Anda di halaman 1dari 108

PENGARUH IMPLEMENTASI TERAPI BACK MASSAGE

TERHADAP TINGKAT NYERI PADA LANSIA DENGAN LOW


BACK PAIN DI DESA A, KECAMATAN A, WILAYAH KERJA
PUSKESMAS A, KABUPATEN MAJALENGKA TAHUN 2022

PROPOSAL KTI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat guna menyelesaikan Program


Pendidikan Diploma III Keperawatan AKPER YPIB Majelngka

MUHAMAD LENDI JULIANDI


NIM. 19022

AKADEMI KEPERAWATAN YPIB MAJALENGKA


PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
MAJALENGKA
2022
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lanjut Usia (lansia) merupakan tahap atau masa terakhir dalam proses

kehidupan manusia yang ditandai dengan keadaan dimana terjadinya

penurunan struktur dan fungsi tubuh sehingga lanjut usia akan sangat mudah

dan rentan terkena atau terserang penyakit. Lanjut usia juga merupakan

seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas (Kholifah, 2016).

Populasi lansia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal ini

tentunya dipengaruhi oleh beberapa factor, salah satunya adalah factor

kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Dengan semakin

majunya ilmu pengetahuan dan teknologi terutama di lingkup kesehatan tentu

akan sangat berpengaruh terhadap kualitas kesehatan manusia dan usia harapan

hidup, tidak terkecuali pada lanjut usia (lansia).

Berdasarkan data World Population Prospect: the 2-15 Reviions, pada

tahun 2015 terdapat 901 juta jumlah lanjut usia yang terdiri dari jumlah

populasi global. Pada tahun 2015-2030 jumlahnya diproyeksikan akan tumbuh

sekitar 56% menjadi 1,4 milyar (Unites Nations, 2015). Populasi orang berusia

di atas 65 tahun sedunia sekarang berada ada 617 juta orang. Angka tersebut

setara dengan 8,5 persen dari jumlah seluruh penduduk planet ini. Namun

demikian, sebelum tahun 2050, jumlah penduduk lanjut usia meningkat

menjadi 1,6 milyar orang setara dengan hamper 17% penduduk dunia saat ini

(Yusmawati, 2018).
Badan Pusat Statistik atau BPS (2020), menyatakan bahwa populasi

penduduk dunia saat ini berada pada era ageing population dimana jumlah

penduduk yang berusia lebih dari 60 tahun melebihi 7 persen dari total

penduduk. Pada tahun 1950 jumlah lansia di dunia sebanyak 205 juta orang

dan meningkat menjadi 810 juta orang pada tahun 2012. Angka ini

diproyeksikan akan terus meningkat jumlahnya bahkan mencapai 2 miliyar

pada tahun 2050. Fenomena penuaan penduduk ini terjadi di semua negara,

terlebih pada negara berkembang. Kondisi di tahun 2012, dari 15 negara

dengan penduduk lansia sebesar 10 juta, tujuh diantaranya adalah negara

berkembang. Sementara itu, tahun 2050 diprediksiakan terdapat 33 negara

yang jumlah lasianya mencapai lebih dari 10 juta orang. Dimana 22 negara

diantaranya merupakan negara-negara berkembang (Badan Pusat Statistik,

2020).

World Health Organiation (WHO), menjelaskan bahwa di kawasan

Asia Tenggara populasi lanjut usia sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada

tahun 2050 diperkirakan populasi Lanjut usia meningkat 3 kali lipat dari tahun

ini. Pada tahun 2000 jumlah lanjut usia sekitar 5.300.000 atau sekitar 7,4% jiwa

dari total populasi, sedangkan pada tahun 2010 jumlah lanjut usia 24.000.000

atau 9,77% jiwa dari total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan jumlah lanjut

usia mencapai 28.800.000 atau 11,34% jiwa dari total populasi [Kemenkes RI

dalam sebuah Laman http://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-

p2ptm/aceh/populasi-lansia-diperkirakan-terus-meningkat-hingga-tahun-2020

, 2013, diakses pada tanggal 1 Desember 2021].


Di Indonesia jumlah populasi lanjut usia pada tahun 2020 sebanyak

26,82 juta jiwa atau terdapat 9,92%. Persebaran penduduk lansia di Indonesia

menurut tipe daerah masih didominasi oleh lansia yang tinggal di daerah

perkotaan dibandingkan dengan perdesaan (52,95 persen berbanding 47,71

persen). Selanjutnya jika dilihat dari kelompok umur, persentase lansia di

Indonesia sebagian besar diisi oleh lansia muda (kelompok umur 60-69 tahun)

dengan persentase 64,29 persen, diikuti lansia madya (kelompok umur 70-79

tahun) sebesar 27,23 persen dan terakhir lansia tua (kelompok umur 80+ tahun)

sebesar 8,49 persen (Badan Pusat Statistik, 2020).

Berdasarkan data Susenas Maret 2020, terdapat enam provinsi yang

telah memasuki fase struktur penduduk tua, yakni persentase penduduk

lansianya telah berada di atas 10 persen. Keenam provinsi tersebut adalah

Daerah Istimewa Yogyakarta (14,71 persen), Jawa Tengah (13,81 persen),

Jawa Timur (13,38 persen), Bali (11,58 persen), Sulawesi utara (11,51 persen),

dan Sumatera Barat (10,07 persen) (Badan Pusat Statistik, 2020).

Sedangkan berdasarkan data yang diperoleh dari Dinas Pemberdayaan

Masyarakat dan Desa Provinsi Jawa Barat (2020), jumlah populasi lansia di

Jawa Barat pada tahun 2020 sebanyak 2.864.220 atau 8,35% jiwa. 5 kabupaten

di Jawa Barat dengan jumlah populasi lansia terbanyak pertama adalah

Kabupaten Subang dengan jumlah populasi lansia sebanyak 370.971 atau

22,36% jiwa, kemudian Kabupaten Bogor dengan jumlah populasi lansia

sebanyak 253.040 atau 5,72% jiwa, Kabupaten Garut dengan jumlah populasi

lansia sebanyak 250.578 atau 9,00% jiwa, Kabupaten Bandung dengan jumlah
populasi lansia sebanyak 222.197 atau 6,95% jiwa, dan Kabupaten Sukabumi

dengan jumlah populasi lansia sebanyak 190.381 atau 8,07% jiwa. Sedangkan

Kabupaten Majalegka berada diposisi ke 13 dari 19 Kabupaten yang ada di

Jawa Barat dengan jumlah populasi lansia sebanyak 112.983 atau 9,32%.

Menua merupakan sebuah proses kehidupan yang tidak bisa dan tidak

mungkin untuk dihindari karena menua ini sifatnya adalah alamiah. Menua ini

akan terjadi kepada semua manusia tanpa terkecuali, proses menua ini terjadi

seiring bertambahnya usia dan dengan proses menua ini pula manusia akan

mengalami penurunan baik secara fisik atau psikologis secara berangsur-

angsur. Kholifah (2016), menjelaskan bahwa menua bukanlah suatu penyakit,

tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur mengakibatkan penurunan

komulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi

rangsangan dari dalam dan luar tubuh, seperti di dalam Undang-undang Nomor

13 tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan pembangunan

nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat adil dan makmur

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, telah menghasilkan

kondisi social masyarakat yang makin membaik dan usia harapan hidup makin

meningkat, sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak diantara

lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Upaya peningkatan kesejahteraan

lanjut usia pada hakikatnya merupakan pelestarian nilai-nilai keagamaan dan

budaya bangsa.
Peningkatan jumlah penduduk lanjut usia di Indonesia menjadi sebuah

tantangan besar bagi negara. Negara harus bisa membuat suatu kebijakan

terkait kebutuhan-kebutuhan lansia dalam memenuhi kebutuhan dalam

hidupnya. Lansia berhak untuk memiliki rasa aman dan nyaman, serta

kesejahteraan dalam hidup. Salah satu kebijakan yang harus diperhatikan untuk

lansia adalah di bidang kesehatan.

Menua atau penuaan bukan suatu penyakit, melainkan sebuah proses

dari kehidupan dan akan terjadi kepada semua manusia. Namun, semakin

manusia menua maka akan semakin banyak masalah kesehatan yang muncul,

mulai dari permasalahan fisik, psikis, biologis, hingga spiritual hal ini

dikarenakan pada lansia terjadi penurunan sitem imun atau daya tahan tubuh.

Kholifah (2016), menyatakan bahwa kemunduran yang terjadi pada lansia

sebagian datang dari factor fisik dan factor psikologis. Motivasi memiliki peran

yang penting dalam kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki

motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan mempercepat

proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga lansia yang memiliki motivasi

yang tinggi, maka kemunduran fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.

Penurunan daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari luar

dan dalam tubuh pada lanjut usia menyebabkan lanjut usia sangat rentan

terserang atau terkena penyakit. Dalam sebuah laman

https://hellosehat.com/lansia/masalah-lansia/penyakit-pada-lansia/ (2021)

yang diakses pada tanggal 1 Desember 2021, menjelaskan bahwa beberapa

penyakit yang sering dijumpai pada lansia antara lain seperti malnutrisi,
katarak, degenerasi macula, arthritis (radang sendi), musculoskeletal

(osteoporosis), infeksi saluran kencing, inkontinensia urine, gagal ginjal, gagal

jantung, hipertensi, dan lain sebagainya.

Dari banyaknya penyakit yang sering menyerang lansia, satu

diantaranya adalah musculoskeletal disorders, yaitu suatu keadaan atau

keluhan nyeri yang dirasakan di area tendon, saraf dan otot yang disebabkan

karena adanya kerusakan pada jaringan yang ditimbulkan akibat aktivitas atau

kerja berat yang dilakukan secara terus menerus. Musculoskeletal disorders

juga merupakan kondisi dimana bagian dari sistem otot dan tulang mengalami

masalah (sakit). Penyakit ini terjadi akibat bagian tubuh meregang terlalu jauh,

mengalami tubrukan secara langsung, ataupun karena kegiatan lainnya yang

mengakibatkan kesalahan pada sistem otot dan tulang. Penyakit yang sering

terjadi pada lansia dengan musculoskeletal disorders adalah low back pain,

scoliosis, rupture, osteoarthtrosis, serta beberapa penyakit yang saling

berhubungan seperti rheumatoid arthritis, gout atau asam urat, osteoporosis,

dan ostemylitis (Suriya dan Zuriati, 2019). Sedangkan dalam sebuah laman

https://www.halodoc.com/kesehatan/gangguan-muskuloskeletal (2019), yang

diakses pada tanggal 1 Desember 2021, menjelaskan bahwa musculoskeletal

disorders merupakan kondisi terjadinya gangguan fungsi pada ligament, otot,

saraf, sendi dan tendon, serta tulang belakang. System musculoskeletal tubuh

sendiri adalah struktur yang mendukung anggota badan, leher, dan punggung.

Gangguan musculoskeletal yang sering menyerang lanjut usia salah

satunya adalah low back pain, merupakan suatu keadaan nyeri yang dirasakan
di bagian bawah punggung yang bisa diakibatkan karena adanya kerusakan

atau gangguan pada area otot dan tulang. Kirthika (2016) menyatakan bahwa

nyeri punggung bawah atau low back pain adalah kelainan umum yang

melibatkan otot dan tulang, sumber rasa sakit yang dialami individu ini adalah

karena cedera pada struktur jaringan lunak yang meliputi otot, fascia dan

ligament. Low back pain merupakan suatu nyeri pada daerah punggung bawah

yang dihasilkan dari rangsangan fisik atau sikap tubuh yang buruk (poor

posture), merupakan suatu proses kumulatif yang menyebabkan punggung

bagian bawah di bawah tekanan mekanik yang berat yang menyebabkan

penurunan disabilitas dan keterbatasan gerak sendi lumbosacral.

Gangguan low back pain hampir menyerang semua lanjut usia terlebih

lagi mereka yang pada saat mudanya bekerja terlalu keras atau berat apalagi

yang masih bekerja secara berat pada lanjut usia. Di masyarakat perdesaan bisa

kita lihat bahwa masih banyak lanjut usia yang harus bekerja secara berat untuk

memenuhi kebuthan hidupnya, hal ini tentu berbanding terbalik dengan

keadaan lansia yang semakin menurun dan melemah. Sehingga kerja keras atau

kerja berat ini bisa menjadi salah satu factor pencetus terjadinya gangguan low

back pain pada lansia.

Low back pain atau nyeri punggung bawah yang terjadi pada lansia

akan menyebabkan imobilitas fisik atau keterbatasan melakukan aktivitas serta

gangguan kenyamanan yang diakibatkan karena adanya rasa nyeri atau ngilu.

Maka dari itu, setelah timbul gejala seperti nyeri atau ngilu, kelemahan otot,
gangguan tidur, peradangan, pembengkakan, mati rasa atau kaku, dan

kesemutan harus segera ditangani.

Nyeri merupakan sebuah persepsi tubuh yang timbul akibat adanya

gangguan atau cedera pada organ tubuh, baik organ dalam maupun organ luar

pada tubuh. The International Association for the Study of Pain mendefinisikan

nyeri sebgai suatu rada yang tidak menyenangkan dan merupakan pengalam

emosional yang berhubungan dengan kerusakan jaringan dan terkadang nyeri

digunakan untuk menyatakan adanya kerusakan jaringan (Suriya dan Zuriati,

2019).

Adapun cara penanganan pada gangguan low back pain dapat dilakukan

secara famakologis dan nonfarmakologis. Penanganan farmakologis yaitu

upaya penanganan dengan cara pemberian obat pereda nyeri, suntikan anestesi

atau antiradang, dan lain sebagainya. Sedangkan untuk penanganan secara non

farmakologis bisa dilakukan dengan cara teknik relaksasi, terapi pijat atau

massage, peregangan dan melatih otot, dan lain sebagainya.

Salah satu penanganan secara non famakologis yang bisa dilakukan

yaitu terapi pijat atau massage yang dipilih sebagai alternative untuk

penanganan lanjut usia dengan masalah low back pain selain dengan

mengkonsumsi atau pemberian obat anti nyeri. Terapi pijat bisa dilakukan oleh

siapa saja, dimana saja, dan kapan saja, tidak terpatok hanya dilakukan oleh

terapis atau perawat, tetapi juga bisa dilakukan oleh anggota keluarga lanjut

usia itu sendiri. Salah satu teknik terapi yang bisa digunakan adalah terapi di

area punggung atau sering disebut dengan back massage.


Terapi pijat atau massage merupakan tindakan yang dilakukan dengan

menekan jaringan lunak seperti otot menggunakan tangan dengan tujuan untuk

mengurangi rasa nyeri dan memberikan relaksasi. Massage juga merupakan

seni gerak tangan yang bertujuan untuk mendapatkan kesenangan dan

memelihara kesehatan jasmani, gerak tangan secara mekanis ini akan

menimbulkan rasa tenang dan nyaman bagi penerimanya (dalam sebuah laman

http://www.olahragamo.com/2017/07/pengertian -massage-dan-tujuan-

massage.html?m=1, yang diakses pada tanggal 3 Desember 2021).

Sedangkan back massage merupakan tindakan pemijatan atau tindakan

massage yang dilakukan di area punggung dengan usapan lembut dan secara

perlahan dengan tujuan untuk mengurangi rasa nyeri, memberikan efek

relaksasi, serta meregangkan otot. Pijat memijat merupakan suatu aktivitas

yang umum dilakukan oleh kebanyakan orang di Indonesia. Biaanya memang

pijat punggung iedel untuk dilakukan setelah lelah dalam bekerja. Efek

relaksasi yang diberikan tentunya membuat tubuh menjadi lebih santai dan

tidak menengah. Pijat punggung dapat dilakukan secara rutin untuk

mendapatkan manfaat yang maksimal (Tresna, K. Abdi, 2021 dalam sebuah

laman https://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/health/fitness/amp/

tres/5-manfaat-yang-diperoleh-dari-pijat-punggung-c1c2 yang diakses pada

tanggal 28 Desember 2021).

Terapi back massage bisa dijadikan sebagai alternative pengobatan

pada keluhan nyeri yang disebabkan karena adanya gangguan pada system

muskuloskeltal. Tujuan dari back massage ini yang paling utama adalah untuk
meringankan hingga menghilangkan rasa nyeri atau ngilu yang dilakukan

secara nonfarmakologis dengan menghangatkan sendi yang sakit dan

meregangkan otot yang kaku dengan cara pijatan dan sentuhan lembut di area

punggung.

Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Kusuma

Dewi, dkk (2017) terapi back massage memiliki pengaruh yang signifikan

terhadap tingkat nyeri low back pain. Begitu juga dengan hasil penelitian

Mahasih, Teki (2019) bahwa stimulus kutaneus slow stroke back massage

memiliki pengaruh terhadap intensitas nyeri pada penderita low back pain.

Pendapat lain tentang pengaruh back massage juga ditemukan oleh Putri Rizka

Mailani, dkk (2019) yang mengungkapkan bahwa ada pengaruh terapi back

massage terhadap penurunan nyeri Rhematoid Arthritis pada lansia dengan p-

value 0,000 (p<0,05), dengan rata-rata penurunan 1,70. Sedangkan Yunita dan

Wijarnoko (2019), dalam penelitiannya mengemukakan bahwa intervensi

pemberian terapi back massage dapat menurunkan intensitas nyeri pada pasien

lansia dengan penyakit rematik. Berkaitan dengan back massage, Abdilah dan

Suwandi (2020) dalam penelitiannya juga mengemukakan bahwa terdapat

pengaruh pemberian back massage terapi terhadap intensitas nyeri reumatik

pada lansia.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian

tentang “Pengaruh Implementasi Terapi Back Massage terhadap Tingkat

Nyeri pada Lansia dengan Low Back Pain di Desa A, Kecamatan A,

Wilayah Kerja Puskesmas A, Kabupaten Majalengka Tahun 2022”.


1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana

implementasi terapi back massage terhadap tingkat nyeri pada lansia dengan

low back pain di Desa A, Kecamatan A, wilayah kerja Puskesmas A?”.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk melakukan implementasi

terapi back massage terhadap tingkat nyeri pada lansia dengan low back

pain di Desa A, Kecamatan A, wilayah kerja Puskesmas A.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui tingkat nyeri pada lansia dengan low back pain

sebelum dilakukan implementasi terapi back massage di Desa A,

Kecamatan A, wilayah kerja Puskesmas A

2. Untuk mengetahui tingkat nyeri pada lansia dengan low back pain

sesudah dilakukan implementasi terapi back massage di Desa A,

Kecamatan A, wilayah kerja Puskesmas A

3. Untuk mengetahui pengaruh implementasi terapi back massage

terhadap tingkat nyeri pada lansia dengan low back pain di Desa A,

Kecamatan A, wilayah kerja Puskesmas A

1.4 Manfaat Penelitian

Dengan melakukan penelitian ini, penulis ingin memberikan manfaat yang bisa

diambil, yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis.


1.4.1 Manfaat Teoritis

Adapun manfaat secara teoritis yang didapat dari penelitian ini adalah

menambah keilmuan, kepustakaan, serta pemahaman di bidang

kesehatan terutama yang berkaitan dengan alternative yang bisa

digunakan untuk mengatasi masalah nyeri pada lansia dengan low back

pain selain penggunaan obat.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang didapatkan dari penelitian ini adalah sebagai

berikut.

1. Bagi Peneliti

Penelitian ini diharapkan bisa menambah pemahaman,

pengetahuan, serta wawasan peneliti sebagai calon tenaga

kesehatan mengenai implementasi terapi back massage terhadap

tingkat nyeri pada lansia dengan low back pain.

2. Bagi Masyarakat, khususnya Lanjut Usia di Desa A, Kecamatan A,

wilayah kerja Puskesmas A

Membantu masyarakat untuk menangani masalah nyeri pada

lansia dengan low back pain selain dengan penggunaan obat, tetapi

juga dengan menggunakan teknik terapi back massage.

3. Bagi Profesi Keperawatan

Dengan mengetahui pengaruh terapi back massage terhadap

tingkat nyeri pada lansia dengan low back pain, maka peran

perawat sebagai educator (pendidik) dan pelaksana dapat


mengidentifikasi metode tindakan keperawatan atau penanganan

seperti apa yang harus digunakan untuk menangani atau

mengurangi tingkat nyeri akibat penyakit low back pain.

1.5 Ruang Lingkup

Penelitian ini dilakukan oleh Mahasiswa Akademi Keperawatan YPIB

Majalengka yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh implementasi terapi

back massage terhadap tingkat nyeri pada lansia dengan low back pain di Desa

A, Kecamatan A, wilayah kerja Puskesmas A, Kabupaten Majalengka tahun

2022, yang akan dilaksanakan pada tanggal 3 Januari sampai dengan tanggal

15 Januari 2022 di Wilayah Kerja Puskesmas A. Penelitian ini perlu dilakukan

karena berkaitan dengan fakta di lapangan bahwa lanjut usia dari tahun ke

tahun selalu terjadi peningkatan, dan lanjut usia ini rentan terserang penyakit

dana tau sakit yang disebabkan karena proses kemunduran atau menua salah

satnya yaitu low back pain.

Pelaksanaan penelitian ini dilakukan dengan melakukan tindakan terapi

back massage terhadap responden yang sudah dinyatakan sesuai dengan

kriteria inklusi dan kriteria eksklusi, kemudian dilakukan obeservasi tingkat

nyeri sebelum dan sesudah dilakukan intervensi atau tindakan.

1.6 Sistematika Penulisan

HALAMAN JUDUL

LEMBAR PERSETUJUAN

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


1.2 Rumusan Masalah

1.3 Tujuan Penelitian

1.4 Manfaat Penelitian

1.5 Ruang Lingkup

1.6 Sistematika Penulisan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Konsep Lansia

2.1.2 Konsep Nyeri

2.1.3 Konsep Massage

2.2 Tinjaun Teori Keperawatan

2.2.1 Definisi Low Back Pain

2.2.2 Etiologi

2.2.3 Anatomi Fisiologi

2.2.4 Patofisiologi

2.2.5 Tanda dan Gejala

2.2.6 Pathway

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

2.2.8 penatalaksanaan

2.3 Teori Asuhan Keperawatan

2.3.1 Pengkajian

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

2.3.3 Intervensi Keperawatan


2.3.4 Implementasi

2.3.5 Evaluasi

2.4 Hasil Penelitan Terdahulu

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

3.2 Subjek Penelitian

3.2.1 Populasi dan Sampel

3.2.2 Kriteria Inklusi

3.2.3 Kriteria Eksklusi

3.3 Lokasi dan Waktu

3.3.1 Lokasi Penelitian

3.3.2 Waktu Penelitian

3.4 Instrumen Penelitian

3.5 Etika Penelitian

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teori

2.1.1 Konsep Lansia

1. Definisi

Menurut Utomo, S.T.R.I. (2015) dalam Dewi, Anggun

Buana (2019), lansia merupakan tahap akhir siklus hidup manusia,

merupakan bagian dari proses kehidupan yang tak dapat dihindari

dan akan dialami oleh setiap individu. Pada tahap ini individu

mengalami banyak kemunduran dalam berbagai fungsi dan

kemampuan yang pernah dimilikinya. Perubahan penampilan fisik

maupun mental, khususnya kemunduran dalam berbagai fungsi dan

kemampuan yang pernah dimilikinya.

Kholifah (2016) menyatakan bahwa lansia adalah

seseorang yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. Menua

bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-

angsur mengakibatkan penurunan komulatif, merupakan proses

menurunnya daya tahan tubuh dalam menghadapi rangsangan dari

dalam dan luar tubuh, seperti di dalam Undang-undang Nomor 13

tahun 1998 yang isinya menyatakan bahwa pelaksanaan

pembangunan nasional yang bertujuan mewujudkan masyarakat

adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang


Dasar 1945, telah menghasilkan kondisi social masyarakat yang

makin membaik dan usia harapan hidup makin meningkat,

sehingga jumlah lanjut usia makin bertambah. Banyak diantara

lanjut usia yang masih produktif dan mampu berperan aktif dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Upaya

peningkatan kesejahteraan lanjut usia pada hakikatnya merupakan

pelestarian nilai-nilai keagamaan dan budaya bangsa.

Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi

di dalam kehidupan manusia. Proses menua merupakan proses

sepanjang hidup, tidak hanya dimulai dari suatu waktu tertentu,

tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan

proses alamiah yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap

kehidupan, yaitu anak, dewasa, dan tua (Nugroho, 2006 dalam

Kholifah, 2016).

2. Batasan Lansia

a. World Health Organization atau WHO (1999) dalam Kholifah

(2016) menjelaskan batasan lansia adalah sebagai berikut.

1) Usia lanjut (elderly) antara usia 60-74 tahun,

2) Usia tua (old) antara usia 75-90 tahun, dan

3) Usia sangat tua (very old) adalah usia > 90 tahun.

b. Menurut Depkes RI (2005) dalam Kholifah (2016) menjelaskan

bahwa batasan usia lanjut usia dibagi menjadi tiga kategori,

yaitu sebagai berikut.


1) Usia lanjut presenalis yaitu antara usia 45-59 tahun,

2) Usia lanjut yaitu usia 60 tahun ke atas,

3) Usia lanjut berisiko yaitu usia 70 tahun ke atas atau usia 60

tahun ke atas dengan masalah kesehatan.

3. Ciri-ciri Lansia

Menurut Kholifah (2016) ciri-ciri lansia dapat dijelaskan sebagai

berikut.

a. Lansia merupakan periode kemunduran

Kemunduran pada lansia sebagian dating dari factor fisik dan

factor psikologis. Motivasi memiliki peran yang penting dalam

kemunduran pada lansia. Misalnya lansia yang memiliki

motivasi yang rendah dalam melakukan kegiatan, maka akan

mempercepat proses kemunduran fisik, akan tetapi ada juga

lansia yang memiliki motivasi yang tinggi, maka kemunduran

fisik pada lansia akan lebih lama terjadi.

b. Lansia memiliki status kelompok minoritas

Kondisi ini sebagai akibat dari sikap social yang tidak

menyenangkan terhadap lansia dan diperkuat oleh pendapat

yang kurang baik, misalnya lansia yang lebih senang

mempertahankan pendapatnya maka sikap social di masyarakat

menjadi negative, tetapi ada juga lansia yang mempunyai

tenggang rasa kepada orang lain sehingga sikap social di

masyarakat menjadi positif.


c. Menua membutuhkan perubahan peran

Perubahan peran tersebut dilakukan karena lansia mulai

mengalami kemunduran dalam segala hal. Perubahan peran

pada lansia sebaiknya dilakukan atas dasar keinginan sendiri

bukan atas dasar tekanan dari lingkungan. Misalnya lansia

menduduki jabatan social di masyarakat sebagai ketua RW,

sebaiknya masyarakat tidak memberhentikan lansia sebagai

ketua RW karena usianya.

d. Penyesuaian yang buruk pada lansia

Perlakuan yang buruk terhadap lansia membuat mereka

cenderung mengembangkan konsep diri yang buruk sehingga

dapat memperlihatkan bentuk perilaku yang buruk. Akibat dari

perlakukan yang buruk itu membuat penyesuaian diri lansia

menjadi buruk pula. Contoh, lansia yang tinggal bersama

keluarga sering tidak dilibatkan untuk pengambilan keputusan

karena dianggap pola pikirnya kuno, kondisi inilah yang

menyebabkan lansia menarik diri dari lingkungan, cepat

tersinggung dan bahkan memiliki harga diri yang rendah.

4. Perkembangan Lansia

Usia lanjut merupakan usia yang mendekati akhir siklus

kehidupan manusia di dunia. Tahap ini dimulai dari 60 tahun sampai

akhir kehidupan. Lansia meruoakan istilah tahap akhir dari proses

penuaan. Semua orang akan mengalami proses menjadi tua (tahap


penuaan). Masa tua merupakan masa hidup manusia yang terakhir,

dimana pada masa ini seseorang mengalami kemunduran fisik,

mental dan social sedikit demi sedikit sehingga tidak dapat

melakukan tugasnya sehari-hari lagi (tahap penurunan). Penuaan

merupakan perubahan kumulatif pada makhluk hidup, termasuk

tubuh, jaringan dan sel, yang mengalami penurunan kapasitas

fungsional. Pada manusia, penuaan dihubungkan dengan perubahan

degenerative pada kulit, tulang, jantung, pembuluh darah, paru-

paru, saraf dan jaringan tubuh lainnya. Degan kemampuan

degenerative yang terbatas, mereka lebih rentan terhadap berbagai

penyakit, sindroma dan kesakitan dibandingkan dengan orang

dewasa lain. Untuk menjelaskan penurunan pada tahap ini, terdapat

berbagai perbedaan teori, namun para ahli pada umumnya sepakat

bahwa proses ini lebih ditemukan pada factor genetic (Kholifah,

2016).

5. Permasalahan Lansia di Indonesia

Menurut Kholifah (2016), jumlah lansia di Indonesia tahun

2014 mencapai 18 juta jiwa dan diperikirakan akan meningkat

menjadi 41 juta jiwa di tahun 2035 serta lebih dari 80 juta jiwa di

tahun 2050. Tahun 2050, satu dari empat penduduk Indonesia

adalah penduduk lansia dan lebih mudah menemukan pendudukan

lansia dibandingkan bayi atau balita.


Lanjut usia mengalami masalah kesehatan. Masalah ini

berawal dari kemunduran sel-sel tubuh, sehingga fungsi dan daya

tahan tubuh menurun serta factor risiko terhadap penyakit pun

meningkat. Maslah kesehatan yang sering dialami lanjut usia adalah

malnutrisi, gangguan keseimbangan, kebingungan mendadak, dan

lain-lain. Selain itu, beberapa penyakit yang sering terjadi pada

lanjut usia antara lain hipertensi, gangguan pendengaran dan

pengliatan, dimensia, osteoporosis, dan lain sebagainya.

Data susenas tahun 2012 menjelaskan bahwa angka

kesakitan pada lansia tahun 2012 di perkotaan adalah 24,77%

artinya dari setiap 100 orang lansia di daerah perkotaan 24 orang

mengalami sakit. Di pedesaan didapatkan 28,62% artinya setiap 100

orang lansia di pedesaan, 28 orang mengalami sakit.

Table 2.1. Sepuluh Penyakit Terbanyak pada Lansia Tahun 2013

Prevalensi Menurut Kelompok

No Jenis Penyakit Umur

55-64 th 65-74 th 75 th +

1 Hipertensi 45,9 57 63,8

2 Artritis 45 51 54,8

3 Stroke 33 46 67

Peny. Paru
4 5,6 8,6 9,4
Obstruksi Kronis

5 DM 5,5 4,8 3,5


6 Kanker 3,2 3,9 5

Peny. Jantung
7 2,8 3,6 3,2
Koroner

8 Batu Ginjal 1,3 1,2 1,1

9 Gagal Jantung 0,7 0,9 1,1

10 Gagal Ginjal 0,5 0,5 0,6

Sumber: Kemenkes RI, Riskesdas (2013)

Berdasarkan Undang-undang No. 36 tahun 2009 tentang

kesehatan, upaya pemeliharaan kesehatan bagi lanjut usia harus

ditujukan untuk menjaga agar tetap hidup sehat dan produktif

secara social maupun ekonomis. Selain itu, pemerintah wajib

menjamin ketersediaan pelayanan kesehatan dan memfasilitasi

kelompok lansia untuk dapat tetap hidup mandiri dan produktif, hal

ini merupakan upaya peningkatan kesejahteraan lansia khususnya

dalam bidang kesehatan. Upaya promotive dan preventif

merupakan factor penting yang harus dilakukan untuk mengurangi

angka kesakitan pada lansia. Untuk mencapai tujuan tersebut, harus

ada koordinasi yang efektif antara lintas program terkait di

lingkungan kementeriaan kesehatan dan organisasi profesi.

