ABSTRAK
Tujuan analisis cerpen yang berjudul Siapa yang Membakar Masjid? Karya
Syarifah Lestari ini adalah menggambarkan pandangan masyarakat dalam
cerpen tersebut dengan metode kuantitatif dan aspek yang dianalisis adalah
aspek sosiologi. Analisis dalam cerpen ini adalah meliputi tokoh dan penokohan,
status sosial, perilaku sehari-hari, sudut pandang masyarakat, dan peristiwa yang
terjadi. Tokoh utama dalam cerpen ini adalah Pak Badru dan Febrian. Status
sosial di cerpen ini muncul dari segi usia, ekonomi, dan norma dalam
masyarakat. Konflik dalam cerpen ini adalah saling tuduh antar kaum muda dan
golongan tua.
ABSTRACT
The purpose of the analysis of the short story entitled Siapa yang Membakar
Masjid? Syarifah Lestari's work is to describe the views of the community in the
short story with quantitative methods and the aspects analyzed are sociological
aspects. The analysis in this short story includes characters and
characterizations, social status, daily behavior, people's perspectives, and
events that occur. The main characters in this short story are Pak Badru and
Febrian. The social status in this short story appears in terms of age, economy,
and norms in society. The conflict in this short story is mutual accusations
between the easy and the old.
1
LATAR BELAKANG
RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas, ada sebuah pertanyaan yang penulis rumuskan mengenai
cerpen Siapa yang Membakar Masjid? Apa aspek sosiologi dalam cerpen Siapa
yang Membakar Masjid?
LANDASAN TEORI
Cerpen adalah singkatan dari cerita pendek. Sesuai namanya, konflik dalam
cerpen tergolong pendek dan akan habis dalam satu kali duduk. Konflik yang
disajikan dalam dalam cerpen hanya membahas satu masalah dan akan habis.
Cerpen dapat menunjukkan permasalah manusia dengan liku-liku
kehidupannya. Menurut Nurgiantoro (dalam Mansyur, 2018) menjelaskan
2
bahwa, karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba
ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang kurang penting yang lebih
bersifat memperpanjang cerita.
3
tertentu. Gejala sosial merupakan suatu fenomena gejala-gejala yang ada
didalam kehidupan bermasyarakat ini terjadi secara spontan dan pada umumnya
menimbulkan perubahan-perubahan, baik itu perubahan yang mengarah pada
sesuatu yang positif maupun negativ. Contoh dari gejala sosial adalah masalah
yang terjadi dalam masyarakat contohnya kemiskinan. kemudian norma sosial
adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok
masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma-norma biasanya didalam
masyarakat dinyatakan dalam bentuk-bentuk kebiasaan, tata kelakuan dan adat
istiadat atau hukum adat. Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan
sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia,
menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan. Hukum memiliki
tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian hokum dalam masyarakat
(Purnamasari, 2017)
4
berumur hal ini ditunjukkan pada penggalan “Seorang pensiunan mengumpat-
umpat. Telunjuknya menuding ke beberapa muka, tapi orang-orang yang ia
tuding tak merespons. Mereka pulang begitu saja. Menutup pintu, sebagian
tidur lagi. Sebagian berdangdut ria....,” seorang pensiun sudah pasti berumur
lebih separuh abad. Kemudian Febrian seorang pemuda, tidak diketahui usia
pastinya tapi bisa dikatakan bahwa usia keduanya sangat terpaut jauh. Pekerjaan
mereka juga berbeda, Pak Badru yang seorang pensiunan tentu memiliki waktu
yang banyak untuk mengurus masjid, hal ini juga sama dengan Febrian tetapi
perbedaannya adalah Febrian tidak diketahui pekerjaan pastinya. Namun,
keduanya memiliki waktu yang lama untuk bisa mengurus masjid. Jika berbicara
tentang intelektual, kedua karakter yang masing-masing berkonflik ini memiliki
kecerdasan beragama yang tidak terlalu jauh. Hal ini terlihat dari tokoh Febrian
yang sering menjadi imam dan azan di masjid sebelum “diusir” Pak Badru dan
golongan tua dari masjid.
kaum tua yang sudah lama menjadi pengurus masjid kesal dengan tingkah
Febrian yang tidak mau menjadi penerus pengurus masjid, Febrian sebenarnya
hendak menjadi pengurus tapi tidaklah gratis itu semua ada harganya. Perbedaan
sudut pandang inilah yang menjadi topik utama dalam cerpen Siapa yang
Membakar Masjid?
