Anda di halaman 1dari 17

Tugas Paper

Studi Literatur Berbagai Adjuvan yang


Dapat Digunakan untuk Vaksin Avian
Influenza

Oleh:
Reza Alfitra Mutiara
265222002

PROGRAM STUDI VAKSINOLOGI DAN IMUNOTERAPETIKA


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2023
PENDAHULUAN

Avian Influeza (AI) adalah penyakit unggas yang memberikan kerugian sangat tinggi
pada perekonomian di seluruh dunia. Penyakit ini mengakibatkan kematian serta morbiditas
yang tinggi sehingga unggas yang terinfeksi penyakit ini harus dilakukan stemping out atau
pemusnahan unggas dan kehilangan pasar perdagangan. Vaksin merupakan salah satu alternatif
yang dapat membantu untuk mengendalikan infeksi virus AI (AIV) dan membatasi kerugian di
daerah endemik virus tersebut. Vaksin yang digunakan dibeberapa negara (95,5%) merupakan
vaksin AIV merupakan vaksinn virus utuh yang inaktif (Swayne dkk., 2011).
Vaksin Inaktif memiliki kelebihan dan kekurangannya sendiri. Terlepas dari
kekurangannya yakni vaksin jenis ini harus diaplikasikan ke tiap tiap individu secara langsung,
vaksin inaktif memiliki kelebihan sepertti lebih aman digunakan, efektif, dan memiliki harga
yang relatif murah. Dari beberapa keuntungan tersebut jenis vaksin ini masih bnyak digunakan
untuk pembuatan vaksin avian influenza pada unggas terutama pada daerah berkembang
dimana biaya tenaga kerja masih tergolong rendah. Disamping kekurangannya yang harus di
aplikasikan ke individu disisi lain pengaplikasian ke tiap individu memiliki keuntungan yaitu
dapat memastikan bahwa tiap individu unggas mendapatkan dosis vaksin yang sama sehingga
dapat mempertahankan hasil titer antibodi yang merata (Lone dkk., 2017).
Formulasi optimal pada vaksin inaktif membutuhkan antigen yang tepat agar sesuai
dengan virus yag ada di lapangan. Selain itu pembuatan vaksin inaktif juga memebutuhkan
adjuvan, bahkan strain avian influenza virus (AIV) yang sangat imunogenikpun memerlukan
adjuvan untuk bisa mendapatkan respon imun yang baik. Adjuvan vaksin merupakan zat kimia,
komponen mikroba atau protein yang dapat meningkatkan respon imun terhadap vaksin inaktif.
Bahan adjuvan yang ideal memiliki sifat yang stabil dan aman agi lingkungan serta tidak
menyebabkan reaksi peradangan di tempat suntikan dan harus ekonomis (hemat biaya).
Berbagai adjuvan komersil dan eksperimental telah banyak yang memenuhi kreteria tersebut.
Nemun data untuk adjuvan yang dapat digunakan baik yang komersil maupun yang alternatif
pada AIV umumnya kurang (Jafari dkk., 2017).
Makalah ini ditulis bertujuan untung mengetahui beberapa adjuvan yang dapat
digunakan untuk campuran pada vaksin inaktif virus avian influensa serta mengetahui
bagaimana efek dari adjuvan tersebut terhadap efek imunosimulator untuk membantu
memaksimalkan efek vaksin inaktif terhadap virus avian influenza. Beberapa adjuvan yang
akan dibahas merupakan adjuvan yang komersil dan sudah sering digunakan serta beberapa
alternatif adjuvan dari bahan alami.
PEMBAHASAN

Avian influenza virus (AIV) adalah penyakit yang selalu menjadi perhatian akan masalah
kesehatan yang mengancam banyak negara. Virus ini termasuk ke dalam famili
Orthomyxoviridae terdiri dari 7 genera. Virus avian influenza memiliki beberapa genus, yaiu
terdiri dari 3 tipe, tipe A, tipe B, dan tipe C. Virus avian influenza merupakan virus RNA yang
single stranded (kumala, 2005). Avian influenza yang menyerang unggas disebabkan oleh
virus Influenza tipe A. Virus ini dapat dibedakan berdasakan protein antigen pada permukaan
virus, berupa Haemagglutiinin (HA) dan Neuraminidase (NA). Sampai saat ini sudah
ditemukan 16 subtipe H dan 9 N yang telah di temukan dari unggas air dan dua subtipe tambahb
(H17 dan H18) dan (N10 dan N11) yang diidentifikasi ppada kelelawar.
Virus avian influenza memiliki partikel virus berbntuk bulat, diameter sekitar 100 nm,
berfilamen dengan panjang 300nm. Merupakan virus beramplop, partikel virus ditutupi
glikoprotein hemaglutinin (HA) hampir 80%, neuraminidase (NA) 17% dari total proteinn
permukaan. Protein Matriks 2 (M2) sebagai matriks permukaan minor jumlah 16-0 molekul
perprtikel. Membran lipid menutupi matriks protein M1 yang mengelilingi inti partikel virus,
Didalam matriks M1 berisi NEP (nuclear export protein), dan Rhibonucleoprotein (RNP) yang
terdiri dari 8 segmen RNA berpilin negatif yang diselubungi nukleokapsid (NP). Virus Avian
Influenza diklasifikasikn menjadi 16 subtipe HA dan 9 NA yang terdiri dari berbagai kombinasi
seperti (H5N1) Prtukaran segmen HA dan/atau NA disebut “pergeseran antigenik”.