Pendapat lain menjelaskan bahwa lansia mengalami

perubahan dalam kehidupannya sehingga menimbulkan beberapa

masalah. Permasalahan tersebut diantaranya adalah sebagai

berikut.
a. Masalah fisik

Masalah yang dihadapi oleh lansia adalah fisik yang mulai

melemah, sering terjadi radang persendian ketika melakukan

aktivitas yang cukup berat, indra penglihatan yang mulai kabur,

indra pendengaran yang mulai berkurang serta daya tahan

tubuh yang menurun, sehingga sering sakit.

b. Masalah kognitif (intelektual)

Masalah yang dihadapi lansia terkait dengan perkembangan

kognitif, adalah melemahnya daya ingat terhadap sesuatu hal

(pikun), dan sulit untuk bersosialisasi dengan masyarakat di

sekitar.

c. Masalah emosional

Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan

emosional, adalah rasa ingin berkumpul dengan keluarga

sangat kuat, sehingga tingkat perhatian lansia kepada keluarga

menjadi sangat besar. Selain itu, lansia sering marah apabila

ada sesuatu yang kurang sesuai dengan kehendak pribadi dan

sering stress akibat masalah ekonomi yang kurang terpenuhi.

d. Masalah spiritual

Masalah yang dihadapi terkait dengan perkembangan spiritual,

adalah kesulitan untuk menghafal kitab suci karena daya ingat

yang muncul menurun, merasa kurang tenang ketika

mengetahui anggota keluarganya belum mengerjakan ibadah,


serta merasa gelisah ketika menemui permasalahan hidup yang

cukup serius.

2.1.2 Konsep Nyeri

1. Definisi

Nyeri adalah respons subjektif stresor fisik dan psikologis.

Semua individu mengalami nyeri pada beberapa tempat selama

kehidupan mereka. Diperkirakan terdapat 50 juta penduduk

Amerika yang hidup dengan nyeri kronis seperti nyeri kronis seperti

nyeri pinggang bawah (low back pain). LBP adalah salah satu jenis

nyeri kronis yang paling sering terjadi, disertai dengan migrain atau

sakit kepala berat dan nyeri sendi. Sebanyak 25 juta penduduk

lainnya mengalami nyeri akut yang berhubungan dengan

pembedahan atau trauma (American Academy of Pain Management,

2009 dalam Suriya dan Zuriati, 2019).

Center for Disease Control and Prevention dalam Suriya dan

Zuriati (2019), meskipun nyeri terjadi akibat penurunan kondisi

kesehatan dalam pola kesehatan perseptual-kognitif, efeknya

kemungkinan menyebabkan disfungsi pada seluruh pola kesehatan

fungsional, baik nyeri akut, kronis, berat, maupun ringan hingga

sedang. Nyeri merupakan sensori dan emosionl tidak

menyenangkan yang muncul akibat kerusakan integritas jaringan

aktual atau potensial yang meggambarkan sebagai kerusakan (IASP

dalam Suriya dan Zuriati, 2019).


Nyeri merupakan suatu kondisi yang lebih dari sekedar

sensasi tunggal yang disebabkan oleh stimulus tertentu. Nyeri

bersifat subjektif dan sangat bersifat individual. Stimulus nyeri

dapat berupa stimulus yang bersifat fisik dan/atau mental,

sedangkan kerusakan dapat terjadi pada jaringan actual atau pada

fungsi ego seorang individu (Mahon, 1994 dalam Potter dan Perry,

2012).

Menurut McCaffery (1980) dalam Potter dan Perry (2012),

nyeri adalah segala sesuatu yang dikatakan seseorang tentang nyeri

tersebut dan terjadi kapan saja seseorang mengatakan bahwa ia

merasa nyeri.

2. Fisiologi Nyeri

Nyeri merupakan campuran reaksi fisik, emosi, dan perilaku.

Cara yang paling baik untuk memahami pengalaman nyeri, akan

membantu menjelaskan tiga komponen fisiologis berikut, yakni

resepsi, persepsi, dan reaksi. Stimulus penghasil nyeri mengirimkan

impuls melalui serabut saraf perifer. Serabut nyeri memasuki

medulla spinalis dan menjalani salah satu dari beberapa rute saraf

dan akhirnya sampai di dalam massa berwarna abu-abu di medulla

spinalis. Terdapat pesan nyeri dapat berinteraksi dengan sel-sel

saraf inhibitor, mencegah stimulus nyeri sehingga tidak mencapai

otak atau ditransmisi tanpa hambatan ke korteks serebral. Sekali

stimulus nyeri mencapai korteks serebral, maka otak


menginterpretasi kualitas nyeri dan memproses informasi tentang

pengalaman dan pengetahuan yang lalu serta asosiasi kebudayaan

dalam upaya mempersepsikan nyeri (McNair, 1990 dalam Potter

dan Perry, 2012).

Seorang klien yang sedang merasakan nyeri, tidak dapat

membedakan komponen-komponen tersebut. Akan tetapi, dengan

memahami setiap komponen, perawat akan terbantu dalam

mengenali factor-faktor yang dapat menimbulkan nyeri, gejala yang

menyertai nyeri, dan rasional serta kerja terapi yang dipilih (Potter

& Perry, 2012).

3. Tanda dan Gejala Nyeri

Menurut Potter & Perry (2012), tanda dan gejala yang terjadi

pada penderita nyeri adalah sebagai berikut.

Table 2.2. Tanda dan gejala nyeri

1. Mengaduh

2. Menangis
Vokalisasi
3. Sesak napas

4. Mendengkur

1. Meringis

Ekspresi Wajah 2. Menggeletukkan gigi

3. Mengernyitkan dahi
4. Menutup mata atau mulut dengan

rapat atau membuka mata atau mulut

dengan lebar

5. Menggigit bibir

1. Gelisah

2. Imobilisasi

3. Ketegangan otot

4. Peningkatan gerakan jari dan tangan

Gerakan Tubuh 5. Aktivitas melangkah yang tunggal

ketika berlari atau berjalan

6. Gerakan ritmik atau gerakan

menggosok

7. Gerakan melindungi bagian tubuh

1. Menghindari percakapan

2. Focus hanya pada aktivitas untuk

Interaksi Sosial menghilangkan nyeri

3. Menghindari kontak social

4. Penurunan rentang perhatian

Sumber: Potter & Perry (2012)

4. Jenis dan Karakteristik Nyeri

Menurut Priscilla (2015) dalam Suriya dan Zuriati (2019),

nyeri secara khas dijelaskan dan dikarakteristikan dalam beberapa


cara, melalui durasinya (akut atau kronis), melalui sumber atau

lokasi, dan penyebarannya.

a. Nyeri akut

Nyeri akut memiliki awitan yang mendadak, biasanya

membuat diri menjadi terbatas dan terlokalisasi. Penyebab nyeri

akut umunya dapat diidentifikasi. Awitan biasanya mendadak,

paling sering terjadi akibat cedera jaringan karena trauma,

pembedahan, atau inflamasi. Nyeri biasanya tajam dan

terlokalisasi, meskipun dapat menjalar. Penyembuhan jaringan

mengurangi nyeri.

b. Nyeri kronis

Nyeri kronis merupakan nyeri yang merajang atau nyeri

yang menetap setelah kondisi yang menyebabkan nyeri tersebut

hilang. Meskipun penyebabnya dapat diidentifikasi (arthtitis,

kanker, sakit kepala, neuropatik diabetik), nyeri kronis tidak

selalu memiliki penyebab yang dapat diidentifikasi. Pada

beberapa kasus, nyeri dapat dicetuskan oleh kerusakan yang

disebabkan oleh penyakit yang menetap setelah penyakit

sembuh, misalnya keruskan saraf sensorik, kontraksi otot

refleks).

5. Efek Merugikan Nyeri

Nyeri akut memiliki tujuan yang jelas, yaitu

memperingatkan cedera pada jaringan tubuh. Meskipun sering


disertai penyakit tertentu. Nyeri kronis tidak memberikan tujuan

yang bermanfaat, selain menjadi bagian dari masalah. Respons

fisiologi terhadap nyeri meluas melebihi spasme otot dan respons

fight or flight (peningkatan tekanan darah, jantung, penurunan

motilitas lambung dan usus). Nyeri menganggu kualitas dan

kuantitas tidur sehingga menyebabkan keletihan dan kemungkinan

disorientasi. Metabolisme dan kebutuhan oksigen miokardium

meningkat. Katabolisme (pemecahan jaringan tubuh) meningkat,

dan penyembuhan terganggu. Fungsi imun tertekan, meningkatkan

resiko infeksi (Priscilla, 2015 dalam Suriya dan Zuriati, 2019).

6. Factor yang Mempengaruhi Nyeri

Menurut Potter and Perry (2012), beberapa hal yang dapat

mempengaruhi nyeri.

a. Umur

Umur dapat mempengaruhi nyeri terutama pada anak-

anak dan dewasa akhir (lansia). Anak- anak memiliki kesulitan

dalam mengenal atau memahami nyeri dan prosedur-prosedur

yang diberikan oleh perawat yang menyebabkan nyeri. Anak-

anak yang kemampuan kosakatanya belum berkembang

memiliki kesulitan dalam menggambarkan dan

mengekspresikan nyeri secara verbal kepada orang tuanya atau

petugas kesehatan. Anak usia 1-3 tahun (toddler) dan usia 4-5

tahun (prasekolah) belum mampu mengingat penjelasan tentang


nyeri atau yang berhubungan dengan nyeri, dengan pengalaman

yang terjadi pada situasi yang berbeda-beda. Nyeri bukanlah hal

yang tidak dapat dielakkan dari proses penuaan. Bagaimanapun,

orang dewasa memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk

mengalami berkembangnya kondisi patologis yang disertai oleh

nyeri. Nyeri memiliki potensial terhadap penurunan mobilisasi,

aktivitas harian, aktivitas sosial di luar rumah, dan toleransi

aktivitas. Kemampuan orang dewasa dalam menafsirkan nyeri

yang dirasakan sangat sukar. Mereka terkadang menderita

banyak penyakit dengan gejala yang samar-samar/ tidak jelas

yang terkadang mempengaruhi bagian-bagian tubuh yang sama.

Akibat dari proses penuaan yang mengakibatkan penurunan

fungsi-fungsi dari tubuh sehingga mempengaruhi rasa nyeri.

b. Jenis kelamin

Jenis kelamin dalam hubungannya dengan faktor yang

mempengaruhi nyeri adalah bahwasannya laki-laki dan wanita

tidak mempunyai perbedaan secara signifikan mengenai respon

mereka terhadap nyeri. Misalnya, anak laki-laki harus berani

dan tidak boleh menangis dimana seorang wanita dapat

menangis dalam waktu yang sama.

c. Kelemahan

Kelemahan meningkatkan persepsi terhadap nyeri dan

menurunkan kemampuan untuk mengatasi masalah. Apabila


kelemahan terjadi disepanjang waktu istirahat, persepsi

terhadap nyeri akan lebih besar. Nyeri terkadang jarang dialami

setelah tidur/istirahat cukup daripada di akhir hari yang panjang.

d. Gen

Riset terhadap orang yang sehat mengungkapkan bahwa

informasi genetik yang diturunkan dari orang tua

memungkinkan adanya peningkatan atau penurunan sensitivitas

seseorang terhadap nyeri. Pembentukan sel-sel genetik

kemungkinan dapat menentukan ambang nyeri seseorang atau

toleransi terhadap nyeri.

e. Kecemasan

Tingkat dan kualitas nyeri yang diterima klien

berhubungan dengan arti dari nyeri tersebut. Hubungan antara

nyeri dan kecemasan bersifat kompleks. Kecemasan terkadang

meningkatkan persepsi terhadap nyeri, tetapi nyeri juga

menyebabkan perasaan cemas. Sulit untuk memisahkan kedua

perasaan tersebut. Stimulus nyeri yang mengaktivasi bagian dari

sistem limbik dipercaya dapat mengontrol emosi, terutama

kecemasan. Sistem limbik memproses reaksi emosional

terhadap nyeri, apakah dirasa menganggu atau berusaha untuk

mengurangi nyeri tersebut.


f. Suku bangsa dan budaya

Nilai-nilai dan kepercayaan terhadap budaya

mempengaruhi bagaimana seseorang individu mengatasi rasa

sakitnya. Individu belajar tentang apa yang diharapkan dan

diterima oleh budayanya, termasuk bagaimana reaksi terhadap

nyeri tersebut. Ada perbedaan makna dan prilaku yang

berhubungan dengan nyeri antara beragam kelompok budaya

orang yang mengalami nyeri. Budaya memengaruhi ekspresi

nyeri. Beberapa budaya percaya bahwa menunjukkan rasa sakit

adalah hal yang wajar. Sementara yang lain cenderung untuk

lebih introvert.

7. Manajemen Nyeri

a. Manajemen Farmakologi

Teknik farmakologi adalah cara yang paling efektif

untuk menghilangkan nyeri terutama untuk nyeri yang sangat

hebat yang berlangsung selama berjam-jam atau bahkan

berhari-hari. Pemberian analgesik biasanya dilakukan untuk

mengurangi nyeri. Selain itu, untuk mengurangi nyeri umumnya

dilakukan dengan memakai obat tidur. Namun pemakaian yang

berlebihan membawa efek samping kecanduan, bila overdosis

dapat membahayakan pemakainya (Smeltzer and bare, 2002

dalam Suriya dan Zuriati, 2019).


b. Manajemen non-farmakologi

Price dan Wilson (2005) dalam Suriya dan Zuriati

(2019), menyatakan bahwa metode non farmakologik untuk

mengendalikan nyeri dapat dibagi menjadi 2 kelompok yaitu

terapi modalitas fisik dan strategi kognitif-perilaku.

1) Terapi modalitas

a) Terapi dan modalitas fisik

Terapi fisik untuk meredakan nyeri mencakup

beragam bentuk stimulasi kulit (pijat atau masase,

stimulasi saraf dengan listrik transkutis, akupungtur,

akupresur, aplikasi panas atau dingin).

b) Pijat dan Massage

Pijat dapat dilakukan dengan jumlah tekanan

dan stimulasi yang bervariasi terhadap berbagai

titiktitik pemicu miofasial di seluruh tubuh. Untuk

mengurangi gesekan digunakan minyak atau losion.

Pijat akan melemaskan ketegangan otot dan

meningkatkan sirkulasi lokal.

c) Akupuntur

Akupuntur adalah teknik kuno dari cina berupa

insersi jarum halus ke dalam berbagai “titik akupuntur

(pemicu)” diseluruh tubuh untuk meredakan nyeri.

Akupuntur digunakan secara luas di Cina dan pernah


digunakan untuk melakukan bedah mayor tanpa

pemakaian anestesik. Pemakaian akupuntur

memerlukan pelatihan khusus dan mulai populer di

Barat. Efektivitas metode ini mungkin dapat dijelaskan

dengan teori kontrol gerbang dan teori bahwa

akupuntur merangsang pelepasan opoid endogen (Price

dan Wilson, 2005 dalam Suriya dan Zuriati 2019).

d) Aplikasi panas

Aplikasi panas adalah tindakan sederhana yang

telah lama diketahui sebagai metode yang efektif untuk

mengurangi nyeri atau kejang otot. Panas dapat

disalurkan melalui konduksi (botol air panas, bantalan

pemanas listrik, lampu, kompres basah panas),

konveksi (whirpool, sitz bath, berendam air panas) atau

konversi (ultrasonografi, diatermi). Nyeri akibat

memar, spasme otot, dan artritis berespons baik

terhadap panas.

e) Aplikasi dingin

Aplikasi dingin lebih efektif untuk nyeri akut

(misalnya, trauma akibat luka bakar, tersayat, terkilir).

Dingin dapat disalurkan dalam bentuk berendam atau

kompres air dingin, kantung es, aquamatic K pads dan

pijat es. Aplikasi dingin mengurangi aliran darah ke


suatu bagian dan mengurangi perdarahan serta edema.

Terapi dingin menimbulkan efek analgetik dengan

memperlambat kecepatan hantaran saraf sehingga

impuls nyeri yang mencapai otak lebih sedikit.

2) Strategi kognitif-perilaku

Strategi kognitif perilaku bemanfaat dalam

mengubah persepsi pasien terhadap nyeri, mengubah

perilaku nyeri, dan memberi pasien perasaan yang lebih

mampu untuk mengendalikan nyeri. Strategi-strategi ini

mencakup relaksasi, penciptaan khayalan (imagery),

hipnosis, dan biofeedback.

a) Relaksasi

Relaksasi adalah suatu usaha menurunkan nyeri

atau menjaga agar tidak terjadi nyeri yang lebih berat

dengan menurunkan ketegangan otot. Cara lain untuk

menginduksi relaksasi adalah olahraga bernapas

dalam, meditasi, dan mendengarkan music-musik yang

menenangkan.Teknik relaksasi meliputi meditasi,

yoga, zen, teknik imajinasi, dan latihan relaksasi

progresif (kombinasi latihan pernafasan yang

terkontrol dan rangkaian kontraksi serta relaksasi

kelompok otot). Teknik relaksasi relaksasi dapat

dilaksanakan melalui relaksasi otot, teknik nafas dalam


dan imajinasi terbimbing (Iin Piandita, 2012 dalam

Suriya dan Zuriati, 2019).

b) Hipnosis

Hipnosis adalah suatu metode kognitif yang

bergantung pada bagaimana memfokuskan perhatian

pasien menjauhi nyeri. Metode ini juga bergantung

pada kemampuan ahli terapi untuk menuntun perhatian

pasien ke bayangan-bayangan yang paling konstruktif.

