Anda di halaman 1dari 13

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Anak ialah insan yang berusia 0 sampai dengan 18 tahun dimana ia
merupakan individu yang unik, tidak dianggap lagi sebagai bentuk kecil dari
orang dewasa dan telah memiliki kebutuhan spesifikk yang berbeda dengan
orang dewasa. Anak bukanlah harta orang tua yang dinilai dari sudut pandang
sosial dan ekonomi, tetapi anak merupakan harapan masa depan bangsa yang
berhak mendapatkan pelayanan kesehatan yang komprehensif (Kamil et al.,
2020).
Menurut WHO dalam Soediono (2014) batasan usia untuk dikatakan
sebagai anak ialah sejak berada di dalam kandungan sampai anak tersebut
berumur 19 tahun sedangkan menurut Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 23 Tahun 2002 Pasal 1 Ayat 1 tentang perlindungan anak, anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun termasuk saat masih ada di dalam
kandungan. Pertumbuhan dan perkembangan yang optimal dapat diraih oleh
seorang anak apabila anak memiliki kondisi fisik, mental serta sosial yang sehat.
Gangguan yang terjadi pada komponen tersebut akan menyebabkan
pertumbuhan dan perkembangan yang tidak optimal (Kamil et al., 2020)
Gangguan yang dapat dialami oleh anak berupa penyakit kronis salah
satunya adalah thalasemia. Thalasemia merupakan penyakit kelainan darah yang
disebabkan oleh gangguan produksi hemoglobin, sehingga jumlah hemoglobin
berkurang (Irawati, 2021)
Thalasemia adalah penyakit anemia hemolitik, yang menyebabkan
terjadinya kerusakan sel darah merah dalam pembuluh darah sehingga umur
eritrosit menjadi pendek atau kurang dari 120 hari. Eritrosit yang rusak
menyebabkan penurunan suplai O2 dan nutrisi ke jaringan sehingga berisiko
mengalami gangguan pertumbuhan. Gangguan pertumbuhan pada pasien
thalasemia disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain faktor hormonal akibat

1
hemokromatosis pada kelenjar endokrin dan hipoksia jaringan pada anemia
Menurut catatan WHO (2012), kurang lebih 7% dari penduduk dunia
mempunyai gen thalasemia dimana angka kejadian tertinggi sampai dengan 40%
kasusnya adalah di Asia termasuk Indonesia. Penderita penyakit thalasemia di
Indonesia tergolong tinggi dan Indonesia termasuk dalam negara yang berisiko
tinggi, setiap tahunnya 3.000 bayi yang lahir berpotensi terkena thalasemia
(Bulan, 2009). Berdasarkan data dari Yayasan Thalassemia Indonesia, jumlah
kasus penyakit thalassemia sebanyak 8.011 pada Mei 2017 meningkat dari tahun
2015 yang berjumlah 7.029 kasus. Jumlah tersebut juga meningkat drastis bila
dibandingkan pada 2011 yang hanya 4.431 kasus (Tren et al., 2018).
1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan thalasemia?


2. Apa saja etiologi thalasemia?
3. Apa saja klasifikasi thalasemia?
4. Bagaimana patofisiologi thalasemia?
5. Bagaimana gambar Pathway thalasemia ?
6. Apa saja manifestasi klinis thalasemia?
7. Bagaimana pameriksaan thalasemia?
8. Bagaimana penatalaksanaannya thalasemia ?
9. Apa saja komplikasi dari thalassemia?
10.Bagaimana pencegahan thalassemia?
1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui definisi thalasemia.


2. Untuk mengetahui etiologi thalasemia.
3. Untuk mengetahui klasifikasi thalassemia.
4. Untuk mengetahui patofisiologi thalassemia.
5. Untuk mengetahui gambar Pathway thalassemia.
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis thalassemia.
7. Untuk mengetahui pameriksaan penunjang.

2
8. Untuk mengetahui penatalaksanaannya thalassemia.
9. Untuk Mengetahui Komplikasinya
10.Untuk mengetahui pencegahan thalassemia.

