Anda di halaman 1dari 21

KONSEP YURISDIKSI DAN PENGAKUAN PUTUSAN ASING

Disusun Oleh:

Abstract

The state is the most important subject of law (par execellence) compared to other subjects of
international law. The state has supreme power to force all its inhabitants to obey its laws and
regulations. In addition, the country has the power to defend its independence against attacks from
other countries and maintain sovereignty to the outside. To that end the state demands absolute loyalty
from its citizens. This method of writing uses library research methods or librarianship methods.
Library research is conducted by reviewing and reviewing various documents either in the form of
books or writings related to the topic or study that is being discussed. By studying relevant sources
from librarianship and previous research writing, this writing is expected to be a contribution to
related studies and can be accepted by academics as a reference material for subsequent writing.

Keywords: Law, State.

Abstrak

Negara merupakan subjek hukum yang terpenting (par execellence) dibandingkan dengan subyek-
subyek hukum internasional lainnya. Negara mempunyai kekuasaan tertinggi untuk memaksa semua
penduduknya agar mentaati undang-undang serta peraturan-peraturannya. Disamping itu negara
berkuasa untuk mempertahankan kemerdekaannya terhadap serangan-serangan dari negara lain dan
mempertahankan kedaulatan ke luar. Untuk itu negara menuntut loyalitas yang mutlak dari warga
negaranya. Metode penulisan ini menggunakan metode library research atau metode kepustakaan.
penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara mengkaji dan menelaah berbagai
dokumen baik berupa buku atau tulisan yang berkaitan dengan topik atau studi yang tengah dibahas.
Dengan menelaah dari sumber-sumber yang relevan dari pustakaan dan penulisan penelitian
sebelumnya, penulisan ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih untuk studi terkait serta dapat dapat
diterima oleh kalangan akademisi sebagai bahan rujukan untuk penulisan selanjutnya.

Kata Kunci: Hukum, Negara.

1
Pendahuluan

Tertib hukum internasional dilandasi prinsip kedaulatan negara. Kedaulatan


negara adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki oleh suatu negara untuk secara bebas
melakukan kegiatan sesuai kepentingannya, namun kegiatan tersebut tidak
bertentangan dengan hukum internasional. Berdasarkan hukum internasional,
kedaulatan memiliki tiga aspek yaitu: a. Aspek ekstern yaitu hak negara untuk
melakukan hubungan dengan berbagai negara tanpa ganguan maupun campur tangan
dari negara lain b. Aspek intern yaitu hak dan wewenang suatu negara untuk
menentukan segala urusan dalam negeri di berbagai bidang. c. Aspek teritorial yaitu
kekuasaan penuh dan eksklusif yang dimiliki oleh negara atas individu dan benda di
wilayah negara tersebut. Dengan adanya kedaulatan, negara memiliki wewenang
untuk menetapkan dan menegakkan hukum nasionalnya. Kewenangan ini dikenal
sebagai yurisdiksi dalam hukum internasional, Yurisdiksi ini bisa diartikan sebagai
kekuasaan hak atau wewenang untuk menetapkan hukum.

Dalam arti sempit yurisdiksi diartikan sebagai kekuasaan yudikatif saja yakni
kekuasaan peradilan negara. Yurisdiksi muncul karena dalam masyarakat
internasional masing-masing negara merupakan anggota yang berdaulat. Selain itu,
hubungan-hubungan kehidupan yang berlaku dalam masyarakat internasional terjadi
melampaui batas-batas satu negara, sehingga tak jarang muncul suatu masalah
sehingga penyelesaiannya harus melalui prosedur hukum. Keadaan itu juga
menimbulkan permasalahan sampai di manakah yurisdiksi suatu negara atas orang,
perbuatan dan benda yang terkait dalam hubungan internasional tersebut. Dalam
prakteknya, ada dua asas yang menjadi landasan yurisdiksi negara terhadap orang,
perbuatan ataupun benda yang terkait dalam hubungan internasional.

Ada beberapa jenis perluasan yuridiksi teritosrial yang terjadi di dunia. Jenis
perluasan itu berdasarkan prinsip dan sebabnya masing-masing. Adapun yurisdiksi
teritorial dapat diperluas berdasarkan perluasan teknik, kewarganegaraan, prinsip
proteksi dan prinsip universal.

1. Perluasan Yurisdiksi Berdasarkan Teknik

2
Perluasan teknik yurisdiksi teritorial terjadi karena perbuatan hukum, khususnya
perbuatan pidana, dirumuskan dengan menetapkan unsur-unsur perbuatan tersebut.
Sebagian unsur-unsur itu mungkin terjadi di suatu negara dan sebagian unsur-unsur
yang lain terjadi di negara lain.

Dalam hal demikian negara itu tidak dapat mengadili perbuatan tersebut,
mengingat tidak semua unsur perbuatan itu terjadi di wilayah negaranya. Untuk dapat
mengadili perbuatan tersebut beberapa negara menggunakan prinsip teritorial
subyektif dan prinsip teritorial obyektif. Prinsip teritorial subyektif membenarkan
negara melakukan yurisdiksi atas perbuatan yang mulai dilakukan di wilayahnya
tetapi berakhir atau menimbulkan akibat di wilayah negara lain. meskipun prinsip ini
belum diterima umum,namun telah ditetapkan berlaku juga dalam beberapa konvensi
internasional,misalnya : Konvensi Jenewa tahun 1929 tentang penumpasan pemalsuan
uang dan Konvensi Jenewa tahun 1936 tentang penumpasan perdagangan obat-obatan
terlarang.

Prinsip teritorial obyektif membenarkan negara melakukan yurisdiksi atas


perbuatan yang mulai dilakukan di negara lain tetapi berakhir atau menimbulkan
akibat di wilayahnya. Contoh kasus, dihukumnya awak Kapal Prancis Lotus pada
tahun 1927. Kapal Lotus pada saat itu menabrak Kapal Turki di laut bebas yang
menyebabkan 8 awak kapal tersebut tewas tenggelam.

Atas kelalaian awak kapal Lotus tersebut, Turki menjatuhkan hukuman. Turki
menyatakan mereka mempunyai Yurisdiksi karena perbuatan yang dilakukan diatas
kapal Lotus menimbulkan akibat di kapal turki,yang berarti wilayah negaranya.
Mahkamah Internasional pun menetapkan berdasarkan suara mayoritas bahwa
tindakan penguasa turki itu tidak bertentangan dengan hukum internasional.

