Anda di halaman 1dari 19

Analisis Teori Sastra Sosiologi dalam Cerpen

Siapa yang Membakar Masjid?

Royan Bagus Alexander/06021282126034/Indralaya

ABSTRAK

Tujuan analisis cerpen yang berjudul Siapa yang Membakar Masjid? Karya
Syarifah Lestari ini adalah menggambarkan pandangan masyarakat dalam
cerpen tersebut dengan metode kuantitatif dan aspek yang dianalisis adalah
aspek sosiologi. Analisis dalam cerpen ini adalah meliputi tokoh dan penokohan,
status sosial, perilaku sehari-hari, sudut pandang masyarakat, dan peristiwa yang
terjadi. Tokoh utama dalam cerpen ini adalah Pak Badru dan Febrian. Status
sosial di cerpen ini muncul dari segi usia, ekonomi, dan norma dalam
masyarakat. Konflik dalam cerpen ini adalah saling tuduh antar kaum muda dan
golongan tua.

Kata Kunci: Sosiologi, Masyarakat, Konflik

ABSTRACT

The purpose of the analysis of the short story entitled Siapa yang Membakar
Masjid? Syarifah Lestari's work is to describe the views of the community in the
short story with quantitative methods and the aspects analyzed are sociological
aspects. The analysis in this short story includes characters and
characterizations, social status, daily behavior, people's perspectives, and
events that occur. The main characters in this short story are Pak Badru and
Febrian. The social status in this short story appears in terms of age, economy,
and norms in society. The conflict in this short story is mutual accusations
between the easy and the old.

Keywords: Sociology, Society, Conflict

1
LATAR BELAKANG

Sebuah cerpen yang melukiskan gambaran sekelompok masyarkat yang


mengaku paling agamamis melawan masyarakat yang tidak suka dengan sifat
salahnsatu karakter, sukses dituliskan dengan sangat baik Syarifah Lestari.
Cerpen yang mengangkat tema sedikit sensitif ini menyajikan alur maju yang
sederhana untuk dibaca. Tema inilah yang menjadi salah satu keunggulan cerpen
karya Syarifah Lestari ini. Perbedaan sudut pandang masyarakat juga disajikaan
dengan terasa sangat nyata dan mengalir begitu saja. Namun, akhir cerpen ini
memberikan kita sebuah teka-teki tentang kebenaran yang ada di masyarakat.
Dari semua aspek yang disebutkan di atas, tentu cerpen ini layak untuk dibahas
serta dianalisis lebih lanjut menggunakan teori sastra sosiologi.

RUMUSAN MASALAH

Dari uraian di atas, ada sebuah pertanyaan yang penulis rumuskan mengenai
cerpen Siapa yang Membakar Masjid? Apa aspek sosiologi dalam cerpen Siapa
yang Membakar Masjid?

LANDASAN TEORI
Cerpen adalah singkatan dari cerita pendek. Sesuai namanya, konflik dalam
cerpen tergolong pendek dan akan habis dalam satu kali duduk. Konflik yang
disajikan dalam dalam cerpen hanya membahas satu masalah dan akan habis.
Cerpen dapat menunjukkan permasalah manusia dengan liku-liku
kehidupannya. Menurut Nurgiantoro (dalam Mansyur, 2018) menjelaskan

2
bahwa, karena bentuknya yang pendek, cerpen menuntut penceritaan yang serba
ringkas, tidak sampai pada detil-detil khusus yang kurang penting yang lebih
bersifat memperpanjang cerita.