3
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Talasemia


Thalasemia yaitu suatu sindrom kelainan darah yang diwariskan
(inherited) dan merupakan kelompok penyakit hemoglobinopati, yaitu kelainan
yang disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau
dekat gen globin. Kelainan hemoglobin pada penderita thalasemia akan
menyebabkan eritrosit mudah mengalami destruksi, sehingga usia sel-sel darah
merah menjadi lebih pendek dari normal yaitu berusia 120 hari (Tren et al.,
2018).
Thalassemia adalah penyakit kelainan darah yang ditandai dengan
kondisi sel darah merah mudah rusak atau umumnya lebih pendek dari sel darah
normal (120 hari). Akibatnya penderita thalassemia akan mengalami gejala
anemia diantaranya pusing, muka pucat, badan sering lemas, sukar tidur, nafsu
makan hilang dan infeksi berulang (Kamil et al., 2020)
2.2 Etiologi Talasemia
Satu-satunya penyebab thalasemia adalah gen cacat yang diturunkan oleh
orang tua. Disini yang perlu digaris bawahi adalah penyakit Thalasemia
bukanlah penyakit menular, tetapi penyakit keturunan. Cara diagnosis
thalasemia yang efektif biasanya berdasarkan kepada pola herediter dan
pemeriksaan hemoglobin khusus (Marnis et al., 2018)
Thalasemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk
protein yang dibutuhkan untuk memproduksi Hemoglobin (Hb) secara
sempurna. Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam
sel darah merah (eritrosit) dan berfungsi sangat penting untuk mengangkut
oksigen dari paru-paru keseluruh bagian tubuh yang membutuhkannya. Apabila
hemoglobin berkurang atau tidak ada, maka pasokan energy yang dibutuhkan
untuk menjalankan fungsi tubuh pun terganggu dan akibatnya individu

4
bersangkutan mengalami gangguan pertumbuhan, pucat, dan lemas (Marnis et
al., 2018).

2.3 Klasifikasi Talasemia

Menurut (Marnis et al., 2018) terdapat dua jenis utama dari thalassemia :
1. Thalassemia alpha, terjadi ketika gen atau gen yang terkait dengan
protein globin alfa yang hilang atau berubah (bermutasi). Alpha
thalassemia paling sering terjadi pada orang-orang dari Asia Tenggara,
Timur Tengah, Cina, dan orang keturunan Afrika.
2. Thalassemia beta, terjadi ketika cacat gen yang sama mempengaruhi
produksi protein globin beta. Beta thalassemia terjadi pada orang-
orang asal Mediterania, dan pada tingkat lebih rendah, Cina, Asia
lainnya, dan Afrika-Amerika. Ada banyak bentuk thalassemia. Setiap
jenis memiliki subtipe yang berbeda. Baik alpha dan beta thalassemia
meliputi dua bentuk berikut:
1) Thalassemia mayor dapat terjadi ketika individu mewarisi gen
cacat dari kedua orang tuanya. Orang dengan bentuk gangguan
tesebut biasanya tidak memiliki gejala. Beta thalassemia juga
disebut sebagai anemia cooley
2) Thalassemia minor bisa juga disebut sebagai pembawa sifat, traits,
pembawa mutan, atau karier thalasemia. Karier thalasemia tidak
menunjukan gejala klinis semasa hidupnya. Hal ini bisa dipahami
karena abnormalitas gen yang terjadi hanya melibatkan salah satu
dari dua kromosom yang ada dikandungannya, bisa dari ayah atau
dari ibu.
3) Thalasemia Intermedia Sama seperti halnya dengan thalasemia
mayor, individu dengan thalasemia intermedia terjadi akibat
kelainan pada 2 kromosom yang menurun dari ayah dan ibunya.
Perbedaan ada pada jenis gen mutan yang menurun. Individu

