Anda di halaman 1dari 6

Vermikompos Sampah Kebun dengan Menggunakan Cacing Tanah

Eudrilus Eugeneae

Etik Rahmawati 1, Welly Herumurti 2

Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia1*


etik.rahmawati33@gmail.com
Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya, Indonesia 2

Abstrak
Diperlukan waktu yang lama hingga mencapai 2-3 bulan dalam pengomposan
konvensional. Pengurangan waktu pengomposan dapat dilakukan dengan menambahkan
cacing sebagai dekomposer. Pengomposan dengan menggunakan cacing disebut dengan
vermikomposting. Eudrilus eugeneae merupakan spesies epigeic yang dapat digunakan
dalam vermikomposting. Perbandingan 15, 35, dan 60 g cacing/1 kg substrat digunakan
dalam vermikomposting sampah kebun. Reaktor berukuran 8 L digunakan dalam penelitian
ini dan dilakukan selama 60 hari. Pre koposting selama 7 hari dilakukan untuk menghindari
peningkatan suhu selama pengomposan. Ammonia nitrogen (NH 3-N), Total Kjeldahl
Nitrogen (TKN), Nitrat (NO3), Total Organic Carbon (TOC) dianalisis selama penelitian
berlangsung. Degradasi yang diperoleh dengan vermikomposting 64,94%-75,80%.
Peningkatan NH3-N dan NO3-N yang ditunjukkan pada vermikompos lebih tinggi jika
dibandingkan dengan reaktor kontrol dengan pengomposan konvensional. Penurunan TOC
pada vermikompos mencapai 48,09% sedangkan dengan pengomposan konvensional
37,03%. TKN pada vermikompos mengalami fluktuasi dikarenakan adanya eror pada
cacing yang mengalami kematian.
Katakunci: Eudrilus sp., sampah kebun, vermikompos

1. Pendahuluan
Reduksi sampah biodegradable yang banyak dilakukan di Indonesia adalah dengan
menggunakan sistem komposting. Komposting merupakan salah satu metode pengolahan
sampah organik dengan cara dekomposisi material organik secara aerobik. Kompos yang
dihasilkan dapat digunakan pada kegiatan pertanian (Singh et al., 2011). Jenis sampah
biodegradable yang sering diolah dengan menggunakan metode pengomposan adalah sampah
kebun. Namun, komposting memiliki kelemahan diantaranya kompos yang dihasilkan memiliki
kandungan nutrisi yang rendah dan membutuhkan waktu yang lama dalam proses
pematangannya. Hal ini lah yang menyebabkan pemanfaatan kompos jarang dilakukan (Singh et
al., 2011).
Vermikomposting merupakan salah satu alternatif pengolahan sampah kebun yang sesuai
dengan kondisi iklim di Indonesia. Kompos yang dihasilkan, atau yang biasa disebut dengan
cascing memiliki kandungan nutrisi yang lebih baik jika dibandingkan dengan kompos
konvensional. Kelebihan lain vermikomposting adalah tidak menimbulkan bau, biaya
pengolahan yang rendah, dan tidak menimbulkan polusi dan pathogen (Rajeev Pratap Singh et
al., 2011). Optimalisasi penurunan volume sampah dengan menggunakan metode ini belum
dapat diketahui secara pasti, karena setiap jenis cacing memiliki kemampuan mendegradasi
material organik yang berbeda-beda. Eudrilus eugineae atau yang biasa disebut dengan Cacing
Afrika merupakan jenis cacing yang dapat memakan berbagai variasi material degradable yang
baik digunakan untuk vermikomposting (Gajalakshmi and Abbasi, 2004).
Salah satu faktor yang berpengaruh pada proses vermikomposting adalah perbandingan
antara jumlah makanan dan jumlah cacing (Gajalakshmi and Abbasi, 2004). Perbandingan
yang sesuai antara jumlah makanan yang disediakan untuk cacing dan jumlah cacing akan
menghasilkan kompos dengan waktu yang cepat. Semakin cepat pengomposan maka
pengolahan akan membutuhkan sumber daya yang semakin sedikit. Oleh karena itu pada
penelitian ini akan dicari pengaruh variasi jumlah cacing dalam vermikompos sampah kebun.
2. Metode yang diterapkan
2.1 Bahan Baku dan Reaktor
Sampah yang digunakan adalah sampah kebun yang diambil dari Rumah Kompos Institut
Teknologi Sepuluh Nopember. Sampah dicacah menggunakan alat pencacah yang digunakan di
lokasi tersebut sehingga ukurannya dapat seragam. Karakteristik awal sampah kebun
ditunjukkan pada Tabel 1. Dilakukan pemilahan antara ranting dan daun, sehingga sampah
yang digunakan mudah untuk terdegradasi. Cacing yang digunakan adalah cacing Eudrilus
eugeniae yang berasal dari tempat budidaya cacing di Cimahi, Bandung, Jawa Barat. Umur
cacing yang digunakan seragam, yaitu 4 bulan. Reaktor berbentuk kotak volume 8 L dengan
bahan plastik. Reaktor ini dipilih berdasarkan pertimbangan volume dan konvigurasi reaktor
yang memiliki perbandingan panjang dan kedalaman reaktor yang proporsional (Ganesh et al.,
2009). Substrat pada bagian bawah dijaga agar tidak sampai menyentuh bagian bawah reaktor
untuk menjaga agar lindi yang terbentuk tidak bercampur dengan sebstrat dengan menggunakan
kassa sebagai penyangga.
600 gram (berat kering) sampah kebun yang telah dilakukan pre komposting selama 7 hari
dimasukkan kedalam reaktor dan 9, 21, dan 36 gram (berat kering) cacing dimasukkan ke dalam
masing-masing reaktor setelah dilakukan aklimatisasi. Aklimatisasi dilakukan pada cacing dan
substrat. Aklimatisasi ini bertujuan untuk mempersiapkan cacing yang digunakan pada
percobaan dan substrat sebagai media tumbuh cacing agar mikroorganisme dalam keadaan
stabil. Aklimatisasi cacing dilakukan pada media kompos sampah daun, sedangkan pada
aklimatisasi sampah daun dilakukan dengan membiarkan sampah daun yang sudah tercampur
pada reaktor selama 3 hari.
Tabel 1. Karakteristik Awal Sampah Kebun
Densitas (g/L) 396,5
Kadar air (%) 59,02
pH 7,64
Suhu (oC) 35
TOC (%) 27,53
TKN (%) 1,47
NH3-N (%) 0,02
NO3-N (%) 0,41
Vs (%) 47,47

