Anda di halaman 1dari 5

NAMA : NASYWA SABINA SURYA

NIM : 11210183000016
KELAS/PRODI : 2A/PGMI
Kemampuan mendeskripsikan konsep pendidikan menurut para pemikir
pendidikan dunia (luar Indonesia)
A. Paulo Freire
Paulo Freire (Freire) lahir pada tanggal 19 September 1921 M. di Recife, sebuah
kota pelabuhan di Timur laut Brazil. Sejak kecil, ia sudah diajarkan oleh orang tuanya
untuk menghargai pendapat dan pilihan orang lain, dan hal itu memberikan pengaruh
yang sangat besar terhadap filsafat pendidikannya.¹
Pendidikan dan politik adalah dua faktor penting dalam sistem sosial. Keduanya
bersinergi dalam Paulo Freire, seorang pakar pendidikan dari Brazil dan juga sebagai
tokoh multi kultural, berhasil melihat fenomena pendidikan yang dehumanisasi dan
secara pedas mengkritik sistem pendidikan dewasa ini dalam karyanya yang terkenal,
yaitu Pendidikan Kaum Tertindas. Menurut Freire sendiri yaitu:
“Pendidikan kaum tertindas ini, yang dijiwai oleh kedermawanan sejati,
kemurahan hati humanis (bukan humanitarian) menampilkan diri sebagai sebuah
pendidikan bagi seluruh umat manusia. Pendidikan yang dimulai dengan kepentingan
egoistis kaum penindas (egoisme dengan baju kedermawanan palsu dari paternalisme)
dan menjadikan kaum tertindas sebagai obyek dari humanitarianisme mereka, justru
mempertahankan dan menjelmakan penindasan itu sendiri. Dia merupakan sebuah
perangkat dehumanisasi. Itu pula sebabnya mengapa, sebagaimana telah kita tegaskan
sejak awal, pendidikan kaum tertindas tidak dapat dikembangkan dan dilaksanakan
oleh kaum penindas”.²
Berikut ini adalah konsep pemikiran Paulo Freire:³
1. Kebudayaan baru
Pemikiran Paulo Freire tentang pendidikan lahir dari pengalamannya
selama bekerja bertahun-tahun di tengah-tengah masyarakat desa yang miskin
dan tidak berpendidikan. Masyarakat feodal (hirarkis) adalah struktur
masyarakat yang umum berpengaruh di Amerika Latin pada saat itu. Dalam
masyarakat feodal hierarkis ini, ada perbedaan yang jelas antara "kelas atas" dan
"kelas bawah". Kelas atas menjadi penindas kelas bawah karena membuat kelas
bawah menjadi miskin melalui akumulasi kekuasaan dan kekayaan politik.
Pada saat yang sama, itu meningkatkan ketergantungan orang-orang tertindas
pada penindas. Dalam kondisi seperti ini, lahirlah suatu kebudayaan yang
disebut Freire dengan kebudayaan “bisu”.
Untuk itu, pendidikan yang dapat dibebaskan dan diberdayakan adalah
pendidikan di mana siswa dapat mendengar suara mereka yang sebenarnya.
Pendidikan yang relevan dalam masyarakat budaya yang tenang adalah
mengajar untuk mendengar suara sendiri, bukan suara luar, termasuk suara
seorang pendidik. Dalam konteks yang demikian itulah Freire bergumul.
¹ Hanik Yuni Alfiyah, Konsep Pendidikan Imam Zarnuji dan Paulo Freire, (Jurnal
PendidikanAgama Islam; Volume 02 Nomor 02 November 2013, hal 202-221)
² Muhammad Husni, Memahami Pemikiran Karya Paulo Freire "Pendidikan Kaum Tertindas"
Kebebasan dalam Berpikir, (Al-Ibrah; Vol. 5 No. 2, 2020)
³ Ahmad Syaikhudin, Konsep Pemikiran Pendidikan menurut Paulo Freire dan KI Hajar
Dewantoro, (Cendekia Vol. 10 No. 1 Juni 2012, hal 80-92)
Ia terpanggil untuk membebaskan masyarakatnya yang tertindas dan yang telah
“dibisukan”..
2. Pendidikan Gaya Bank
Pendidikan pada konsep ini sebagia sumber pengokohan penindasan dan
juga kebisuan. Karena itulah, ia menawarkan pendidikan “hadap-masalah”
sebagai jalan membangkitkan kesadaran masyarakat bisu. Dari situlah Freire
menolak pendidikan gaya bank tersebut dan menawarkan konsep pendidikan
hadap-masalah. Dalam sistem pendidikan gaya bank yang diterapkan di Brasilia
pada masa Freire, pada prosesnya, guru tidak memberikan pengertian kepada
peserta didik, tetapi memindahkan sejumlah dalil atau rumusan kepada siswa
untuk disimpan yang kemudian akan dikeluarkan dalam bentuk yang sama jika
diperlukan. Peserta didik adalah pengumpul dan penyimpan sejumlah
pengetahuan, tetapi pada akhirnya peserta didik yang disimpan dalam kebisuan
sebab miskinnya daya cipta. Karena itulah pendidikan “gaya bank”
menguntungkan kaum penindas dalam melestarikan penindasan terhadap kaum
bisu.

