Anda di halaman 1dari 19

Mayasari Cristiani Dewi. 2016.

Pentingnya Pemahaman Manajemen Nyeri Non Farmakologi Bagi Seorang


Perawat Jurnal Wawasan Kesehatan, Volume: 1, Nomor 1, Juni

salah satu hal yang perlu bagi perawat dalam menangani rasa nyeri pasien adalah mengembangkan
kompetensi dan pemahaman yang terus menerus tentang management nyeri non farmakologi. Terdapat
beberapa jenis mangemen non farmakologis antara lain: teknik relaksasi, distraksi masase, terapi es dan
panas, stimulasi saraf elektris transkutan, hipnosis, guided imagery dan musik.

Dalam realitas kehidupan sering dijumpai pasien yang mengalami nyeri akibat dari penyakit yang
menderanya. Nyeri terjadi secara bersamaan dengan proses masuknya penyakit atau bersamaan dengan
beberapa pemeriksaan diagnostik atau pengobatan. Nyeri sangat mengganggu dan menyulitkan lebih
banyak orang dibandingkan suatu penyakit manapun. Pada tahun 1995, Donovan melakukan sebuah
studi komprehensif yang mengungkapkan bahwa banyak orang yang mengalami nyeri, rasa nyeri 36
Jurnal Wawasan Kesehatan, Volume: 1, Nomor 1, Juni 2016 tersebut antara lain: nyeri kepala, nyeri
punggung dan nyeri sendi yang menjadi frekuensi terbesar (Asmadi, 2008:145). Pasien yang sedang
mengalami nyeri umumnya mengidamkan suatu keadaan yang terbebas dari nyeri, karena itu ia
berharap kepada tenaga medis agar rasa nyeri yang sedang dialaminya dapat berkurang atau segera
menghilang. Kenyataan ini serta merta mendorong para tenaga medis untuk dapat mengatasinya. Dalam
hal mengatasi nyeri yang dialami pasien, tenaga medis melakukan strategi atau cara yang sering disebut
dengan istilah manajemen nyeri. Manajemen nyeri terbagi ke dalam dua jenis yakni mangemen nyeri
farmakologi dan non farmakologi. Manajemen nyeri farmakologi merupakan upaya atau strategi
penyembuhan nyeri menggunakan obat-obatan anti nyeri. Tenaga medis yang dominan berperan dalam
manajemen farmakologi adalah para dokter dan apoteker. Sedangkan manajemen nyeri non
farmakologi merupakan strategi penyembuhan nyeri tanpa menggunakan obat-obatan tetapi lebih
kepada perilaku Caring. Maka tenaga medis yang dominan berperan adalah para perawat karena
bersentuhan langsung dengan tugas keperawatan. Dalam kenyataannya manajemen nyeri non
farmakologi bukanlah menjadi pekerjaan yang mudah bagi para perawat. Hal ini terutama berkaitan
dengan persepsi yang berbeda dari para pasien tentang nyeri yang sedang dialaminya. Perbedaan inilah
yang cenderung menyulitkan perawat untuk mendiagnosa dan menangani rasa nyeri dari pasien. Oleh
karena itu, salah satu hal yang perlu bagi perawat dalam menangani rasa nyeri pasien adalah
mengembangkan kompetensi dan pemahaman yang terus menerus tentang management nyeri non
farmakologi.
,Tahun 2018

Fitrianingsih Yeni dan Wandani Kemala. 2018. Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Rasa Nyeri
Persalinan Kala I Fase Persalinan Fase Aktif di 3 BPM Kota Cirebon. Jurnal Care Vol .6, No.1

Hal ini menunjukkan bahwa nilai Asym.Sig (nilai p) <0,05 ada pengaruh kompres hangat terhadap nyeri
persalinan fase aktif fase I.

Persalinan adalah proses pengeluaran hasil konsepsi (janin dan plasenta) yang telah cukup bulan atau
dapat hidup diluar kandungan melalui jalan lahir atau melalui jalan lain, dengan bantuan atau tanpa
bantuan (kekuatan sendiri) (Manuaba, 2010). Berat dari kepala bayi ketika bergerak ke bawah saluran
lahir juga menyebabkan tekanan. Hal-hal tersebut menyebabkan terjadinya rasa nyeri pada ibu
(Manurung, 2011).Manurung (2011) menyebutkan bahwa nyeri paling dominan dirasakan pada saat
persalinan terutama selama kala 1 fase aktif. Semakin bertambahnya volume maupun frekuensi
kontraksi uterus, nyeri yang dirasakan akan bertambah kuat. Persalinan lama dapat disebabkan oleh
adanya rasa nyeri yang hebat. Nyeri persalinan dapat menimbulkan stres yang menyebabkan pelepasan
hormon yang berlebihan seperti katekolamin dan steroid. Sekresi hormone yang berlebihan akan
menimbulkan gangguan sirkulasi uteroplasenta sehingga terjadi hipoksia janin (Sumarah, 2009). Nyeri
persalinan dapat pula menurunkan kontraksi uterus. Hal ini dapat mengakibatkan lamanya persalinan
(Suheimi, 2008). Fitrianingsih Yeni dan Wandani Kemala. 2018.

Berdasarkan data dari WHO pada tahun 2010 terjadinya kasus sectio caesaria tanpa indikasi di Amerika
berjumlah 30,3% sedangkan di Indonesia berjumlah 6,8%. Data tersebut menunjukkan bahwa kejadian
permintaan untuk melakukan sectio caesaria cukup tinggi. Oleh sebab itu sebagai bidan kita harus
melakukan upaya untuk mengurangi rasa nyeri sehingga kejadian sectio caesaria tanpa indikasi bisa
dikurangi (WHO,2010). Saat ini banyak sekali cara untuk mengendalikan nyeri persalinan yaitu dengan
metode farmakologi dan nonfarmakologi. Penggunaan metode farmakologi sering menimbulkan efek
samping dan kadang tidak memilik efek yang diharapkan. Sedangkan metode kompres hangat ini
sederhana, ekonomis dan praktis. Menurut penelitian yang dikemukakan oleh Manurung dkk, (2011)
memperlihatkan ada perbedaan bermakna skala nyeri sebelum dan sesudah terapi kompres hangat
pada kelompok intervensi (p value 0.002, α 0,05). Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa ada
pengaruh pemberian kompres hangat terhadap penurunan nyeri kala I fase aktif persalinan fisiologis ibu
primipara. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti bahwa sebagian 73 Jurnal Care
Vol .6, No.1,Tahun 2018 besar ibu bersalin ingin mendapatkan terapi obat analgetic untuk mengurangi
nyeri persalinan bahkan ingin segera melakukan Sectio Caesaria. Mengingat obat analgetic sering
menimbulkan efek samping dibandingkan dengan metode kompres hangat. Sebelumnya metode
kompres hangat ini belum pernah dilakukan di 3 BPM Kota Cirebon, maka disini peneliti tertarik untuk
mengambil penelitian yang berjudul “Pengaruh Kompres Hangat Terhadap Rasa Nyeri Kala I Fase Aktif di
3 BPM Kota Cirebon Tahun 2017”.
Jurnal Ilmiah Permas: 2020 p-ISSN 2089-0834 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal

Prihanto dan Retnani Caecilia Titin. 2020. Relaksasi Otot Progresif Untuk Menurunkan Nyeri. Jurnal
Ilmiah STIKES Kendal Volume 10 No 4, Hal 491–500, Oktober

Teknik perlu adanya bimbingan oleh ahli salah satunya adalah perawat., durasi sekitar 10-20 menit,
prinsip memberikan ketenangan jiwa. Teknik relaksasi otot progresif dapat menurunkan nyeri, sehingga
dapat digunakan oleh perawat dalam penatalaksanaan klien dengan gangguan nyeri.

