Anda di halaman 1dari 12

Analisis Unsur Intrinsik Cerpen Clara Atawa Wanita yang

Diperkosa karya Seno Gumira Ajidarma


Royan Bagus Alexander/06021282126034/Indralaya

SINOPSIS
Cerpen Clara Atawa Wanita yang Diperkosa karya Seno Gumira Ajidarma
menceritakan tentang kisah seorang gadis keturunan Cina yang diperkosa dan
keluarganya disiksa selama kerusuhan Mei 1998. Cerpen ini menyoroti masalah
diskriminasi etnis yang pernah terjadi di Indonesia, di mana warga keturunan Cina
diperlakukan secara tidak adil oleh warga pribumi. Pada awal cerita, Clara
menceritakan kisahnya kepada seorang petugas pencatat, namun sayangnya
petugas tersebut tidak percaya karena rasa bencinya terhadap Cina. Cerita ini
menyuguhkan pandangan yang menyentuh dan realistis tentang pengalaman
pemerkosaan Clara yang diceritakan secara lugas.

TOKOH DAN PENOKOHAN

Clara: Seorang perempuan muda keturunan Tiongkok, dalam cerpen ini


mengalami penyiksaan fisik yang membuat dia merasa sangat terhina.

“... Saya Cuma seorang wanita cina yang lahir di Jakarta dan sejak kecil
tenggelam dalam urusan dagang. Saya bukan ahli bahasa, bukan pula
penyair. Saya tidak tahu apakah di dalam kamus besar Bahasa Indonesia
ada kata yang bisa mengungkapkan rasa sakit, rasa terhina, rasa pahit,
dan rasa terlecehkan yang dialami seorang wanita yang diperkosa
bergiliran oleh banyak orang karena dia seorang wanita Cina.” (Seno,
1998)

Clara adalah seorang pengusaha yang sukses dan tinggal di ibukota, yang dikenal
sebagai seseorang yang tangguh, disiplin, dan cerdas. Ia selalu tahu cara untuk
mengatasi masalah dan mengambil keputusan yang tepat dalam situasi yang sulit.

“Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting


mengurusi perusahaan Papa yang nyaris bangkrut karena utangnya
dalam dolar tiba-tiba jadi bengkak. Saya ngotot untuk tidak men-PHK
para buruh. Selain kasihan, itu juga hanya akan menimbulkan
kerusuhan.” (Seno, 1998)

Clara juga merupakan seorang wanita yang tegar. Tokoh lain yang menjabarkan
tokoh Clara sebagai wanita yang tegar melalui penokohan secara langsung.

“Di matanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk
bercerita, memang menunjukkan dia wanita yang tegar.” (Seno, 1998)

Aku (Petugas Pencatatan): Tokoh “aku” dalam cerpen ini diperlihatkan sebagai
seseorang yang memiliki kontrol penuh terhadap setiap kasus yang dilaporkan ke
kepolisian tempat dia bekerja. Dia diceritakan sebagai seseorang yang sangat
kritis, selalu ingin mengetahui setiap detail dari sebuah kasus dan tidak ragu untuk
menanyakan jika diperlukan. Dia juga dikatakan memiliki kemampuan untuk
mengubah fakta yang ada dalam sebuah kasus sesuai dengan kebutuhan yang dia
miliki.

“Maka cerita yang akan kau dengar ini bukanlah kalimatnya melainkan
kalimatku. Sudah bertahun-tahun aku bertugas sebagai pembuat laporan
dan hampir semua laporan itu tidak pernah sama dengan kenyataan. Aku
sudah menjadi sangat ahli menyulap kenyataan yang pahit menjadi
menyenangkan, dan sebaliknya perbuatan yang sebetulnya patriotik
menjadi subversif. Pokoknya selalu di sesuaikan dengan kebutuhan.”
(Seno, 1998)

Tokoh “aku” dalam cerpen ini memiliki kewenangan atas setiap kronologi laporan
kasus yang ia tangani, sehingga diharapkan ia adalah seseorang yang jujur dan
tidak berbuat munafik. Namun, pada akhir cerita, tidak jelas apa yang dilakukan
oleh tokoh tersebut terhadap Clara dan apakah ia benar-benar jujur dalam
menangani kasus yang ia hadapi atau malah melakukan pelecehan pada Clara.

