Anda di halaman 1dari 30

Tugas Makalah

BIODIVERSITAS Mycosporum Canis

Oleh:
Reza Alfitra Mutiara
265222002

PROGRAM STUDI VAKSINOLOGI DAN IMUNOTERAPETIKA


FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS AIRLANGGA
2023
BAB II PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dermatofitosis merupakan penyakit kulit yang disebabkan oleh kapang yang tergolong
dalam kelompok dermatofita, dan pada hewan lebih dikenal dengan penyakit ringworm. Dalam
tubuh inang, kapang ini biasanya ditemukan terbatas pada bagian luar dari tubuh, misalnya
pada bagian keratin dari stratum korneum kulit, kuku, dan rambut. Kapang ini bersifat tidak
ganas, tidak dapat tumbuh dalam jaringan hidup maupun pada bagian tubuh yang mengalami
peradangan secara intens (Olivares, 2003).
Pada hewan kesayangan, dermatofitosis dapat menginfeksi kulit, rambut, atau kuku.
Pada anjing, sekitar 70% penderita ringworm disebabkan kapang Microsporum canis, 20% oleh
M. gypseum, dan 10% oleh Trichophyton mentagrophytes (Vermout et al., 2008). Penyakit ini
hampir ditemukan pada semua jenis hewan peliharaan. Anjing semua umur dapat terinfeksi
kapang dermatofita. Namun, kejadian lebih banyak ditemukan pada anak anjing. Selain umur,
faktor lainnya termasuk status nutrisi yang jelek dan menejemen pemeliharaan yang buruk serta
tidak diisolasinya hewan penderita, akan meningkatkan kejadian penyakit. Mortalitas penyakit
rendah, namun demikian kerugian ekonomis dapat terjadi karena kerusakan kulit dan rambut
atau bobot badan turun karena hewan menjadi tidak tenang serta adanya risiko zoonosis yang
ditimbulkan oleh M. canis (Kotnik, 2007).
Dalam pengamatan klinis, dermatofitosis dicurigai pada hewan dengan lesi yang terdiri
dari kombinasi alopecia, erythema, papula, serta scaly dan crusty. Lesi klasik pada anjing dan
kucing umumnya memiliki batasan dengan radang aktif di pinggiran lesi, biasanya ditemukan
pada bagian wajah atau anggota badan. Ukuran dan lama terjadinya lesi, mungkin dapat
mengakibatkan pengerasan kulit atau penyembuhan yang terpusat. Lesi pada planum nasale,
telapak kaki, dan kuku kemungkinan dapat ditemukan, tetapi jarang dilaporkan. Diagnosis
dermatofitosis baik dengan metode konvensional dan molekuler perlu ditinjau terutama yang
khusus berkaitan dalam praktek dokter hewan. Tujuan utama dalam mendiagnosis
dermatofitosis adalah untuk membuktikan adanya invasi oleh kapang dermatofita pada lapisan
epidermis atau batang rambut. Metode diagnostik utama yang sering digunakan adalah
pemeriksaan dengan lampu Wood, pemeriksaan dengan mikroskop secara langsung dan kultur.
Ketiga jenis metode diagnosis harus dilakukan secara rutin dan dipertimbangkan untuk saling
melengkapi dalam penentuan diagnosis (Bond, 2010).
Mycrosporum canis juga dianggap bersifat zoofilik, yang terdistribusi di seluruh dunia
dan sering menjadi penyebab kurap pada manusia, terutama anak-anak. Menyerang rambut,
kulit, dan jarang menyerang kuku. Kucing dan anjing adalah sumber utama infeksi.
Microsporummenginvasi rambut, kemudian menunjukkan infeksi ektotriks dan berpendar
terang kehijauan- kuning di bawah sinar ultra-violet (Ellis, 2015). Karena pengaruhnya dalam
kesehatan yang cukup penting maka perlu dilakukan pembahasan terkait etiologi, penularan,
diagnosa, biodiveritas, pencegahan serta pengobatan terkait penyakit yang ditimbulkan oleh
jamur Mycrosporum canis. Makalah ini secara singkat akan menjabarkan terkait hal-hal
tersebut.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana etiologi Mycrosporum canis
2. Bagaimana Penularan dan Patofisiologis Mycrosporum canis?
3. Bagaimana Gejala Klinis infeksi Mycrosporum canis?
4. Bagaimana cara isolasi dan identifikasi Mycrosporum canis?
5. Bagaimana terkait Biodiversitas dari Mycrosporm canis?
6. Bagaimana penegahan dan pengobatan infeksi Mycrosporum canis?

1.3 Tujuan Makalah


1. Mengetahui etiologi Mycrosporum canis
2. Mengetahui Penularan dan Patofisiologis Mycrosporum canis
3. Mengetahui Gejala Klinis infeksi Mycrosporum canis
4. Mengetahui cara isolasi dan identifikasi Mycrosporum canis
5. Mengetahui terkait Biodiversitas dari Mycrosporm canis
6. Mengetahui cara penegahan dan pengobatan infeksi Mycrosporum canis

1.4 Manfaat Makalah.


Makalah ini ditulis guna menambah pengetahuan bagi penulis dan pembaca terkait
dengan etiologi, penularan, patogenitas, diagnosis, biodiversitas, serta penanganan infeksi
Mycrosporum canis.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Etiologgi Mycrosporum canis
Microsporum canis memiliki konidia yang besar, berdinding kasar, multiseluler,
berbentuk kumparan, dan terbentuk pada ujung-ujung hifa Konidia yang seperti ini disebut
makrokonidia. Makrokonidia adalah spora aseksual yang berukuran besar. Dengan hialin,
berbentuk seperti gelondong hingga lonjong. Berukuran 7-20 μm kali 30-160 μm. Spesies ini
membentuk banyak makrokonidia yang terdiri dari 5-15 sel, veruka berdinding tebal dan sering
memiliki kenop terminal, sering kali mempunyai ujung-ujung yang melengkung atau kail
berduri. Beberapa mikrokonidia piriform hingga klavat juga ada. Selain itu Mycrosporum canis
juga memiliki mikrokonidia yang berukuran lebih kecil dibandingkan dengan makrokonidia.
Mikrokonidia juga merupakan spora aseksual dari Mycrosporum. Mirkrokonidia bersifat lunak
dan bersel tunggal. Mikrokonidi berbentuk piriform hingga klavat, memiliki dinding sel yang
halus, uniseluler, soliter dan mikrkonidia berukuran 2,5–3,5 μm kali 4–7 μm.

Gambar 1. Gambaran Mycrosporum canis secara mikroskopik.


Strain lain dari strain dysgonic M. canis seperti M. canis var. distorsitum umumnya
penyebab infeksi pada kucing dan anjing dan M. canis var. equinum yang menyebabkan kurap
pada kuda. M. canis merupakan dermofita yang bersifat zoofilik dan M. canis tidak dapat
dianggap sebagai flora jamur normal pada hewan dan manusia.