Kenyaman merupakan kebutuhan dasar manusia yang perlu dipenuhi baik secara mandiri ataupun
dibantu. Gangguan dalam hal kebutuhan kenyamanan akan dapat memberikan efek negative pada
kesehatan pasien. Hal yang sering terjadi gangguan kenyamanan adalah keluhan nyeri. Secara definisi
nyeri merupakan pengalaman seorang pasien secara sensori dan emosional yang berhubungan dengan
kerusakan jaringan secara potensial ataupun actual (K. H. Kumar & Elavarasi, 2016). Nyeri merupakan
hasil dari pernyataan verbal yang disampaikan oleh pasien bersifat subyektif. Karena bersifat subyektif,
perasaan nyeri yang dirasakan pasien akan berbeda. Nyeri yang dirasakan dalam kurun waktu kurang
dari 3 bulan disebut dengan nyeri akut, sedangkan nyeri yang dirasakan selama 3-6 bulan disebut nyeri
kronis. Jenis nyeri yang sering muncul adalah nyeri akut dan nyeri kronis. Berdasarkan data The Institute
of Medecine states lebih dari 100 juta penduduka Amerika mengalami nyeri kronis, dan Jurnal Ilmiah
Permas: Jurnal Ilmiah STIKES Kendal Volume 10 No 4, Hal 491–500, Oktober 2020 p-ISSN 2089-0834
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal e-ISSN 2549-8134 Jurnal Ilmiah Permas: Jurnal Ilmiah STIKES
Kendal Volume 10 No 4, Hal 491- 500, Oktober 2020 Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Kendal 492
mengakibatkan penurunan produktivitas sebesar 61,2 milayar dolar pertahun (Dinakar & Stillman,
2016). Nyeri dapat terjadi akibat dari fenomena neural-biochemical didalam tubuh manusia, yang dipicu
oleh faktor-faktor lain. Agar masalah nyeri pada pasien dapat diatasi, dalam keperawatan tugas perawat
memberikan intervensi yaitu dapat berupa terapi farmakologis dan non farmakologi. Salah satu terapi
yang dapat digunakan perawat yaitu terapi relaksasi otot progresif (Butcher, Dochterman, Wagner, &
Bulechek, 2018). Terapi relaksasi otot progresif yaitu terapi digunakan unutk menurunkan ketegangan
otot seseorang. Prinsip dari terapi ini adalah melakukan latihan pengagangan otot setalah dilakukan
relakasasi otot. Terapi ini merupakan terapi yang menghemat biaya, dapat dilakukan dirumah dengan
pendampingan seseorang yang ahli seperti perawat. Keuntungan terapi ini selain mengurangi nyeri
adalah meningkatakan kualitas hidup, menurunkan tingakt stress dan kecemasan seseorang. Terapi ini
dikembangkan oleh Jacobson’s untuk membantu meningkatkan kualitas hidup pasien dengan penyakit
kronis. Gangguan nyeri pada klien menjadi salah satu fokus rumah sakit dalam memberikan pelayanan
kepada klien. Rumah sakit memiliki tanggung jawab memberikan pelayanan mengatasi nyeri mulai dari
pengkajian, dan mengatasi nyeri dengan tepat (KARS, 2017). Teknik relaksasi otot merupakan salah satu
teknik dalam menurunkan nyeri. Oleh karena dilakukannya tinjauan pustakan memiliki tujuan
memberikan gambaran dalam menerapkan teknik relaksasi otot progresif dalam menurunkan nyeri.
Tinjauan pustaka merupakan salah satu jenis penelitian kepustakaan (library research) merupakan
penelitian dengan cara mengumpulkan data pustaka (Syahodih, 2009). Oleh karena itu perlunya
mengetahui tentang teknik relakasasi otot progresif.
Jurnal Bidan Cerdas e-ISSN: 2654-9352|p-ISSN: 2715-9965
http://jurnal.poltekkespalu.ac.id/index.php/JBC/ Vol. 2 No. 1: Desember 2019 | Hal. 46 - 53 46 Article
Info Article history: Submitted: 2019-07-22 Accepted: 2019-12-27 Published: 2019-12-30 Keywords:
Pain; warm compresses Pengaruh Pemberian Kompres Hangat terhadap Penurunan Intensitas Nyeri
Persalinan pada Ibu Inpartu Kala I Fase Aktif

Irawati1*, Muliani2, Gusman Arsyad2

Nyeri yang terjadi pada proses persalinan membuat ibu hamil cenderung lebih memilih untuk
menghindari proses persalinan spontan dengan melakukan seksio sesaria atau seksio sesaria on request
sebagai upaya untuk tidak merasakan sensasi nyeri yang diakibatkan oleh proses persalinan spontan
tersebut. Meningkatnya angka seksio sesaria sebagian besar disebabkan oleh karena adanya permintaan
ibu hamil dengan alasan takut akan nyeri persalinan. Namun di sisi lain prosedur operasi seksio sesaria
sendiri merupakan suatu prosedur intervensi obstetrik yang memiliki resiko cukup besar. 12 Terapi
kompres hangat merupakan suatu metode non farmakologi untuk mengurangi nyeri dan dilakukan pada
daerah tertentu seperti punggung atau bagian perut dengan posisi miring kiri
Stania, Rondonuwu Rampengan Rolly & Onibala Franly. 2020. Pengaruh Teknik Relaksasi Dan Teknik
Distraksi Terhadap Perubahan Intensitas Nyeri Pada Pasien Post Operasi Di Ruang Irina A Atas Rsup Prof.
Dr. R. D. Kandou Manado. Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi
eISSN 2337-5949 e-CliniC. 2020;8(1):46-51 Terakreditasi Nasional: SK Dirjen Penguatan Riset dan
Pengembangan DOI: https://doi.org/10.35790/ecl.8.1.2020.27095 KemenRistekdikti RI No.
28/E/KPT/2019 Available from: https://.ac.id/index.php/eclinic 46

Widia R, et.al. 2019. Hubungan Kejadian Plasenta Previa dengan Riwayat Kehamilan Sebelumnya.
Ejournal unsrat.