Pendekatan Sosiologi Sastra menurut Supardi Djoko Damono (dalam


Murpratama, 2012), sosiologi sastra adalah ilmu yang membahas hubungan
antara pengarang, masyarakat dan karya sastra. Selanjutnya, ia menjelaskan
bahwa melalui sosiologi sastra kita dapat menganalisis apakah latar belakang
sosial pengarang menentukan isi karangan dan apakah dalam karya-karyanya
pengarang mewakili golongannya (Damono, 1987b: 14). Karya sastra
merupakan potret kehidupan masyarakat dan kenyataan sosial pada zamannya.
Pendekatan terhadap sebuah fenomena yang mempertimbangkan segi-segi
kemasyarakatan disebut sosiologi. Sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap
sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan
Aspek sosial adalah suatu tindakan sosial yang digunakan untuk menghadapi
masalah sosial. Masalah sosial ini timbul sebagai akibat dari hubungannya
dengan sesama manusia lainnya dan akibat tingkah lakunya. Masalah sosial ini
tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain karena
adanya perbedaan dalam tingkat perkembangan dan kebudayaannya, sifat
kependudukannya, dan keadaan lingkungan alamnya
Fakta sosial hakikatnya adalah mempengaruhi tindakan manusia. Tindakan
individu yang merupakan hasil proses pendefinisian realitas sosial serta Fakt
sosial hakikatnya adalah mempengaruhi tindakan manusia. Tindakan individu
yang merupakan hasil proses pendefinisian realitas sosial serta bagaimana orang
mendefinisikan situasi, asumsi yang mendasari bahwa manusia adalah makhluk
yang kreatif dalam membangun dunia dan sosialnya sendiri. Menurut Durkhiem
fakta sosial adalah cara bertindak, berpikir, serta berperasaan yang berda di luar
individu dan mempunyai kekuatan memaksa . Fakta terdiri dari kenyataan yang
disusun oleh suatu materi-materi yang saling berhubungan dalam bentuk
interaksi antar manusia, jadi sifatnya independen dan subjektifitas manusia.
Gejala sosial menggambarkan sesuatu yang mempengaruhi atau dipengaruhi
oleh perilaku makhluk disekitar masyarakat. Cara kita melakukan hal-hal

3
tertentu. Gejala sosial merupakan suatu fenomena gejala-gejala yang ada
didalam kehidupan bermasyarakat ini terjadi secara spontan dan pada umumnya
menimbulkan perubahan-perubahan, baik itu perubahan yang mengarah pada
sesuatu yang positif maupun negativ. Contoh dari gejala sosial adalah masalah
yang terjadi dalam masyarakat contohnya kemiskinan. kemudian norma sosial
adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu kelompok
masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma-norma biasanya didalam
masyarakat dinyatakan dalam bentuk-bentuk kebiasaan, tata kelakuan dan adat
istiadat atau hukum adat. Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan
sanksi yang dibuat dengan tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia,
menjaga ketertiban, keadilan, mencegah terjadinya kekacauan. Hukum memiliki
tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian hokum dalam masyarakat
(Purnamasari, 2017)

HASIL DAN PEMBAHASAN


Cerpen yang berjudul Siapa yang Membakar Masjid? Karya Syarifah Lestari
ini menceritakan pertentangan sosial antara kaum pemuda dan golongan tua.
Dengan masing-masing kaum itu memiliki alasan untuk saling tuduh tentang
siapa pelaku pembakaran masjid. Cerpen ini mengisahkan tokoh Febrian dan
Pak Badru, Febrian yang mewakili kaum pemuda dan Pak Baru dari golongan
tua pengurus masjid kemudian ada tokoh polisi yang bernama Salman yang
mengurus kasus kebakaran itu. Cerpen ini menyajikan alur maju dengan latar di
masjid Istimewa yang terletak di pinggir jalan raya dan juga berlatar tempat di
kantor polisi saat pemeriksaan, latar waktu yang digunakan dalam cerpen ini
adalah saat salat subuh ketika api membakar masjid.

Cerpen ini menceritakan perbedaan sosial di dalam masyarakat dari sudut


penganut agama. Perbedaan sosial adalah pembagian masyarakat ke dalam
golongan atau kelompok-kelompok tertentu berdasarkan perbedaan-perbedaan
secara horizontal, bukan secara vertikal atau bertingkat. Ciri budaya menjadi
suatu permasalahan utama dalam cerpen ini. Wujud perbedaan sosial dapat
terlihat dari perbedaan umur setiap tokoh yang berkonflik, profesi, dan
intelektual. Dilihat dari perbedaan umur, Pak Baru adalah seorang yang sudah

4
berumur hal ini ditunjukkan pada penggalan “Seorang pensiunan mengumpat-
umpat. Telunjuknya menuding ke beberapa muka, tapi orang-orang yang ia
tuding tak merespons. Mereka pulang begitu saja. Menutup pintu, sebagian
tidur lagi. Sebagian berdangdut ria....,” seorang pensiun sudah pasti berumur
lebih separuh abad. Kemudian Febrian seorang pemuda, tidak diketahui usia
pastinya tapi bisa dikatakan bahwa usia keduanya sangat terpaut jauh. Pekerjaan
mereka juga berbeda, Pak Badru yang seorang pensiunan tentu memiliki waktu
yang banyak untuk mengurus masjid, hal ini juga sama dengan Febrian tetapi
perbedaannya adalah Febrian tidak diketahui pekerjaan pastinya. Namun,
keduanya memiliki waktu yang lama untuk bisa mengurus masjid. Jika berbicara
tentang intelektual, kedua karakter yang masing-masing berkonflik ini memiliki
kecerdasan beragama yang tidak terlalu jauh. Hal ini terlihat dari tokoh Febrian
yang sering menjadi imam dan azan di masjid sebelum “diusir” Pak Badru dan
golongan tua dari masjid.

