Anda di halaman 1dari 20

AGAMA DAN NEGARA

MAKALAH
Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Kewarganegaraan Semester I 2016/2017

Oleh:
Fahmi Ihza Alghiffary 10516006
Hermawansyah Hidayat 10516010
Amsal Pardede 10516012
Reivaldi Pramudya 10516031
M. Satria Yudha Bagaskara 10516042
Azmil Maulana Ababil 10516046
Samuel Ivan 10516051
Septiani Pratiwi 10516053
Gilang Wahyu 10516066
Dio Jordy 10516066
Yusiana Pratiwi 10516067

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM


INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG
BANDUNG
2017

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang telah memberikan berkat-
Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada
waktunya. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah
Kewarganegaraan (KWN). Dalam penyusunan makalah ini, kami menjumpai
berbagai masalah. Masalah utamanya adalah menemukan isu aktual yang tepat.
Namun, masalah tersebut dapat diatasi dengan adanya bantuan yang kami terima
yaitu dari beberapa literatur yang kami baca.
Kami juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
terlibat baik secara langsung maupun tidak dalam penyusunan makalah ini.
Terutama kepada dosen KWN kelas 09 Bapak Epin Saepudin, M.Pd. yang telah
memberikan kami tugas makalah ini. Tangan kami selalu terbuka terhadap semua
saran pembaca agar makalah ini dapat kami lebih sempurnakan.
Akhir kata kami berharap makalah ini dapat memberikan manfaat yang
nyata bagi pembaca.

Bandung, September 2017

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ ii


DAFTAR ISI .......................................................................................................... iii
BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................ 7
1.3 Tujuan .......................................................................................................... 7
1.4 Manfaat ........................................................................................................ 7
BAB II ..................................................................................................................... 8
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 8
2.1 Isu Aktual ..................................................................................................... 8
2.2 Analisis....................................................................................................... 10
BAB III ................................................................................................................. 15
SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 15
2.3 Simpulan .................................................................................................... 15
2.4 Saran ........................................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 17
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................... 18

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Samuel Huntington dalam bukunya The Clash of Civilizations and The
Remaking of World Order menyatakan dengan berakhirnya Perang Dingin yang
mengakibatkan runtuhnya ideologi komunis, wilayah konflik meluas di masa depan
tidak lagi bergantung pada ideologi, ekonomi, maupun politik. Tapi, konflik di
masa depan akan lebih condong ke peradaban. Peradaban yang dalam arti yang
lebih luas dalam hal konflik, yaitu ekonomi, agama, budaya, dan politik sebagai
suatu kesatuan. Sehingga, konflik dengan dasar agama menjadi hal yang mampu
memecah suatu negara.
Pada makalah ini akan dibahas mengenai agama dalam pengelolaan negara.
Sehingga, kita harus berangkat dari pengertian ‘agama’ dan ‘negara’ terlebih dahulu
sebelum memasuki pembahasan yang lebih dalam. Menurut Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) agama adalah ajaran, sistem yang mengatur tata keimanan
(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah
yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.
Sementara, arti dari negara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah
kelompok sosial yang menduduki wilayah atau daerah tertentu yang diorganisasi di
bawah lembaga politik dan pemerintah yang efektif, mempunyai kesatuan politik,
berdaulat sehingga berhak menentukan tujuan nasionalnya.
Secara umum, negara adalah organisasi tertinggi diantara satu kelompok
masyarakat yang mempunyai cita-cita untuk bersatu, hidup dalam daerah tertentu
dan mempunyai pemerintah yang berdaulat. Dengan demikian unsur dalam sebuah
negara terdiri dari masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan adanya
pemerintah yang berdaulat. Sebagai agama dan negara, agama dan negara
merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua
lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.
Menurut Roger H. Soltao, Negara adalah alat (agency) atau wewenang yang
mengatur persoalan bersama atas nama masyarakat. Namun, seiring berjalannya