Berikut klasifikasi dari Mycrosporum canis:

o Kingdom : Fungi
o Divisi : Ascomycota
o Class : Eurotiomycota
o Order : Onygenales
o Family : Arthrodermataceae
o Genus : Microsporum
o Spesies : Microsporum canis

2.2 Reproduksi Mycosporum canis


Sistem reproduksi pada jamur Microsporum canis dibagi menjadi dua, yaitu reproduksi
aseksual dan reproduksi seksual.
Dalam reproduksi aseksual, Microsporum canis menggunakan konidia yang disebut
juga mitospora. Konidia ini memiliki satu nukleus dan dapat disebarkan oleh angin, air, dan
hewan. Konidia ini dibentuk oleh konidiospora. Cara perkembangbiakan ini paling dominan
dan berlangsung secara cepat
Sedangkan pada reproduksi sexual Microsporum canis menggunakan askus yang sering
disebut askospora. Alat perkembangbiakan inilah yang membedakan dengan yang lain. Askus
adalah pembuluh yang berbentuk tabung/saluran yang mengandung meiosporangium yang
merupakan spora seksual yang diproduksi secara meiosis. Yang terjadi pada reproduksi seksual
ini adalah bertemunya hifa yang terdiri dari antheridium dan arkegonium. Setelah keduanya
bertemu maka akan terjadi pertukaran materi genetik yang diberikan oleh antheridium dan
arkegonium masing-masing separuhnya. Peristiwa ini disebut dikariofase.
Pada jamur, penentuan jenis kelamin diatur oleh wilayah genomik khusus yang disebut
mating type locus (MAT). Reproduksi seksual dari clade Mycosporum canis terdiri dari 3
subgrup, spesieis antropofilik M. Audouinii dan M. Ferrugineum dan spesies zoofilik M. Canis
yang berorientasi utama dengan kucing. Spesies yang bereproduksi secara seksual dalam clade
ini adalah Arthroderma otae dan sementara strain M. audouinii dan M. ferrugineum steril,
strain M. canis mampu kawin dengan strain tester A. otae. tipe mating (+) A. otae diwakili oleh
hanya sejumlah isolat, tipe mating (-) adalah yang dominan. Lokus MAT dari strain M. canis
yang diurutkan ditentukan mengandung gen domain alfa dan struktur lokusnya sangat mirip
dengan lokus MAT1-1 dari M. gypseum, T. rubrum dan T. tonsurans. strain M. canis dibagi
menjadi tiga populasi (I-III) menurut variasi genetik dan hanya populasi III ditemukan
mengandung bukti rekombinasi. Sementara populasi ini mengandung sebagian besar isolat
hewan, populasi I mengandung 74% strain yang diisolasi dari manusia, yang mungkin
menunjukkan munculnya genotipe virulen klonal yang memiliki kemampuan lebih baik untuk
menginfeksi inang manusia (Banu dan Joseph, 2017).

2.3 Penularan
Arthrospora ditularkan melalui kontak dengan hewan yang sakit atau terinfeksi secara
subklinis, terutama kucing, tetapi juga anjing atau spesies lain. Pada hewan yang sakit, batang
rambut yang terinfeksi rapuh dan fragmen rambut yang mengandung artrospora sangat efisien
dalam menyebarkan infeksi. Selain itu, kucing yang tidak terinfeksi dapat secara pasif
mengangkut artrospora pada bulunya, sehingga bertindak sebagai sumber infeksi. Faktor risiko
meliputi: memasukkan hewan baru ke kandang, pertunjukan kucing, tempat berlindung, kawin,
dll. Kontak tidak langsung juga sangat penting; penularan dapat terjadi melalui kalung, sikat,
mainan, lingkungan yang terkontaminasi, dll. Arthrospora mudah menyebar pada partikel
debu, bahkan ke ruangan tanpa akses untuk kucing. Kucing luar ruangan, terutama di daerah
pedesaan, dapat terpapar dengan menggali M gypseum, jamur geofilik yang hidup di tanah.
Kucing dapat terinfeksi T mentagrophytes atau T quinckeanum melalui kontak dengan hewan
pengerat kecil, dan dengan T verrucosum melalui kontak dengan ternak.

2.4 Patogenesis
Kulit yang sehat berperan sebagai sistem pertahanan yang efektif terhadap invasi jamur.
Peningkatan laju regenerasi sel epidermis sebagai respons terhadap dermatofita, yang berfungsi
sebagai penghilangan jamur dari permukaan kulit, merupakan mekanisme perlindungan
lainnya. Karena dermatofita tidak dapat menembus kulit yang sehat, banyak kucing atau
individu hanya menjadi pembawa pasif artrospora atau tetap terinfeksi secara subklinis.
Apakah infeksi seperti itu akan menyebabkan penyakit klinis tergantung pada banyak faktor.
Faktor predisposisi penyakit meliputi: usia muda (2 tahun pertama kehidupan), imunosupresi
(termasuk pengobatan imunosupresif), penyakit lain, defisit nutrisi (terutama protein dan
vitamin A), suhu tinggi, dan kelembapan tinggi (Mariello dan Deboer, 2012)
Hal yang sangat berperan dalam proses infeksi dermatofita adalah segala jenis trauma
kulit akibat peningkatan kelembapan, cedera oleh ektoparasit atau goresan karena pruritus,
perilaku bermain atau agresif, guntingan, dll. Secara umum, kebersihan yang buruk merupakan
faktor predisposisi. Dalam kelompok kucing yang penuh sesak populasi berlebih dalam satu
lingkungan, dan stres sosial mungkin memainkan peran penting. Hal ini dapat membuat
pemberantasan penyakit dermatofita menjadi sangat sulit di kandang atau tempat penampungan
yang terinfeksi M canis.
Efek imunosupresif dari virus imunodefisiensi kucing (FIV) dan virus leukemia kucing
(FeLV) pada prevalensi infeksi jamur telah diamati. Prevalensi M canis yang lebih tinggi pada
hewan yang terinfeksi FIV dibandingkan dengan kucing normal yang dilaporkan dalam satu
survei. Telah disarankan bahwa hubungan apa pun mungkin terkait dengan perbedaan
lingkungan daripada status retroviral dari kucing (Manciati dkk., 1992).
Masa inkubasi dermatofita yang disebabkan oleh M canis adalah 1–3 minggu. Selama
waktu ini, hifa tumbuh di sepanjang batang rambut melalui stratum korneum ke folikel di mana
mereka menghasilkan spora yang membentuk lapisan tebal di sekitar batang rambut. Karena
dermatofita rentan terhadap suhu tinggi, mereka tidak dapat menginfeksi bagian kulit yang
lebih dalam atau folikel itu sendiri. Oleh karena itu, rambut tumbuh secara normal tetapi mudah
patah di dekat permukaan kulit, sehingga menyebabkan kerontokan rambut. Beberapa produk
metabolik dari jamur dapat menginduksi respon inflamasi pada kulit, dan dapat diamati
terutama di sekitar area yang terinfeksi, terkadang membentuk lesi seperti cincin dengan area
sentral penyembuhan dan papula di pinggiran ('kurap').
Pada banyak kucing imunokompeten yang hidup dalam kondisi higienis, lesi ini
terbatas (misalnya di kepala) dan menghilang setelah beberapa minggu. Pada hewan dengan
imunosupresi, hasilnya mungkin berupa penyakit kulit multifokal atau umum dengan infeksi
bakteri sekunder. Pada kesempatan yang jarang, reaksi peradangan yang nyata pada hifa
menginduksi reaksi granulomatosa nodular yang melibatkan dermis dan pengeringan pada
permukaan kulit. Apa yang disebut pseudomycetoma ini lebih sering terlihat pada kucing
Persia, terkadang bersamaan dengan lesi klasik.

