Tuhan Bagi para Reformis
Tuhan Bagi para Reformis
Hal ini terlihat dengan jelas dalam konsepsi Barat tentang Tuhan
pada periode tersebut. Di tengah keberhasilan sekular mereka,
orang Barat semakin menaruh perhatian pada iman melebihi
masa-masa sebelumnya. Kaum awam merasa tidak puas
terhadap bentuk agama Abad Pertengahan yang tak mampu lagi
memenuhi kebutuhan mereka di dunia yang baru. Para Reformis
menyuarakan kegelisahan ini dan menemukan cara baru dalam
memandang Tuhan dan penyelamatan. Akibatnya Eropa terpecah
ke dalam dua kubu yang saling bertikai-Katolik dan Protestan•
yang hingga kini tak pernah benar-benar bebas dari kebencian
dan saling curiga satu sama lain. Selama masa Reformasi, kaum
pembaru Katolik dan Protestan mengimbau para penganutnya
untuk meninggalkan kesetiaan lahiriah kepada orang-orang suci
dan para malaikat, dan memusatkan perhatian kepada Tuhan
semata. Eropa tampaknya sedang terobsesi oleh Tuhan. Namun
demikian, pada awal abad ketujuh belas, beberapa di antara
mereka berfantasi tentang "ateis me". Apakah ini berarti mereka
siap untuk menyingkirkan Tuhan?
Periode ini juga merupakan periode krisis bagi orang Yunani,
Yahudi, dan Muslim. Pada tahun 1453, Turki Usmani menaklukkan
ibu kota Kristen Konstantinopel dan menghancurkan kekaisaran
Byzantium. Setelah itu, orang Kristen Rusia melanjutkan tradisi
dan spiritualitas yang dikembangkan Yunani. Pada Januari 1492,
ketika Christopher Columbus menemukan Dunia Baru, Ferdinand
dan Isabella menaklukkan Grenada di Spanyol, daerah kekuasaan
Muslim terakhir di Eropa: kaum Muslim kemudian diusir dari
Semenanjung Iberia, yang telah menjadi tanah air mereka selama
800 tahun. Penghancuran Muslim Spanyol menimbulkan akibat
yang fatal bagi orang Yahudi. Pada Maret 1492, beberapa minggu
setelah kejatuhan Grenada, monarki Kristen menawarkan pilihan
dibaptis atau diusir bagi Yahudi Spanyol. Banyak orang Yahudi
Spanyol yang begitu terikat pada negeri mereka sehingga memilih
untuk menganut Kristen, meskipun sebagian tetap menjalankan
praktik agama mereka secara sembunyi-sembunyi: seperti orang
Moriscos, para mualaf Kristen yang berpindah dari Islam, orang•
orang Yahudi ini kemudian dikejar oleh lnkuisisi karena dicurigai
sebagai pembid'ah. Akan tetapi, sekitar 150.000 orang Yahudi
menolak dibaptis dan terpaksa meninggalkan Spanyol. Mereka
mencari perlindungan ke Turki, Balkan, dan Afrika Utara. Kaum
Muslim Spanyol telah memberikan tanah air terbaik bagi orang
Yahudi dibanding di tempat mana pun di seluruh diaspora
sehingga pemusnahan Yahudi Spanyol disesali oleh kaum Yahudi
seluruh dunia sebagai bencana terbesar yang pernah menimpa
mereka sejak penghancuran Kuil pada 70 M. Pengalaman diusir
menancap kuat di lubuk kesadaran keagamaan Yahudi melebihi
masamasa sebelumnya. Pengalaman tragis itu membawa pada
pertumbuhan bentuk baru Kabbalah dan perkembangan konsepsi
baru tentang Tuhan.
Untuk memberi apresiasi yang layak bagi visi baru tentang Tuhan
ini, kita harus memahami bahwa mitos-mitos tersebut tidak untuk
dipahami secara harfiah. Kaum Kabbalis Safed menyadari bahwa
tamsil yang mereka pakai memang sangat berani dan mereka
selalu memagarinya dengan ungkapan-ungkapan semacam
"seolah-olah" atau "anggaplah demikian". Akan tetapi, setiap
pembicaraan tentang Tuhan senantiasa bersifat problematik, tak
terkecuali doktrin biblikal tentang penciptaan alam. Kaum Kabbalis
menemukan kesulitan yang sama seperti yang juga pernah
dirasakan oleh para faylasuf. Keduanya menerima metafora
emanasi Platonis, yang melibatkan Tuhan dengan alam yang
secara abadi mengalir darinya. Para nabi telah menekankan
kesucian dan keterpisahan Tuhan dari alam, tetapi Zohar
menyatakan bahwa alam sefiroth Tuhan mencakup seluruh
realitas. Bagaimana mungkin dia terpisah dari alam jika dia adalah
semua di dalam semua? Moses ben Jacob Cordovero dari Safed
(1522-1570) melihat paradoks ini dengan jelas dan berupaya
membahasnya. Di dalam teologinya, Tuhan En Sof tidak lagi
merupakan Tuhan Tertinggi yang tidak bisa dipahami, melainkan
merupakan pemikiran tentang dunia: dia menyatu dengan semua
makhluk dalam keadaan Platonis ideal mereka, tetapi terpisah dari
wujud material mereka di dunia yang cacat: "Karena semua yang
ada terkandung di dalam eksistensinya, [Tuhan] meliputi semua
eksistensi," demikian dia menjelaskan, "substansinya hadir di
dalam sefirothnya dan Dia Sendiri adalah segala sesuatu, tak ada
sesuatu pun yang ada di luar dirinya."5 Pandangan ini sangat
dekat dengan monisme lbn Al-Arabi dan Mulla Shadra.
Sisi gelap spirit Barat semakin jelas selama era Renaisans. Para
filosof dan humanis era Renaisans sangat kritis terhadap banyak
aspek keberagamaan Abad Pertengahan. Mereka sangat tidak
menyukai spekulasi musykil kaum skolastik yang, menurut
mereka, telah membuat Tuhan menjadi asing dan membosankan.
Sebagai gantinya, mereka ingin kembali kepada sumber-sumber
keimanan, khususnya kepada St. Agustinus. Orang Abad
Pertengahan menghormati Agustinus sebagai teolog. Akan tetapi,
ketika kaum humanis membaca Confessions, mereka mendapati
Agustinus sebagai seorang manusia biasa yang tengah berada
dalam pencarian pribadi. Menurut mereka, Kristen bukanlah
sekumpulan doktrin tetapi sebuah pengalaman. Lorenzo Valla
(1407-57) menekankan kesia-siaan pencampuran dogma suci
dengan "liku-liku dialektika" dan "perdebatan metafisik:"11 "kesia•
siaan" ini telah dicela oleh St. Paulus sendiri. Francesco Petrarch
(1304-74) mengemukakan bahwa "teologi adalah puisi aktual,
puisi tentang Tuhan," yang menjadi efektif bukan karena "telah
membuktikan" sesuatu melainkan karena langsung menembus
hati.12 Kaum humanis telah menemukan kembali martabat
manusia, tetapi ini tidak membuat mereka mengingkari Tuhan:
alih-alih, sebagai manusia sejati di masanya, mereka menekankan
kemanusiaan Tuhan yang telah menjadi manusia. Namun
demikian, bahaya klasik itu ternyata masih tetap ada. Orang-orang
di zaman Renaisans amat menyadari kerapuhan pengetahuan kita
dan juga menaruh simpati terhadap rasa berdosa Agustinus yang
akut. Seperti yang dikatakan oleh Petrarch: