mAKALAH Jgu
mAKALAH Jgu
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pancasila merupakan sebuah konsep pemikiran yang menjadi dasar bangsa
Indonesia dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara (Ruslan, 2013).
Setiap aspek yang terdapat dalam nilai-nilai Pancasila adalah kristalisasi nilai
luhur bangsa Indonesia semenjak zaman dahulu. Eksistensi nilai-nilai luhur
bangsa Indonesia kemudian direpresentasikan alam lima sila Pancasila. Kelima
sila tersebut diharapkan mampu menyatukan dinamisnya kehidupan masyarakat
Indonesia. Di samping itu, Pancasila juga dianggap sebagai kumpulan prinsip-
prinsip yang bersifat lestari yang memuat ide-ide yang patut untuk diperjuangkan
(Rahayu, 2017).
2
Pancasila adalah dasar negara dan oleh karena itu negara memiliki
kewajiban untuk menguatkan nilai-nilai Pancasila dalam seluruh dimensi
kehidupan masyarakat. Namun demikian, dalam kerangka ini, setidaknya
Pancasila memiliki dua resiko ketika berdinamika dalam ruang politik dan sosial.
3
menyatukan budaya satu dengan budaya yang lainnya (Dewantara, Hermawan, et
al., 2021).
4
kesenjangan sosial dan ekonomi serta angka kemiskinan yang masih tinggi
seringkali menyebabkan masalah sosial yang terjadi pada golongan masyarakat.
Pada tahun 2020 terdapat berita mengenai masalah rasisme yang terjadi di
Amerika yang menggemparkan dunia. Selain itu masalah rasisme yang terjadi
terhadap warga Papua juga belum menemukan titik terang. Seperti yang terjadi
pada tahun 2019 kasus rasisme di asrama mahasiswa Papua di Surabaya. Aksi
tersebut dilakukan oleh organisasi masyarakat di asrama milik warga Papua. Aksi
tersebut dilatarbelakagi dengan dugaan penodaan simbol negara yaitu bendera
merah putih yang dilakukan oleh mahasiswa Papua (Kusmiarti, 2020). Dalam
pemberitaan Kompas.com (Suryani, 2021) disebutkan bahwa polisi sudah
mencoba berkomunikasi kembali dengan mahasiswa Papua untuk mencari tahu
kronologi permasalahan tersebut. Namun upaya yang dilakukan polisi kembali
tidak membuahkan hasil dan akhirnya polisi melakukan tindakan dengan
mengangkut paksa mahasiswa Papua. Terlebih lagi pada proses negosiasi terdapat
beberapa oknum dari polisi ataupun ormas yang melontarkan kata-kata yang
bernada rasisme (Nurgiansah, 2021).
Rumusan Masalah
Bagaimana implikasi nilai Pancasila sila kelima dalam mengatasi
ketimpangan sosial yang ada di masyarakat?
5
BAB II
PEMBAHASAN
Ketimpangan Sosial
Ketimpangan sosial diartikan sebagai ketidaksamaan akses untuk
mendapatkan atau memanfaatkan sumber daya yang tersedia. Sumber daya bisa
berupa kebutuhan primer seperti pendidikan, kesehatan, perumahan, peluang
berusaha dan kerja, dapat berupa kebutuhan sekunder seperti sarana
pengembangan usaha, sarana perjuangan hak asasi, sarana saluran politik, dan
lain-lain.
6
kestrata lain. selain itu pada masyarakat yang menganut sistem kelas sosial
dimana status orang ditentukan oleh keahlian yang dimiliknya. Ini
merupakan gambaran masyarakat yang demokratis namun kenyataannya
ketimpangan sosial tetap ada. hal tersebut dikarenakan akses yang dimiliki
setiap kelas sosial berbeda.
2. Sikap Prejudice; sikap Prejudice adalah sikap berdasarkan pada
generalisasi yang tidak berdasarkan realitas dan cenderung subjektif. sikap
prejudice bisa diarahkan pada kelompok orang dari kelas sosial, jenis
kelamin, umur, partai politik, ras atau suku tertentu. sikap prejudice dapat
menjurus pada sikap stereotip yaitu sikap mengkategorikan kelompok
tertentu berdasarkan perasaan suka dan tidak suka sikap prejudice juga
bisa menjurus kepada sikap rasisme.
3. Diskriminasi; diskriminasi juga menjadi salah satu faktor yang
melatarbelakangi munculnya ketimpangan sosial dimasyarakat. Adapun
ketimpangan ini bermuara dari adanya ketidakadilan. Ketimpangan sosial
yang terjadi dimasyarakat apabila disebabkan oleh faktor ketidakadilan
dalam pendistribuasian hasil pembangunan maka akan menimbulkan rasa
tidak puas terhadap pemerintah/ pihak pengusaha swasta yang dapat
memicu adanya berbagai bentuk gerakan sosial seperti demonstrasi
kelas action dan pergolakan daerah.
7
disebabkan oleh beberapa faktor lain yaitu: kondisi demografi, kondisi
pendidikan, kondisi ekonomi, kondisi kesehatan, kemskinan, kurangnya lapangan
pekerjaan, perbedaan status sosial masyarakat, dan letak geografis.
Ketimpangan sosial dalam masyarakat dipengaruhi oleh faktor-faktor :
1. Kondisi Demografis.
Demografi adalah ilmu yang mempelajari tentang masalah kependudukan
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Kondisi demografis antara
masyarakat satu dengan yang lain memiliki perbedaan. Perbedaan antara
masyarakat satu dengan yang lain tersebut berkaitan dengan: jumlah
penduduk, komposisi penduduk, dan persebaran penduduk.
2. Kondisi Pendidikan.
Pendidikan merupakan sosial elevator, yaitu saluran mobilitas sosial
vertikal yang efektif, yang merupakan kebutuhan untuk semua orang.
Pendidikan merupakan kunci pembangunan, terutama pembangunan
sumber daya manusia. Ada perbedaan mencolok dalam pendidikan yang
ada di daerah dan kota, seperti: Anak-anak yang berada di daerah terpencil
memiliki semangat belajar tinggi meskipun fasilitas kurang. Sedangkan
anak yang tinggal di kota dengan fasilitas pendidikan yang mencukupi,
sebagian besar terpengaruh oleh lingkungan sosial yang kurang baik
sehingga semangat belajar kurang. Perbedaan ini menyebabkan
ketimpangan sosial. Ketimpangan sosial tersebut dapat dilihat dari
fasilitas, kualitas tenaga kerja, mutu pendidikan.
3. Kondisi Ekonomi.
Faktor ekonomi sering dianggap sebagai penyebab utama munculnya
ketimpangan sosial. Ketimpangan ini timbul karena pembangunan
ekonomi yang tidak merata. Ketidakmerataan pembangunan ini
disebabkan karena perbedaan antara wilayah yang satu dengan yang
lainnya. Terlihat dari adanya wilayah yang maju dan wilayah yang
tertinggal. Munculnya ketimpangan yang dilihat dari faktor ekonomi
terjadi karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan
faktor produksi. Daerah yang memiliki sumber daya dan faktor produksi,
terutama yang memiliki barang modal (capital stock) akan memperoleh
8
pendapatan yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah yang memiliki
sedikit sumber daya.
4. Kondisi Kesehatan.
Ketimpangan sosial dapat disebabkan oleh fasilitas kesehatan yang tidak
merata di setiap daerah, jangkauan kesehatan kurang luas, pelayanan
kesehatan yang kurang memadai, dsb. Hal ini menyebabkan tingkat
kesehatan dan kesejahteraan di masyarakat yang satu berbeda dengan
masyarakat yang lain, sehingga bisa mengakibatkan ketimpangan.
5. Kemiskinan.
Kemiskinan juga dianggap sebagai salah satu penyebab ketimpangan
sosial secara teoritis. Kemiskinan dapat disebabkan oleh faktor internal
dan faktor eksternal. Kurangnya kemampuan, mutu pendidikan, dan sifat
malas yang melekat di diri masyarakat adalah beberapa contoh dari faktor
internal. sementara itu birokrasi atau peraturan yang diterapkan oleh
instansi perusahaan atau negara merupakan faktor eksternal penyebab
kemiskinan. Faktor eksternal bukan hanya menyebabkan kemiskinan
kepada satu orang saja, namun juga menyebabkan kemiskinan struktural
yang menyebabkan hampir seluruh masyarakat mengalami kemiskinan.
6. Kurangnya Lapangan Pekerjaan.
Kurangnya lapangan pekerjaan membuat masyarakat mengalami
ketimpangan atau kesenjangan sosial. Kesenjangan antara masyarakat
tenaga kerja dan penganguran menjadi semakin besar karena lapangan
pekerjaan semakin sempit. Apabila upaya pemerintah dalam mengatasi
pengangguran tidak dilakukan, maka para pengangguran ini akan merasa
terdiskriminasi dan ketimpangan sosial pun semakin sulit diatasi.