2.2 Metode Analisis


Analisis TOC menggunakan metode gravimetri. TKN dianalisis dengan menggunakan
metode Kjeldahl menggunakan Kjeldahl Aparatus dengan analisis akhirnya menggunakan
metode nesler. Ammonia nitrogen (NH3-N) merupakan pengukuran konsentrasi nitrogen dalam
senyawa ammonia dianalisis menggunakan metode nesler. Nitrat nitrogen (NO 3-N) dianalisis
dengan menggunakan brucin acetat.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1 Ammonia-Nitrogen
Selama penelitian terjadi perubahan konsentrasi ammonia nitrogen. Perubahan konsentrasi
ammonia nitrogen dapat dilihat pada Error: Reference source not found. Konsentrasi
ammonia nitrogen pada semua reaktor vermikompos mengalami penurunan, namun pada
reaktor control tanpa cacing (KT) mengalami kenaikan. Penambahan cacing dengan
perbandingan 15 g cacing/1 kg substrat (R15) mengalami penurunan konsentrasi ammonia
paling tinggi, sedangkan pada reaktor dengan penambahan cacing dengan perbandingan 35 g
cacing/1 kg substrat (R35) mengalami penurunan paling rendah. Ammonia merupakan bagian
dari hasil ekskresi cacing dan mikroorganisme, yang akan diubah oleh nitrobakter menjadi
nitrat. Nitrobakter akan meningkat dikarenakan adanya lendir pada cacing yang memperkaya
jumlah nitrobakter. Cacing tanah dapat meningkatkan kandungan total bakteri (termasuk
Nitrobakter) dan Rhyzopus pada tanah steril (Anwar, 2009). Peningkatan nitrobakter juga
disebabkan adanya kondisi yang aerobik akibat aktivitas cacing yang memakan material organik
kemudian melewati permukaan substrat yang meninggalkan rongga udara (Singh et al., 2011).
Reaktor kontrol yang mengalami penurunan konsentrasi ammonia dikarenakan aktivitas
nitrobakter didalam reaktor yang kecil, sehingga laju perubahan N organik menjadi ammonia
lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju ammonia yang diubah menjadi NO 3.

