Materi TIndak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana
Materi TIndak Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana
MH
21 September 2023
D.Simons : “kelakuan yang diancam HB Vos : “suatu kelakuan manusia
dengan pidana, yang bersifat melawan yang oleh per UUan diberi pidana; jadi
hukum yang berhubungan dengan suatu kelakuan manusia yang pada
kesalahan & dilakukan oleh orang umumnya dilarang & diancam dengan
yang mampu bertanggung jawab” pidana”
Van Hamel : “kelakuan manusia yang Philip Kenny: “an act capable of being
dirumuskan dalam UU, melawan followed by criminal proceedings
hukum, yang patut dipidana & having one of the types of outcome
dilakukan dengan kesalahan” (punishment, and so on) known to
follow the proceedings.” [suatu
tindakan yang dapat diikuti oleh proses
pidana yang memiliki salah satu jenis
hasil (hukuman, dan sebagainya) yang
diketahui mengikuti proses tersebut].
Tindak Pidana adalah: “Perbuatan atau rangkaian
perbuatan atau tidak melakukan perbuatan dari
manusia atau korporasi yang bersifat melawan
hukum yang dapat dilakukan dalam keadaan
tertentu atau disertai dengan akibat tertentu yang
mana perbuatan atau rangkaian perbuatan atau
tidak melakukan perbuatan itu diancam dengan
pidana dan/atau tindakan dalam peraturan
perundang-undangan.”
Tidak memisahkan antara perbuatan (criminal
act) dan pertanggungjawaban (criminal
responsibility)
Monistis Dualistis
Perbuatan (akibat), melawan Actus Reus Mens Rea
hukum, Kesalahan
Perbuatan (akibat), Kesalahan
(Pertanggungjawaban Pidana)
melawan hukum (Pertanggungjawaban
Pidana)
Penegasan korporasi sebagai subject tindak pidana
Pengertian atau cakupan korporasi
Pengertian atau batasan tindak pidana korporasi
Pengertian atau syarat pertanggungjawaban pidana
korporasi Teori-teori Corporate Criminal Responsibility
Model pertanggungjawaban pidana dari tindak pidana
korporasi
Alasan penghapus korporasi
Pemidanaan, Pidana dan Tindakan bagi Korporasi
Di dalam perumusan (bagian)
Di luar perumusan
dimuat dalam surat dakwaan (unsur) : syarat dapat
Semua syarat yg dimuat dalam rumusan delik merup-akan dipidana
bagian-bagian, sebanyak itu pula, yg apabila dipenuhi
membuat tingkah laku menjadi tindakan yg melawan 1. Secara melawan hukum
hukum
2. Dapat dipersalahkan
1. Tingkah laku yg dilarang
2. Bagian subyektif : kesalahan, maksud, tujuan, niat,
3. Dapat
rencana, ketakutan dipertanggungjawabkan
3. Bagian obyektif : secara melawan hukum, kausalitas,
bagian2 lain yg menentukan dapat dikenakan pidana
(syarat tambahan; keadaan)
4. Bagian yg mempertinggi dapatnya dikenakan pidana
Bab I
Ruang Lingkup Berlakunya Ketentuan
Peraturan Perundang-undangan Pidana
Bab II
Tindak Pidana dan
Pertanggungjawaban Pidana
Bab III
Pemidanaan, Pidana, dan Tindakan
Bab IV
Gugurnya Kewenangan Penuntutan
dan Pelaksanaan Pidana
Bab V
Pengertian Istilah
Bab VI
Aturan Penutup
Bab II
Tindak Pidana &
Pertanggungjawaban
Pidana
Tindak Pertanggungjawaban
Pidana Pidana
Umum (Pasal 12) Permufakatan
Jahat (Pasal 13, Pasal 14) Umum (Pasal 36 - 39)
Pertanggungjawaban Pidana (Pasal 36)
Persiapan (Pasal15, Pasal 16)
Strict Liability &Vicarious Liability (Pasal 37)
Percobaan (Pasal 17, 18 dan 19) Kurang Mampu Bertanggungjawab (Pasal 38)
Penyertaan (Pasal 20- 22) Tidak Mampu Bertanggungjawab (Pasal 39)
Pengulangan (Pasal 23) Alasan Pemaaf (Pasal 40 - 44)
Tindak Pidana Aduan (Pasal24 - 30)
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Alasan Pembenar (Pasal 31-35) (Pasal 45- 50)
Bab I - XXXIII Bab XXXIV
Bab XXXV
Berbagai macam tindak pidana Tindak Pidana berdasarkan Hukum Tindak Pidana Khusus
mulai dari Pasal 188 - Pasal 596 yang Hidup dalam Masyarakat
1. Tindak Pidana Berat terhadap HAM (Pasal
(Pasal 597)
598-599)
2. Tindak Pidana Terorisme (Pasal 600-602)
3. Tindak Pidana Korupsi (Pasal 603-606)
4. Tindak Pidana Pencucian Lang (Pasal 607-
608)
5. Tindak Pidana Narkotika (Pasal 609-611)
Pasal 612
Ketentuan mengenai permufakatan jahat, persiapan, percobaan, dan
pembantuan yang diatur dalam Undang- Undang mengenai Tindak Pidana
berat terhadap hak asasi manusia, Tindak Pidana terorisme, Tindak Pidana
korupsi, Tindak Pidana pencucian uang, dan Tindak Pidana narkotika berlaku
sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang tersebut.
