Anda di halaman 1dari 12

Buku Sejarah Tuhan

1. Pendahuluan
Selamat datang di UC Channel Edisi Membahas Buku

Pada video kali ini kita akan membahas buku yang berjudul Sejarah Tuhan “Kisah 4000
Tahun Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia” karya Karen Armstrong.

Pembahasan buku ini akan dibagi menjadi 12 bagian video yang dimulai dari bagian
pendahuluan sampai dengan bagian ke 11 dari buku ini dan pada video kali ini kita akan
membahas bagian pendahuluan. Akan tetapi sebelum kita bahas bagian pendahuluannya kita
kenalan dulu dengan buku ini.

Baiklah ….
Buku "Sejarah Tuhan" oleh Karen Armstrong adalah sebuah perjalanan mendalam yang
mengupas evolusi konsep Tuhan dalam agama-agama dunia dari zaman prasejarah hingga
zaman modern. Karen Armstrong, seorang sejarawan agama terkenal, menelusuri akar dan
perubahan konsep Tuhan dalam berbagai budaya dan konteks sejarah.
Armstrong memulai dengan menjelaskan pentingnya memahami konteks sosial, politik, dan
budaya di mana pemahaman tentang Tuhan berkembang. Ia menggali pengetahuan dari
berbagai agama seperti Yudaisme, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, dan agama-agama kuno
lainnya untuk membentuk gambaran yang kaya tentang perubahan pemahaman manusia
tentang Tuhan.
Buku ini menjelajahi masa-masa awal kepercayaan prasejarah yang dipenuhi dengan pola
pikir animistik dan kepercayaan pada dewa-dewa alam. Armstrong kemudian membahas
peralihan menuju agama-agama kuno seperti Mesir Kuno, Mesopotamia, dan Yunani, di
mana konsep-konsep panteistik dan politeistik dominan.
Karen Armstrong juga menggali bagaimana munculnya agama-agama monoteistik seperti
Yudaisme, Kristen, dan Islam memperkenalkan konsep Tuhan yang satu dan abadi. Ia
menyoroti peran Nabi dan tokoh-tokoh agama dalam mengubah pemahaman tentang Tuhan
dan menjelaskan bagaimana pemikiran teologis berkembang seiring waktu.
Selain itu, buku ini membahas dampak perubahan sosial dan politik terhadap pemahaman
tentang Tuhan. Armstrong menyelidiki pengaruh filsafat, ilmu pengetahuan, dan pemikiran
modern pada pemahaman tentang Tuhan serta tantangan yang dihadapi dalam
mempertahankan keyakinan tradisional dalam masyarakat modern.
Dalam "Sejarah Tuhan", Armstrong mengajukan pendekatan akademis dan objektif,
menghindari sudut pandang dogmatik atau apologetik. Buku ini memberikan wawasan yang
mendalam tentang kompleksitas dan keragaman konsep Tuhan, mengajak pembaca untuk
memahami bahwa agama adalah produk budaya manusia yang terus berkembang.
Buku "Sejarah Tuhan" oleh Karen Armstrong memberikan pemahaman yang komprehensif
tentang konsep Tuhan dalam berbagai agama dan periode sejarah. Ini adalah sumber
pengetahuan penting bagi mereka yang tertarik untuk menjelajahi sejarah, perkembangan,
dan keragaman pemikiran tentang Tuhan dalam kontes budaya manusia.

PENDAHULUAN ……

Bagian pendahuluan dari buku ini membahas tentang bagaimana manusia telah melakukan
pengkajian untuk mencari Tuhan selama 4.000 tahun atau sejak abad ke-20 Sebelum
Masehi. Upaya ini kemudian diwariskan kepada umat Yahudi, Kristen dan Islam sehingga
diyakini sebagai titik awal lahirnya agama-agama monoteis atau dikenal dengan istilah
agama Ibrahim. Armstrong meneliti sejarah ide dan pengalaman tentang Tuhan dalam tiga
kepercayaan monoteistik yang saling berkaitan: Yahudi, Kristen dan Islam, dia berharap
menemukan bahwa Tuhan hanya merupakan gambaran kebutuhan dan hasrat manusia
Pendahuluan buku "Sejarah Tuhan" oleh Karen Armstrong mengawali perjalanan yang
menarik dalam pemahaman manusia tentang Tuhan sepanjang sejarah. Karen Armstrong
mengungkapkan bahwa agama dan konsep tentang Tuhan telah memainkan peran sentral
dalam kehidupan manusia sejak zaman prasejarah hingga saat ini.

Dalam pendahuluan ini, Armstrong menyoroti pentingnya memahami konteks sejarah dan
sosial di mana konsep-konsep tentang Tuhan berkembang. Ia menekankan perlunya melihat
pemahaman tentang Tuhan sebagai produk budaya manusia yang terus berkembang seiring
waktu.

Armstrong menjelaskan bahwa buku ini bertujuan untuk memberikan gambaran luas
tentang evolusi konsep Tuhan di berbagai agama dan kepercayaan. Ia mencatat bahwa di
zaman moderen, banyak orang menghadapi tantangan dalam mempertahankan keyakinan
tradisional mereka terhadap Tuhan, dan buku ini berfungsi sebagai sumber pengetahuan
untuk menggali akar sejarah dan memahami variasi pemahaman tentang Tuhan.

Pendahuluan ini juga mengungkapkan pendekatan Armstrong yang bersifat akademis dan
objektif terhadap topik ini. Ia berupaya menjauh dari sudut pandang dogmatik atau
apologetik dan lebih fokus pada analisis sejarah dan budaya. Armstrong menekankan
pentingnya memahami agama sebagai fenomena manusiawi dan menghindari kesalahan
dalam menggeneralisasi atau menyederhanakan kompleksitas kepercayaan agama.