2. Berdasarkan Kewarganegaraan

Perluasan yurisdiksi teritorial berdasarkan kewarganegaraan terjadi karena


suatu perbuatan hukum, khususnya perbuatan hukum pidana, dilakukan oleh warga
negara suatu negara dan membawa akibat kepada warga negara suatu negara pula.
Oleh karena itu perluasan yurisdiksi teritorial berdasarkan kewarganegaraan dapat

3
terjadi karena 2 prinsip yakni prinsip kewarganegaraan aktif dan pasif. Dalam
perluasan yurisdiksi, prinsip kewarganegaraan aktif yaitu menetapkan yurisdiksi
negara atas warga negaranya yang melakukan pelanggaran hukum di wilayah
negaranya atau di wilayah negara lain.

Jadi suatu negara harus mengekstradisi warga negaranya yang melakukan


pelanggaran hukum di negara lain. Sementara di prinsip kewarganegaraan pasif,
menetapkan yurisdiksi negara atas orang yang melakukan pelanggaran hukum yang
dilakukan di wilayah negara lain yang akibatnya menimpa warga negaranya. Dasar
pembenar pada prinsip ini masih diragukan karena setiap negara berhak sepenuhnya
melindungi warga negaranya di luar negeri. Jadi bila negara tempat terjadinya
pelanggaran itu tidak menghukum pelaku pelanggaran itu, negara yang warga
negaranya dirugikan berwenang untuk menghukum pelaku pelanggaran itu.

3. Berdasarkan Prinsip Proteksi

suatu negara dapat melakukan yurisdiksi atas perbuatan pidana yang


melanggar keamanan dan integritas atau kepentingan vital ekonomi yang dilakukan di
luar negeri. Kebanyakan hukum pidana negara mengatur hal itu. Adapun dasar
pembenarannya adalah bahwa akibat perbuatan pidana itu menimpa negara tersebut
dan bahwa bila yurisdiksi itu tidak dapat dilaksanakan maka kejahatan itu akan lepas
dari hukuman.

4. Berdasarkan Prinsip Universal

Berdasarkan prinsip universal, suatu negara dapat melakukan yurisdiksi atas


perbuatan pidana yang melanggar kepentingan masyarakat internasional. Semua
negara berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku kejahatan itu. tujuan adanya
yurisdiksi universal adalah untuk menjamin agar kejahatan itu tidak lepas dari
hukuman. Misalnya kejahatan bajak laut dan penjahat perang. Dalam prinsip ini
semua negara berhak menangkap dan menghukum bajak laut, apapun kebangsaannya
dan dimanapun kejahatan itu dilakukan.

4
Hal ini diatur dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa Bangsa
(PBB) tahun 1982. Sedangkan yurisdiksi universal atas penjahat perang diatur dalam
Konvensi Jenewa tahun 1949 tentang perbaikan keadaan mereka yang luka, sakit dan
korban karam, tawanan perang dan perlindungan penduduk sipil. Sementara untuk
kejahatan lain seperti perdagangan obat-obatan terlarang, perdagangan manusia,
pembunuhan dan pemalsuan uang tidak masuk dalam prinsip yurisdiksi universal tapi
sistemnya “aut punire aut dedere” yaitu pelaku kejahatan itu dihukum oleh negara
tempat kejahatan itu dilakukan atau diserahkan kepada negara yang berwenang untuk
mengadilinya.

Misalnya warga negara Australia menjual narkoba di Indonesia. Maka


Indonesia tidak perlu menyerahkannya ke Australia melainkan boleh memberikan
hukuman langsung kepada pelaku. Yurisdiksi teritorial suatu negara dapat juga
dipersempit karena sampai pada taraf tertentu, berlakunya yurisdiksi itu dikecualikan
bagi pihak-pihak tertentu. Pihak-pihak tertentu tersebut adalah Negara asing dan
kepala negara asing,perwakilan diplomatik dan konsul asing, kapal publik negara
asing,angkatan bersenjata asing dan lembaga internasional.

Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penyusunan penulisan ini adalah


penelitian kepustakaan (library research) yang dilakukan dengan cara mengkaji dan
menelaah berbagai dokumen baik berupa buku atau tulisan yang berkaitan dengan
yurisdiksi dan konsep dalam tatanan konstitusi. Dengan menelaah dari sumber-
sumber yang relevan dari pustakaan dan penulisan penelitian sebelumnya, penulisan
ini diharapkan dapat menjadi sumbangsih untuk studi terkait serta dapat dapat
diterima oleh kalangan akademisi sebagai bahan rujukan untuk penulisan selanjutnya.

Hasil pembahasan

A. Pengertian dan Konsep Yuridiksi Negara Dalam Hukum Internasional


Sebelum kita masuk ke pengertian yurisdiksi negara, mari kita pahami terlebih
dahulu apa yang dimaksud dengan yurisdiksi. Yurisdiksi berasal dari bahasa latin
“jurisdictio”. Artinya, "juris" berarti "kekayaan hukum" dan "dictio" berarti "ucapan"
atau "keputusan". Oleh karena itu, yurisdiksi diartikan sebagai kewenangan yang
diputuskan oleh undang-undang atau kewenangan. Dapat diartikan. Hal ini dapat

