Anda di halaman 1dari 14

Makalah

ASAS-ASAS AKHLAK

DI
S
U
S
U
N

Oleh:

Asliati (242023001)
Rilyani Harahap (242023005)

DOSEN PENGAMPU : Aidil Saputra, S.Pd.I,MA

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI


STAIN TEUNGKU DIRUNDENG
MEULABOH

2023
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur selalu kami haturkan kehadirat Allah SWT. Karena berkat
limpahan rahmat, taufik, hidayah serta inayah-Nya, kami bisa menyelesaikan tugas
penyusunan Makalah Asas-Asas Akhlak

Kami selaku penyusun makalah mengucapkan terima kasih kepada Bapak Aidil
Saputra, S.Pd.I,MA, yang telah memberikan kepercayaan untuk membuat makalah ini,
orang tua yang senantiasa berdoa untuk kelancaran tugas kami, serta pada teman-
teman yang telah memberikan motivasi dalam pembuatan makalah ini.

Tak ada gading yang tak retak, begitulah adanya makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Dengan segala kerendahan hati, saran dan kritik yang membangun
sangat kami harapkan. Semoga makalah ini bisa memberikan suatu manfaat bagi kami
dan para pembaca serta dapat dijadikan referensi untuk penyusunan makalah di waktu
yang akan datang.

Meulaboh, 08 Oktober 2023


Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................................i
DAFTAR ISI..................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................................1
A. Latar Belakang........................................................................................1
B. Tujuan.....................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN................................................................................................2
A. Hati Nurani..............................................................................................2
B. Tanggung Jawab Moral...........................................................................4
C. Hukuman.................................................................................................5
D. Tuntutan..................................................................................................6
E. Ganjaran..................................................................................................8
BAB III PENUTUP......................................................................................................10
A.Kesimpulan.................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Akhlak mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan. Dalam


kaitan ini pula peranan pendidikan agama Islam di kalangan umat Islam termasuk
kategori manifestasi dari cita-cita hidup Islam dalam melestarikan dan
mentransformasikan nilai-nilai Islam kepada pribadi generasi penerusnya. Moral yang
terbimbing dalam naungan Ilahiyah akan melahirkan etika yang lurus dan terarah.
Untuk itu nilai-nilai Islam yang diformulasikan dalam cultural religious tetap
berfungsi dan berkembang di masyarakat dari masa ke masa. 1 Untuk itu pendidikan
yang mengarah kepada pembinaan akhlak sangat perlu diberikan dalam pengajaran
dan pendidikan baik yang formal, nonformal maupun informal.

Kekuatan batin seseorang bisa mapan bilamana diiringi dengan kekuatan iman
dari nur Ilahi. Dalam kehidupan tidak lepas dengan suka dan duka, maka dengan
adanya batin yang suci akan dihadapinya dengan penuh ketenangan. Orang yang
batinnya diisi dengan spiritual iman yang kokoh akan menimbulkan kedamaian, maka
tercapailah kebahagiaan dan keserasian. Tanpa keseimbangan antara material dan
spiritual mendatangkan kegoncangan jiwa, karena material merupakan unsur jasmani
dan spiritual merupakan unsur batin. Sedangkan keduanya itu tidak terpisahkan bila
ingin tercapai kekuatan dan keseimbangan hidup

B. Tujuan

1. Untuk mengetahui tentang hati nurani


2. Untuk mengetetahui tentang hukuman
3. Untuk mengetahui tentang tanggung jawab dan moral
4. Untuk mengetahui tentang ganjaran

1
Encep Safrudin Muhyi, dalam Dinamika Umat, edisi 52/VI/Maret 2007, h. 16. 2

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hati Nurani

Dalam bahasa Inggris, hati nurani artinya consciece. Kalau kata consciece
diterjemah balik maka artinya menjadi suara hati, kata hati atau hati nurani.
Berdekatan dengan kata conscience, ada kata conscious. Conscious artinya sadar,
berkesadaran, atau kesadaran. Disamping kedua kata ini, ada satu lagi yang
berdekatan maknanya yaitu intuition, intuition artinya gerak hati, lintasan hati, gerak
batin.

