Anda di halaman 1dari 15

SYARAT DAN RUKUN NIKAH

Dosen pengampu: Dr. Khairani, S.Ag., M.Ag.

Disusun Oleh:

RihhadatullAisyi : 220102113
Zakia : 220102191

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH 2023/2024
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang
wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia. Untuk melangsungkan sebuah pernikahan yang sah,
perlu diketahui rukun dan syarat-syaratnya. Oleh sebab itu makalah ini secara
ringkas akan membahas tentang rukun dan syarat pernikahan, yang saat ini
banyak perselisihan tentang apa saja rukun dan syarat pernikahan, dan
bagaimana pula rukun dan syarat pernikahan itu sendiri.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendapat ulama tentang syarat dan rukun nikah?
2. Bagaimana syarat dan rukun nikah menurut fukaha mazhab?
3. Bagaimana keberadaan wali dan perannya?
4. Bagaimana hirarki wali dalam pernikahan?
5. Bagaimana saksi dan syarat-syaratnya?
6. Bagaimana akad nikah, sighat, ijab dan qabul?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pendapat ulama tentang syarat dan rukun nikah.
2. Mengetahui syarat dan rukun nikah menurut fukaha mazhab.
3. Mengetahui keberadaan wali dan perannya.
4. Mengetahui hirarki wali dalam pernikahan.
5. Mengetahui saksi dan syarat-syaratnya.
6. Mengetahui akad nikah, sighat, ijab dan qabul.

1
II. PEMBAHASAN
A. Pendapat Ulama Tentang Syarat dan Rukun Nikah
Di dalam Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam para
ulama kebingungan terhadap apa yang disebut rukun dengan apa yang disebut
syarat.
Beberapa pendapat ulama terhadap hal yang termasuk rukun dan syarat,
diantaranya adalah:
1. Abdurrahman al-Jaziri menyebut yang termasuk rukun adalah al-ijab dan
al-qabul dimana tidak ada nikah tanpa keduanya. 1
2. Sayyid Sabiq juga menyimpulkan menurut fuqaha, rukun nikah terdiri
dari al-Ijab dan al-Qabul, sedangkan yang lain termasuk dalam syarat. 2
3. Hanifah, nikah itu terdiri dari syarat-syarat yang terkadang berhubungan
dengan sighat, dua calon mempelai, dan kesaksian.
4. Syafi’iyyah, melihat syarat perkawinan itu adakalanya menyangkut
sighat, wali, calon suami istri dan juga syuhud, sedangkan yang berkenaan
dengan rukun menyangkut calon suami-istri, wali, dua orang saksi dan
sighat.3
Jelaslah para ulama tidak hanya berbeda dalam menggunakan kata rukun
dan syarat tetapi juga berbeda dalam definisi detailnya, misalnya Malikiyyah
tidak menempatkan saksi sebagai rukun, sedangkan syafi’I menjadikan dua
orang saksi sebagai rukun.
Menurut Jumhur ulama, rukun perkawinan ada lima dan masing-masing
rukun itu memiliki syarat-syarat tertentu. Untuk memperjelas pembahasan,
maka uraian rukun perkawinan disamakan dengan uraian syarat-syarat dari
rukun tersebut.4
a) Calon suami, syarat-syaratnya:
1. Beragama Islam.

1
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala Mazahib al-‘Arba’ah, Juz IV, (Dar al-Fikr, t.t), h.12.
2
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Juz II, (Beirut: Dar al-Fikr, 1983), h. 29.
3
Abdurrahman al-Jaziri, op.cit, h.12.
4
Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 1998), h. 71.