B. Ivan Illich
Berikut adalah pandangan-pandangan kritis Illich tentang pendidikan umum, yang
meliputi antara lain :⁴
1. Pengertian Pendidikan
Sebagai kaum radikal humanis dan proponen yang berorientasi pedagogik
libertarian, Illich cenderung mendefinisikan pendidikan dalam arti luas. Baginya,
pendidikan sama dengan hidup. Pendidikan adalah segala situasi dalam hidup yang
mempengaruhi pertumbuhan seseorang. Pendidikan adalah pengalaman belajar.
Oleh karena itu, pendidikan dapat pula didefinisikan sebagai keseluruhan
pengalaman belajar setiap orang sepanjang hidupnya. Illich menyadari bahwa bagi
sebagian besar manusia, hak belajar mereka dipersempit menjadi kewajiban
bersekolah. Menurutnya, sekolah mengelompokkan orang menurut umur,
pengelompokan ini didasarkan pada tiga premis yang diterima begitu saja, anak
hadir di sekolah, anak belajar di sekolah, dan anak hanya bisa diajar di sekolah.
2. Tujuan Pendidikan
Tentang tujuan pendidikan Ivan Illich berpendapat bahwa suatu sistem
pendidikan yang baik harus mempunyai tiga tujuan, yaitu (1) memberi kesempatan
semua orang untuk bebas dan mudah memperoleh sumber belajar pada setiap saat,
(2) memungkinkan semua orang yang ingin memberikan pengetahuan mereka
kepada orang lain dapat dengan mudah melakukannya, demikian pula bagi yang
ingin mendapatkannya, (3) menjamin tersedianya masukan umum yang berkenaan
dengan pendidikan.
3. Pendidik Dan Peserta Didik
a. Pendidik
Guru-sebagai-moralis mengganti peran orang tua, Tuhan, atau negara.
Ia mengajarkan anak-anak tentang apa yang benar atau salah dari segi moral,
tidak saja di dalam sekolah melainkan di dalam masyarakat luas. Ia berperan
sebagai orang tua bagi setiap anak dan karena itu menjamin bahwa semua
mereka merasa sebagai anak-anak dari negara yang sama.