Intervensi pengalihan paling efektif apabila digunakan

untuk nyeri akut tetapi juga dapat efektif pada nyeri

kronik (Price dan Wilson, 2005 dalam Suriya dan

Zuriati, 2019).

c) Biofeedback

Merupakan terapi prilaku yang dilakukan

dengan individu informasi tentang respon fisiologis.

Terapi ini digunakan untuk menghasilkan relaksasi

dalam dan sangat efektif mengatasi ketegangan otot

dan nyeri (Price dan Wilson, 2005 dalam Suriya dan

Zuriati, 2019).

c. Pengukuran Skala nyeri

Potter & Perry (2006) dalam Suriya dan Zuriati (2019),

menyatakan terdapat beberapa skala untuk melakukan

pengkajian keparahan nyeri yaitu.


1) Skala deskriptif sederhana

Skala deskriptif merupakan alat pengukuran tingkat

keparahan nyeri yang lebih obyektif. Skala pendeskripsian

verbal yang disebut verbal descriptor scale (VDS) yaitu

sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata

pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di

sepanjang garis. Pendeskripsi ini dirangking dari “tidak

terasa nyeri” sampai nyeri yang tidak tertahankan. Perawat

menunjukkan klien skla tersebut dan meminta klien untuk

memilih intensitas nyeri terbaru yang dirasakan pasien. Alat

VDS ini memungkinkan klien memilih sebuah kategori

untuk mendeskripsi nyeri. Skala ini didigambarkan sebagai

berikut.

Gambar 2.1. Skala nyeri deskriptif sederhana

Sumber: Suriya dan Zuriati (2019)

2) Skala penilaian numerik

Skala penilaian numerik (numerical rating scales)

digunakan untuk mendeskripsikan nyeri. Klien menilai

nyeri dengan menggunakan skala 0-10. skala paling efektif

digunakan untuk mengkaji intensitas nyeri sebelum dan


setelah intervensi terapeutik. Apabila digunakan skala untuk

menilai nyeri maka direkomendasikan patokan 10 cm, yang

digambarkan sebagai berikut.

Gambar 2.2. Skala pengukur nyeri numerik

Sumber: Suriya dan Zuriati (2019)

Keterangan:

Skala 0 = tidak nyeri

Skala 1-3 = nyeri ringan

Skala 4-6 = nyeri sedang

Skala 7-9 = nyeri berat

Skala 10 = nyeri tak tertahankan

3) Skala Analog Visual

Skala analog visual atau disebut Visual Analog Scale

(VAS) tidak melabel subdivisi. VAS merupakan satu garis

lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus-menerus

dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya.

Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk

mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan

pengukur keparahan nyeri yang lebih sensitif karena klien


dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada

dipaksa memilih satu kata atau satu angka.

Gambar 2.3. Skala pengukuran analog visual

Sumber: Suriya dan Zuriati (2019)

4) Wong And Baker

Skala terdiri dari enam wajah dengan profil kartun

yang menggambarkan wajah dari wajah yang sedang

tersenyum (tidak merasa nyeri) kemudian secara bertahap

meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang

sangat sedih, sampai wajah yang sangat ketakutan. (Potter

& Perry, 2005 dalam Suriya dan Zuriati, 2019).

Gambar 2.4. Skala pengukuran wong and Baker

Sumber: Suriya dan Zuriati (2019)

5) Mankoski Pain Scale

Sebuah skala numerik sakit, dikembangkan oleh

Andrea Mankoski pada tahun 1995 (Balinski, 2011).


Tabel 2.3. Skala pengukuran Mankoski pain scale

No Respon Nyeri Keterangan

Tidak ada nyeri Tidak ada obat-obatan yang


0
dibutuhkan

Gangguan sangat Tidak ada obat-obatan

1 kecil-kedutan kesil yang dibutuhkan

sesekali

Minor jengkel- Tidak ada obat-obatan


2
kedutan kuat sesekali yang dibutuhkan

Cukup mengganggu Obat penghilang rasa sakit

3 untuk menjadi ringan yang efektif

mengganggu (aspirin, ibuprofen)

Bisa diabaikan jika Obat penghilang rasa sakit

anda benar-benar ringan mengurangi rasa

4 terlibat dalam sakit selama 3-4 jam

pekerjaan anda, tapi

masih mengganggu

Tidak dapat diabaikan Obat penghilang rasa sakit

5 selama lebih dari 30 ringan mengurangi rasa

menit sakit selama 3-4 jam

Tidak dapat diabaikan Obat penghilang rasa sakit

6 untuk waktu yang yang lebih kuat (codeine,

lama, namun anda


masih bisa pergi Vicodin) mengurangi rasa

bekerja dan sakit selama 3-4 jam

berpartisipasi dalam

kegiatan sosial

Membuat sulit untuk Obat penghilang rasa sakit

berkonsentrasi, yang kuat hanya sebagian

mengganggu tidur yang efektif. Obat

7 anda masih dapat penghilang rasa sakit

berfungsi dengan terkuat menghilangkan

usaha rasa sakit (oxycontin,

morfin)

Aktivitas fisik sangat Obat penghilang rasa sakit

terbatas. Anda dapat adalah minimal efektif.

membaca dan Obat penghilang rasa sakit

berkomunikasi terkuat mengurangi rasa


8
dengan usaha. Mual sakit selama 3-4 jam

dan pusing mengatur

sebagai factor rasa

sakit

Tidak dapat berbicara. Obat penghilang rasa sakit

9 Menangis atau terkuat hanya sebagian

merintih tak efektif


terkendali-dekat

delirium

Bawah sadar. Nyeri Obat penghilang rasa sakit

10 membuat anda terkuat hanya sebagaian

pingsan efektif

Keterangan: menurut penelitian Israwini, 2016

No Keterangan

0 Bebas dari rasa nyeri

Gangguan sangat ringan, sesekali terasa tusukan


1
ringan. Obat-obatan tidak dibutuhkan

Gangguan ringan, sesekali terasa tusukan kuat.


2
Obat-obatan tidak dibutuhkan

Gangguan mampu memecahkan konsentrasi,


3
membutuhkan obat-obatan penghilang nyeri ringan

Dapat diabaikan dengan bekerja bersungguh-

4 sungguh, tetapi tetap memecahkan konsentrasi.

Nyeri akan berkurang 3-4 jam

Tidak dapat diabaikan untuk waktu lebih dari 30


5
menit, setelah 3-4 jam berkurang

Tidak dapat diabaikan sepanjang waktu tetapi masih


6
dapat bekerja dari melakukan aktivitas social.
Memakai obat-obatan penghilang nyeri dalam dosis

tinggi (analgetik kuat) untuk mengurangi sedikit saja

Sulit berkonsentrasi, tidur terganggu dengan


7
bersusah payah masih dapat melakukan aktivitas

Hanya melakukan aktivitas terbatas, dapat


8
memabaca dan mengobrol dengan bersusah payah

Nyeri begitu kuat sehingga anda tidak bisa

menolerirnya dan sampai-sampai menuntut untuk


9
segera menghilangkan rasa sakit apapun caranya,

tidak peduli apa efek samping atau risikonya

Sakit tak terbayangkan tak dapat diungkapkan.


10
Nyeri begitu kuat tak sadarkan diri.

Sumber: Suriya dan Zuriati (2019)

d. Cara Menilai Nyeri

Menurut Marilynn Jackson dan Lee Jackson (2009)

dalam Suriya dan Zuriati (2019), penilaian nyeri berdasarkan

OPQRST.

Tabel 2.4. Cara penilaian nyeri

Inisial Deskripsi Contoh Pertanyaan

Onset Tentukan kapan terjadi

O ketidaknyamanan yang membuat

asien mulai mencari bantuan


Provocation Tanyakan apa yang memperburuk

(provokasi) nyeri atau ketidaknyamanan. Apakah

P posisi? Apakah memburuk dengan

menarik napas dalam atau palpasi

pada dada? Apakah nyeri mentap?

Quality Tanyakan bagaimana jenis nyerinya.

Q (kualitas) Biarkan pasien menjelaskan dengan

bahasanya sendiri

Radiation Apakah nyeri berjalan (menjalar) ke


R
(radiasi) bagian tubuh yang lain? Di mana?

Severity Gunakan perangkat penilaian skala

(keparahan) nyeri (sesuai untuk pasien) untuk

pengukuran keparahan nyeri yang

S konsisten. Gunakan skala nyeri yang

sama untuk menilai kembali

keparahan nyeri dan apakah nyeri

berkurang atau memburuk

Time Berapa lama nyeri berlangsung, dan

T (waktu) apakah hilang timbul atau terus

menerus?

Sumber: Suriya dan Zuriati (2019)


2.1.3 Konsep Massage

1. Definisi

Pijat atau massage adalah metode penyembuhan atau terapi

kesehatan tradisional, dengan cara memberikan tekanan kepada

tubuh baik secara terstruktur, tidak terstruktur, menetap, atau

berpindah tempat dengan memberikan tekanan, gerakan, atau

getaran, baik dilakukan secara manual ataupun menggunakan alat

mekanis. Pijat biasanya menggunakan tangan, jemari, sikut, lengan,

kaki, atau alat pemijat. Pijat dapat memberikan relaksasi, rasa

nyaman, dan kebugaran. Pada beberapa kasus, pijat dapat

digolongkan sebagai tindakan medis terapi penyembuhan, misalnya

pada kasus kram otot, terkilir, atau keseleo. Pijat dapat berupa

kegiatan terapi kesehatan, bersifat rekreasional, atau bersifat

seksual (Wikipedia, 2021).

Perkataan massage dalam bahasa arab dan perancis berarti

menyentuh atau meraba. Dalam bahasa indonesia disebut pijat atau

urut. Selain itu massage dapat diartikan sebagai pijat yang telah

disempurnakan dengan ilmu-ilmu tentang tubuh manusia atau

gerakan-gerakan tangan yang mekanis terhadap tubuh manusia

dengan mempergunakan bermacam-macam bentuk pegangan atau

teknik (Trisnowiyanto B., 2012 dalam Damayanti, Rizky Tiara,

2018).
Bagian belakang merupakan bagian tubuh yang membawa

banyak ketegangan dan back massage merupakan gerakan relaksasi

yang paling sering banyak diminati. Dalam back massage jangan

terlalu banyak menggunakan tekanan lebih baik menjaga agar irama

tetap melebar dan sejalan dengan cara duduk ke sisi pasangan anda

oleskan minyak secara merata di punggung dengan sentuhan halus

ke atas mengikuti aliran darah bening (McGilvery, 2004 dalam

Damayanti, Rizky Tiara, 2018). Menurut Potter dan Perry (2009)

dalam Damayanti, Rizky Tiara (2018), Massage yang dilakukan

pada punggung, bahu, lengan dan kaki selama 3 sampai 5 menit

dapat merelaksasikan otot dan memberikan istirahat yang tenang

dan kenyamanan.

2. Manfaat Massage

Manfaat pijat seperti yang dikutip dari allwornestalk dalam

Quintas, Ovindiana D.D. dan Aty, Yoani M.V.B. (2016), adalah

sebagai berikut:

a. Pijat mempengaruhi jaringan tubuh untuk memperluas kapiler

dan kapiler cadangan, sehingga pada akhirnya akan

meningkatkan aliran darah ke jaringan dan organ, meningkatkan

proses reduksi oksidasi,memfasilitasi jantung dan berkontribusi

terhadap redistribusi darah dalam tubuh.


b. Pijat juga memberikan sedikit jumlah peningkatan trombosit,

leukosit, eritrosit dan hemoglobin tanpa menganggu

keseimbangan asam basa.

c. Jika dilakukan secara tepat, pijat dapat mempengaruhi sistem

saraf perifer, meningkatkan rangsangan dan konduksi implus

saraf, melemahkan dan menghentikan rasa sakit dengan

mempercepat proses pemulihan saraf yang cedera.

d. Pijat mempercepat aliran getah bening yang meningkatkan gizi

jaringan, mengurangi statis pada sendi serta organ dan jaringan

lain.

e. Pijat memiliki efek fisiologis yang beragam terhadap kulit dan

fungsinya, seperti membersihkan saluran keringat, kelenjar

sebaceous, meningkatkan fungsi sekresi, eksresi dan pernapasan

kulit.

f. Pijat bisa membuat otot menjadi fleksibel, meningkatkan fungsi

kontraktil yang mempercepat keluarnya metabolit yang

merupakan hasil dari metabolisme.

g. Pijat membantu mengeluarkan cairan yang terdapat didalam

otot-otot dan memulihkan keadaan normalnya.

h. Pijat membantu memperbaiki sirkulasi dan menurunan tekanan

darah. Karena sirkulasi membaik, maka organ-organ yang ada

dalam tubuh akan berfungsi dan bekerja lebih baik.


3. Teknik-teknik Dasar Massage

Menurut Rianto, S. (2005) dalam Damayanti, Rizky Tiara

(2018), teknik-teknik dasar massage yaitu sebagai berikut.

a. Perkusi (memukul drum atau tapotement)

Jari-jari pemijat memukul permukaan tubuh pasien. Pada

umumnya perkusi dilakukan dengan pinggir tangan dengan

gerakan mencincang dengan cepat, meskipun pukulan-pukulan

tersebut tidak keras. Tipe gerakan ini di gunakan pada tempat-

tempat seperti pantat, paha, pingang, atau bahu dimana terdapat

bentangan daging yang luas.

b. Friksi (tekanan)

Pijatan friksi digunakan untuk menembus jaringan otot dalam.

Friksi sering digunakan pada para penari atlet yang mengalami

gangguan pada jaringan ikat dan urat yang rusak. Teknik ini

dapat merangsang aliran darah sehinga gerakan gerakan

persendian dapat membaik.

c. Effleurage (urut)

Effleurage dilakukan secara pelan, berirama, dan terkendali

dengan menggunakan kedua tangan bersamaan dengan sebuah

ruang kecil diantara kedua ibu jari. Pengurutan-pengurutan kecil

yang menggelinding memiliki efek relaksasi pada susunan saraf

dan dapat mengurangi nyeri.


d. Petrissage (meremas)

Petrissage sangat cocok untuk mengatasi otot sakit atau tegang,

khususnya otot trapesium antara leher dan bahu. Tindakan

meremas dilakukan cukup dalam merangsang getah bening

untuk membuang tumpukan asam susu.

4. Jenis-jenis Terapi Massage

Beberapa jenis terapi massage menurut Quintas, Ovindiana

D.D. dan Aty, Yoani M.V.B. (2016) antara lain adalah sebagai

berikut.

a. Swedish massage

Teknik massage ini merupakan teknik massage yang

paling banyak digunakan, dilakukan dengan mengoleskan

minyak atau krim untuk melemaskan kulit dan di kombinasikan

dengan memberikan tekanan yang dalam untuk merelaksasikan

otot. Teknik ini dapat memperlancar aliran darah untuk

mengeluarkan sampah metabolisme otot. Teknik ini juga dapat

merelaksasikan ligamen dan tendon, menstimulasi saraf dan

mengurangi stres. Secara umum teknik ini bertujuan untuk

merelaksasikan otot. Pada dasarnya teknik masase yang

digunakan dapat dikelompokan menjadi tiga kelompok yaitu.

a) Stroking manipulations

Terdiri dari teknik effleurage dan stroking


(1) Effleurage (menggosok), yaitu gerakan ringan berirama

yang dilakukan pada seluruh permukaan tubuh.

Effleurage menggunakan seluruh permukaan telapak

tangan dan jari-jari untuk menggosok daerah tubuh

tertentu. Efek yang timbulkan adalah dapat

memperlancar aliran balik vena maupun limfatik,

membantu pertukaran cairan jaringan, membantu

pembuangan sampah hasil metabolisme dan

mengurangi ketegangan otot.