5
thalasemia mayor menurun 2 gen mutan bertipe mutan berat,
sedangkan pada thalasemia intermedia 2 gen tersebut merupakan
kombinasi mutan berat dan ringan (Marnis et al., 2018).
2.4 Patofisiologi
Kelebihan pada rantai alpha ditemukan pada beta thalasemia dan
kelebihan rantai beta dan gama ditemukan pada alpha thalasemia. Kelebihan
rantai polipeptida ini mengalami presippitasi dalam sel eritrosit. Globin intra
eritrosik yang mengalami presipitasi, yang terjadi sebagai rantai polipeptida alpa
dan beta, atau terdiri dari hemoglobin tak stabilbadan Heinz, merusak sampul
eritrosit dan menyebabkan hemolisis. Reduksi dalam hemoglobin menstimulasi
bone marrow memproduksi RBC yang lebih. Dalam stimulasi yang konstan
pada bone marrow, produksi RBC secara terus-menerus pada suatu dasar kronik,
dan dengan cepatnya destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya sirkulasi
hemoglobin (Kamil et al., 2020).
Kelebihan produksi dan destruksi RBC, menimbulkan tidak adekuatnya
sirkulasi hemoglobin. Kelebihan produksi dan destruksi RBC menyebabkan
bone marrow menjadi tipis dan mudah pecah atau rapuh. Penyebab anemia pada
talasemia bersifat primer dan sekunder. Penyebab primer adalah berkurangnya
sintesis Hb A dan eritropoesis yang tidak efektif disertai penghancuran sel-sel
eritrosit intrameduler. Penyebab sekunder adalah karena defisiensi asam folat,
bertambahnya volume plasma intravaskuler yang mengakibatkan hemodilusi,
dan destruksi eritrosit oleh system retikuloendotelial dalam limfa dan hati.
Penelitian biomolekular menunjukkan adanya mutasi DNA pada gen sehingga
produksi rantai alfa atau beta dari hemoglobin berkurang. Tejadinya
hemosiderosis merupakan hasil kombinasi antara transfusi berulang,
peningkatan absorpsi besi dalam usus karena eritropoesis yang tidak efektif,
anemia kronis serta proses hemolysis (Kamil et al., 2020).

6
2.5 Pathway

7
2.6 Manifestasi Klinis
Seperti yang dijelaskan sebelumnya, bahwa thalassemia merupakan
penyakit kelainan darah turunan. Penyakit ini ditandai oleh sel darah merah yang
abnormal, atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Berikut adalah berbagai
gejala yang ditimbulkan oleh thalassemia (Tren et al., 2018).
1. Kelainan tulang
Penyandang thalassemia akan mengalami kelainan tulang. Hal ini
disebabkan oleh pelebaran sumsum tulang yang berakibat tulang-tulang
turut membesar, atau tidak pada ukuran semestinya. Sehingga, struktur
tulang menjadi tidak normal. Hal ini ditandai dengan osteoporosis
(pengeroposan tulang), sehingga tulangpun menjadi rapuh dan mudah patah.
Akan tetapi, gejala yang paling tampak adalah pada bagian wajah dan
kepala (Irawati, 2021).
2. Pembesaran limpa
Penyakit thalassemia sering dibarengi dengan kerusakan sel darah. Sel
darah yang rusak dapat menyebabkan infeksi. Oleh karena itu, dalam tubuh
terdapat limpa yang berfungsi untuk menangkal infeksi dan materi sisa yang
tidak dibutuhkan dalam tubuh. Sayangnya, tubuh pada penyandang
thalassemia tidak mampu mengurai sel-sel darah yang rusak tersebut, karena
limpa pada tubuh mereka mengalami pembesaran (Irawati, 2021).
3. Penyakit jantung
Penyandang thalassemia juga kemungkinan akan terserang penyakit
jantung, terutama jika keadaan penyakitnya semakin parah. Hal ini
disebabkan karena transfusi darah yang berulang-ulang dan proses hemolisis
menyebabkan kadar zat besi dalam darah sangat tinggi, sehingga ditimbun
didalam berbagai jaringan tubuh seperti jantung (Irawati, 2021).
4. Mudah terkena infeksi Seperti yang telah disebutkan sebelumnya,
penyandang thalassemia memiliki risiko tinggi akan serangan infeksi (Tren
et al., 2018).