kaum tua yang sudah lama menjadi pengurus masjid kesal dengan tingkah
Febrian yang tidak mau menjadi penerus pengurus masjid, Febrian sebenarnya
hendak menjadi pengurus tapi tidaklah gratis itu semua ada harganya. Perbedaan
sudut pandang inilah yang menjadi topik utama dalam cerpen Siapa yang
Membakar Masjid?

Perbedaan sudut pandang dan kekecewaan golongan tua kepada Febrian


dituliskan dalam dialog berikut ini

“Kami ini sudah tua, kami butuh penerus. Kami senang Febrian rajin ke masjid.
Jadi kami minta dia jadi pengurus, sudah lama kami tak punya remaja masjid.
Tapi anak itu tidak mau. Dia mau mengajar anak-anak kecil mengaji tapi minta
digaji, padahal dana masjid sudah kami pakai membangun. Orang-orang yang
mampir kan ingin kamar mandi yang bersih, ruangan yang sejuk, jadi infak
mereka kami jadikan fasilitas. Begitu pun caleg-caleg yang datang,
sumbangannya ya untuk keindahan masjid itu.”

Pak Badru selaku ketua masjid tapi memiliki sifat meledak-ledak dan
keras kepala menuduh Febrian yang membakar masjid. Sifat Pak Baru ini
dituliskan dalam penggalan narasi “…. orang-orang tak mengakui ia sebagai

5
perwakilan dari warga sekitar masjid. Ditambah tabiat Pak Badru yang
meledak-ledak, berbanding terbalik dengan Febrian yang tenang....,” tentu hal
ini sangat bertentangan dengan sosial masyarakat yang mendukung Febrian.
Masyarakat yang mendukung Febrian merasa bukan Febrian yang membakar
masjid, Febrian yang dikenal sebagai anak muda yang alim dan sering datang ke
masjid tentu tidak memiliki alasan untuk membakar masjid Istimewa itu. Pak
Badru menuduh Febrian membakar masjid karena merasa Febrian dendam
kepada kaum tua karena tidak diizikan azan dan menjadi imam salat lagi. Atas
dasar itulah Pak Badru melaporkan Febrian.

Pemeriksaan oleh polisi dilakukan di kantor, setelah interogasi yang panjang


dan berputar-putar akhirnya polisi lebih mengusulkan bahwa kasus ini diakhiri
dengan cara kekeluargaan karena masjid ini bukan diklaim atas nama seorang
saja tapi masyarakat sekitar.

Pagi penggalan cerpen ini diketahui akhirnya pelaku pembakaran masjid


ternyata adalah Febrian dan teman-temannya.

“Kapan puing-puing itu dibereskan? Aku sudah tidak sabar main bola di sana.”
Febrian dan teman-temannya duduk melingkar, tak jauh dari sisa Masjid
Istimewa.

“Kita mengaku saja semua, biar kasusnya selesai, jadi garis polisi itu bisa
cepat disingkirkan,” saran salah seorang dari mereka, disambut derai tawa
yang lain.

Terlihat dengan jelas bukan kalau tokoh Febrian yang digambarkan sebagai
pemuda yang alim itu ternyatalah yang membakar masjid, tetapi keluarga dan
masyarakat sekitar tetap mendukung Febrian karena sifatnya. Sudut pandang
masyarakat sekitar Masjid Istimewa ditunjukkan terhadap Pak Badru di akhir
Cerpen ini.

“Dia yang imam, yang azan, yang urusi uang, yang undang khatib. Kami mana
tahu apa-apa.”

“Cuma masjid dan rumahnya yang layak pandang di sini, pasti dia yang
bakar.”

6
“Saya bahkan belum pernah masuk masjid itu, takut kotor.”

“Si Badru itu yang tiap hari koar-koar dari toa masjid. Dia yang punya, kami
tidak punya masjid.”