Etimologi dari kata Yunani suneidêsis (padanan katanya dalam bahasa Latin
conscientia) memberi kesan bahwa artinya yang biasa ialah pengetahuan pendamping,
atau kecakapan untuk pengetahuan bersama dengan dirinya sendiri. Dengan kata lain,
hati nurani mengandung dalamnya lebih daripada hanya kesadaran atau penginderaan,
karena kata ini mencakup juga penghakiman atas suatu perbuatan yang dilakukan
dengan sadar.

Dalam Alkitab, kita mengenal kata Yunani "συνειδησις - suneidêsis" (padanan


katanya dalam bahasa Latin conscientia, kata dari mana kita kenal kata "conscience"
dalam bahasa Inggris) memberi kesan bahwa artinya yang biasa ialah pengetahuan
pendamping, atau kecakapan untuk pengetahuan bersama dengan dirinya sendiri. Kata
dalam bahasa Indonesia "hati-nurani" menyerap dari kata serapan Arab "nurani"
(terang, ada cahayanya), sehingga kata ini menjadi sangat indah yang bermakna
"cahayanya hati".

Dengan kata lain, hati-nurani mengandung dalamnya lebih daripada hanya


kesadaran atau penginderaan, karena kata ini mencakup juga penghakiman (dalam
Alkitab memang penghakiman moral) atas suatu perbuatan yang dilakukan dengan
sadar.

Menurut bahasa, kata nurani berasal dari kata nuurun dan ainii berarti cahaya
mata saya. Menurut Istilah, yaitu partikel kecil (microchip) hidayah yang diamanatkan
oleh Allah. Dengannya secara fitrah, manusia bisa mengenali dirinya dan Tuhannya.
Mengetahui yang benar dan yang salah. Rasulullah Saw bersabda, “Mintalah fatwa

2
dari hati nurani kita, kebenaran adalah apabila nurani dan jiwamu tenang terhadapnya
sementara dosa apabila hati mu gelisah” (HR.Ahmad).

Ini tentunya terjadi apabila hati nurani berfungsi dengan baik, dalam keadaan
hidup dan sehat. Ketika kita berbohong dengan orang lain misalnya, bisa jadi manusia
tidak pernah tahu tentang kebohongn kita tetapi nurani sehat kita akan melahirkan
perasaan bersalah dan tertekan karena dosa tersebut. Rasulullah Saw mendefiniskan
dosa sebagai "sesuatu yang akan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan
tertekan dalam hati. Di samping itu, pelakunya tidak menyukai orang lain tahu
perbuatan tersebut." Artinya, nurani kita akan menolak saat kita hendak melakukan
perbuatan dosa sekecil apapun.

Nurani dalam diri manusia berfungsi sebagai kotak hitam (black box) untuk
merekam segala cerita dan kejadian hidup. Dimensi waktunya mencakup waktu dulu
dan yang sedang terjadi sekarang. Selain itu nurani berfungsi sebagai ‘radar’ untuk
mendeteksi pengaruh baik dan buruk yang datang dari dalam maupun luar diri
manusia, yang kemudian disesuaikan dengan mengikuti fitrahnya, yaitu menerima
kebenaran dari Allah.

Semua kejadian bisa diingat oleh hati nurani, karena hati nuranilah yang kelak
akan menjadi saksi di hadapan Allah. Firman Allah: “Maka apakah dia tidak
mengetahui apabila dibangkitkan apa yang ada di dalam kubur, dan dilahirkan apa
yang ada di dalam dada” (QS. al-Adiyat: 9 -10). Jadi, hati nurani memiliki nuur (ber-
cahaya), tidak menyilaukan tapi memberi penerangan sebagai petunjuk.

Oleh karena itu, ketika hati nurani dibelenggu hawa nafsu, hati nurani bisa
kehilangan ruh-nya, cahayanya semakin pudar sehingga pada akhirnya tidak dapat
membedakan halal dan haram. Dalam keadaan seperti itu, manusia disebut buta yang
sebenar-benarnya karena mata jika tertutup menjadi gelap tidak tahu halal dan haram.
Orang yang secara lahiriyah tidak dapat melihat tapi mata hatinya bening maka ia
lebih baik dari orang yang buta mata hati. Oleh karena itu buta yang sebenarnya
adalah buta adalah buta mata hati (hati nurani) bukan buta mata kepala.2

2
http://id.acehinstitute.org/index.php?
option=com_content&view=article&id=522:menghidupkan-hati-nurani&catid=14:politik-
hukum-dan-ham&Itemid=131

