Sejarah-Tuhan Bag 10
Sejarah-Tuhan Bag 10
Kematian Tuhan?
Pada awal abad kesembilan belas, ateisme benar-benar telah
menjadi agenda. Kemajuan sains dan teknologi melahirkan
semangat autonomi dan independensi baru yang mendorong
sebagian orang untuk mendeklarasikan kebebasan dari Tuhan.
lnilah abad ketika Ludwig Feuerbach, Karl Marx, Charles Darwin,
Friedrich Nietzsche, dan Sigmund Freud menyusun tafsiran
filosofis dan ilmiah tentang realitas tanpa menyisakan tempat buat
Tuhan. Bahkan pada akhir abad itu, sejumlah besar orang mulai
merasakan bahwa sekiranya Tuhan belum mati, maka adalah
tugas manusia yang rasional dan teremansipasi untuk
membunuhnya. Gagasan tentang Tuhan yang telah ditempa
selama berabad-abad di kalangan Kristen Barat kini terasa tidak
lagi memadai, dan Zaman Akal tampaknya telah menang atas
abad-abad penuh takhayul dan fanatisme. Benarkah demikian?
Barat kini telah mengambil inisiatif, dan semua aktivitasnya akan
memiliki efek menentukan terhadap orang Yahudi dan Muslim,
yang akan terdesak untuk meninjau ulang kedudukan mereka.
Banyak ideologi yang menolak gagasan tentang Tuhan memiliki
argumen yang baik. Tuhan Kristen Barat yang antropomorfik dan
personal sangatlah rentan. Banyak kejahatan mengerikan telah
dilakukan atas namanya. Namun demikian, kematiannya tidak
dirasakan sebagai pembebasan yang melegakan, tetapi justru
diwarnai keraguan, ketakutan, dan, dalam beberapa kasus, konflik
yang menggundahkan. Ada yang mencoba menyelamatkan Tuhan
dengan cara mengembangkan teologi baru untuk
membebaskannya dari sistem pemikiran empiris yang kaku,
namun ateisme tetap bertahan.
Visi ini berasal dari hati dan perasaan bukan dari apa yang disebut
Wordsworth sebagai "akal usil" yang daya analitisnya yang
telanjang bisa merusak intuisi semacam ini. Orang tidak
membutuhkan buku-buku dan teori-teori yang muluk. Yang
dibutuhkan adalah "kepasifan yang bijaksana" dan "hati yang
waspada dan terbuka".6 Pencerahan dimulai dengan pengalaman
subjektif, tetapi pengalaman ini harus "bijak", bukan berdasarkan
kebodohan dan hawa nafsu. Sebagaimana dikatakan Keats,
sebuah kebenaran tidak akan menjadi benar kecuali jika telah
dirasakan melalui urat nadi dan dihidupkan oleh gairah di dalam
hati.
Penyair mistis lain pada masa itu menyuarakan nada yang lebih
apokaliptik dan memaklumatkan bahwa Tuhan sudah mati. Dalam
puisi awalnya, William Blake (1757-1827) menggunakan metode
dialektik: istilah semacam "polos" dan "berpengalaman", yang
tampak saling bertentangan secara diametris, dipandang sebagai
separo-kebenaran dari realitas yang lebih kompleks. Blake telah
mengubah antitesis seimbang yang telah menjadi ciri dari ritme
puisi bersanjak selama Zaman Akal di lnggris menjadi metode
untuk membentuk visi personal dan subjektif. Di dalam Songs of
Innocence and Experience, dua keadaan jiwa manusia yang saling
bertentangan diungkap sebagai tidak memadai kecuali jika
keduanya telah dipadukan: kepolosan harus menjadi pengalaman
dan pengalaman itu sendiri terperosok ke tempat terdalam
sebelum kepolosan sejati dipulihkan. Sang penyair telah menjadi
seorang nabi, "Yang Kini, Dahulu, dan Nanti, melihat" dan
mendengarkan Firman Suci yang diucapkan kepada umat
manusia pada zaman primordial:
Salah satu "problem" yang mesti diatasi adalah Islam. Citra negatif
tentang Nabi Muhammad Saw. dan agamanya telah berkembang
di dunia Kristen pada masa Perang Salib dan terus berkembang
bersama sikap antiSemitisme Eropa. Selama masa penjajahan,
Islam dipandang sebagai agama fatalistik yang secara kronis
menentang kemajuan. Lord Cromer, misalnya, mencela usaha
pembaru Mesir, Muhammad Abduh, dengan mengatakan bahwa
adalah mustahil bagi "Islam" untuk mereformasi dirinya sendiri.
Kaum Muslim tidak mempunyai banyak waktu atau energi untuk
mengembangkan pemahaman tradisional mereka tentang Tuhan.
Mereka sibuk dalam upaya mengejar ketertinggalan dari Barat.
Ada yang melihat bahwa sekularisme Barat merupakan
jawabannya, namun hal yang positif dan menyegarkan di Barat
mungkin menjadi aneh dan asing di Dunia Islam, karena tidak
tumbuh secara alamiah di dalam tradisi mereka sendiri. Di Barat,
"Tuhan" dipandang sebagai suara keterasingan; di Dunia Islam
suara tersebut berasal dari proses kolonial. Karena tercerabut dari
akar budaya sendiri, orang-orang merasa kehilangan arah dan
putus asa. Sebagian pembaru Muslim berupaya mempercepat
langkah kemajuan dengan secara paksa meletakkan Islam pada
posisi minor. Akibatnya sama sekali tidak seperti yang mereka
harapkan. Di negara-bangsa baru Turki, yang lahir setelah
keruntuhan kekaisaran Usmani pada 1917, Mustafa Kemal (1881-
1938), kemudian dikenal sebagai Kemal Ataturk, berusaha
mengubah negerinya menjadi sebuah bangsa Barat: Dia
mengesampingkan Islam, membuat agama menjadi urusan yang
betul-betul bersifat pribadi. Tarekat sufi dilarang dan menjadi
gerakan bawah tanah; madrasah ditutup dan pendidikan ulama
negeri dihentikan. Kebijakan sekularisasi ini disimbolkan lewat
larangan pakaian fez. Larangan ini mengurangi penampilan
agama di ruang publik dan juga merupakan usaha psikologis untuk
memaksa masyarakat mengenakan pakaian Barat: "bertopi"
sebagai pengganti fez mulai diartikan sebagai "eropanisasi". Reza
Khan, Syah Iran dari 1925 hingga 1941, mengagumi Ataturk dan
mengupayakan kebijakan serupa: hijab dilarang; para mullah
dipaksa bercukur dan mengenakan topi sebagai pengganti turban
tradisional; perayaan tradisional untuk menghormati Imam Syiah
dan syahid Husain juga dilarang.