ibu Rumah Tangga

2
3

Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan umum : Sens: CM GCS : E4M6V5 tampak sakit sedang
TTV :
- Tekanan darah : 130/90 mmHg
- Nadi : 105x/ menit, regular, isi dan tegangan
cukup
- Pernapasan : 32x/ menit, tipe thoracoabdominal
- Suhu : 36,5˚ C (aksilar)
- SpO2 : 95% dengan O2 nasal canule 4L/m
Status Lokalis
 KEPALA
1. Ekspresi : normal
2. Simetris muka : simetris kiri = kanan
3. Deformitas : (-)
4. Hematom : (-)
5. Laserasi : (-)
6. Rambut : hitam, keriting, sukar dicabut

3
 MATA
1. Eksoftalmus/ endoftalmus: (-)
2. Gerakan : tidak dapat dinilai
3. Kelopak mata : ptosis (-)
4. Konjungtiva : anemis (-)
5. Sklera : ikterus (-)
6. Kornea : refleks kornea +/+
7. Pupil : refleks cahaya +/+, isokor, 2,5 mm

 TELINGA
1. Nyeri tekan di proc. Mastoideus : (-)
2. Pendengaran : tidak dapat dinilai

 HIDUNG
1. Perdarahan : (-)
2. Sekret : (-)

 MULUT
1. Bibir : kering (+), sianosis (-)
2. Gigi geligi : karies (-)
3. Gusi : perdarahan (-)
4. Tonsil : T1-T1, hiperemis (-)
5. Farings : hiperemis (-)
6. Lidah : kotor (-)

 LEHER
1. Kelenjar getah bening : tidak ada pembesaran
2. Kelenjar gondok : tidak ada pembesaran
3. Massa tumor : (-)
4. Nyeri tekan : (-)

4
5

5. Deviasi trakea : (-)


6. Kaku kuduk : (-)

 THORAKS
1. Inspeksi : simetris kiri = kanan, retraksi (-), luka (-), hematom
(-)
2. Palpasi : nyeri tekan (-)
3. Perkusi : sonor
4. Auskultasi : vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing +/+ Ekspirasi
pada semua lapang paru

 COR
1. Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
2. Palpasi : ictus cordis tidak teraba
3. Perkusi : pekak, batas atas jantung ICS II sinistra, batas
kanan jantung ICS IV linea parasternalis dextra, batas kiri jantung ICS
V linea midclavicularis sinistra
4. Auskultasi : BJ I/II murni reguler, murmur (-), gallop (-)

 ABDOMEN
1. Inspeksi : datar
2. Palpasi : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
membesar
3. Perkusi : timpani (+)
4. Auskultasi : Bising usus (+) normal

 EKSTREMITAS
1. Edema : (-)
2. Akral : hangat
3. CRT : < 2 detik

5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
- Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai normal Keterangan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (Hb) 12,5 g/dL 12-15 g/dL Normal
Eritrosit (RBC) 4,2 x 106/mm3 3,00-5,40x106/mm3 Normal
Leukosit (WBC) 9900/ mm3 5.000-10.000/mm3 Normal
Hematokrit (Ht) 35% 33-47% Normal
Trombosit 146 x 103/L 150-450 x 103/L Menurun

Hitung jenis leukosit

1.2 Basofil 0% 0-2% Normal

1.3 Eosinofil 1% 2-4% Normal

1.4 Neutrofil 64% 50-70% Meningkat

1.5 Limfosit 10% 25-40% Menurun

1.6 Monosit 7% 2-8% Normal

Daftar Masalah
1. Sesak napas
2. Batuk berdahak
Diagnosis
Asma Eksaserbasi Akut Derajat Ringan/Sedang

Medikamentosa dan non-medikamentosa:


 O2 2-3 liter/menit (IGD)
 Nebulisasi Combivent 2 amp (IGD)
 Injeksi dexamethasone 1 amp extra (IGD)
 BcomZet 1x1 PO
 N. acetylcysteine 3 x 200mg PO
 Salbutamol 3 x 2 mg PO