. Husain,1 Freddy Wagey,2 Eddy Suparman2

Berdasarkan data dari World Health Organization (WHO) angka kematian ibu sangat tinggi. Sekitar 830
wanita meninggal karena komplikasi kehamilan atau persalinan diseluruh dunia setiap harinya.
Diperkirakan pada tahun 2015 sekitar 303.000 wanita meninggal selama dan setelah kehamilan dan
persalinan.1 Di Indonesia, menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, angka
kematian ibu di Indonesia masih tinggi sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup. Berdasarkan data dari
tahun 2010-2013 penyebab kematian terbesar kematian ibu ialah perdarahan.2 Kematian ibu di
Indonesia umumnya disebabkan oleh perdarahan, eklampsi, komplikasi aborsi, partus macet dan sepsis.
Perdarahan yang bertanggung jawab atas 28% kematian ibu sering tidak dapat diperkirakan.

Perdarahan sebagai penyebab kematian ibu terdiri atas perdarahan antepartum dan perdarahan
postpartum. Perdarahan antepartum merupakan kasus gawat darurat yang kejadiannya berkisar 3% dari
semua persalinan.

Penyebabnya antara lain plasenta previa, solusio plasenta, dan vasa previa.4 Pada tahun 2011 di RSUP
Prof Dr. R. D. Kandou Manado, dari 4155 kasus, terdapat dua penyebab utama perdarahan obstetrik
yaitu 60 kasus (1,44%) perdarahan antepartum dan 36 kasus (0,86%) perdarahan postpartum sedangkan
penyebab utama perdarahan antepartum ialah plasenta previa pada 59 kasus (98,3%) dan retensio
plasenta pada 10 kasus (27,8%). Oleh karena itu, kemungkinan terjadinya plasenta previa pada
perdarahan antepartum harus dipikirkan terlebih dahulu.5 Menurut data dari Kemenkes RI 2007,
prevalensi plasenta previa di Indonesia pada tahun 2005 ialah 2,77% dan 0,85% di antaranya meninggal.
Muhammad Bayu Z. Hutagalung2 Dwinka S. Eljatin2 dan Alyani A. Basar2 Email: cutyeni@yahoo.com
1Bagian Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan Fakultas Kedokteran Universitas

Yeni Cut Meurah Syiah, et.al. 2017. Plasenta Previa Totalis Pada Primigravida: Sebuah Tinjauan Kasus.
Jurnal Kedokteran Syiah Kuala Volume 17 Nomor 1 April.

Adapun pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa placenta previa meliputi:
keadaan umum dan tanda vital, inspeksi genitalia eksterna, pemeriksaan inspekulo dan leopold.

Kuala 2Mahasiswa Program Profesi Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala

Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen bawah rahim, sehingga dapat
menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang ditandai dengan perdarahan uterus yang dapat keluar
melalui vagina tanpa adanya rasa nyeri pada kehamilan trimester terakhir, khususnya pada bulan
kedelapan.1 Faktor risiko timbulnya plasenta previa belum diketahui secara pasti namun dari beberapa
penelitian dilaporkan bahwa frekuensi plasenta previa tertinggi terjadi pada ibu yang berusia lanjut,
multipara, riwayat seksio sesarea dan aborsi sebelumnya serta gaya hidup yang juga dapat
mempengaruhi peningkatan resiko timbulnya plasenta previa.1-3 Ciri yang menonjol dari plasenta
previa adalah perdarahan uterus yang keluar melalui vagina tanpa disertai dengan adanya nyeri.
Perdarahan biasanya terjadi diatas akhir trimester kedua. Perdarahan pertama berlangsung tidak banyak
dan dapat berhenti sendiri. Namun perdarahan dapat kembali terjadi tanpa sebab yang jelas setelah
beberapa waktu kemudian. 2-5 Komplikasi dapat terjadi pada ibu dan Plasenta Previa Totalis Pada
Primigravida Primigravida Cut Meurah Yeni, Muhammad Bayu Z. Hutagalung, Dwinka S. Eljatin dan
Alyani A. Basar 39 bayiyaitu: Selama kehamilan pada ibu dapat menimbulkan perdarahan antepartum
yang dapat menimbulkan syok, kelainan letak pada janin sehingga meningkatnya letak bokong dan letak
lintang

Pembahasan Perdarahan anterpartum adalah perdarahan yang terjadi sebelum masa persalinan.
Dimana, perdarahan yang terjadi pada masa antepartum dibagi berdasarkan usia kehamilan yaitu: < 20
minggu dan > 20 minggu. Plasenta previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen
bawah rahim, sehingga dapat menutupi sebagian atau seluruh jalan lahir yang ditandai dengan
perdarahan uterus yang dapat keluar melalui vagina tanpaa danya rasa nyeri pada kehamilan trimester
terakhir, khususnya pada bulan kedelapan.1- 3 Perdarahanan tepartum yang disebabkan oleh plasenta
previa umumnya terjadi pada triwulan ketiga karena saat itu segmen bawah uterus lebih mengalami
perubahan berkaitan dengan semakin tuanya kehamilan, segmen bawah uterus akan semakin melebar,
dan serviks mulai membuka. Perdarahan initerjadi apabila plasenta terletak diatas ostiumuteriinterna
JURNAL KEDOKTERAN SYIAH KUALA Volume 17 Nomor 1 April 2017 40 atau dibagian bawah segmen
rahim. Pembentukan segmen bawah rahim dan pembukaan ostiuminterna akan menyebabkan robekan
plasenta pada tempat perlekatannya. 3,4,6 Darah yang berwarna merah segar, sumber perdarahan dari
plasenta previa ini ialah sinusuterus yang robek karena terlepasnya plasenta dari dinding uterus, atau
karena robekan sinusmarginalis dari plasenta. Perdarahannnya tak dapat dihindarkan karena ketidak
mampuan serabut otot segmen bawah uterus untuk berkontraksi menghentikan perdarahan tersebut,
tidak sama dengan serabut otot uterus menghentikan perdarahan pada kala III pada plasenta yang
letaknya normal. Semakin rendah letak plasenta, maka semakin dini perdarahan yang terjadi. Oleh
karena itu, perdarahan pada plasenta previa totalisakan terjadi lebih dini daripada plasenta letak rendah
yang mungkin baru berdarah setelah persalinan mulai.6-7