Dengan pendekatan yang cermat dan obyektif, Armstrong bertujuan untuk memberikan
pemahaman yang lebih dalam tentang bagaimana konsep Tuhan telah berubah dan
berkembang sepanjang sejarah manusia. Pendahuluan ini mengundang pembaca untuk
melakukan perjalanan yang menarik dan informatif dalam melihat asal-usul dan
perkembangan gagasan tentang Tuhan yang telah membentuk peradaban manusia.

Itulah ringkasan singkat dari bagian pendahuluan buku "Sejarah Tuhan" oleh Karen
Armstrong. Mohon maaf atas kekurangan dalam penyajian bagian pendahuluan buku ini,
apabila ada kritik dan saran ataupun pendapat lain dari bagian pendahuluan ini silahkan di
sampaikan dalam kolom komentar.

Terimakasih sudah menonton video ini dan sampai jumpa pada video berikutnya.
Salam Universal…..

2. Bagian 1 : Pada Mulanya ….


Selamat datang di UC Channel Edisi Membahas Buku
Pada video kali ini kita akan melanjutkan pembahasan tentang Buku Sejarah Tuhan karya
Karen Armstrong. Pada bagian sebelumnya kita telah membahas tentang bagian pendahuluan
yang memberikan gambaran umum tentang isi dari buku ini. Pada bagian pendahuluan buku
"Sejarah Tuhan" oleh Karen Armstrong membahas evolusi pemahaman manusia tentang
Tuhan sepanjang sejarah. Armstrong mengungkapkan pentingnya memahami konteks sosial
dan sejarah di mana konsep-konsep tentang Tuhan berkembang. Ia juga menyoroti tantangan
modern dalam mempertahankan keyakinan tradisional tentang Tuhan. Armstrong
menggunakan pendekatan akademis dan objektif dalam menyajikan informasi tentang sejarah
dan variasi pemahaman tentang Tuhan. Melalui bukunya, ia mengundang pembaca untuk
menjalani perjalanan yang menarik dan informatif dalam memahami peran agama dalam
sejarah dan budaya manusia.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang bagian 1 dari buku sejarah tuhan yaitu
“Pada Mulanya”
Pada mulanya, Bagian 1 buku "Sejarah Tuhan" karya Karen Armstrong mengungkapkan
pentingnya memahami bahwa konsep Tuhan telah mengalami perubahan signifikan
sepanjang sejarah manusia. Armstrong menyoroti bahwa konsep Tuhan tidaklah statis,
melainkan mengalami evolusi yang kompleks seiring dengan perubahan sosial, politik, dan
budaya.
Armstrong menjelaskan bahwa dalam kehidupan manusia prasejarah, konsep tentang Tuhan
belum terbentuk sepenuhnya. Pada saat itu, manusia memiliki pola pikir animistik dan
kepercayaan pada kekuatan alam. Mereka melihat manifestasi ilahi dalam fenomena alam
seperti matahari, bulan, dan cuaca.
Selanjutnya, Armstrong membahas munculnya agama-agama kuno di Mesir, Mesopotamia,
dan Yunani, di mana konsep-konsep panteistik dan politeistik mendominasi. Dewa-dewa
dianggap memiliki kekuatan dan karakteristik yang berbeda, dan manusia berinteraksi
dengan mereka melalui upacara dan pengorbanan.
Namun, perubahan signifikan terjadi ketika agama-agama monoteistik mulai muncul, seperti
Yudaisme, Kristen, dan Islam. Armstrong menjelaskan bagaimana konsep tentang Tuhan
yang satu dan abadi mulai berkembang dalam agama-agama ini. Ia menyoroti peran Nabi dan
tokoh-tokoh agama dalam membawa pemahaman baru tentang Tuhan dan mengarahkan
manusia untuk menyembah Tuhan yang tunggal.
Bagian ini juga menyoroti perubahan sosial dan politik yang mempengaruhi pemahaman
tentang Tuhan. Armstrong mencatat bahwa pemikiran filsafat, ilmu pengetahuan, dan
pemikiran modern telah memberikan tantangan bagi keyakinan tradisional tentang Tuhan.
Konsep Tuhan pun mengalami reinterpretasi dan penyesuaian untuk tetap relevan dalam
masyarakat modern.
Bagian 1 buku "Sejarah Tuhan" memberikan gambaran awal tentang perjalanan konsep
Tuhan dalam sejarah manusia, mulai dari kepercayaan prasejarah hingga munculnya agama-
agama monoteistik. Armstrong mengajak pembaca untuk memahami konteks budaya, sosial,
dan politik di mana konsep tentang Tuhan berkembang, serta betapa kompleksnya perubahan
dalam pemikiran manusia tentang Tuhan sepanjang waktu.
3. Bagian 2

Selamat datang di UC Channel Edisi Membahas Buku.

Pada video kali ini kita akan melanjutkan pembahasan buku Sejarah Tuhan Karya Karen
Armstrong. Sebelumnya kita telah membahas bagian pendahuluan dan bagian satu dari buku
ini. Bagi yang belum menonton bagian sebelumnya kami sarankan untuk menontonnya agar
mendapatkan gambaran yang berkesinambungan tentang pembahasan buku ini.

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas bagian 2 dari buku sejarah tuhan karya karen
armstrong, yaitu, “Tuhan Yang Satu”

Bagian kedua dari buku "Sejarah Tuhan" karya Karen Armstrong berjudul, "Tuhan yang
Satu", akan membawa kita pada perjalanan melalui zaman yang dikenal sebagai Zaman
Kegelapan. Bagian ini membahas perubahan signifikan dalam pemahaman tentang Tuhan
yang terjadi pada periode ini, terutama dalam konteks agama-agama monoteistik seperti
Yudaisme, Kristen, dan Islam.