6
7

 Sukralfat 3 x 1 c PO
 Omeprazole 2 x 40 mg PO
 Methylprednisolone 3 x 4 mg PO (selama 3hari)
 Simbicort 2 x1 (pagi dan sore)
 Barotec KP sesak napas berat
2. Pendidikan: mengedukasi pasien untuk berobat teratur, Hindari faktor
pencetus, seperti cuaca dingin, makanan, asap rokok, dll, istirahat yang
cukup, gaya hidup sehat, olahraga teratur, serta penatalaksanaan penyakit
apabila dalam serangan.
3. Konsultasi: menjelaskan mengenai diagnosis Asma dan Covid 19
berdasarkan hasil pemeriksaan, terapi yang diberikan, dan prognosis.

7
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1 Asma
1.1 Pengertian Asma
Asma adalah penyakit inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan sel
dan elemennya, di mana dapat menyebabkan peningkatan hiperesponsif jalan napas
yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa
berat dan batuk-batuk terutama malam dan atau dini hari. Gejala tersebut
berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali
bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan

1.2 Epidemiologi Asma


Estimasi prevalensi pasien asma dewasa di dunia yang didiagnosis oleh
dokter adalah 4,3%. Prevalensi paling tinggi dijumpai di negara Australia (21,5%),
Swedia (20,2Prevalensi asma di Indonesia menurut estimasi publikasi Riset
Kesehatan Dasar tahun 2013 adalah sebesar 4,5%. Prevalensi asma paling tinggi
dijumpai di provinsi Sulawesi Tengah (7,8%), Nusa Tenggara Timur (7,3%), DI
Yogyakarta (6,9%), dan Sulawesi Selatan (6,7%).

1.3 Etiologi Asma


Terdapat tiga proses yang menyebabkan pasien mengalami asma yaitu
sensitisasi, inflamasi dan serangan asma. Ketiga proses ini dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan.
a. Sensitisasi, yaitu individu dengan risiko genetik (alergik/atopi, hipereaktivitas
bronkus, jenis kelamin dan ras) dan lingkungan (alergen, sensitisasi lingkungan
kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status
sosioekonomi dan besarnya keluarga) apabila terpajan dengan pemicu
(inducer/sensitisizer) maka akan menimbulkan sensitisasi pada dirinya. Faktor
pemicu tersebut adalah alergen dalam ruangan: tungau, debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), jamur, ragi dan pajanan asap rokok.
b. Inflamasi, yaitu individu yang telah mengalami sensitisasi, belum tentu menjadi
asma. Apabila telah terpajan dengan pemacu (enhancer) akan terjadi proses
8
9

inflamasi pada saluran napas. Proses inflamasi yang berlangsung lama atau proses
inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan hipereaktivitas. Faktor
pemacu tersebut adalah rinovirus, ozon dan pemakaian β2 agonis.
c. Serangan asma, yaitu setelah mengalami inflamasi maka bila individu terpajan
oleh pencetus (trigger) maka akan terjadi serangan asma. Faktor pencetus asma
adalah semua faktor pemicu dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara
dingin, histamin dan metakolin . Secara umum faktor pencetus serangan asma
adalah: Alergen, Infeksi saluran pernapasan, Tekanan jiwa, Olahraga/kegiatan
jasmani yang berat, Obat-obatan. Polusi udara

1.4 Patofisiologi Asma


Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Karakteristik utama asma
yaitu obstruksi aliran udara (terkait dengan bronkospasme, edema dan
hipersekresi), BHR, dan peradangan saluran nafas. Peradangan muncul dari BHR
spesifik, bronchoalveolar lavage, biopsies bronkial dan induksi dahak, serta dari
pengamatan postmortem pasien asma yang meninggal karena serangan asma atau
penyebab lain.

