Karena ditinggal mati oleh ayahnya sejak kecil, Robert Stephenson mendapatkan pendidikan
watak dan aneka keterampilan dari ibu kakak-kakaknya. Peran ibu bagi Baden Powell bahkan
pernah diungkap langsung oleh beliau dengan kalimat, “Rahasia keberhasilan saya adalah ibu
saya.”
Sejak kecil Baden Powell dikenal anak yang cerdas, gembira, dan lucu sehingga banyak
disukai oleh teman-temannya. Di samping itu Baden Powell pun pandai bermain musik (piano
dan biola), teater, berenang, berlayar, berkemah, mengarang, dan menggambar.
Setamat sekolah di Rose Hill School, Tunbridge Wells, Robert Stephenson (Baden Powel)
mendapat beasiswa untuk sekolah di Charterhouse. Dan setelah dewasa, Baden Powell
bergabung dalam ketentaraan Inggris. Beliau sering ditugaskan di luar Inggris seperti
bergabung dengan 13th Hussars di India (1876), dinas khusus di Afrika (1895), memimpin
Pasukan Dragoon V (1897), pemimpin resimen di Zulu Afrika Selatan (1880), Kepala Staf di
Rhodesia Selatan (sekarang dikenal Zimbabwe) tahun 1896, memimpin The Mafeking Cadet
Corps di Mafeking, Afrika Selatan (1899-1900).
Selama menjadi tentara, banyak hal yang dialaminya. Pengalaman itu di antaranya:
1. Saat menjadi pembantu Letnan pada 13th Hussars yang berhasil mengikuti jejak
kuda yang hilang di puncak gunung serta melatih panca indera kepada Kimball
O’Hara.
2. Bersama The Mafeking Cadet Corp, mempertahankan kota Mafeking, Afrika
Selatan, meskipun dikepung bangsa Boer selama 127 hari dalam kondisi
kekurangan makan. Padahal The Mafeking Cadet Corp hanyalah pasukan pembawa
pesan yang tidak berpengalaman menghadapi musuh.
3. Mengadakan latihan bersama dan bertukar kemampuan survival dengan Raja
Dinizulu di Afrika Selatan.
Berbagai pengalaman tersebut ditulis dalam buku berjudul ‘Aids to Scouting’ pada
tahun 1899. Buku ini sebenarnya merupakan panduan bagi tentara muda Inggris
dalam melaksanakan tugas penyelidik. Buku ini kemudian terjual laris di Inggris.
Bahkan tidak hanya dibaca oleh para tentara saja tetapi digunakan juga oleh para
guru dan organisasi pemuda.
Melihat banyaknya pengguna buku ‘Aids to Scouting’, dan atas saran William Alexander
Smith (Pendiri Boys Brigade; salah satu Organisasi Kepemudaan di Inggris) Baden Powell
berniat menulis ulang buku tersebut untuk menyesuaikan dengan pembaca remaja yang
bukan dari ketentaraan. Untuk menguji ide-ide barunya, pada 25 Juli – 2 Agustus 1907
Baden Powell menyelenggarakan perkemahan di Brownsea Island bersama dengan 22 anak
lelaki yang berlatar belakang berbeda. Hingga pada tahun 1908 terbitlah buku ‘Scouting for
Boys’ yang kemudian menjadi acuan kepramukaan di seluruh dunia.
Tahun 1910, atas saran Raja Edward VII, Baden Powell memutuskan pensiun dari
ketentaraan dengan pangkat terakhir Letnan Jenderal untuk fokus pada pengembangan
pendidikan kepramukaan.
Pada Januari 1912 Baden Powell bertemu dengan Olave St Clair Soames saat di atas kapal
dalam lawatan kepramukaan ke New York. Mereka kemudian menikah pada tanggal 31
Oktober 1912. Mereka tinggal di Hampshire, Inggris dan dianugerahi 3 orang anak (satu
laki-laki dan dua perempuan), yaitu: Arthur Robert Peter (Baron Baden-Powell II), Heather
Grace (Heather Baden-Powell), dan Betty Clay (Betty Baden-Powell).
Tahun 1930-an Baden Powel mulai sakit-sakitan. Pada tahun 1939 Baden-Powell dan Olave
memutuskan pindah dan tinggal di Nyeri, Kenya. Hingga pada tanggal 8 Januari 1941 Baden
Powell meninggal dan dimakamkan di pemakaman St. Peter, Nyeri.
Semasa hidupnya Baden Powell mendapatkan berbagai gelar kehormatan, termasuk gelar
Lord dari Raja George pada tahun 1929. Pun Baden Powell aktif menulis berbagai buku baik
tentang kepramukaan, ketentaraan, maupun bidang lainnya. Beberapa buku tentang
kepramukaan yang ditulisnya antara lain, Scouting for Boys (1908), The Handbook for the
Girl Guides or How Girls Can Help to Build Up the Empire (ditulis bersama Agnes Baden-
Powell; 1912), The Wolf Cub’s Handbook (1916), Aids To Scoutmastership (1919), Rovering
to Success (1922), Scouting Round the World (1935) dll.
Fakta sejarah mencatat, tanggal 14 Agustus 1961, gerakan Pramuka diperkenalkan
secara resmi di Jakarta sekaligus penetapan Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Ketua
Kwartir Nasional yang pertama. Sultan HB IX adalah Raja Kasultanan Yogyakarta yang
berperan besar dalam mempertahankan kemerdekaan RI. Saat situasi Jakarta gawat,
Sultan menawarkan Yogyakarta sebagai ibu kota RI sementara pada awal 1946. Hampir
seluruh biaya selama pusat pemerintahan RI berada di Yogyakarta ditanggung oleh keraton.