Dalam bagian ini, Armstrong menjelaskan bahwa konsep Tuhan yang satu muncul sebagai
reaksi terhadap perubahan sosial dan politik pada masa itu. Konsep ini juga dipengaruhi oleh
filsafat Yunani dan pemikiran para nabi dalam agama Yahudi. Armstrong juga membahas
tentang perbedaan konsep Tuhan yang satu dalam agama-agama tersebut, seperti konsep
Trinitas dalam agama Kristen dan konsep Tawhid dalam agama Islam.
Armstrong memulai pembahasan dengan menjelaskan bahwa pada Zaman Kegelapan ini
terjadi perubahan radikal dalam pandangan manusia terhadap Tuhan.

Pada masa itu, masyarakat hidup dalam kegelisahan dan ketidakpastian yang disebabkan oleh
perubahan sosial dan politik. Konsep Tuhan yang satu muncul sebagai jawaban atas
kegelisahan tersebut. Konsep ini mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan yang menguasai
alam semesta dan mengatur segala sesuatu. Konsep ini juga mengajarkan bahwa Tuhan yang
satu adalah Tuhan yang abadi dan tidak terbatas oleh waktu dan ruang.

Agama-agama monoteistik mengemuka dan Tuhan dipahami sebagai entitas yang tunggal,
transenden, dan tersembunyi. Konsep tentang Tuhan yang satu ini melahirkan pemahaman
baru tentang hubungan manusia dengan Tuhan, serta tuntutan moral dan etika yang lebih
kuat.

Bagian ini menggali perjalanan pemikiran tentang Tuhan dalam agama-agama monoteistik,
dimulai dengan Yudaisme.

Armstrong menjelaskan bahwa perjalanan sejarah bangsa Yahudi memainkan peran penting
dalam membentuk pemahaman mereka tentang Tuhan. Dari pengalaman mereka sebagai
bangsa yang diasingkan dan dihancurkan, mereka mengembangkan pemikiran tentang Tuhan
sebagai entitas yang adil, kuasa, dan penghibur. Taurat menjadi pijakan utama bagi keyakinan
mereka, dan upacara dan aturan hukum menjadi bagian integral dari ibadah mereka.

Dalam agama Yahudi, konsep Tuhan yang satu muncul melalui pemikiran para nabi seperti
Musa dan Yesaya. Para nabi ini mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan yang menguasai
alam semesta dan mengatur segala sesuatu. Konsep ini kemudian berkembang menjadi
konsep Yahweh yang menjadi Tuhan yang satu dalam agama Yahudi.

Selanjutnya, Armstrong membahas perkembangan pemahaman tentang Tuhan dalam


Kekristenan. Ia menyoroti bahwa Kekristenan didasarkan pada ajaran Yesus Kristus. Dalam
Kekristenan, pemahaman tentang Tuhan berkembang secara dinamis melalui konteks sejarah
dan teologi. Armstrong menekankan peran penting Trinitas dalam pemahaman tentang Tuhan
dalam Kekristenan, di mana konsep tentang Allah Bapa, Yesus Kristus sebagai Putra Allah,
dan Roh Kudus sebagai manifestasi ilahi menjadi pusat keyakinan Kristen.

Dalam agama Kristen, konsep Tuhan yang satu muncul melalui konsep Trinitas. Konsep ini
mengajarkan bahwa ada satu Tuhan yang terdiri dari tiga pribadi yaitu Bapa, Putra, dan Roh
Kudus. Konsep ini muncul sebagai jawaban atas perdebatan tentang hubungan antara Allah
dan Yesus Kristus.

Pembahasan kemudian bergeser ke Islam, agama yang didasarkan pada ajaran Nabi
Muhammad. Armstrong menjelaskan bahwa ajaran Muhammad membawa perubahan besar
dalam pemahaman tentang Tuhan dalam masyarakat Arab pada saat itu. Dalam Islam, Tuhan
dipahami sebagai Allah yang Maha Esa, yang menciptakan segala sesuatu dan memberikan
petunjuk kepada umat-Nya melalui Al-Quran. Konsep takdir dan kepatuhan kepada kehendak
Allah menjadi inti ajaran Islam.

Dalam agama Islam, konsep Tuhan yang satu muncul melalui konsep Tawhid. Konsep ini
mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan yang menguasai alam semesta dan mengatur
segala sesuatu. Konsep ini juga mengajarkan bahwa Tuhan yang satu adalah Tuhan yang
abadi dan tidak terbatas oleh waktu dan ruang.

Pembahasan dalam bab ini tidak hanya berfokus pada perkembangan teologi dan pemikiran
tentang Tuhan dalam agama-agama monoteistik, tetapi juga menggali konteks sosial dan
politik di balik perubahan tersebut.

Armstrong menyoroti bagaimana faktor-faktor seperti perang, penindasan, dan penganiayaan


mempengaruhi pemahaman dan pengamalan agama. Ia juga menekankan peran penting para
pemimpin agama, seperti raja dan imam, dalam mengartikulasikan dan mempertahankan
keyakinan tentang Tuhan.

Bagian ini juga membahas perdebatan dan kontroversi dalam agama-agama monoteistik
sepanjang sejarah. Konflik antara pandangan teologis, interpretasi Alkitab, dan kepentingan
politik sering kali mengarah pada perpecahan dan perselisihan di dalam agama-agama ini.

Armstrong menggambarkan bagaimana upaya-upaya pembaruan dan reformasi, seperti


gerakan Protestan dalam Kekristenan, mencoba untuk membawa perubahan dalam
pemahaman dan praktik agama.

Dalam kesimpulannya, Bagian dua, "Tuhan yang Satu" dalam buku, "Sejarah Tuhan"
memberikan pemahaman yang mendalam tentang perubahan pemikiran tentang Tuhan yang
terjadi selama Zaman Kegelapan.