“Tentu saja tentang yang satu ini tidak perlu ku laporkan kepada
pimpinan. Hanya kepadamu aku bisa bercerita dengan jujur, tapi dengan
catatan semua ini rahasia. Jadi, jangan bilang-bilang.” (Seno, 1998)
Mama dan Ayah Clara: Tokoh mama dan ayah dalam cerpen ini digambarkan
sebagai orang yang sangat mencintai keluarga mereka. Mereka diceritakan
melalui percakapan telepon dengan nada sangat cemas, memberitahu bahwa
keadaan di luar rumah sangat membahayakan. Tindakan mereka yaitu memberi
tahu keadaan tersebut pada Clara merupakan tindakan yang tepat untuk mencari
bantuan dan melakukan penyelamatan. Namun, ayah Clara sangat terpukul ketika
melihat dua anaknya yang lain, Monica dan Sinta, tewas dibakar massa dan
ibunya pun tidak dapat diselamatkan.

Pimpinan: Tokoh yang disebut sebagai pimpinan dalam cerpen ini merupakan
orang yang tidak bertanggung jawab dan hanya mementingkan diri sendiri.

“... Satu lagi! Hari ini banyak sekali perkara beginian. Tahan dia di situ.
Jangan sampai ada yang tahu. Terutama jangan sampai ketahuan
wartawan dan LSM!” (Seno, 1998)

25 Laki-laki: Orang-orang yang mencegat dan memperkosa Clara di jalan raya


tidak diketahui namanya secara spesifik, namun diketahui bahwa mereka
termasuk pelaku kerusuhan di tempat lain dan memiliki akal pendek serta mudah
terprovokasi. Perilaku mereka sangat kejam meskipun mereka diciptakan dengan
hati nurani.

“... Braakk! Kap mobil digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar
lewat jendela. Saya dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.”

“... Saya melihat seseorang melongok ke dalam mobil. Membuka-buka


laci dashboard, lantas mengambil tas saya. Isinya ditumpahkan ke jalan.
Berjatuhanlah dompet, bedak, cermin, sikat alis, sikat bulu mata, lipstik,
HP, dan bekas tiket bioskop yang saya pakai nonton bersama pacar saya
kemarin. Dompetnya segera diambil, uangnya langsung dibagi-bagi
setengah rebutan. Sejuta rupiah uang cash amblas dalam sekejap ....”
(Seno, 1998)

Ibu Tua: Tokoh ibu tua dalam cerpen ini merupakan seorang warga yang masih
memiliki hati nurani. Tidak seperti warga-warga lainnya yang membenci Cina.
Hal ini terlihat ketika dia rela menolong Clara saat ia menemukan Clara yang
menjadi korban pemerkosaan warga terletak begitu saja.

“... Ia hanya mengenakan kain. Seorang ibu tua yang rumahnya berada di
kampung di tepi jalan tol telah menolongnya...” (Seno, 1998)

Dia juga murah hati dengan sikapnya yang meminta maaf atas kesalahan warga
kepada Clara.

”Saya tidak bisa bergerak sampai seorang ibu tua datang terbungkuk-
bungkuk. Dia segera menutupi tubuh saya dengan kain. ’Maafkan anak-
anak kami,’ katanya..” (Seno, 1998)

TEMA

Cerpen karya Seno Gumira Ajidarma menyoroti masalah diskriminasi etnis yang
pernah terjadi di Indonesia. Dalam cerpen ini, warga keturunan Cina diceritakan
mengalami perlakuan kekerasan dari warga pribumi, termasuk pembunuhan,
perkosaan, dan berbagai jenis penyiksaan lain yang dilakukan hanya karena
keturunan Cina.

“Setelah berhenti, saya lihat ada sekitar 25 orang. Semuanya laki-laki.


”Buka jendela,” kata seseorang. Saya buka jendela. ”Cina!” ”Cina!”
Mereka berteriak seperti menemukan intan berlian. Belum sempat
berpikir, kaca depan BMW itu sudah hancur karena gebukan. Aduh,
benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada Cina? Saya memang
keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir sebagai Cina? ”Saya
orang Indonesia,” kata saya dengan gemetar. Braakk! Kap mobil
digebuk. Seseorang menarik saya dengan kasar lewat jendela. Saya
dilempar seperti karung dan terhempas di jalan tol.” (Seno, 1998)

ALUR
Cerpen ini menggunakan alur campuran – perpaduan alur maju dan mundur –
karena tokoh utama (Clara) menceritakan kembali kejadian yang dialaminya
kepada tokoh “aku”.