8
5. Kelebihan zat besi Zat besi juga dibutuhkan untuk pembuatan sel darah
merah. Akan tetapi, jika jumlahnya berlebihan akan menyebabkan
kerusakan liver, jantung, dan sistem endokrin, yaitu kelenjar yang
memproduksi hormon serta melepaskannya di dalam tubuh. Kelebihan zat
besi ini menjadi salah satu masalah utama penyandang thalassemia. Selain
dari dalam tubuh itu sendiri, kelebihan zat besi juga dipicu oleh keseringan
melakukan transfusi darah (Kamil et al., 2020).
6. Pertumbuhan tubuh berkurang Penyandang thalassemia akan mengalami
anemia akut. Akibatnya, akan mengalami perlambatan pertumbuhan. Bisa
jadi hal ini akan memicu penundaan masa pubertas (Hikmah, 2015).
2.7 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang untuk penyakit thalassemia, yaitu:
1. Darah tepi:Hb, gambaran morfologi eritrosit, Retikulosit meningkat.
2. Pemeriksaan khusus: Hb F meningkat: 20% - 90% Hb total, Elektroforesi Hb:
Hemoglobinopati lain dan mengukur kadar Hb, Pemeriksaan pedigree: Kedua
orang tua pasien thalassemia mayor merupakan trait (Carrier) dengan Hb A2
meningkat (> 3,5% dari Hb total).
3. Pemeriksaan lain: Foto Ro tulang kepala, korteks menipis, diploe melebar
dengan trabekula tegak lurus pada korteks. 2) Foto tulang pipih dan ujung
tulang panjang: Perluasan sumsum tulang sehingga trabekula tampak jelas
(Marnis et al., 2018).
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Teraupetik Penatalaksanaan medis Menurut
Susilaningrum,(2015) adalah sebagai berikut: Transfusi darah diberikan bila
kadar Hb rendah,Splenektomi dilakukan pada anak berumur lebih dari dua tahun
dan bila limpa terlalu besar, sehingga resiko terjadinya trauma yang berakibat
perdarahan cukup besar, Pemberian roborantia. Hindari preparat yang
mengandung zat besi, Pemberian desferioxamin Fe. Untuk mengurangi absorbsi
Fe melalui usus.

9
Penatalaksanaan Keperawatan Pada dasarnya keperawatan thalassemia
sama dengan pasien anemia lainnya, yaitu memerlukan perawatan tersendiri dan
perhatian lebih. Masalah pasien yang perlu diperhatikan adalah kebutuhan
nutrisi (Pasien menderita anorexia), resik terjadi komplikasi akibat transfuse
yang berulang-ulang, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan
orang tua mengenai penyakit dan cemas orang tua mengenai penyakit dan cemas
orang tua terhadap kondisi anak. Tindakan keperawatan yang dapat dilakukan
terhadap pasien dengan thalassemia diantaranya membuat perfusi jaringan
pasien menjadi adekat kembali, mendukung anak tetap toleran terhadap
aktivitasnya, memenuhi kebutuhan nutrisi yang adekuat dan membuat keluarga
dapat mengatasi masalah atau stress yang terjadi pada keluarga. Selain tindakan
keperawatan yang di atas, perawat juga perlu menyiapkan klien untuk
perencanaan pulang, seperti memberikan informasi tentang kebutuhan
melakukan aktivitas sesuai dengan tingkat perkembangan dan kondisi fisik anak,
jelaskan terapi yang diberikan mengenai dosis dan efek samping, jelaskan
perawatan yang diperlukan di rumah, tekankan untuk melakukan control ulang
sesuai waktu yang ditentukan (Irawati, 2021).
2.9 Komplikasi
Menurut Abdul (2014) akibat dari anemia yang berat dan lama sering
gagal jantung pada pasien thalasemia. Transfusi darah yang berulang dan proses
hemolysis menyebabkan kadar zat besi dalam darah sangat tinggi sehingga
ditimbul didalam berbagai jaringan tubuh seperti hepar, limpa, kulit, jatung dan
lain-lain. Hal ini dapat mengakibatkan gangguan fungsi alat tersebut
(hemokromatosis). Limpa yang besar mudah rupture akibat trauma yang ringan
saja. Kadang-kadang thalassemia disertai tanda hipersplenisme seperti
leukopenia dan trombositopenia, Kematian terutama disebabkan oleh infeksi dan
gagal jantung (Kamil et al., 2020).
2.10 Pencegahan Talasemia
Penyakit thalasemia yang ditimbulkan oleh kelainan genetik merupakan
masalah kesehatan yang penting karena akan terbawa seumur hidup dan dapat

10
diturunkan ke generasi berikutnya. Oleh karena itu kesehatan anak perlu
dipikirkan sejak masa dalam kandungan, sehingga akan menghasilkan generasi
yang sehat dan cerdas serta tidak mengalami kondisi kronis yang membutuhkan
perawatan dan pengobatan yang lama serta memakan biaya yang besar (Marnis
et al., 2018).
Perawatan thalasemia yang ideal memerlukan biaya yang sangat tinggi,
menyadari bahwa penyakit ini belum dapat disembuhkan dan perawatannya
cukup mahal maka banyak negara yang mempunyai frekuensi gen thalasemia
tinggi melaksanakan program pencegahan thalasemia melalui skrining pembawa
sifat dan diagnosis prenatal. Diagnosis prenatal diantaranya dengan pengambilan
sampel darah fetal dan mengkaji sintesis rental globin dalam darah fetal
termasuk di dalamnya analisis DNA fetal yang di dapatkan dengan pengambilan
sampel villus chorionic (Irawati, 2021).