Armstrong menggali perjalanan pemikiran tentang Tuhan dalam agama-agama monoteistik,


menjelajahi Yudaisme, Kekristenan, dan Islam. Ia menyoroti konteks sejarah, sosial, dan
politik yang mempengaruhi perkembangan pemikiran ini, serta perdebatan dan kontroversi
yang melekat dalam agama-agama tersebut.

Bagian ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang perjalanan pemikiran tentang
Tuhan dan kompleksitas dalam agama-agama monoteistik. Pembaca diajak untuk menggali
akar sejarah dan konteks dalam pemahaman mereka tentang Tuhan, serta menghargai
keragaman dan perubahan dalam pemikiran manusia tentang Tuhan sepanjang sejarah.

Secara keseluruhan, bagian kedua dari buku, Sejarah Tuhan karya Karen Armstrong
memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang konsep Tuhan yang satu dalam
agama-agama monoteistik dan bagaimana konsep ini berkembang dalam sejarah. Konsep
Tuhan yang satu muncul sebagai jawaban atas kegelisahan dan ketidakpastian pada masa itu
dan menjadi dasar bagi agama-agama monoteistik yang ada saat ini.

Itulah pembahasan singkat dari bagian dua, Tuhan Yang Satu, buku Sejarah Tuhan karya
Karen Armstrong. Pembahasan dalam video ini merupakan ringkasang dari bagian dua
tersebut. Untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan menyeluruh kami menyarankan untuk
membaca bukunya langsung.

Demikian video kali ini. Mohon maaf atas segala kekurangan, apabila ada kritik dan saran
ataupun pendapat lain dari bagian pendahuluan ini silahkan di sampaikan dalam kolom
komentar.
Terimakasih sudah menonton video ini dan sampai jumpa pada video berikutnya.
Salam, Universal
4. Bagian 3, Cahaya Bagi Kaum Non-Yahudi
Selamat datang di UC Channel Edisi Membahas Buku.
Pada video kali ini kita akan melanjutkan pembahasan buku Sejarah Tuhan Karya Karen
Armstrong. Sebelumnya kita telah membahas bagian pendahuluan, bagian satu dan bagian
dua dari buku ini. Bagi yang belum menonton bagian sebelumnya kami sarankan untuk
menontonnya agar mendapatkan gambaran yang berkesinambungan tentang pembahasan
buku ini.

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas bagian tiga dari buku sejarah tuhan karya
karen armstrong, yaitu, “Tuhan Yang Satu”

Bagian ketiga dari buku "Sejarah Tuhan" karya Karen Armstrong, yang berjudul "Cahaya
Bagi Kaum Non-Yahudi", merupakan bagian yang penting dalam memahami pengaruh
agama-agama monoteistik, terutama Yudaisme, pada masyarakat non-Yahudi. Dalam bagian
ini, Armstrong mengeksplorasi bagaimana pemikiran dan konsep tentang Tuhan dari tradisi
Yudaisme dipengaruhi, diadopsi, dan dikembangkan oleh budaya-budaya di luar komunitas
Yahudi. Armstrong membahas tentang bagaimana agama Yahudi memandang orang-orang
non-Yahudi dan bagaimana persepsi mereka tentang Tuhan. Karen Armstrong juga
membahas tentang bagaimana agama-agama lain seperti Kristen dan Islam memandang
orang-orang non-agama mereka.

Karen Armstrong menunjukkan bahwa agama Yahudi awalnya sangat eksklusif dan
memandang orang-orang non-Yahudi sebagai musuh. Namun, seiring waktu, agama Yahudi
mulai membuka diri dan menerima orang-orang non-Yahudi. Hal ini terlihat dari kisah-kisah
dalam Alkitab Ibrani yang menggambarkan orang-orang non-Yahudi sebagai orang-orang
yang tidak beriman dan tidak bisa dipercayai. Namun, seiring waktu, agama Yahudi mulai
membuka diri dan menerima orang-orang non-Yahudi.

Armstrong menyoroti peran sentral Yudaisme dalam mengembangkan gagasan tentang Tuhan
yang tunggal dan konsep etika yang kuat. Yudaisme menjadi fondasi dan cikal bakal bagi
agama-agama monoteistik lainnya, termasuk Kekristenan dan Islam. Pemahaman ini
membentuk pola pikir masyarakat non-Yahudi di sekitar mereka.

Dalam konteks masyarakat kuno, Armstrong menjelajahi pengaruh Yudaisme pada


masyarakat Helenistik di Yunani. Dia mengungkapkan bagaimana pemikiran tentang Tuhan
dalam Yudaisme mempengaruhi kepercayaan dan praktik keagamaan di kalangan masyarakat
non-Yahudi pada masa itu. Konsep tentang Tuhan yang tunggal dan nilai-nilai moral dalam
Yudaisme menjadi faktor yang memengaruhi pemikiran dan praktik keagamaan di dalam
agama-agama Yunani.

Selanjutnya, Armstrong memperluas pembahasannya ke pengaruh Yudaisme pada agama


Kristen. Dia menjelaskan bagaimana Kristen, sebagai agama yang berasal dari tradisi
Yudaisme, mengadopsi dan mengembangkan pemikiran tentang Tuhan dari Yudaisme.
Pemahaman tentang Yesus Kristus sebagai Anak Alah dan konsep tentang kasih sayang,
keadilan, dan moralitas yang ditanamkan dalam Yudaisme menjadi dasar dalam
pengembangan agama Kristen.

Bab ini juga melibatkan diskusi mengenai pengaruh Yudaisme pada agama Islam. Armstrong
menyoroti hubungan antara Nabi Muhammad dengan tradisi Yahudi, di mana banyak elemen
pemikiran dan ajaran dalam Islam dipengaruhi oleh Yudaisme. Konsep tentang Allah yang
Maha Esa dan pengajaran tentang nabi-nabi dalam Islam memiliki akar dalam tradisi Yahudi.
Pembahasan ini menggambarkan betapa pentingnya Yudaisme dalam membentuk identitas
dan pemahaman agama Islam.