3
Hati nurani berdasarkan latar belakang kejadian dapat dibedakan ke dalam dua
bentuk, yaitu:

1. Hati nurani retrospektif, yaitu memberikan penilaian terhadap perbuatan-


perbuatan yang telah dilakukan atau yang sudah berlangsung di waktu lampau.
2. Hati nurani prospektif, yaitu melihat dan menilai perbuatan yang hendak
dilakukan pada masa yang akan datang.3

B. Tanggung Jawab Moral

Tanggung jawab moral merupakan perpaduan dari dua frase, yaitu tanggung
jawab dan moral. Kita akan mengawalinya dengan menelusuri arti kata “tanggung
jawab”. Kata “tanggung jawab” merupakan terjemahan dari kata inggris, yakni
responsibility. Dari etimologinya, kata responsibility merupakan paduan dua response
artinya jawaban, dan ability berarti kemampuan. Kalau arti dua kata ini digabungkan,
maka arti sederhana tanggung jawab adalah kemampuan seseorang untuk memberikan
jawaban atas pertanyaan

Secara literal Thomas Lickona mengartikan tanggung jawab dalam tiga hal.
(Lickona, 2012) Pertama, Kemampuan untuk merespon atau menjawab. Ini berarti
tanggung jawab berkaitan dengan potensi seseorang untuk memberikan tanggapan
terhadap situasi sekitar atau mampu memberikan jawaban atas persoalan yang
dihadapinya. Dalam hal ini tanggung jawab dilihat sebagai sesuatu yang melekat
dalam diri seseorang. Kedua, Tanggung jawab berarti sikap saling membutuhkan,
tidak mengabaikan orang lain yang sedang kesulitan, melainkn memberikan
bimbingan. Bagi Lickona, orang yang bertanggungjawab mempunyai kepedulian dan
komitmen pada orang lain. Jadi dalam pengertian ini, tanggung jawab memuat
kewajiban moral yang dilaksanakan dengan sepenuh hati. Ketiga, tanggung jawab
berkaitan dengan nilai prioritas dan mendesak. Ini berarti orang yang bertanggung
jawab mengutamakan hal-hal yang sangat penting dalam situasi aktual. Dari
penelusuran etimologis dan sudut pandang literasi Lickona di atas, kita dapat
didefinisikan bahwa tanggung jawab moral adalah kemampuan seseorang untuk
menunjukkan mutu pribadi dalam menjalankan pekerjaannya. Dan mutu itu terkait

3
Abuddin nata, Akhlak tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), 135

4
dengan hasil pekerjaan dan sikap dalam menjalankannya yang didasari oleh nilai-nilai
etis.

C. Hukuman

Ganjaran dan hukuman adalah alat pendidikan yang keduanya mempunyai


prinsip yang bertentangan. Mengenai pengertian tentang hukuman adalah tindakan
yang dijatuhkan kepada siswa dan secara sadar dan sengaja sehingga
menimbulkan nestapa. Dan dengan adanya nestapa itu siswa akan menjadi sadar
akan perbuatannya dan berjanji didalam hatinya untuk tidak mengulanginya.4
Hukuman adalah penderitaan yang diberikan atau ditmbulkan dengan sengaja
oleh seseorang (orang tua, guru dan sebagainya) sesudah terjadi suatu pelanggaran,
kejahatan atau kesalahan. Hukuman adalah suatu perbuatan, dimana kita secara
sadar dan sengaja menjatuhkan nestapa kepada orang lain, yang baik dari segi
kejasmanian maupun dari segi kerohanian orang lain itu mempunyai kelemahan
bila dibandingkan dari diri kita, dan oleh karena itu kita mempunyai tanggung
jawab untuk membimbingnya dan melindunginya.
Karena itu untuk menegakkan supermasi hukum diperlukan perbaruan hukum,
pengangkatan aparat penegak hukum yang bersih dan percepatan upaya untuk cepat
keluar dari krisis yang berkepanjangan ini. Perubahan hukum misalnya telah
dilakukan dijaman presiden BJ Habibi (mei 1998- oktober 1999), yaitu menganti
peraturan-peraturan perundang-undangan lama yang berbau kkn ( korupsi, kolusi, dan
nepotisme) dengan undang-undang baru yang lebih adil. Itu berarti bahwa hukum
adalah produk kekuasaan, kalau kekuasaan itu korup dan represif maka produk hukum
yang dikeluarkan juga bersifat korup dan represif. Sebaliknya, kalau kekuasaan itu
adil barulah kemungkinan dapat mengeluarkan hukum yang adil pula.
Tasawuf sendiri muncul antara lain didorong oleh rasa tidak puas terhadap
syariat, karena syariat hanya menyentuh aspek lahiria kehidupan agama. Padahal
selain dimensi eksoteris ada dimensi esoteris yang dalam islam disebut tasawuf.
Karena itu seharusnya tidak ada tantangan antara tasawuf dan syariat tetapi saling
melengkapi. Apalagi tasauf dan syariat mempunyai dasar ajaran yang sama yaitu
islam.