7. Perbedaan status sosial masyarakat.
Perbedaan ini terjadi karena adanya pelapisan atau stratifikasi sosial yang
terbentuk berdasarkan kualitas pribadi, entah itu kesehatan, pendidikan
ataupun kekayaan. Ketimpangan sosial ini merupakan ketimpangan yang
sering terjadi dilingkungan masyarakat. Ketimpangan ini bisa dilihat
adanya perbedaan status sosial antara orang kaya dengan orang miskin.
Penguasaan dengan rakyat, atau sarjana dengan lulusan SD.
9
8. Letak geografis.
Pengaruh letak geografis ternyata berpengaruh terhadap ketimpangan
sosial. Secara geografis, Indonesia terdiri atas pulau-pulau yang jumlahnya
sangat banyak. Sayangnya pulau-pulau ini tidak bisa dikelola dengan baik,
sehingga ketimpangan sosial pun akhirnya terjadi. Pulau-pulau kecil yang
tidak tertangani pemerintah akhirnya malah tertinggal dengan pulau-pulau
besar seperti jawa, Sumatra dan pulau besar lainnya.
Konsep Pancasila
Secara etimologi kata “Pancasila” berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
panca yang berarti “lima” dan sila yang berarti “dasar atau prinsip”. Secara
harfiah katapancasila diartikan sebagai “lima unsur dasar”. Pengertian pancasila
menurut Muhammad Yamin ialah lima dasar yang berisi pedoman atau aturan
tentang tingkah laku yang penting dan baik. Pancasila berasal dari kata panca
yang berarti lima dan sila berarti sendi, asas, dasar atau peraturan tingkah laku
yang penting dan baik. Maka dapat disimpulkan bahwa pancasila merupakan lima
dasar atau prinsip yang berisi aturan tentang tingkah laku yang baik dan dijadikan
pedoman bagi Warga Negara Indonesia.
Adapun lima dasar penyusun pancasila, yaitu:
1) Sila pertama : Ketuhanan yang Maha Esa
2) Sila kedua : Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Sila Ketiga : Persatuan Indonesia
4) Sila Keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam permusyawaratan perwakilan
5) Sila Kelima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Didalam masing-masing isi Pancasila terdapat simbol-simbol yang
mewakili setiap sila Pancasila yang memiliki arti filsafah, yaitu sebagai berikut:
a) Sila Pertama bersimbol bintang yang berarti sebuah cahaya, seperti
layaknya Tuhan yang menjadi cahaya kerohanian bagi setiap manusia
b) Sila Kedua bersimbol rantai, rantai tersebut terdiri atas mata rantai
berbentuk segi empat dan lingkaran yang saling berkait membentuk
lingkaran. Mata rantai segi empat melambangkan laki-laki, sedangkan
10
yang lingkaran melambangkan perempuan. Mata rantai yang saling
berkaitan pun melambangkan bahwa setiap manusia, laki-laki dan
perempuan membutuhkan satu sama lain dan perlu bersatu sehingga
menjadi kuat seperti sebuah rantai
c) Sila Ketiga bersimbol Pohon beringin, pohon beringin digunakan karena
pohon beringin merupakan pohon besar, yangdimana banyak orang yang
berteduh dibawahnya, seperti halnya rakyat Indonesia bisa “berteduh”
dibawah naungan negara Indonesia. Selain itu, pohon beringin memiliki
sulur dan akar yang menjalar ke mana-mana, namun tetap berasal dari satu
pohon yang sama, seperti halnya keragaman suku dan bangsa yang
menyatu di bawah nama Indonesia Pancasila merupakan lima sila yang
digunakan sebagai landasan dan pedoman Negara Indonesia. Dengan
burung Garuda sebagai lambangnya. Pancasila dalam bahasa sanskerta
artinya yakni panca yang berarti lima lalu sila yang berarti prinsip atau
asas dari kehidupanbermasyarakat. Pancasila sebagai dasar Negara berarti
bahwa seluruh pelaksaan dan juga penyelenggaraan pemerintah itu harus
mencerminkan nilai-nilai yang terkandung yang terdapat dalam Pancasila
dan tidak boleh bertentangan. (Oksep, A. 2015).