Perkenalan tokoh “aku”: Cerpen ini dibuka dengan pengenalan tokoh “aku”,
meskipun tokoh “aku” bukan tokoh utama.

“Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi*) – tapi


aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku
sebenarnya.

Di hadapanku duduk wanita itu. Rambutnya dicat merah. Coklat


sebetulnya. Tapi orang-orang menyebutnya merah.”

Masalah Clara: Alur dilanjutkan dengan menceritakan kembali masalah dihadapi


tokoh utama wanita. Hal ini ditunjukkan melalui:

“Wajahnya yang cantik sarat dengan luka batin yang tak terbayangkan.
Aku hampir-hampir terharu bahkan sebelum dia bercerita. Tidak pernah
bisa kubayangkan bahwa manusia bisa mengalami beban penderitaan
seberat itu justru karena dia lahir sebagai manusia.”

Konflik: Konflik dimulai dengan Clara yang sedang menuju rumahnya dicegat
oleh kumpulan orang-orang di jalan tol. Hal ini ditunjukkan oleh:

“Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Di kiri kanan jalan
terlihat api menerangi malam. Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai
120 kilometer per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya akan segera tiba
di rumah. Tapi, di ujung itu saya lihat segerombolan orang. Sukar sekali
menghentikan mobil.”

Klimaks: Puncak konflik ini ditunjukkan oleh Clara yang sedang dianiaya dan
diperkosa oleh kumpulan orang-orang itu. Hal ini ditunjukkan oleh:

“”Aaaahhh! Tolongngng!” Saya menjerit. Mulut saya dibungkam telapak


kaki berdaki. Wajah orang yang menginjak mulut saya itu nampak dingin
sekali. Berpuluh-puluh tangan menggerayangi dan meremas-remas tubuh
saya. ”Diem lu Cina!” Rok saya sudah lolos….”

Masalah (Kembali ke Masa Sekarang): Setelah bercerita, alur kembali ke


kantor polisi, di mana tokoh “aku” melanjutkan interogasi Clara. Hal ini
ditunjukkan oleh:

”Setelah celana dalam kamu dicopot, apa yang terjadi?”

Dia menangis lagi. Tapi masih bercerita dengan terputus-putus. Ternyata


susah sekali menyambung-nyambung cerita wanita ini. Bukan hanya
menangis. Kadang-kadang dia pingsan. Apa boleh buat, aku harus terus
bertanya.

Konflik: Konflik dilanjutkan dengan Clara yang baru saja tersadar dari
pingsannya laku mendapati dirinya telah mengalami pelecehan oleh kumpulan
orang-orang tadi. Hal ini ditunjukkan oleh:

“Saya tidak tahu apakah di dalam kamus besar Bahasa Indonesia ada
kata yang bisa mengungkapkan rasa sakit, rasa terhina, rasa pahit, dan
rasa terlecehkan yang dialami seorang wanita yang diperkosa bergiliran
oleh banyak orang –karena dia seorang wanita Cina.”

Antiklimaks: Antiklimaks dalam cerpen ini ditunjukkan ketika Clara


mendapatkan pesan dari ayahnya yang menggambarkan keadaan di rumah. Hal ini
ditunjukkan oleh:

“Saya ambil HP saya, dan saya dengar pesan Papa: ”Kalau kamu dengar
pesan ini, mudah-mudahan kamu sudah sampai di Hong Kong, Sydney,
atau paling tidak Singapore. Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu,
Monica dan Sinta, telah dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama
juga diperkosa, lantas bunuh diri, melompat dari lantai empat.
Barangkali Papa akan menyusul juga. Papa tidak tahu apakah hidup ini
masih berguna. Rasanya Papa ingin mati saja.””
Masalah (Kembali ke Masa Sekarang): masalah kembali datang di kantor
polisi, tokoh “aku” mempertanyakan kebenaran cerita yang tokoh Clara
sampaikan. Hal ini ditunjukkan oleh:

““Padahal kamu bilang tadi, kamu langsung pingsan setelah … apa itu …
rok kamu dicopot?”

Dia menatapku dengan wajah tak percaya.