⁴ Saufika, Ratna (2010) Konsep Pemikiran Pendidikan Ivan Illich dan Abdurrahman An
Nahlawi : Suatu Kajian Komparatif. Undergraduate thesis, UIN Sunan Ampel Surabaya..
Guru- sebagai-ahli-terapi merasa punya wewenang untuk menyelidiki
kehidupan pribadi setiap murid untuk membantunya berkembang sebagai
seorang pribadi. Kalau fungsi ini dijalankan oleh seorang pengawas dan
pengkhotbah, biasanya ini berarti ia berusaha meyakinkan si murid untuk
menerima visinya mengenai kebenaran dan pengertiannya mengenai apa yang
baik dan benar.
b. Peserta didik
Illich sendiri mendefinisikan anak adalah murid. Kita telah terbiasa
dengan anak. Kita telah memutuskan bahwa mereka harus ke sekolah, mereka
harus melakukan apa yang dikatakan pada mereka, sebab mereka belum punya
gaji ataupun keluarganya sendiri. Kita juga berharap mereka tahu diri dan
berperangai sebagaimana laiknya anak.
4. Kurikulum Pendidikan
Adalah tidak mungkin merumuskan semua pengalaman manusia di dalam
pendidikan formal (sekolah). Di manapun sekolah berada, ”kurikulum
tersembunyi” selalu sama. Kurikulum itu menuntut agar semua anak berumur
tertentu berkumpul dalam kelompok-kelompok sekitar 30 orang, di bawah
bimbingan seorang guru berijasah, untuk belajar selama 500 hingga 1000 jam atau
lebih pertahun. Menerjemahkan ’belajar dari kegiatan’ menjadi sebuah komoditas
– di mana sekolah memonopoli pasar.
5. Metode Pendidikan
Maka para guru diberi wewenang untuk mengajar di luar sekolah, membawa
anak-anak ke sebuah jalanan yang sibuk di kawasan kumuh rawan kejahatan dengan
harapan anak-anak ’belajar tentang kenyataan’, ’latihan kepekaan’ jadi mode.
Maka, kita impor terapi kejiwaan kelompok ke dalam ruang kelas. Sekolah, yang
harusnya mengajar segala hal pada setiap orang, kini jadi segala hal itu sendiri bagi
semua anak.
Murid-murid yang ditugasi magang sering lulus sebagai pekerja yang lebih
kompeten ketimbang yang hanya mangkal di ruang kelas saja. Sebagian anak makin
tahu tentang bahasa (Spanyol) ketika sekolah mereka membangun laboratorium
bahasa, karena mereka lebih senang main tombol tape recorder ketimbang dengan
anak-anak lain (Puerto Rico). Semua ini hanya berlangsung di wilayah sebatas,
karena kurikulum sekolah yang tersembunyi sama sekali tak tersinggung.
6. Lingkungan Pendidikan.
Ivan Illich mengartikan ”sekolah” sebagai proses yang dikhususkan untuk umur
tertentu dan yang berkaitan dengan guru, yang menuntut kehadiran purna waktu
dalam mengikuti suatu kurikulum wajib. Sekolah tidak mengembangkan kegiatan
belajar ataupun mengajarkan keadilan, sebab para pendidik lebih menekankan
pengajaran yang sudah dijadikan paket-paket bersama dengan sertifikat.