Menurut Bunyamin, M (2008) upaya penerapan nilai-nilai Pancasila telah
dilakukan oleh Presiden Soekarno pada tahun 1960-an. Soekarno menguraikan
apa saja dasar yang harus dimiliki oleh Indonesia sebagai Negara merdeka.
Beliaumenyebutkan beberapa hal yang pertama ada kebangsaan atau
nasionalisme,lalu yang kedua internasionalisme atau kemanusiaan, mufakat atau
permusyawaratan, keadilan sosial, kemudian yang kelima yakni ketuhanan dan
kebudayaan. Lima hal itulah yang menjadi prinsip kemudian diberi nama
Pancasila kemudian diusulkan sebagai Weltanschauung Negara Indonesia yang
merdeka. Agustinus, W. D (2015).
Pancasila sebagai Weltanschauung berarti bahwa nilai yang terkandung di
dalam setiap sila-sila Pancasila ini merupakan sesuatu yang sudah ada kemudian
berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia lalu disepakati untukmenjadi
dasar Negara. Weltanschauung adalah pandangan dunia yang terdapat ajaran
mengenai makna dan tujuan hidup manusia dalam bangsa dan Negara. Nilai-nilai
11
dari pancasila memiliki etika kehidupan bersama atau secara praktis kehidupan
masyarakat di Indonesia mengacu kepada nilai-nilai yang terkandung dalam sila
Pancasila. Setiap masyarakat Indonesia mampu mewujudkan nilai-nilai Pancasila
dalam kehidupan sehari-hari. Ilham, S. J dkk (2019).
Pancasila sebagai dasar Negara memiliki makna dalam setiap aspek
kehidupan berbangsa, bermasyarakat, serta bernegara harus berdasarkan Pancasila
yang memiliki nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan
juga nilai keadilan. Secara etimologis istilah dasar Negara identik dengan norma
dasar, cita hukum, cita Negara, dan dasar filsafat Negara. Secara terminologis
dasar Negara dapat diartikan sebagai landasan dan sumber-sumber dari segala
sumber hukum dalam membentuk dan menyelenggarakan Negara. Dengan
demikian dasar Negara merupakan suatu norma dasar dalam penyelengaraan
bernegara yang menjadi sumber dari segala sumber hukum sekaligus sebagai cita-
cita hukum bagi tertulis maupun tidak tertulis dalam suatu Negara.
Menurut Agus Subagyo (2020), Pancasila merupakan suatu ideologi
bangsa Indonesia dalam korteks kehidupan berbangsa dan bernegara, di mana
seluruh masyarakat berpedoman kepada Pancasila tersebut. Makna Pancasila
disebutkan seluruh komponen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
harusmengamalkan amanat dari nilai yang terkandung di dalam Pancasila.
Pancasila berhubungan erat dengan pembukaan UUD 1945 bahwa pokok
pikiran pembukaan dari pembukaan UUD 1945 merupakan sila-sila Pancasila.
Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia di dalamnya terdapat dua
hal pokok yakni dasar pikiran terdalam dan gagasan kehidupan yang baik. Dasar
formal kedudukan Pancasila sebagai dasar Negara republik Indonesia adalah
pembukaan UUD NRI 1945 alinea ke 4 hal itu secara yuridis menjelaskan bahwa
Pancasila sebagai dasar Negara. Secara historis Pancasila itu hasil dari karya
bersama yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 merupakan pandangan
hidup dan dasar negara bangsa Indonesia.
12
(Lubis, 2019), dituliskan pendapat dari para tokoh yang berpengaruh dalam
mengemukakan pendapat mengenai pengertian Pancasila. Yang pertama ada
Soekarno mengemukakan bahwa Pancasila adalah isi jiwa bangsa negara
Indonesia yang sudah ada dari masa ke masa berabad-abad lamanya yang terkubur
tak bersuara akibat adanya kebudayaan barat.
Sehingga Pancasila adalah falsafah bangsa Indonesia. Tokoh kedua:
Notonegoro yang menyatakan, Pancasila adalah dasar falsafah dan ideologi
negara Indonesia yang diinginkan dapat menjadi pandangan hidup bangsa
Indonesia yang mampu menjadi pemersatu, lambang persatuan dan kesatuanjuga
dapat menjadi pertahanan dan ketahanan bangsa Indonesia dan yang terakhir ada
Muh. Yamin (Wandani, 2021),
Pancasila berasal dari dua kata dari bahasa sansekerta yaitu panca dan sila.