Gambar 1. Morfologi virus avian influenza


Avian influenza adalah infeksi virus menular yang menyerang unggas, hewan, dan
manusia di seluruh dunia. Sebagian besar infeksi pada manusia disebabkan oleh virus influenza
tipe A dan B, sedangkan unggas hanya terinfeksi oleh influenza tipe A. Sejumlah galur virus
flu burung (LPAI dan HPAI) telah terdeteksi di peternakan unggas di seluruh dunia. Pada tahun
1996, virus H5N1, yang merupakan jenis HPAI, ditemukan pada angsa di China. Pada tahun
1997, selama wabah unggas di Hong Kong, H5N1 Asia ditemukan pada manusia untuk pertama
kalinya. Sejak saat itu, telah ditemukan pada manusia, unggas, dan burung liar di lebih dari 50
negara di seluruh Afrika, Asia, Eropa, dan Timur Tengah. Kehadiran sel hidup diperlukan untuk
penyebaran virus (Rehman dkk., 2023).
Pencegahan untuk virus avian influenza adalah dengan penggunaan vaksin. Umumnya
vaksin yang ada di pasaran untuk virus avian influenza adalah vaksin inaktif. Vaksin inaktif
merupakan komponen organisme, mikroorganisme mati. Vaksin jenis ini dibuat dengan
menonaktifkan patogen, biasanya menggunakan panas atau bahan kimia seperti formaldehida
atau formalin. Ini menghancurkan kemampuan patogen untuk bereplikasi, tetapi membuatnya
tetap "utuh" sehingga sistem kekebalan masih dapat mengenalinya. ("Tidak aktif" umumnya
digunakan daripada "dibunuh" untuk merujuk pada vaksin virus jenis ini, karena virus
umumnya tidak dianggap hidup.). Karena patogen yang terbunuh atau tidak aktif tidak dapat
bereplikasi sama sekali, mereka tidak dapat kembali ke bentuk yang lebih ganas yang mampu
menyebabkan penyakit (seperti pada vaksin hidup). Namun, mereka cenderung memberikan
perlindungan yang lebih pendek daripada vaksin hidup, dan lebih cenderung membutuhkan
penguat untuk menciptakan kekebalan jangka panjang.
Vaksin inaktif umumnya mengandung oil adjuvant sehingga proses pelepasan antigen
menjadi lebih lambat. Adjuvan pada vaksin inaktif disamping berfungsi untuk memperlambat
pelepasan antigen juga mampu meningkatkan daya immunogenik dari vaksin. Diperlukan
waktu yang relatf lama untuk memicu pembentukan antibodi maksimal, namun respons
kekebalan yang terbentuk dapat bertahan lebih lama di dalam tubuh ayam dibandingkan dengan
penggunaan vaksin aktif, sehingga biaya pemeliharaan ayam menjadi berkurang (Harini dkk,
2013)
Kandungan adjuvan di dalam vaksin inaktif dapat memperlambat proses pelepasan
antigen virus sehingga waktu penghancurannya juga dapat diperlama. Hal inilah yang
menyebabkan vaksinasi dengan jenis vaksin inaktif menimbulkan reaksi pembentukan antibodi
yang lebih lambat dibandingkan dengan menggunkan vaksin aktif. Namun demikian antibodi
yang terbentuk dapat maksimal serta bertahan lebih lama dalam tubuh ayam(Harini dkk., 2013)
Berdasarkan mekanisme kerjanya, adjuvan telah dibagi menjadi sistem delivery dan
adjuvant imunostimulasi. Pada awalnya, sistem penghantaran dianggap hanya bertindak
sebagai depot adjuvant sementara stimulasi imun menginduksi respon imun bawaan, tetapi
sekarang ada konfirmasi bahwa beberapa sistem delivery juga dapat mengaktifkan sel-sel
sistem kekebalan bawaan. Beberapa adjuvan dapat bertindak dengan melepaskan atau
menjebak antigen secara lambat di tempat injeksi dan menghadirkan pasokan yang
berkelanjutan ke APC lokal (efek Depot). Efek ini membantu mengurangi penghilangan atau
degradasi antigen oleh sel imun (yaitu hati). Rekrutmen sel di tempat injeksi, regulasi sitokin
dan kemokin, peningkatan ekspresi Mayor Histocompatibility Complex (MHC) kelas II dan
molekul co-stimulator, dan induksi kaskade inflamasi adalah mekanisme yang digunakan oleh
adjuvan untuk memicu respon imun (Ayele. 2020)
Secara umum, semua mekanisme termasuk stimulasi APC secara langsung atau tidak
langsung, terutama Sel Dendritik (DC). DC mengaktifkan sistem imun bawaan dan adaptif
dengan memproses antigen dan mempresentasikannya ke sel-T spesifik. Antigen yang
terperangkap diambil melalui fagositosis atau pinositosis oleh DC dan kemudian dideteksi oleh
Pattern-Recognition Receptors (PRR). Selama stimulasi PRR, beberapa mediator inflamasi
terlarut seperti sitokin dan interferon tipe 1 (IFN-1) dilepaskan oleh DC naif sebagai bagian
dari imunitas bawaan. Selain itu, respon imun adaptif juga distimulasi oleh DC yang diaktifkan,
melalui pemrosesan dan penyajian antigen ke sel-T spesifik (CD4+). MHC II dan molekul
kostimulatori juga diaktifkan oleh DC untuk membantu interaksi antara DC dan sel T CD4+
(Gambar 3). Peningkatan CD4+ distimulasi sebagai hasil kaskade imunologi ini, tetapi kaskade
ini tidak memadai untuk stimulasi sel T CD8+, yang penting untuk kemanjuran vaksin melawan
kanker dan patogen intraseluler. Oleh karena itu, adjuvan baru ditargetkan pada reseptor APC
yang diekspresikan pada DC untuk mengaktifkan sistem imun bawaan. PRR termasuk TLR,
CLR, dan NLR. menyajikan antigen ke APC dengan adjuvant memungkinkan induksi
kekebalan terhadap tumor atau antivirus (Ayele. 2020).
Gambar 2. Tinjauan skematis dari kaskade imunologis yang diinduksi oleh adjuvan
.
Klasifikasi adjuan dapat dibedakan oleh sumbernya (alami, sintetik atau endogen),
mekanisme kerja, dan sifat fisik atau kimia. Berdasarkan mekanisme kerjanya, mereka dapat
dibagi menjadi adjuvan sistem pengiriman (partikulat) dan adjuvan stimulasi imun atau
adjuvan non-partikulat. Seperti namanya menentukan klasifikasi pertama adjuvant, berfungsi
dengan mengirimkan antigen ke sel imun (khususnya sel penyaji antigen, sel dendritik).
Adjuvan sistem pengiriman dirancang untuk mengaktifkan respon imun bawaan melalui
penciptaan respon proinflamasi lokal yang mengarah pada perekrutan berbagai sel ke situs.
Selanjutnya, adjuvant stimulasi imun dirancang untuk mengaktifkan respon imun bawaan
melalui Pattern-Recognition Receptors (PRRs) yang terdiri dari berbagai kelas reseptor
termasuk Toll-like receptor, Nucleotide-binding Oligomerization Domain- (NOD-) like
receptor, dan Retinoic Acid-inducible Gene-I (RIG-I-) like receptor, semuanya diekspresikan
pada sel-sel sistem imun. Akhirnya, keterlibatan Patogen-Associated Molecular Patterns
(PAMPs) memulai aktivasi sel bawaan yang pada akhirnya dapat berpindah ke jaringan lain
dan menghasilkan produksi sitokin dan kemokin.