(2) Stroking (mengurut) yaitu manipulasi dengan

menggunakan ujung-ujung jari, terutama tiga jari

tengah, atau hanya ibu jari, pelaksanaannya seperti

manipulasi effleurage. Teknik ini dapat meningkatkan

sensori analgesia.

b) Pressure or petrissage manipulations

Tehknik ini terdiri dari tehnik picking up, wringing, rolling,

dan shaking.

(1) Shaking atau kneading (menggoncang) dilakukan

dengan seluruh permukaan telapak tangan dan jari-jari,

dua tangan bersama-sama atau satu tangan saja pada

otot yang lebar dan tebal dengan digoncangkan. Teknik

ini dapat menstimulasi aliran darah vena dan limfatik,

meningkatkan gerakan jaringan fibrus, mengeluarkan


sampah hasil metabolisme dan membantu jaringan

lunak agar siap melakukan latihan (exercise).

(2) Picking up dilakukan dengan melakukan penekanan

pada jaringan selanjutnya jaringan diangkat, diperas

dan kemudian dilepaskan. Tehnik ini memberikan efek

yang sama dengan tehnik shaking dan biasanya

digunakan setelah melakukan tehnik effleurage dan

kneading. Tehnik ini juga baik digunakan untuk

mobilisasi jaringan lunak.

(3) Wringing pada tehnik ini dilakukan penekanan pada

jaringan dengan cara satu tangan menekan kearah

fisiotherapis dan tangan lainnya menekan kearah

samping. Efek yang diberikan sama dengan tehnik

kneading.

(4) Rolling tehnik ini dapat dilakukan menggunakan

seluruh jari-jari tangan. Terdapat dua tehnik rolling

yaitu skinrolling dan muscle rolling. Tujuan dari tehnik

ini untuk meloggarkan atau memisahkan kembali

lengketan-lengketan yang terjadi antara kulit dengan

jaringan-jaringan dibawahnya.
c) Percussive or tapotement manipulations

Tehnik ini meliputi tehnik hacking, clapping, beating,

pounding, dan vibration. Tehnik ini secara spesifik lebih

banyak digunakan untuk kegiatan olahraga.

(1) Hacking Manipulasi ini dilakukan dengan cara lengan

diabduksikan dengan siku yang lebih dibengkokan.

Tehnik ini bertujuan untuk menstimulasi aliran arah

lokal dan menstimulasi otot.

(2) Clapping Dilakukan dengan cara tangan dibuat

melengkung tetapi tidak rapat dan daerah yang diterapi

hanya terkena telapak tangan dan jari-jari, sedangkan

pergelangan tangan melakukan gerakan fleksi dan

ekstensi.

b. Terapi trigger point

Terapi ini diberikan pada otot-otot yang membentuk

nodul-nodul pada yang menyebabkan nyeri yang menjalar.

Tujuannya adalah mengurangi spasme otot, meningkatkan

sirkulasi darah dan melepaskan trigger point. Setelah trigger

point terlepas, lalu disemprotkan bahan pendingin yaitu jenis

fluorimethane yang bermanfaat sebagai anastesi lokal dan

meregangkan otot. Efek terapi ini adalah menghilangkan nyeri,

mengurangi spasme otot dan meregangkan jaringan.


c. Tehnik friction

Friction (menggerus), yaitu gerakan menggerus yang

arahnya naik dan turun secara bebas. Friction menggunakan

ujung jari atau dengan ibu jari dengan cara menggeruskan secara

melingkar seperti spiral pada bagian otot tertentu. Tujuannya

adalah membantu menghancurkan myogeloasis, yaitu timbunan

sisa-sisa pembakaran energi (asam laktat) yang terdapat pada

otot yang menyebabkan pengerasan pada otot (Wahyuni, 2014).

5. Prosedur Tindakan Back Massage

Menurut Becker (2007) dalam Damayanti, Rizky Tiara

(2018), teknik pijat punggung meliputi.

1. Posisikan pasien senyaman mungkin (duduk atau tidur dengan

posisi miring).

2. Mengusap seluruh bagian punggung, gunakan kedua tangan

usap mulai dari punggung bawah atau daerah pinggul, satu

tangan berada pada sisi tulang punggung, jari-jari mengarah ke

kepala dan lakukan usapan melebar ke bahu, lakukan gerakan

ini beberapa kali untuk merangsang relaksasi, dan membiasakan

pasien dengan tangan anda.

3. Lakukan usapan keluar punggung dengan ujung telapak tangan

saling berhadapan anda mulai dari pinggang sampai punggung.

4. Lakukan gerakan friksi dengan meletakkan kedua ibu jari

diantara kedua sisi otot tulang belakang dan lakukan gerakan


memutar mulai dari pinggang sampai atas bahu, lakukan dengan

perlahan, kuat dan menusuk karena anda berusaha mencari

simpul dan nodula di punggung.

5. Lakukan gerakan spinal thumb gliding yaitu letakkan ibu jari

diatas lekukan dan luncurkan ibu jari anda ke atas menuju leher

dengan tekanan kuat.

6. Lakukan gerakan ironing yaitu dengan menekan bagian

punggung dengan tangan dan diikuti dengan lengan bawah anda

ke arah atas menuju bahu dan kembali ke bawah.

7. Lakukan gerakan friksi pada puncak sambungan tulang, cari

lekukan dengan ibu jari dan lakukan massage dengan memutar.

8. Lakukan gerakan petrissage, yaitu memijat daerah gluteal dan

punggung bawah. Pijat ototnya dengan pelan dan menyeluruh

dengan gerakan meremas, memutar dan memiijat dengan keras.

9. Lakukan masssage pada lingkar bahu lakukan gerakan memutar

dan meremas dengan menggunakan kedua tangan di sekitar

bidang bahu untuk menghangatkan dan merenggangkan daerah

tersebut.

10. Lakukan gerakan effleurage dengan kuat mulai dari belakang

leher ke bahu arah luar masuk ke daerah scapula menuju simpul

getah aksiler yang ada di ketiak.


11. Lakukan pelemasan leher pijat bagian leher dengan kedua

tangan sesuai dengan kontur leher pasien dengan pelan dan

lembut.

12. Lakukan pelemasan punggung dengan menggunakan gerakan

effleurage.

13. Terakhir tutup bagian punggung pasien dengan handuk dan

gerakan tangan anda dari atas ke bawah.

2.2 Tinjauan Teori Keperawatan

2.2.1 Definisi

Definisi menurut The International Association for the Study of

Pain, nyeri didefinisikan sebagai suatu rasa yang tidak menyenangkan

dan merupakan pengalaman emosional yang berhubungan dengan

kerusakan jaringan dan terkadang nyeri digunakan untuk menyatakan

adanya kerusakan jaringan (Suriya dan Zuriati, 2019). Nyeri punggung

bawah adalah nyeri yang terbatas pada region lumbal, tetapi gejalanya

lebih merata dan tidak hanya terbatas pada satu radiks saraf, namun

secara luas berasal dari discus intervertebalis lumbal (Dachlan, 2009

dalam Suriya dan Zuriati, 2019). Low back pain atau nyeri punggung

bawah merupakan salah satu gangguan musculoskeletal yang

disebabkan oleh aktivitas tubuh yang kurang baik (Maher, 2002 dalam

Suriya dan Zuriati, 2019).

Kirthika (2016) dalam Suriya dan Zuriati (2019), menyatakan

bahwa nyeri punggung bawah atau low back pain adalah kelainan
umum yang melibatkan otot dan tulang, sumber rasa sakit yang dialami

individu ini adalah karena cedera pada struktur jaringan lunak yang

meliputi otot, fascia dan ligament. Low back pain merupakan suatu

nyeri pada daerah punggung bawah yang dihasilkan dari rangsangan

fisik atau sikap tubuh yang buruk (poor posture), merupakan suatu

proses kumulatif yang menyebabkan punggung bagian bawah di bawah

tekanan mekanik yang berat yang menyebabkan penurunan disabilitas

dan keterbatasan gerak sendi lumbosacral.

Nyeri punggung bawah berhubungan dengan unsur moigenik

dengan stress atau strain otot punggung bawah, tendon, ligament yang

biasanya melakukan aktivitas sehari hari secara berlebihan. Nyeri

bersifat tumpul, intensitas bervariasi dan seringkali menjadi kronik.

Nyeri ini tidak disertai dengan parestesi, kelemahan atau deficit

neorologis, bila batuk atau bersin tidak menjalar ke tungkai. Gangguan

yang terjadi pada low back pain yaitu nyeri tekan pada regiolumbal,

spasme otot-otot punggung bawah, sehingga dapat mengakibatkan

ketidakseimbangan antara otot abdominal dan para vertebrae, yang

dapat mengakibatkan terjadinya keterbatasan gerak. Adanya

ketidakseimbangan tersebut akan menyebabkan penururnan mobilitas

lumbal akibat adanya nyeri, spasme, dan ketidakseimbangan otot

tersebut, sehingga aktivitas fungsional tergnggu, terutama aktivitas

yang memerlukan gerak membungkuk dan memutar badan (Meliala

dan Pinzon, 2004 dalam Suriya dan Zuriati, 2019).


2.2.2 Etiologi

Menurut Borrenstein (2004) dalam Suriya dan Zuriati (2019), factor-

faktor penyebab nyeri punggung bawah sebagian besar berasal dari

factor mekanik, dapat diklasifikasikan menjadi 2 kategori, yaitu sebagai

berikut.

1. Factor Mekanik Static

Factor mekanik static adalah diviasi sikap atau postur tubuh

yang menyebabkan peningkatan sudut lumbosacral (sudut antara

segmen Vertebrata L5 dan Vertebrata S1) yang normalnya 30-40o,

atau peningkatan lengkung lordotiklumbal dalam waktu yang

cukup lama, serta menyebabkan pergesaran titik pusat berat badan

(center of gravity/CoG), yang normalnya berada di garis tengah

sekitar 2,5 cm di depan segmen Vertebrata S2. Peningkatan sudut

lumbosacral dan pergeseran CoG tersebut akan menyebabkan

peregangan pada ligament dan berkontaksinya otot-otot yang

berusaha untuk mempertahankan postur tubuh yang normal,

akibatnya dapat terjadi sprain atau strain pada ligament atau otot-

otot sekitar punggung bawah yang menimbulkan nyeri. Kemudian

sikap tubuh atau postur yang jelek adalah sikap berdiri

membungkuk ke depam, tidak tegak, kepala menunduk, dada datar,

dinding abdomen menonjol dan punggung bawah sangat lordotik.

Keadaan ini akan membuat titik berat badan akan jatuh ke depan.

Sebagai kompensasi punggung harus ditarik ke belakang dan akan


menimbulkan hiperlordosis lumbal. Hal ini bila berlangsung lama

akan menimbulkan kelelahan otot dan rangsangan pada ligament-

ligamen yang akan dapat menimbulkan nyeri.

2. Factor Mekanik Dinamik

Factor mekanik dinamik atau kinetic yaitu terjadinya stress

atau beban mekanik abnormal pada struktur jaringan (ligament atau

otot) di daerah punggung bawah saat melakukan gerakan. Stress

atau beban mekanik tersebut melebihi kapasitas fisiologis atau

toleransi otot maupun ligament di daerah punggung bawah.

Gerakan yang potensial menimbulkan nyeri punggung bawah

musculoskeletal adalah gerakan kombinasi terutama fleksi dan

rotasi, dan bersifat repetif, apalagi disertai dengan beban, misalnya

ketika sedang mengangkat beban yang berat.

Adapun beberapa faktor risiko yang dapat menyebabkan

timbulnya atau memperberat Low back pain yaitu.

3. Faktor personal

a. Usia

Biasanya nyeri ini mulai dirasakan pada orang yang umurnya

memasuki dekade kedua dan insiden tertinggi dijumpai pada

dekade kelima. Bahkan keluhan nyeri punggung ini semakin

lama semakin meningkat hingga sekitar umur 55 tahun

(Tarwaka, 2004 dalam Nugroho, D.V.P., 2019).


b. Jenis Kelamin

Laki-laki dan perempuan memiliki risiko yang sama terhadap

keluhan nyeri punggung sampai umur 60 tahun, akan tetapi

pada kenyataannya jenis kelamin seorang dapat

mempengaruhi timbulnya keluhan nyeri punggung (Sinaki

dan Mokri, 2000). Hal ini disebabkan secara fisiologis,

kemampuan otot wanita memang lebih rendah dari pada pria

(Tarwaka, 2004 dalam Nugroho, D.V.P., 2019).

c. Indeks Masa Tubuh (IMT)

Pada orang yang berat badannya berlebih memiliki risiko

timbulnya nyeri punggung bawah lebih besar karena beban

pada sendi penumpu berat badan akan meningkat, sehingga

dapat memungkinkan terjadinya nyeri punggung bawah.

Berat badan yang berlebih dapat diukur dengan melakukan

plotting pada grafik CDC 2000 Stature-for-age and Weight-

for-age precentiles yang kemudian akan dihitung dengan

rumus dan diklasifikasikan (Kuczmarski, dkk., 2002 dalam

Nugroho, D.V.P., 2019).

d. Aktivitas fisik

Kebanyakan nyeri punggung bawah terjadi akibat adanya

gangguan muskuloskeletal dan diperberat oleh aktivitas,

sedangkan nyeri akibat keadaan lain tidak dipengaruhi oleh

aktivitas (Helmi, 2012 dalam Nugroho, D.V.P., 2019).


4. Faktor Pekerjaan

a. Beban Kerja

Beban kerja adalah sejumlah kegiatan yang harus

diselesaikan oleh seseorang ataupun sekelompok orang,

dalam periode waktu tertentu pada keadaan normal.

Pekerjaan atau gerakan yang menggunakan tenaga besar

akan memberikan beban mekanik yang besar terhadap

otot, tendon, ligamen dan sendi. Beban yang berat akan

menyebabkan iritasi, inflamasi, kelelahan otot,

kerusakan otot, tendon dan jaringan lainnya (Harrianto,

2009 dalam Nugroho, D.V.P., 2019).

b. Posisi Kerja

Posisi janggal adalah posisi tubuh yang menyimpang

secara signifikan dari posisi tubuh normal saat

melakukan pekerjaan. Posisi janggal dapat menyebabkan

kondisi di mana transfer tenaga dari otot ke jaringan

rangka tidak efisien sehinga mudah menimbulkan

kelelahan. Termasuk ke dalam posisi janggal adalah

pengulangan atau waktu lama dalam posisi menggapai,

berputar, memiringkan badan, berlutut, jongkok,

memegang dalam posisi statis dan menjepit dengan

tangan. Posisi ini melibatkan beberapa area tubuh seperti

bahu, punggung, dan lutut karena daerah inilah yang


paling sering cedera (Harris & Straker, 2000 dalam

Nugroho, D.V.P., 2019).

c. Repetisi

Repitisi merupakan pengulangan gerakan kerja dengan

pola yang sama. Dampak gerakan berulang akan

meningkat jika gerakan tersebut dilakukan dengan postur

janggal disertai beban yang berat dalam waktu yag lama.

Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan

akibat beban terus menerus tanpa memperoleh

kesempatan untuk relaksasi (Bridger, 2003 dalam

Nugroho, D.V.P., 2019).

d. Durasi

Durasi adalah jumlah waktu terpajan faktor risiko.

Durasi didefinisikan sebagai durasi singkat jika 2 jam per

hari. Durasi terjadinya postur janggal yang berisiko bila

postur tersebut dipertahankan lebih dari 10 detik. Risiko

fisiologis utama, yang dapat dihubungkan dengan

gerakan yang sering dan berulang-ulang, adalah

kelelahan otot. Selama berkontraksi otot memerlukan

oksigen, jika gerakan berulang-ulang dari otot menjadi

terlalu cepat sehingga oksigen belum mencapai jaringan

maka akan terjadi kelelahan otot (Humantech, 2003

dalam Nugroho, D.V.P., 2019).


5. Faktor Lingkungan Fisik

a. Getaran

Getaran berpotensi menimbulkan keluhan nyeri

punggung bawah ketika seseorang mengahabiskan

waktu lebih banyak di kendaraan atau lingkungan yang

memiliki hazard getaran. Selain itu getaran dapat

mengakibatkan kontraksi otot meningkat yang

menyebabkan peredaran darah terganggu, penimbunan

asam laktat meningkat dan akhirnya muncul rasa nyeri

(Tarwaka, 2004 dalam Nugroho, D.V.P., 2019).

b. Kebisingan

Kebisingan pada lingkungan, secara tidak langsung,

dapat mempengaruhi produktivitas seseorang dalam

beraktivitas. Kebisingan akan membuat orang

mengalami stress dan berdampak pada ketidaknyamanan

sehingga mengakibatkan nyeri punggung bawah

(Andini, 2015 dalam Nugroho, D.V.P., 2019).