11
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Thalasemia yaitu suatu sindrom kelainan darah yang diwariskan
(inherited) dan merupakan kelompok penyakit hemoglobinopati, yaitu kelainan
yang disebabkan oleh gangguan sintesis hemoglobin akibat mutasi di dalam atau
dekat gen globin. Kelainan hemoglobin pada penderita thalasemia akan
menyebabkan eritrosit mudah mengalami destruksi, sehingga usia sel-sel darah
merah menjadi lebih pendek dari normal yaitu berusia 120 hari (Tren et al.,
2018).
Satu-satunya penyebab thalasemia adalah gen cacat yang diturunkan oleh
orang tua. Disini yang perlu digaris bawahi adalah penyakit Thalasemia
bukanlah penyakit menular, tetapi penyakit keturunan. Cara diagnosis
thalasemia yang efektif biasanya berdasarkan kepada pola herediter dan
pemeriksaan hemoglobin khusus (Marnis et al., 2018)
Thalasemia terjadi akibat ketidakmampuan sumsum tulang membentuk
protein yang dibutuhkan untuk memproduksi Hemoglobin (Hb) secara
sempurna. Hemoglobin merupakan protein kaya zat besi yang berada di dalam
sel darah merah (eritrosit) dan berfungsi sangat penting untuk mengangkut
oksigen dari paru-paru keseluruh bagian tubuh yang membutuhkannya. Apabila
hemoglobin berkurang atau tidak ada, maka pasokan energy yang dibutuhkan
untuk menjalankan fungsi tubuh pun terganggu dan akibatnya individu
bersangkutan mengalami gangguan pertumbuhan, pucat, dan lemas (Marnis et
al., 2018).
3.2 Saran
Diharapkan makalah ini dapat menambah pengetahuan mahasiswa dalam
memberikan pelayanan keperawatan dan dapat menerapkannya dalam kehidupan
sehari-hari.

12
DAFTAR PUSTAKA

Hikmah, E. (2015). Analisis Faktor Yang Berpengaruh Taerhadap Ketepatan Transfusi


Pada Anak Dengan Thalasemia Β Mayor Di Rsu Tangerang. Jurnal Medikes
(Media Informasi Kesehatan), 2(1), 13–22.
https://doi.org/10.36743/medikes.v2i1.137

Irawati, N. (2021). Asuhan Keperawatan Pada An. A Dengan Diagnosa Medis


Thalasemia Di Ruang D2 Rumkital Dr. Ramelan Surabaya. Keperawatan, 17.

Kamil, J., Gunantara, T., & Suryani, Y. D. (2020). Analisis Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Kualitas Hidup Penderita Talasemia Anak di RSUD Al-Ihsan
Kabupaten Bandung Tahun 2019. Jurnal Integrasi Kesehatan & Sains, 2(2), 140–
144. https://doi.org/10.29313/jiks.v2i2.5848

Marnis, D., Indriati, G., & Nauli, F. A. (2018). Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan
Kualitas Hidup Anak Thalasemia. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 5(2), 31–42.

Tren, K. ", Paliatif, P., Praktik, P., Mandiri, K., Ray, R. L., Rahmawati, F., Andhini, D.,
Studi, P., Keperawatan, I., Kedokteran, F., & Sriwijaya, U. (2018). Seminar
Nasional HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN SIKAP ORANG TUA DENGAN
KUALITAS HIDUP ANAK PENDERITA TALASEMIA THE RELATION
BETWEEN KNOWLEDGE AND ATTITUDE OF PARENTS ABOUT
THALASSEMIA TOWARDS THE QULITY OF LIFE OF CHILDREN WITH
THALASSEMIA.

13

Anda mungkin juga menyukai