4
waktu negara seringkali konflik atau tidak sejalan dengan agama. Sehingga agama
dan negara merupakan persoalan yang banyak menimbulkan perdebatan
(discoverse) yang terus berkelanjutan di kalangan para ahli.
1. Hubungan agama dan negara menurut paham teokrasi (peran utama di negara
ialah prinsip ilahi)
Negara menyatu dengan agama. Karena pemerintahan menurut paham ini di
jalankan berdasarkan firman-firman Tuhan segala kata kehidupan dalam
masyarakat bangsa, negara dilakukan atas titah Tuhan.
2. Hubungan agama dan negara menurut paham sukuler (badan negara harus
dipisahkan dari agama dan kepercayaan)
Norma hukum ditentukan atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan
agama atau firman-firman Tuhan. Meskipun mungkin norma-norma tersebut
bertentangan dengan norma-norma agama.
3. Hubungan agama dengan kehidupan manusia
Kehidupan manusia adalah dunia manusia itu sendiri yang kemudian
menghasilkan masyarakat negara. Sedangkan agama dipandang sebagai
realisasi fantastis makhluk manusia, agama merupakan keluhan makhluk
tertindas.
Secara khusus, Indonesia memiliki dasar negara yaitu Pancasila. Pancasila
merupakan ideologi Negara Indonesia, yang berarti bahwa Pancasila merupakan
cerminan dari cara pandang hidup bagi negara dan masyarakatnya dalam mencapai
tujuan masa depan bangsa. Ide tersebut digali dari pencerminan masyarakat Negara
Indonesia.
Indonesia memilih Pancasila sebagai jati diri dan ideologi bangsa karena
Pancasila merupakan cara pandang hidup yang paling representatif dan memiliki
perbedaan dalam segi religiusitas dibandingkan dengan paham maupun ideologi
lainya.
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” [Pasal 29 ayat (1) UUD
1945] serta penempatan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama dalam
Pancasila mempunyai beberapa makna, yaitu:

5
1. Pancasila lahir dalam suasana kebatinan untuk melawan kolonialisme dan
imperialisme, sehingga diperlukan persatuan dan persaudaraan di antara
komponen bangsa. Sila pertama dalam Pancasila ”Ketuhanan Yang Maha Esa”
menjadi faktor penting untuk mempererat persatuan dan persaudaraan, karena
sejarah bangsa Indonesia penuh dengan penghormatan terhadap nilai-
nilai ”Ketuhanan Yang Maha Esa.”
2. Sila ”Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah sebab yang pertama atau causa prima
dan sila ”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan” adalah kekuasaan rakyat dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara untuk melaksanakan amanat negara dari rakyat,
negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat. Ini berarti, ”Ketuhanan Yang Maha
Esa” harus menjadi landasan dalam melaksanakan pengelolaan negara dari
rakyat, negara bagi rakyat, dan negara oleh rakyat.
3. Negara berdasar atas “Ketuhanan Yang Maha Esa” juga harus dimaknai bahwa
negara melarang ajaran atau paham yang secara terang-terangan menolak
Ketuhanan Yang Maha Esa, seperti komunisme dan atheisme. Karena itu,
Ketetapan MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang Larangan Setiap Kegiatan
untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran
Komunis/Marxisme Leninisme masih tetap relevan dan kontekstual. Pasal 29
ayat 2 UUD bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing …” bermakna bahwa negara hanya
menjamin kemerdekaan untuk beragama. Sebaliknya, negara tidak menjamin
kebebasan untuk tidak beragama (atheis). Kata “tidak menjamin” ini sudah
sangat dekat dengan pengertian “tidak membolehkan”, terutama jika atheisme
itu hanya tidak dianut secara personal, melainkan juga didakwahkan kepada
orang lain.
Secara konstitusional, kebebasan beragama juga diatur dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 28E ayat (1) dan (2)
(1) Setiap orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

6
(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap,
sesuai dengan hati nuraninya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa negara menjamin adanya kebebasan umat
beragama.

1.2 Rumusan Masalah


Rumusan masalah dalam makalah ini antara lain:
1. Apa isu aktual mengenai permasalahan agama dan negara?
2. Bagaimana isu tersebut bisa terjadi?
3. Apa langkah-langkah yang diambil aparat penegak hukum dalam
memberantas permasalahan agama dalam pengelolaan negara?

1.3 Tujuan
Adapun tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk menganalisa dan menyelesaikan masalah-masalah yang ditimbulkan
oleh karena gesekan antara umat beragama di Indonesia.
2. Untuk mengetahui fungsi agama dalam hidup berbangsa dan bernegara.
3. Untuk mengetahui dampak terhadap negara jika antar umat beragama tidak
saling bertoleransi.