Adapun pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosa placenta previa meliputi:
keadaan umum dan tanda vital, inspeksi genitalia eksterna, pemeriksaan inspekulo dan leopold.
Pemeriksaan keadaan umum dan tanda vital dapat dinilai jumlah perdarahan yang terjadi pada pasien.
Pada pasien tampak keadaan vital dalam batas normal. Pada pinspeksi genitalian eksterna tampak
bekuan darah pada sekitar vulva, uretra tampak tenang. Pada pemeriksaan genitalia eksterna dapat
dilihat melalui banyaknya darah yang keluar melalui vagina, darah beku, dan sebagainya. Apabila
dijumpai perdarahan yang banyak makaibu akan terlihat pucat. Pada pemeriksaan inspekulo tampak
portio licin, tampak OUE tertutup, perdarahan aktif dari OUE, fluor (-). Pemeriksaan inspekulo, dengan
menggunakan spekulum secara hati-hati dapat menunjukkan sumber perdarahan, apakah dari uterus,
ataupun terdapat kelainan padaserviks, vagina, varises pecah, dll. 2,5,7 Pada pemeriksaan fisik obstetrik
berupa palpasiabdomen (leopold manuver) sering dijumpai kelainan letak pada janin, tinggi fundus uteri
yang rendah karena belum cukup bulan. Juga sering dijumpai bahwa bagian terbawah janin belum
turun, apabila letak kepala, biasanya kepala masih bergoyang, terapung atau mengolak diatas pintu atas
panggul. Pada pemeriksaan Laboratorium didapatkan Hemoglobin 9,1 mg/dl dengan MCV: 67 fl; MCH:
20 pg dan MCHC: 30% kesan anemia mikrositik hipokromik lain-lain dalam batas normal. Anemia yang
terjadi pada kehamilan umumnya disebabkan akibat defisiensi zat besi. Hal ini sesuai dengan keadaan
yang terjadi pada pasien dimana penurunan kadar hemoglobin juga disertai penurunan nilai MCV, MCH,
MCHC yakni berupa anemia mikrositik hipokrom. Namun, perdarahan yang terjadi pasien juga dapat
menjadi penyebab dari anemia.2,4,8 Pemeriksan ultrasonografi bertujuan untuk menilai keadaan janin
yaitu berupa pertumbuhan janin yang dinilai dari nilai Biparietal Diameter (BPD), Head Circumference
(HC), Abdominal Circumference (AC), Fmur Length (FL). Dimana berdasarkan data biometri dapat
disimpulkan pertumbuhan janin intrauterine berupa taksiran berat janin serta perkiraan usia kehamilan.
Selain itu, pemeriksaan ultrasonografi berfungsi untuk menilai apakah terdapat keadaan patologis
intrauterineseperti berkurang/bertambahnya jumlah cairan amnion diatas normal maupun letak
implantasi plasenta yang abnormal. Pada placenta previa implantasi terjadi pada segmen bawah rahim,
dimana dapat diklasifikasikan menjadi placenta previa totalis, parsialis, marginalis, dan letak rendah.
Dimana, pada pasien didapatkan placenta menutupi seluruh ostium uteri interna sehingga didiagnosa
sebagai plasenta previa totalis.3,4,7 Plasenta Previa Totalis Pada Primigravida Primigravida Cut Meurah
Yeni, Muhammad Bayu Z. Hutagalung, Dwinka S. Eljatin dan Alyani A. Basar 41 Pemeriksaan
kardiotokografi atau external fetal monitoring bertujuan untuk menilai keadaan janin intrauterin
(melalui DJJ janin: baseline, variabilitas, akselerasi dan deselerasi) serta kontraksi uterus (his).
Berdasarkan pemeriksaan tersebut keadaan janin intrauterine dapat diklasfikasi menjadi 3 kategori
yakni: Kategori I (normal), kategori 2 (Indeterminate) dan kategori 3 (abnormal). Dimana pada pasien ini
berdasarkan pemeriksaan kardiotokografi didapatkan hasil kategori I dengan kriteria DJJ baseline 110-
160x/I, variabilitas sedang: 5-25 x/i, deselerasi variabel dan late: deceleration: negatif, early
decelaration: negatif, dan akselerasi: positif atau negatif. Pemeriksaan ini penting untuk dilakukan dalam
observasi individu dengan plasenta previa.1,4 Penatalaksanaan pada pasien berupa observasi tanda
vital, perdarahan, pemberian tokolitik, pematangan paru, dan terminasi kehamilan. Pemberian tokolitik
berupa nifedipin 10 mg diberikan 3 kali dengan interval 20 menit dilanjutkan pemberian nifedipine 30
mg per hari. Pemberian nifedipin yang merupakan golongan penyekat kanal kalsium berfungsi untuk
menurunkan konsentrasi kadar kalsium intra miosit sehingga secara langsung menurunkan aktivitas
miometri yang berkaitan dengan terjadinya kontraksi (his).1,5 Pematangan paru janin dengan
Dexametason iv 6 mg per 12 jam selama 2 hari. Pemberian kortikosteroid pada pasien tersebut
bertujuan untuk mempercepat maturitas paru janin sehingga bila terminasi kehamilan dilakukan bayi
tersebut mampu untuk bernafas secara spontan. Pemberian kortikosteroid akan menstimulasi
pneumosit tipe 2 sehingga meningkatkan produksi surfaktan dan menstimulasi perkembangan paru
janin.3,6 Terminasi kehamilan pada kasus ini dilakukan per abdominal (sectio cesarean) akibat terjadinya
recurrent bleeding pada masa konservatif. Terminasi kehamilan per abdominal (sectio cesarea) menjadi
pilihan dalam tatalaksana plasenta previa. Hal ini disebabkan implantasi plasenta pada segemn bawah
rahim yang menutupi OUE akan menghalangi lahirnya janin secara pervaginam. Persalinan seksiosesarea
pada plasenta previa dilakukan pada semua plasenta previa totalis, janin hidup atau meninggal, serta
semua plasenta previa marginalis karena perdarahan yang sulit dikontrol. 2,5,8 Komplikasi dapat terjadi
pada ibu dan bayi yaitu: Selama kehamilan pada ibu dapat menimbulkan perdarahan antepartum. Selain
itu juga dapat mengakibatkan kelahiran prematur, berat badan lahir rendah, munculnya asfiksia, berat
badan lahir rendah, kematian janin intrauterus, dll. Pada kasus ini, bayi lahir dengan BBL: 1550 gram, PB:
42 cm, LK: 30 cm, LD: 25 cm; LP: 23 cm, LILA: 8 cm dan Apgar Score:7/8. Permasalahan bayi berupa
Neonatus Kurang Bulan - Sesuai Masa Kehamilan dengan Berat Badan Lahir Sangat Rendah dan
Respiratory Distress Syndrome. Hal ini merupakan bentuk komplikasi plasenta previa pada fetal
berkaitan dengan risiko intrauterine Growth restriction dan Prematuritas.5,6,9 Kesimpulan Plasenta
previa adalah plasenta yang berimplantasi pada bagian segmen bawah rahim, sehingga dapat menutupi
sebagian atau seluruh jalan lahir yang ditandai dengan perdarahan uterus. Faktor risiko timbulnya
plasenta previa belum diketahui secara pasti namun dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa
frekuensi plasenta previa tertinggi terjadi pada ibu yang berusia lanjut, multipara, riwayat seksiosesarea
dan aborsi sebelumnya serta gaya hidup yang juga dapat mempengaruhi peningkatan resiko terjadi
plesenta previa. Plasenta previa dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pada ibu dan janin.
Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Plasenta Previa