SISTEMATIKA
KUHP LAMA & KUHP BARU
Kejahatan
(31 Bab, 385 pasal)
Tindak Pidana
(37 Bab, 437 pasal)
Pelanggaran
(9 Bab, 81 pasal)
13
PERBANDINGAN STRUKTUR BUKU KEDUA & BUKU KETIGA KUHP
DENGAN BUKU KEDUA UU 1/23 (1)
No KUHP Lama (WvS) UU 1/23 ttg KUHP
Bab IV mengatur mengenai Tindak Pidana
Bab IV mengatur mengenai Kejahatan
terhadap Penyelenggaraan Rapat Lembaga
1 terhadap Melakukan Kewajiban dan Hak
Legislatif dan Badan Pemerintah (tidak
Kenegaraan
mengatur mengenai TP terhadap Pemilihan Umum)
KUHP tidak mengatur mengenai Tindak
RUU KUHP mengatur Tindak Pidana terhadap
2 Pidana terhadap Proses Peradilan dalam
Proses Peradilan dalam Bab VI
Bab tersendiri
Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan
3 Beragama diatur dalam Bab V Kejahatan Beragama diatur dalam Bab tersendiri (Bab
terhadap Ketertiban Umum (Pasal 156a KUHP) VII)
KUHP tidak mengatur mengenai Penyelundupan RUU KUHP mengatur mengenai Penyelundupan Manusia
7 Manusia dalam Bab XX
8 Judul Bab XIX: Kejahatan Terhadap Nyawa Judul Bab XXI: Tindak Pidana terhadap Nyawa dan Janin
16
1. Rumusan Pasal 12 KUHP (Baru) ini tidak diatur dalam KUHP (WvS).
2. Rumusan di Pasal 12 (1) di sini menunjukkan tindak pidana dimaknai dalam pengertian
yang Dualisme/ Dualistis. Hal ini kemudian berimplikasi pada berbagai ketentuan
lainnya;
3. Pasal 12 (2) dan (3) KUHP (Baru) menegaskan doktrin mengenai sifat melawan hukum
dalam hukum pidana, yakni setiap tindak pidana melekat di dalamnya sifat melawan
hukum. Baik melawan hukum itu menjadi unsur tertulis (bestanddeel) maupun tidak
tertulis;
4. Pasal 12 (3) KUHP (Baru) menegaskan bahwa setiap tindak pidana harus bersifat
melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.
TINDAK PIDANA
1. Tidak ada lagi kategori “kejahatan” dan “pelanggaran”
• Konsep kejahatan sebagai rechtsdelict dan pelanggaran sebagai
wetsdelict tidak diterapkan secara konsisten
• Ada perbuatan yang sama diatur dalam Bab Kejahatan dan Bab
Pelanggaran
• Berakibat pada penggabungan beberapa bab dalam KUHP baru
yang dulunya terpisah dalam KUHP lama (mis: Bab TP thd
Ketertiban Umum merupakan gabungan dari Bab V Buku Kedua &
Bab II Buku Ketiga WvS)
18
Pembaruan hukum pidana materiel dalam KUHP Baru
tidak membedakan lagi antara Tindak Pidana berupa
kejahatan dan pelanggaran. Untuk keduanya digunakan
istilah Tindak Pidana.
Dengan demikian, KUHP Baru hanya terdiri atas 2 (dua)
Buku, yaitu Buku Kesatu tentang Aturan Umum dan
Buku Kedua tentang Tindak Pidana.