1.4 Manfaat
Sistem pemerintahan di Indonesia berhubungan erat dengan sila pertama dari
Pancasila yaitu “Ketuhanan yang Maha Esa” seperti yang dijelaskan dalam latar
belakang. Sehingga, kami akan berusaha mengupas peranan agama yang menjadi
dasar sistem pemerintahan dan cara hidup di Indonesia.

7
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Isu Aktual


Isu aktual yang akan dibahas dalam makalah ini adalah isu SARA yang kental
kaitannya dengan Pilkada DKI Jakarta 2017 kemarin. Berikut ini adalah cuplikan
berita dari salah satu sumber:

Isu SARA meningkat di Pilkada DKI Jakarta, salah siapa?

Sekitar 71% warga Jakarta mengaku khawatir dengan semakin menguatnya isu SARA selama
Pilkada DKI Jakarta, seperti terungkap dalam sebuah survei.

Dan masa kampanye yang masih beberapa pekan lagi menjelang pemungutan suara pada 19 April
mendatang dikhawatirkan akan semakin meningkatkan intoleransi di kalangan masyarakat.

Survei yang dilakukan Populi Center setelah Pilkada DKI Jakarta putaran pertama, menunjukkan
isu SARA yang digunakan dalam Pilkada Jakarta antara lain munculnya himbauan untuk tidak
memilih calon muslim dan masalah tidak mensalatkan jenazah.

Selain memisahkan masyarakat, isu SARA -menurut Direktur Populi Center, Usep Ahyar, juga
membuat masyarakat terintimidasi.

"Ketika isu-isu SARA semakin menguat dan politik identitas menguat, maka ada yang merasa
terintimidasi. Ada yang kebebasan pendapatnya menjadi terhalang, menjadi takut ketika
mengemukakan pendapat. Itu (isu SARA) dan politik identitas itu kan pasti sengaja dibuat secara
politik dan itu meniscayakan bahwa kelompoknya yang paling hebat sedang yang lain subordinat."

"Dan yang lain tidak benar dan lain sebagainya. Orang yang tidak ikut pada politik identitas harus
disingkirkan karena bukan dari kelompok saya, maka harus disingkirkan dan tidak dapat
disalatkan," tambah Usep.

Dia menilai masa kampanye Pilkada DKI Jakarta yang mencapai 4,5 bulan justru memperpanjang
'perseteruan' dan intoleransi.

"Dalam kampanye ini tidak ada pendidikan politik, namun yang ada pembusukan dan masyarakat
makin intoleran dan itu mengkhawatirkan," kata Usep.

8
Yang dirugikan dan diuntungkan
Survei Populi Center, yang melibatkan 600 responden di lima wilayah DKI Jakarta,
memperlihatkan dukungan atas pasangan calon Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok- Djarot Saiful
Hidayat mencapai 58 persen %, sementara 36,2 tidak suka, dan 5,8 % menjawab tidak tahu.

Usep mengatakan Gubernur Petahana Basuki Tjahaja Purnama yang saat ini tengah diadili dalam
kasus penistaan agama merupakan pihak yang dirugikan dengan menguatnya isu SARA. Sementara
pasangan yang diuntungkan, tambah Usep, adalah Anies Baswedan-Sandiaga Uno.

"Misalnya dalam hal ini paslon nomor tiga mengakomodasi dari berbagai kelompok yang merasa
punya otoritas menafsirkan ke-Islaman. Kemudian dengan melihat perilaku politik di Jakarta atau
lawan politiknya, dia merasa diuntungkan dan memakai politik identitas untuk memperkuat
politiknya," jelas Usep.

"Dia merangkul FPI, walaupun dalam konteks pemikiran dia mendukung multikulturalisme".

Salah seorang anggota Tim Sukses Ahok-Djarot, Taufik Basari, mengakui bahwa isu SARA memang
masih mempengaruhi sebagian masyarakat dibandingkan kinerja calon.

"Di dalam pilkada sudah digunakan isu SARA, itulah susahnya. Begitu dipakai dan yang muncul
adalah politik stigma, itu memang sulit. Kita akui hal itu mempersulit kita, tapi kita berupaya agar
semakin banyak orang yang sadar bahwa kita tengah digunakan oleh pihak tertentu dengan
menggunakan isu SARA yang berdampak negatif terhadap negara kita," jelas Taufik.