Gambar 3. Klasifikasi adjuvan

Pada pembuatan vaksin inaktif untuk virus avian influenza terdapat berbagai macam
jenis adjuvan yang telah dilakukan penelitian, baik bahan-bahan adjuvan yang sudah lazim
dan umum digunakan maupun bahan alternatif yang belum komersi.
Seperti yang dilporkan oleh lone dkk. (2017) terkait penelitian yan berjudul evaluai
imunologi dari 10 adjuvan yang berbed dan digunakn pada pembuatan vaksin highly
pathogenic avian influenza (HPAI). Penelitian ini menggunakan berbagai jenis adjuvan
komersil oil based (water-in-oil). Montanide ISA 70VG (70VG) (mineral oil based) (SEPPIC,
Inc., Fairfield, NJ), Montanide ISA 71VG (71VG) (SEPPIC), Montanide ISA 760VG (760VG)
(synthetic polymer and ester based) (SEPPIC), Montanide 780 VG (780VG) (vegetable oil
based) (SEPPIC) and Montanide GEL01 (GEL01) (synthetic polymer based) (SEPPIC). Selain
itu juga digunakan mineral oil adjuvan yaitu Incomplate Freund’s adjuvan (IFA) Calcium
phosphate (CAP), alginate, and adjuvan kitosan. Rute yang digunakan dalam percobaan ini
yaitu, Montanide ISA 70VG (70VG) (mineral oil based) (SEPPIC, Inc., Fairfield, NJ),
Montanide ISA 71VG (71VG) (SEPPIC), Montanide ISA 760VG (760VG) (synthetic polymer
and ester based) (SEPPIC), Montanide 780 VG (780VG) (vegetable oil based) (SEPPIC) and
Montanide GEL01 (GEL01) (synthetic polymer based) (SEPPIC). Selain itu juga digunakan
mineral oil adjuvan yaitu Incomplate Freund’s adjuvan (IFA), kitosan, calcium phosphate
(CAP), alginate dengan menggunakan rute subkutan.
Hasil penelitian lone dkk. (2017) tersebut menunjukkan pada level respon antibodi
adjuvan Montanide ISA 71VG, ISA 70VG and GEL01 menginduksi antibodi dengan level
tertinggi dibandingkan dengan jenis adjuvan lain yang digunakan pada penelitian ini,
sedangkan montanide 760VG, 780VG, the Stone adjuvant, incomplete Freund’s dan kitosan
menginduksi hanya pada level medium. Sedangkan Alginate dan CAP hanya dapat
menginduksi pada level rendah
Pada uji tantang oleh virus HPAIV ditentukan pada penigkatan kelangsungan hidup
dan penurunan pelepasan virus. Pada penelitian ini semua kelangsungan hidup metode
inaktivasi secara signifikan meningkat pada semua kelompok yang menerima vaksin adjuvan
kecuali adjuvan CPA. Kelangsungan hidup juga meningkat pada kelompok ayam yang
menerima Non Adjuvan Inativated Vaccine (NAIV) dibandingkan dengan kelompok kontrol
yang tidak divaksinasi tetapi tidak signifikan jika dibanding dengan kelompok yang divaksin
dengan penambahn adjuvan. Juga, hanya dua unggas yang menunjukkan tanda-tanda klinis
penyakit, seekor ayam di kelompok 71VG yang dinonaktifkan BPL dan satu di kelompok NAIV
IV yang dinonaktifkan BPL. Ini tidak terduga karena kematian akibat HPAIV dapat terjadi
dengan cepat tanpa adanya tanda klinis yang jelas dan dengan demikian bukan merupakan
metrik perlindungan yang dapat diandalkan atau diskriminatif dalam tantangan HPAIV
eksperimental.
Respon tertinggi dan perlindungan paling lengkap terhadap penyakit terdapat pada
kelompok yang divaksin dengan menggunakan adjuvan mondatide 70VG dan 71VG mereka
memiliki cara kerja yang serupa satu sama yang lain. Laporan sebelumnya telah menunjukkan
bahwa masing-masing merupakan bahan pembantu yang efektif untuk ayam dengan agen virus
dan bakteri yang berbeda. Meskipun respons antibodi yang dihasilkan oleh stone adjuvant ,
IFA, 760VG dan GEL01 yang dihasilkan lebih rendah dari 70VG atau 71VG, perbedaannya
tidak signifikan dan perlindungan terhadap kematian dan pengurangan pelepasan serupa. Data
untuk 760VG dan GEL01 masih kurang, tetapi Stone adjuvant dan IFA telah terbukti bekerja
dengan baik pada ayam dengan antigen bakteri dan virus. Secara keseluruhan adjuvan yang
berkinerja terbaik berdasarkan penelitian ini adalah berbasis minyak dan membentuk emulsi
air dalam minyak.
Pada adjuvan kitosan menghasilkan tingkat antibodi yang kurang maksimal pada
penelitian ini. Hal ini kemungkinan karena kitosan lebih sering digunakan sebagai adjuvan
mukosa dengan pemberian intranasal atau oral. Meskipun demikian, kitosan memang
memberikan perlindungan 100% terhadap kematian dang mengurangi titer luruh secara
signifikan dibandingkan kontrol yang tidak divaksin. Begitu juga dengan adjuvan alginat,
Alginat sudah digunakan untuk adjuvan pada beberapa spesies, penelitiannya meliputi unggas,
mamalia bahkan ikan. Namun biasanya digunakan sebagai adjuvan mukosa atau stabilizer
dalam vaksin oral. Meskipun pada penelitian lain terkait alginate pada tikus menimbulkan
antibodi yang tinggi pada tikus (Farjah dkk., 2015). Namun, pada ayam vaksinasi yang di
tambahkan dengan adjuvan alginate tidak menginduksi tingkat antibodi yang tinggi, tetapi
cukup protektif terhadap uji tantang. Kematian trhadap HPAIV berkurang namun sheding virus
terjadi yang mirip dengan kelompok yang diinokulasikan NAIV.
Mirip dengan alginat, CAP telah digunakan sebagai adjuvant dan stabilizer dalam
sistem model mamalia dan juga telah digunakan pada ayam dengan vaksin virus penyakit
Newcastle Di sini CAP bekerja sama dengan NAIV dan kontrol yang tidak divaksinasi, oleh
karena itu tidak akan menjadi kandidat yang layak untuk vaksin AIV untuk ayam. Ini berbeda
dengan laporan dimana vaksin adjuvan CAP menginduksi titer antibodi tinggi pada ayam
dengan vaksin virus penyakit Newcastle (Koppad dkk., 2011). Perbedaannya mungkin karena
fakta bahwa dosis antigen yang lebih rendah digunakan dalam penelitian ini atau beberapa sifat
intrinsik antigen (misalnya AIV mungkin tidak mengikat CAP serta virus penyakit Newcastle).
Namun pada penelitian Volkova et al., (2014) memang menemukan bahwa kitosan bekerja
lebih baik daripada CAP pada ayam dengan vaksin virus penyakit Newcastle.
Secara keseluruhan, ini menunjukkan bahwa semua adjuvant, kecuali CAP dan
Alginate, mampu secara substansial mengurangi pelepasan virus, yang merupakan salah satu
metrik paling penting dari kemanjuran vaksin AIV.
Penelitian lain terkait penggunaa adjuvan yaitu pada penelitian yang dilakukan oleh
Lee dkk., (2021). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi novel water-in-oil emulsion
adjuvan CAvant® WO-60, yang secara efektif meningkatkan imunogenisitas antigen influenza
yang dilestarikan sM2HA2 dan antigen H9N2 utuh yang tidak aktif (iH9N2). CAvant® WO-
60 menginduksi imunitas humoral dan seluler pada tikus dan memberikan perlindungan 100%
dari tantangan dengan 10 LD50 A/Aquatic bird/Korea/W81/2005 (H5N2) dan
A/Chicken/Korea/116/2004 ( H9N2) AIV.
Berdasarkan penelitian Lee dkk., (2021) tersebut menunjukkan bahwa CAvant® WO-
60 Adjuvant Meningkatkan Respons Kekebalan Humoral Spesifik Antigen terhadap Antigen
AIV pada Tikus. Hasil penelitian menunjukkan tujuh hari setelah vaksin pertama tikus
menunjukkan kadat igg spesifik sM2HA2 yang relatif rendah terlepas dari vaksin diberi atau
tidak diberikan adjuvan. Namun pada hari ke 7 setelah vaksin kedua yaitu hari ke 21 semua
tikus yang di suntik dengan sM2HA2 menunjukkan tingkat antibodispesifik yang tinggi. Selain
itu, titer antibodi IgG anti-sM2HA2 secara signifikan lebih tinggi pada serum tikus yang
diimunisasi dengan sM2HA2 yang diemulsikan dalam CAvant® WO-60 dibandingkan pada
serum tikus yang diimunisasi dengan sM2HA2 saja. Hasil serupa diamati pada tikus yang
diimunisasi dengan iH9N2, di mana imunisasi kedua meningkatkan respons IgG terhadap
H9N2, dengan titer IgG spesifik H9N2 tertinggi yang diamati pada serum tikus yang
diimunisasi dengan iH9N2 yang diemulsi dalam CAvant® WO-60
Menariknya, pada penelitian ini menunjukkan bahwa titer IgG1 dan IgG2a spesifik
antigen lebih tinggi pada tikus yang diimunisasi dengan antigen virus yang diemulsi dalam
CAvant® WO-60 dibandingkan pada tikus yang disuntik dengan antigen saja atau diemulsi
dalam ISA 70 VG. Dengan demikian, hasilnya menunjukkan bahwa adjuvan CAvant® WO-
60 yang baru diperkenalkan meningkatkan respons imun humoral terhadap antigen AIV(Lee
dkk., 2021).
Kemudian pada hari ke 24 setelah vaksin pertama tikus dieutanasia dan splenositnya
diambil untuk di uji ELISPOT. untuk menghitung jumlah sel spesifik antigen yang
mengeluarkan interferon (IFN) -γ dan interleukin (IL) -4 (Gambar 2A). IFN-γ adalah
perwakilan sitokin Th1 yang juga diekspresikan oleh limfosit T sitotoksik, sedangkan IL-4
adalah sitokin Th2. Dengan demikian, splenosit dari tikus yang diimunisasi dengan sM2HA2
dirangsang dengan peptida sM2HA2 atau M2 atau HA2. Persentase splenosit yang mensekresi
IFN-γ dan IL-4 lebih tinggi pada tikus yang diimunisasi dengan sM2HA2 yang diemulsi dalam
CAvant® WO-60 dibandingkan pada tikus yang diimunisasi dengan sM2HA2 saja atau dengan
sM2HA2 yang diemulsi dalam ISA 70 VG. Hasil serupa diamati ketika splenosit dari tikus
yang diimunisasi dengan iH9N2 distimulasi dengan seluruh antigen H9N2. Persentase