2
2. Laki-laki.
3. Jelas orangnya.
4. Dapat memberikan persetujuan.
5. Tidak terdapat halangan perkawinan.
b) Calon Istri, sayarat-syaratnya:
1. Beragama meskipun yahudi atau nasrani.
2. Perempuan.
3. Jelas orangnya.
4. Dapat dimintai persetujuannya.
5. Tidak terdapat halangan perkawinan.
c) Wali Nikah, syarat-syaratnya:
1. Laki-laki
2. Dewasa
3. Mempunyai hak perwalian
4. Tidak terdapat halangan perwaliannya
d) Saksi Nikah, syarat-syaratnya:
1. Minimal dua orang laki-laki
2. Hadir dalam ijab qabul
3. Dapat mengerti maksud akad
4. Islam
5. Dewasa
e) Ijab Qabul, syarat-syaratnya:
1. Adanya pernyataan mengawinkan dari wali
2. Adanya pernyataan penerimaan dari calon mempelai
1. Memakai kata-kata nikah, tazwij atau terjemahan dari kedua kata
tersebut.
4. Antara ijab dan qabul jelas bersambungan.
5. Antara ijab dan qabul jelas maksudnya.
6. Orang yang terkait dengan ijab dan qabul tidak sedang ihram haji atau
umrah.

3
7. Majlis ijab dan qabul itu harus dihadiri minimum empat orang yaitu
calon mempelai atau wakilnya, wali dari mempelai wanita dan dua
orang saksi.
Kendatipun dalam hal-hal tertentu, seperti wali dan saksi masih ikhtilaf
dikalangan ulama, namun mayoritas sepakat dengan rukun yang lima ini.

B. Rukun dan Syarat Nikah Menurut Fukaha Mazhab


a. Mazhab Malikiyah
Menurut mazhab Malikiyah bahwa rukun-rukun nikah ada lima, yakni:
(1).Wali dari wanita, (2). Shidaq atau mahar, (3). Suami tidak sedang ihram
(4). Isteri tidak sedang ihram atau tidak sedang dalam iddah dan (5). Shighat
(ijab dan qabul).
Menurut mereka, rukun adalah sesuatu yang tidak akan ada esensi
syar’iyah (al-mahiyatu al-syar’iyyah) kecuali dengan adanya. Maka, akad
nikah tidak akan terbentuk, kecuali dengan adanya kedua belah pihak yang
berakad, yaitu suami dan wali; dan tidak akan terbentuk kecuali dengan
adanya ma’qud ‘alaih, yakni wanita dan maskawin; dan tidak akan terbentuk
kecuali dengan adanya shighat, yakni lafaz atau kata-kata yang dengannya
menegaskan pernikahan menurut syara’. Adapun tidak menyebutkan mahar
dalam akad itu tidak mengapa, karena keberadaannya sebagai rukun dilihat
dari sudut sesuatu yang tidak boleh tidak ada (ma la budda minhu).5 Dari
rukun-rukun yang telah disebutkan, maka tidak ada di dalamnya saksi.
Dengan demikian, saksi bukan rukun menurut mazhab ini.
Menurut mereka bahwa masing-masing rukun yang tersebut di atas
mempunyai syarat-syaratnya masing-masing. 6

5
Abdurrahman Al-Jazairi, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Mazaahib al-Arba’ah, Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiah, tahun 2010, Cet. 4, Jil. 2, hal. 712.
6
Abdurrahman Al-Jazairi, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Mazaahib al-Arba’ah, Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiah, tahun 2010, Cet. 4, Jil. 2, hal. 716.

4
b. Mazhab Syafi’iyyah
Dalam mazhab syafi’i rukun-rukun pernikahan terdiri dari lima rukun
juga, yakni: (1). Suami, (2). Isteri, (3). Wali, (4). Dua orang saksi, dan (5).
Shighat.
Para imam mazhab syafi’iyah menggolongkan dua saksi ke dalam bagian
syarat nikah. Mereka beralasan karena saksi berada diluar esensi akad
(mahiyatul aqdi) nikah. Hikmah menetapkan dua saksi sebagai satu rukun
tersendiri, sementara suami-isteri sebagai satu rukun untuk masing-
masingnya, bahwa syarat-syarat dua orang saksi sama, sedangkan syarat-
syarat suami dan isteri berbeda. 7
Menurut mereka, syarat-syarat pernikahan sebagiannya berhubungan
dengan shighat, sebagian dengan wali, sebagian dengan suami-isteri dan
sebagian lagi berhubungan dengan saksi. 8
Dari ketentuan rukun-rukun di atas, maka tidak tersebut mahar. Dengan
demikian, mahar bukan rukun nikah menurut mereka.
c. Mazhab Hanafiyyah
Menurut mereka, ada beberapa syarat nikah yang sebagiannya
berhubungan dengan shighat, sebagiannya berhubungan dengan dua pihak
yang melakukan akad, dan sebagian lagi berhubungan dengan saksi. 9 Wali
nikah menurut mazhab ini bukanlah syarat sah nikah. Abu Hanifah, Zufar,
Al-Sya’bi dan Al-Zuhri, mereka berpendapat bahwa apabila seorang wanita
melakukan akad nikah untuk dirinya tanpa wali, dengan laki-laki yang kuf-ah,
maka hukumnya boleh. 10
Dari itu, dapat disimpulkan bahwa rukun nikah menurut mereka ada tiga,
yakni (1) sighat (akad), (2). Dua pihak yang berakad, (3). Saksi.
Berarti menurut mereka, mahar dan wali bukan rukun nikah dan bukan
syarat.