4
Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 150

5
D. Tuntutan

Diera modern secara empiris masih banyak orang yang sangat lemah karena
terlalu mementingkan dirinya sendiri yang dengan jelas tidak dibenarkan oleh ajaran
tasawuf dengan dalil “Amaluna amalukum”, amalmu untukmu amalku untukku”,
secara selintas konteks dari dalil tersebut memang benar, namun sebenarnya kurang
tepat berdalil seperti itu yang tempatnya bukan di dunia namun di akhirat, jika saja
dalil itu dipakai oleh semua orang didunia yang terjadi semua orang akan bersikap
apatis dan mementingkan diri sendiri daripada orang lain. Padahal Alquran
mengajarkan untuk tidak bersikap apatis bahkan pintu surga tertutup bagi orang-orang
yang apatis (dayus). Dan Rasul bersabda pula bahwa “Barang siapa di antaramu
melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangannya, maka apabila tidak bisa maka
ubahlah dengan lisannya, maka apabila tidak bisa maka dengan hatinya yang demikian
selemah-lemahnya iman.”(HR. Muslim)
Sikap hidup yang mengutamakan materi yang condong pada hubbudunya
(materialistik), memperturutkan hawa nafsu keduniaan, kelezatan syahwat
(hedonistik), merebaknya keinginan untuk kekuasaan hanya percaya pada rumus
pengetahuan empiris, serta faham hidup (positivistis) yang bertumpu pada
pengetahuan akal fikiran, semua itu tampak lebih menguasai manusia, sehingga
manusia terpedaya dengan ilmu pengetahuan akibatnya terciptalah manusia yang
malas, lalai dalam ibadat, lupa akan Tuhan dan menjadi budak ilmu pengetahuan yang
seharusnya manusia yang menjadi motor penggerak serta pengatur ilmu pengetahuan
dan teknologi kini malah sebaliknya, bahkan menjadikan hawa nafsu sebagai
imamnya.
Sangat mengkhawatirkan jika ilmu pengetahuan dipegang oleh manusia yang
memiliki sifat (akhlak) seperti yang demikian, mereka akan menjadi penyebab
kerusakan di daratan serta dilautan karena mereka mempunyai prinsip azas manfaat
tanpa memperhitungkan kerusakan dan kekecauan sesudahnya.
Beberapa efek dari kesemrawutan terhadap tidak memahami dan menginternalisasikan
ajaran tasawuf pada era modern di antaranya adalah:
a. Desintegrasi ilmu pengetahuan.
b. Kemerosotan pertumbuhan ekonomi Islam
c. Kepribadian yang terpecah.
d. Melupakan Tuhan.