Sementara Ketua tim sukses Anies-Sandi, Mardani Ali Sera menegaskan pihaknya lebih banyak
menyampaikan mengenai program dan tidak mengangkat isu SARA.

Isu SARA, menurutnya, muncul dalam pilkada DKI Jakarta karena bermula dari kasus dugaan
penistaan agama, surat Al-Maidah 51, dan juga kasus yang disebut dengan 'kriminalisasi ulama'.

"Isu ini tak bisa dilepaskan dari perkembangan umum, ada kriminalisasi terhadap ulama dan ada
kondisi di mana isu Al-maidah 51, bukan kita yang mengkriminalisasi ulama. Siapa yang
mengangkat Al-Maidah 51? Bukan kami dan mengapa kami diminta yang menyelesaikan tentang
larangan mensalatkan jenazah? Surat Mas Anies tegas bahwa semua kewajiban yang hidup untuk
mengurus yang meninggal."

Pengaruh media sosial


Penguatan isu SARA, seperti diamati Bonar Tigor Naipospos dari lembaga demokrasi dan
perdamaian, Setara Institute, dimanfaatkan oleh elite politik dan kandidat gubernur untuk
memperoleh dukungan warga.

9
Bonar juga mengamati bahwa meski partai pendukung pasangan calon gubernur DKI Jakarta
merupakan parpol yang beraliran nasionalisme namun tetap jugamelakukan pembiaran
penggunaan isu SARA.

Dan sudah saatnya pemeirntah untuk campur tangan.

"Proses hukum harus dilakukan, media sosial harus diawasi. Dampak dari media sosial adalah
orang menjadi asosial dan akibatnya muncul presepsi untuk egois pada pilihan dia dan ini berakibat
pada dunia sosial."

"Negara harus membangun ruang publik, ruang dialog agar kelompok -kelompok yang ada itu
saling berinteraksi," tambah Bonar.

Bonar khawatir jika dibiarkan maka penyebaran isu SARA yang terkait dengan pilkada Jakarta
akan semakin meluas, atau dijadikan contoh dalam pertarungan calon kepala daerah di tempat lain.
(dikutip dari BBC Indonesia 24 Maret 2017)

2.2 Analisis
Analisis Umum

Dalam praktik kehidupan kenegaraan masa kini, hubungan antara agama


dan negara dapat diklasifikasikan ke dalam tiga bentuk, yakni integrated
(penyatuan antara agama dan negara), intersectional (persinggungan antara agama
dan negara), dan sekularistik (pemisahan antara agama dan negara. Bentuk
hubungan antara agama dan negara di negara-negara Barat dianggap sudah selesai
dengan sekularismenya atau pemisahan antara agama dan negara. Paham ini
menurut The Encyclopedia of Religion adalah sebuah ideologi, dimana para
pendukungnya dengan sadar mengecam segala bentuk supernaturalisme dan
lembaga yang dikhususkan untuk itu, dengan mendukung prinsip-prinsip non-
agama atau anti-agama sebagai dasar bagi moralitas pribadi dan organisasi social.
Pemisahan agama dan negara tersebut memerlukan proses yang disebut sekularisasi,
yang pengertiannya cukup bervariasi, termasuk pengertian yang sudah ditinjau
kembaliNegara-negara yang mendasarkan diri pada sekularisme memang telah
melakukan pemisahan ini, meski bentuk pemisahan itu bervariasi. Penerapan
sekularisme secara ketat terdapat di Perancis dan Amerika Serikat, sementara di
negara-negara Eropa selain Perancis penerapannya tidak terlalu ketat, sehingga

10
keterlibatan negara dalam urusan agama dalam hal-hal tertentu masih sangat jelas,
seperti hari libur agama yang dijadikan sebagai libur nasional, pendidikan agama di
sekolah, pendanaan negara untuk agama, keberadaan partai agama, pajak gereja dan
sebagainya.