7
Ibid. hal. 712.
8
Ibid. hal. 715.
9
Ibid. hal. 713.
10
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Darul Kutub, jil.2, hal. 7.

5
d. Mazhab Hanabilah
Menurut mazhab Hanabilah bahwa dalam pernikahan ada empat syarat
yakni: (1). Tertentu suami-isteri, (2). Kemauan sendiri dan rela (al-ikhtiyar
wa al- ridha), (3). Wali, dan (4). Saksi.11
Dengan demikian, menurut mereka, hal-hal tersebut hanya sebagai
syarat, bukan rukun. Di sana tidak disebutkan shighad (akad) dan mahar. Ini
boleh jadi menurut mereka sebagai rukun, bukan syarat.
Berikut tabel perbandingan antara empat mazhab dalam penetapan syarat
nikah dan rukun nikah:

No Mazhab Rukun Nikah Syarat Sah Nikah Keterangan


1 Hanafiyah 1.Shighat Syarat-syarat Mahar tidak tersebut
2. Dua pihak sebagiannya dalam urutan rukun
yang berakad berhubungan dengan
(wali dan shighat, dua pihak yang
suami) berakad, dan saksi.
3. Saksi
2 Malikiyah 1. Wali dari Masing-masing rukun Saksi tidak tersebut dalam
wanita ada syaratnya-syaratnya. urutan rukun.
2. Mahar Saksi
3. Suami tidak Tidak menyebut mahar
sedang ihram dalam akad tidak mengapa
4. Isteri tidak karena kedudukannya
sedang ihram sebagai rukun dipandang
dan tidak dari segi ‘sesuatu yang
sedang iddah tidak boleh tidak`
5. Shighat
3 Syafi’iyah 1. Suami Sebagian syarat-syarat Sebagian ulama syafi’iyah
2. Isteri berhubungan dengan menetapkan saksi sebagai
3. Wali sighat, wali, suami, isteri syarat sah nikah, karena
4. Dua saksi dan saksi. kedudukannya diluar akad
5. Sighat nikah.

Mahar tidak tersebut


dalam urutan rukun nikah,
dengan demikian mahar
bukan rukun nikah.

11
Abdurrahman Al-Jazairi, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Mazaahib al-Arba’ah, Beirut: Darul Kutub al-
Ilmiah, tahun 2010, Cet. 4, Jil. 2, hal. 716.

6
Mahar menjadi wajib
dengan tiga sebab; 1.
Mewajibkan oleh hakim.
2. Mewajibkan oleh suami
sendiri. 3. Dengan terjadi
jima’ (persetubuhan)
setelah nikah. Penyebutan
mahar dalam akad hanya
sunnah, maka sah nikah
meskipun tidak disebutkan
saat akad.
4 Hanabilah 1. Sighat 1. Tertentu suami dan Sighat dan mahar tidak
2. Mahar isteri tersebut dalam urutan
2. Kemauan sendiri dan syarat. Berarti keduanya
ridha masuk dalam rukun.
3. Wali
4. Saksi