Adapun Buku Ketiga tentang Pelanggaran dalam
Wetboek van Strafrect ditiadakan, tetapi substansinya
secara selektif telah ditampung di dalam Buku Kedua
KUHP Baru.
Alasan penghapusan tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa
secara konseptual perbedaan antara kejahatan sebagai
rectsdelict dan pelanggaran sebagai wetsdelict ternyata tidak
dapat dipertahankan karena dalam perkembangannya tidak
sedikit rechtsdelict dikualifikasi sebagai pelanggaran dan
sebaliknya beberapa perbuatan yang seharusnya merupakan
wetsdelict dirumuskan sebagai kejahatan, hanya karena
diperberat ancaman pidananya.
Dalam kenyataannya terbukti bahwa persoalan berat-ringannya
kualitas dan dampak kejahatan dan pelanggaran juga relatif
sehingga kriteria kualitatif semacam ini tidak lagi dapat
dipertahankan secara konsisten.
TINDAK PIDANA BARU
1. Tindak Pidana yang diambil dari UU di luar KUHP lama, misalnya:
a. UU 24/2009 ttg Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu
Kebangsaan (Pasal 234-239)
b. UU 7/2011 ttg Mata Uang (Pasal 374-381)
c. UU 11/2008 jo. UU 19/2016 ttg ITE (Pasal 243, 407, 441)
d. UU 40/2008 ttg Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (Pasal 244)
e. UU 23/2004 ttg Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (Pasal
473 ayat (6))
2. Tindak Pidana Baru, misalnya:
a. Penyesatan Proses Peradilan (Obstruction of Justice) (Pasal 278)
b. Mengganggu dan Merintangi Proses Peradilan (Contempt of Court) (Pasal
280)
c. Kohabitasi (Pasal 412)
d. Hubungan seksual dengan hewan (Pasal 337 ayat (1) huruf b)
21
Pasal 36
(1) Setiap Orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas Tindak Pidana yang
dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan.
(2) Perbuatan yang dapat dipidana merupakan Tindak Pidana yang dilakukan dengan
sengaja, sedangkan Tindak Pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat
dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.
Pertanggungjawaban pidana adalah mengenakan celaan terhadap
Pelaku karena perbuatannya yang melanggar larangan atau
menimbulkan keadaan yang terlarang.
Pertanggungjawaban pidana dengan demikian merupakan proses
peralihan celaan yang ada pada tindak pidana kepada Pelaku
dari tindak pidana itu.
Pertanggungjawaban pidana seseorang dalam hukum pidana
merupakan meneruskan celaan yang secara obyektif ada pada
perbuatan pidana itu secara subyektif terhadap pelakunya
Pasal 36 Ayat (1)
Ketentuan ini menegaskan prinsip tiada pidana tanpa kesalahan. Secara doktriner,
bentuk kesalahan dapat berupa kesengajaan dan kealpaan.
Ayat (2)
Ketentuan pada ayat ini dimaksudkan bahwa setiap Tindak Pidana dalam peraturan
perundang-undangan harus selalu dianggap dilakukan dengan sengaja dan
unsur kesengajaan ini harus dibuktikan pada setiap tahap pemeriksaan
perkara. Bentuk lain dari sengaja biasanya dirumuskan dalam peraturan perundang-
undangan menggunakan istilah “dengan maksud”, “mengetahui”, “yang diketahuinya”,
“padahal diketahuinya”, atau “sedangkan ia mengetahui”.
Beberapa Arti Kesalahan:
(1)schuld/ kesalahan dalam arti dapat dipersalahan/ dicelakan
(verwijtbaarheid) atas perbuatannya (ini merupakan arti kesalahan
seluas-luasnya);
(2)schuld/ kesalahan dalam arti bentuk kesalahan (schuldvorm) yaitu
berupa: dolus (sengaja) dan culpa (kealpaan/ kelalaian/
kesalahan); dan
(3)schuld/ kesalahan dalam arti sempit yaitu hanya mencakup culpa
(kelalaian/ kealpaan/ kesalahan).
Schuld (Kesalahan) dalam arti schuldvorm (bentuk kesalahan)
1 2
culpa/kealpaan/ kelalaian. Di sini dolus dan culpa itu sebagai bagian inti delik (bestanddelen). Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) kita tidak menyinggung kesalahan dalam arti dapat dicela/ dapat
dipersalahkan. Kitab ini hanya mengenal schuld dalam bentuk-bentuk kesalahan yakni dolus dan culpa.