splenosit yang mensekresi IFN-γ dan IL-4 sekali lagi lebih tinggi pada tikus yang diimunisasi
dengan iH9N2 yang diemulsi dalam CAvant® WO-60 dibandingkan pada tikus yang
diimunisasi dengan virus yang tidak aktif saja atau dengan iH9N2 yang diemulsi dalam ISA
70 VG. Hasil ini memberikan bukti bahwa imunisasi dengan sM2HA2 yang diemulsi dalam
CAvant® WO-60 meningkatkan respons imun sel T spesifik-antigen ke tingkat yang serupa
atau bahkan lebih tinggi daripada imunisasi dengan sM2HA2 yang diemulsi dalam adjuvant
kontrol ISA 70 VG.
Temuan bahwa CAvant® WO-60 secara efektif menginduksi respons imun humoral
dan seluler terhadap antigen AIV menunjukkan bahwa adjuvan ini dapat meningkatkan
kemampuan vaksin sM2HA2 atau iH9N untuk melindungi tikus dari infeksi AIV yang
mematikan. Tikus yang disuntik dengan PBS atau dengan sM2HA2 saja tanpa adjuvant
menunjukkan penurunan berat badan yang signifikan (lebih dari 25%), dengan 100% mati
dalam 8 hari. Sebaliknya, semua mencit yang diimunisasi dengan sM2HA2 yang diemulsi
dalam CAvant® WO-60 terlindung dari tantangan, dengan sedikit penurunan berat badan
hingga hari ke-7, diikuti pemulihan bertahap. Tikus yang diimunisasi dengan sM2HA2 yang
diemulsi dalam ISA 70 VG menunjukkan penurunan berat badan terus menerus, dengan 80%
bertahan hingga hari ke-12. Secara keseluruhan, ini menunjukkan bahwa imunisasi
menggunakan adjuvan CAvant® WO-60 dapat meningkatkan kemanjuran perlindungan vaksin
terhadap infeksi virus influenza.
Penelitian Lee dkk., (2021) ini menunjukkan bahwa adjuvan emulsi water-in-oil
CAvant® WO-60 yang baru mampu menginduksi respons imun humoral dan seluler campuran
yang kuat terhadap antigen virus. Respons ini mampu melindungi mencit dari tantangan
influenza yang mematikan, serta meningkatkan respons antibodi seroprotektif terhadap antigen
bivalen NDV dan AIV pada ayam. Kemanjuran adjuvant CAvant® WO-60 sebanding dengan
adjuvant vaksin unggas ISA 70VG. Temuan ini menunjukkan bahwa adjuvan CAvant® WO-
60 akan menjadi kandidat yang menjanjikan untuk pengembangan vaksin unggas yang efektif.
Penelitian lain berkaitan dengan adjuvan sebagai campuran vaksin avian influenza yaitu
penelitian dari Syahruddin dkk., (2020) terkait dengan penggunaan polisakarida manna sebagai
oral adjuvan vaksin avian influenza pada broiler. Penelitian ini bertujuan utnuk menguji
kemampuan PM dari Bungkil Inti Sawit (BIS) terhadap peningkatan titer antibodi AI H5N1
dan immunoglobulin a (IgA) pada 30 ekor ayam broiler yang berumur 1-6 minggu. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa Vaksinasi dengan antigen H5N1+PM secara oral tidak
mempengaruhi PBB maupun bobot badan akhir ayam. Hal tersebut kemungkinan disebabkan
oleh pengaruh antigen bersama PM lebih banyak untuk merangsang imunogenisitas, sehingga
pengaruhnya terhadap bobot badan tidak tampak. Pengaruh penggunaan polisakarida mannan
(PM) dari BIS sebagai oral ajuvan terhadap titer antibodi AI H5N1 ayam broiler menunjukkan
vaksinasi denan antigen H5N1 secara oral dengan penambaha PM menunjukkan antibodi yang
lebih tinggi dibanding dengan perlakuan yang divaksin hanya dengan antigen dan yang tidak
divaksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa komponen mannan dari BIS sebagai oral ajuvan
vaksin AI dapat menggertak atau menimbulkan efek yang merangsang sistem kekebalan lebih
aktif untuk pembentukan antibodi. Mekanisme bagaimana PM ini dapat menstimulasi
pembentukan antibodi belum diketahui secara pasti. Dugaan yang muncul yang mejelaskan
fenomena ini bahwa sel pertahanan tubuh dapat mendeteksi kehadiran mikroba karena adanya
molekul unik yang disebut pathogen- associated molecular pattern (PAMP) yang akan
mengaktifkan sistem kekebalan seperti fagositosis dan jalur lektin. Komponen gula mannosa
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh dengan jalan merangsang sekresi protein yang dapat
mengikat mannosa, dan dikenal dengan istilah mannosa binding lectin (MBL). MBL disintesa
di hati dan disekresikan ke dalam serum sebagai komponen dengan fase respon yang bersifat
akut. MBL dapat berikatan dengan karbohidrat dari dinding sel bakteri, ragi atau virus.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Idar dkk., (2015) pemanfaatan soysaponin sebagai
adjuvan dilakukan untuk pengembangan vaksin avian influenza yang berbasis epitop virus
influenza yang lestari yaitu M2e. Namun Namun diperlukan adjuvan untuk meningkatkan