C. Keberadaan Wali dan Perannya


Menurut hukum Islam Perkawinan itu sah jika sudah memenuhi syarat
dan rukunnya, yang menjadi syarat perkawinan ialah adanya kata sepakat
diantara pihak-pihaknya, calon suami isteri sudah baliq atau dewasa dan tidak
ada hubungan atau halangan yang dapat merintangi perkawinannya.
Sedangkan yang menjadi rukun perkawinan ialah adanya calon, adanya wali
nikah, adanya dua orang saksi dan adanya ijab qobul. Jadi wali nikah
merupakan salah satu rukun perkawinan.
Imam Maliki dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wali adalah salah satu
rukun perkawinan dan tidak ada perkawinan kalau tidak ada wali. 12
Dengan berdasarkan pendapat Imam Maliki dan Imam Syafi’i itu, suatu
perkawinan dianggap tidak sah jika tidak terdapat seorang wali yang
mengijabkan mempelai wanita kepada mempelai pria. Karena adanya wali
dalam perkawinan merupakan rukun perkawinan yang tidak dapat
ditinggalkan jika menghendaki sahnya perkawinan itu. Sehingga jika
mempelai wanita tidak mempunyai wali lagi, atau karena sesuatu hal walinya

12
Mahmud Junus, Perkawinan Dalam Islam, Jakarta, Penerbit Bulan Bintang, 1964, Hal. 53.

7
tidak bisa mengijinkan, kedudukan wali dalam akad nikah tetap
dipertahankan dengan diganti oleh wali hakim.
Dengan demikian adanya wali nikah dalam perkawinan dapat berperan
untuk melindungi kaum wanita dari kemungkinan yang merugikan dalam
kehidupan perkawinannya. 13

D. Hirarki wali dalam pernikahan


Ada beberapa macam wali yang dapat bertindak sebagai wali nikah
antara lain sebagai berikut:
1. Ayah
2. Kakek (ayahnya ayah)
3. Saudara laki-laki sekandung
4. Saudara laki-laki seayah (lain ibu)
5. Keponakan laki-laki kandung
6. Keponakan laki-laki seayah
7. Paman kandung
8. Paman seayah
9. Saudara sepupu laki-laki kandung
10. Saudara sepupu laki-laki seayah
Kalau semua wali tidak ada maka walinya adalah pemerintah (dalam hal ini
KUA).14
Diantara urutan di atas, yang harus menjadi wali nikah sesuai dengan
urutannya. Mengenai urutan wali dalam Kompilasi Hukum Islam
menyatakan:
a. Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan,
kelompok yang satu di dahulukan dari kelompok yang lain sesuai erat
tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

13
Abdullah Kelib, Hukum Islam, semarang, Penerbit PT. Tugu Muda Indonesia, 1990, Hal. 8.
14
Sakban Lubis dkk, Fiqh Munakahat(Jambi: PT Sonpedia Publishing Indonesia, 2023), hal. 103.

8
1. Kelompok kerabat laki-laki garis lurus keatas yakni ayah. Kakek dari
pihak ayah dan seterusnya.
2. Kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki
seayah dan keturunan laki-laki mereka.
3. Kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, dan
keturunan laki-laki mereka.
4. Kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah
dan keturunan laki-laki mereka.
b. Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang
sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali ialah
yang lebih dekat derajat kerabatnya dengan calon mempelai wanita.
c. Apabila dalam satu kelompok sama derajat kerabatnya. maka yang paling
berhak menjadi wali nikah kerabat kandung dari kerabat yang hanya
seayah.
d. Apabila dalam satu kelompok derajat kerabatnya sama, yakni sama-sama
derajat kandung atau sama-sama derajat kerabat seayah, mereka sama-
sama berhak menjadi wali nikah dengan mengutamakan yang lebih tua
dan memenuhi syarat-syarat wali. 15

E. Saksi dan syarat-syaratnya


Saksi adalah orang yang menyaksikan jalannya pelaksanaan ijab dan
qabul dalam pernikahan. Pernikahan tidak dianggap sah tanpa adanya wali
dan dua orang saksi.
Syarat-syarat dua orang saksi:
1. Laki-laki
2. Beragama islam
3. Akil balig
4. Mendengar
5. Bisa berbicara dan melihat

15
Dapertemen Agama RI..Kompilasi Hukum Islam (Jakarta:Karta Anda, th.). hal. 27.

9
6. Berakal
7. Adil
Perlunya dua orang saksi dalam pernikahan adalah:
1. Untuk menjaga apabila ada tuduhan atau kecurigaan polisi atau orang lain
terhadap pergaulan mereka.
2. Untuk menguatkan janji mereka berdua, begitu pula terhadap
keturunannya.