“Kami ini sudah tua, kami butuh penerus. Kami senang Febrian rajin ke masjid.
Jadi kami minta dia jadi pengurus, sudah lama kami tak punya remaja masjid.
Tapi anak itu tidak mau. Dia mau mengajar anak-anak kecil mengaji tapi minta
digaji, padahal dana masjid sudah kami pakai membangun. Orang-orang yang
mampir kan ingin kamar mandi yang bersih, ruangan yang sejuk, jadi infak
mereka kami jadikan fasilitas. Begitu pun caleg-caleg yang datang,
sumbangannya ya untuk keindahan masjid itu.”
Pak Badru selaku ketua masjid tapi memiliki sifat meledak-ledak dan
keras kepala menuduh Febrian yang membakar masjid. Sifat Pak Baru ini
dituliskan dalam penggalan narasi “…. orang-orang tak mengakui ia sebagai
5
perwakilan dari warga sekitar masjid. Ditambah tabiat Pak Badru yang
meledak-ledak, berbanding terbalik dengan Febrian yang tenang....,” tentu hal
ini sangat bertentangan dengan sosial masyarakat yang mendukung Febrian.
Masyarakat yang mendukung Febrian merasa bukan Febrian yang membakar
masjid, Febrian yang dikenal sebagai anak muda yang alim dan sering datang ke
masjid tentu tidak memiliki alasan untuk membakar masjid Istimewa itu. Pak
Badru menuduh Febrian membakar masjid karena merasa Febrian dendam
kepada kaum tua karena tidak diizikan azan dan menjadi imam salat lagi. Atas
dasar itulah Pak Badru melaporkan Febrian.
“Kapan puing-puing itu dibereskan? Aku sudah tidak sabar main bola di sana.”
Febrian dan teman-temannya duduk melingkar, tak jauh dari sisa Masjid
Istimewa.
“Kita mengaku saja semua, biar kasusnya selesai, jadi garis polisi itu bisa
cepat disingkirkan,” saran salah seorang dari mereka, disambut derai tawa
yang lain.
Terlihat dengan jelas bukan kalau tokoh Febrian yang digambarkan sebagai
pemuda yang alim itu ternyatalah yang membakar masjid, tetapi keluarga dan
masyarakat sekitar tetap mendukung Febrian karena sifatnya. Sudut pandang
masyarakat sekitar Masjid Istimewa ditunjukkan terhadap Pak Badru di akhir
Cerpen ini.
“Dia yang imam, yang azan, yang urusi uang, yang undang khatib. Kami mana
tahu apa-apa.”
“Cuma masjid dan rumahnya yang layak pandang di sini, pasti dia yang
bakar.”
6
“Saya bahkan belum pernah masuk masjid itu, takut kotor.”
“Si Badru itu yang tiap hari koar-koar dari toa masjid. Dia yang punya, kami
tidak punya masjid.”
“Anak kami belajar mengaji di tempat lain, suami kami bosan dengan ayatnya
yang itu-itu saja. Sampai-sampai kami lupa ada masjid di sini. Pasti dia yang
bakar, untuk mencari perhatian.”
7
KESIMPULAN
Pada akhir cerita ini, masyarakat menganggap Pak Badru yang membakar
masjid, tuduhan ini sebenarnya tidak ada bukti yang konkret, hanya berdasarkan
ketidaksukaan masyarakat sekitar dengan sifat Pak Badru, padahal sudah jelas
yang membakar Masjid Istimewa adalah Febrian tapi karena sifatnya masyarakat
mala membelanya. Jika menarik kesimpulan, maka bisa disimpulkan bahwa
tokoh Febrian yang membakar Masjid itu secara harfiah tapi tokoh Pak Badru
membakar masjid itu secara kiasan. Pak Badru membakar masjid dengan cara
membuat orang-orang tidak nyaman berada di masjid. Dalam masyarakat kita
sekarang hal ini, orang dengan sifat alim dan dapat menutupi keburukannya
tentu dapat menarik simpati masyarakat, tentu berbeda dengan orang yang
bersifat temperamental dan pemarah akan sedikit memiliki pengikut. Aspek
sosiologi tampak jelas dari masalah dan perbedaan budaya masyarakat yang di
angkat dalam cerpen ini.