Sekularisasi politik juga terjadi dalam konteks modernisasi politik di


negara-negara berkembang, termasuk di negera-negara Muslim. Sekularisasi
politik dalam hal-hal tertentu dan tingkat tertentu memang terjadi di negara-negara
Muslim, seperti pembentukan lembaga-lembaga negara modern sebagai
perwujudan sistem demokrasi yang menggantikan lembaga-lembaga negara
berdasarkan keagamaan, pembentukan partai-partai politik, penyelenggaraan
pemilihan umum, dan sebagainya. Bahkan proses sekularisasi secara terbatas juga
terjadi di negara-negara agama (religious states), yang mengintegrasikan agama
dan negara seperti Arab Saudi dan Iran, dengan melegislasi aturan-aturan
operasional tertentu yang awalnya berasal dari negara-negara Barat sekuler, seperti
peraturan hukum tentang perdagangan internasional, imigrasi, dan
sebagainya.Namun dalam kenyataannya, umat Islam tetap memperhatikan faktor
agama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, meski negara itu telah
melakukan modernisasi dan sekularisasi politik bersamaan dengan proses
globalisasi.Hal ini sebenarnya tidak terlepas dari karakteristik ajaran Islam itu
sendiri, yang tidak hanya merupakan sistem teologis, tetapi juga cara hidup yang
berisi standar etika moral dan norma-norma dalam kehidupan masyarakat dan
negara. Islam tidak membedakan sepenuhnya antara hal-hal sakral dan profan,
sehingga Muslim yang taat menolak pemisahan antara agama dan negara. Oleh
karena itu, sekularisasi yang terjadi di negara-negara Muslim umumnya tidak
sampai menghilangkan orientasi keagamaan masyarakat dan negara.

Menguatnya kembali orientasi keagamaan dan penolakan terhadap


sekularisme telah menjadi fenomena di seluruh dunia Islam sejak akhir dasawarsa
1970-an, terutama karena semakin tingginya tingkat pendidikan umat Islam
sehingga memunculkan pemahaman dan kesadaran mereka tentang karakteristik
ajaran Islam yang memang tidak memisahkan antara agama dan negara. Bahkan

11
sejak dasawarsa 1980-an, kebangkitan agama dalam bentuk desekularisasi politik
dan sosial cukup nampak di negara ini sebagai tandingan (counter) terhadap proses
sekularisasi politik tersebut. Kecenderungan desekularisasi ini ternyata tidak hanya
terjadi dunia Islam, tetapi juga di banyak negara di dunia, termasuk di Amerika
Serikat, karena manusia tetap membutuhkan nilai-nilai spiritual, meski mereka
hidup dalam masyarakat modern yang menjunjung rasionalitas. Karena kenyataan
itulah sosiolog terkemuka, Peter L. Berger pada akhir dasawarsa 1990-an menolak
teori “secularization”, dan sebaliknya mengemukakan teori “desecularization of
the world”. Hal ini terjadi karena dalam kenyataannya proses sekularisasi itu
menimbulkan reaksi dalam bentuk gerakan-gerakan tandingan sekularisasi yang
kuat (poweful movements of counter-secularization). Jadi teori ini merupakan revisi
terhadap teorinya sendiri tentang sekularisasi yang dikemukakan pada akhir
dasawarsa 1960-an. Hanya saja, perlu dibedakan antara desekularasi dalam konteks
negara (politik) dan desekulariasi dalam kehidupan masyarakat.

Desekularisasi juga terjadi di Indonesia pada akhir 1980-an sebagai counter


terhadap kebijakan pemerintah Orde Baru yang pada masa-masa awal mendukung
sekularisasi sejalan dengan proses modernisasi dan pembangunan. Sekularsasi
politik itu dilakukan dengan tema “de-ideologisasi politik”, terutama dengan
menjadikan Pancasila sebagai satu-satunya asas yang berimplikasi pada pelarangan
simbol-simbol agama dalam politik. Meski terjadi proses sekularasi politik yang
sangat kuat pada saat itu, dalam masyarakat tidak terjadi sekularisasi yang berarti,
karena umat Islam tetap memiliki orientasi keagamaan dan melakukan sosialisai
ajaran-ajaran agama secara kultural. Desekularisasi itu antara lain ditandai dengan
revisi kebijakan pemerintah dengan mengakomodasi sebagian aspirasi umat Islam,
seperti UU Peradilan Agama No. 7 tahun 1989, UU No. 2 Sistem Pendidikan
Nasional tahun 1989 yang mengakomodasi pendidikan agama dan UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan yang mengakomodasi beroperasinya bank dengan sistem
bagi hasil (perbankan syari’ah). Berakhirnya masa Orde Baru dan munculnya Era
Reformasi pada 1998, yang mendukung kebebasan dan demokrasi, dijadikan
sebagai momentum bagi tokoh Islam untuk mempromosikan kembali politik Islam
dengan mendirikan partai-partai Islam atau berbasis massa ormas Islam. Namun