Armstrong juga menyoroti peran filosofi Yunani dalam mediasi antara Yudaisme dan budaya
non-Yahudi. Pemikir-pemikir seperti Filo dari Aleksandria berusaha menyatukan pemikiran
Yunani dan Yudaisme dengan mengintegrasikan konsep-konsep filosofis Yunani ke dalam
pemahaman tentang Tuhan. Ini mencerminkan proses saling mempengaruhi dan pertukaran
gagasan antara budaya dan tradisi agama.

Pembahasan dalam bagian ini memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang
pengaruh Yudaisme pada masyarakat non-Yahudi. Melalui penerapan konsep-konsep tentang
Tuhan, moralitas, dan praktik keagamaan dari Yudaisme, budaya-budaya di luar tradisi
Yahudi mengadopsi dan mengembangkan pemikiran agama yang terinspirasi oleh Yudaisme.
Ini menunjukkan bahwa agama-agama monoteistik tidak hanya berdampak pada komunitas
mereka sendiri, tetapi juga memainkan peran penting dalam membentuk pemikiran agama di
luar kelompok mereka.

Dalam bagian ini Karen Armstrong juga membahas tentang bagaimana agama-agama lain
memandang orang-orang non-agama mereka dan bagaimana persepsi mereka tentang Tuhan,
Seperti agama Kristen yang awalnya sangat eksklusif dan memandang orang-orang non-
Kristen sebagai orang-orang yang tidak beriman dan tidak bisa diselamatkan. Namun, seiring
waktu, agama Kristen mulai membuka diri dan menerima orang-orang non-Kristen.

Kemudian Armstrong membahas tentang bagaimana agama Islam memandang orang-orang


non-agama. Dia menunjukkan bahwa agama Islam awalnya sangat inklusif dan memandang
orang-orang non-Muslim sebagai orang-orang yang bisa diselamatkan. Namun, seiring
waktu, agama Islam mulai menjadi lebih eksklusif dan memandang orang-orang non-Muslim
sebagai musuh.

Karen Armstrong menunjukkan bahwa agama memiliki peran yang besar dalam memandang
orang-orang non-agama. Agama dapat menjadi alat untuk memperkuat perbedaan dan
memperkuat eksklusivitas, atau dapat menjadi alat untuk memperkuat persamaan dan
inklusivitas. Karen Armstrong menunjukkan bahwa agama-agama yang membuka diri dan
menerima orang-orang non-agama cenderung lebih inklusif dan lebih mampu bertahan dalam
jangka panjang.

Pembahasan bagian ini juga menyoroti pentingnya pemahaman saling menghargai dan dialog
antaragama. Melalui pemahaman dan penghargaan terhadap pengaruh agama-agama lain,
masyarakat dapat memperdalam pemahaman mereka tentang warisan agama dan
mendapatkan wawasan baru tentang Tuhan. Selain itu, pembahasan ini menegaskan
kompleksitas dan keragaman pemikiran agama yang terus berkembang dalam sejarah
manusia.

Karen Armstrong memberikan wawasan yang menarik tentang bagaimana agama-agama


memandang orang-orang non-agama mereka dan bagaimana persepsi mereka tentang Tuhan.
Karen Armstrong menunjukkan bahwa agama-agama yang membuka diri dan menerima
orang-orang non-agama cenderung lebih inklusif dan lebih mampu bertahan dalam jangka
panjang. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk memahami persepsi agama terhadap orang-
orang non-agama agar kita dapat memperkuat inklusivitas dan persamaan.
Dengan demikian, bagian ketiga buku "Sejarah Tuhan" ini memberikan gambaran yang
komprehensif tentang pengaruh Yudaisme pada masyarakat non-Yahudi. Pembaca diajak
untuk mengenali dan menghargai peran penting Yudaisme dalam membentuk pemikiran
agama di luar komunitas Yahudi. Pembahasan ini juga mengilustrasikan betapa kompleksnya
pertukaran ide dan pengaruh budaya dalam perkembangan pemikiran agama yang melintasi
batas-batas agama dan budaya.

5. Bagian 4 “Trinitas : Tuhan Kristen”


Selamat datang di UC Channel Edisi Membahas Buku.
Pada video kali ini kita akan melanjutkan pembahasan buku Sejarah Tuhan Karya Karen
Armstrong. Bagi yang belum menonton bagian sebelumnya kami menyarankan untuk
ditonton terlebih dahulu agar mendapatkan gambaran yang berkesinambungan tentang
pembahasan buku ini. Bagi yang sudah menonton kami sampaikan terimakasih.
Pada kesempatan kali ini kita akan membahas bagian ke empat dari buku sejarah tuhan karya
Karen Armstrong yaitu: “Trinitas : Tuhan Kristen”.

Bagian keempat buku Sejarah Tuhan Karya Karen Armstrong yang berjudul Trinitas : Tuhan
Kristen diawali dengan pembahasan mengenai munculnya keyakinan tentang Tuhan bagi
umat kristen dengan berbagai kontroversi dan perbadaan pandangan pada masa tersebut.