2.5 Immunitas
Infeksi dermatofita yang terjadi secara alami jarang kambuh, menunjukkan kekebalan
yang efektif dan tahan lama. Studi eksperimental mengkonfirmasi bahwa hewan
mengekspresikan peningkatan resistensi terhadap tantangan selanjutnya oleh jamur homolog.
Infeksi ulang dapat terjadi, tetapi memerlukan jumlah spora yang jauh lebih banyak, dan
biasanya infeksi berikutnya mengalami penyembuhan lebih cepat. Telah disarankan bahwa
untuk mengembangkan kekebalan penuh, infeksi harus berjalan secara alami, seperti pada
kucing yang infeksinya dihentikan dengan pengobatan antijamur, reaksi hipersensitivitas tipe
lambat seringkali lebih lemah (Mariello dkk., 2003)
Meskipun infeksi dermatofit terbatas pada jaringan berkeratin superfisial, respon imun
humoral dan seluler juga diinduksi. Aktivasi yang menonjol dari sel T helper tipe 2 (Th2) dan
profil sitokin yang sesuai mengarah pada pembentukan antibodi yang diikuti oleh penyakit
kronis, sedangkan aktivasi sel Th1 merangsang respons yang dimediasi sel yang ditandai
dengan interferon-γ, dan interleukin 12 dan 2, dan lead. untuk pemulihan. Kucing seperti itu
dilindungi dari infeksi ulang. Peran respons humoral pada dermatofitosis tidak jelas, meskipun
antibodi dapat memiliki efek fungistatik melalui opsonisasi dan aktivasi komplemen (Sparkes
dkk., 1994).

2.6 Gejala Klinis


Pada banyak kucing, dermatofita menyebabkan infeksi ringan yang sembuh sendiri
dengan rambut rontok dan bersisik (Gambar 2).
Presentasi khas kurap pada kucing adalah alopecia biasa dan melingkar (Gambar 3),
dengan rambut patah, deskuamasi dan kadang-kadang margin eritematosa dan penyembuhan
sentral. Lesi kadang-kadang sangat kecil, tetapi kadang-kadang dapat memiliki diameter 4– 6
cm. Lesi bisa tunggal atau multipel, dan sebagian besar terlokalisasi di kepala (Gambar 4) tetapi
juga di bagian tubuh mana pun, termasuk bagian distal kaki dan ekor. Kucing muda, khususnya,
menunjukkan lesi yang terlokalisasi pada awalnya di jembatan hidung dan kemudian meluas
ke pelipis, sisi luar pinnae dan tepi daun telinga (Gambar 5). Beberapa lesi dapat menyatu.
Pruritus bervariasi, umumnya ringan sampai sedang, dan biasanya tidak ada demam atau
kehilangan nafsu makan (Chermette dkk., 2008)

Gambar 2. Pada beberapa kucing, terutama orang dewasa yang imunokompeten, satu-
satunya tanda dermatofitosis adalah penskalaan.

Gambar 3. Circular alopecia yang disebabkan oleh infeksi M canis.


Gambar 4. Pada banyak kejadian, lesi dermatofitosis dimulai di kepala.

Gambar 5. Sisi luar pinna juga dapat dipengaruhi oleh dermatofitosis

Pada beberapa kucing, dermatofitosis dapat muncul sebagai dermatitis papulokrustosa


(dermatitis milier) yang terutama menyerang batang punggung. Pada kucing dengan
imunosupresi, lesi luas dengan keterlibatan bakteri sekunder terkadang dikaitkan dengan kurap
kronis. Pasien tersebut menunjukkan atipikal, area alopecic besar, eritema, pruritus, eksudasi
dan krusta (Gambar 6). Pada tahap ini, dermatofitosis dapat menyerupai kondisi dermatologis
lainnya. Tanda-tanda khas mungkin masih terlihat di tepi lesi.
Gambar 6. pada beberapa orang yang immunocompromised, hasil dari dermatofitosis
mungkin merupakan penyakit kulit multifokal atau umum

Sebuah hasil yang jarang adalah onyxis dan perionyxis dan, luar biasa, dermatitis
granulomatosa nodular (pseudomycetoma) dengan nodul kulit tunggal atau multipel, keras dan
tidak nyeri pada palpasi. Fistulisasi nodul ini mungkin terjadi. Pseudo mycetoma terjadi
sebagai massa perut mungkin merupakan komplikasi langka laparotomi pada hewan dengan
dermatofitosis kulit (Westhoff dkk., 2010).

2.7 Media Isolasi dan Identifikasi


Beberapa media isolasi dan identifikasi yang sering digunakan untuk menidentifikasi
jamur Mycrosporum cani seperti Sabouraud Dextrose Agar atau SDA diformulasikan oleh
Raymond Sabouraud pada tahun 1892. Sabouraud Dextrose Agar digunakan untuk budidaya
jamur, terutama berguna untuk jamur yang terkait dengan infeksi kulit. Media ini juga
digunakan untuk menentukan kontaminasi mikroba dalam makanan, kosmetik, dan spesimen
klinis. pH diatur menjadi sekitar 5,6 untuk meningkatkan pertumbuhan jamur, terutama
dermatofita, dan sedikit menghambat pertumbuhan bakteri dalam spesimen klinis. Agen
antibakteri juga dapat ditambahkan untuk meningkatkan efek antibakteri. Kloramfenikol,
gentamisin, dan tetrasiklin adalah agen selektif yang ditambahkan untuk menghambat
pertumbuhan berlebih bakteri dari mikroorganisme yang bersaing sambil memungkinkan
isolasi jamur dan ragi yang berhasil.
Sabouraud Dextrose Agar mengandung intisari jaringan hewan (peptones) yang
menyediakan sumber nutrisi asam amino dan senyawa nitrogen untuk pertumbuhan jamur dan
ragi. Dekstrosa ditambahkan sebagai sumber energi dan karbon. Agar adalah zat pemadatan.
Kloramfenikol dan/atau tetrasiklin dapat ditambahkan sebagai antimikroba spektrum luas
untuk menghambat pertumbuhan berbagai bakteri gram positif dan gram negatif. Gentamisin
ditambahkan untuk lebih menghambat pertumbuhan bakteri gram negatif. pH diatur menjadi
sekitar 5,6 untuk meningkatkan pertumbuhan jamur, terutama dermatofita, dan sedikit
menghambat pertumbuhan bakteri dalam spesimen klinis. Konsentrasi dekstrosa tinggi dan pH
rendah mendukung pertumbuhan jamur dan menghambat bakteri kontaminasi dari sampel uji.

