Anda di halaman 1dari 11

Tuhan, izinkan aku mengakhiri hidup

Satya putra
Di pinggir jalan kota berdebu di daerah
parahyangan (tempat tinggal para “hyang” atau
dewa) terpampang, Sebuah tempat sederhana
bernama Angkringan. Di sana aroma arang yang
dibakar sangat memikat.

Berkumpul di warung kecil nan meriah, Diiringi


suara riuh, tertawa dan ceria. Dalam riak
malam, hangat menyapa, Sepiring nasi bakar
dengan kondimen-kondimen yang lengkap
menggoda selera. Apalagi bagi si pengangguran,
yang di traktir makan oleh si pemuda.

Pemuda: Kau terlambat 15 menit.

Pengangguran: Benarkah? Kalau begitu maafkanlah aku.


Aku tahu kau pasti kesal dan frustasi, tapi setidaknya aku
memberikan kejutan, ketika aku akhirnya muncul, kau pasti
terkesima.

Pemuda: Ha?

Pengangguran: Tidak, tidak. Aku malas mengoceh soal


itu. Langsung saja, apa yang ingin kau tanyakan kali ini?
Sampai-sampai rela mentraktirku makan.
Pemuda: Ini sesuatu yang penting, pernahkah kau
berpikiran untuk mengakhiri hidup?

Pengangguran: Tentu. Itu terjadi dan mungkin akan


terjadi lagi ketika hidupku tidak bermanfaat untuk siapa
pun bahkan untuk diriku sendiri atau bahkan ketika aku
menemukan jawaban-jawaban esensial tentang hidup yang
mengarah kepada absurditas, maka saat itulah aku akan
sempat berpikiran untuk mengakhiri hidup.

(Esensial & Absurditas akan dibahas di lain judul),


saat ini si pemuda dibuat seolah-olah mengerti
dengan apa yang dikatakan pengangguran
sebelumnya.

Pengangguran: Kau sedang berpikiran untuk mengakhiri


hidup?

Pemuda: Tidak. Aku hanya ingin menjelajah tentang


tindakan bunuh diri. Karena jujur saja, setelah membaca
berita tentang seorang gadis yang membuat konten “prank”
bunuh diri tapi absurdnya ia malah tergelincir dan
meninggal. Bagaimana menurutmu? Apakah itu sebuah
kecelakaan, takdir, atau membunuh diri sendiri?

Pengangguran: Ohhh, kau menanyakan tindakan bunuh


diri secara filosofis.
Pemuda: Benar. Aku bukan ingin bertanya pertanyaan-
pertanyaan esensial tentang hidup yang mengarah kepada
keinginan untuk mengakhiri hidup. Tapi apa yang aku
tanyakan adalah kebenaran dari tindakannya.

Pengangguran: Menurutmu, apa sih bunuh diri itu?

Pemuda: Baiklah, akan kumulai dari pengertian. Bunuh


diri menurutku adalah suatu tindakan mendekatkan diri
kepada kematian yang didasari oleh niat.

Pengangguran: Jadi kasus tadi bukanlah sebuah tindakan


bunuh diri?

Pemuda: Benar, itulah mengapa aku menyelipkan kata


“nahasnya" saat menceritakan kronologinya.

Pengangguran: Lalu apa pendapatmu mengenai Marilyn


Monroe, Prattusha Banerjee, Kurt Cobain, Robin Williams
yang mati akibat bunuh diri?

Pemuda: Karena ia tidak beriman.

Pengangguran: Hm menarik. Jadi, bagimu bunuh diri


adalah suatu tindakan yang kotor dan negatif ya.

Pengangguran: Lalu bagaimana dengan tindakan


Boromir dalam “Lord of The Rings” atau Tony Stark
“Avengers Endgame”? atau bagaimana dengan tindakan
Euthanasia? atau mengakhiri hidup dari kamp Gulag atau
kamp Konsentrasi Nazi?

Pemuda: Muhammad Said Ramadhan al-Buthi. Ia


menjelaskan bahwa kehidupan manusia itu berada di
antara memilih dan dipilihkan.

Pengangguran: Ah, aku tahu dia. Seorang pemikir Islam


yang terkenal dan dibunuh di Suriah. Tapi bisakah kau
menjelaskannya?