Panca yang berarti lima dan sila yang memiliki arti sendi, asas, dasar, atau
peraturan dari setiap tingkah laku warganegara Indonesia. dari ari kedua kata
tersebut maka Pancasila memiliki makna sebagai lima dasar peraturan bangsa
Indonesia dalam melakukan segala tingkah laku yang sangat penting dan
baik.Pancasila yang merupakan hasil galian para pendiri bangsa dan nilai yang
terkandungdidalamnya memang sudah sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Dengan sesuainya nilai yang terkandung dengan kepribadian bangsa
maka Pancasila harus dijadikan sebaga dasar kehidupan bagi warga negaranya.
Berikut nilai-nilai yang terkandung dalam setiap sila pada Pancasila: pertama,
Ketuhanan Yang Maha Esa, dalam sila ini tentu sudah jelas bahwa Indonesia
selalu mengedepankan Tuhan.
Dengan diwajibkannya setiap warga negara memeluk salah satu agama
yang di akui oleh Indonesia yaitu Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan
Konghucu. Juga melaksanakankewajibannya sebagai penganut agama lalu
menghormati setiap perbedaan agama yang ada. seperti yang dinyatakan dalam
pasal 29 ayat (2) UUD 1945 memaparkan bahwa “negara menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat
menurut kepercayaannya itu”. Dalam pasal 29 ayat (1) pun menyatakan “negara
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” memiliki arti bahwa negara memiliki
kewajiban melaksanakan rasa keimanan kepadaTuhan Yang Maha Esa dengan
13
membuat sebuah peraturan mengenai lindungan bagi setiap agama dan penganut
dari agama tersebut dari penistaan, pelecehan, atau bentuk lain yang dapat
membuat para penganutnya tidak nyaman. Selain perlindungan dari segi tersebut
hukum yang ditetapkan di Indonesia pun harus selaras dengan nilai ketuhanan.
Hukum yang ditetapkan tidak boleh menyimpang dari nilai agama.
Kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, dalam sila ini mengandung
arti bahwa bahwasemua manusia itu sama dan mendapatkan keadilan yang sama
dalam pandangan hukum. Sila ini melindungi semua keragaman yang Indonesia
miliki agar bisa mengakui persamaan hak dan kewajiban sebagai manusia, dan
memiliki derajat yang sama tanpa membedakan suku, agama, jenis kelamin,
warna kulit, dan apapun bentuk perbedaan yang ada.
Ketiga, Persatuan Indonesia, sila ketiga ini mengandung nilai persatuan.
Sila ini melindungi segala keberagaman yang ada di Indonesia. sila ini juga
memiliki arti bahwa kepentingan bersamaberada diatas kepentingan baik itu
pribadi, kelompok, golongan, atau komunitas lainnya. Setiap bagian dari bangsa
Indonesia harus mampu memiliki jiwa bela negara demi persatuan dan kesatuan
bangsa.
Keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksaan dalam
Permusyawaratan/Perwakilan dalam sila ini mengandung nilai bahwa setiap
keputusan yang melibatkan orang banyak akan dimusyawarahkan dengan baik
melalui perwakilan rakyat yang memikul amanah rakyat. Dalam setiap keputusan
akan diambil dari suara terbanyak. Nilai luhur yang terkandung dalam sila
keempat ini diantaranya adalah: menjadikan musyawarah mufakat sebagai budaya
((Nahuddin, 2017).
Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, nilai yang
terkandung dalam sila ini ialah bahwa semua rakyat Indonesia mendapat keadilan
yang merata dalam segala bidang. Semua rakyat harus melindungi hak dan
kewajiban sesama manusianya. Selalu adil demi menegakkan keadilan dalam
mengambil keputusan tanpa memihak kepada siapapun.
14
Pengimplementasian Keadilan Sosial di Indonesia dan Analisis Kasus
Ketimpangan Sosial
Jika berbicara mengenai keadilan sosial, dimensi yang menonjol adalah
dimensi struktural atau “kesenjangan antara kelompok yang memperoleh banyak
dan ada yang sedikit.” Berkaitan dengan hal ini, upaya pencapaian keadilan sering
kali dikaitkan dengan pengurangan kesenjangan (Sujatmiko, 2006). Jika
demikian, realitas di Indonesia yang menunjukkan lebarnya jurang kesenjangan
sosial yang mengantarai kaum elite dan kaum yang termarjinalkan telah
mengindikasikan adanya masalah ketidakadilan sosial di Indonesia.