5
digambarkan sebagai hak dan kekuasaan untuk melakukan suatu hal menurut hukum.
Hak, dan kekuasaan mereka harus berdasarkan peraturan perundangundangan, bukan
paksaan atau kekerasan. Dalam buku I Wayan Parthiana yang dikutip dari Americana
Encyclopedia, kata “yurisdiksi” berarti "kekuasaan atau otoritas” Ini biasanya berlaku
untuk pengadilan dan otoritas kehakiman dan menggambarkan ruang lingkup hak
untuk bertindak.
Dalam kaitannya dengan negara bagian atau negara, istilah ini
menggambarkan hukum dan menjelaskan. Ini berarti kekuasaan untuk menjalankan. I
Wayan Parthiana menjelaskan yurisdiksi negara adalah kekuasaan atau kewenangan
suatu negara untuk membuat dan menegakkan hukum yang dibuat oleh negara itu
sendiri. Dalam hukum antariksa internasional, "itu mendahului istilah yurisdiksi
negara."
Yurisdiksi dalam hukum internasional publik mengacu pada hukum nasional
dengan tindakan legislatif. Departemen administratif atau yudisial mengenai hak-hak
individu, properti atau properti mereka, tindakan atau peristiwa Ini bukan hanya
masalah rumah tangga. Demikian pula FAMann dalam bukunya Studies in
International Law memberikan definisi oleh Imre Anthony Csabafi. Mengatur isu-isu
yang tidak hanya tentang kepentingan politik dalam negeri mereka.” (Ketika
pengacara internasional menangani masalah yurisdiksi, mereka mempertimbangkan
hukum internasional negara untuk mengatur pelaksanaan masalah tersebut, bukan
hanya di dalam negeri). Maka dari penjelasan di atas yurisdiksi suatu negara adalah
kekuasaan negara itu untuk menegakkan, atau memaksakan berlakunya undang-
undang domestiknya di luar negara tersebut. Menurut O'Brien, negara berdaulat
memiliki tiga yurisdiksi.
Kelayakan Pensiun Nasional Ketentuan Hukum untuk Orang, Benda,
peristiwa dan Tindakan di Wilayah (yurisdiksi legislatif atau peraturan). Hak negara
(penegakan atau penegakan yurisdiksi) untuk menegakkan hukum domestik.
Kewenangan pengadilan negara untuk membuat dan mengeluarkan keputusan
peradilan (yurisdiksi). Dengan cara ini, negara dapat memberlakukan undang-undang
atau standar di dalam wilayahnya yang harus dipatuhi oleh penduduk wilayah
tersebut. Suatu negara dapat menegakkan atau menerapkan hukumnya di luar
wilayahnya, jika kejahatan itu dianggap sebagai kejahatan internasional, maka setiap
negara memiliki kewajiban untuk memberantasnya. Bagaimanapun, Negara memiliki
kekuasaan untuk mengambil keputusan dan mengambil keputusan hukum untuk
6
menjamin keamanan dan ketertiban Negara terhadap tindakan ilegal oleh orang asing.
Asas teritorial dibagi menjadi 2 mode yaitu asas teritorial subjektif dan asas teritorial
objektif.
Prinsip teritorial subjektif. Menurut asas ini, suatu negara mempunyai
kekuasaan hukum atas seseorang yang kejahatannya telah terjadi di wilayahnya,
sekalipun kejahatan itu tidak berakhir di negaranya sendiri atau kerugian yang
diakibatkan oleh kejahatan itu tidak berada di dalam negara atau wilayahnya. Oleh
karena itu, berdasarkan asas ini, negara tempat kejahatan itu dimulai atau dilakukan
dapat menuntutnya. Prinsip teritorial objektif adalah kebalikan dari teritorial subjektif.
Menurut asas ini, sekalipun kejahatan itu terjadi di negara lain, jika kerusakan yang
diakibatkan oleh kejahatan itu terjadi di wilayahnya, negara memiliki yurisdiksi atas
pelakunya. Dapat dikatakan bahwa negara bertanggung jawab atas hal itu menurut
kewarganegaraan para pihak, yang merupakan prinsip yurisdiksi yang lebih tua
daripada prinsip teritorial. Pasal 2 Konvensi Den Haag tentang IsuIsu Khusus Terkait
Hukum Kewarganegaraan menyatakan bahwa untuk menentukan kewarganegaraan
seseorang: Secara umum, masalah kebangsaan didasarkan pada hubungan dengan
negara dan mungkin karena lahir di wilayah negara itu (jus soli) atau memiliki
keturunan atau orang tua. Warga negara (ius sanguinis).
Prinsip yurisdiksi kewarganegaraan meliputi: Prinsip kewarganegaraan positif.
Menurut asas ini, pelaku mempunyai relasi dengan negara yang bersangkutan,
sehingga negara mempunyai yurisdiksi atas warga negara yang melakukan kejahatan
di luar neger. 2) Asas Kewarganegaraan Pasif. Menurut asas ini, Negara memiliki
yurisdiksi atas warga negara yang menjadi korban kejahatan yang dilakukan di luar
negeri oleh orang asing. Asas ini Fokus pada kewarganegaraan korban kejahatan,
bahkan jika kejahatan itu dilakukan oleh orang asing di luar wilayah. Dengan kata
lain, Malcolm N. Shaw menunjukkan bahwa dengan menerapkan prinsip ini, suatu
negara dapat mengklaim yurisdiksi untuk mengadili siapa pun di luar negeri yang
dicurigai atau merugikan kepentingannya. Selain itu, dikenal asas universal, asas
perlindungan, dan asas universal untuk kepentingan kepentingan yang dilanggar.
Menurut prinsip ini, setiap negara memiliki hak untuk membawa pelaku kejahatan
internasional yang dilakukan di mana saja, tanpa memandang kebangsaan pelaku atau
korban

B. Konsep Yuridiksi In Personam

7
Pada praktik litigasi internasional, penentuan dasar yurisdiksi suatu pengadilan
umumnya dibedakan ke dalam yurisdiksi in personam dan yurisdiksi in rem, dan
dalam keadaan-keadaan khusus berkembang pula konsep yurisdiksi quasi in rem.
Yurisdiksi in personam, umumnya dianggap sebagai unlimited jurisdiction (yurisdiksi
tidak terbatas) karena pengadilan yang memiliki yurisdiksi atas persons (orang),
khususnya “seorang tergugat”, maka pengadilan tersebut akan dianggap memiliki
kewenangan untuk memutus perkara atas tergugat itu untuk jumlah yang tidak
terbatas dan menyangkut seluruh aset miliknya. Di lain pihak, yurisdiksi in rem
adalah things/res (yurisdiksi atas benda) yang berada di wilayah hukum suatu
pengadilan yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan perkara yang
sedang dihadapi. Dengan kata lain, pengadilan yang memiliki kewenangan yurisdiksi
in rem, memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa-sengketa yang berkaitan
dengan title (kepemilikan) atas benda-benda tertentu yang berada di wilayah
hukumnya.