Pemuda: tentu, kau terlahir sebagai manusia apakah


karena dipilihkan atau memilih? Lalu kau menjadi seorang
pengangguran apakah karena dipilihkan atau memilih?

Pengangguran: Ha-ha.

Pemuda: Tentu jika sekarang pertanyaannya adalah


bunuh diri, maka jawabannya sudah konkret bahwa itu
sebuah pilihan. Maka secara moral itu sudah salah karena
menyalahgunakan kekuasaan yang sudah Tuhan berikan.
Sedangkan setiap pilihan pasti memiliki konsekuensinya,
dan kau pun tahu apa konsekuensinya.

Pengangguran: Baiklah, argumen yang sangat kuat.

Pemuda: Lalu bagaimana pendapatmu?

Pengangguran: Hmm. Oke, sebenarnya aku setuju


denganmu dengan sedikit perbedaan. Tapi, untuk membuat
perbincangan tetap berjalan sambil menunggu pesanan
tiba. Aku akan memosisikan diriku sebagai orang yang
sekuler.

Pemuda: Kau akan mengujiku lagi!

Pengangguran: Tidak, tentu bertanya adalah suatu


keharusan, meskipun sudah konkret bahwa Tuhan itu ada.

Pemuda: Apa yang kau maksud?

Pengangguran: Kita sudah konkret bahwa tidak akan ada


manusia yang mencapai Tuhan. Hanya Muhammad yang paling
mendekati, itu pun melalui spiritualitas yang sangat tinggi.
Tuhan terlalu sempurna untuk dipikirkan, jika kita tetap akan
mencarinya, kita akan berada pada jalan di mana alasan yang
saling bertentangan bertemu.

Pemuda: Setuju!

Pengangguran: Selanjutnya kau pasti tidak akan setuju.

Pemuda: Apa yang akan kau bicarakan?

Pengangguran: Aku akan mencoba memikirkan Tuhan.

Pemuda: Kau bercanda.


Pengangguran: Sebagai alat untuk menyalakan mesin
berpikir, aku akan menanyakan satu hal.

Pemuda: Apa itu?

Pengangguran: Kau bilang sebelumnya, bahwa orang yang


bunuh diri itu karena tidak mempunyai iman. Lantas
bagaimana dengan orang yang mengaku beriman, tapi
membunuh orang lain? Pertanyaanku mengarah kepada para
pelaku Jihad. Padahal bisa saja jika Palestina berdamai dengan
Israel melalui negosiasi atau syarat tertentu atau (Win-win
solution) maka bisa saja Palestina dengan mudah akan merdeka
dan peperangan pun tidak akan berlarut-larut.

Pemuda: Tapi.....

Pengangguran: Yap benar. Dikarenakan dalam Kitab Suci


al-Qur’an dituliskan bahwa jika Palestina dan Israel berdamai,
maka itu tandanya “Kiamat sudah dekat”. Itu menjadi doktrin
bagi Muslim, padahal andai saja mereka berdamai, maka
tragedi kemanusiaan akan terhenti.

Pemuda: Kau sangat mengerikan, kau bisa saja tidak tahu


fakta lapangannya seperti apa.

Pengangguran: Ya, sebenarnya itu hanya sebuah


perumpamaan. Yang akan aku kritisi bukanlah mengenai apa
yang terjadi di Yerusalem sana sebenarnya. Tentu aku berada di
pihak Palestina. Yang aku kritisi adalah mengenai iman. Iman
seharusnya berada di tingkat tertinggi berpikir. Ketika logika
tak sampai, konsepnya bukan dibenturkan dengan iman. Tapi
berpikir dahulu sebelum menggunakan iman. Kau harus dulu
berpikir sebelum meyakini perkataan seseorang bahkan
sekaliber Pemuka Agama.

Pemuda: Lalu bagaimana dengan yang bunuh diri?

Pengangguran: Tentu bisa saja ia, sudah berpikir bahwa


hidupnya sedang dan bahkan sudah hancur-sehancurnya. Dan
setidaknya ia yakin bahwa setelah mengakhiri hidup, ia tidak
akan merasakan penderitaan lagi. Maka setelah itu, ia
seharusnya mengucap “Tuhan, Izinkanlah aku mengakhiri
hidupku” alih-alih mengucap 2 kalimat syahadat.

Pemuda: Lalu bagaimana menurutmu pada akhirnya?

