Anda di halaman 1dari 5

1.

Agency Konflik
1.1. Pengertian Konflik Agensi
Menurut Kim, Nofsinger, dan Mohr (2010) agency problem merupakan konflik yang
terjadi antara shareholder dengan manajemen karena adanya perbedaan tujuan atau
kurangnya kepercayaan antara kedua belah pihak.
Menurut Gitman (2007) agency problem adalah masalah yang timbul akibat tindakan
manajer yang lebih mengutamakan pemenuhan tujuan pribadinya bila dibandingkan dengan
tujuan perusahaan
Dari beberapa pendapat mengenai konflik agensi, dapat disimpulkan bahwa konflik
agensi merupakan konflik yang terjadi karena adanya pihak manajemen yang dapat
melakukan kecurangan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi membuat para
pemilik perusahaan atau pemegang saham menjadi tidak percaya dengan setiap tindakan yang
dilakukan oleh pihak manajemen yang membawa dampak buruk terhadap perusahaan.
Hubungan keagenan muncul ketika seseorang, yang disebut prinsipal, mempekerjakan
orang lain, yang disebut agen, untuk melakukan suatu layanan, dan prinsipal mendelegasikan
wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Dalam sebuah perusahaan, hubungan
keagenan dalam sebuah Perusahaan dapat berupa hubungan:
1) Pemegang saham dan kreditor
2) Manajer dalam/pemilik dan pemilik luar
3) Pemegang saham luar dengan manajer yang direkrut
Konflik – konflik yang terjadi ini nantinya akan menimbulkan sebuah biaya keagenan,
dimana biaya keagenan merupakan berkurangnya nilai Perusahaan karena adanya konflik
keagenan. Berikut merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai konflik keagensian.

1.2. Konflik antara pemegang saham dan kreditor


Kreditor mempunyai klaim atas aliran pendapatan perusahaan, dan mereka
mempunyai klaim atas aset perusahaan jika terjadi kebangkrutan. Namun, pemegang saham
memiliki kendali (melalui manajer) atas keputusan yang mempengaruhi risiko perusahaan.
Oleh karena itu, kreditor melimpahkan kewenangan pengambilan keputusan kepada orang
lain sehingga berpotensi menimbulkan konflik keagenan. Kreditor meminjamkan dana
dengan tingkat bunga berdasarkan risiko yang dirasakan perusahaan pada saat kredit
diberikan, yang pada gilirannya didasarkan pada :
1) Risiko asset yang ada
2) Ekspetasi mengenai resiko penambahanaset dimasa depan
3) Struktur modal saat ini
4) ekspektasi mengenai perubahan struktur modal di masa depan
Hal ini merupakan faktor penentu utama risiko arus kas perusahaan dan keamanan
utangnya. Misalkan perusahaan meminjam uang, kemudian menjual asetnya yang relatif
aman dan menginvestasikan hasilnya dalam aset untuk proyek besar baru yang jauh lebih
berisiko. Proyek baru ini mungkin sangat menguntungkan, namun juga bisa menyebabkan
kebangkrutan. Jika proyek berisiko berhasil, sebagian besar keuntungan akan jatuh ke tangan
pemegang saham, karena tingkat pengembalian kreditor ditetapkan pada tingkat risiko rendah
awal. Namun, jika proyek tersebut tidak berhasil, pemegang obligasi akan mengalami
kerugian. Dengan demikian, meningkatnya risiko akibat perubahan aset akan menyebabkan
tingkat pengembalian yang disyaratkan atas utang tersebut meningkat, yang pada gilirannya
akan menyebabkan nilai utang yang beredar turun. Hal ini disebut peralihan aset atau bait-
and-switch.
Situasi serupa dapat terjadi jika suatu perusahaan meminjam dan kemudian
menerbitkan utang tambahan, menggunakan dana tersebut untuk membeli kembali sebagian
sahamnya yang beredar, sehingga meningkatkan leverage keuangannya. Jika semuanya
berjalan baik, pemegang saham akan memperoleh keuntungan dari peningkatan leverage.
Namun, nilai utang tersebut kemungkinan akan berkurang karena kini akan terdapat jumlah
utang yang lebih besar yang didukung oleh jumlah aset yang sama. Baik dalam peralihan aset
maupun peningkatan leverage, pemegang saham mempunyai potensi untuk memperoleh
keuntungan, namun keuntungan tersebut diperoleh dengan mengorbankan kreditur. Ada dua
cara pemberi pinjaman mengatasi potensi peralihan aset atau peningkatan leverage
berikutnya, yaitu :
1) Kreditor mungkin mengenakan tarif yang lebih tinggi untuk melindungi diri mereka
sendiri jika perusahaan melakukan aktivitas yang meningkatkan risiko. Namun, jika
perusahaan tidak meningkatkan risiko, maka biaya modal rata-rata tertimbang (WACC)
akan lebih tinggi dibandingkan risiko perusahaan. WACC yang lebih tinggi ini akan
mengurangi nilai intrinsik perusahaan (ingat bahwa nilai intrinsik adalah nilai sekarang
dari arus kas bebas yang didiskontokan pada WACC). Selain itu, perusahaan akan
menolak proyek yang seharusnya diterima dengan biaya modal lebih rendah.
2) Pemberi pinjaman menuliskan perjanjian hutang secara rinci yang merinci tindakan apa
yang dapat dan tidak dapat dilakukan oleh peminjam. Perjanjian ini dapat menimbulkan
biaya keagenan jika membatasi perusahaan dalam melakukan aktivitas penambahan nilai.
1.3. Konflik antara pemilik/manajer dalam dengan pemilik luar
Jika pemilik perusahaan juga menjalankan perusahaan tersebut, pemilik/manajer
mungkin akan mengoperasikan perusahaan tersebut untuk memaksimalkan kesejahteraannya
sendiri. Kesejahteraan ini jelas mencakup peningkatan kekayaan karena peningkatan nilai
perusahaan, namun juga mencakup fasilitas tambahan (atau “keuntungan”) seperti lebih
banyak waktu luang, kantor mewah, asisten eksekutif, rekening pengeluaran, limusin, jet
perusahaan, dan kemurahan hati. rencana pensiun.
Namun, jika pemilik/pengelola mendirikan usahanya dan kemudian menjual sebagian
sahamnya kepada pihak luar, potensi konflik kepentingan akan segera muncul. Perhatikan
bahwa nilai tunjangan masih ditanggung oleh pemilik/manajer, namun biaya perquisites kini
sebagian ditanggung oleh pihak luar. Hal ini bahkan mungkin mendorong pemilik/manajer
untuk meningkatkan konsumsi tambahan tersebut karena biayanya relatif lebih murah karena
pihak luar menanggung biayanya. Masalah keagenan ini menyebabkan pihak luar membayar
lebih sedikit untuk suatu saham perusahaan dan menuntut tingkat pengembalian yang lebih
tinggi.