*, Saharuddin**, Azizah Nurdin***, Jelita Inayah Sari****

Mursalim Nurulhuda, et.al. 2021. Analisis Faktor Risiko Yang Berhubungan Dengan Kejadian Plasenta
Previa. Jurnal Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar Vol. 06 No.
02 Juni
2019 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan… (Haifa W, Henny F, Martika Y, Liza F) 114 JURNAL
ILMIAH

1 , Henni Febriawati 2 , Martika Yosi 3 , Liza Fitri Lina

Wahyu Haifa, et.al. 2019. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Plasenta Previa. Jurnal
Keperawatan Muhammadiyah Bengkulu Volume 07, Nomor 02, Oktober

Plasenta previa merupakan salah satu perdarahan antepartum. Belum diketahui secara pasti
penyebabnya, namun kerusakan dari endometrium pada persalinan sebelumnya dan gangguan
vaskularisasi desidua dianggap sebagai mekanisme yang mungkin menjadi faktor penyebab terjadinya
plasenta previa Plasenta previa merupakan salah satu risiko dalam kehamilan. Apabila plasenta previa
ini tidak ditangani dengan baik, maka akan menyebabkan perdarahan yang dapat membahayakan jiwa
ibu maupun janin (Santoso, 2015). Berdasarkan data yang didapatkan World Health Organization (WHO)
tahun 2008 prevalensi plasenta previa sekitar 458 dari 100.000 kelahiran setiap tahunnya, sedangkan
prevalensi plasenta previa menurut WHO tahun 2009 sekitar 320 dari 100.000 kelahiran (Setriani, 2011).
Prevalensi plasenta previa tertinggi terdapat wilayah Asia yaitu sekitar 1,22% dan Negara tertiggi kasus
plasenta previa di Filipina (0,76%) (Cresswell, 2013). Sedangkan Di Indonesia dilaporkan oleh beberapa
peneliti kasus plasenta previa berkisar antara 2,4% sampai 3,56% dari seluruh kehamilan (Fitrianingsih,
2014). Angka kejadian plasenta previa menurut data Dinas Kesehatan Povinsi Lampung 2014 mencapai
hingga 2,6%. Angka kejadian plasenta previa tertinggi di kabupaten Pringsewu yaitu 3,1% (Profil Dinkes
Provinsi Lampung, 2012). Di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2018 jumlahkejadian plasenta previa
sebanyak 135 orang (Rekam Medik RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu, 2019). Faktor penyebab plasenta
previa belum diketahui secara pasti, namun beberapa faktor yang meningkatatkan kemungkinan
terjadinya plasenta previa yaitu umur, paritas, hipoplasia endometrium, korpus luteum bereaksi lambat,
tumor (seperti mioma uteri, polip endometrium), endometrium cacat, Sectio Caesarea, kuretase dan
manual plasenta, kehamilan kembar serta riwayat plasenta previa sebelumnya ibu hamil dengan usia
muda atau kurang dari 20 tahun dan usia tua atau lebih dari 35 tahun memiliki risiko lebih besar untuk
terjadi plasenta previa (Fauziyah, 2012).

Berdasarkan penelitian Asih (2016) tentang Riwayat Kuretase dan Sectio Caesarea pada Pasien dengan
Plasenta Previa di Rumah Sakit Provinsi Lampung didapatkan bahwa ada hubungan antara riwayat
kuretase dengan kejadian Plasenta Previa di RSUD dr. Hi Abdul Moeloek. Terdapat hubungan antara
Sectio Caesarea dengan kejadian Plasenta Previa di RSUD dr. Hi Abdul Moeloek. Dari survey awal yang
dilakukan oleh peneliti di Ruang Mawar RSUD Dr. M. Jurnal Keperawatan Muhammadiyah Bengkulu
Volume 07, Nomor 02, Oktober 2019 Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan… (Haifa W, Henny F,
Martika Y, Liza F) 116 Yunus Bengkulu pada April 2019 maka didapatkan, 2 dari 11 ibu hamil yang
mengalami plasenta previa. Dari dua ibu tersebut didapatkan data bahwa ibu pertama dengan usia 35
tahun, paritas sebanyak 3 kali, tidak ada riwayat Sectio Caesaerea, tidak ada riwayat kuretase, jarak
kehamilan 3 tahun dan ibu yg kedua usia 28 tahun, paritas sebanyak 2 kali, tidak ada riwayat Sectio
Caesaerea, ada riwayat kuretase dan dengan jarak kehamilan 1 tahun. Dari latar belakang diatas maka
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian
plasenta previa di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu tahun 2019. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian plasenta previa di RSUD Dr. M. Yunus Bengkulu
https://akper-sandikarsa.e-journal.id/JIKSH 2019, pp;79-84 p-ISSN: 2354-6093 dan e-ISSN: 2654-4563
DOI: 10.35816/jiskh.v10i2.113 LITERATURE REVIEW Placenta Previa As A Protectif Factor For
Preeclampsia In Pragnancy

Putri Nadila Ayuni. 2019. Plasenta Previa Sebagai Faktor Protektif Kejadian Preeklamsia Pada Ibu Hamil.
Jurnal Ilmiah Kesehatan Sandi Husada Vol 10, No, 2, Desember

Plasenta previa adalah tertutupnya serviks secara parsial atau komplit oleh plasenta. Plasenta previa
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya perdarahan post partum yang dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu dan neonatus. Ibu dengan plasenta previa sebaiknya menghindari
kelahiran bayi pervaginam. Kebanyakan kasusu dapat didiagnosis sedini mungkin menggunakan ultra
sonografi (Putri, 2019).