”Bagaimana bisa dibuktikan bahwa banyak orang memperkosa kamu?””

Antiklimaks: Cerita kemudian reda ketika tokoh Clara hendak pulang. Namun,
dilarang oleh tokoh “aku”. Hal ini ditunjukkan oleh:

“”Kamu tidur saja di situ. Di luar masih rusuh, toko-toko dibakar, dan
banyak perempuan Cina diperkosa.”

”Tidak, saya mau pulang.”

”Siapa mau mengantar kamu dalam kerusuhan begini. Apa kamu mau
pulang jalan kaki seperti itu? Sedangkan pos polisi saja di mana-mana
dibakar.”

Dia diam saja.

”Tidur di situ,” kutunjuk sebuah bangku panjang, ”besok pagi kamu


boleh pulang.””

Penyelesaian: Penyelesaian dari cerpen ini menggantung. Kita tidak bisa tahu
dengan pasti apa yang akhirnya dilakukan tokoh “aku” pada Clara. Dari semua
petunjuk yang ada, bisa jadi tokoh “aku” juga memperkosa Clara. Penyelesaian ini
ditunjukkan dengan:

“Kulihat dia melangkah ke sana. Dalam cahaya lampu, lekuk tubuhnya


nampak menerawang. Dia sungguh-sungguh cantik dan menarik,
meskipun rambutnya dicat warna merah. Rasanya aku juga ingin
memperkosanya....”
“Tentu saja tentang yang satu ini tidak perlu kulaporkan kepada
pimpinan. Hanya kepadamu aku bisa bercerita dengan jujur, tapi dengan
catatan — semua ini rahasia. Jadi, jangan bilang-bilang.”.

LATAR

Latar yang digunakan dalam cerpen ini adalah tiga latar, yaitu latar tempat, latar
waktu, dan latar suasana.

Latar tempat : Di jalan tol dan di kantor polisi

Di jalan tol

“ Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Di kiri jalan terlihat api
menerangi malam. Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer
per jam. Hanya dalam sepuluh menit saya akan segera tiba di rumah.
Tapi, di ujung itu saya melihat segerombolan orang. Sukar sekali
menghentikan mobil. Apakah saya harus menabraknya? Pejalan kaki
tidak dibenarkan berdiri di tengah jalan tol, tapi saya tidak ingin
menabraknya….” (Seno, 1998)

Di kantor polisi

“Dia menangis lagi. Tanpa air mata. Kemudian pingsan. Kudiamkan saja
dia tergeletak di kursi. Ia hanya mengenakan kain. Seorang Ibu tua yang
rumahnya berada di kampung di tepi jalan tol telah menolongnya. “Dia
terkapar telanjang di tepi jalan,” kata ibu tua itu. Aku sudah melaporkan
soal ini kepada pimpinanku. Lewat telepon dia berteriak, “ (Seno, 1998)

Latar waktu: malam hari

“Saya tancap gas. BMW melaju seperti terbang. Di kiri jalan terlihat api
menerangi malam. Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer
per jam…” (Seno, 1998)

“…Waktu saya membuka mata saya, saya hanya melihat bintang-bintang.


Di tengah semesta yang begini luas, siapa yang peduli kepada nasib
saya? Saya masih terkapar di jalan tol. Angin malam yang basah tertiup
membawa bau sangit…” (Seno, 1998)

Latar suasana

Banyak Sekali suasana yang di lukiskan dalam cerpen ini. Berikut akan di bahas
mengenai suasana dalam cerpen ini.

A. Tegang

“Dia bilang kompleks perumahan sudah dikepung, rumah-rumah tetangga


sudah dijarah dan dibakar. Papa, Mama, Monica, dan Shinta, adik-adikku,
terjebak di dalam rumah dan tidak bisa ke mana-mana.” (Seno, 1998)

B. Sepi

“Jalan tol itu sepi, BMW terbang sampai 120 kilometer per jam. Hanya
dalam sepuluh menit saya akan segera tiba di rumah.”

C. Ketakutan

“Saya orang Indonesia,’ kata saya dengan gemetar.”

D. Sedih

“Wanita itu menangis. Mestinya aku terharu. Mestinya. Setidaknya aku bisa
terharu kalau membaca roman picisan yang dijual di pinggir jalan.”