Dalam konteks ini, tidak cukup seseorang dipidana jika orang itu hanya melakukan perbuatan yang
terlarang saja, atau menimbulkan akibat yang dilarang saja. Mesti dipenuhi bahwa orang tersebut ada
kesalahan (baik dalam arti dolus maupun culpa). Jadi jaksa penuntut umum mesti membuktikan semua
unsur tertulis dalam rumusan/ uraian delik (bestanddelen).
Moeljatno : Untuk adanya kesalahan, terdakwa harus: a. melakukan perbuatan pidana (yakni perbuatan itu
memiliki sifat melawan hukum), di atas umur tertentu untuk mampu bertanggungjawab, mempunyai suatu
bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan, dan tidak adanya alasan pemaaf.
“…kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang
yang telah dianggap melakukan tindak pidana. Jadi orang yang
bersalah melakukan sesuatu perbuatan, itu berarti bahwa perbuatan
itu dapat dicelakan kepadanya.”
“….. kesalahan seseorang tidaklah dapat dalam kepala
sipembuat, melainkan di dalam kepala orang-orang, ialah
di dalam kepala dari mereka yang memberi penilaian
terhadap si pembuat itu. Yang memberi penilaian pada
instansi terakhir adalah hakim.”
Untuk adanya kesalahan harus ada pencelaan etis
betapapun kecilnya.
Pelaku tindak pidana dapat dicela karena tidak
menghormati tata dalam masyarakat, yang terdiri dari
sesama hidupnya, dan yang memuat segala syarat
untuk hidup bersama.
Dengan diterimanya kesalahan (dalam arti luas)
sebagai dapat dicelanya sipembuat atas perbuatannya,
maka berubahlah pengertian kesalahan yang psikologis
menjadi pengertian kesalahan yang normative.
Untuk adanya pertanggungjawaban pidana diperlukan syarat bahwa si Pelaku itu mempunyai “Kemampuan
Bertanggungjawab” (Toerekeningsvatbaarheid).
Tidak mungkin seseorang dapat dipertanggungjawabkan apabila orang itu tidak mampu bertanggungjawab.
Bagaimana seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab? Apa ukuran dari adanya kemampuan
bertanggungjawab itu? Menurut ahli hukum pidana Belanda Simons, kemampuan bertanggungjawab dapat
diartikan sebagai suatu keadaan “psikis” sedemikian rupa yang membenarkan adanya penerapan suatu upaya
pemidanaan, baik dilihat dari sudut umum maupun orangnya.
Lalu apa ukurannya? Seorang mampu bertanggungjawab jika jiwanya sehat yaitu jika:
(1) ia mampu untuk mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya bertentangan dengan hukum; dan
(2) mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan masyarakat
Pasal 38 Pasal 39
Setiap Orang yang pada waktu Setiap Orang yang pada waktu
melakukan Tindak Pidana melakukan Tindak Pidana menyandang
menyandang disabilitas disabilitas mental yang dalam
keadaan kekambuhan akut dan
mental dan/atau disabilitas disertai gambaran psikotik dan/ atau
intelektual dapat dikurangi disabilitas intelektual derajat sedang
pidananya dan/atau dikenai atau berat tidak dapat dijatuhi pidana,
tindakan. tetapi dapat dikenai tindakan.
33
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA (2)
34
Pasal 37
Dalam hal ditentukan oleh Undang-Undang, Setiap Orang dapat:
a. dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur- unsur
Tindak Pidana tanpa memperhatikan adanya kesalahan; atau
b. dimintai pertanggungiawaban atas Tindak Pidana yang dilakukan
oleh orang lain.
Asas tiada pidana tanpa kesalahan tetap merupakan salah satu
asas utama dalam hukum pidana.
Namun, dalam hal tertentu sebagai pengecualian dimungkinkan
penerapan asas mutlak (strict liability) dan asas
pertanggungiawaban pengganti (vicarious liability.)
Dalam hal pertanggungjawaban mutlak, pelaku Tindak Pidana
telah dapat dipidana hanya karena telah dipenuhinya unsur
Tindak Pidana perbuatan pelaku.
Sedangkan dalam pertanggungjawaban pengganti, tanggung
jawab pidana seseorang diperluas sampai pada tindakan
bawahannya yang melakukan pekerjaan atau perbuatan untuknya
atau dalam batas perintahnya.
Dinyatakan Secara Tegas Oleh Undang- Undang yang
Bersangkutan.