Anda di halaman 1dari 3

PANDUAN PRAKTIK KLINIS

OTITIS MEDIA SUPURATIF KRONIK


ICD 10: H 66.1, H 66.2, H 66.3, H 66.4, H 66.8, H 66.9
1. Pengertian Otitis Media Supuratif Kronik adalah radang kronik telinga tengan
dengan perforasi membran timpani dan riwayat keluarnya sekret
telinga lebih dari 2 bulan baik terus menerus atau hilang timbul,
sekret mungkin kental, bening, atau berupa nanah.
Otitis media supuratif kronik (OMSK) dibagi mejadi 2 tipe yaitu tipe
jinak (benigna) dan tipe bahaya (maligna).
2. Anamnesis Tipe jinak dan tipe bahaya bisa didapatkan keluar cairan telinga
terus menerus atau hilang timbul selama 2 bulan disertai kurang
pendengaran, dapat disertai dengan batuk, pilek atau nyeri
tenggorok, telinga berdenging, pusing berputar, sakit kepala.
Pada tipe bahaya dapat disertai komplikasi diantaranya infeksi
bersifat progresif, dapat mengenai area intrakranial (abses otak,
abses perisinus, tromboflebitis sinus lateral dan meningitis) dan area
intratemporal (abses subperiosteal, labirintitis, paresis fasialis, dan
petrositis).
3. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan otoskopi didapatkan :
1. Discharge dan/atau granulasi pada canalis auditorius
eksternus (CAE). Kadang-kadang discharge tersebut berwarna
kemerahan dan berbau.
2. Perforasi membran timpani (MT) dengan tepi tebal, rata
dengan jumlah tunggal maupun multipel, letak perforasi dapat
sentral, atik, maupun marginal, dan luasnya perforasi dapat
minimal, subtotal, maupun total.
Pada tipe bahaya, didapatkan tanda seperti diatas dan
didapatkan kolesteatoma (gambaran massa keputihan dan berbau),
dapat terjadi demam tinggi, tanda-tanda peningkatan tekanan
intrakranial, kaku kuduk (+), fistel dan/atau abses retroaurikula,
paresis n.VI, paresis n.VII perifer.
4. Kriteria Berdasakan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Diagnostik
5. Diagnosis Kerja Otitis media supuratif kronik tipe aman
Otitis media supuratif kronik tipe bahaya
6. Diagnosis -
Banding
7. Pemeriksaan 1. Laboratorium : pengecatan gram & jamur
Penunjang 2. Pemeriksaan pengecatan BTA, kultur, dan uji sensitivitas
kuman (atas indikasi)
3. CT scan mastoid tanpa kontras (keperluan operasi)
4. Audiometri
5. Tes fungsi tuba
6. Tes fasialis (atas indikasi)
7. Vestibulometri (atas indikasi)
8. Terapi 1. Antibiotik sesuai hasil pengecatan gram/uji sensitivitas atau
antibiotik empiris :
Quinolon : Ciprofloksasin (dewasa), dosis 500 mg tiap 12 jam
Penicillin + As. Klavulanat (anak-anak), dosis menggunakan dosis
penicillin yaitu 45 mg/kgBB/hari setiap 12 jam atau 40
mg/kgBB/hari setiap 8 jam
2. Simptomatis :
Analgesik atau antipiretik (golongan NSAID) : Paracetamol (bila
perlu)
3. Cuci telinga peroksida (H2O2 3%) : 3 x 4 tetes (selama 30 detik)
4. Tetes telinga antibiotik golongan Quinolon (Ofloxacin) : 2 x 7-10
tetes (dewasa), 1 x 5 tetes (anak-anak)
5. Terapi bedah : tipe aman : Timpanoplasti dinding utuh
Terapi 1, 2, 3, 4 diberikan selama 5 hari, bila ada perbaikan terapi
diteruskan sampai dengan 10-14 hari. Bila tidak ada perbaikan
terapi diberikan sesuai hasil pemeriksaan uji sensitivitas kuman
atau pengobatan secara intravena (bila hasil uji sensitivitas
menunjukkan obat-obat hanya dapat diberikan secara
intravena). Bila tidak ada perbaikan terapi bedah harus
dilakukan.

Otitis media supuratif kronik tipe bahaya terapi yang diberikan


adalah pembedahan. Konsul saraf dan bedah saraf atas indikasi.
9. Edukasi 1. Telinga jangan kemasukan air
2. Obat diminum teratur dan sampai habis
3. Menjaga higienitas
4. Kontrol secara teratur
5. Kemungkinan untuk tindakan operasi bila terapi medikamentosa
gagal
6. Kurang pendengaran yang terjadi dapat menetap atau menjadi
lebih berat
10. Prognosis 1. Quo ad vitam : dubia ad bonam
2. Quo ad sanationam : dubia ad bonam
3. Quo ad fungsionam : dubia ad bonam
11. Indikator Medis Kepatuhan DPJP terhadap PPK
12. Kompetensi Dokter spesialis telinga hidung tenggorok – kepala leher

14. Kepustakaan 1. Helmi, Otitis Media Supuratif Kronis, Balai Penerbit, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, 2005
2. Chronic suppurative otitis media. Burden of Illness and
Management Options. World Health Organization. Switzerland,
2004.

Anda mungkin juga menyukai