E. Mengharukan

“ Luka hati saya, apakah harus saya bawa sampai mati? Siapakah kiranya
yang akan membela kami? Benarkah kami dilahirkan hanya untuk dibenci?”

F. Duka

“Tabahkanlah hatimu Clara. Kedua adikmu, Monica dan Shinta, telah


dilempar ke dalam api setelah diperkosa. Mama juga diperkosa, lantas bunuh
diri, melompat dari lantai empat.”

G. Kemarahan
“Di matanya kemarahan terpancar sekejap. Bahwa dia punya nyali untuk
bercerita, memang menunjukkan dia wanita yang tegar.”

SUDUT PANDANG

Sudut pandang yang penulis gunakan dalam cerita ini yaitu menggunakan sudut
pandang orang pertama sampingan dan sudut pertama orang tokoh utama. Hal ini
dikarenakan tokoh “aku” dalam cerita ini menceritakan kembali kejadian yang
dialami Clara, namun peran tokoh “aku” dalam cerpen tidak sebagai pelaku
utama. Kemudian tokoh “aku” di dalam cerpen ini berperan sebagai pembuat
laporan. Hal ini ditunjukkan dengan kalimat:

“Barangkali aku seorang anjing. Barangkali aku seorang babi*) – tapi


aku memakai seragam. Kau tidak akan pernah tahu siapa diriku
sebenarnya.

Di hadapanku duduk wanita itu. Rambutnya dicat merah. Coklat


sebetulnya. Tapi orang-orang menyebutnya merah. Padahal merah punya
arti lain bagiku. Sudah bertahun-tahun aku dicekoki pikiran bahwa
orang-orang merah adalah orang-orang yang berbahaya.”

Kemudian sudut pandang dari tokoh Clara digambarkan menggunakan kata ganti
saya yang ditujukan dalam:

“Saya memang sering ke luar negeri belakangan ini. Pontang-panting


mengurusi perusahaan...,”

GAYA BAHASA

Di dalam cerpen ini, terdapat beberapa majas yang digunakan oleh penulis.
Berikut akan penulis jelaskan.

1. Majas Retorik

Gaya bahasa penegasan dengan menggunakan kalimat tanya yang tidak


memerlukan jawaban karena jawabannya sudah diketahui. Majas retorik termasuk
ke dalam jenis majas penegasan.
Contoh dalam cerpen:

“…Aduh, benarkah sebegitu bencinya orang-orang ini kepada


Cina? Saya memang keturunan Cina, tapi apa salah saya dengan lahir
sebagai Cina?”

2. Majas Personifikasi

Majas ini membandingkan atau memberikan sifat manusia atau hewan kepada
benda mati. Majas personifikasi termasuk ke dalam jenis majas perbandingan.

Contoh dalam cerpen Clara:

“Kata-kata bertebaran tak terangkai sehingga aku harus


menyambung-nyambungnya sendiri”

3. Majas Asosiasi

Majas asosiasi merupakan perbandingan dua hal yang pada hakikatnya


berbeda, tetapi sengaja dianggap sama. Majas ini ditandai dengan penggunaan
kata bagai, bagaikan, seumpama, seperti, dan laksana. Majas ini termasuk ke
dalam jenis majas perbandingan.

Contoh dalam cerpen Clara:

“Tapi kenapa saya harus lari sekarang, sementara keluarga saya


terjebak seperti tikus di rumahnya sendiri?”

4. Majas Repetisi

Majas repetisi merupakan pengulangan kata-kata sebagai penegasan.

Contoh dalam cerpen Clara:

“… Jangan terlalu cepat percaya kepada perasaan. Perasaan bisa


menipu. Perasaan itu subjektif …”

“…Sedangkan aku bukan subjek di sini. Aku Cuma alat. Aku


Cuma robot…”
AMANAT

Dalam cerpen Clara, Seno Gumira Ajidarma ingin menyampaikan beberapa pesan
kepada pembacanya. Di antaranya adalah:

1) Bersikap waspada terhadap orang baru yang dikenal.


2) Bersikap jujur dan tidak pandang bulu dalam setiap situasi dan pekerjaan.
3) Tidak mengubah atau memalsukan fakta yang ada.
4) Menghargai perbedaan di sekitar kita.
5) Menyadari bahwa semua manusia sama dan tidak ada yang pantas untuk
dibedakan berdasarkan keturunan atau latar belakang.

Anda mungkin juga menyukai