0.04
Hari ke-0 Hari ke-60
Ammonia Nitrogen (%)

0.03

0.02

0.01

0.00
R15 R35 R60 KT

Gambar 1 Perubahan Konsentrasi Ammonia Nitrogen

3.2 Total Kjeldahl Nitrogen


Perubahan konsentrasi TKN dapat dilihat pada Error: Reference source not found.
Konsentrasi TKN pada reaktor R15 dan R35 mengalami penurunan, sedangkan pada reaktor
R60 dan KT mengalami sedikit kenaikan. TKN merupakan representasi dari nitrogen organik.
Nitrogen organik dalam proses dekomposisi akan diubah menjadi ammonia dan nitrat.
Ammonia dan nitrat merupakan senyawa yang dapat diserap oleh tanaman, sehingga dalam
proses pengomposan diharapkan nitrogen organik turun sedangkan ammoni dan nitrat
meningkat. Reaktor R15 dan R35 mengalami penurunan konsentrasi TKN. Penurunan TKN
dimungkinkan karena adanya konsumsi nitrogen oleh cacing yang diubah menjadi bentuk
protein (Fernández-Gómez et al., 2010). Nitrogen organik dibutuhkan cacing dan
mikroorganisme dalam proses metabolisme. Penurunan TKN juga terjadi pada penelitian
vermikompos sampah sayur yang dilakukan oleh Huang et al (2013) dan Lalander et al (2015)
namun penurunan yang terjadi lebih kecil jika dibandingkan dengan pengomposan tanpa
penambahan cacing. Hal ini dikarenakan mineral nitrogen dapat dipertahankan dalam bentuk
nitrat dengan trasformasi nitrogen oleh cacing di dalam kotorannya (Wani et al., 2013).

1.2
Hari ke-0 Hari ke-60
1.0
0.8
TKN (%)

0.6
0.4
0.2
0.0
R15 R35 R60 KT

Gambar 2 Perubahan Konsentrasi Total Kjeldahl Nitrogen

Peningkatan TKN yang terjadi pada reaktor R60 dan KT dimungkinkan karena adanya
konsentrasi ammonia yang terbaca pada analisis TKN. Peningkatan TKN pada R60 juga dapat
dikarenakan adanya penambahan nitrogen oleh cacing dalam bentuk lendir, enzim, atau ekskresi
material yang mengandung nitrogen (Lim et al., 2012). Selain itu kematian cacing juga dapat
menyebabkan peningkatan konsentrasi TKN, hal ini dikarenakan tubuh cacing terdiri dari 65%
protein yang merupakan sumber N organik (Singh et al., 2011). Gupta and Garg (2009)
mencatat peningkatan TKN pada vermikomposting menggunakan Eisenia sp. hingga 2-2,4 kali
lipat.
3.3 Nitrat Nitrogen
Konsentrasi nitrat nitrogen pada semua reaktor mengalami peningkatan. Peningkatan
konsentrasi nitrat nitrogen dapat dilihat pada Gambar 3. Peningkatan konsentrasi nitrat
tertinggi terjadi pada R35 dan yang terendah terjadi pada KT. Nitrat merupakan hasil degradasi
N organik yang telah diubah oleh mikroorganisme menjadi senyawa yang lebih sederhana, yaitu
nitrat. Konsentrasi nitrat meningkat dikarenakan adanya aktivitas mikroorganisme yang
mengubah N organik menjadi ammonia kemudian menjadi nitrat. Peningkatan nitrat juga terjadi
pada penelitian Suthar and Sharma (2013) dengan peningkatan nitrat hingga mencapai 5 kali
lipat. Huang et al (2013) mencatat peningkatan konsentrasi nitrat tertinggi pada
vermikomposting sampah sayur mencapai 7 kali lipat dengan menggunakan Eisenia sp.