Hipertensi gestasional dan preeklamsia adalah komplikasi tersering yang terjadi pada kehamilan.
Insidensinya mencapai 6-8%. Preeklamsia meningkatkan risiko buruk pada janin, seperti kelahiran
preterm, intrauterine growth restriction, kematian janin dan perdarahan antepartum. HIpertensi dalam
kehamilan terjadi sejak usia 20 minggu masa kehamilan. Hal ini bisa disertai dengan protein uria,
kegagalan fungsi organ bahkan kejang.2 Selama ini penelitian preeklamsia lebih banyak membahas
faktor risiko dan pencegahan. Namun dalam beberapa tahun terakhir banyak studi melaporkan adanya
hubungan yang signifikan antara plasenta previa dan preeklamsia. Hubungan anter keduanya masih
kontroversial. Beberapa studi menyebutkan adanya faktor protektif dari plasenta previa terhadap
hipertensi dalam kehamilan dan preeklamsia (Dawood A, Hanif S, 2017) Pembahasan Prevalensi
plasenta previa secara umum adalah 5,2 kasus per 1000 kehamilan. Prevalensi tertinggi adalah di Asia
yaitu sebanyak 12,2 kasus per 1000 kehamilan. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya faktor genetik.
Kejadian plasenta previa secara signifikan berhubungan dengan adanya luka pada uterus dan
endometrial seperti kuret, kejadian plasenta previa sebelumnya dan bekas luka operasi sesar. Implantasi
zigot membutuhkan suasana yang kaya dengan oksigen dan kolagen. Bagian terluar dari zigot adalah
blastokista yang terbentuk dari sel-sel trofoblas yang berkembang menjadi plasenta. Trofoblas akan
menempel pada desidua basalis pada endometrium pada kehamilan normal. Sementara pada uterus
yang memiliki luka, bagian yang terluka mengandung kondisi kaya oksigen dan kolagen sehingga
trofoblas menjadi sangat mudah menempel. Bagian uterus yang paling sering mengalami luka adalah
bagian deket serviks. Beruntungnya, seiring dengan bertumbuhnya bayi, plasenta juga akan bertumbuh
dimana sel-sel trofoblas akan berkembang ke arah fundus atau disebut tropotopisme. Kemudian
plasenta akan bermigrasi, hal ini terjadi pada 90% kasus. Jaringan plasenta yang lama akan mengalami
atrofi secara komplit atau meninggalkan sisa pembuluh darah yang sering disebut vasa previa(Rowe T.,
2014)dan (Baumfeld Y et, 2016). 81 Nadila Ayuni Putri, Placenta Previa As A Protectif Factor For
Preeclampsia In Pragnancy, JIKSH Vol 10 No 2 Des 2019 Faktor risiko terjadinya plasenta previa adalah
usia ibu saat hamil (diatas 35 tahun), multiparitas, merokok, riwayat kuret, penggunaan kokain dan
riwayat sesar sebelumnya. Hubungan antara usia ibu saat hamil dan plasenta previa mungkin berhubung
dengan semakin tua usia semakin banyak anak yang kemungkinan telah dilahirkan oleh ibu, dan lebih
banyak pula kemungkinan uterus ibu mengalami luka saat melahirkan. Keluarnya darah dari jalan lahir
tanpa rasa sakit selama usia kehamilan trimester dua dan tiga merupakan gejala tersering dari plasenta
previa. Perdarahan ini mungkin diakibatkan prosedur pemeriksaan, kelahiran ataupun tanpa sebab
tetentu. Pemeriksaan spekulum mungkin dapat menyebabkan perdarahan minimal dari serviks, pada
saat pemeriksaan plasenta mungkin saja terlihat saat pemeriksaan apabila serviks terdilatasi.
Pemeriksaan menggunakan ultrasonografi pada trimester dua dan tiga dapat mengidentifikasi kejadian
plasenta previa secara lebih dini. Semakin dini terdeteksi adanya plasenta previa, maka akan lebih
mudah untuk menghindari adanya komplikasi yang dapat terjadi saat melahirkan. Sebanyak 90% kasus
plasenta letak rendah dapat terselesaikan dengan sendirinya pada trimester tiga karena plasenta
berkembang kerarah fundus. Sehingga pemeriksaan ultrasonografi pada minggu ke 28-32 dilakukan
dengan tujuan untuk melihat adanya plasenta previa presisten (Feng Y et.al, 2017). Terdapat beberapa
jenis plasenta previa. Plasenta adhesive adalah melekatnya villi chorialis pada lapisan desidua
endometrium lebih dalam. Plasenta akreta adalah villi chorialis yang tertanam lebih dalam di dalam
dinding rahim (endometrium). Plasenta inkreta adalah villi chorialis yang tertanam lebih dalam sampai
ke lapisan miometrium. Sementara plasenta perkreta adalah villi chorialis yang melekat sampai ke
lapisan serosa. Pada kasus ini plasenta akreta, inkreta dan perkreta dapat menyebabkan perdarahan
yang masif sehingga perlu penanganan dini sebelum adanya kontraksi pada rahim. Untuk kasus-kasus
plasenta previa yang terletak dibelakang diperlukan pemeriksaan lebih lanjut seperti MRI untuk
mengetahui ada atau tidak invasi ke vesica urinaria(Rowe T., 2014)

Tatalaksana pada pasien dengan plasenta previa adalah menjadwalkan kelahiran secara elektif pada usia
36-37 minggu melalui prosedur seksio sesaria. Selama mempersiapkan kelahiran secara elektif pasien
perlu dipantau tanda-tanda vital, dan detak jantung bayi. Sebaiknya pasien juga dipasangkan 2 jalur
rehidrasi intravena untuk berjaga-jaga apabila selama proses kelahiran pasien mengalami perdarahan.
Apabila sebelum usia 36 minggu namun pasien telah sering mengalami perdarahan aktif, maka proses
kelahiran dapat dipercepat dengan penambahan pemberian magnesium sulfida sebagai neuroprotektan
bayi dan steroid untuk pematangan paru, dan bayi sebaiknya dilahirkan segera (Baumfeld Y et, 2016)

Plasenta previa adalah tertutupnya serviks secara parsial atau komplit oleh plasenta. Plasenta previa
merupakan salah satu faktor risiko terjadinya perdarahan post partum yang dapat meningkatkan
morbiditas dan mortalitas ibu dan neonatus. Ibu dengan plasenta previa sebaiknya menghindari
kelahiran bayi pervaginam. Kebanyakan kasusu dapat didiagnosis sedini mungkin menggunakan ultra
sonografi (Putri, 2019).