12
belajar dari sejarah perjuangan masa lalu untuk menjadikan Islam sebagai dasar
negara seperti yang terjadi dalam persiapan kemerdekaan pada 1945 dan dalam
Konstituante pada 1956-1959, mereka tidak mengulangi lagi perjuangan serupa.
Memang di awal-awal era reformasi sempat muncul gagasan dan perdebatan dalam
konteks amandermen UUD 1945 untuk memasukkan semangat Piagama Jakarta
atau pelaksanaan syari’at Islam dalam konstitusi, tetapi gagasan atau usulan itu
tidak bisa diterima oleh MPR. Meski demikian, hampir semua kelompok Islam
mendukung modernisasi politik dan demokratisasi, dan hanya sebagian kecil yang
menolaknya.

Dengan demikian, baik dalam konsep sistem ketatanegaraan maupun


realitas pada saat ini hubungan antara agama dan negara di Indonesia tetap dalam
bentuk yang kedua (intersectional) atau hubungan persinggungan antara agama dan
negara, yang berarti tidak sepenuhnya terintegrasi dan tidak pula sepenuhnya
terpisah. Dalam hubungan semacam ini terdapat aspek-aspek keagamaan yang
masuk dalam negara dan ada pula aspek-aspek kenegaraan yang masuk dalam atau
memerlukan legitimasi agama. Oleh karena itu, seringkali dikatakan bahwa
Indonesia bukanlah negara agama dan bukan pula negara sekuler. Negara Indonesia
adalah negara yang secara kelembagaan berbentuk sekuler tetapi secara filosofis
mengakui eksistensi agama dalam kehidupan bernegara. Bahkan agama sebagai
dasar negara secara eksplisit disebutkan dalam pasal 29 ayat 1, yakni “Negara
berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa”. Berdasarkan sila pertama Pancasila dan
pasal 29 inilah sejumlah ahli hukum tata negara, seperti Ismail Suny, mengatakan
bahwa sistem ketetanegaraan Indonesia mengakui tiga bentuk kedualatan, yakni
kedaulatan rakyat, kedaulatan hukum dan kedaulatan Tuhan. Namun hanya dua
kedaulatan yang diakui resmi dan diwujudkan dalam bentuk lembaga negara, yakni
kedaulatan rakyat dalam bentuk Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kedaulatan
hukum dalam bentuk Mahkamah Konstitusi (MK). Pengakuaan akan eksistensi
agama dalam kehidupan bernegara diwujudkan terutama dalam bentuk pengakuan
resmi lembaga-lembaga keagamaan tertentu dalam negara serta adopsi nilai-nilai
dan norma-norma agama dalam sistem nasional dan pengambilan kebijakan publik,

13
seperti legislasi hukum-hukum agama (Islam) tertentu menjadi hukum nasional. Di
samping itu, negara juga mengakui eksistensi partai-partai politik dan organisasi-
organisasi massa yang berbasis agama. Hanya saja, kini terdapat perkembangan
yang menarik dalam orientasi politik warga yang sekaligus menggabungkan antara
proses sekularisasi dan desekularisasi. Di satu sisi, terjadi desekularisasi politik
dengan munculnya kembali partai-partai agama (Islam) dan akomodasi nilai-nilai
dan norma-norma agama dalam pengambilan kebijakan publik. Namun di sisi lain
terjadi perubahan orientasi politik warga santri yang tidak otomatis mendukung
partai-partai Islam tetapi justru banyak mendukung partai-partai nasionalis.

Analisis Khusus
Isu Pilkada ini menunjukkan dua point, yaitu: masih ada sifat intoleran yang
tersebar di masyarakat maupun calon politisi dan masyarakat yang masih mudah
terintimidasi.