1.0 Hari ke-0 Hari ke-60


0.9
0.8
Nitrat-Nitrogen (%)

0.7
0.6
0.5
0.4
0.3
0.2
0.1
0.0
R15 R35 R60 KT

Gambar 3 Perubahan Konsentrasi Nitrat Nitrogen

Peningkatan konsentrasi nitrat merupakan indikasi bahwa cacing dan mikroorganisme


berperan dalam mineralisasi nitrogen (Suthar and Sharma, 2013). Pada penelitian ini reaktor KT
mengalami peningkatan konsentrasi nitrat yang paling rendah, hal ini menunjukkan bahwa
penambahan cacing dapat mempengaruhi peningkatan konsentrasi nitrat. Penambahan cacing
akan meningkatakan aktivitas mikroorganisme yang berperan dalam nitrifikasi (Anwar, 2009),
selain itu cacing juga mengeluarkan lendir, enzim, dan material yang mengandung nitrogen
yang disukai oleh bakteri (Lim et al., 2012). Jumlah makanan berupa nitrogen yang meningkat
dan aktivitas bakteri yang meningkat ini lah yang menyebabkan konsentrasi nitrat pada
vermikompos lebih tinggi jika dibandingkan dengan reaktor kontrol yang merupakan
representasi dari pengomposan konvensional.

3.4 Total Organic Carbon (TOC)


Konsentrasi TOC pada semua reaktor mengalami penurunan. Penurunan konsentrasi TOC
disajikan pada Gambar 4. Penurunan TOC terjadi karena dapat terjadi karena adanya aktivitas
respirasi dan asimilasi mikroorganisme dan cacing. Aktivitas ini mengubah C organik yang
tersedia menjadi CO2 gas (Suthar and Gairola, 2014). Adanya penambahan cacing, seharusnya
dapat menurunkan TOC yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pengomposan tanpa
penambahan cacing (Singh et al., 2011). Namun pada penelitian ini tidak terlihat perbedaan
yang signifikan, hal ini dimungkinkan karena adanya eror karena penambahan C organik dari
cacing yang mati (Lim et al., 2012). Tubuh cacing mengandung 14% karbohidrat yang
merupakan sumber C organik (Singh et al., 2011), sehingga kematian cacing akan menambah
nilai C organik pada substrat.
30 Hari ke-0 Hari ke-60
25
20
TOC (%)

15
10
5
0
R15 R35 R60 KT

Gambar 4 Penurunan Konsentrasi TOC

Pada penelitian ini penurunan TOC mencapai 40,04% pada reaktor R60. Nattudurai et al
(2014) yang menggunakan Eudrilus sp. untuk pengomposan limbah kelapa menghasilkan
penurunan TOC sebesar 28,02%. Perbedaan ini dikarenakan kandungan lignin dan selulosa
yang besar pada limbah kelapa. Huang et al (2014) menggunakan sampah sayur dalam
vermikompos menghasilkan penurunan TOC sebesar 22,55%. Penurunan TOC yang tinggi
penelitian menunjukkan bahwa konsumsi C organik oleh cacing dan bakteri pada vermikompos
sampah kebun lebih besar jika dibandingkan dengan vermikompos sampah sayur.

3.5 Degradasi Sampah Kebun


Degradasi sampah kebun pada proses vermikompos dapat ditunjukkan dengan sisa sampah
yang tidak lolos terayak pada ayakan berukuran 4 mesh. Hasil degradasi sampah ditunjukkan
pada Tabel 2.
Tabel 2 Degradasi Sampah Kebun
Reaktor Degradasi
(%)
Degradasi tertinggi terjadi pada R15 75.80 R15, dan yang terendah pada
reaktor KT. Hal ini menunjukkan R35 62.90 bahwa perbandingan 15 g cacing/1
kg substrat merupakan perbandingan penambahan cacing
yang terbaik. Reaktor KT yang R60 67.24
merupakan pengomposan tanpa
cacing mengalami degradassi KT 62.24 cacing yang paling rendah. Hal ini
menunjukkan bahwa penambahan cacing berpengaruh terhadap
degradasi sampah kebun. Cacing berperan dalam proses dekomposisi dengan cara
meningkatkan aktivitas mikroorganisme (Anwar, 2009), karena cacing memiliki lendir dan
enzim yang mengandung N organik yang disukai oleh mikroorganisme (Lim et al., 2012).
Pergerakan cacing juga menyebabkan kondisi substrat bersifat aerobik sehingga
mikroorganisme akan tumbuh dengan baik (Singh et al., 2011).