2.2.3 Anatomi Fisiologi Low Back Region

1. Struktur

Ruas tulang punggung dikelompokkan menjadi.

1) Cervical/leher 7 ruas

2) Thoracalis/punggung 12 ruas

3) Lumbalis/pinggang 5 ruas
4) Sakralis/kelangkang 5 ruas

5) Koksigeus/ekor 4 ruas

2. Fungsi

Low back region berfungsi untuk menegakkan/menopang

postur struktur tulang belakang manusia. Postur tegak juga

meningkatkan gaya mekanik struktur tulang belakang

lumbrosakral.

Gambar 2.5 Tulang belakang dan lekukuannya

Sumber: Suriya dan Zuriati (2019)

Antar tulang belakang diikat oleh intervertebal, serta oleh

ligamen dan otot. Ikatan antar tulang yang lunak membuat tulang

punggung menjadi fleksibel. Sebuah unit fungsi dari dua bentuk

tulang yang berdekatan diperlihatkan dari gambar di bawah ini.


Gambar 2.6 Fungsi dasar tulang punggung

Sumber: Suriya dan Zuriati (2019)

a. Komponen punggung

1) Otot punggung

Ditunjang oleh punggung, perut, pinggang dan tungkai

yang kuat dan fleksibel. Semua otot ini berfungsi untuk

menahan agar tulang belakang dan diskus tetap dalam

posisi normal.

2) Diskus

Merupakan bantalan tulan rawan yang berfungsi sebagai

penahan goncangan. Terdapat diantara vertebrae sehingga

memungkinkan sendi-sendi untuk bergerak secara halus.

Tiap diskus mengandung cairan yang mengalir ke dalam

dan keluar diskus. Cairan ini berfungsi sebagai pelumas

sehingga memungkinkan punggung bergerak bebas.


Diskus bersifat elastis, mudah kembali ke bentuk semula

jika tertekan diantara kedua vertebra.

3) Otot-otot punggung

a) Spina erektor terdiri dari massa serat otot, berasal dari

belakang sakrum dan bagian perbatasan dari tulang

inominate dan melekat ke belakang kolumna vertebra

atas, dengan serat yang selanjutnya timbul dari

vertebra dan sampai ke tulang oksipital dari

tengkorak. Otot tersebut mempertahankan posisi

tegak tubuh dan memudahkan tubuh untuk mencapai

posisinya kembali ketika dalam keadaan fleksi.

b) Lastimus dorsi adalah otot datar yang meluas pada

belakang punggung. Aksi utama dari otot tersebut

adalah menarik lengan ke bawah terhadap posisi

bertahan, gerakan rotasi lengan ke arah dalam, dan

menarik tubuh menjauhi lengan pada saat mendaki.

Pada pernapasan yang kuat menekan bagian posterior

dari abdomen.

4) Otot-otot tungkai

Gluteus maksimus, gluteus medius, dan gluteus

minimus adalah otot-otot dari bokong. Otot-otot tersebut

semua timbul dari permukaan sebelah luar ilium, sebagian

gluteus maksimus timbul dari sebelah belakang sacrum.


Aksi utama otot-otot tersebut adalah mempertahankan

posisi gerak tubuh, memperpanjang persendian panggul

pada saat berlari, mendaki, dan saat menaiki tangga,

dalam mengangkat tubuh dari posisi duduk atau

membungkuk, gerakan abduksi dan rotasi lateral dari

paha.

2.2.4 Patofisiologi

Struktur- struktur jaringan yang sering terlibat dalam nyeri

punggung bawah atau low back pain antara lain otot, tendon, diskus,

ligament dan sendi pada vertebra lumbal sehingga struktur tersebut

sering mengalami inflamasi atau cidera pada kondisi dibawah tekanan

mekanik atau gerakan. Komponen struktural vertebra sangat sensitive

dan responsive terhadap stimuli nociceptive dalam hal ini nyeri seperti

pada peregangan ligamen, otot, fascia atau kapsul sendi secara terus

menerus yang dipengaruhi oleh beban mekanik baik secara statis

maupun dinamis. Nyeri terjadi jika saraf sensorisperifer, yang disebut

nociseptor terpicu oleh rangsang mekanik kimiawi maupun thermal

maka impuls nyeri akan dihantarkanke serabut-serabut afferen cabang

spinal, dari medula spinalis impuls diteruskan ke otak melalui traktus

spinotalamikus kolateral. Selanjutnya akan memberikan respon

terhadap impuls saraf tersebut. Respon tersebut berupa upaya untuk

menghambat atau mensupresi nyeri dengan pengeluaran substansi

peptideendogenyang mempunyai sifat analgesik yaitu endorphin.


Disamping itu impuls nyeri yang mencapai medulla spinalis,

akan memicu respon reflexpinal segmental yang menyebabkan spasme

otot dan vasokonstriksi. Spasme otot yang terjadi disini adalah

merupakan suatu mekanisme proteksi, karena adanya spasme otot akan

membatasi gerakan sehingga dapat mencegah kerusakan lebih berat,

namun dengan adanya spasme otot, juga terjadi vasokonstriksi

pembuluh darah yang menyebabkan ischemia dan sekaligus menjadi

titik picu terjadinya nyeri (Melialaand Pinzon, 2004 dalam Suriya dan

Zuriati, 2019).

Guyton and Hall (2006) dalam Suriya dan Zuriati (2019),

penyebab nyeri lainnya adalah ischemia, dimana ischemia dapat

menyebabkan akumulasi asam laktat dengan jumlah yang besar di

dalam jaringan, yang terbentuk sebagai konsekuensi dari metabolisme

anaerobik. Kemungkinan juga adalah keterlibatan unsur-unsur kimiawi

lainnya seperti bradykinindan enzim proteolytic yang terbentuk di

dalam jaringan karena adanya kerusakan sel. Keterlibatan kedua enzim

dan akumulasi asam laktat di dalam jaringan dapat merangsang ujung-

ujung saraf nyeri (reseptor nyeri). Disamping itu, muscle spasmjuga

penyebab umum dari nyeri.

Nyeri dapat berasal dari efek langsung dari muscle spasmyang

merangsang reseptor nyeri mechanosensitive tetapi dapat juga berasal

dari efek tidak langsung dari muscle spasm yang mengompresi

pembuluh darah sehingga menyebabkan ischemia. Hal ini akan


menciptakan pelepasan substance kimiawi penyebab nyeri. Adanya

spasme otot menyebabkan ketidak seimbangan otot abdominal dan para

vertebrae, maka akan membatasi mobilitas lumbal terutama untuk

gerakan membungkuk (fleksi) dan memutar (rotasi). Nyeri dan spasme

otot seringkali membuat individu takut menggunakan otot-

ototpunggungnya untuk melakukan gerakan lumbal, selanjutnya akan

menyebabkan perubahan fisiologi pada otot tersebut yaitu

berkurangnya massa otot dan penurunan kekuatan otot, akhirnya

menimbulkan gangguan aktivitas fungsionalnya.

Penyebab Spasme atau tightness merupakan manifestasi dari

reflex muscle guarding sebagai respon terhadap adanya stimulus nyeri.

Muscle spasm juga dapat terjadi sebagai respon terhadap perubahan

sirkulasi dan metabolik lokal yang terjadi ketika otot dalam keadaan

kontraksi yang terus menerus. Nyeri juga merupakan hasil dari adanya

perubahan lingkungan sirkulasi dan metabolik (Kisner and Colby, 2007

dalam Suriya dan Zuriati, 2019). Pada kondisi low back pain, jaringan

lunak yang sering mengalami muscle spasm adalah otot para vertebralis

lumbal. McKenzie and May, 2008 dalam Suriya dan Zuriati (2019),

menjelaskan bahwa nyeri yang berasal dari mechanical spine

disebabkan oleh deformasi mekanikal dari jaringan yang terganggu

secara struktural, dimana sebagian besar disfungsi terjadi pada

komponen artikular tetapi keterlibatan struktur kontraktil tidak dapat

diabaikan. Keadaan ini akan menyebabkan muscle tension


(spasme/tightness), scarring, adherence (perlengketan), pemendekan

adaptif atau kontraktur otot, atau perbaikan yang tidak sempurna.

2.2.5 Tanda dan Gejala

McKenzie (2008) dalam Suriya dan Zuriatti (2019),

mengemukakan tiga gejala utama yang termasuk dalam kelompok low

back pain.

1. Sindroma Postural, biasanya dijumpai pada usia dibawah 30

tahun terutama mereka yang pekerjaannya memerlukan posisi

duduk dan kurang berolah raga, nyerinya bersifat intermitendan

timbul akibat deformasi jaringan lunak, ketika jaringan lunak

sekitar segmen lumbal dalam posisi teregang dalam waktu yang

lama. Terlihat dalam posisi duduk yang salah termasuk adanya

forward head ounded shoulders dan fleksi berlebihan dari

punggung bawah.

2. Sindroma Disfungsi, biasanya dijumpai pada usia diatas 30 tahun,

kecuali jika disebabkan oleh trauma sering dijumpai adanya

postur yang buruk dalam jangka waktu lama (lebih dari 10 tahun)

dan berupa hasil akibat spondylosis , trauma, atau derangement.

Sindroma disfungsi adalah gejala kedua di mana terjadinya

adaptive shorthening dan hilangnya mobilitas yang menyebabkan

nyeri sebelum dapat mencapai gerakan akhir secara penuh. Pada

dasarnya, kondisi ini timbul karena gerakan yang dihasilkan tidak

cukup dilakukan pada saat pemendekan jaringan lunak


berlangsung. Disfungsi ini dinamakanberdasarkan gerakan yang

hilang atau dibatasi. Misalnya, disfungsifleksiakan membatasi

kemampuan seorang individu untuk membungkuk ke depan di

daerah tulang belakang.

3. Sindroma Derangement, biasanya dijumpai pada usia antara 20-

55 tahun, pasien mempunyai sikap duduk yang salah. Sindroma

derangementadalah situasi di mana posisi istirahat yang normal

dari dua permukaan artikular vertebra yang berdekatan terganggu

sebagai akibat dari perubahan posisi cairan nukleus. Perubahan

dalam sendi akan mempengaruhi kemampuan permukaan sendi

untuk bergerak dalam jalur normal.Kondisi ini menjadi

menyakitkan ketika terjadi intrudes nukluespada jaringan lunak

yang sensitif terhadap nyeri. Gejala cenderung tersentralisasi dan

akhirnya berkurang sebagai hasil dari relokasi diskus dan

deformitas jaringan sekitarnya berkurang (McKenzie and May,

2008).

Menurut McKenzie, low back pain ditandai dengan gejala

sebagai berikut.

1. Nyeri terjadi secara intermiten atau terputus-putus

2. Sifat nyeri tajam atau mendadak, dipengaruhi oleh sikap atau

gerakan yang bisa meringankan ataupun memperberat keluhan

3. Membaik setelah istirahat dalam waktu yang cukup dan memburuk

setelah digunakan untuk beraktivitas


4. Tidak ditemukan tanda-tanda radang seperti panas, warna

kemerah-merahan ataupun pembengkakan

5. Terkadang nyeri menjalar ke pantat atau paha

6. Terkadang ada morning stiffness atau nyeri

7. Nyeri terkadang bertambah hebat bila bergerak ekstensi, side

fleksi, rotasi, berdiri, berjalan atau duduk

8. Nyeri berkurang bila berbaring terutama tengkurap.

2.2.6 Pathway
Masalah musculoskeletal,gangguan
ginjal,masalah pelvis,tumor.

Kontraksi punggung

Tulang belakang menyerap


goncangan vertikal

Terjadi perubahan struktur


dengan discus susun atas fibri
fertilgo dan matrik gelatinus

Otot abdominal dan toraks Fibri kartilago


melemah padat dan tidak
teratur
Jarang bergerak
Mobilitas fisik terganggu Penonjolan
Struktur melemah diskus/kerusakan
sendi pusat
Kerusakan Penumpukan lemak
mobilitas fisik Menekan akar
karena tubuh kurang
syaraf
gerak

Gangguan
Nutrisi lebih dari
rasa nyaman
kebutuhan
nyeri

Sumber: Ice, Doni (2018)


2.2.7 Pemeriksaan Penunjang

1. Neurofisiologik

a. Electromyography (EMG)

b. Need EMG dan H-reflex dianjurkan bila dugaan disfungsi

radiks lebih dari 3-4 minggu

c. Bila diagnosis radikulapati sudah pasti secara pemeriksaan

klinis, pemeriksaan elektrofisiologik tidak dianjurkan.

d. Somatosensory Evoked Potensial (SSEP). Berguna untuk

stenosis kanal dan mielopati spinal.

2. Radiologik

a. Foto polos

b. Tidak direkomendasikan untuk evaluasi rutin penderita NPB.

c. Direkomendasikan untuk menyampingkan adanya kelainan

tulang.

d. Mielografi, mielo-CT, CT-Scan, Magnetik Resonance Imaging

(MRI)

e. Diindikasikan untuk mencari penyebab nyeri antara lain tumor,

HNP perlengketan

f. Discography tidak direkomendasikan pada NPB oleh karena

invasive
3. Laboratorium

a. Laju endap darah, darah perifer lengkap, C-reactif protein

(CRP), faktor rematoid, fosfatase alkali / asam, kalsium (atas

indikasi)

b. Urinalisa, berguna untuk penyakit non spesifik seperti infeksi,

hematuri

c. Likuor serebrospinal (atas indikasi)

2.2.8 Penatalaksanaan

1. Penata Laksanaan Keperawatan.

a. Informasi dan edukasi.

b. Pada NPB akut: Imobilisasi (lamanya tergantung kasus),

pengaturan berat badan, posisi tubuh dan aktivitas, modalitas

termal (terapi panas dan dingin) masase, traksi (untuk distraksi

tulang belakang), latihan: jalan, naik sepeda, berenang

(tergantung kasus), alat Bantu (antara lain korset, tongkat)

c. NPB kronik: psikologik, modulasi nyeri (TENS, akupuntur,

modalitas termal), latihan kondisi otot, rehabilitasi vokasional,

pengaturan berat badan posisi tubuh dan aktivitas.

2. Medis

a. Formakoterapi

1) NPB akut: Asetamenopen, NSAID, muscle relaxant, opioid

(nyeri berat), injeksi epidural (steroid, lidokain, opioid)

untuk nyeri radikuler


2) NPB kronik: antidepresan trisiklik (amitriptilin)

antikonvulsan (gabapentin, karbamesepin, okskarbasepin,

fenitoin), alpha blocker (klonidin, prazosin), opioid (kalau

sangat diperlukan)

b. Invasif non bedah

1) Blok saraf dengan anestetik lokal (radikulopati)

2) Neurolitik (alcohol 100%, fenol 30 % (nyeri neuropatik

punggung bawah yang intractable)

c. Bedah

HNP (Hernia Nukleus Pulposus), indikasi operasi.

1) Skiatika dengan terapi konservatif selama lebih dari empat

minggu: nyeri berat/intractable / menetap / progresif

2) Defisit neurologik memburuk

3) Sindroma kauda.

4) Stenosis kanal: setelah terjadi konservatif tidak berhasil

2.3 Teori Asuhan Keperawatan

2.3.1 Pengkajian

Data fokus yang perlu dikaji:

1. Riwayat kesehatan

a. Riwayat Penyakit

1) Keluhan Utama (keluhan yang dirasakan pasien saat

dilakukan pengkajian)

2) Riwayat penyakit sekarang


a) Diskripsi gejala dan lamanya

b) Dampak gejala terhadap aktifitas harian

c) Respon terhadap pengobatan sebelumnya

d) Riwayat trauma

3) Riwayat Penyakit Sebelumnya

a) Immunosupression (supresis imun)

b) Penurunan berat badan tanpa penyebab yang jelas

(kangker)

c) Nyeri yang menetap merupakan pertimbangan untuk

kangker atau infeksi.

d) Pemberatan nyeri di kala terbaraing (tumor

instraspinal atau infeksi) atau pengurangan nyeri

(hernia nudeus pulposus / HNP)

e) Nyeri yang paling berat di pagi hari (spondiloartropati

seronegatif: ankylosing spondyli-tis, artristis

psoriatic, spondiloartropati reaktif, sindroma

fibromialgia)

f) Nyeri pada saat duduk (HNP, kelainan faset sendi,

stenosis kanal, kelahinan otot paraspinal, kelainan

sendi sakroilikal, spondilosis / spondilolisis /

spondilolistesis, NPB-spesifik)

g) Adanya demam (infeksi)


h) Gangguan normal (dismenore, pasca-monopause

/andropause)

i) Keluhan visceral (referred pain)

j) Gangguan miksi

k) Saddle anesthesia

4) Kelemahan motorik ekstremitas bawah (kemungkinan

lesi kauda ekwina)

5) Lokasi dan penjalaran nyeri.

2. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan Umum

b. Pemeriksaan persistem

c. Sistem persepsi dan sensori (pemeriksaan panca indera :

penglihatan, pendengaran, penciuman, pengecap, perasa)

d. Sistem persarafan (Pemeiksaan neurologik)

1) Pemeriksaan motorik

2) Pemeriksaan sens sensorik.

3) Straight leg Raising (SLR), test laseque (iritasi radisks L5

atau S 1) cross laseque(HNP median) Reverse Laseque

(iritasi radik lumbal atas)

4) Sitting knee extension (iritasi lesi iskiadikus)

5) Pemeriksaan system otonom

6) Tanda Patrick (lasi coxae) dan kontra Patrick (lesi

sakroiliaka)
7) Tes Naffziger

8) Tes valsava.

e. Sistem pernafasan (Nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan

jalan nafas.)

f. Sistem kardiovaskuler (Nilai tekanan darah, nadi, irama,

kualitas, dan frekuensi)

g. Sistem Gastrointestinal (Nilai kemampuan menelan,nafsu

makan, minum, peristaltic dan eliminasi)

h. Sistem Integumen (Nilai warna, turgor, tekstur dari kulit

pasien )

i. Sistem Reproduksi ( Untuk pasien wanita )

j. Sistem Perkemihan (Nilai Frekuensi Bak, warna, bau,

volume)

3. Pola fungsi kesehatan

a. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan

b. Pola aktifitas dan latihan (Cara berjalan : pincang, diseret,

kaku (merupakan indikasi untuk pemeriksaan neurologis))

c. Pola nutrisi dan metabolisme

d. Pola tidur dan istirahat (Pasien LBP sering mengalami

gangguan pola tidur dikarenakan menahan nyeri yang hebat)

e. Pola kognitif dan perceptual (Prilaku penderita apakah

konsisten dengan keluhan nyerinya (kemungkinan kelainan

psikiatrik))
f. Persepsi diri/konsep diri

g. Pola toleransi dan koping stress (Nyeri yang timbul hampir

pada semua pergerakan daerah lumbal sehingga penderita

berjalan sangat hati-hati untuk mengurangi rasa sakit tersebut

(kemungkinan infeksi. Inflamasi, tumor atau fraktur)

h. Pola seksual reproduksi

i. Pola hubungan dan peran

j. Pola nilai dan keyakinan

2.3.2 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien

dengan Low Back Pain adalah sebagai berikut.

1. Nyeri akut b.d agen injuri (fisik muskuloskeletal) dan system

syaraf vascular)

2. Kerusakan mobilitas fisik b.d nyeri, kerusakan muskula skeletal,

kekakuan sendi, kontraktur)

3. Gangguan pola tidur b.d nyeri, tidak nyaman

4. Defisit perawatan diri b.d nyeri

2.3.3 Intervensi Keperawatan

Table 2.5. Intervensi Keperawatan

No Diagnosa Tujuan Intervensi

1 Nyeri akut Setelah dilakukan Observasi

berhubungan tindakan 1. Identifikasi lokasi,

dengan agen keperawatan selama karakteristik,


injuri (fisik …x24 jam, tingkat durasi, frekuensi,

musculoskele nyeri menurun kualitas, intensitas

tal dan system dengan kriteria hasil. nyeri

saraf 1. Keluhan nyeri 2. Identifikasi skala

vascular) menurun nyeri

2. Meringis 3. Identifikasi respon

menurun nonverbal

3. Gelisah menurun 4. Identifikasi factor

4. Kesulitan tidur yang memperberat

menurun dan memperingan

5. Frekuensi nadi nyeri

meningkat 5. Identifikasi

pengaruh nyeri

terhadap kualitas

hidup

Terapeutik

1. Berikan teknik

nonfarmakologis

untuk mengurangi

rasa nyeri (misal.

TENS, hypnosis,

akupresur, terapi

pijat, kompres
hangat/kompres

dingin)

2. Control lingkungan

yang memperberat

rasa nyeri (misal.

Suhu ruangan,

pencahayaan,

kebisingan)

Edukasi

1. Jelaskan penyebab,

periode, dan

pemicu nyeri

2. Jelaskan strategi

meredakan nyeri

3. Ajarkan teknik

nonfarmakologis

untuk meredakan

nyeri

Kolaborasi pemberian

analgetik, jika perlu

2 Gangguan Setelah dilakukan Observasi

mobilitas tindakan

fisik keperawatan selama


berhubungan …x24 jam, maka 1. Identifikasi adanya

dengan nyeri, mobilitas fisik yeri atau keluhan

kerusakan meningkat dengan fisiklainnya

musculoskele kriteria hasil. 2. Identifikasi

tal, kekakuan 1. Pergerakan toleransi fisik

sendi, ekstremitas melakukan

kontaktur meningkat ambulasi

2. Kekuatan otot 3. Monitor tekanan

meningkat darah dan frekuensi

3. Rentang gerak jantung sebelum

(ROM) memulai ambulasi

meningkat 4. Monitor kondisi

umum selama

melakukan

ambulasi

Terapeutik

1. Fasilitasi aktivitas

ambulasi dengan

alat bantu (misal.

Tongkat, kruk)

2. Fasilitasi

memalukan
mobilisasi fisik,

jika perlu

3. Libatkan keluarga

untuk membantu

pasien dalam

melakukan

ambulasi

Edukasi

1. Jelaskan tujuan dan

prosedur ambulasi

2. Anjurkan

melakukan

ambulasi dini

3. Ajarkan ambulasi

sederhana yang

harus dilakukan

(misal. Berjalan

dari tempat tidur ke

kursi roda, berjalan

dari tempat tidur ke

kamar mandi)

3 Gangguan Setelah dilakukan Observasi

pola tidur tindakan


berhubungan keperawatan selama 1. Identifikasi pola

dengan nyeri, …x24 jam, maka aktivitas dan tidur

tidak nyaman pola tidur membaik 2. Identifikasi factor

dengan kriteria hasil. pengganggu tidur

1. Keluhan sulit (fisik dana tau

tidur meningkat psikologis)

2. Keluhan sering Terapeutik

terjaga meningkat 1. Modifikasi

3. Keluhan tidak lingkungan (misal.

puas tidur Kebisingan,

meningkat matras, tempat

4. Keluhan pola tidur) kurangi

tidur berubah waktu tidur siang,

meningkat jika perlu

5. Keluhan istirahat 2. Fasilitasi

tidak cukup menghilangkan

meningkat stress sebelum

tidur

3. Tetapkan jadwal

tidur rutin’

4. Lakukan prosedur

untuk

meningkatkan
kenyamanan

(misal. Pijat,

pengaturan posisi,

akupresur)

Edukasi

1. Jelaskan

pentingnya tidur

cukup selama sakit

2. Anjurkan

penggunaan obat

tidur yang tidak

mengganggu siklus

tidur REM

3. Ajarkan factor-

faktor yang

berkontribusi

terhadap gangguan

pola tidur (misal.

Psikologis, gaya

hidup)

4. Ajarkan relaksasi

otot autogenic atau

cara
nonfarmakologi

lainnya

4 Deficit Setelah dilakukan Observasi

perawatan tindakan 1. Identifikasi

diri keperawatan selama kebiasaan aktivitas

berhubungan …x24 jam, maka perawatan diri

dengan nyeri perawatan diri sesuai usia

meningkat dengan 2. Monitor tingkat

kriteria hasil. kemandirian

1. Kemampuan 3. Identifikasi

mandi meningkat kebutuhan alat

2. Kemampuan bantu kebersihan

mengenakan diri, berpakaian,

pakaian berhias, dan makan

meningkat Terapeutik

3. Kemampuan 1. Sediakan

makan meningkat lingkungan yang

4. Kemampuan ke terapeutik (misal.

toilet Suasana hangat,

(BAB/BAK) rileks, privasi)

meningkat 2. Siapkan keperluan

5. Verbalisasi pribadi (misal.

keinginan
melakukan Parfum, sikat gigi,

perawatan diri dan sabun mandi)

meningkat 3. Damping dalam

6. Minat melakukan melakukan

perawatan diri perawatan diri

meningkat sampai mandiri

4. Fasilitasi untuk

menerima keadaan

ketergantungan

5. Jadwalkan rutinitas

perawatan diri

Edukasi untuk

melakukan aktivitas

perawatan diri seuai

kemampuan secara

konsisten

Sumber: Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) dan Standar

Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI), 2016

2.3.4 Implementasi

Implementasi merupakan tahap keempat dalam tahap proses

keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan

(tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam renca

tindakan keperawatan. Dalam tahap ini perawat harus mengetahui


berbagai hal seperti bahaya fisik dan perlindungan pada klien, teknik

komunikasi, kemampuan dalam prosedur tindakan, pemahaman

tentang hak-hak pasien, serta memahami tingkat perkembangan

pasien.

Pelaksanaan mencakup melakukan, membantu atau

mengarahkan kinerja aktivitas sehari-hari. Setelah dilakukan

validasi, penguasaan keterampilan interpersonal, intelektual dan

teknik intervensi harus dilakukan dengan cermat dan efisien pada

situasi yang tepat, keamanan fisik dan psikologis dilindungi dan

dokumentasi keperawatan berupa pencatatan dan pelaporan

(Purwanto Hadi, 2016).

2.3.5 Evaluasi

Evaluasi merupakan langkah terakhir dari proses keprawatan dengan

cara melakukan identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana

keperawatan tercapai atau tidak. Evaluasi yang digunakan mencakup

dua bagian yaitu, evaluasi formatif yang disebut juga evaluasi proses

dan evaluasi jangka pendek adalah evaluasi yang dilaksanakan

secara terus menerus terhadap tindakan yang telah dilakukan.

Sedangkan evaluasi sumatif yang disebut juga evaluasi akhir adalah

evaluasi tindakan secara keseluruhan untuk menilai keberhasilan

tindakan yang dilakukan dan menggambarkan perkembangan dalam

mencapai sasaran yang telah dilakukan. Bentuk evaluasi ini

lazimnya menggunakan format SOAP. Tujuan evaluasi adalah untuk


mendapatkan kemabli umpan balik rencana keperawatan, nilai, serta

meningkatkan mutu asuhan keperawatan melalui hasil perbandingan

standar yang telah ditentukan sebelumnya (Purwanto Hadi, 2016).

2.4 Hasil Penelitian Terdahulu

Table 2.6. Hasil Penelitian terdahulu

Nama
No Judul Hasil Penelitian
(Tahun)

1 Dewi Pengaruh Back Massage Hasil analisis dengan uji

Kusuma, terhadap Tingkat Nyeri statistik Wilcoxon

Sutresna, dan Low Back Pain pada diperoleh nilai p sebesar

Susila Kelompok Tani 0,001 pada α = 0,05

Pradnya Semangka Mertha (p<0,05) yang berarti

(2017) Abadi di Desa Yeh bahwa Ho ditolak dan

Sumbul hipotesis dalam penelitian

ini diterima sehingga dapat

disimpulkan bahwa

terdapat pengaruh yang

signifikan back massage

terhadap tingkat nyeri low

back pain pada Kelompok

Tani Semangka Mertha

Abadi di Desa Yeh

Sumbul.
2 Mahasih Teki Pengaruh Stimulus Terdapat pengaruh

(2019) Kutaneus Slow Stroke intervensi stimulus

Back Massage terhadap kutaneus slow stroke back

Intensitas Nyeri pada massage pada pengrajin

Pengrajin Rotan yang rotan yang menderita low

menerita Low Back Pain back pain di Desa

(LBP) Tegalwangi Cirebon Tahun

2018 dengan -4,932 p value

0,000 yang berarti HO di

tolak.

3 Awaludin Pengaruh Back Massage Hasil uji statistik Wilcoxon

Jahid Abdilah Terapi terhadap Signed Rank Test diperoleh

dan Maryam Penurunan Nyeri hasil p-value <α (0,00 <

Fitri Suwandi Reumatik pada Lansia 0,05) maka Ho ditolak

(2020) sehingga dapat

disimpulkan terdapat

pengaruh pemberian back

massage terapi terhadap

intensitas nyeri reumatik

pada lansia.

4 Yunita Wulan Penerapan Terapi Back Pemberian terapi back

Suci L, Massage terhadap massage yang diberikan

Wijanarko pada Ny. S dan Ny. P dapat


Heru Intensitas Nyeri menurunkan intensitas

Pramono Rematik pada Lansia nyeri yang dialami oleh

(2019) kedua responden.

5 Putri Rizka Pengaruh Terapi Back Ada pengaruh terapi back

Mailani, Lutfi Massage terhadap massage terhadap

Amir, Alini Penurunan Nyeri penurunan nyeri

(2020) Rheumatoid Arthritis Rheumatoid Arthritis pada

pada Lansia lansia di Wilayah Kerja

Puskesmas Kampar dengan

rata-rata penurunan skala

nyeri sebelum dan sesudah

diberikan terapi back

massage adalah 1,70.

Sumber: diolah oleh peneliti (2021)

Keterkaitan antara penelitian di atas dengan penelitian yang akan

dilakukan oleh peneliti adalah kesamaan pada vaiabel X yaitu back massage.

Akan tetapi, dalam penelitian ini peneliti lebih memfokuskan penelitian

terhadap pengaruh implementasi back massage pada tingkat nyeri yang diderita

oleh lansia dengan gangguan low back pain atau nyeri pada area pungguh

bawah yang berada di Desa A, Kecamatan A, wilayah kerja Puskesmas A

Kabupaten Majalengka tahun 2022.


BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk mendapatkan data dengan

tujuan dan kegunaan tertentu (Sugiyono, 2020). Selanjutnya Creswell (2014) dalam

Sugiyono (2020) menyatakan bahwa “research methods involve the form of data

collection, analysis, an interpretation that research propose for the studies”.

Metode penelitian merupakan proses kegiatan dalam bentuk pengumpulan data,

analisis dan memberikan interpretasi yang terkait dengan tujuan penelitian.

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian eksperimen dengan

desain penelitian one group pretest-posttest design dengan teknik analisis

Wilcoxon Matched Pairs. Pendekatan yang digunakan adalah metode

penelitian kuantitatif, yaitu melibatkan proses pengumpulan data, pengolahan

data, analisis data, dan interpretasi data, serta penulisan data dan hasil

penelitian yang nantinya berupa angka.

3.2 Subjek Penelitian

3.2.1 Populasi dan Sampel

Corper, Donald R, Schindler, Pamela S (2003) dalam Sugiyono

(2020), mengemukakan bahwa populasi merupakan keseluruhan

elemen yang akan dijadikan wilayah generalisasi. Elemen populasi

adalah keseluruhan subyek yang akan diukur, yang merupakan unit

yang diteliti.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia yang berada

di Desa A, Kecamatan A, wilayah kerja Puskesmas A tahun 2022 yang

belum diketahui jumlahnya.

Sedangkan sampel merupakan bagian dari jumlah dan

karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2020).

Sampel yang diambil dalam penelitian ini berjumlah empat

orang yang sudah dinyatakan sesuai dengan kriteria inklusi dan kriteria

eksklusi dengan teknik pengambilan sampel probability sampling

desain simple random sampling.