“Anak kami belajar mengaji di tempat lain, suami kami bosan dengan ayatnya
yang itu-itu saja. Sampai-sampai kami lupa ada masjid di sini. Pasti dia yang
bakar, untuk mencari perhatian.”

Manusia selalu menghasilkan budaya karena manusia dikaruniai akal untuk


berpikir dalam rangka memperbaiki taraf hidupnya. Hal tersebut yang
membedakan hewan dan manusia. Hewan cenderung bersifat statis (menetap),
sedangkan manusia selalu berubah (dinamis). Sementara itu, terdapat faktor
yang memengaruhi perbedaan budaya masyarakat Indonesia. Faktor-faktor itu
berupa lokasi tempat tinggal, perbedaan agama/keyakinan. Cerpen ini
memfokuskan pada perbedaan keyakinan, padahal tokoh Pak Badru dan Febrian
sama-sama beragama Islam tapi memiliki perbedaan dalam mengurus masjid.
Masyarakat tidak menyukai Pak Badru, sehari Pak Badru hanya memikirkan
masjid tanpa memikirkan masyarakat yang harusnya menjadi jamaah masjid.
Dia sibuk memperbagus masjid tanpa memperbagus akhlaknya, tentu hal
membuat masyarakat tidak suka terhadap Pak Baru dan pengikutnya.

Masalah sosial adalah proses ketidaksesuaian antara unsur-unsur kebudayaan


masyarakat yang membahayakan kehidupan kelompok sosial. Dapat dikatakan
bahwa masalah sosial menyebabkan terjadinya hambatan dalam pemenuhan
kebutuhan masyarakat, seperti dikutip dari Sosiologi: Suatu Pengantar oleh
Soerjono Soekanto. Masalah yang dihadapi di cerpen ini adalah perbedaan sudut
pandang masyarakat dalam menuduh siapa yang membakar masjid. Aspek sosial
yang dibahas adalah tindakan setiap karakter dalam hidupnya, tindakan sosial
inilah yang pada akhirnya menimbulkan gejala sosial dalam masyarakat.
Masyarakat terbagi menjadi kelompok dalam cerpen ini, semua merasa benar
dengan perspektif masing-masing. Dampak dari masalah sosial dari cerita itu
adalah perpecahan yang terjadi di tengah masyarakat.

7
KESIMPULAN
Pada akhir cerita ini, masyarakat menganggap Pak Badru yang membakar
masjid, tuduhan ini sebenarnya tidak ada bukti yang konkret, hanya berdasarkan
ketidaksukaan masyarakat sekitar dengan sifat Pak Badru, padahal sudah jelas
yang membakar Masjid Istimewa adalah Febrian tapi karena sifatnya masyarakat
mala membelanya. Jika menarik kesimpulan, maka bisa disimpulkan bahwa
tokoh Febrian yang membakar Masjid itu secara harfiah tapi tokoh Pak Badru
membakar masjid itu secara kiasan. Pak Badru membakar masjid dengan cara
membuat orang-orang tidak nyaman berada di masjid. Dalam masyarakat kita
sekarang hal ini, orang dengan sifat alim dan dapat menutupi keburukannya
tentu dapat menarik simpati masyarakat, tentu berbeda dengan orang yang
bersifat temperamental dan pemarah akan sedikit memiliki pengikut. Aspek
sosiologi tampak jelas dari masalah dan perbedaan budaya masyarakat yang di
angkat dalam cerpen ini.

8
DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi. 2002. pedoman penelitian sastra. Jakarta: Depdiknas.

Mansyur, U. (2018). Pemanfaatan Nilai Kejujuran Dalam Cerpen Sebagai Bahan


Ajar Berbasis Pendidikan Karakter.

Murpratama, D. A. (2012). Aspek Sosial dalam Novel Pusaran Arus Waktu


Karya Gola Gong: Tinjauan Sosiologi Sastra dan Implementasinya
dalam Pembelajaran Sastra di SMA (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Surakrta).

Damono, Sapardi Djoko. 1987a. Sosiologi Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:


Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.————————-.
1987b. “Catatan Kecil tentang Aspek Rekreatif sastra Populer”.
Makalah. Yogyakarta.