C. Ibnu Shina
Dalam pemikiran pendidikan, kiranya Ibnu Sina secara tidak langsung
membicarakan manusia dari tinjauan psikologi. Dengan tinjauan manusia berdasarkan
psikologi tersebut, akan melahirkan konsep psikologi anak terutama yang berhubungan
dengan perbedaan individu (individual diferences) yang dapat dijadikan sebagai dasar
pelaksanaan dalam proses pembelajaran. Ibnu Sina dalam bukunya “Assiyasah”
sebagaimana yang dikutip oleh Hasan Langhulung mengatakan bahwa, “Sebab manusia
berbeda dalam memilih pekerjaan ada sebab-sebab yang kabur dan faktor yang
tersembunyi yang sukar dipahami oleh manusia dan susah diukur dan dimengerti”.⁵
Bila kita telaah tentang tujuan pendidikan yang dikemukakan oleh Ibnu Sina,
maka kita dapat melacak melalui pemikiran filosofisnya. Ibnu sina mengatakan bahwa
akal adalah sumber dari segala kejadian, di mana akal adalah satu-satunya
keistimewaaan manusia. Oleh karena itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa akal itu wajib
dikembangkan dan itulah sebenarnya tujuan akhir dari pendidikan.⁶
Ibnu Sina secara tidak langsung mengatakan bahwa proses pembelajaran
membutuhkan semacam kurikulum atau silabus, tetapi dari sudut pandang filosofis,
tampaknya tidak dapat dipisahkan dari melihat orang dari sudut pandang psikologis.
Dengan kata lain, penugasan mata pelajaran kepada siswa harus disesuaikan dengan
perkembangan psikologis anak (mungkin usia). Dari pernyataan Ibnu Sina, jelas terlihat
bahwa guru perlu menyesuaikan dengan tingkat psikologis anaknya dalam
memberikan mata pelajaran kepada siswanya. Mungkin subjek yang dimaksud adalah
belajar Al-Qur'an, lalu mengeja, dan kemudian disuruh menghafal syair, dimulai
dengan peribahasa dan diakhiri dengan Qasida.
Adapun metode yang ditawarkan oleh Ibnu Sina sebagaimana yang disimpulkan
oleh Abuddin Nata, antara lain:⁷ metode talqin, demontrasi, pembiasaan, teladan,
diskusi, magang dan penugasan. Berhubungan dengan metode talqin, nampaknya Ibnu
Sina sebagaimana yang disimpulkan oleh Abuddin Nata menggunakan untuk mengajar
membaca al-Qur’an. Sedangkan metode demontrasi, ia menggunakan untuk cara
mengajar menulis. Sementara metode pembiasaan atau teladan, ia menggunakan untuk
cara mengajar akhlak. Lebih lanjut metode diskusi, ia menggunakan untuk cara
penyajian pelajaran kepada subjek didik. Berkenaan dengan metode magang, ia
menggunakan dalam kegiatan pengajaran yang dilakukan. Selanjutnya, berkenaan
dengan metode penugasan, ia menggunakan dalam kegiatan cara penyajian pelajaran
kepada subjek didik.

D. Al-Kind
Menurut Al-Kindi Filsafat adalah ilmu tentang hakikat sesuatu dalam batas
kesanggupan manusia yang meliputi ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyyah),
ilmu keutamaan (fadhilah) dan kajian apapun yang berguna bagi kehidupan manusia.
Al-Kindi juga berpandangan bahwa tujuan para filosof dalam berteori adalah
mengetahui kebenaran yang kemudian ditindaklanjuti dengan amal perbuatan dalam
tindakan, semakin dekat manusia pada kebenaran, akan semakin dekat pula pada
kesempurnaan (Basri, 2013).
Oleh karena itu, pengetahuan tentang kebenaran dan hal-hal lain yang diderivikasi dari
problem kebenaran merupakan orientasi para filosof manapun tanpa membedakan latar
pemikiran dan jenis ataupun aliran yang dianut. Para filosof muslim sebagaimana juga
para filosof Yunani, percaya bahwa perihal kebenaran berada jauh di atas batas-batas
pengalaman (Basri, 2013).

⁵ Maidar Darwis, Konsep Pendidikan Islam dalam Persepektif Ibnu Sina, (Jurnal Ilmiah
DIDAKTIKA Februari 2013 VOL. XIII, NO. 2, 240-258), hlm. 248.
⁶ ibid..hlm, 249
⁷ ibid..hlm. 254
Karena kebenaran bersifat abadi di alam adialami, atau berada di alam idea atau di
dalam posisi yang meliputi seluruh yang ada. Dalam berteori, para filosof mencari
kebenaran, dan dalam praktek, menyesuaikan kebenaran itu dengan kenyataan empiris.
Jika pengetahuan tentang kebenaran merupakan orientasi yang hendak dicapai oleh
para filosof, maka Al-Kindi pun menetapkan tujuan utama Filsafat sebagai jalan
menuju pengetahuan tersebut. Menurut Al-Kindi, pengetahuan akan kebenaran
mengharuskan manusia untuk menggabungkan fisika dan Metafisika, sains dan
teknologi. Berangkat dari asumsi ini, Al-Kindi mengupayakan perpaduan antara
doktrin filsafat dan agama.⁸

⁸ Abubakar Madani, Pemikiran Filsafat Al-Kindi, (Lentera, Vol. IXX, No. 2, Desember 2015),
hlm. 110.

Anda mungkin juga menyukai