Gambar 1. Patofisiologi Asma (Sumber: Dipiro Pharmacotherapy 7th )


Gambar di atas menunjukkan patologi dalam bronkus asma dibandingkan bronkus
normal (kanan atas). Setiap bagian menunjukkan bagaimana lumen yang

9
menyempit yaitu hipertrofi dari bagian bawah, membrane, lender plugging,
hipertrofi otot polos dan penyempitan kontribusi (bagian bawah). Sel-sel inflamasi
menyebar, memproduksi submukosa edema epitel, mengisi lumen saluran nafas
dengan selular dan memperlihatkan otot polos saluran nafas untuk mediator lainnya
(kiri atas)

1.5 Tanda dan Gejala Asma


Gejala asma bersifat episodik, berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat
di dada. Gejala biasanya timbul atau memburuk terutama malam atau dini hari
Setelah pasien asma terpajan alergen penyebab maka akan timbul dispnea, pasien
merasa seperti tercekik dan harus berdiri atau duduk dan berusaha mengerahkan
tenaga lebih kuat untuk bernapas. Kesulitan utama terletak saat ekspirasi,
percabangan trakeobronkial melebar dan memanjang selama inspirasi namun sulit
untuk memaksa udara keluar dari bronkiolus yang sempit karena mengalami edema
dan terisi mukus. Akan timbul mengi yang merupakan ciri khas asma saat pasien
berusaha memaksakan udara keluar. Biasanya juga diikuti batuk produktif dengan
sputum berwarna keputih-putihan.
Tanda selanjutnya dapat berupa sianosis sekunder terhadap hipoksia hebat dan
gejala-gejala retensi karbon dioksida (berkeringat, takikardi dan pelebaran tekanan
nadi). Pada pasien asma kadang terjadi reaksi kontinu yang lebih berat dan
mengancam nyawa, dikenal dengan istilah “status asmatikus”. Status asmatikus
adalah asma yang berat dan persisten yang tidak berespon terhadap terapi
konvensional, dan serangan dapat berlangsung lebih dari 24 jam). Asma dapat
bersifat fluktuatif (hilang timbul) yang berarti dapat tenang tanpa gejala tidak
mengganggu aktivitas tetapi dapat eksaserbasi dengan gejala ringan sampai berat
bahkan dapat menimbulkan kematian.

10
11

1.6 Klasifikasi Asma


Terdapat jenis-jenis asma menurut Smeltzer & Bare (2002) yaitu:
a. Asma alergik
Dapat disebabkan oleh alergen, misal serbuk sari, binatang, makanan dan jamur.
Kebanyakan alergen terdapat di udara dan bersifat musiman, biasanya pasien juga
memiliki riwayat keluarga yang alergik dan riwayat medis eczema atau rhinitis
alergik. Pajanan terhadap alergen mencetuskan asma. Anak-anak dengan asma
alergik sering dapat mengatasi kondisi sampai masa remaja.

b. Asma idiopatik atau nonalergik


Jenis asma ini tidak berhubungan ddengan alergen spesifik. Faktor seperti common
cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi dan polutan lingkungan dapat
mencetuskan serangan.

c. Asma gabungan
Merupakan bentuk asma yang paling umum. Asma ini memiliki karakteristik dari
bentuk alergik maupun idiopatik/nonalergik. Dalam Pedoman Pengendalian
Penyakit Asma oleh Depkes RI (2009) dijelaskan klasifikasi derajat asma sebagai
berikut:

11
Tabel 1. Klasifikasi Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis Secara Umum
Derajat Asma Gejala Gejala Malam Faal Paru
Intermitten Bulanan APE ≥80%
Gejala < ≤2 kali sebulan - VEP1 ≥ 80%
1x/minggu NILAI PREDIKSI
Tanpa gejala ape ≥80% nilai
diluar serangan terbaik
- Variabiliti
APE ≤20%
Persisten ringan Mingguan APE ≥80%
Gejala > 1x/ 2 kali sebulan - VEP1≥80%
minggu tetapi < nilai prediksi APE
1x/hari ≥80 % nilai terbaik
Serangan dapat - Variabiliti
mengganggu APE 20-30%
aktivitas dan tidur
Persisten sedang Harian APE 60-80%
- Gejala setiap hari > 2 kali sebulan - VEP1 60-80% nilai
- Serangan prediksi APE 60-
mengganggu 80% nilai terbaik
aktivitas dan tidur - Variabiliti
- Membutuhkan APE>30%
bronkodilator
setiap hari
Persisten berat Kontinyu APE 60≤%
- Gejala terus Sering - VEP1 ≤60% nilai
menerus prediksi APE≤60%
- Sering kambuh nilai terbaik
- Aktivitas fisik - Variabiliti
terbatas APE>30%