imunogenisitas M2e. Soyasaponin adalah salah satu jenis saponin yang berpotensi
dikembangkan sebagai adjuvan. Dalam penelitian ini, digunakan epitop M2e yang telah
dimodifikasi, M2e2-16-K-P25 dan soyasaponin I sebagai adjuvannya. Efektivitas vaksin diuji
terhadap mencit galur BALB/c. Respon antibodi M2e yang dihasilkan pada serum mencit
diukur dengan ELISA Berdasarkan penelitian ini, soyasaponin I terbukti dapat meningkatkan
immunogenisitas epitop M2e2- 16-K-P25 dengan cukup baik.
Sampai saat ini, haemaglutinin (HA) dan neuraminidase (NA) masih menjadi target
vaksin influenza. HA dan NA merupakan protein virus influenza yang membantu menyerang
respons kekebalan. Namun, HA dan NA ini secara terus- menerus mengalami mutasi (Carrat
& Flahault, 2007), sehingga diperlukan vaksin baru jika terbentuk strain virus baru. Untuk
mengatasi kelemahan vaksin konvensional, dirancanglah vaksin influenza universal yang
berbasis epitop. Epitop tersebut dikenal sebagai M2e yaitu protein matriks 2 (M2) mengandung
satu ektodomain kecil pada ujung-N. M2e ini memiliki urutan asam amino bersifat lestari pada
semua virus influenza.
Namun, epitop ini tidak cukup besar untuk membangkitkan respon kekebalan tubuh,
sehingga dalam penggunaan sebagai vaksin selalu diformulasikan bersama dengan adjuvan.
Sampai saat ini adjuvan yang telah mendapatkan lisensi WHO masih sangat sedikit.
Aluminium hidroksida gel (Alhidrogel) adalah salah satu adjuvan yang telah mendapat lisensi
WHO dan tersedia secara komersial. Namun, adjuvan alhidrogel memiliki berbagai kelemahan
yaitu: tidak dapat menstimulasi respon sel T termasuk limfosit sel T, potensi adjuvannya hilang
ketika dibekukan, dan menyebabkan granuloma pada daerah penyuntikkan (Reed et al., 2008).
Berdasarkan hal tersebut diperlukan penelitian dan pengembangan lebih mendalam untuk
mencari dan mendapatkan adjuvan yang dapat mengatasi kelemahan alhidrogel.
Saponin adalah senyawa yang banyak ditemukan dalam berbagai tumbuhan di alam.
Berbagai jenis saponin, salah satunya soyasaponin yang berasal dari kedelai, telah diketahui
berpotensi digunakan sebagai adjuvan. Secara umum, saponin memeliki efek hemolisis yang
cukup besar. Namun, soyasaponin memiliki efek hemolisis yang kecil dibanding saponin dari
sumber lainnya (Sun et al., 2009)
Pada penelitian ini formula vaksin yang mengandung adjuvan soyasaponin I dan
alhidrogel diinokulasikan pada mencit secara terpisah. Selain itu, untuk melihat pengaruh
komponen utama vaksin, alhidrogel, soyasaponin I dan epitop M2e pun diinokulasikan masing-
masing pada mencit galur yang sama. Hasilnya, menunjukkan bahwa alhidrogel dan epitop
M2e masing-masing memberikan respon antibodi yang hampir sama, ditunjukkan dengan nilai
yang secara statistik tidak signifikan. Berbeda dengan soyasaponin I, adjuvan ini menghasilkan
respon antibodi yang jauh lebih besar dibanding dengan alhidrogel. Kemudian dalam
peranannya sebagai adjuvan, soyasaponin I lebih kuat dalam menghasilkan respon antibodi
dibanding alhidrogel dengan nilai yang cukup signifikan secara statistik pada formula vaksin
M2e-soyasaponin I dengan M2e-alhidrogel. Hal ini dapat dijelaskan sesuai Song & Hu (2009)
bahwa proses terbentuknya respon kekebalan tubuh selalu melibatkan aktivasi sel T.
Mekanisme soyasaponin dalam membangkitkan atau mengaktifkan sel T belum ditemukan
dengan pasti, namun secara umum kelompok saponin mengandung aldehid yang berperan
dalam aktivasi sel T. Terdapat dua mekanisme yang harus selalu ada untuk aktivasi sel T oleh
gugus aldehid pada saponin. Mekanisme pertama, gugus aldehid pada saponin memediasi
pengiriman antigen yang berasal dari luar secara langsung menuju sel-sel penyaji antigen yang
berada di sitosol melalui MHC kelas I. MHC kelas I ini menyajikan antigen tersebut kepada
reseptor sel T, sehingga sel T menjadi aktif. Mekanisme kedua, gugus aldehid pada saponin
bereaksi dengan gugus amino pada reseptor di permukaan sel T, lalu membentuk suatu imina
yang dikenal sebagai B7. B7 ini berikatan dengan protein kostimulator, CD28 pada sel T,
sehingga sel T menjadi aktif. Sel T yang aktif akan berubah menjadi sel T penolong I atau sel
T penolong 2 atau menjadi keduanya (Song & Hu, 2009).
Berdasarkan adanya titer antibodi M2e pada serum, maka soyasaponin I dapat
mengaktifkan sel T menjadi sel T penolong 2. Karena sel T penolong 2 ini yang akan
mengaktifkan sel B sehingga dihasilkan antibodi (Idar dkk., 2015).
KESIMPULAN