Syafillah, D. (2021). Faktor-faktor yang Memengaruhi Perbedaan Budaya


Masyarakat Indonesia, Simak Penjelasannya . Tribunnews. Diakses
tanggal April 26, 2022,
https://m.tribunnews.com/amp/pendidikan/2021/12/10/faktor-faktor-
yang-memengaruhi-perbedaan-budaya-masyarakat-indonesia-simak-
penjelasannya?page=4

9
Tri. (2021). Perbedaan Sosial: Definisi, Ciri, Hingga Wujudnya. Velo Life.
Diakses tanggal April 26, 2022,
https://id-velopedia.velo.com/perbedaan-sosial-definisi-ciri-hingga-
wujudnya/#:~:text=Perbedaan%20sosial%20adalah%20pembagian
%20masyarakat,bukan%20secara%20vertikal%20atau%20bertingkat.

Pangesti, R. (2022). Masalah Sosial: Pengertian, Faktor Penyebab, dan


Dampaknya . Detikedu. Diakses April 26, 2022,
https://www.google.com/amp/s/www.detik.com/edu/detikpedia/d-
5969265/masalah-sosial-pengertian-faktor-penyebab-dan-dampaknya/
amp

Purnamasari, A., Hudiyono, Y., & Rijal, S. (2017). Analisis Sosiologi Sastra
Dalam Novel Bekisar Merah Karya Ahmad Tohari. Ilmu Budaya: Jurnal
Bahasa, Sastra, Seni dan Budaya, 1(2).

LAMPIRAN

Siapa yang Membakar Masjid?

Langit merah. Terang di mana-mana, aroma khas dan panas yang


menjalar tak membuat orang-orang itu berteriak. Hanya sebagian kecil dari
mereka yang sibuk dengan upaya tak seberapa. Subuh itu tidak ada azan.

Pemadam kebakaran datang setelah Masjid Istimewa tuntas jadi puing.


Para petugas tertegun menatapi ekspresi datar warga sekitar. Tidak ada yang
berhasil menyelamatkan barang sejumput pun harta masjid. Sepertinya memang
tidak ada yang mengupayakan itu.

Seorang pensiunan mengumpat-umpat. Telunjuknya menuding ke


beberapa muka, tapi orang-orang yang ia tuding tak merespons. Mereka pulang
begitu saja. Menutup pintu, sebagian tidur lagi. Sebagian berdangdut ria.

***

10
Pagi datang seperti biasa, sampai kemudian kerumunan pengguna jalan
memadati sisa-sisa Masjid Istimewa. Warga setempat justru tak nampak. Hanya
Pak Badru seorang, yang pada subuh tadi meneriaki siapa saja yang ia jumpai.
Pak Badru tengah mendampingi polisi yang memasang garis kuning guna
menghalau orang-orang yang penasaran. Ternyata ialah imam masjid yang
terbakar itu.

Masjid Istimewa terletak di jalur alternatif antara dua jalan raya.


Lokasinya strategis, berada di tengah kota yang sepanjang hari dilalui kendaraan
bermotor dan pejalan kaki.

“Kapan terjadinya?”

“Apa sebabnya?”

“Ada korban jiwa tidak?”

Pertanyaan-pertanyaan terlontar entah dari mulut yang mana. Terlalu


banyak yang bertanya, tapi tak satu pun yang menjawab. Demikian pula dengan
Pak Badru.

Seorang polisi yang datang kemudian, setelah berhasil menembus


ratusan orang dan kendaraan yang menutupi tempat kejadian perkara,
menggandeng Pak Badru menuju mobilnya.

“Itu yang mana warga, mana orang luar, Pak?” tanya Pak Polisi yang di
dadanya tertulis Sarman.

“Orang lewat semua, tidak ada warga sini.”

Dahi Sarman mengernyit. Pintu mobil terpaksa ia tutup, beberapa orang


malah mengikuti mereka.

Sebelum kembali mengumpulkan informasi, Sarman memanggil


rekannya, mungkin lebih tepat bawahannya, karena jelas sekali ia memberi
perintah kepada yang dipanggil. Inti dari instruksi Sarman adalah membubarkan
massa yang mengerubungi TKP.

11
“Jadi waktu kebakaran Bapak ada di mana?” Sarman kembali pada Pak
Badru.

“Ya di masjid, Pak. Saya yang bolak-balik ambil air untuk menyiram,”
terbersit kebanggaan pada nada bicaranya.

“Dari awal terbakar Bapak sudah di sana?”

Wajah Pak Badru seketika memerah, seperti saat ia memaki para


tetangganya subuh tadi. “Saya datang terlambat. Api sudah kadung besar,
makanya usaha saya sia-sia.” Ia kesal sekali.