Gambar 7. Koloni Mycrosporum canis pada media SDA.


Mycosporum canis dapat tumbuh secara efektif pada media sabouraud dextrose agar
pada suhu 25˚C. Pada media standar, mycosporum canis membentuk koloni datar menyebar
yang berwarna putih hingga krem, dengan permukaan seperti kapas. Koloni memiliki
permukaan berpigmen bertepi yag berwarna kuning kecoklatan
Trichophyton Agar adalah media diferensial yang digunakan dalam identifikasi dugaan
spesies Trichophyton berdasarkan kebutuhan nutrisi.
Kebutuhan nutrisi ditentukan dengan menginokulasi media kontrol dan media yang
diperkaya dengan vitamin atau asam amino spesifik dengan isolat Trichophyton yang telah
diduga diidentifikasi dengan karakteristik koloni kotor dan morfologi mikroskopis.
Pertumbuhan vitamin atau asam amino sedang hingga berat -media yang diperkaya
dibandingkan dengan sedikit atau tidak ada pertumbuhan di media basal menunjukkan bahwa
isolat membutuhkan nutrisi tersebut.
Gambaran koloni dari Mycrosporum canis pada thricphyton agar yaitu koloni
Microsporum canis berbentuk pipih, putih, seperti suede hingga berbulu halus, dengan koloni
terbalik berwarna kuning hingga kuning kecokelatan.

Gambar 8. Trycophyton Agar.


Selanjutnya yaitu Rice Grain Medium koloni yang Mycrosporum canis pada media ini
menghasilkan pertumbuhan yang baik dari miselium udara putih dengan produksi pigmen
kuning. Mikroskopi mengungkapkan banyak makrokonidia dan mikrokonidia yang mirip
dengan yang dijelaskan di atas. Catatan: Makrokonidia dan/atau mikrokonidia dari M. canis
sering tidak dihasilkan pada media isolasi primer dan dianjurkan untuk membuat subkultur
pada butiran beras poles rebus untuk merangsang sporulasi.
Yang terakhir yaitu Lactophenol Cotton Blue yang digunakan untuk pemeriksaan
mikroskopis. Lactophenol cotton blue atau LPCB adalah pewarna yang digunakan untuk
membuat preparat semi permanen fungi atau kapang. Persiapan pemasangan lactophenol
cotton blue (LPCB) basah adalah metode pewarnaan dan pengamatan jamur yang paling
banyak digunakan dan mudah disiapkan. Sediaan memiliki tiga komponen: fenol, yang akan
membunuh organisme hidup; asam laktat yang menjaga struktur jamur, dan cotton blue sebagai
zat warna yang akan mewarnai dinding jamur
Gambar 9. Lactophenol Cotton Blue
2.8 Diagnosa
Karena dermatofitosis dapat menghasilkan lesi yang mirip dengan banyak penyakit
kulit kucing, penyakit ini harus dipertimbangkan pada semua kucing dengan kondisi kulit apa
pun. Jika memungkinkan, diagnosis dermatofita harus dilakukan sebelum pengobatan apapun.
Alat skrining yang murah dan sederhana untuk infeksi M canis adalah pemeriksaan
lampu Wood. Namun, ini tidak terlalu sensitif: hanya sekitar 50% strain M canis berfluoresensi
dan dermatofit lain tidak berfluoresensi sama sekali. Selain itu, debris, scale, lint dan obat
topikal (misalnya tetrasiklin) dapat menghasilkan hasil positif palsu. Dengan demikian, temuan
lampu Wood harus dikonfirmasi dengan metode lain. Pemeriksaan mikroskopis langsung
adalah metode lain yang sederhana dan cepat untuk mendeteksi dermatofita pada rambut atau
sisik. Dianjurkan untuk mencabut rambut untuk tujuan ini di bawah penerangan lampu Wood,
atau dari tepi luka. Sampel harus dibersihkan dengan larutan kalium hidroksida 10-20%
sebelum pemeriksaan. Ada beberapa teknik untuk meningkatkan visualisasi elemen jamur pada
batang rambut. Rambut atau fragmen rambut dengan hifa dan artrospora lebih tebal, dengan
permukaan kasar dan tidak beraturan. Namun, pemeriksaan mikroskopis langsung dapat
memberikan hasil positif palsu, terutama jika ada spora jamur saprofit atau puing-puing
diinterpretasikan sebagai elemen jamur. Selain itu, sensitivitas teknik ini relatif buruk dan telah
dinilai sebesar 59%.14 Sensitivitas yang lebih tinggi (76%) telah dicapai dengan mikroskop
fluoresensi dengan calcafluor white – pewarna fluoresen khusus yang mengikat kuat pada
struktur yang mengandung selulosa dan kitin (Sparkes dkk., 1994)
Kultur pada agar dekstrosa Sabouraud atau media lain merupakan standar emas untuk
mendeteksi dermatofita. Metode ini sangat sensitif dan dapat menentukan spesies. Sampel
(rambut, sisik) harus dikumpulkan dari tepi lesi baru setelah diusap perlahan dengan alkohol
untuk mengurangi kontaminasi. Jika dicurigai adanya infeksi subklinis atau pembawa pasif,
menyikat selama 5 menit dengan sikat steril adalah metode terbaik untuk mengumpulkan bahan
sampel. Sikat gigi baru steril secara mikologis.1 Beberapa media uji dermatofita internal
(DTM) berdasarkan perubahan warna tersedia secara komersial. Namun, beberapa upaya telah
dilakukan untuk mengevaluasi kinerja media tersebut dengan sampel hewan (Chermette dkk.,
2008). Oleh karena itu, koloni yang dicurigai harus diperiksa secara mikroskopis untuk
memastikan adanya jamur.
Polymerase chain reaction telah diusulkan untuk mendeteksi urutan M canis pada
bahan yang dicurigai dari hewan (Nardoni dkk., 2007)