6
e. Kehausan hati dan terbelenggu pada kesesatan, jika manusia sudah tersentuh
oleh nikmatnya dunia secara berlebihan (hubbuddunya) dan tidak mengisi
hatinya dengan dzikrullah, ibadah dan thalab ilmu sedang ia terus melakukan
dosa, dengan tidak sadar mereka telah membiarkan hati mereka kelaparan.
Jika terus demikian hatinya akan sakit kemudian mati dan terbelenggu pada
kesesatan.
f. Kegelisahan hati, akibat dari kesibukan dalam mencari kehidupan yang
menjunjung tinggi materi serta bergelamor harta, jabatan dan kekuasaan.
Dari beberapa permasalahan di atas alangkah bijaknya sebagai sebuah solusi
bagi kita sebagai insan cita yang selalu berinovasi dalam segala bidang bahwa ajaran
tasawuf sampai detik ini sangat berperan penting bagi perjalanan kehidupan dimana
tasawuf merupakan bagian dari kehidupan masyarakat sebagai sebuah pergerakan,
keyakinan agama, organisasi, jaringan bahkan penyembuh atau terapi termasuk dalam
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi saat ini.
Ajaran tasawuf bagi manusia sekarang ini, sebaiknya lebih ditekankan kepada
akhlak, yaitu ajaran-ajaran moral yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-
hari guna memperoleh kebahagiaan yang optimal.
Ajaran tasawuf juga sangat menitikberatkan totalitas, sehingga ajaran tasawuf
adalah pemahaman tentang totalitas kosmis, bumi, langit dan seluruh isi dan
potensinya baik yang kasat mata maupun tidak, baik rohaniah maupun jasmaniah,
pada dasarnya adalah bagian dari sebuah sistem kosmis tunggal yang saling berkaitan,
berpengaruh dan berhubungan. Sehingga manusia mempunyai keyakinan bahwa
penyakit ataupun gangguan apapun yang menjangkit tubuh kita harus dilihat sebagai
murni gejala badaniah atau kejiwaan.

Contoh Tuntutan

Berpakaian:

Pakaian sebagai kebutuhan dasar bagi setiap orang dalam berbagai zaman dan
keadaan. Islam sebagai ajaran yang sempurna, telah mengajarkan kepada pemeluknya
tentang bagaimana tata cara berpakaian. Berpakaian menurut Islam tidak hanya
sebagai kebutuhan dasar yang harus dipenuhi setiap orang, tetapi berpakaian sebagai
ibadah untuk mendapatkan ridha Allah.

7
Oleh karena itu setiap orang muslim wajib/dituntut berpakaian sesuai dengan
ketentuan yang ditetap Allah. Agama Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar
berpakaian yang baik, indah dan bagus, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dalam pengertian bahwa pakaian tersebut dapat memenuhi hajat tujuan berpakaian,
yaitu menutupi aurat dan keindahan. Sehingga bila hendak menjalankan shalat dan
seyogyanya pakaian yang kita pakai itu adalah pakaian yang baik dan bersih (bukan
berarti mewah).

Hal ini sesuai fiman Allah dalam Surat al-A’raf/7 : 31.

Artinya : “Hak anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap


(memasuki) masjid makan, minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang yang berlebih-lebihan( Q.S Al-A’raf/7 : 31). Islam
mengajak manusia untuk hidup secaa wajar, berpakaian secara wajar, makan minum
juga jangan kurang dan jangan berlebihan.

E. Ganjaran

Ganjaran menurut bahasa, berasal dari bahasa inggris reward yang berarti
penghargaan atau hadiah.5 Sedangkan menurut istilah, ada beberapa pendapat yang
mengemukakan tentang ganjaran, yang akan dikemukakan dibawah ini, diantaranya
adalah sebagai berikut; Menurut M. sastra Pradja dalam ‘Kamus Inggris Indonesia’:
“Ganjaran adalah hadiah, pembalas jasa, alat pendidikan yang diberikan kepada siswa
yang telah mencapai prestasi baik”.
Jadi, maksud dari ganjaran itu yang terpenting bukanlah hasilnya yang dicapai
oleh seorang anak, tetapi dengan hasil yang telah dicapai anak itu pendidik bertujuan
membentuk kata hati dan kemauan yang lebih baik dan lebih keras
Manusia sebagai makhluk cipataan Allah juga mempunyai kewajiban/tuntutan
terhadapNya, kewajiban manusia hanyalah beribadah kepada Allah. Prinsip dasar
beribadah inilah menjadi kewajiban/tuntutan bagi manusia sebagai makhluk Allah,
penyembahan yang dilakukan oleh manusia, bukan semata-mata untuk kepentingan
Allah, namun sebaliknya justru untuk keselamatan dirinya sendiri. Bagi Allah tidak
ada masalah apabila manusia tidak mau melaksanakan kewajiban terhadapnya
konsekuensinya sebenarnya terletak pada manusia sebagai mahluk Allah,