Dalam litigasi transnasional, azas actor sequituur forum rei (azas yang
menetapkan bahwa “tempat tergugat berada menentukan tempat pengadilan”) yang
umumnya digunakan untuk menetapkan yurisdiksi pengadilan dalam perkara-perkara
lokal, ternyata tidak selalu dapat digunakan secara efektif karena connection dalam
perkara dibidang HPI seringkali dibentuk melalui titik-titik taut lain, seperti
pelaksanaan kontrak atau tempat perbuatan melawan hukum di negara forum.
Penentuan dasar yurisdiksi suatu pengadilan dalam praktik litigasi internasional,
umumnya dibedakan ke dalam yurisdiksi in personam dan yurisdiksi in rem, dan
dalam keadaan khusus berkembang pula konsep quasi in rem, yaitu:

a. Yurisdiksi in Personam

Yurisdiksi in personam adalah yurisdiksi atas orang (persons). Pengadilan


yang memiliki yurisdiksi in personam atas “seorang tergugat” akan dianggap
memiliki kewenangan untuk memutus perkara atas tergugat itu untuk jumlah
yang tidak terbatas dan menyangkut seluruh aset miliknya. Yurisdiksi in
personam dapat terbit karena:

 Kehadiran (presence)
 Tempat kediaman (domicile)
 Penundukan sukarela (consent)

8
 Pertautan minimum (minimum contacts)
b. Yurisdiksi in Rem

Yurisdikasi in Rem adalah yurisdiksi atas benda yang berada di dalam


wilayah negara forum, yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan
dengan perkara yang sedang dihadapi. Pengadilan yang memiliki kewenangan
yurisdiksi in rem memiliki kewenangan untuk mengadili sengketa-sengketa
yang berkenaan dengan titel atas benda tertentu yang berada di wilayah forum.

c. Yurisdiksi Quasi in Rem

Di dalam sistem hukum acara Amerika dikenal jenis yurisdiksi quasi in


rem untuk perkara-perkara yang tidak secara langsung menyelesaikan gugatan
kepemilikan tergugat atas suatu kebendaan yang berkaitan dengan perkara,
tetapi hanya karena penggugat menuntut agar kekayaan tertentu milik tergugat
yang ada di wilayah forum “diletakkan” pada perkara walaupun tidak ada
kaitan langsung antara kekayaan itu dan pokok perkara. Secara umum dapat
dirangkum beberapa prinsip penetapan yurisdiksi dalam proses litigasi perdata
internasional, yaitu:6 1. Yurisdiksi Teritorial atas Dasar Domisili (Tergugat)
Rasio dari prinsip ini adalah bahwa domisili merupakan tempat dimana
seseorang secara terus menerus berada dan karena itu ia dapat digugat tanpa
harus ada pembatasan-pembatasan tertentu mengenai jenis pokok perkara
(subjek matter) dan tanpa ada persyaratan untuk membuktikan adanya
connection antara domisili tergugat dan pokok perkara yang dihadapi. Karena
itulah, yurisdiksi pengadilan di tempat domisili tergugat dikatakan memiliki
general jurisdiction atas tergugat yang bersangkutan dan seseorang dapat
digugat atas perkara apa saja yang diajukan di dalam wilayah forum. Dalam
hal tergugat sebagai “badan hukum” (legal person), ukuran tidak ditentukan
berdasarkan domisili badan hukum itu, tetapi berdasarkan lokasi badan hukum
tersebut. Negara-negara tertentu

Secara umum dapat dirangkum beberapa prinsip penetapan yurisdiksi dalam


proses litigasi perdata internasional, yaitu:

1. Yurisdiksi Teritorial atas Dasar Domisili (Tergugat)


Rasio dari prinsip ini adalah bahwa domisili merupakan tempat dimana
seseorang secara terus menerus berada dan karena itu ia dapat digugat
9
tanpa harus ada pembatasan-pembatasan tertentu mengenai jenis pokok
perkara (subjek matter) dan tanpa ada persyaratan untuk membuktikan
adanya connection antara domisili tergugat dan pokok perkara yang
dihadapi. Karena itulah, yurisdiksi pengadilan di tempat domisili tergugat
dikatakan memiliki general jurisdiction atas tergugat yang bersangkutan
dan seseorang dapat digugat atas perkara apa saja yang diajukan di dalam
wilayah forum.
Dalam hal tergugat sebagai “badan hukum” (legal person), ukuran
tidak ditentukan berdasarkan domisili badan hukum itu, tetapi berdasarkan
lokasi badan hukum tersebut. Negara-negara tertentu menetapkan lokasi
atas dasar tempat pengelolaan utama dan pengawasan badan hukum
(Perancis), atau tempat pusat operasi (Jerman), atau tempat badan hukum
itu didirikan secara hukum. Di Amerika Serikat, yurisdiksi atas badan
hukum ditentukan oleh: (1) tempat usaha utama di wilayah negara forum;
(2) tempat pendirian di negara forum: dan (3) adanya pertautan minimum
dengan negara forum.
2. Yurisdiksi Khusus dalam Perjanjian dan Perbuatan Melawan Hukum
Dalam hal kontrak dan perbuatan melawan hukum pengadilan
setempat dapat mengklaim specific jurisdiction (yurisdiksi khusus), yang
memenuhi persyaratan adanya hubungan antara perikatan dan perkara.
Akan tetapi, begitu sebuah forum memiliki kewenangan “spesifik” ini,
maka umumnya forum dianggap memiliki yurisdiksi terbatas (unlimited
jursdiction) atas tergugat.

3. Yurisdiksi karena Persetujuan


Yurisidksi ekstrateritorial dapat juga dklaim oleh sebuah forum atas
dasar kenyataan bahwa para pihak (khususnya tergugat) telah secara
sukarela memilih untuk mempertahankan dirinya dan harta kekayaannya di
depan suatu forum asing, baik melalui suatu choice of forum clause di
dalam suatu kontrak maupun melalui persetujuan tertulis yang dibuat pada
saat sengketa timbul. Suatu forum asing hanya dapat dijadikan dasar
yurisdiksi jika penampilan itu memang dilakukan dalam rangka
menyelsaikan pokok perkara dan tidak sekedar untuk menentang yurisdiksi
forum asing.
10
4. Yurisdiksi atas Dasar Kewarganegaraan, Kekayaan, atau
Pemunculan/Kehadiran.