2.9 Biodiversitas Mycrosorum canis dari Spesies Lain


Berberapa penelitian terkit evolusi pada spesies Mycrosporum canis telah dilakukan
namun perbandingan evolusi ini masih pada tingkat antarspesien dari agen dermatofita
menggunakan kompleks Mycrosporum canis. Seperti pada penelitian yang berjudul Population
structure and evolutionary origins of Microsporum canis, M. ferrugineum and M. audouinii
oleh Kaszubiak et al (2004). Penelitian ini menguraikan konsep spesiasi pada dermatofita
menggunakan kompleks mikrosporum canis sebagai contoh. Kelompok ini terdiri dari
sekelompok anamorphs yang secara filogenetis berkerabat dekat: taksa antropofilik
Microsporum audouinii dan M. ferrugineum, dan takson zoofilik M. canis. Spesies reproduksi
seksual yang mendasari kompleks ini adalah Arthroderma otae.
Studi ini dilakukan dengan analisis struktur populasi sekitar 200 isolat dan
menggunakan spacer intergenik, daerah gen yang tidak diterjemahkan serta penanda
mikrosatelit hipervariabel yang diketahui berevolusi pada tingkat mutasi yang tinggi. Hasilnya
menunjukkan bahwa spesiasi simpatrik sudah terjadi selama periode di mana kemampuan
kawin dipertahankan dan dengan demikian spesies jamur klonal yang ketat muncul di Afrika
dan menyebabkan spesies klon yang diisolasi secara genetik di tempat lain.
Berdasarkan primer yang digunakan (Tabel 1) Sebagian besar variabilitas ditemukan di
daerah intron (240bp) dari gen ATPase 9 dan spacer (197 bp) antara dua gen. N3/N1 berukuran
670bp dan terletak pada posisi 6600–7270, meliputi 291 bp terakhir dari subunit 3 dan 112 bp
pertama dari subunit 1 dari gen NADH dehydrogenase termasukwilayah spacer sekitar 270 bp
T. rubrum IP1817.89, aksesi no. Y18476). Kedua SNP yang ditemukan masing-masing terletak
di gen subunit 3 dan daerah spacer. Penanda UB / VAR memiliki panjang sekitar 260 bp,
mencakup posisi 467–724 dari 3′ wilayah gen ubiquitin yang tidak diterjemahkan . M. canis
VUT 77055, aksesi no. AB035543). Polimorfisme dalam penanda ini disebabkan oleh dua SNP
dan dua indel masing-masing 10 dan 1 nukleotida serta satu pengulangan mikrosatelit yang
tidak lengkap. Semua polimorfisme kecuali satu (variasi intron) dalam penanda AC8
mencerminkan substitusi dalam posisi kodon ketiga. Lokasi penanda ini antara 1463-1960 bp
dari gen mepB yang mengkode 149 asam amino dan intron dari 66 nukleotida.

Tabel 1. Primer dan marker

Analisis alel berdasarkan dari penelitian tersebut menunjukkan dua ratus lima strain
dianalisis dalam penelitian ini menggunakan 13 penanda molekuler yang menampilkan tingkat
diskriminatif yang berbeda, dengan dua hingga enam alel per penanda (Tabel 2) dan tujuh
genotipe untuk kumpulan data gabungan dari sekuens. Beberapa polimorfisme terdeteksi hanya
dengan pengurutan. Jadi menggunakan analisis tipe SSCP hanya sedikit genotipe yang ada (2-
4; Tabel 3). Oleh karena itu hasil berikut mengacu pada data pengurutan. Tiga penanda (C772,
AC1 dan AC6) dengan potensi diskriminatif terendah membedakan strain M. canis (termasuk
M. equinum dan M. distortum) dari strain yang tersisa. Penanda N3/N1, AC3, AC4 dan AC12
mengungkapkan tiga alel/genotipe pada seluruh rangkaian isolat yang diselidiki. Sementara
N3/N1 tidak dapat membedakan antara M. audouinii dan M. ferrugineum tetapi membedakan
antara A. otae CBS 495.86 (MT+) dan M. canis, tiga penanda yang tersisa menunjukkan
keadaan karakter yang berbeda antara spesies utama yang diakui M. canis, M. audouinii dan
M. ferrugineum, tetapi tidak antara M. canis dan teleomorfnya CBS 495.86 (MT+).
Diskriminasi spesies utama termasuk pemisahan A. otae dimungkinkan dengan UB/VAR,
ATP9/COXII, AC8 dan AC9. Lima alel hadir dengan AC11, di mana alel kelima
mengungkapkan polimorfisme mikrosatelit tambahan di antara tiga galur M. audouinii.
Penanda dengan kekuatan diskriminatif tertinggi (enam alel) adalah C 235, menyimpan
mikrosatelit dengan jumlah motif pengulangan terbesar (pengulangan 11-14 GT) yang
dianalisis dalam penelitian ini. Meskipun tidak ada polimorfisme yang teramati dalam M.
audouinii, sebuah alel tambahan terdeteksi dengan penanda ini pada tiga galur M. ferrugineum
dan satu lagi pada galur M. canis. Tak satu pun dari alel dan genotipe tambahan yang sesuai
dengan entitas morfologis yang digambarkan sebagai M. equinum, M. distorsitum, M. rivalieri
atau M. langeronii.

Tabel 2.Distribusi frekuensi alel di antara spesies utama kompleks Microsporum canis

Tabel 3. Genotipe multilokus penanda polimorfik termasuk SSCP dan pola mikrosatelit (MS
G) .
Posisi polimorfisme yang diberikan sesuai dengan ujung 3’ dari primer depam. Kolom angka
vertkal di setiap baris atas memberikan posisi dasar (misal. 14-193) situs polimorfik dari 13
penanda DNA (UB/VAR-C235). Simbol : MC = M. Canis, MD= M. Distorsitum, ME = M.
equinum. Ma = M. audouinii, Ml = M. langeronii, Mr = M. rivalieri, Mf = M. ferrugineum,
Ao = Arthroderma otae. Huruf-huruf dalam kolom SSCP/MSG menunjukkan profil berbeda
yang tidak selalu sesuai dengan polimorfisme yang ditemukan melalui pengurutan. Huruf-
huruf dari kolom yang tersisa sesuai dengan posisi alas A, C, G dan T. (*) Basis yang sama
seperti pada deret inti; (–) penghapusan.

Pohon filogenik menunjukkan pengelompokan yang sangat sesuai yang membedaka M.


canis dari M. audouinii dan M. ferrugineum. Tidak ada polimorfisme yang terbukti tersedia
untuk membbedakan strain yang diidentifikasi secara genetik sebagai M. equinum dan
M.distorsitum. Strain M.audouinii dibagi menjadi dua kelompok oleh satu polimorfisme
mikrosatelit (kehilangan pengulangan “AGA”) di penanda AC11. Salah satu dari tiga galur
yang dipisahkan adalah galur asli M.langeronii, CBS 408.51, strain otentik kedua dari
M.langeronii, CBS 405.61 terbukti identik dengan M. Audouinii. Diantara isolat M.canis, 10
dari 13 penanda mengungkapkan subkelompok yang memisahkan galur MT+ (CBS 495.86)
dari A.otae. Pengelompokan strain M.ferrungineum (dua kelompok dan M.canis (dua
kelompok) disebabkan oleh polimorfisme mikrosatelit dalam penanda C235. Tiga (E64, E71
dan E72) dari 10 galur M.ferrugineum yang berasal dari Thailand dan satu galur M.canis (G12)
dari Austria dipishkan dalam clade yang berbeda.