Dengan melihat keragaman atas masyarakat Indonesia, hal-hal yang


mengandung SARA seharusnya tidak harus diungkit dalam pilkada. Pernyataan ini
diajukan karena yang memberi peraturan atas pelakasanaan kegiatan kebagamaan
seharusnya datang dari ahli agama yang bersangkutan, bukan seseorang yang tidak
mengetahui agama. Selama pelaksanaan agama atau salah satu kegiatannya tidak
menganggu rakyat lain, tidak perlu adanya pengungkitan karena sangat tidak layak.

Masyarakat juga seharusnya bertindak kritis dan tidak hanya berkicau di


balik layar. Semua bentuk ketidakhormatan atas suatu kepercayaan yang mendasar
seharusnya ditindak lanjut oleh pihak yang berwenang. Masyarakat di sini bertindak
sebagai pemicu pemegang kekuasaan agar sadar akan hal yang terjadi.

14
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN

2.3 Simpulan
2.3.1 Analisa gesekan antar umat beragama di Indonesia
Gesekan antar umuat beragama di Indonesia dapat terjadi
dipengaruhi oleh analisa secara umum dan secara khusus. Dari
analisa tersebut dapat disimpulkan agama dan Negara Indonesia
adalah dua hal yang beririsan dan tidak bisa dipisah. bahkan dalam
sila ke-1 Pancasila pun berhubungan dengan ketuhanan. Selain itu,
dalam Pembukaan UUD 1945 juga menyebutkan bahwa
kemerdekaan Indonesia adalah berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa.
Sehingga, peran semua pihak yang terlibat atas agama harus
dimaksimalkan. Masyarakat harus bersifat kritis dan melakukan
penyadaran terhadap pemerintah.
2.3.2 Fungsi agama dalam hidup berbangsa dan bernegara
Seharusnya adalah sebagai salah satu alat untuk bersama-sama
membangun negara. Keberbedaan tersebut bukan untuk memecah
Indonesia, tapi semakin menunjukkan bahwa Indonesia adalah
negara yang multikultur, bukan plural. Fungsi agama juga erat
kaitannya dengan adanya Pancasila sebagai dasar negara dan UUD
1945 sebagai landasan konstitusional Bangsa Indonesia. Pancasila
merupakan cerminan Bangsa Indonesia itu sendiri, sehingga
haruslah ditunjukkan bahwa Bangsa Indonesia memang berbeda,
tapi tidak menghalangi bangsa untuk bersatu demi tercapainya
Indonesia yang lebih baik.
2.3.3 Dampak jika antar umat beragama tidak saling bertoleransi
Dampak yang mungkin terjadi adalah Indonesia bukan menjadi
negara yang multikultur, tapi negara plural yang lebih
mengutamakan perbedaan itu sendiri daripada kesatuan.

15
2.4 Saran
Saran kami untuk makalah ini adalah lebih baik dalam penggalian informasi,
karena isu yang kami angkat bukan aktual namun masih sensitif jika dibicarakan.
Selain itu, saran kami sesuai dengan topik kami yaitu Agama dan Negara adalah
mempererat persatuan, mengutamakan persatuan dibandingkan dengan perbedaan
itu sendiri. Sudah sewajarnya, kami sebagai generasi muda untuk meneruskan
perjuangan dengan menjaga Indonesia. Menjaga perbedaan itu tetap eksis, namun
dengan rasa bersatu yang utuh.

Beragama dan warga negara yang baik sudah sewajarnya menanamkan sisi
religuisitas dalam diri kita masing-masing yang sesuai dengan ideologi dari bangsa
kita sendiri yaitu Pancasila yang mengandung unsur ketuhanan pada sila
pertamanya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Pustaka Buku:
Huntington, Samuel P. 1996. The Clash of Civilizations and the Remaking of
World Order. New York: Simon and Schuster.
Kamus Besar Bahasa Indonesia

Pustaka Jurnal:
Abdillah, Masykuri. 2015. Hubungan Agama dan Negara dalam Konteks Modernisasi
Politik di Era Reformasi. Kompas 12 Januari 2015. URL:
http://graduate.uinjkt.ac.id/index.php/akademik/program-studi-dan-
konsentrasi/12-kolom-direktur/11-hubungan-agama-dan-negara