Preeklamsia adalah salah satu penyakit yang berhubungan dengan onset hipertensi yang baru terjadi
pada usia kehamilan lebih dari 20 minggu usia gestasi walaupun dengan atau tanpa diikuti dengan
proteinuria. Faktor risiko terjadinya preeklamsi adalah nullipara, multiparitas, riwayat
preeklamsiasebelumnya, kronik hipertensi, diabetes gestasional, trombofilia, systemic lupus
erythematosus, obesitas, usia kehamilan lebih dari 35 tahun dan penyakit ginjal. Kriteria diagnosis untuk
preeklamsia adalah tekanan sistolik melebihi 140 mmhg atau tekanan diastolik melebihi 90 mmhg dalam
dua kali pemeriksaan dengan perbedaan 4 jam pada wanita tanpa riwayat hipertensi sebelumnya.
Sementara preeklamsia berat didefinisikan sebagai tekanan darah sistolik melebihi 160 mmhg dan
diastolik melebihi 110 mmhg. Proteinuria merupakan salah satu indikator penting untuk menentukan
preeklamsia. Dikatakan positif 82 Nadila Ayuni Putri, Placenta Previa As A Protectif Factor For
Preeclampsia In Pragnancy, JIKSH Vol 10 No 2 Des 2019 apabila terdapat 300 mg atau lebih terdeteksi di
urin per 24 jam, rasio protein dibandingkan kreatinin lebih dari 0,3 mg/dl atau pada dipstik positif 2.
Preekalmsia tidak harus selalu diikuti dengan adanya proteinuria. Pasien dengan tekanan darah lebih
dari 140/90 mmhg namun memiliki tanda-tanda trombositopenia, insufisiensi ginjal yang ditandai oleh
peningkatan kreatinin serum, peningkatan fungsi hati dan edem pulmo juga dapat dikategorikan sebagai
preeklamsia. Apabila pada pasien hanya ditemukan tekanan darah melebihi 140/90 mmhg pada usia
kehamilan lebih dari 20 minggu tanpa diikuti tanda-tanda tambahan seperti yang telah disebutkan
diatas, maka disebut hipertensi gestasional (Jimmy E et, 2019). Terdapat beberapa mekanisme teradinya
preeklamsia, seperti iskemia uteroplasenta kronik, maladaptasi sistem imun, toksisitas LDL, peningkatan
proses apoptosis padatrofoblas. Keberhasilan plasentasi pembuluh darah dilihat dari sirkulasi
uteroplasenta setelah trofoblast menempel pada endometrium. Kemudian diikuti dengan tranformasi
arteriol maternal pada miometrium. Ketika proses ini rusak oleh karena defek saat plasentasi yang
berhubungan dengan lesi pada arterial dapat menyebabkan penurunan perfusi plasenta dan keluarnya
faktorfaktor inflamasi seperti sitokin, leukotrein dan hormone imunomodulator kedalam sirkulasi ibu.
Sehingga menyebabkan disfungsi endotel dan berkembang menjadi komplikasi yang berhubungan
dengan insufisiensi plasenta seperti hipertensi gestasional dan preeklamsia (Rowe T., 2014).

Tatalaksana preeklamsia harus dilakukan secara dini untuk menghindari mortalitas dan morbiditas yang
lebih banyak. Penatalaksanaan preeklamsia yang efektif, terbagi menjadi tiga kategori yaitu pencegahan
preeklamsia, deteksi dini dan pengobatan. Perempuan yang memiliki risiko tinggi terkena preeklamsia
seperti hipertensi kronik, penyakit ginjal dan antifosfolipid syndrom memerlukan konselin sebelum
kehamilan untuk mengidentifikasi faktor risiko yang masih bisa di modifikasi. Konseling yang diberikan
meiputi menghindari merokok, pemberian saran mengenai diet dan pemberian obat-obatan bila perlu
pada pasien-pasien enyakit ginjal dan hipertensi sebelum kehamilan. Perempuan dengan risiko tinggi
sebaiknya diberikan aspirin dosis rendah sebelum usia 12 minggu gestasi sampai dengan 36 minggu.
Suplementasi kalsium >1g/hari berhubungan signifikan dalam menurunkan risiko preeklamsia. Apabila
preeklamsi sudah terjadi maka perlu diberikan obat-obatan anti hipertensi seperti metildopa, labetolol
dan antagonis kasium seperti nifedipin. Apabila tekanan darah melebihi 160/110 mmhg maka dapat
dikategorikan sebagai kegawatdaruratan, sehingga memerlukan pemberia obat- obatan secara
intravena. MgSO4 diberikan sebagai terapi untuk menghindari preeklamsia agar tidak sampai menjadi
eklamsia. Dosis yang diberikan adalah 4 g MgSO4 dan diberikan dosis rumatan sebanyak 1 g/jam (English
FA et, 2015) dan (Dynin M, 2017). Plasenta previa berhubungan dalam menurunkan angka preeklamsia
dan menurunkan tekanan darah ibu. Beberapa penelitian menunjukkan adanya manfaat proteksi dari
adanya plasenta previa terhadap kejadian preeklamsia. Penelitian Dawood et,al (2017) dari 374 pasien
yang menderita plasenta previa hanya 8 orang (2,1%) yang berkembang menjadi preeklamsia dengan
nilai p =0,004. Adam et,al (2013) dalam penelitiannya juga menyebutkan bahwa insidensi preeklamsia
pada wanita dengan plasenta previa di Afrika sebanyak 3,3%. Pada penelitian Ying et,al (2016)
menjelaskan bahwa adanya plasenta previa menurunkan insidensi hipertensi dalam kehamilan,
preeklamsia ringan dan preeklamsia berat sebesar 55%(Adam et, 2013). 83 Nadila Ayuni Putri, Placenta
Previa As A Protectif Factor For Preeclampsia In Pragnancy, JIKSH Vol 10 No 2 Des 2019 Preeklamsia
berasal dara invasi trofoblas yang inadekuat sehinggaa memicu gangguan aliran darah fetomaternal.
Pada kehamilan normal, trofoblas akan menginvasi pada arteri spiralis di uterus sampai ke lapisan
desidua dan miometrium. Adanya plasenta previa menurunkan risiko terjadinya preeklamsia menurut
beberapa penelitian, Hal ini disebabkan oleh karena pada kasus plasenta previa, plasenta melekat pada
daerah yang pernah mengalami luka, karena kaya akan oksigen. Daerah tersebut merupakan daerah
bawah uterus. Bagian ini lebih kaya akan oksigen dibandingkan fundus. Sehingga dapat menfasilitasi
remodeling pembuluh darah. Pada kasus plasenta akreta, plasenta melekat lebih dalam daripada
plasenta normal sehingga suplai oksigen meningkat. Faktor-faktor inflamasi yang terdapat pada plasenta
previa seperti nitrit oksida pada endotelial dan kalikrein juga jumlahnya meningkat pada plasenta
akreta. Seperti yang diketahui bahwa kedua zat tersebut merupakan antioksidan yang dapat menjaga
kelancaran aliran darah fetomaternal. Melalui mekanisme inilah pada kasus-kasus plasenta previa
menjadi faktor protektif terjadinya preeklamsia(Ying H et, 2016).
FaktorFaktor yang Berhubungan dengan Kejadian Perlengketan Plasenta (Retensio Placenta) di Rumah
Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih: Sebuah Studi Kasus Kontrol Fenny Apriana Permatasari1) , Sarah
Handayani2) , Emma Rachmawati2) 1)Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kesehatan,
Kementrian Kesehata 102 ~ ARKESMAS, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017