Proses penyelesaian sengketa di bidang perdagangan modern


dewasa ini, kewenangan suatu forum dibatasi prinsip kewajaran dan
keadaban/kepatasan. Pembatasan tersebut dapat diberlakukan atas dasar: a.
Kemauan politik dari forum suatu negara berdaulat untuk membatasi
kedaulatan dan kewenangannya (sovereign selfrestraint). b. Pemberlakuan
batas-batas tertentu yang harus dipenuhi sebelum sebuah forum
mengklaim yurisdiksi. c. Berlakunya aturan-aturan hukum nasional yang
menetapkan batas-batas pelaksanaan yurisdiksi ekstrateritorial, seperti
yang dapat dijumpai di negara-negara bagian di Amerika Serikat.

Namun, dalam kenyataan masih banyak negara hukum acaranya tidak


membatasi diri dalam mengklaim yurisdiksi atas subjek hukum asing dan hanya
menggunakan batas-batas yang “berlebihan”. Misalnya menetapkan kewenangan
yurisdiksional atas dasar hukum personal kewarganegaraan pihak penggugat (Prancis,
Luksemburg, Belgia, Belanda) sementara warga negara mereka hanya dapat diadili di
forum mereka sendiri. Prinsip yurisdiksi lain yang juga dianggap “exorbitant” adalah
yurisdiksi tak terbatas atas dasar kehadiran benda milik tergugat di wilayah forum
(Jerman) dan bahkan yurisdiksi forum atas tergugat ini tetap ada walaupun tidak ada
pertautan antara benda milik tergugat dan perkara yang diajukan ke pengadilan itu
(Denmark).

Asas lain yang dapat dijumpai dalam praktik internasional adalah asas forum
rei sitae, yang menerbitkan kewenangan yurisdiksional pada forum dari tempat letak
benda yang melekat pada gugatan pihak tergugat. Dasar lain yang juga bersifat
kontroversial untuk menetapkan kewenangan yurisdiksional adalah kehadiran fisik
(physical presence) dari tergugat di wilayah forum. Prinsip ini juga diberlakukan atas
badan hukum.

C. Yurisdiksi dalam shipping claim

Tinjauan Umum Tentang Pelayaran Menurut Hukum Laut Internasional Setiap


Negara Pantai yang memiliki kedaulatan penuh terhadap perairan pedalamannya

11
memiliki wewenang penuh kepada kapal-kapal asing yang melakukan pelayaran di
wilayah perairan pedalaman negaranya untuk tunduk dengan yurisdiksi Negara Pantai
tersebut. Hal ini berarti bahwa Negara Pantai mengatur pelayaran di perairan tersebut
sehingga Negara Pantai memiliki hak memberikan batas ataupun melarang kepada
kapalkapal asing manapun untuk melakukan pelayaran di wilayah perairan
pedalamannya, walaupun Negara Pantai diharapkan untuk terlebih dahulu
memberikan pemberitahuan yang memadai kepada kapal-kapal asing tersebut
mengenai tindakan-tindakan kebijakan Negara Pantai tersebut.

Namun, terdapat pengecualian terhadap kebijakan hal ini yaitu kepada kapal-
kapal perang asing. Ini dikarenakan yurisdiksi Negara Pantai tidak berlaku di atas
kapal-kapal perang tersebut. Selain itu, pengecualian ini juga berlaku bagi kapal-kapal
milik negara lain yang dioperasikan untuk tujuan-tujuan non komersial. Pengecualian
terhadap kapal-kapal ini baik kapal-kapal perang asing maupun kapal-kapal milik
negara lain yang beroperasi untuk tujuan non komersial ini didasari pada prinsip
umum hukum internasional bahwa tidak satu pun negara mempunyai yurisdiksi
terhadap negara lainnya karena setiap negara mempunyai otoritas tunggal yang tidak
tunduk kepada kekuasaan negara asing.

Dalam pelaksanaan kedaulatan atas wilayah perairan pedalamannya yang


dijelaskan di atas, Negara Pantai memiliki beberapa macam wewenang yang telah
diatur dalam pasal 25 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
1982 seperti berikut

1. Mengambil langkah-langkah yang diperlukan dalam laut wilayahnya untuk


mencegah lintas yang tidak damai.

2. Mempunyai hak untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk


mencegah pelanggaran apapun terhadap persyaratan yang telah ditentukan
bagi masuknya kapal ke perairan pedalaman atau untuk melakukan
persinggahan di pelabuhan.

3. Menangguhkan sementara bagian tertentu laut teritorialnya bagi lintas


damai kapal asing apabila penangguhan demikian sangat diperlukan untuk
perlindungan keamanannya.:

12
Selain memberikan wewenang kepada Negara Pantai dalam pelaksanaan
kedaulatannya secara penuh di atas wilayah perairan pedalamannya, Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 juga memberikan hak lintas
damai kepada semua kapal-kapal yang melalui laut wilayah sesuai dengan ketentuan
yang terdapat pada Konvensi. Konsep mengenai lintas dan damai telah diberi definisi
dalam Konvensi ini. Lintas adalah kegiatan melintasi laut teritorial tanpa memasuki
perairan pedalaman (atau berhenti di pangkalan laut atau fasilitas pelabuhan di luar
perairan tersebut) dan melintasi laut teritorial ke atau dari perairan pedalaman atau
berhenti di pangkalan laut atau fasilitas pelabuhan di luar perairan tersebut.

Mengenai penjelasan tentang hak lintas damai, dijelasakan pada pasal 14 ayat
4 Konvensi Jenewa dan pasal 19 ayat 1 Konvensi Perserikatan BangsaBangsa tentang
Hukum Laut 1982 yang berbunyi:

“Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi perdamaian, ketertiban


atau keamanan negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan
Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya”.

Hak lintas damai yang dijelaskan pada pasal di atas membuat Negara Pantai
tidak diperbolehkan untuk menghalangi lintas damai suatu kapal sebagaimana telah
ditetapkan dalam pasal 24 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum
Laut 1982. Nmun, lintas damai suatu kapal asing yang melintas di wilayah perairan
Negara Pantai akan dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban ataupun
keamanan dari Negara Pantai apabila kapal tersebut di laut teritorial melakukan salah
satu kegiatan yang dijelaskan pada pasal 19 ayat 2 Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa tentang Hukum Laut 1982 sebagai berikut:

1. Setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan


wilayah atau kemerdekaan politik Negara Pantai, atau dengan cara lain apapun
yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana
tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

2. Setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun.

3. Setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang


merugikan bagi pertahanan atau keamanan Negara Pantai.