Pustaka Internet:
jdih.go.id. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. URL:
http://jdih.pom.go.id/uud1945.pdf diakses tanggal 9 September 2017 pukul
21.04.
Lestari, Sri. BBC.com/Indonesia. Isu SARA meningkat di Pilkada DKI Jakarta,
salah siapa? URL: http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-39372353
diakses tanggal 12 September 2017 pukul 22.44

17
RIWAYAT HIDUP

Fahmi Ihza Alghiffary dengan NIM 10516006 sedang


menempuh pendidikan sarjana di jurusan Kimia Institut
Teknologi Bandung (ITB). Tinggal di Jl. Gegerkalong
Girang No. 116, Isola, Sukasari, Bandung. Dapat dihubungi
di nomor telepon 081214095926. Harapan Fahmi untuk
Indonesia adalah Indonesia menjadi negara yang dapat saling
menoleransi satu sama lain. Hal ini dapat dicapai dengan
membuat masyarakat lebih berbaur satu sama lain.

Hermawansyah Hidayat dengan NIM 10516010 sedang


menempuh pendidikan sarjana di jurusan Kimia Institut
Teknologi Bandung (ITB). Tinggal di Jl. Sukasari II Blok E
No. 226. Harapan Erwan untuk Indonesia adalah menjadi
pembuka lahan pekerjaan dan meningkatkan kebudayaan
Indonesia.

Amsal Pardede dengan NIM 10516012 sedang menempuh


pendidikan sarjana di jurusan Kimia Institut Teknologi
Bandung (ITB). Tinggal di daerah Ciumbuleuit. Dapat
dihubungi di nomor telepon 085215056852. Harapan Amsal
untuk Indonesia adalah menjadi negara yang rukun ke
depannya.

Reivaldi Pramudya dengan NIM 10516031 sedang menempuh pendidikan sarjana


di jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB). Tinggal di daerah Jl. Taman
Hewan No. 77F/56. Harapan Oval untuk Indonesia adalah menjadi madani dan jujur.

18
M. Satria Yudha Bagaskara dengan NIM 10516042 sedang
menempuh pendidikan sarjana di jurusan Kimia Institut
Teknologi Bandung (ITB). Tinggal di Jl. Sangkuriang No. 27.
Harapan Bagas untuk Indonesia adalah menjadi penemu
sekaligus pembuat obat berbahan dasar biodata laut untuk
pemanfaatan SDA Indonesia yang lebih optimal.

Azmil Maulana Ababil dengan NIM 10516046 sedang


menempuh pendidikan sarjana di jurusan Kimia Institut
Teknologi Bandung (ITB). Tinggal di Jl. Cisitu Baru No. 29.
Dapat dihubungi di nomor telepon 082240957305. Harapan
Azmil untuk Indonesia adalah menjadi Indonesia yang
madani.

Samuel Ivan dengan NIM 10516051 sedang menempuh


pendidikan sarjana di jurusan Kimia Institut Teknologi
Bandung (ITB). Tinggal di Jl. Tubagus Ismail IV No. 1.
Dapat dihubungi di nomor telepon 081510256456. Harapan
Samuel untuk Indonesia adalah menjadi orang yang jujur
agar setidaknya mengurangi korupsi.

Septiani Pratiwi dengan NIM 10516053 sedang menempuh pendidikan sarjana di


jurusan Kimia Institut Teknologi Bandung (ITB). Tinggal di Jl. Dipatiukur Gang
Karya Simpang 107A. Harapan Septi untuk Indonesia adalah menjadikan
masyarakat Indonesia yang dewasa dalam berpikir baik dalam memandang sebuah
negara, mengkritik kebijakan pemerintah, dan lain-lain.

19
Yusiana Pratiwi dengan NIM 10516067 sedang menempuh
pendidikan sarjana di jurusan Kimia Institut Teknologi
Bandung (ITB). Tinggal di Jl. Kebon Bibit Utara I No.
113A/58. Dapat dihubungi di nomor telepon 085645846286.
Harapan Yussi untuk Indonesia adalah untuk memajukan
Indonesia, kita harus bersatu. Jika dengan SARA kita
terpecah belah, maka sebaiknya kita ciptakan musuh terbesar
kita yang menjadi dasar untuk kita bersatu dan berjuang atas
nama Indonesia.

20

Anda mungkin juga menyukai