Seseorang mengetuk kaca mobil. Sarman menjeda pembicaraan. “Tim


penyidik sebentar lagi sampai, nanti akan disimpulkan, kebakaran ini apa karena
korsleting listrik, atau hal lain.”

“Tidak perlu, Pak. Saya tahu siapa pelakunya. Masjid ini sengaja
dibakar!” kali ini Pak Badru berapi-api.

Sarman yang semula hendak membuka pintu mobil, memilih menunda


niatnya. “Bapak yakin?” Sarman menatap Pak Badru.

Yang ditanya mengangguk mantap.

***

Lalu dibekuklah Febrian malam itu. Tadinya polisi agak ragu,


penampilan anak muda itu begitu religius. Bercelana cingkrang, berwajah bersih,
dengan janggut yang lebat. Setelah Pak Badru dan beberapa rekannya
meyakinkan, barulah mereka dengan sigap menjemput Febrian dari rumah orang
tuanya.

Ayah dan Ibu Febrian tidak tinggal diam, mereka memanggil para
tetangga untuk melindungi anak laki-laki semata wayang itu. Adu argumentasi
terjadi, tapi tak sampai adu jotos. Berakhir dengan dibawanya Febrian, dan janji
warga untuk mengembalikan anak itu hidup-hidup pada keluarganya.

Pak Badru dan kelompoknya menang sesaat. Ia tak lagi menuding-


nuding, tapi belum tampak kepuasan dari rona parasnya.

12
Seperginya polisi, warga dan keluarga besar Febrian berembuk. Mereka
berencana menggalang dana untuk membayar pengacara terbaik di kota.
Beberapa orang yang sepertinya agak berpihak pada Pak Badru, diusir menjauh.

Berhari-hari koran lokal memberitakan tentang kebakaran di Masjid


Istimewa, titik terang belum juga ditemukan. Karena dianggap kasus yang
sensitif, polisi berinisiatif mengajak warga untuk menyelesaikan kasus tersebut
secara kekeluargaan.

Apalagi masjid bukan milik perorangan, membuat kasus itu kian runyam.
Ketika Pak Badru memosisikan diri sebagai pelapor, orang-orang tak mengakui
ia sebagai perwakilan dari warga sekitar masjid. Ditambah tabiat Pak Badru
yang meledak-ledak, berbanding terbalik dengan Febrian yang tenang.

“Kita diamkan sajalah kasus ini, nanti lama-lama orang juga lupa,” kata
Sarman pada rekannya.

Hampir semua mereka setuju, kecuali beberapa yang khawatir


menambah buruk nama kepolisian, yang makin hari kian tak positif.

“Aku sudah mencari saksi, tidak ada warga yang mau. Malah yang lebih
konyol lagi, ada di antara mereka yang bilang tak tahu ada masjid di situ. Sinting
semua!” ujar Sarman kesal.

Kali ini semua rekan Sarman tertawa.

“Coba kita kumpulkan saja pihak-pihak yang sehaluan dengan Pak


Badru. Barangkali bisa kita gali dari mereka.” Seseorang mengusul, Sarman
yang sepertinya setuju, segera menghubungi Pak Badru.

***

“Saya ulang ya, Pak.” Seorang teman Sarman menyiapkan ketikan di


depan Pak Badru dan rombongannya. “Kebakaran terjadi saat salat Subuh.”

Rombongan itu diam saja.

“Benar, Bapak-Bapak?” tanya juru ketik.

Yang ditanya saling pandang.

13
“Sepertinya bukan Subuh, Pak,” jawab Pak Badru. “Mungkin sebelum
itu.”

“Kemarin katanya subuh hari.” Polisi itu menghapus ketikannya.


Suasana hatinya sejak semula sudah tak enak, mendengar cerita rekan-rekannya
yang turun ke lapangan.

“Ng ... kalau subuh biasanya si Febrian sudah salat, dong. Kemarin saya


lihat dia masih di rumah.”

“Lalu kenapa Febrian yang Bapak tuduh membakar? Untung


keluarganya tidak menuntut balik.”

“Saya yakin dia, polisi saja yang buru-buru mengeluarkannya.” Pak


Badru mendengus.

“Kasus ini disorot banyak orang, Pak. Sampai-sampai Kapolda turun


melihat langsung ke TKP. Kami meneruskan kasus ini bukan karena
Bapak!” tegas polisi itu.