13
4. Setiap perbuatan propaganda yang bertujuan mempengaruhi pertahanan
atau keamanan Negara Pantai.

5. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal.

6. Peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan


militer.

7. Bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi
atau saniter Negara Pantai.

8. Setiap perbuatan pencemaran dengan sengaja dan parah yang bertentangan


dengan ketentuan Konvensi ini.

9. Setiap kegiatan perikanan.

10. Kegiatan riset atau survey.

11. Setiap perbuatan yang bertujuan mengganggu setiap sistem komunikasi


atau setiap fasilitas atau instalasi lainnya Negara Pantai.

12. Setiap kegiatan lainnya yang tidak berhubungan langsung dengan lintas.

Ketika kapal asing yang melintasi wilayah perairan Negara Pantai dinilai
melakukan kegiatan-kegiatan yang telah dijelaskan di atas, maka demi mengutamakan
perlindungan keamanan dalam negerinya Negara Pantai dapat melakukan
penangguhan atas hak lintas damai bagi kapal-kapal yang melintas di daerah-daerah
tertentu dari laut wilayahnya karena telah sesuai dengan wewenang Negara Pantai
yang telah dijelaskan pada pasal 25 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut 1982 di atas. Kapal-kapal dagang dan kapal-kapal yang beroperasi untuk
tujuan komersial apabila melaksanakan hak lintas damai pada prinsipnya tidak tunduk
kepada yurisdiksi Negara Pantai. Yurisdiksi kriminal Negara Pantai tidak dapat
diterapkan dan dilaksanakan di atas kapal asing yang sedang melintasi wilayah laut
Negara Pantai, tetapi pasal 27 ayat 1 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hukum Laut 1982 memberikan pengecualian atas prinsip tersebut sebagai berikut:40

1. Kalau kejahatan itu dirasakan di Negara pantai.


2. Apabila kejahatan itu termasuk jenis yang mengganggu kedamaian negara
tersebut atau ketertiban laut wilayah.

14
3. Apabila telah diminta bantuan penguasa setempat oleh nahkoda kapal atau
oleh wakil diplomatik atau pejabat konsuler bendera.
4. Apabila tindakan demikian diperlukan untuk menumpas perdagangan gelap
narkotika atau bahan psikotropika.

Pada pasal 27 ayat 2 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum


Laut 1982 bahwa ketentuan di atas tidak mempengaruhi hak Negara Pantai untuk
mengambil langkah apapun berdasarkan undang-undangnya untuk tujuan
penangkapan atau penyelidikan di atas kapal asing yang melintas laut wilayahnya
setelah meninggalkan perairan pedalaman. Tetapi, dalam pasal 27 ayat 5 Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 menyatakan bahwa suatu
kejahatan yang dilakukan sebelum kapal memasuki laut wilayah, maka Negara Pantai
tidak boleh mengambil tindakan apapun

Kebebasan berlayar bagi kapal-kapal dapat dinikmati oleh semua negara dan
termasuk juga negara-negara yang tidak berpantai sebagaimana diatur dalam pasal 90
Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982. Di dalam
melakukan pelayaran internasional setiap negara diwajibkan untuk menetapkan
persyaratan bagi kapal-kapalnya dalam pemberian kebangsaan pada kapal tersebut
dan untuk mengibarkan bendera negaranya agar kapal tersebut memiliki kebangsaan
negara dari bendera yang sah dikibarkan oleh kapal tersebut yang memiliki suatu
ikatan sungguh-sungguh antara negara dengan kapal itu sebagaimana telah diatur
dalam pasal 91 ayat 1 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut
1982. Mengenai status kapal yang diatur dalam pasal 92 ayat 1 Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 dijelaskan bahwa ketika melakukan
pelayaran internasional setiap kapal diharuskan berlayar di bawah satu bendera suatu
negara saja dan harus tunduk pada yurisdiksi eksklusif Negara Bendera yang
dikibarkan di atas kapal pada saat berada di laut lepas.

Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa hak lintas damai
melalui laut wilayah tunduk kepada pembatasan-pembatasan yang penting. Negara
pantai memiliki wewenang untuk membuat peraturan perundangundangan tentang
bagaimana hak lintas damai itu dapat dilaksanakan, kapalkapal apa saja yang dapat
melaksanakannya, dan kewenangan-kewenangan khusus yang dapat dilaksanakan
untuk membatasi lintas kapal-kapal berbendera asing dan dalam keadaan-keadaan

15
tertentu Negara Pantai dapat menangguhkan hak lintas damai tersebut bagi kapal-
kapal berbendera asing yang ingin melintas di wilayah perairan

D. Hak Imunitas Dalam Yuridiksi

Hubungan luar negeri atau hubungan internasional atau organisasi


internasional mutlak diperlukan oleh sebuah negara yang telah menyatakan
kedaulatannya. Hal ini berkaitan erat dengan pengakuan negara lain atas kedaulatan
negara. Negara yang mau bekerja sama dan menjalin hubungan dengan negara lain
berarti secara tidak langsung mengakui kedaulatan negara lain tersebut. Apalagi jika
kemudian hubungan atau kerjasama luar negeri diikuti dengan kerja sama bilateral
atau hubungan diplomatik dan ditandai dengan adanya perwakilan atau diplomat suatu
negara di negara lain. Maka, hubungan diharapkan akan semakin erat.
Diplomat yang merupakan perwakilan sebuah negara di negara lain
mempunyai jaminan keamanan yang diakui secara internasional. Jaminan tersebut
diakui dalam sebuah Kesepakatan Internasional Wina pada tahun 1815. Kesepakatan
yang memberikan beberapa hak istimewa pada diplomat suatu negara ini dipertegas
pada Kongres Ancher pada tahun 1818 dan terus diperbaiki pada tahun-tahun
berikutnya.