Salah satu contoh konkret adalah kasus ketidakadilan yang terjadi di bumi
Papua. Berdasarkan hasil studi dan penelitian yang dilakukan LIPI pada 2008,
wacana pembangunan dalam perspektif rakyat Papua dimaknai sebagai upaya
negara dalam melakukan marjinalisasi rakyat Papua dan mengenalkan sistem
kapitalisme yang bermuara pada eksploitasi sumber alam di Tanah Papua. Selain
itu, mereka yang relatif lebih diuntungkan dari pembangunan di Tanah Papua
adalah warga pendatang (Widjojo, dkk., 2009).
Ketidakadilan sosial yang dirasakan oleh para penduduk asli Papua ini
secara jelas dinyatakan oleh mantan Ketua DPRD Papua (1974-1977) dan Wakil
Gubernur (1977-1982) Ellyas Paprindey. Menurutnya, perasaan tidak puas,
ketidakadilan bagi rakyat Papua dalam pembangunan—khususnya untuk
meningkatkan kesejahteraan—mengakibatkan munculnya tuntutan kemerdekaan
oleh masyarakat Papua (Maniagasi, 2001). Hal ini juga didukung oleh hasil studi
dan penelitian yang dilakukan Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan
Kemitraan Masyarakat Sipil Indonesia (YAPPIKA) yang menyatakan bahwa para
penduduk Papua merasa diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah dan aparat
keamanan yang dianggap lebih berpihak kepada kaum pemilik modal yang
merupakan masyarakat pendatang dibandingkan dengan penduduk asli Papua.
Alat-alat produksi juga dikuasai kaum pendatang, sehingga penduduk lokal sangat
tergantung kepada mereka. Selain itu, masyarakat lokal juga sulit mencapai akses
ke pasar, sehingga membatasi pengembangan produk pertanian dan pengolahan
hasil bumi lainnya (Raweyai, 2002). Daftar panjang ketidakadilan yang diterima
rakyat Papua itu ditambah lagi dengan penanganan konflik di Papua yang
15
cenderung diabaikan atau hanya diselesaikan secara sepihak, sehingga tidak hanya
menimbulkan kebingungan, kecurigaan serta apatisme di kalangan masyarakat
Papua (Widjojo, dkk., 2009)
Ancaman terhadap integrasi bangsa seperti ini tidak boleh dibiarkan terus
berlanjut. Berangkat dari Suryawasita (1989), bahwa fokus utama dari asas
keadilan sosial adalah perhatian pada nasib anggota masyarakat yang terbelakang,
maka terhadap anggota masyarakat yang terbelakang inilah fokus perhatian perlu
lebih diberikan, sehingga mereka juga tetap dapat merasakan keadilan sosial
sebagai bagian dari bangsa Indonesia (Suryawasita, 1989). Keadilan dan persatuan
di Indonesia haruslah mengacu pada sikap peduli yang berimbang, bukan hanya
terfokus pada salah satu bagian atau wilayah saja. Redistribusi sumber daya
16
kesejahteraan yang merata oleh negara sebagai agensi publik perlu diperhatikan
dan diimplementasikan dengan lebih sempurna (Bagir, dkk., 2011).
17
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah dilakukan, dapat
disimpulkan bahwa implementasi nilai Pancasila sila kelima dapat menjadi solusi
dalam mengatasi ketimpangan sosial yang ada di masyarakat. Nilai sila kelima
yang mengajarkan gotong royong, saling tolong menolong, dan gotong royong
dalam kebaikan merupakan landasan utama dalam membangun kesetaraan sosial
dan mengurangi ketimpangan.
Oleh karena itu, perlu adanya sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan
sektor swasta dalam melaksanakan implementasi nilai Pancasila sila kelima.
Pemerintah sebagai regulator dan pemangku kepentingan utama harus memiliki
komitmen yang tinggi untuk mewujudkan kesetaraan sosial dan mengurangi
ketimpangan dalam masyarakat.
18
DAFTAR PUSTAKA
19
Wandani, A. R. (2021). Penerapan Pancasila Sebagai Dasar Kehidupan
Bermasyarakat. Jurnal Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan ,
34-39.
Widisuseno. (2014). Asas Filosofis Pancasila Sebagai Ideologi dan Dasar Negara.
Jurnal HUMANIKA , 62-66.
20