“Febrian itu tidak suka pada kami, orang-orang tua ini.” Ucapan Pak
Badru diamini teman-temannya yang segera mengangguk-angguk setuju.

“Jadi perkiraan Bapak jam berapa kejadiannya?” Polisi itu memotong.

“Kalau tidak subuh, ya malam.” Pak Badru menjawab asal, mukanya


jelas sebal.

“Waktu salat Isya ada yang mencurigakan tidak?”

“Mana saya tahu,” ketus Pak Badru.

“Katanya Bapak imam masjid!” nyaris berteriak polisi itu.

“Karena saya imam masjid, makanya saya malam itu jadi pemimpin
tahlil. Itu sebabnya saya tidak salat di masjid,” suara Pak Badru tak kalah keras.

“Di rumah siapa tahlilnya?”

“Ini, rumah Bapak ini!” Pak Badru menunjuk salah satu temannya.

14
Yang ditunjuk mengangguk sekali.

“Ada azan malam itu?”

“Febrian yang azan,” jawab salah seorang teman Pak Badru langsung.

“Yang salat siapa saja?”

Tidak ada yang menjawab.

“Yang salat cuma Febrian,” lanjut polisi sekenanya. Sambil mengetik


satu dua kalimat.

“Mungkin ada Soleh, Nek Sumi, atau datuk yang di ujung sana


itu,” teman Pak Badru yang lain mengira-ngira.

“Sudah, bilang saja tidak tahu. Yang jelas ada ya si Febrian,” yang lain
menimpali.

“Yang azan Magrib Febrian juga, Pak?” tanya polisi lagi.

“Bukan! Saya yang azan,” jawab pemilik rumah tempat tahlilan, cepat.

“Tapi Febrian juga salat,” seorang lain menjawab.

Polisi itu diam. Jarinya menjauh dari papan ketik. Ia menghela napas
sambil memandangi satu per satu wajah tua di depannya.

“Jangan-jangan Bapak-Bapak ini menuduh Febrian sebagai pelaku,


karena dia rajin ke masjid.”

Orang-orang tua itu saling berbisik.

“Iya, Pak?”

“Bukan begitu, Nak.” Salah seorang yang paling tua maju. Agak lebih
lunak dari teman-temannya. Posisi duduknya menggantikan Pak Badru. “Kami
ini sudah lama jadi pengurus masjid, kami lakukan apa saja untuk membuat
masjid itu nyaman didatangi. Kami ini pemakmur masjid. Kami menggalang
dana dari mana-mana untuk membangun sampai masjid itu jadi yang paling
megah di wilayah sana.”

15
Dua orang polisi yang kebetulan melintas, sengaja berhenti untuk ikut
menyimak.

“Kami ini sudah tua, kami butuh penerus. Kami senang Febrian rajin ke
masjid. Jadi kami minta dia jadi pengurus, sudah lama kami tak punya remaja
masjid. Tapi anak itu tidak mau. Dia mau mengajar anak-anak kecil mengaji tapi
minta digaji, padahal dana masjid sudah kami pakai membangun. Orang-orang
yang mampir kan ingin kamar mandi yang bersih, ruangan yang sejuk, jadi infak
mereka kami jadikan fasilitas. Begitu pun caleg-caleg yang datang,
sumbangannya ya untuk keindahan masjid itu.”

Polisi yang datang bertambah.

“Si Febrian kami suruh ajak kawan-kawannya ke masjid, dia minta dana
lagi. Katanya untuk para pengangguran dan orang miskin. Apa hubungannya
dengan masjid? Kalau mereka kami beri uang, ya pasti makin malas. Sebagai
bentuk kecewa kami padanya, Febrian tak kami beri kesempatan untuk azan,
apalagi imam, selama di antara kami ada yang datang. Hanya setiap malam
Jumat, waktu Isya dia bisa jadi imam, karena kami tahlilan semua. Hanya waktu
Zuhur dan Asar dia bisa azan, karena biasanya di antara kami sedang tak sempat
ke masjid. Itulah barangkali sebab ia nekat membakar masjid, lantaran sakit
hati.”

Enam orang polisi itu tertawa-tawa mendengar penjelasan teman Pak


Badru.