yurisdiksi teritorial menunjuk pada yurisdiksi yang berlaku atas orang ataupun
benda yang titik beratnya menunjuk pada wilayah di mana orang ataupun benda
berada. Menurut Georg Schwarzenberger (1976: 74), adalah suatu otoritas atas suatu
bagian permukaan bumi serta ruang di atas dan tanah di bawahnya, yang ditentukan
secara geografis dan di- klaim sebagai teritorial kedaulatannya, termasuk semua orang
dan benda di atasnya. Yurisdiksi teritorial diterapkan terhadap warga negara sendiri
dan warga negara asing (ataupun benda) yang berada di wilayah teritorial suatu
negara. Di dalam setiap wilayah teritorial negara, yurisdiksi teritorial ini mencakup
warga negara beserta harta bendanya. Menurut hukum kebiasaan internasional
pelaksanaan yurisdiksi ini tidak terbatas. Negara berdasarkan yurisdiksi teritorial
berhak menerapkan hukum terhadap orang asing walaupun orang asing itu tinggal
sementara ataupun bertempat tinggal secara permanen.

16
Orang asing tidak dapat menuntut pembebasan diri atas yurisdiksi teritorial,
kecuali yang bersangkutan memiliki hak imunitas (hak kekebalan hukum). Hak ini
menurut hukum internasional hanya diberikan kepada:
1. kepala negara atau pemerintah dan perwakilan diplomatik
2. utusan khusus
3. kapal pemerintah asing
4. kapal perang, dan
5. organisasi internasional di suatu negara.
Akan tetapi, harus diingat bahwa di lapangan hukum perdata, hak imunitas ini
tidak dapat berlaku mutlak. Dalam masa-masa selanjutnya, sesuai dengan
perkembangan model-model kejahatan, maka ditumbuhkan konsepsi yurisdiksi
dengan asas teritorial objektif dan yurisdiksi teritorial subjektif. Keduanya sangat
berguna untuk menjadi landasan hukum dalam rangka mengantisipasi perkembangan
perkembangan kejahatan yang bersifat lintas batas.

Diplomat atau perwakilan negara ini dapat mempunyai berbagai jabatan mulai
dari besar, konsulat, atase, staf ahli, dan sebagainya. Mereka mempunyai 2 hak, yang
dikenal juga dengan contoh kekebalan diplomatik dalam hubungan internasional. Hak
istimewa tersebut, yaitu :
 Hak Ekstratritorial
Hak ekstra territorial adalah hak atau kebebasan yang dimiliki perwakilan
suatu negara (diplomat) di negara lain terhadap segala sesuatu di daerah
perwakilannya, di mana tetap berlaku hukum negara asal. Hak ini berlaku di tempat /
rumah / gedung yang ditempati perwakilan, termasuk bangunan dan perlengkapannya.

 Hak Imunitas
Hak imunitas adalah hak untuk tidak tunduk pada yuridiksi negara tempat
seorang perwakilan negara bertugas, baik secara pidana maupun perdata. Jadi, para
perwakilan negara dan keluarganya tidak dapat dituntut secara hukum atas kejahatan
yang kemungkinan dilakukannya dan tidak dapat dinterogasi kecuali atas
persetujuannya.

17
Menurut Konvensi Wina yang terus diperbaharui, pada tahun 1961, hak yang
dimiliki oleh diplomat atau perwakilan negara diberikan dengan tujuan tertentu,
menjaga hubungan antar dua negara. Tujuan diberikannya hak istimewa, antara lain:

 Menjamin pelaksanaan tugas negara yang diberikan oleh negara yang mewakilkan
perwakilannya. Jika tidak diberikan hak, maka ada kemungkinan akan ada banyak
pekerjaan sampingan yang harus dikerjakan dan dapat mengabaikan tugas utamanya.

 Menjamin pelaksanaan fungsi perwakilan negara secara efisien di tempatnya bertugas.


Penjaminan ini terkait dengan berbagai aturan yang mungkin ada di tempat bertugas
dan dapat memperlambat atau menghambat tugas diplomat. Hak istimewa memberi
kesempatan agar diplomat melaksanakan fungsinya dengan lebih lancar.

E. Pengakuan Putusan Asing

Dalam kaitannya dengan sengketa internasional, ada baiknya kita melihat pada
definisi sengketa internasional terlebih dahulu. Mahkamah Internasional
(International Court of Justice) berpendapat bahwa sengketa internasional adalah
suatu situasi di mana dua negara mempunyai pandangan yang bertentangan mengenai
dilaksanakan atau tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban yang terdapat dalam
perjanjian (Huala Adolf, “Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional”, hal. 3).

Secara sederhana sengketa internasional adalah sengketa yang melibatkan subyek-


subyek hukum internasional. Subyek-subyek hukum internasional berdasarkan
berbagai konvensi internasional antara lain:

- Negara
- Organisasi Internasional
- Tahta suci vatikan
- Palang merah internasional
- Kelompok pemberontak
- Perusahaan multinasional
- Individu

Negara (dalam hal ini Indonesia) sebagai subyek utama hukum internasional mempunyai
kedaulatan. Sebagaimana dikemukakan oleh Dr. Boer Mauna dalam bukunya “Hukum
Internasional” (hal. 25), bahwa:

18
1. Kedaulatan dapat berarti bahwa negara tidak tunduk pada ketentuan-ketentuan hukum
internasional yang mempunyai status yang lebih tinggi.

2. Kedaulatan berarti bahwa negara tidak tunduk pada kekuasaan apapun dan dari
manapun datangnya tanpa persetujuan negara yang bersangkutan.

Hal-hal di atas dikemukakan oleh Boer sebagai pengertian negatif dari


kedaulatan. Mengenai peradilan internasional, Boer berpendapat bahwa peradilan
internasional adalah bersifat fakultatif. Menurutnya, bila suatu negara ingin
mengajukan suatu perkara ke peradilan internasional, maka persetujuan semua pihak
yang bersengketa merupakan suatu keharusan. Dengan demikian, penyelesaian
sengketa antarnegara melalui peradilan internasional adalah juga berarti pengurangan
kedaulatan negara-negara yang bersengketa. Sehingga, setelah dikeluarkan putusan
oleh peradilan internasional, setiap negara pihak yang bersengketa wajib
melaksanakan putusan tersebut. Demikian pendapat Boer yang kami sarikan dari buku
“Hukum Internasional” (hal. 220-221).