Kontroversi teologis tersebut terjadi pada sekitar tahun 320 Masehi dan terjadi di gereja-
gereja di Mesir, Siria, dan Asia Kecil. Kontroversi ini dipicu oleh seorang pemimpin gereja
bernama Arius dari Aleksandria. Arius menantang pandangan tradisional gereja tentang
hubungan antara Alah Bapa dan Yesus Kristus.
Arius percaya bahwa Yesus Kristus, meskipun kuat dan sepenuhnya Tuhan, bukanlah kekal
dan tidak ada sejak awal. Dia berpendapat bahwa Yesus adalah makhluk ciptaan Alah Bapa
dan bahwa Yesus sendiri mengakui bahwa Bapa lebih agung dari pada dirinya. Pandangan ini
mengancam doktrin inkarnasi dan keilahian Yesus yang diyakini oleh gereja pada saat itu.
Tantangan Arius terhadap pandangan gereja menyebabkan kontroversi yang membara di
kalangan orang awam dan rohaniwan. Untuk menyelesaikan masalah ini, Kaisar Konstantin
mengadakan Konsili Nicea pada tahun 325 Masehi di Nicaea, Turki, yang dihadiri oleh para
uskup gereja dari seluruh Kekaisaran Romawi.
Konsili Nicea berusaha untuk mencapai kesepakatan tentang pandangan gereja terhadap sifat
dan hubungan Alah Bapa dan Yesus Kristus. Pada akhirnya, pandangan Arius ditolak dan
dianggap sebagai bid'ah. Konsili Nicea menegaskan keyakinan gereja bahwa Yesus adalah
sama keilahian dengan Bapa dan memiliki keilahian yang kekal. Keputusan ini menjadi dasar
dari apa yang sekarang dikenal sebagai Ortodoksi Kristen.
Dalam kontroversi ini, Arius menekankan perbedaan antara Alah yang unik dan makhluk-
Nya. Dia menggunakan ayat-ayat Alkitab untuk mendukung argumennya bahwa Yesus
adalah makhluk ciptaan. Di sisi lain, Athanasius, yang merupakan pendukung keilahian
Yesus, memandang bahwa Yesus adalah bagian dari tatanan ilahi dan bahwa keselamatan
manusia hanya mungkin melalui Kristus.
Kontroversi ini melibatkan pemahaman tentang penciptaan dan keilahian Kristus, serta
implikasinya terhadap pemahaman manusia akan keselamatan dan hubungan dengan Tuhan.
Selanjutanya Athanasius memperluas pengaruh keyakinannya dengan berhasil meyakinkan
Marcellus dan pengikutnya bahwa mereka memiliki lebih banyak kesamaan dengan sekte
Arius dari pada perbedaan. Mereka mengakui bahwa ada perselisihan dalam terminologi,
tetapi mereka bersatu dalam menentang pandangan Arius yang menyatakan bahwa Putra
secara keseluruhan berbeda dan memiliki hakikat yang berbeda dari Tuhan Bapa.
Pada bagian ini, Armstrong mengungkapkan bahwa terdapat obsesi dogmatik dalam agama
Kristen yang mengarah pada pencampuran simbol manusia dengan realitas ilahi. Ada
kebutuhan untuk menjelaskan pengalaman keagamaan dalam simbol-simbol konseptual,
meskipun realitas yang ingin disampaikan sebenarnya tidak bisa terucapkan.
Pada bagian ini juga mengungkapkan tentang Athanasius yang menulis biografi tentang
Anthony, seorang asketik padang pasir terkenal, untuk menunjukkan bagaimana doktrin
barunya mempengaruhi spiritualitas Kristen. Athanasius menggambarkan Anthony sebagai
tokoh yang keras menentang Arianisme dan telah mencapai tingkat apatheia ilahi. Anthony
dianggap sebagai contoh sempurna dari seseorang yang meneladani Kristus.
Armstrong kemudian mengungkapkan tentang tiga teolog terkemuka dari Kapadokia yaitu
Basil, Gregory dari Nyssa, dan Gregory dari Nazianzus, muncul dengan solusi yang
memuaskan bagi gereja Ortodoks Timur terkait konsep Trinitas. Mereka mengakui
pentingnya pengalaman keagamaan dalam memahami misteri ketuhanan dan menekankan
perbedaan antara kebenaran faktual dan aspek-aspek yang lebih dalam yang hanya bisa
dipahami melalui pengalaman keagamaan.
Dalam bagian buku ini, Armstrong menunjukkan keadaan dalam gereja Ortodoks Yunani,
dimana terdapat pemahaman bahwa konsep tentang Tuhan hanyalah simulakrum atau berhala
yang tidak bisa mengungkapkan Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, sikap diam atau apofatik
diadopsi untuk mendekati Tuhan. Perbedaan antara esensi dan aktivitas Tuhan juga
ditekankan, dengan pengetahuan tentang Tuhan hanya dapat diperoleh melalui perbuatannya
atau energeiai.
Kapadokian juga ingin mengembangkan ajaran tentang Roh Kudus, yang dirasakan belum
cukup ditelaah di Konsili Nicaea. Mereka percaya bahwa Roh Kudus merupakan entitas yang
unik dan bukan sekadar sinonim dengan Bapa dan Anak.
Dalam suratnya kepada Alabius, Gregory dari Nyssa menguraikan doktrin Trinitas yang
penting. Ia menjelaskan bahwa Trinitas tidak berarti bahwa Tuhan terbagi menjadi tiga
bagian. Tuhan mengungkapkan dirinya secara penuh dalam masing-masing dari tiga
manifestasi-Nya, yaitu Bapa, Putra, dan Roh Kudus, ketika Dia ingin menyatakan diri-Nya
kepada dunia. Ketiga bagian ilahiah ini saling berkaitan dan tidak terpisah dalam realitas
suci.
Gregory menjelaskan bahwa pengalaman manusia juga mencerminkan saling ketergantungan
ketiga hypostases ini. Kita tidak akan mengenal Bapa jika tidak ada wahyu melalui Putra, dan
kita tidak akan mengenal Putra jika tidak ada Roh Kudus yang membuat kita mengenal-Nya.