5
John M. Echols dan Hasan Shadily, 1996, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta; Gramedia, hal. 485

8
sebagaimanapun alasannya, tetap apabila manusia ingin mencari keselamatan, harus
mau melaksanakan kewajiban/tuntutan tersebut.
Ganjaran dalam kamus besar bahasa indonesia disebutkan bahwa ganjaran
adalah hadiah (sebagai pembalas jasa). Dari definisi ini dapat dipahami bahwa
ganjaran dalam bahasa indonesia bisa dipakai untuk balasan yang baik dan balasan
yang buruk. Sementara itu dalam bahasa arab, ganjaran diistilahkan dengan tsawab.
Kata tsawab bisa juga berarti pahala upah dan balasan. Kata tsawab banyak ditemukan
dalam al-Quran , khususnya ketika kitab suci ini membicarakan tentang apa yang akan
diterima oleh seseorang, baik di dunia maupun di akhirat dari amal perbuatannya.
Dalam pembahasannya yang lebih luas, pengertian istilah ganjaran dapat dilihat
sebagai berikut:
1. Ganjaran adalah alat pendidikan preventif dan represif yang menyenangkan dan
bisa menjadi pendorong atau motivator belajar bagi murid.
2. Ganjaran adalah hadiah terhadap perilaku baik dari anak didik dalam proses
pendidikan. Muhammad bin Jamil Zaim menyatakan bahwa ganjaran merupakan
asal dan selamanya harus didahulukan, karena terkadang ganjaran tersebut lebih
baik pengaruhnya dalam usaha perbaikan daripada celaan atau sesuatu yang
menyakitkan hati.
Sedikit berbeda dengan metode targhib, tsawab lebih bersifat materi, sementara
targhib adalah harapan serta janji yang menyenangkan yang diberikan terhadap anak
didik dan merupakan kenikmatan karena mendapat penghargaan.

Contoh Ganjaran

Berbuat baik kepada ibu dan Ayah

Seorang anak berkewajiban menghormati orang tuanya, berkata halus pada


orang tuanya, berbuat baik kepada ayah dan ibu yang sudah meninggal yaitu dengan
cara mendoakan ayah dan ibu yang telah tiada dan meminta ampunan dari Allah swt
atas segala dosa yang telah dilakukan oleh ibu dan ayah semasa hidup di dunia.
Perbuatan seperti itu merupakan perbuatan yang terpuji yang nantinya akan mendapat
Ganjaran/ imbalan dari Allah swt yaitu Berupa pahala dan syurga kelak di akherat.

BAB III

9
PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam kehidupan modern yang serba kompleks ini, dimana ilmu pengetahuan
dan teknologi begitu canggih dan mengelaborasi ke hampir seluruh kawasan dunia.
Pada saat mana manusia harus berkelit dengan problem kehidupan yang serba
materialistis. Hubungan antara manusia pada zaman modern juga cenderung
“impersonal”, tidak akrab lagi antara satu dengan yang lain. Masyarakat tradisional
yang guyub dikikis oleh gelombang masyarakat modern yang tembayan. Fenomena ini
membuat manusia semakin kehilangan jati dirinya. Kondisi demikian juga
mengharuskan manusia untuk benar-benar mampu bertahan dan mengendalikan
dirinya, untuk kemudian tetap tegar dalam kepribadian. Dalam hidup ini, yang
dibutuhkan oleh manusia tak ada lain adalah ketenangan, ketentraman jiwa atau
kebahagiaan batin. Dan itu semua tidak banyak tergantung kepada faktor-faktor luar,
seperti ekonomi, status sosial dan seterusnya, melainkan lebih tergantung kepada
sikap hidup dan kedekatan kita kepada Allah SWT. Oleh sebab itu, mendekatkan diri
dan meminta pertolongan kepada Allah (isti’anah dan istighatsah), tetap relevan dan
satu keharusan agar memperoleh hidup sehat dan layak: jiwa yang seimbang, pribadi
yang luhur dan hati yang tenang. Di sinilah makna sufisme itu: mengedapankan nilai
ajaran agama, spiritualitas dan aspek esoteris yang menjadi benteng kepribadian,
supaya terhindar dari hiruk pikuk materialisme dan hedonisme, terutama dalam
kehidupan global yang penuh tantangan ini.

DAFTAR PUSTAKA

10
Zaim, Muhammad bin Jamil, Petunjuk praktis Bagi Pendidik Muslim, Jakarta: Pustaka
Istiqamah, 1997.

John M. Echols dan Hasan Shadily, 1996, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta; Gramedia

Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991

11

Anda mungkin juga menyukai