Gambar 10. Pohon Filogenik


A.otae/M. canis kompleks membentuk clade tunggal dalam dermatofita. Dalam
penelitian ini, termasuk penggunaan pengulangan sebagai mutasi individu versus peristiwa
tunggal. Penelitian ini menunjukkan bahwa komunitas A. otae/M. canis harus mewakili
kondisi leluhur. Genotipe dari tipe kawin + hanya diwakili oleh satu galur tunggal, sedangkan
tipe kawin − identik dengan genotipe dominan, yang sangat berbeda dalam beberapa penanda
yang sesuai. Ini menunjukkan bahwa spesiasi simpatrik sudah terjadi selama periode di mana
kemampuan kawin dipertahankan. Dengan demikian garis keturunan klon dapat muncul dalam
satu spesies biologis. Salah satu jenis perkawinan mungkin kemudian menjadi langka karena
penyimpangan genetik acak. Genotipe + pasangan kawin sekarang mungkin berada di ambang
kepunahan M. audouinii dan M. ferrugineum berasal dari salah satu pasangan kawin A. otae
(11 karakter apomorfik dalam lima penanda independen; UB/VAR, AC3, AC4, AC6, AC12;
Penelitian Lain yang berkaitan dengan evolusi spesies Mycrosporum canis dengan
spesies Mycrosporum yang lain yaitu Penelitian l berjudul Evaluasi Variasi Fenotpik dan
Genotipik isolat Klinis Arthroderma otae Komplek oleh Hasan (2018) yang meneliti secara
fenotipik dan genotipik menggunakan sekuensing rDNA regio ITS dan analisis filogenetik
untuk membdeakan identifikas atari M.canis, M. Audoinii dan M. Ferrugeneum yang
merupkan tiga spesien Arthroderma otae kompleks yang secara morfologi dan genetik
memiliki kekerabatan yang sangat dekat.
Penelitian ini menggunakan sampel berupa 50 isolat jamur M.canis yang diambil dari
rumah sakit Hilla (Irak). Pada penelitan ini menggunakan media isolasi berupa Sabouraud
dextrose agar (SDA). Penggunaan antibekteri dan antijamur Cloramphenicol dan
sikloheximide pada suhu 26°C hingga 4 minggu. Media identifikasi yang digunakan adalah
media chrstensen, pertumbhan pada butiran beras, uji perforasi rambut invitro dan media agar
trichopyton. Identifikasi secara molekular juga dilakukan pada penelitian ini dengan
menggunakan DNA extraction dengan PCR assayed, Squencinng assay, Phylogenetic analysis
Berdasarkan penelitian hasil isolasi dengan media SDA yang diberikan cloramphenicol
dan cycloheximide menunjukkan adanya tiga spesies yang diisolasi. Isolat pertama yaitu M.
Canis dengan jumlah isolat sebanyak 29 isolat M.canis. Kemudian isolat yang kedua adalah
spesies M. Audoinii dengan jumlah isolat sebanyak 17 isolat dan isolat ketiga adalah isolat
spesies M.ferruginum sebanyak 4 isolat (tabel 4).

Tabel 4. Hasil isolasi dengan media SDA.


Dari ketiga isolat, kemudian dilakukan pemeriksaan secara makroskopis dan
pemeriksaan secara mikroskopis untuk membandingkan spesie M. Canis dan dua spesies
lainnya. Yang pertama adalah spesies M.canis Secara umum M. Canis memiliki pigmentasi
koloni berwarna putih hingga krem atau lemon hingga kuning pada SDA dalam waktu 14 hari
(7 cm) koloni menyerupai kapas, permukaan berbulu dengan pigmen kunng hingga coklat.
Mikroskopis: spesies ini memiliki makrokonidia berdinding tebal – kasar, fusoid dengan 6-12
sel dan terminal knob. Mikrokonidia berbentuk uniseluler dan pirifor, hifa raket aan
klamidospora mungkin ada. Selanjutnya M.audouinii yang secara Makroskopis: memerlukan
14 hari menghasilkan koloni (5 cm) permukaan datar, ringan, halus , dengan beberapa alur
radial, warna putih-persik dengan pigmen balik coklat hingga pink, sedangkan gambaran
mikroskpis menghasilkan makrokonidia berdinding kasar, berparuh penyempitan medial atau
makrokonidia tidak beraturan, banyak isolat tetap tidak bersporulasi atau hanya menghasilkan
mikrokonidia, banyak isolat menghasilkan klamidospora, raket atau hifa pektinat. Isolat ketiga
yaitu spesies M.ferrugineum gambaran Makroskopis: Memerlukan 14 hari pembentukan koloni
(3-5 cm). bertekstur gundul hingga seperti lilin, permukaan rata dan terlipat di tengah, dengan
warna putih hingga krem dan tanpa pigmen terbalik. Mikroskopis: menghasilkan hifa mirip
bambu dan raket, tidak menghasilkan makro dan mikrokonidia

Gambar 11. Isolat M.canis secaa makroskopi dan mikroskopis

Gambar 12. Isolat M.audoinii secara makroskopis dan mikroskopis.


Gambar 13. Isolat M.ferruginum secara makroskopis dan mikroskopis.

Berdasarkan analisis molekuler hasil squensing menunjukkan semua isolat spesies


Microsporum diuji pada tingkat molekuler untuk mengkonfirmasi identifikasi spesies
Microsporum milik kompleks A. otae. Dengan menggunakan teknik PCR konvensional dengan
pasangan primer ITS5 dan ITS4 untuk daerah rDNA ITS1, 5.8S dan ITS2. Pada elektroforesis
gel, amplikon daerah ITS untuk strain A. otae sekitar 780-820 bp. Hasil sequencing memuaskan
diperoleh, isolat telah diidentifikasi dengan perbandingan, isolat ini sequencing dengan
sekuens dari database NCBI Blast, semua isolat spesies Microsporum menunjukkan persentase
homologi dari 97% sampai 100% dengan A. otae. Hasil analisis sekuensing untuk isolat
Microsporum diperoleh berdasarkan basis sekuens wilayah ITS dengan menggunakan program
perangkat lunak MEGA6. Hasil analisis pohon filogenetik untuk tiga belas isolat Microsporum
spp. diamati tiga kelompok isolat A. otae (gambar 14). Pohon filogenetik menunjukkan
kesamaan urutan yang tinggi di wilayah ITS rDNA antara 99,9-100% kesamaan untuk isolat
yang termasuk dalam cluster 1, tetapi kelompok ini dengan cluster 2 dan 3 menunjukkan
kesamaan sekitar 99,37%.
Gambar 14. HAsil filogenik analisis molekule kompleks A.otae