Ketiga oknum ini saling melingkupi dalam kesatuan yang tidak terpisahkan.
Namun, pada akhirnya, Trinitas hanya bisa dipahami melalui pengalaman mistik atau
spiritual. Trinitas harus dialami, bukan dipikirkan, karena Tuhan berada di luar jangkauan
konsep manusia. Trinitas adalah paradigma imajinatif yang membungkam akal. Kontemplasi
tentang Tiga dalam Satu membangkitkan emosi yang hebat dan membungkam pikiran dan
kejernihan intelektual.
Bagi orang Kristen Ortodoks Yunani dan Rusia, kontemplasi tentang Trinitas merupakan
pengalaman keagamaan yang penuh ilham. Namun, bagi kebanyakan orang Kristen Barat,
Trinitas seringkali membingungkan. Hal ini mungkin disebabkan oleh perbedaan pendekatan
terhadap konsep ini. Bagi orang Yunani, Trinitas merupakan kebenaran dogmatik yang hanya
bisa dicerna secara intuitif dan melalui pengalaman keagamaan. Sedangkan bagi orang Barat,
konsep Trinitas sering kali dipahami secara rasional dan terjebak dalam pemikiran logis.
Gregory dari Nazianzus menjelaskan bahwa memikirkan tentang yang Satu akan
mencerahkan kita tentang yang Tiga, dan memikirkan salah satu dari yang Tiga akan
membawa kita kembali kepada yang Satu. Kontemplasi tentang Trinitas menghasilkan emosi
yang membungkam pikiran dan mengarahkan pada pengalaman mistik.
Trinitas tidak boleh diinterpretasikan secara harfiah atau dipahami secara rasional. Ini
bukanlah sebuah teori yang dapat dimasukkan ke dalam sistem pemikiran manusia. Trinitas
melampaui kata-kata, konsep, dan daya analisis manusia. Dalam paradigma imajinatif ini,
Trinitas harus dilihat sebagai sebuah puisi atau tarian teologis yang menghubungkan apa
yang dipercayai dan diterima oleh manusia tentang Tuhan dengan kesadaran bahwa setiap
pernyataan atau kerygma bersifat sementara.
Dalam pikiran manusia terdapat tiga elemen utama yaitu ingatan, pengertian, dan kehendak.
Ketiga elemen ini saling berkaitan dan mencakup satu sama lain. Konsep trinitas ini
diibaratkan sebagai bayangan cermin yang mencerminkan kehadiran Tuhan di dalam jiwa
manusia.
Namun, pemahaman tentang trinitas dalam pikiran hanya merupakan langkah awal. Konsep
ini bukanlah Tuhan itu sendiri, melainkan jejak Tuhan yang menciptakan manusia. Melalui
disiplin kreatif, manusia dapat membuka diri kepada aktivitas ilahi yang akan
mentransformasi mereka melalui tiga macam disiplin yaitu memegang teguh kebenaran
Inkarnasi dalam pikiran, melakukan kontemplasi atasnya, dan menemukan kesenangan di
dalamnya. Dengan cara ini, trinitas akan terungkap dan mengubah manusia secara dalam.
Selanjutnya bagian ini juga membahas mengenai pandangan Agustinus tentang dosa asal dan
pengaruhnya terhadap pandangan Barat terhadap seksualitas dan perempuan. Agustinus
percaya bahwa dosa asal Adam diturunkan kepada seluruh keturunannya melalui tindakan
seksual yang dipandang negatif. Hal ini menyebabkan pandangan yang negatif terhadap
seksualitas umumnya dan perempuan khususnya dalam spiritualitas Kristen Barat.
Pandangan yang curiga terhadap ras manusia dan seksualitas mengakibatkan kaum pria dan
wanita merasa terasing dengan diri mereka sendiri. Pandangan ini mempengaruhi sikap
terhadap perempuan dan bahkan memengaruhi pandangan tentang kependetaan wanita.
Pandangan ini dianggap ironis, karena seharusnya konsep inkarnasi Tuhan dalam
kemanusiaan mendorong penghargaan terhadap jasad.
Selanjutnya, Karen Armstrong dalam bagian ini juga membahas terkait perdebatan mengenai
keilahian dan kemanusiaan Kristus. Pertanyaan muncul tentang bagaimana keilahian Kristus
dapat berpadu dengan kemanusiaannya. Ada pula diskusi mengenai pandangan Tuhan Yunani
yang perkasa yang berbeda dengan pandangan Tuhan yang inkarnasi dalam Yesus Kristus.
Pembahasan bagian empat buku ini kemudian bergeser ke tahun 529 Masehi dimana Kaisar
Justinian menutup sekolah filsafat kuno di Athena yang menandai akhir dari paganisme
intelektual. Pemahaman yang dikatakan sebagai Filsafat pagan kalah oleh agama Kristen.
Namun, empat tahun kemudian, muncul risalah mistik yang diatributkan kepada Denys dari
Aeropagus, seorang Kristen Yunani abad keenam yang ingin mempertahankan
anonimitasnya. Namun, nama samaran Denys menjadi simbolis karena berhasil memadukan
pandangan Neoplatonisme dengan Tuhan Alkitab.
Denys menganggap liturgi sebagai jalan utama untuk mencapai Tuhan dan mengedepankan
pemahaman kerygma (wahyu) dan dogma (misteri) dalam keyakinan Kristen. Ia mengajarkan
bahwa kebenaran tentang Tuhan tidak bisa sepenuhnya diungkapkan oleh kata-kata atau
logika. Keheningan dan penyerapan theurgy menjadi cara untuk mencapai kemanunggalan
dengan Tuhan. Denys juga menolak penggunaan istilah "Tuhan" karena berbagai konotasi
antropomorfis yang tidak tepat. Sebaliknya, ia menggambarkan Tuhan sebagai "Tiada" atau
sebuah "misteri yang melampaui wujud". Kemabukan oleh Tuhan adalah keadaan
ketidaktahuan dan pemahaman yang membawa manusia ke dalam kesatuan dengan Tuhan.
Denys berbeda dari Neoplatonisme karena melihat Tuhan sebagai makhluk yang peduli