1.4. Konflik antara manajer dan pemegang saham


Pemegang saham ingin perusahaan mempekerjakan manajer yang mampu dan mau
mengambil tindakan legal dan etis untuk memaksimalkan harga saham intrinsik. 2 Hal ini
jelas membutuhkan manajer dengan kompetensi teknis, namun juga membutuhkan manajer
yang bersedia mengerahkan upaya ekstra yang diperlukan untuk mengidentifikasi dan
menerapkan aktivitas yang memberi nilai tambah. Namun, manajer adalah manusia, dan
manusia mempunyai tujuan pribadi dan perusahaan. Oleh karena itu, logikanya manajer
diharapkan bertindak demi kepentingannya sendiri, dan jika kepentingannya tidak sejalan
dengan kepentingan pemegang saham, maka nilai perusahaan tidak akan maksimal. Ada
enam cara di mana perilaku manajer dapat merugikan nilai intrinsik perusahaan, yaitu
1) Manajer mungkin tidak menghabiskan waktu dan upaya yang diperlukan untuk
memaksimalkan nilai perusahaan.
2) Manajer mungkin menggunakan sumber daya perusahaan untuk aktivitas yang
menguntungkan dirinya sendiri dibandingkan pemegang saham. M
3) Manajer mungkin menghindari pengambilan keputusan yang sulit namun meningkatkan
nilai yang merugikan teman-teman di perusahaan
4) Manajer mungkin mengambil terlalu banyak risiko, atau mereka mungkin tidak
mengambil risiko yang cukup.
5) Jika sebuah perusahaan menghasilkan arus kas bebas yang positif, manajer mungkin
“menimbunnya” dalam bentuk surat berharga alih-alih mengembalikan FCF kepada
investor.
6) Manajer mungkin tidak mengungkapkan semua informasi yang diinginkan investor.
Daftar Pustaka

Brigham, Eugene F and Daves, Philip R. (2018). Intermediate Financial Management.


Boston, USA: Cengage
Kim, K.A., Nofsinger J.R., & Mohr, D.J. (2010). Corporate governance (3rd ed.). United
Stated: Prentice Hall.
Gitman, L.J. (2007). Principles of managerial finance (10th ed). Massachusett: Addison-
Wesley.

Anda mungkin juga menyukai