Data analisis squensing untuk 13 isolat A. Otae menggunakan Mega 6


danmenampilkan toggle conserved site pada tingkat 50% dengan warna berbeda tergantung
jenis basa nitrogen(T= jingga, A= hijau muda, C= biru dan G= ungu) . Sekuen dari cluster
1 (strain 1-5 dan 8-11 isolat klinis) memiliki sekuensing yang sama karena memiliki warna
basa nitrogen sama. Cluster 2 (strain 6) dan Cluster 3 (strain 12 dan 13) memiliki urutan
basa nitrogen yang berbeda. Isolat kompleks A. otae (M. canis, M. audouinii dan M.
ferrugineum) mudah dibedakan satu sama lain dengan analisis urutan wilayah ITS. Tidak
ada variasi genetik di wilayah ITS rDNA dalam M. canis yang termasuk strain 1-4 dan isolat
ini memberikan urutan dengan 100% mengidentifikasi A. otae dengan pencocokan urutan
terdekat dari aksesi GenBank no. JX122197.1. isolat klinis yang tersisa (5 dan 8-11 adalah
M. canis, 6-7 adalah M. audouinii dan 12 adalah M. ferrugineum) memberikan kecocokan
dengan 90-99% identitas A. otae kecuali regangan no. 13 adalah M. ferrugineum yang
memberikan kecocokan dengan 75% teridentifikasi Arethroderma sp. (Tabel 5). Perbedaan
miss matching ditunjukkan oleh tiga isolat yang diurutkan, strain 5 dengan 4 bp, strain 7
dengan 5bp dan strain 11 dengan miss matching difference 3 bp. Sedangkan sisa isolat klinis
ditunjukkan dengan miss matching gap genetik dengan insersi (strain 8) atau delesi (strain
6)atau keduanya (strain 9,10, 12, 13)

Gambar 15. Sekuen data untuk tiga belas isolat A. otae dengan menggunakan
software Mega 6, bintang ke atas menunjukkan kesamaan basa nitrogen dari semua isolat.
Warna yang berbeda menunjukkan kesamaan basa nitrogen pada tingkat 50%. Jumlah
urutan nukleotida ditampilkan di sebelah kanan.
Tabel 5. Gambaran isolat Microsporum spp. identifikasi dengan metode fenotipik
dan genotipik

2.10 Pengendalian Penyakit

Pada kucing imunokompeten, lesi menghilang secara spontan setelah 1-3 bulan dan
mungkin tidak memerlukan pengobatan. Namun, pengobatan kasus seperti itu akan
mengurangi perjalanan penyakit serta risiko bagi hewan lain dan manusia, serta pencemaran
lingkungan.
Perawatan topikal umumnya kurang efektif pada kucing dibandingkan dengan
manusia karena penetrasi obat yang buruk melalui bulu, kurangnya toleransi terhadap
perawatan ini oleh banyak kucing dan kemungkinan adanya lesi kecil yang tidak terlihat.
Dengan demikian, tindakan terapeutik harus mencakup kombinasi pengobatan sistemik dan
topikal, dipertahankan setidaknya selama 10 minggu. Umumnya, kucing harus dirawat tidak
hanya sampai lesi benar-benar hilang, tetapi sampai dermatofita tidak dapat lagi dibiakkan
dari bulu pada setidaknya dua kali penyikatan berurutan dengan jarak 1–3 minggu.
Di kandang dan tempat penampungan, infeksi dermatofita sangat sulit dan
memakan waktu dan mahal untuk diberantas. Oleh karena itu kedisiplinan yang baik oleh
pemilik hewan sangat penting. Program perawatan diperlukan, bersama dengan pemisahan
total hewan yang terinfeksi dan tidak terinfeksi serta dekontaminasi lingkungan secara
intensif. Ini akan memerlukan gangguan program dan pertunjukan pemuliaan. Semua hewan
di kandang harus dirawat. Alternatif yang jauh lebih tidak disukai adalah membagi kucing
menjadi beberapa kelompok dan merawatnya sesuai dengan status infeksi. Langkah-langkah
kebersihan khusus harus diambil saat menangani hewan yang terinfeksi untuk mencegah
infeksi pada manusia (sarung tangan, desinfeksi cakaran kucing atau cedera lainnya).
Terapi topikal pada kucing dengan jumlah lesi yang terbatas, rambut harus
dipotong dari pinggiran lesi dengan batas yang lebar. Kliping harus lembut untuk
menghindari penyebaran infeksi akibat mikrotrauma. Pengobatan lesi di tempat mungkin
memiliki efektifitas yang terbatas; sebagai gantinya, mandi seluruh tubuh, mencelupkan
atau membilas dianjurkan. Pada pasien dengan penyakit umum, kucing berbulu panjang dan
untuk dekontaminasi kandang, memotong seluruh bulu pada kucing berguna untuk membuat
aplikasi terapi topikal lebih mudah dan memungkinkan penetrasi obat yang lebih baik.
Pendekatan ini juga membatasi penyebaran spora ke lingkungan, manusia dan hewan
lainnya. Seluruh lapisan rambut, termasuk kumis, harus dipotong dengan hati-hati dan
semua rambut yang terinfeksi harus dibungkus dan didesinfeksi sebelum dibuang. Sterilisasi
instrumen kimia atau panas sangat penting. Kucing tidak boleh dipotong di klinik hewan
untuk menghindari pencemaran lingkungan. Tempat terbaik untuk memotong adalah di
rumah kucing itu sendiri, di mana lingkungannya sudah terkontaminasi. Obat antijamur
topikal sangat berbeda dalam efektifitasnya. Salah satu prosedur yang paling efektif adalah
perawatan seluruh tubuh dengan larutan enilkonazol 0,2% yang dilakukan dua kali
seminggu. Efek samping lokal atau umum sangat jarang dilaporkan asalkan perawatan
dicegah (kerah Elizabethan) sampai kucing kering (Hnilica dan Medleau. 2002). Sangat
efektif adalah juga mikonazol 2% dengan atau tanpa klorheksidin 2% sebagai bilas atau
sampo tubuh dua kali seminggu. Di AS, larutan kapur-sulfur umum digunakan.
Pengobatan secara sistemik juga dapat menjadi pilihan dalam pengobatan
dermatofita. Terapi sistemik Itraconazole Meskipun relatif mahal, itrakonazol saat ini
merupakan obat yang disukai pada dermatofitosis kucing dan dilisensikan untuk indikasi
ini. Ini sebanding (atau lebih unggul) dalam kemanjuran ketoconazole atau griseofulvin dan
jauh lebih baik ditoleransi oleh kucing. Satu-satunya reaksi merugikan yang kadang-kadang
dilaporkan adalah anoreksia. Embriotoksisitas dan teratogenisitas itrakonazol juga
tampaknya lebih rendah daripada ketokonazol. Namun demikian, pemberiannya pada
kehamilan tidak dianjurkan. Penggunaan pada anak kucing semuda 6 minggu
dimungkinkan. Kebanyakan dokter kulit hewan akan menggunakan itraconazole sebagai
apa yang disebut terapi denyut nadi, yang juga disarankan oleh produsennya. Protokol ini
efektif dan juga mengurangi biaya pengobatan. Pemberian denyut nadi 5 mg/kg/hari selama
1 minggu, setiap 2 minggu selama 6 minggu telah disarankan.17 Studi lain menunjukkan
bahwa ada kadar itrakonazol yang cukup dalam plasma dan bulu kucing dengan kurap yang
telah diberikan tiga siklus pengobatan yang terdiri dari 1 minggu dengan pengobatan (5
mg/kg) dan 1 minggu tanpa pengobatan. Penurunan kadar 25-30% diamati setelah seminggu
tanpa pengobatan, tetapi konsentrasinya masih cukup tinggi bahkan 2 minggu setelah
pemberian terakhir [EBM grade IV] (Vlaminck dan Engelen. 2004). Data ini
menggambarkan bahwa jadwal pengobatan seperti itu (3 x 7 hari dosis) memberikan
cakupan aktual minimal 7 minggu.
Sebuah alternatif lain adalah terbinafine yang diberikan secara oral 30-40 mg/kg
sekali sehari. Tampaknya juga cocok untuk terapi denyut nadi. Setelah pemberian
berlangsung selama 14 hari, terbinafine bertahan di rambut kucing pada konsentrasi
penghambatan selama 5,3 minggu [EBM grade III] (Foust dkk., 2008) Muntah sesekali dan
pruritus wajah intensif telah diamati sebagai efek samping.
Kemuian ada Ketoconazole telah digunakan secara oral dengan dosis 2,5–5 mg/kg
dua kali sehari. Namun, kucing relatif rentan terhadap efek samping obat ini, yang meliputi
toksisitas hati, anoreksia, muntah, diare, dan penekanan sintesis hormon steroid.
Ketoconazole juga dikontraindikasikan pada hewan hamil.
Pilihan obat sistemik lain yaitu griseofulvin, griseofulvin masih digunakan.
Namun, sekarang umumnya tidak direkomendasikan karena tersedia persiapan yang lebih
aman dan efektif. Ini diberikan secara oral setidaknya selama 4-6 minggu pada 25-50 mg /
kg setiap 12-24 jam. Griseofulvin kurang larut dalam air dan formulasi mikron serta
pemberian dengan makanan berlemak meningkatkan penyerapan. Reaksi yang merugikan
termasuk anoreksia, muntah, diare, dan penekanan sumsum tulang, terutama pada kucing
Siam, Himalaya, dan Abyssinian. Penggunaan griseofulvin dikontraindikasikan pada anak
kucing yang berusia kurang dari 6 minggu dan pada hewan hamil karena senyawa tersebut
bersifat teratogenik, terutama selama minggu-minggu pertama kehamilan. Ada beberapa
laporan yang menunjukkan bahwa infeksi FIV membuat kucing cenderung mengalami
supresi sumsum tulang yang diinduksi griseofulvin. Oleh karena itu, kucing harus diuji
infeksi ini sebelum terapi. Jika griseofulvin dipilih, hitung darah lengkap harus dilakukan
setiap bulan untuk mendeteksi kemungkinan supresi sumsum tulang.
Yang terakhir yaitu Lufenuron, adalah inhibitor sintesis kitin, digunakan untuk
pencegahan infestasi kutu pada anjing dan kucing. Karena kitin juga merupakan komponen
dinding sel jamur, beberapa aktivitas antijamur telah diantisipasi. Namun, penelitian pada
kucing belum menunjukkan efek antijamur dan lufenuron tidak direkomendasikan untuk
pengobatan dermatofitosis.
BAB III KESIMPULAN