Pengangguran: Tuhan mengizinkan, lalu ia mati. Takdir


yang ada ditangan Tuhan, ia curi dengan izin Tuhan.

Pemuda: Kali ini kau sangat ekstrem. Tapi aku penasaran.


Apa yang kau maksud dengan izin Tuhan?

Pengangguran: Oke. Aku paham jika kau beranggapan


bahwa bunuh diri adalah tindakan yang tidak beriman
disebabkan sudah melawan atau melakukan intervensi terhadap
kehendak Tuhan.

Pemuda: Kau benar.


Pengangguran: Jika memang benar Tuhan melarang kita
bunuh diri dengan alasan kita melawan kehendak Tuhan. Maka,
mengapa seorang dokter yang secara ajaib menyelamatkan
nyawa seorang pasien yang sudah 99% meninggal adalah hal
yang dibenarkan? Bukankah itu salah satu intervensi kehendak
Tuhan?

Pemuda: Tapi tetap saja, kematiannya masih berada di


Tangan Tuhan.

Pengangguran: Sekarang bayangkan jika ia tidak bertemu


dengan dokter itu.

Pemuda: Justru karena Tuhan maha kuasa, lalu Tuhan-pun


mempertemukan si pasien dengan si dokter.

Pengangguran: Kau terjebak.

Pemuda: Apa yang kau maksud?

Pengangguran: Lalu mengapa Tuhan tak cegah mereka


yang hendak bunuh diri? Tuhan dengan kuasa-Nya bisa saja
dengan mudah mencegah hal itu terjadi bukan? Entah secara
kebetulan manajer dari almarhumah Sulli aktris Korsel, datang
saat Sulli baru saja pingsan akibat kekurangan oksigen saat
gantung diri. Tuhan punya banyak Kuasa untuk menolong
hamba-Nya. Tuhan yang Maha mengetahui pun pasti tahu
bahwa Sulli akan mengakhiri hidup. Sehingga bahkan, Tuhan
punya banyak waktu untuk menolongnya.
Pemuda: Oh. Aku mengerti.

Pengangguran: Padahal, wa lā taqtulū anfusakum,


innallāha kāna bikum raḥīmā.

Pemuda: Apa itu?

Pengangguran: Ah kau, jangan membuat diriku malas


berbincang denganmu.

Pemuda: Sungguh aku tak tahu.

Pengangguran: Potongan ayat suci Al-Qur’an. Di sana


konkret sudah bahwa Tuhan melarang hamba-Nya bunuh diri
karena Tuhan sayang. Maka masuk akal jika tulisan ini diberi
judul “Tuhan, izinkan aku mengakhiri hidup”, karena Tuhan
tahu mana hidup yang layak untuk dihidupi dan mana hidup
yang tidak layak untuk dihidupi. Alasan Tuhan mengizinkan
seorang mengakhiri hidup adalah karena Tuhan sayang kepada
hamba-Nya.

Pemuda: Kau gila.

Pengangguran: Tapi aku sepakat, bahwa orang yang bunuh


diri adalah orang-orang yang putus asa dan absurd. Sehingga
kematian menurut mereka adalah hal yang manis.

Pemuda: Bagaimana mereka di akhirat nanti?


Pengangguran: Ya tidak tahu, kan sudah kubilang kemarin.
Bahwa surga dan neraka adalah hak prerogatif sang hakim atau
Tuhan. Jadi ya tidak tahu.

Pemuda: Tapi, mengapa kau setuju bahwa membunuh diri


sendiri adalah tindakan yang salah?

Pengangguran: Aku mempertimbangkan dari sisi


Moralitas. Yang dimana kita sebagai manusia akan dianggap
memiliki moral ketika kita berusaha bertahan hidup.

Pemuda: Ah itu. Teori moralitas Kant.

Pengangguran: Benar. Mereka bunuh diri tentu salah secara


moralitas, karena apa yang disebut bermoral didasarkan kepada
tugas.

Pemuda: Aku mengerti.

Pesanan mereka datang, si pengangguran makan


dengan cepat bagaikan seorang fakir yang belum
makan nasi selama 3 hari.

Pengangguran: Jangan lupa kau bayar, aku ingin langsung


pulang.

Pemuda: Hmm, sudah makan, pulang.

Anda mungkin juga menyukai