Pemasalahan kesehatan ibu dan anak masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Data World
Health Organization menyebutkan bahwa setiap hari diperkirakan 800 wanita meninggal diakibatkan
oleh preventable causes terkait kehamilan dan melahirkan (World Health Organization, 2014). Indonesia
merupakan salah satu negara di Asia Tenggara yang memiliki angka kematian ibu dan anak cukup tinggi
dibandingkan dengan negara lainnya di kawasan tersebut (UNICEF INDONESIA, 2012). Menurut laporan
Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) yang terakhir, diperkirakan AKI yang terjadi pada tahun
2012 adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup (Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional;
Badan Pusat Statistik; Kementerian Kesehatan; ICF International, 2013). Penyebab kematian ibu di
Indonesia pada tahun antara lain disebabkan oleh perdarahan, infeksi, abortus, partus lama serta
penyebab kematian tidak langsung seperti penyakit kanker, jantung, tuberculosis atau penyakit lain yang
diderita ibu dimana perdarahan menjadi penyebab kedua tertinggi setelah penyebab kematian tidak
langsung yakni sebesar 30,3% 103 ~ ARKESMAS, Volume 2, Nomor 1, Januari-Juni 2017 pada tahun 2013
(Kementerian Kesehatan, 2014). WHO menyebutkan slah satu penyebab perdarahan setelah melahirkan
ialah perlengketan plasenta (retensio placenta) (World Health Organization, 2009). Perlengketan
plasenta (retensio placenta) adalah terlambatnya kelahiran plasenta melebihi waktu 30 menit setelah
bayi lahir, tanpa perdarahan yang berlebihan. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan
bahaya perdarahan dan infeksi (Manuaba, Manuaba, & Manuaba, 2010). Perlengketan plasenta
(retensio placenta) disebabkan karena plasenta belum lepas dari dinding uterus, atau placenta sudah
lepas akan tetapi belum dilahirkan (Wiknjosastro, 2010). Jika placenta belum lepas sama sekali, tidak
terjadi perdarahan. Namun, jika lepas sebagian, terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk
mengeluarkannya. Peristiwa ini dapat terjadi karena plasenta belum lepas dari dinding uterus akibat
kontraksi uterus yang kurang kuat untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesive). Selain itu, plasenta
melekat erat pada dinding uterus disebabkan oleh vili korialis menembus desidua sampai miometrium,
sampai di bawah peritoneum (plasenta akreta – perkreta). Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus
akan tetapi belum keluar, disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkannya atau karena salah
dalam penanganan kala III, sehingga plasenta tertangkap dalam rongga rahim dan terjadi lingkaran
konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarseratio placenta),
(Wiknjosastro, 2010). Faktor predisposisi lain yang turut memengaruhi terjadinya perlengketan plasenta
menurut Manuaba (2010) adalah umur, paritas, uterus terlalu besar, jarak kehamilan yang pendek, dan
sosial ekonomi. Literatur lainnya menambahkan pendidikan, riwayat komplikasi persalinan, dan status
anemia sebagai faktorfaktor yang turut berhubungan dengan terjadinya kejadian retensio plasenta.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktorfaktor yang berhubungan dengan kejadian
perlengketan plasenta (retensio plasenta) di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih Tahun 2010–
2016. METODE Penelitian ini merupakan penelitian analitik kuantitatif dengan pendekatan case control.
Lokasi penelitian ialah RS Islam Jakarta Cempaka Putih. Pengambilan data dilakukan pada bulan
November tahun 2016 di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih. Populasi dalam penelitian ini terdiri
dari dua kelompok yaitu populasi di kelompok kasus (seluruh ibu yang melahirkan dengan perlengketan
plasenta di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih dari awal tahun 2010 sampai dengan November
tahun 2016) dan populasi kelompok kontrol (seluruh ibu yang melahirkan tidak dengan perlengketan
plasenta di Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih dari awal tahun 2010 sampai dengan November
tahun 2016). Sampel pada kelompok kasus dalam penelitian ini adalah ibu bersalin dengan kejadian
retensio plasenta di RS Islam Jakarta Cempaka Putih pada tahun 20102016 yaitu sebanyak 42 orang,
sedangkan sampel pada kelompok kontrol diambil dengan perbandingan 1:1 dengan jumlah kasus yaitu
ibu bersalin dengan tidak mengalami kejadian retensio plasenta di RS Islam Jakarta Cempaka Putih pada
tahun 20102016. Jumlah ini didapat setelah dilakukan penyaringan sesuai dengan kriteria inklusi dan
eksklusi, dimana dari jumlah awal sebanyak 65 kasus menjadi 42 kasus retensio plasenta dan 42 pasien
yang tidak mengalami kejadian retensio plasenta. Pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan
dengan melihat data sekunder, yaitu data rekam medis ibu bersalin dengan kejadian retensio plasenta di
Rumah Sakit Islam Jakarta Cempaka Putih dari tahun 2010 sampai dengan September tahun 2016. Data
rekam medis yang diberikan berupa status pasien yang berisi nomor rekam medis, identitas pasien, usia,
pendidikan, paritas, jarak kehamilan, status anemia, dan riwayat komplikasi persalinan. Pengolahan data
dilakukan melalui beberapa tahapan untuk kemudian dilakukan Fenny Apriana Permatasari, Sarah
Handayani, Emma Rachmawati. Faktor-Faktor Yang Berhubungan ~ 103 104 ~ ARKESMAS, Volume 2,
Nomor 1, Januari-Juni 2017 analisis secara univariat dan bivariat. Analisis univariat dilaku kan untuk
melihat gambaran kejadian perlengketan plasenta (retensio placenta) berdasarkan usia ibu, pendidikan,
paritas, jarak kehamilan, riwayat komplikasi persalinan, dan status anemia. Dalam analisis data juga
dilakukan pengelompokkan usia dimana usia berisiko ialah < 20 tahun atau > 35 tahun dan usia tidak
berisiko ialah 2035 tahun. Pendidikan dilakukan pengelompokkan yakni rendah dan tinggi.
Pengelompokkan paritas berisiko yakni > 3 dan tidak berisiko yakni < 3. Pengelompokkan lainnya ialah
jarak kehamilan dimana jarak kehamilan berisiko jarak < 2 tahun atau > 10 tahun dan tidak berisiko ialah
jarak 210 tahun. Status anemia dibedakan menjadi anemia jika Hb < 11 gr/dl dan tidak anemia jika Hb ≥
11 gr/dl. Riwayat komplikasi persalinan dikelompokkan menjadi dua yakni ada komplikasi dan tidak ada
komplikasi. Analisis bivariat digunakan untuk mengetahui hubungan antara variabel dependen yaitu
kejadian perlengketan plasenta (retensio placenta) dengan variabel independen yaitu usia ibu,
pendidikan, paritas, jarak kehamilan, riwayat komplikasi persalinan, dan status anemia.

Anda mungkin juga menyukai