Berdasarkan peninjuan beberapa penelitian, kebanyakan dari litelatur hanya


meninjau perbedaan dan evolusi genetik berdasarkan squensing DNA antar spesies komplek
Mycrosporum canis. Sangat sulit ditemukan jurnal yang membahas terkait evolusi dari
Mycrosporum canis itu sendiri berdasarkan urutan basa nukleutidanya.
Selain itu dari beberapa penelitian tersebut menegaskan bahwa wilayah ITS rDNA
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap variasi antarspesies antara strain milik
kompleks Arthroderma otae dengan menggunakan teknik modern. Pengurutan mendeteksi
beberapa mutasi pada beberapa lokus dari isolat ini baik karena kesalahan pencocokan atau
kesenjangan genetik, memungkinkan kami untuk membedakannya dengan tepat. Kemudian
di penelitian lain juga ditemukan adanya polimorfisme antar kompleks Arthroderma otae,
namun Tidak ada polimorfisme yang terbukti tersedia untuk membbedakan strain yang
diidentifikasi secara genetik sebagai M.canis var equinum dan M.canis var. distorsitum.
BAB IV DAFTAR PUSTAKA

Banu Metin1 and Joseph Heitman. 2017. SEXUAL REPRODUCTION IN


DERMATOPHYTES. Mycopathologia. 182(1-2): 45–55.

Chermette R, Ferreiro L and Guillot J. 2008. Dermatophytoses in animals.


Mycopathologia. 166: 385–405.

Ellis, David. 2015. Mycology Online.

Foust AL, Marsella R, Akucewich LH, Kunkle G, Stern A, Moattari S, et al. 2007.
Evaluation of persistence of terbinafine in the hair of normal cats after 14 days of daily
therapy. Vet Dermatol. 18: 246–251.

Hnilica KA and Medleau L. Evaluation of topically applied enilconazole for the


treatment of dermatophytosis in a Persian cattery. Vet Dermatol 2002; 13: 23–28.

Khan CM, Line S. 2007. The Merck / Merial Manual For Pet Health. Home Edition.
Merck & CO., INC. Whitehouse Station, NJ, USA. 266–268 ; 504–505.

Kotnik T. 2007. Dermatophytoses in Domestic Animals and Their Zoonotic


Potential. Slovenian Veterinary Research 44 (3) : 63- 73.

Mancianti F, Giannelli C, Bendinelli M and Poli A. 1992. Mycological findings in


feline immunodeficiency virusinfected cats. J Med Vet Mycol; 30: 257–259.

Moriello KA, DeBoer DJ, Greek J, Kukl K and Fintelman M. 2003. The prevalence
of immediate and delayed-type hypersensitivity reactions to Microsporum canis antigens in
cats. J Feline Med Surg; 5: 161–166.

Moriello KA and DeBoer DJ. Dermatophytosis. In: Greene CE (ed). 2012.


Infectious diseases of the dog and cat. 4th ed. St Louis: Elsevier, pp 588–602.
Nardoni S, Franceschi A and Mancianti F. 2010.Identification of Microsporum canis
from dermatophytic pseudomycetoma in paraffin-embedded veterinary specimens using a
common PCR protocol. Mycose; 50: 215–217.

Olivares RAC. 2003. Ringworm Infection in Dogs and Cats. in Recent Advances in
Canine Infectious Diseases.

Vermout S, Tabart J, Baldo A, Mathy A, Losson B, Mignon B. 2008, Pathogenesis


of Dermatophytosis. Mycopathologia 166 : 267-275.

Vlaminck KMJA and Engelen MACM. Itraconazole: 2014. a treatment with


pharmacokinetic foundations. Vet Dermatol 15: 8.

Westhoff DK, Kloes M-C, Orveillon FX, Farnow D, Elbers K and Mueller RS. 2010.
Treatment of feline dermatophytosis with an inactivated fungal vaccine. Open Mycology J;
4: 10–17.

Anda mungkin juga menyukai