Avian influenza virus (AIV) adalah penyakit yang selalu menjadi perhatian akan
masalah kesehatan yang mengancam banyak negara. Selain itu, virus ini juga merupakan virus
yang bersifat zoonosis, serta kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit ini sangat tinggi.
Pencegahan yang paling efektif saat ini adalah dengan penggunaan vaksin. Vaksin komersial
yang paling banyak di pasaran yaitu vaksin inaktif avian influenza. Vaksin inaktif ini
merupakan vaksin yang aman digunakan karena tidak memiliki resiko teraktivasinya kembali
virus yang diinokulasikan. Namun vaksin inaktif memiliki proteksi yang lebih rendah
dibanding vaksin akti oleh karena itu memerlukan bahan tambahan berupa djuvan yang
berguna sebagai delivery dan imunostimulator. Berbagai adjuvan terlah banyak tersedia secara
komersil. Dari penjabaran diatas terdapat berbagai jenis adjuvan yang paling efektif dari
adjuvan komersil seperti Montanide ISA 71VG, ISA 70VG and GEL01, novel water-in-oil
emulsion adjuvan CAvant® WO-60. Kemudian penelitian lain menyebutkan bahwa adjuvan
soysaponin I polisakarida manna dari bungkil inti sawit juga dapat digunakan sebagai adjuvan
untuk vaksin inaktif avian influenza.
DAFTAR PUSTAKA