8
DAFTAR PUSTAKA
9
Tri. (2021). Perbedaan Sosial: Definisi, Ciri, Hingga Wujudnya. Velo Life.
Diakses tanggal April 26, 2022,
https://id-velopedia.velo.com/perbedaan-sosial-definisi-ciri-hingga-
wujudnya/#:~:text=Perbedaan%20sosial%20adalah%20pembagian
%20masyarakat,bukan%20secara%20vertikal%20atau%20bertingkat.
Purnamasari, A., Hudiyono, Y., & Rijal, S. (2017). Analisis Sosiologi Sastra
Dalam Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari. Ilmu Budaya: Jurnal
Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya, 1(2).
LAMPIRAN
***
10
Pagi datang seperti biasa, sampai kemudian kerumunan pengguna jalan
memadati sisa-sisa Masjid Istimewa. Warga setempat justru tak nampak. Hanya
Pak Badru seorang, yang pada subuh tadi meneriaki siapa saja yang ia jumpai.
Pak Badru tengah mendampingi polisi yang memasang garis kuning guna
menghalau orang-orang yang penasaran. Ternyata ialah imam masjid yang
terbakar itu.
“Kapan terjadinya?”
“Apa sebabnya?”
“Itu yang mana warga, mana orang luar, Pak?” tanya Pak Polisi yang di
dadanya tertulis Sarman.
11
“Jadi waktu kebakaran Bapak ada di mana?” Sarman kembali pada Pak
Badru.
“Ya di masjid, Pak. Saya yang bolak-balik ambil air untuk menyiram,”
terbersit kebanggaan pada nada bicaranya.
“Tidak perlu, Pak. Saya tahu siapa pelakunya. Masjid ini sengaja
dibakar!” kali ini Pak Badru berapi-api.
***
Ayah dan Ibu Febrian tidak tinggal diam, mereka memanggil para
tetangga untuk melindungi anak laki-laki semata wayang itu. Adu argumentasi
terjadi, tapi tak sampai adu jotos. Berakhir dengan dibawanya Febrian, dan janji
warga untuk mengembalikan anak itu hidup-hidup pada keluarganya.
12
Seperginya polisi, warga dan keluarga besar Febrian berembuk. Mereka
berencana menggalang dana untuk membayar pengacara terbaik di kota.
Beberapa orang yang sepertinya agak berpihak pada Pak Badru, diusir menjauh.
Apalagi masjid bukan milik perorangan, membuat kasus itu kian runyam.
Ketika Pak Badru memosisikan diri sebagai pelapor, orang-orang tak mengakui
ia sebagai perwakilan dari warga sekitar masjid. Ditambah tabiat Pak Badru
yang meledak-ledak, berbanding terbalik dengan Febrian yang tenang.
“Kita diamkan sajalah kasus ini, nanti lama-lama orang juga lupa,” kata
Sarman pada rekannya.
“Aku sudah mencari saksi, tidak ada warga yang mau. Malah yang lebih
konyol lagi, ada di antara mereka yang bilang tak tahu ada masjid di situ. Sinting
semua!” ujar Sarman kesal.
***
13
“Sepertinya bukan Subuh, Pak,” jawab Pak Badru. “Mungkin sebelum
itu.”
“Febrian itu tidak suka pada kami, orang-orang tua ini.” Ucapan Pak
Badru diamini teman-temannya yang segera mengangguk-angguk setuju.
“Karena saya imam masjid, makanya saya malam itu jadi pemimpin
tahlil. Itu sebabnya saya tidak salat di masjid,” suara Pak Badru tak kalah keras.
“Ini, rumah Bapak ini!” Pak Badru menunjuk salah satu temannya.
14
Yang ditunjuk mengangguk sekali.
“Febrian yang azan,” jawab salah seorang teman Pak Badru langsung.
“Sudah, bilang saja tidak tahu. Yang jelas ada ya si Febrian,” yang lain
menimpali.
Polisi itu diam. Jarinya menjauh dari papan ketik. Ia menghela napas
sambil memandangi satu per satu wajah tua di depannya.