12
13

APE = Arus Puncak Ekspirasi, VEP1 = Volume Ekspirasi Paksa detik pertama
Sumber: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, Asma Pedoman & Penatalaksanaan
di Indonesia, 2004.

1.7 Diagnosis
Diagnosis asma adalah berdasarkan gejala yang bersifat episodik, pemeriksaan
fisiknya dijumpai napas menjadi cepat dan dangkal dan terdengar bunyi mengi pada
pemeriksaan dada (pada serangan sangat berat biasanya tidak lagi terdengar mengi,
karena pasien sudah lelah untuk bernapas). Dan yang cukup penting adalah
pemeriksaan fungsi paru, yang dapat diperiksa dengan spirometri. Spirometri
adalah mesin yang dapat mengukur kapasitas vital paksa (KVP) dan volume
ekspirasi paksa detik pertama (VEP1). Pemeriksaan ini sangat tergantung kepada
kemampuan pasien sehingga diperlukan instruksi operator yang jelas dan kooperasi
pasien. Untuk mendapatkan nilai yang akurat, diambil nilai tertinggi dari 2-3 nilai
yang diperiksa. Sumbatan jalan napas diketahui dari nilai VEP1 < 80% nilai
prediksi atau rasio VEP1/KVP < 75% (Depkes, 2007).
Penanda utama untuk mendiagnosis adanya asma antara lain :
1) Mengi pada saat menghirup nafas.
2) Riwayat batuk yang memburuk pada malam hari, dada sesak yang terjadi
berulang dan nafas tersenggal-senggal.
3) Hambatan pernafasan yang reversible secara bervariasi selama siang hari.
4) Adanya peningkatan gejala pada saat olahraga, infeksi virus, eksposur terhadap
allergen dan perubahan musim.
5) Terbangun malam-malam dengan gejala seperti di atas.

1.8 Terapi
Asma merupakan penyakit kronis, sehingga membutuhkan pengobatan
yang perlu dilakukan secara teratur untuk mencegah kekambuhan. Berdasarkan
penggunaannya, maka obat asma terbagi dalam dua golongan yaitu pengobatan
jangka panjang untuk mengontrol gejala asma dan pengobatan cepat (quick relief
medication) untuk mengatasi serangan akut asma. Beberapa obat yang digunakan

13
untuk pengobatan jangka panjang antara lain inhalasi steroid, β2 agonis aksi
panjang, sodium kromoglikat atau kromolin, nedokromil, modifier leukotrien dan
golongan metil ksantin. Sedangkan untuk pengobatan cepat sering digunakan suatu
bronkodilator (β2 agonis aksi cepat, antikolinergik, metilksantin) dan kortikosteroid
oral (sistemik).obat-obat asma dapat dijumpai dalam bentuk oral, larutan nebulizer,
dan metered-dose inhaler (Ikawati, 2006). Menurut GINA (2009), pengobatan
berdasarkan berat asma dibagi menjadi 4, yaitu asma intermiten, asma persisten
ringan, asma persisten sedang, dan asma persisten berat

Gambar 2. Penatalaksanaan Berdasarkan Derajat Asma


Sumber : GINA, 2009
Terapi non-farmakologi meliputi 2 komponen utama yaitu edukasi pada
pasien atau yang merawat mengenai berbagai hal tentang asma dan control terhadap
faktor-faktor pemicu serangan. Berbagai pemicu serangan antara lain debu, polusi,
merokok, olahraga, perubahan temperature secara ekstrim, dll. Termasuk penyakit-
penyakit yang sering mempengaruhi kejadia asma seperti rhinitis, sinusitis, gastro