F. Akad Nikah, Sighat, Ijab dan Qabul


Akad nikah terdiri dari dua kata, yaitu kata akad dan kata nikah. Kata
akad artinya janji, perjanjian; Kontrak. Sedang nikah yaitu ikatan (akad)
perkawinan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan ajaran
agama. Atau secara sederhana bermakna perkawinan, perjodohan. 16
Akad nikah adalah perjanjian yang berlangsung antara dua pihak yang
melangsungkan perkawinan dalam bentuk ijab dan qabul. 17 Sedangkan
definisi akad nikah dalam Kompilasi Hukum Islam yang termuat dalam Bab I
pasal 1 (c) yang berbunyi: Akad nikah adalah rangkaian ijab yang diucapkan
oleh wali dan qabul yang diucapkan oleh mempelai pria atau wakilnya
disaksikan oleh dua orang saksi. 18
Akad nikah ialah pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan pihak
calon istri untuk mengikatkan diri mereka dalam ikatan perkawinan.
Dengan pernyataan ini berarti kedua belah pihak telah rela dan sepakat
melangsungkan perkawinan serta bersedia mengikuti ketentuan-ketentuan
Agama19 yang berhubungan dengan aturan-aturan dalam berumah tangga.

16
Achmad Kuzari, Nikah sebagaiPerikatan, Jakarta: Raja GrafindoPersada, 1995, Cet. 1, hlm. 34.
17
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, Cet. 2,
T.th., hlm. 61
18
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Pressindo Edisi
Pertama, 1995, hlm. 113.
19
Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam TentangPerkawinan, Jakarta: Bulan Bintang, 1974,
Cet.1, hlm. 73.

10
Akad nikah merupakan wujud nyata sebuah ikatan antara seorang pria
yang menjadi suami dengan seorang wanita sebagai istri, yang dilakukan di
depan (paling sedikit) dua orang saksi, dengan menggunakan sighat ijab dan
qabul. Jadi, akad nikah adalah perjanjian dalam suatu ikatan perkawinan yang
dilakukan oleh mempelai pria atau yang mewakilinya, dengan wali dari pihak
Wanita calon pengantin atau yang mewakilinya, dengan menggunakan sighat
ijab dan qabul. Pernyataan yang menunjukkan kemauan membentuk
hubungan suam iistri dari pihak mempelai wanita disebut ijab. Sedangkan
pernyataan yang diucapkan oleh pihak mempelai pria untuk menyatakan ridha
dan setuju disebut qabul. 20
Kedua pernyataan antara ijab dan qabul inilah yang dinamakan akad
dalam pernikahan.
Ijab merupakan pernyataan pertama yang dikemukakan oleh salah satu
pihak, yang mengandung keinginan secara pasti untuk mengikat diri.
Sedangkan qabul adalah pernyataan pihak lain yang mengetahui dirinya
Menerima pernyataan ijab tersebut.21 Ijab dilakukan oleh pihak wali
mempelai wanita atau wakilnya, sedangkan qabul dilakukan oleh mempelai
pria atau wakilnya. 22 Qabul yang diucapkan, hendaknya dinyatakan dengan
kata-kata yang menunjukkan kerelaan secara tegas.23

20
Tihami dan SohariSahrani, FikihMunakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap, Jakarta: Rajawali
Pers, 2013, Cet. 3, hlm. 79.
21
Dahlan Aziz (Ed), Ensiklopedi Hukum Islami, Jakarta: PT. Ikhtiar Baru Van Hoeke, hlm. 1331.
22
Djamaan Nur, Fiqh Munakahat, Semarang: Dina Utama Semarang (DIMAS) (Toha Putra
Group), 1993, Cet.1, hlm. 22.
23
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja‟far Shadiq, terj. Abu Zainab AB, Jakarta:
Lentera, 2009, Cet. 1, hlm. 262.