Dari penjelasan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa negara berhak


menentukan sikap apakah akan mengakui dan melaksanakan putusan pengadilan
asing atau tidak. Putusan pengadilan asing adalah putusan pengadilan di luar
pengadilan nasional. Apabila sengketa terjadi dalam ranah perdata, salah satu
alternatif penyelesaian sengketa adalah melalui badan arbitrase (baik nasional maupun
internasional). Sebagaimana ditegaskan oleh M. Yahya Harahap dalam bukunya yang
berjudul “Hukum Acara Perdata”bahwa putusan pengadilan asing (dalam kaitannya
dengan sengketa perdata internasional yang diselesaikan melalui arbitrase
internasional) tidak dapat dieksekusi di wilayah Republik Indonesia kecuali undang-
undang mengatur sebaliknya. Yahya Harahap mengacu pada ketentuan Pasal
436 Reglement op de Burgerlijke rechtvordering (“Rv”).

Mengenai bagaimana melaksanakan putusan pengadilan/arbitrase asing di


Indonesia lebih lanjut dijelaskan oleh Yahya Harahap mengutip dari Pasal 436 ayat
(2) Rv bahwa satu-satunya cara untuk mengeksekusi putusan pengadilan/arbitrase
asing di Indonesia adalah dengan menjadikan putusan tersebut sebagai dasar hukum
untuk mengajukan gugatan baru di pengadilan Indonesia. Kemudian, putusan
pengadilan/arbitrase asing tersebut oleh pengadilan Indonesia dapat dijadikan sebagai
alat bukti tulisan dengan daya kekuatan mengikatnya secara kasuistik, yaitu:

19
1. bisa bernilai sebagai akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian yang
sempurna dan mengikat; atau

2. hanya sebagai fakta hukum yang dinilai secara bebas sesuai dengan pertimbangan
hakim.

Kesimpulan

Konflik yurisdiksi adalah konflik yang timbul ketika dua atau lebih hakim atau
pengadilan, tergantung pada kasusnya, memiliki yurisdiksi yang sama untuk
menangani masalah tertentu, sehingga konflik harus diselesaikan sebelum
melanjutkan penyelesaian sengketa. Jenis-jenis konflik ini dapat bersifat nasional,
yang memengaruhi tatanan hukum satu negara, atau internasional, yang memengaruhi
dua atau lebih sistem hukum. Yurisdiksi adalah kekuasaan atau wewenang yang
berasal dari kekuasaan yang diberikan Negara, untuk dapat menyelesaikan konflik
yang warga negara mungkin telah menggunakan undang-undang sebagai alat tekanan
sehingga dipatuhi oleh apa yang ditentukan oleh hakim.

Yurisdiksi terdiri dari kekuatan yang dimiliki oleh Negara secara keseluruhan
untuk dapat menyelesaikan konflik-konflik tertentu melalui pengenaan Hukum dan
Hukum. Kekuasaan ini diberikan kepada badan negara, yang dalam hal ini adalah
badan peradilan. Dengan kata lain, itu adalah kekuatan bahwa Negara harus dapat
menyelenggarakan keadilan melalui organ-organ Kehakiman, tergantung pada apa
yang diatur dalam Konstitusi negara tertentu.

Daftar pustaka

Agustina, Shinta, Pengantar Hukum Pidana Internasional (Dalam Teori dan Praktek), Padang:
UNAND Press, 2006.

20
Ariadno, Melda Kamil, Hukum Internasional, Edisi Pertama, Diadit Media, Jakarta, 2007.
Atmasasmita, Romli, Pengantar Hukum Pidana Internasional II, Jakarta: PT. Hecca Mitra Utama,
2004.

Dam, Syamsumar, Politik Kelautan, Edisi Pertama, Jakarta: Bumi Aksara, 2010.
Mauna, Boer, Hukum Internasional, Bandung: P.T Alumni, 2005.

Hardjowahono, Bayu Seto. 2013. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional (Buku Kesatu). Citra
Aditya Bakti. Bandung

Khairandy, Ridwan. 2007. Pengantar Hukum Perdata Internasional. FH UII Press. Yogyakarta

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, West Publishing comp, St Paul Minn, edisi ke-5,
1979, hlm 1262.

Boer Mauna, Hukum Internasional: Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, PT.
Alumni, Bandung, edisi ke-2, 2008, hlm 17.

Masyhur Effendi, Moh. Ridwan, Muslich Subandi, Pengantar dan Dasar-Dasar Hukum Internasional,
IKIP Malang, Malang, 1995, hlm 89.
Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Bandung, 2004, hlm 145.
Starke, J.G., 1989, Introduction To International Law, Pengantar Hukum Internasional, Terjemahan
oleh Bambang Iriana Djajaatmadja, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm 273.

Parthiana, I Wayan, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Pertama, Bandung: Mandar Maju, 1990.
R.R. Churchill and A.V. Lowe, The Law Of The Sea, Manchester: Manchester University Press, 1983.
Sefriani, Hukum Internasional, Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Tamburaka, Apriadi, 47 Hari dalam Sandera Perompak Somalia, Cetakan Pertama, Yogyakarta:
Cakrawala, 2011.

Thontowi, Jawahir dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, Bandung: PT. Refika
Aditama, 2006. Tirtamulia, Tjondro, Zona-Zona Laut UNCLOS, Surabaya: Brilian Internasional, 2011

Ilhami Ginang: Penerapan Forum Rei 1 YURIDIKA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS AIRLANGGA
Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Jalan Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya, 60286
Indonesia, +6231-5023151/5023252 Fax +6231-5020454, E-mail: yuridika@fh.unair.ac.id Yuridika
(ISSN: 0215-840X | e-ISSN: 2528-3103) by http://e-journal.unair.ac.id/index.php/YDK/index under a
Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License. Volume 30 No 1,
Januari 2015 Article history: Submitted 17 November 2014; Accepted 15 January 2015;

Fatimahn, Nur, 2019, Yurisdiksi dalam Hukum Internasional, Cakupan, dan Jenis Perluasannya.
Online. https://pelayananpublik.id/2019/08/07/yurisdiksi-dalam-hukum-internasional-cakupan-dan-
jenis-perluasannya/ di akses pada 17 september 2023

21

Anda mungkin juga menyukai