Dalam sejarah kepramukaan, Sultan HB IX memiliki andil penting. Ia adalah Wakil Ketua
Majelis Pimpinan Nasional (Mapinas) Pramuka yang dipimpin Presiden Sukarno.
Dikutip dari situs resmi Keraton Yogyakarta, meskipun menyandang status pangeran,
Dorodjatun tidak menghabiskan masa kecilnya di lingkungan istana. Sultan HB VIII
menitipkan putranya itu kepada keluarga Mulder, seorang Kepala Sekolah NHJJS (Neutrale
Hollands Javanesche Jongen School). Baca juga: Dari Pramuka, Mereka Kini Jadi Legenda
Sultan HB VIII berpesan kepada keluarga Mulder supaya tidak mengistimewakan
Dorodjatun dan dididik supaya hidup mandiri. Anggota keluarga Mulder pun menerimanya
dengan senang hati. Dorodjatun punya panggilan kesayangan, yakni Henkie. Dorodjatun
menempuh pendidikan awal di Yogyakarta, dari Frobel School (Taman Kanak-kanak), Eerste
Europe Lagere School B, lalu ke Neutrale Europese Lagere School.
Sejak muda, Sultan HB IX sudah aktif sebagai anggota gerakan Kepanduan. Saat itu,
cukup banyak gerakan Kepanduan di Indonesia yang biasanya dikelola oleh organisasi-
organisasi kemasyarakatan atau perhimpunan pemuda. Baca juga: Sejarah Hari Pramuka di
Indonesia dan Internasional Tahun 1960, level Kepanduan Sultan HB IX sudah mencapai
Pandu Agung atau Pemimpin Kepanduan, sehingga ia ditunjuk sebagai Wakil Ketua Majelis
Pimpinan Nasional (Mapinas) Pramuka bersama Brigjen TNI Dr. A. Aziz Saleh. Ketua
Mapinas adalah Presiden Sukarno.
Sebelum Pramuka diresmikan, meskipun sudah dikenal sebelumnya, Bung Karno sering
berkonsultasi dengan Sultan HB IX. Presiden Sukarno ingin menyatukan semua gerakan
Kepanduan atau Pramuka di Indonesia. Dan akhirnya, keinginan itu terwujud pada 14
Agustus 1961. Sultan HB IX pun dipercaya menempati posisi tertinggi sebagai Ketua
Kwartir Nasional, bahkan hingga 4 periode sampai tahun 1974. Baca juga: Hamengkubuwana
IX Melawan Soeharto dengan Diam Dikutip dari buku Sri Sultan Hamengku Buwono IX:
Riwayat Hidup dan Perjuangan (1996), peran Raja Yogyakarta yang nantinya menjadi Wakil
Presiden RI ini dalam membangun Pramuka dari masa transisi dari Kepanduan sangat besar.
Pramuka Indonesia bahkan dikenal hingga ke luar negeri. Pada 1973, Sultan HB IX
menerima penghargaan tertinggi dari World Organization of the Scout Movement (WOSM)
atau Organisasi Kepanduan Internasional, yakni Bronze Wolf Award.
Menurut Panduan Museum Sumpah Pemuda (2009), gerakan Kepanduan di Tanah Air
yang berlingkup nasional dimulai pada 1923 dengan berdirinya Nationale Padvinderij
Organisatie (NPO) di Bandung dan Jong Indonesische Padvinderij Organisatie (JIPO) di
Batavia, lalu dilebur menjadi Indonesische Nationale Padvinderij Organisatie (INPO) pada
1926. Baca juga: Sejarah Bapak Pramuka Indonesia Sultan HB IX & Kepanduan Indonesia
Sejarah Lahirnya Pramuka Pasca-kemerdekaan, gerakan kepanduan mulai surut. Pada 1960
pemerintah dan MPRS berupaya untuk membenahi organisasi kepramukaan di Indonesia.
Sebagai tindak lanjut dari upaya tersebut, pada 9 Maret 1961 Presiden Soekarno
mengumpulkan tokoh-tokoh dari gerakan kepramukaan Indonesia. Presiden mengatakan,
organisasi Kepanduan yang ada harus diperbaharui, aktivitas pendidikan haruslah diganti,
dan seluruh organisasi kepanduan yang ada dilebur menjadi satu dengah nama Pramuka.
Dalam kesempatan ini juga presiden membentuk panitia pembentukan gerakan Pramuka yang
tediri dari Sultan Hamengkubuwono XI, Prof. Prijono. Dr. A. Aziz Saleh serta Achmadi.
Peristiwa ini kemudian dikenal dengan Hari Tunas Gerakan Pramuka. Buah hasil kerja panitia
tersebut yaitu dikeluarkannya lampiran keputusan Presiden nomor 238 tahun 1961 pada 20
Mei 1961 tentang gerakan Pramuka. Istilah Pramuka dicetuskan oleh Sri Sultan
Hamengkubuwana IX, terinspirasi dari kata Poromuko yang berarti pasukan terdepan dalam
perang. Namun, kata Pramuka diejawantahkan menjadi Praja Muda Karana yang berarti
“Jiwa Muda yang Gemar Berkarya”.