14
15

esophageal refluks disease (GERD), dan infeksi virus. Prosedur yang dilakukan
untuk mengatasi kegawatan dalam asma dibagi
menjadi :
1) Pemberian oksigen, baik melalui kanula maupun melalui masker dengan
kecepatan yang disesuaikan dengan tingkat intensitas asma. Biasanya dibutuhkan
antara 1-15 liter per menit tergantung PaO2.
2) Pemberian bronkodilator Pemberian ini dibagi dalam 2 tahap yaitu 250 mg
aminofilin dalam bentuk bolus dalam glukosa 40%, kemudia dilanjutkan dengan
pemberian dosis pemeliharaan per infus 250 mg.
3) Kortikosteroid
Dosis kortikosteroid bervariasi, tetapi sebagai pegangan dapat diberikan
hidrokortison 4mg/kg BB/jam, dapat pula diberikan mukolitik dan ekspektoransia.
4) Bila pengeluaran cairan tinggi atau terjadi dehidrasi maka dapat dikontrol dengan
pemberian cairan.

1.9 Komplikasi Asma


Berbagai komplikasi menurut Mansjoer (2008) yang mungkin timbul adalah :
1.Pneumothoraks
Pneumothoraks adalah keadaan adanya udara di dalam rongga pleura yang dicurigai
bila terdapat benturan atau tusukan dada. Keadaan ini dapat menyebabkan kolaps
paru yang lebih lanjut lagi dapat menyebabkan kegagalan napas.
2. Pneumomediastinum
Pneumomediastinum dari bahasa Yunani pneuma “udara”, juga dikenal sebagai
emfisema mediastinum adalah suatu kondisi dimana udara hadir di mediastinum.
Pertama dijelaskan pada 1819 oleh Rene Laennec, kondisi ini dapat disebabkan
oleh trauma fisik atau situasi lain yang mengarah ke udara keluar dari paru-paru,
saluran udara atau usus ke dalam rongga dada.
3. Atelektasis
Atelektasis adalah pengkerutan sebagian atau seluruh paru-paru akibat
penyumbatan saluran udara (bronkus maupun bronkiolus) atau akibat pernafasan
yang sangat dangkal.

15
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Asthma and Allergy Foundation of America, 2010.


2. Asthma Facts and Figures. Landover: Australian Institute of Health and Welfare.Available from :
http://www.aafa.org/display.cfm?id=9&sub=42#_ftn4[Accessed at 29 May 2010] Australian Institute
of Health and Welfare, 2007. Statistical Snapshots of People with Asthma in Australia 2001.
3. Australian Institute of Health and Welfare. Available from:
http://www.aihw.gov.au/publications/acm/sspwaa01/sspwaa01.pdf
4. Antariksa, Budhi. 2009. Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma. Jakarta:
Departemen Pulmonologi dan ilmu kedokteran Respiratori FK
5. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (BPPK), 2007. Departemen Kesehatan RI (2009).
6. GINA (Global Initiative for Asthma); Global Strategy for Asthma Management and Prevention.
www.ginaasthma.org. 2011
7. Ikawati, Zullies. 2011. Penyakit Sistem Pernafasan dan Tatalaksana Terapinya. Yogyakarta:
Bursa Ilmu
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2011. Asma “Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan”
9. Price, S. A. dan Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi : Konsep Klinis Proses- Proses Penyakit,
Edisi 6, Volume 1. Jakarta: EGC

16
17

10. Sundaru, Heru, Sukamto. 2006. Asma Bronkial dalam Sudoyo, Aru W, B.
Setiyohadi,
11. Alwi, M. Simadhibrata, S. Setiati, editor. Ilmu Penyakit Dalam Jilid 1. Jakarta:
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI.

12. Wibisonojusuf, dkk (2010). Buku ajar ilmu Penyakit Paru. Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta
3.1.

17

Anda mungkin juga menyukai