Abdallah N., B. K. Tekelioglu, K. Kursun, M. Baylan, Ü. Elc. 2023. Vanccination and


Poultry Production. Journal of Agriculture, Food, Environment and Animal Sciences Tarım,
Gıda, Çevre ve Hayvancılık Bilimleri Dergisi http://www.jafeas.com, ISSN: 2757-5659

Ayele G. 2020. Review on Recent Advance of Vaccine Adjuvants. J Vaccines Vaccin,


Vol. S5 No: 1000003

Farjah, A.P. Owlia, S.D. Siadat, S.F. Mousavi, M.S. Ardestani, H.K. Mohammadpour.
2015. Immunological evaluation of an alginate-based conjugate as a vaccine candidate against
Pseudomonas aeruginosa
APMIS, 123, pp. 175-183

Idara, I., T. Subrotob, S. Soemitrob. 2015. Soysaponin I sebagai Adjuvan untuk


Meningkatkan Imunogenisitaas Vaksin Influenza Berbasis Epitop M2e.
Chimica et Natura Acta Vol.3 No.1, April 2015:34-36

Jafari, M., M. Moghaddam Pour, M. Taghizadeh, S. Masoudi, Z. Bayat


Comparative assessment of humoral immune responses of aluminum hydroxide and oil-
emulsion adjuvants in Influenza (H9N2) and Newcastle inactive vaccines to chickens
Artif Cells Nanomed Biotechnol, 45 (2017), pp. 84-89

Koppad, S., G.D. Raj, V.P. Gopinath, J.J. Kirubaharan, A. Thangavelu, V. Thiagarajan
Calcium phosphate coupled Newcastle disease vaccine elicits humoral and cell mediated
immune responses in chickens
Res Vet Sci, 91 (2011), pp. 384-390

Lee, E.S., Y.J. Shim, W. A. G. Chathuranga, Y. H. Ahn, I. J. Yoon, S. S. Yoo, J. S.


Lee. 2021. CAvant® WO-60 as an Effective Immunological Adjuvant for Avian Influenza and
Newcastle Disease Vaccine. Sec. Veterinary Infectious Diseases. Volume 8 - 2021 |
https://doi.org/10.3389/fvets.2021.730700
Lone, N.A., E. Spackman, D. Kapczynski. 2017. Immunologic evaluation of 10
different adjuvants for use in vaccines for chickens against highly pathogenic avian influenza
virus. Vaccine. Volume 35, Issue 26, 8 June 2017, Pages 3401-3408

Rehman S., M.H. Effendi, R.Z.Abbas, K.Hussain. 2023. Avian influenza (H5N1) virus,
epidemiology and its effects on backyard poultry in Indonesia: a review [version 2; peer
review: 2 approved]. Published: 17 Feb 2023, 11:1321
https://doi.org/10.12688/f1000research.125878.2

Song, X. & Hu, S. (2009). Adjuvant activities of saponins from traditional Chinese
medicinal herbs, Vaccine, 27, 4883–4890.

Sun, H. X., Xie, Y., & Ye, Y. P. (2009). Advances in saponin-based adjuvants, Vaccine,
27, 1787– 1796

Swayne, D.E., G. Pavade, K. Hamilton, B. Vallat, K. Miyagishima


Assessment of national strategies for control of high-pathogenicity avian influenza and low-
pathogenicity notifiable avian influenza in poultry, with emphasis on vaccines and vaccination.
Rev Sci Tech, 30 (2011), pp. 839-870

Syahruddin, K. Zarkasie, Yatno, R. Mutia, dan Nahrowi. 2020. Kemampuan


Polisakarida Manna Sebagai Oral Adjuvan Vaksin Avian Influenza Pada Ayam Broiler.
Jambura Journal of Animal Science E-ISSN: 2855-2280 Volume 2 No 2 Mei 2020.

Volkova, M.A., A.V. Irza, I.A. Chvala, S.F. Frolov, V.V. Drygin, D.R. Kapczynski
Adjuvant effects of chitosan and calcium phosphate particles in an inactivated Newcastle
disease vaccine. Avian Dis, 58 (2014), pp. 46-52

Anda mungkin juga menyukai