4. Kesimpulan
Pengomposan dengan penambahan cacing dapat meningkatkan degradasi sampah kebun
hingga 13,56%. Perbandingan penambahan cacing yang terbaik dalam menghasilkan degradasi
sampah kebun terbesar adalah 15 g cacing/1 kg substrat.

5. Penghargaan
Ucapan terima kasih disampaikan kepada Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi Republik Indonesia atas pendanaan hibah Penelitian Unggulan Perguruan Tinggi.

6. Pustaka

Anwar, E.K., 2009. Efektivitas Cacing Tanah Pheretima hupiensis, Edrellus sp. dan
Lumbricus sp. dalam Proses Dekomposisi Bahan Organik. J Tanah Trop 14, 149–158.
Fernández-Gómez, M.J., Romero, E., Nogales, R., 2010. Feasibility of vermicomposting for
vegetable greenhouse waste recycling. Bioresour. Technol. 101, 9654–9660.
Gajalakshmi, S., Abbasi, S.A., 2004. Earthworms and vermicomposting. Indian J. Biotecnol. 3,
486–494.
Ganesh, P.S., Gajalakshmi, S., Abbasi, S.A., 2009. Vermicomposting of the leaf litter of acacia
(Acacia auriculiformis): Possible roles of reactor geometry, polyphenols, and lignin.
Bioresour. Technol. 100, 1819–1827.
Gupta, R., Garg, V.K., 2009. Vermiremediation and nutrient recovery of non-recyclable paper
waste employing Eisenia fetida. J. Hazard. Mater. 162, 430–439.
Huang, K., Li, F., Wei, Y., Chen, X., Fu, X., 2013. Changes of bacterial and fungal community
compositions during vermicomposting of vegetable wastes by Eisenia foetida.
Bioresour. Technol. 150, 235–241.
Huang, K., Li, F., Wei, Y., Fu, X., Chen, X., 2014. Effects of earthworms on physicochemical
properties and microbial profiles during vermicomposting of fresh fruit and vegetable
wastes. Bioresour. Technol. 170, 45–52.
Lalander, C.H., Komakech, A.J., Vinnerås, B., 2015. Vermicomposting as manure management
strategy for urban small-holder animal farms – Kampala case study. Waste Manag.
Lim, S.L., Wu, T.Y., Sim, E.Y.S., Lim, P.N., Clarke, C., 2012. Biotransformation of rice husk
into organic fertilizer through vermicomposting. Ecol. Eng. 41, 60–64.
Nattudurai, G., Vendan, S.E., Ramachandran, P.V., Lingathurai, S., 2014. Vermicomposting of
coirpith with cowdung by Eudrilus eugeniae Kinberg and its efficacy on the growth of
Cyamopsis tetragonaloba (L) Taub. J. Saudi Soc. Agric. Sci. 13, 23–27.
Singh, R.P., Embrandiri, A., Ibrahim, M.H., Esa, N., 2011. Management of biomass residues
generated from palm oil mill: Vermicomposting a sustainable option. Resour. Conserv.
Recycl. 55, 423–434.
Singh, R.P., Singh, P., Araujo, A.S.F., Hakimi Ibrahim, M., Sulaiman, O., 2011. Management
of urban solid waste: Vermicomposting a sustainable option. Resour. Conserv. Recycl.
55, 719–729.
Suthar, S., Gairola, S., 2014. Nutrient recovery from urban forest leaf litter waste solids using
Eisenia fetida. Ecol. Eng. 71, 660–666.
Suthar, S., Sharma, P., 2013. Vermicomposting of toxic weed — Lantana camara biomass:
Chemical and microbial properties changes and assessment of toxicity of end product
using seed bioassay. Ecotoxicol. Environ. Saf. 95, 179–187.
Wani, K.A., Mamta, Rao, R.J., 2013. Bioconversion of garden waste, kitchen waste and cow
dung into value-added products using earthworm Eisenia fetida. Saudi J. Biol. Sci. 20,
149–154.

Anda mungkin juga menyukai