dengan manusia dan mengalami ekstasi yang membawanya keluar dari diri-Nya untuk berada
dalam hati segala sesuatu.
Denys meyakini bahwa setiap orang Kristen dapat mencapai kemabukan ini melalui metode
doa atau theoria, yang mengubah kerygma menjadi dogma, dan memungkinkan kita untuk
meraih kemanunggalan dengan Tuhan.
Kemudian Armstrong melanjutkan pembahasan kepada sutau zaman yang dikatakan sebagai
zaman yang jauh, dimana di berbagai tempat di dunia, manusia telah memiliki kebutuhan
batiniah yang mendalam untuk berhubungan dengan kekuatan yang lebih besar daripada diri
mereka sendiri. Mereka merasakan adanya kehadiran Tuhan, kekuatan ilahi yang
mempengaruhi kehidupan mereka.
Selanjutnya Armstrong sedikit menyinggung tentang ketuhanan orang Hindu dan Budha,
dimana bagi orang Hindu dan Buddha, gagasan tentang Tuhan yang personal atau
personalisasi Yang Mutlak telah menjadi bagian penting dari kehidupan mereka. Mereka
menghormati dan beribadah kepada Tuhan dalam bentuk personal, dengan mengekspresikan
cinta dan bhakti mereka melalui peribadatan yang personalistik.
Namun, ada juga pemikiran bahwa personalisme tidak cukup untuk memahami sifat sejati
Tuhan. Paradigma atau simbol Trinitas dalam agama Kristen menyarankan bahwa
personalisme haruslah ditransendensikan. Tuhan tidak bisa hanya dipahami sebagai manusia
yang diperluas, berperilaku, dan bereaksi dengan cara yang sama seperti kita. Tuhan haruslah
dianggap sebagai realitas yang sama sekali berbeda dan melebihi pemahaman manusia.
Dalam upaya untuk menghindari bahaya keberhalaan, ada doktrin inkarnasi yang muncul.
Ketika Tuhan dipandang sebagai realitas yang sama sekali terpisah dari manusia, ada risiko
bahwa manusia akan menciptakan berhala-berhala dan memproyeksikan keinginan dan
hasrat mereka kepadanya. Untuk menghindari hal ini, beberapa tradisi keagamaan
menekankan bahwa Yang Mutlak terkait dengan kondisi manusia. Contohnya, dalam
paradigma Brahman-Atman, Yang Mutlak terjalin dengan kondisi manusia.
Namun, ada perdebatan dalam sejarah agama tentang kemanusiaan dan keilahian Yesus.
Beberapa tokoh seperti Arius, Nestorius, dan Eutyches ingin memisahkan kemanusiaan dan
keilahian Yesus dalam tataran terpisah. Mereka berusaha menemukan solusi yang lebih
rasional dalam pemahaman ini. Namun, dogma sebagai lawan dari kerygma tidak mesti
terbatas pada apa yang bisa diungkapkan sepenuhnya dengan kata-kata, seperti puisi atau
musik.
Doktrin inkarnasi, yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh seperti Athanasius dan Maximus,
adalah upaya untuk mengartikulasikan pandangan universal bahwa Tuhan dan manusia tidak
boleh terpisah. Ini menggambarkan pandangan bahwa Tuhan haruslah terhubung dengan
manusia secara tak terpisahkan. Namun, di Barat, di mana inkarnasi tidak diformulasikan
dengan cara ini, ada kecenderungan untuk melihat Tuhan tetap bersifat eksternal terhadap
manusia dan sebagai realitas alternatif bagi dunia yang kita kenal. Hal ini berpotensi
membuat Tuhan hanya sebagai proyeksi manusia dan akhirnya ditinggalkan.
Namun, dalam agama Kristen, Yesus dipandang sebagai satu-satunya avatar yang
menggambarkan Firman Tuhan yang Pertama dan Terakhir bagi umat manusia. Ini
mencerminkan pandangan eksklusif tentang kebenaran agama di kalangan umat Kristen.
Mereka percaya bahwa dengan menerima Yesus, wahyu-wahyu masa depan tidak lagi
diperlukan. Namun, pada abad ketujuh di Arabia, agama baru muncul yang mengguncang
keyakinan mereka. Seorang nabi yang bernama Muhammad mengklaim telah menerima
wahyu langsung dari Tuhan mereka dan membawa kitab suci baru, yaitu Al-Qur'an. Agama
Islam menyebar dengan cepat di Timur Tengah dan Afrika Utara, menarik banyak pengikut
baru yang menerima pandangan monoteisme yang lebih sesuai dengan pemahaman Semitik
tentang realitas ilahi.
Bagian empat dari buku Sejarah Tuhan Karya Karen Armstrong ini memberi kita pemahaman
tentang bagaimana gagasan tentang Tuhan yang personal dan doktrin inkarnasi telah
memengaruhi berbagai agama dan keyakinan di dunia. Setiap agama memiliki pendekatan
yang berbeda dalam memahami hubungan manusia dengan Tuhan. Sementara beberapa
tradisi menekankan personalitas Tuhan dan peribadatan personalistik, yang lain menekankan
keberadaan Tuhan dalam kondisi manusia dan mencari kesatuan antara kemanusiaan dan
keilahian.
Itulah pembahasan singkat dari bagian empat, Trintias : Tuhan Kristen, buku Sejarah Tuhan
karya Karen Armstrong. Pembahasan dalam video ini merupakan ringkasang dari bagian
empat tersebut. Untuk mendapatkan gambaran yang utuh dan menyeluruh kami menyarankan
untuk membaca bukunya langsung.

Demikian video kali ini. Mohon maaf atas segala kekurangan, apabila ada kritik dan saran
ataupun pendapat lain dari bagian pendahuluan ini silahkan di sampaikan dalam kolom
komentar.

Terimakasih sudah menonton video ini dan sampai jumpa pada video berikutnya.

Salam, Universal
6. Bagian 5

Anda mungkin juga menyukai