“Iya, Pak?”
“Bukan begitu, Nak.” Salah seorang yang paling tua maju. Agak lebih
lunak dari teman-temannya. Posisi duduknya menggantikan Pak Badru. “Kami
ini sudah lama jadi pengurus masjid, kami lakukan apa saja untuk membuat
masjid itu nyaman didatangi. Kami ini pemakmur masjid. Kami menggalang
dana dari mana-mana untuk membangun sampai masjid itu jadi yang paling
megah di wilayah sana.”
15
Dua orang polisi yang kebetulan melintas, sengaja berhenti untuk ikut
menyimak.
“Kami ini sudah tua, kami butuh penerus. Kami senang Febrian rajin ke
masjid. Jadi kami minta dia jadi pengurus, sudah lama kami tak punya remaja
masjid. Tapi anak itu tidak mau. Dia mau mengajar anak-anak kecil mengaji tapi
minta digaji, padahal dana masjid sudah kami pakai membangun. Orang-orang
yang mampir kan ingin kamar mandi yang bersih, ruangan yang sejuk, jadi infak
mereka kami jadikan fasilitas. Begitu pun caleg-caleg yang datang,
sumbangannya ya untuk keindahan masjid itu.”
“Si Febrian kami suruh ajak kawan-kawannya ke masjid, dia minta dana
lagi. Katanya untuk para pengangguran dan orang miskin. Apa hubungannya
dengan masjid? Kalau mereka kami beri uang, ya pasti makin malas. Sebagai
bentuk kecewa kami padanya, Febrian tak kami beri kesempatan untuk azan,
apalagi imam, selama di antara kami ada yang datang. Hanya setiap malam
Jumat, waktu Isya dia bisa jadi imam, karena kami tahlilan semua. Hanya waktu
Zuhur dan Asar dia bisa azan, karena biasanya di antara kami sedang tak sempat
ke masjid. Itulah barangkali sebab ia nekat membakar masjid, lantaran sakit
hati.”
***
16
“Kapan puing-puing itu dibereskan? Aku sudah tidak sabar main bola di
sana.” Febrian dan teman-temannya duduk melingkar, tak jauh dari sisa Masjid
Istimewa.
“Kita mengaku saja semua, biar kasusnya selesai, jadi garis polisi itu bisa
cepat disingkirkan,” saran salah seorang dari mereka, disambut derai tawa yang
lain.
“Bakar lagi!” lima remaja lain menjawab serentak. Lalu tawa lagi dan
lagi.
Surat itu berisi undangan dari Pak Lurah dan polisi yang hendak
mengumpulkan warga di aula kantor lurah nanti malam. Sama dengan dua surat
sebelumnya, hanya diganti tanggal pelaksanaan.
Selagi pegawai itu menyambangi satu per satu rumah, seseorang dengan
kalung pers di lehernya mendatangi Febrian dan teman-temannya.
17
didatangi pegawai kantor lurah pembawa surat, kini malah mendatangi Febrian
dan wartawan yang bersamanya.
Belum lagi pertanyaan wartawan itu dijawab. Pak Badru membuka pintu
rumahnya karena mendengar keramaian. Pandangannya berserobok dengan
tatapan Wartawan Harian Ramai.
Merasa ada yang janggal, Pak Badru mendekat pada wartawan itu.
Sebelum ia sampai, perlahan tapi pasti, satu per satu warga yang berkumpul
pergi meninggalkan sang wartawan, sambil berbisik dan bergumam memberi
petunjuk.
“Dia yang imam, yang azan, yang urusi uang, yang undang khatib. Kami
mana tahu apa-apa.”
“Cuma masjid dan rumahnya yang layak pandang di sini, pasti dia yang
bakar.”
“Si Badru itu yang tiap hari koar-koar dari toa masjid. Dia yang punya,
kami tidak punya masjid.”
18
“Anak kami belajar mengaji di tempat lain, suami kami bosan dengan
ayatnya yang itu-itu saja. Sampai-sampai kami lupa ada masjid di sini. Pasti dia
yang bakar, untuk mencari perhatian.”
Pak Badru makin dekat, orang-orang makin jauh. Febrian yang terakhir
meninggalkan wartawan bingung itu.
19