11
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Meskipun terdapat perbedaan pendapat, mayoritas ulama sepakat bahwa
ada lima rukun perkawinan yang mencakup syarat-syarat tertentu: a) Calon
suami, b) Calon istri, c) Wali nikah, d) Dua saksi nikah, e) Ijab qabul.
Meskipun terdapat ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam hal-hal seperti
wali dan saksi, mayoritas ulama sepakat dengan lima rukun perkawinan ini
sebagai panduan dalam perkawinan Islam.
2. Ulama mazhab berbeda pendapat terkait jumlah rukun dan syarat nikah,
yaitu:
a. Mazhab Malikiyah: Mengakui lima rukun pernikahan, mahar bukan
rukun, saksi bukan rukun.
b. Mazhab Syafi'iyyah: Mengakui lima rukun pernikahan, mahar bukan
rukun, saksi dianggap syarat.
c. Mazhab Hanafiyyah: Mengakui tiga rukun pernikahan, mahar dan wali
bukan rukun atau syarat.
d. Mazhab Hanabilah: Mengakui empat syarat pernikahan, mahar dan
sighat mungkin rukun, bukan syarat.
3. Wali nikah adalah rukun penting dalam perkawinan menurut Imam Maliki
dan Imam Syafi'i. Tanpa wali, perkawinan dianggap tidak sah. Wali nikah
berperan dalam melindungi hak-hak wanita dalam perkawinan dan
memastikan sahnya akad nikah. Jika tidak ada wali, wali hakim dapat
menggantikannya. Ini adalah langkah penting untuk memastikan
perkawinan sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
4. Ada berbagai jenis wali nikah dalam Islam yang harus mengikuti urutan
tertentu, termasuk ayah, kakek, saudara laki-laki, paman, dan lainnya. Jika
semua wali tidak tersedia, pemerintah (KUA) dapat menjadi wali. Urutan
wali ini diatur oleh Kompilasi Hukum Islam, dengan ayah dan kakek
diutamakan. Jika ada beberapa wali dalam satu kelompok, yang lebih
dekat dalam derajat kerabatnya memiliki hak lebih tinggi. Jika derajat

12
kerabat sama, yang lebih tua diutamakan dengan memenuhi syarat-syarat
wali nikah.
5. Dalam pernikahan Islam, saksi adalah orang yang menyaksikan ijab dan
qabul. Pernikahan sah memerlukan wali dan dua saksi. Syarat-syarat saksi
termasuk laki-laki, beragama Islam, dewasa, berakal, dan adil. Saksi
diperlukan untuk menjaga integritas pernikahan, menguatkan janji
pasangan, serta melindungi mereka dari tuduhan atau kecurigaan.
6. Akad nikah adalah perjanjian perkawinan dalam Islam yang terdiri dari
ijab (pernyataan kesepakatan) dan qabul (pernyataan penerimaan). Ini
adalah kesepakatan antara calon suami dan istri dihadiri oleh dua saksi.
Ijab biasanya dari pihak wanita atau wakilnya, dan qabul dari pihak pria
atau wakilnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman Al-Jazairi, Kitaabul Fiqhi ‘Alal Mazaahib al-Arba’ah, Beirut:


Darul Kutub al-Ilmiah, 2010.
Mahmud Junus, Perkawinan Dalam Islam, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta,
1964.
Abdullah Kelib, Hukum Islam, Penerbit PT. Tugu Muda Indonesia, Semarang,
1990.
Lubis Sakban, Fiqh Munakahat, PT Sonpedia Publishing Indonesia, Jambi, 2023.
Achmad Kuzari, Nikah sebagai Perikatan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995.
Syarifuddin Amir, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, Prenada Media,
Jakarta.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Akademika Pressindo Edisi
Pertama, Jakarta, 1995.
Muchtar Kamal. Asas-Asas Hukum Islam TentangPerkawinan, Bulan Bintang,
Jakarta, 1974.
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat: Kajian Fikih Nikah Lengkap,
Rajawali Pers, Jakarta, 2013.
Azis Dahlan (Ed), Ensiklopedi Hukum Islami, PT. Ikhtiar Baru Van Hoeke,
Jakarta, 1331.
Nur Djamaan, Fiqh Munakahat, Dina Utama Semarang (DIMAS) (Toha Putra
Group), Semarang, 1993.
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja‟far Shadiq, terj. Abu Zainab AB,
Lentera, Jakarta, 2009.
Rusyd Ibnu, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Beirut: Darul
Kutub.
Rafiq Ahmad, Hukum Islam di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 1998.

14

Anda mungkin juga menyukai