“Terima kasih, Bapak-Bapak. Pengakuan Bapak yang barusan ini sudah


saya rekam.” Juru ketik itu menunjukkan ponsel pintar di tangannya. “Nanti
kalau ada kesempatan biar saya ketik dan lapor ke atasan. Ini sepertinya kasus
balas dendam yang berujung pembakaran.” Senyum kecut polisi itu menutup
pertemuan.

Baik teman-teman Pak Badru maupun teman-teman Sarman sama


tertawa senang.

***

16
“Kapan puing-puing itu dibereskan? Aku sudah tidak sabar main bola di
sana.” Febrian dan teman-temannya duduk melingkar, tak jauh dari sisa Masjid
Istimewa.

“Kita mengaku saja semua, biar kasusnya selesai, jadi garis polisi itu bisa
cepat disingkirkan,” saran salah seorang dari mereka, disambut derai tawa yang
lain.

“Kalau dibangun masjid yang serupa lagi, bagaimana?” tanya Febrian.

“Bakar lagi!” lima remaja lain menjawab serentak. Lalu tawa lagi dan
lagi.

Tawa mereka baru berhenti ketika seorang pegawai kelurahan datang


membawa beberapa helai surat. Tadinya ia hendak menugaskan enam laki-laki
muda itu membagikan surat yang ia bawa ke beberapa rumah di sekitar puing
Masjid Istimewa. Tapi pegawai kelurahan itu membatalkan niatnya. Ini surat
ketiga yang ia buat, dua sebelumnya tak diindahkan. Para warga mendadak
berkepala batu.

Surat itu berisi undangan dari Pak Lurah dan polisi yang hendak
mengumpulkan warga di aula kantor lurah nanti malam. Sama dengan dua surat
sebelumnya, hanya diganti tanggal pelaksanaan.

Selagi pegawai itu menyambangi satu per satu rumah, seseorang dengan
kalung pers di lehernya mendatangi Febrian dan teman-temannya.

“Mas mau wawancara tentang kebakaran masjid?” Febrian segera


menyambut.

“Iya, saya wartawan dari Harian Ramai.”

“Mari, ikut kami!” ajak Febrian pada wartawan itu.

Bersama teman-temannya, Febrian membawa wartawan itu ke halaman


sebuah rumah, tepat di depan lapangan bulu tangkis, sekira dua ratus meter dari
Masjid Istimewa. Warga yang tadinya menutup pintu  karena malas

17
didatangi pegawai kantor lurah pembawa surat, kini malah mendatangi Febrian
dan wartawan yang bersamanya.

Wartawan Harian Ramai segera mewawancarai para warga. Mereka


antusias menjawab, kadang bersamaan, kadang berebutan. Hal yang tidak terjadi
saat penyidik dari kepolisian menanyai mereka. Kian bertambah menit, kian
ramai yang mendekat pada wartawan.

Sampailah Wartawan Harian Ramai pada puncak pertanyaan. “Menurut


Bapak dan Ibu, siapa yang membakar Masjid Istimewa?”

Kompak tangan-tangan di depan wartawan itu menunjuk ke satu arah.


Rumah terbesar yang menghalangi pandangan mereka ke puing Masjid
Istimewa.

“Siapa yang tinggal di sana?”

Belum lagi pertanyaan wartawan itu dijawab. Pak Badru membuka pintu
rumahnya karena mendengar keramaian. Pandangannya berserobok dengan
tatapan Wartawan Harian Ramai.

Merasa ada yang janggal, Pak Badru mendekat pada wartawan itu.
Sebelum ia sampai, perlahan tapi pasti, satu per satu warga yang berkumpul
pergi meninggalkan sang wartawan, sambil berbisik dan bergumam memberi
petunjuk.

“Dia yang imam, yang azan, yang urusi uang, yang undang khatib. Kami
mana tahu apa-apa.”

“Cuma masjid dan rumahnya yang layak pandang di sini, pasti dia yang
bakar.”

“Saya bahkan belum pernah masuk masjid itu, takut kotor.”

“Si Badru itu yang tiap hari koar-koar dari toa masjid. Dia yang punya,
kami tidak punya masjid.”

18
“Anak kami belajar mengaji di tempat lain, suami kami bosan dengan
ayatnya yang itu-itu saja. Sampai-sampai kami lupa ada masjid di sini. Pasti dia
yang bakar, untuk mencari perhatian.”

Pak Badru makin dekat, orang-orang makin jauh. Febrian yang terakhir
meninggalkan wartawan bingung itu.

19

Anda mungkin juga menyukai