3.2.2 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi merupakan kriteria atau ciri-ciri yang harus dipenuhi

oleh setiap anggota populasi yang dapat diambil sebagai sampel

(Notoatmodjo, 2012 dalam Novita, 2020). Kriteria inklusi dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Seseorang yang mengalami nyeri punggung bawah atau low back

pain

2. Seseorang dengan umur di atas 45 tahun

3. Seseorang yang tinggal di wilayah Desa A, Kecamatan A, wilayah

Kerja Puskesmas A, Kabupaten Majalengka

4. Bersedia menjadi responden penelitian

5. Tidak mengalami gangguan pendengaran

6. Tidak memiliki cedera atau luka terbuka di area punggung


3.2.3 Kriteria Eksklusi

Kriteria eksklusi merupakan keadaan yang menyebabkan subjek yang

memenuhi kriteria inklusi yang tidak dapat diikut sertakan dalam

penelitian (Nursalam, 2008 dalam Novita, 2020). Kriteria eksklusi

dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Tidak memiliki keluhan nyeri atau gangguan di area punggung

bawah atau low back pain

2. Seseorang yang berumur 45 tahun ke bawah

3. Seseorang yang tinggal di luar wilayah Desa A, Kecamatan A,

wilayah kerja Puskesmas A, Kabupaten Majalengka

4. Tidak bersedia menjadi responden penelitian

5. Mengalami gangguan pendengaran

6. Memiliki cedera atau luka terbuku di area punggung

3.3 Lokasi dan Waktu

3.2.1 Tempat Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Desa A, Kecamatan A, wilayah kerja

Puskesmas A, Kabupaten Majalengka.

3.2.2 Waktu penelitian

Waktu penelitian dilakukan selama dua minggu dimulai dari tanggal 3

sampai 15 Januari tahun 2022.

3.4 Instrumen Penelitian

Instrument penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

lembar observasi yang digunakan untuk mengkaji tingkat nyeri pada lanjut usia
dengan low back pain sebelum dan sesudah dilakukan terapi back massage.

Adapun alat pengukuran tingkat nyeri yang digunakan pada penelitian ini

adalah pengukuran skala numerik. Kemudian instrument kedua yang digunakan

adalah Standart Operational Prosedure (SOP), yang digunakan sebagai

panduan dalam melaksanakan tindakan back massage.

3.5 Etika Penelitian

Adapun prinsip etika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Persetujuan responden ditawarkan sebelum dilakukan penelitian dalam

bentuk inform consent

2. Tiap responden sebelumnya akan mendapatkan informasi yang berkaitan

dengan penelitian

3. Kerahasiaan responden dalam penelitian ini akan dijunjung tinggi

4. Reponden memiliki hak untuk menolak menjadi responden

5. Bentuk pertanyaan dalam penelitian ini tidak akan menyinggung perasaan

responden
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Kholifah. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Gerontik. Jakarta: Pusdik

SDM Kesehatan.

Potter dan Perry. 2012. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan

Praktik, Edisi 4/Volume 2. Jakarta: EGC.

PPNI, Tim Pokja SIKI DPP. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia.

Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

PPNI, Tim Pokja SLKI DPP. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia.

Jakarta: Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Purwanto, Hadi. 2016. Modul Bahan Ajar Cetak Keperawatan Medikal Bedah II.

Jakarta: Pusdik SDM Kesehatan.

Statistik, Badan Pusat. 2020. Statistik Penduduk Lanjut Usia 2020. Jakarta: Badan

Pusat Statistik.

Sugiyono. 2020. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta.

Suriya dan Zuriati. 2019. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah

Gangguan pada Sistem Muskuloskeletal Aplikasi NIC & NOC. Padang:

Pustaka Galeri Mandiri.


Skripsi:

Damayanti, Rizky Tiara. 2018. Perbedaan Intensitas Nyeri antara Pemberian

Terapi Back Massage dengan Relaksasi Genggam Jari pada Pasien Post

Laparatomi di RSUD Ngudi Waluyo Wlingi. (Sekripsi). Politeknik

Kesehatan Kemenkes Malang, Malang. Diunduh dari

http://perpustakaan.poltekkes-malang.ac.id/ pada tanggal 1 Desember 2021

Dewi, Anggun Buana. 2019. Gambaran Sikap Keluarga terhadap Lansia dengan

Hipertensi di Desa Tirtonirmolo Kasihan Bantul. (Karya Tulis Ilmiah).

Politeknik Kesehatan Kemenkes Yogyakarta, Yogyakarta. Diunduh dari

http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/ pada tanggal 1 Desember 2021

Mahendra, Adi. 2018. Hubungan Usia, Masa Kerja, Status Gizi dan Intensitas

Getaran Mesin dengan Keluhan Subyektif Low Back Pain. (Artikel Ilmiah).

Universitas Muhammadiyah Semarang, Semarang. Diunduh dari

http://eprints.undip.ac.id/ pada tanggal 8 Desember 2021

Novita. 2020. Pengukuran Tingkat Pengetahuan Hipertensi pada Pasien

Hipertensi di Kelurahan Paya Kumang Ketapang Kalimantan Barat.

(Skripsi). Universitas Ngudi Waluyo, Semarang. Diunduh dari

http://repository2.unw.ac.id/987/ pada tanggal 15 November 2021 pukl

13.27 WIB

Nugroho, Dhestha Vianty Prapto. 2019. Hubungan Berat Tas Punggung dengan

Keluhan Nyeri Punggung Bawah (Low Back Pain) pada Murid Kelas 4-6 di

SD Muhammadiyah 9 Malang. (Karya Tulis Akhir). Universitas


Muhammadiyah Malang, Malang. Diunduh dari https://epints.umm.ac.id/

pada tanggal 8 Desember 2021

Quintas, Ovindiana D.D. dan Aty, Yoani M.V.B. 2016. Pengaruh Slow Stroke Back

Massage terhadap Perubahan Tekanan Darah pada Penderita Pre-

Hipertensi di Puskesmas Pasir Panjang dan Puskesmas Oesapa Kota

Kupang. (Skripsi). Stikes Citra Husada Mandiri, Kupang. Diunduh dari

http://repository.poltekkeskupang.ac.id/ pada tanggal 1 Desember 2021

Yusmawati. 2018. Asuhan Keperawatan Keluarga pada Lansia Tn. D dengan

Imsomnia Melalui Penerapan Terapi Latihan Pernapasan Diafragma di

RW II Kelurahan Lolong Belanti Kecamatan Padang Utara. (Laporan

Ilmiah Akhir). Universitas Andalas, Padang. Diunduh dari

http://scholar.unand.ac.id/ pada tanggal 1 Desember 2021


Jurnal:

Awaludin Jahid Abdilah dan Maryam Fitri Suwandi. 2020. Pengaruh Back

Massage Terapi terhadap Penurunan Nyeri Reumatik pada Lansia. Jurnal

Kesehatan. 11 (2). 156-164. Diunduh dari http://jurnal.stikescirebon.ac.id/

pada tanggal 2 Desember 2021

Kusuma Dewi, dkk. 2017. Pengaruh Back Massage terhadap Tingkat Nyeri Low

Back Pain pada Kelompok Tani Semangka Mertha Abadi di Desa Yeh

Sembul. CARING. 1 (2). 13-21. Diunduh dari

https://ejournal.binausadabali.ac.id/ pada tanggal 2 Desember 2021

Rizka Mulani Putri, dkk. 2020. Pengaruh Terapi Back Massage Terhadap

Penurunan Nyeri Rheumatoid Arthritis pada Lansia. Junal Ners Universita

Pahlawan. 4 (2). 40-46. Diunduh dari

https://journal.universitaspahlawan.ac.id/ pada tanggal 2 Desember 2021

Teki Mahasih. 2019. Pengaruh Stimulus Kutaneus Slow Stroke Back Massage

(SSBM) terhadap Intensitas Nyeri pada Pengrajin Rotan yang Menderita

Low Back Pain (LBP). Jurnal Kesehatan. 10 (1). 32-38. Diunduh dari

http://jurnal.stikescirebon.ac.id/ pada tanggal 2 Desember 2021

Yunita Wulan Suci L dan Wijanarko Heru Pramono. 2019. Penerapan Terapi Back

Massage terhadap Intensitas Nyeri Rematik pada Lansia. 4 (2). 137-145.

Diunduh dari https://www.poltekkesjakarta3.ac.id/ejournalnew/ pada

tanggal 2 Desember 2021


Internet:

Admin. 2017. Pengertian Massage dan Tujuan Massage. Diakses dari

https://www.olahragamo.com/2017/07/pengertian-massage-dan-tujuan-

massage.html?=1 pada tanggal 3 Desember 2021 pukul 15.24 WIB

Hapsari, Annisa. 2021. 21 Penyakit pada Lansia yang Paling Sering Terjadi.

Diakses dari https://hellosehat.com/lansia/masalah-lansia/penyakit-pada-

lansia/ pada tanggal 1 Desember 2021 pukul 14.37 WIB

Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. 2021. Jumlah Penduduk Desa

Berdasarkan Kategori Usia di Jawa Barat. Diakses dari

https://opendata.jabarprov.go.id/ pada tanggal 1 Desember 2021 pukul

11.53 WIB

Sopaliu, Djahra Warda. 2018. LP LBP (Lengkap). Diakses dari

https://www.scribd.com/document/378572777/Lp-Lbp-Lengkap pada

tanggal 8 Desember 2021 pukul 15.34 WIB

Ice, Doni. 2018. Laporan Pendahuluan Low Back Pain (LBP) Download dalam

Bentuk Doc dan Pdf. Diakses dari

https://bangsalsehat.blogspot.com/2018/01/laporan-pendahuluan-low-

back-pain-lbp.html pada tanggal 28 Desember 2021 pukul 20.53 WIB

Omeoo. 2013. Populasi Lansia Diperkirakan Terus Meningkat Hingga Tahun

2020. Diakses dari https://p2ptm.kemkes.go.id/kegiatan-

p2ptm/aceh/populasi-lansia-diperkirakan-terus-meningkat-hingga-tahun-

2020 pada tanggal 1 Desember 2021 pukul 15.14 WIB


Tresna, K. Abdi. 2021. 5 Manfaat yang diperoleh dari pijat punggung. Diakses dari

https://www.google.com/amp/s/www.idntimes.com/health/fitness/amp/tres

/5-manfaat-yang-diperoleh-dari-pijat-punggung-c1c2 pada tanggal 28

Desember 2021 pukul 20.19 WIB

Wikipedia. 2021. Pijat. Diakses dati https://id.wikipedia.org/wiki/Pijat pada

tanggal 28 Desember 2021 pukul 22.31 WIB


LEMBAR PERSETUJUAN

JUDUL : Pengaruh Implementasi Terapi Back Massage terhadap Tingkat


Nyeri pada Lansia dengan Low Back Pain di Desa A, Kecamatan A,
Wilayah Kerja Puskesmas A, Kabupaten Majalengka Tahun 2022
PENYUSUN : Muhamad Lendi Juliandi
NIM : 19022

Majalengka, 30 Desember 2021


Pembimbing

Awaludin Jahid Abdilah, S.Kp., M.Kep.

Menyetujui,
Wadir I

Dian Hadinata, S.Kp., M.Kep.


LEMBAR PERSETUJUAN RESPONDEN
(INFORM CONSENT)

Saya yang bertandatangan di bawah ini.


Nama :
Umur :
Alamat :
Setelah mendapat keterangan dan penjelasan secara lengkap tentang penelitian
“Pengaruh Back Massage terhadap Tingkat Nyeri pada Lanjut Usia dengan Low
Back Pain di Desa A, Kecamatan A, Wilayah Kerja Puskesmas A, Kabupaten
Majalengka Tahun 2022”, maka dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan dari
pihak manapun saya menandatangani dan menyatakan bersedia berpartisipasi
dalam penelitian ini.
Demikian surat pernyataan ini dibuat untuk digunakan sebagaimana mestinya.

Majalengka, … Januari 2022

( )
LEMBAR OBSERVASI TINGKAT NYERI

*sebelum perlakuan
Nama :
Umur :
Alamat:

Petunjuk pengisian:
Silahkan anda lingkari pada salah satu angka di bawah ini yang menggambarkan
tingkat nyeri yang anda rasakan pada saat mengalami nyeri punggung bagian bawah
(low back pain).
Semakin besar angka maka semakin berat keluhan nyeri

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5

Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi dngan baik
4-6 :Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik
7-9 : Nyeri berat, secara obyektif klien terkdang tidak dapat mengikuti
perintah tetapi masih dapat merespon tindakan, tidak dapat
mendeskripsikannya, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
diatasi dengan alih posisi tapas panjang
10 : Nyeri tak terkontrol, secara obyektif klien tidak sadarkan diti
LEMBAR OBSERVASI TINGKAT NYERI

*sesudah perlakuan
Nama :
Umur :
Alamat:

Petunjuk pengisian:
Silahkan anda lingkari pada salah satu angka di bawah ini yang menggambarkan
tingkat nyeri yang anda rasakan pada saat mengalami nyeri punggung bagian bawah
(low back pain).
Semakin besar angka maka semakin berat keluhan nyeri

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
5

Keterangan :
0 : Tidak nyeri
1-3 : Nyeri ringan, secara obyektif klien dapat berkomunikasi dngan baik
4-6 :Nyeri sedang, secara obyektif klien mendesis, menyeringai, dapat
menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti
perintah dengan baik
7-9 : Nyeri berat, secara obyektif klien terkdang tidak dapat mengikuti
perintah tetapi masih dapat merespon tindakan, tidak dapat
mendeskripsikannya, dapat menunjukkan lokasi nyeri, tidak dapat
diatasi dengan alih posisi tapas panjang
10 : Nyeri tak terkontrol, secara obyektif klien tidak sadarkan diti
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR BACK MASSAGE

JUDUL SOP:
BACK MASSAGE
Definisi Back massage merupakan merupakan tindakan pemijatan
atau tindakan massage yang dilakukan di area punggung
dengan usapan lembut dan secara perlahan dengan tujuan
untuk mengurangi rasa nyeri, memberikan efek relaksasi,
serta meregangkan otot
Tujuan 1. Untuk meningkatkan aliran darah ke jaringan dan
organ
2. Untuk menigkatkan rangsangan dan konduksi impuls
saraf
3. Untuk melemahkan dan menghentikan rasa sakit
dengan mempercepat proses pemulihan saraf yang
cedera
4. Untuk membuat otot fleksibel serta membantu
mengeluarkan cairan yang terdapat di otot-otot dan
memulihkan keadaan normalnya
5. Untuk meberikan efek relaksasi
Indikasi Klien dengan keluhan gangguan rasa nyaman dan nyeri
punggung bagian bawah
Persiapan Alat 1. Selimut mandi atau handuk
2. Minyak gosok atau lotion
3. Handscoon
Persiapan Pasien 1. Beri salam dan perkenalkan diri
2. Jelaskan prosedur tindakan yang akan dilakukan
3. Beri privasi pada klien
4. Atur posisi klien senyaman dan seaman mungkin
Cara Kerja Prosedur
1. Beritahu klien bahwa tindakan akan segera dilakukan
2. Cek peralatan yang akan digunakan
3. Dekatkan peralatan ke sisi tempat tidur klien
4. Cuci tangan dan gunakan handscoon
5. Kaji nadi dan tekanan darah sebelum melakukan
massage
6. Bantu klien untuk melepaskan baju
7. Bantu klien untuk posisi pronasi atau sims dengan
punggung menghadap ke perawat
8. Buka punggung klien (bahu, lengan atas dan bokong).
Bagian lainnya tutupi menggunakan selimut manhdi
atau handuk
9. Hangatkan lotion di telapak tangan
10. Beritahu kepada klien bahwa lotion akan terasa dingin
11. Dengan gerakan sirkuler, pijat area leher
menggunakan tiga jari
12. Gunakan gerakan stroking (menggosok) dengan arah
sirkuler ke luar dari arah sacrum menuju leher,
lakukan dengan gerakan memanjang, tegas, dan
lembut, pertahankan tangan tetap kontak dengan
punggung klien
13. Berhentilah pada pusat punggung dan kemudian
gerakkan secara sirkuler keluar dari kedua scapula
kemudian kembali ke bokong dengan gerakan lambat.
Lanjutkan memijat selama beberapa menit
14. Remas kulit dengan jari-jari, remas ke atas sepanjang
satu sisi spina ke bokong dan bahu serta sekitar bawah
leher. Remas atau usap kea rah bawah sacrum. Ulangi
sepanjang sisi punggung yang lain
15. Pukul-pukul punggung klien dengan menggunakan
sisi telapak tangan
16. Ulangi kembali gerakan-gerakan tersebut di atas
masing-masing gerakan 3-5 menit. Tambahkan lotion
jika perlu
17. Sambil melakukan massage periksa adanya
kemerahan pada kulit
18. Akhiri massage dengan usapan panjang dan tegas dari
atas ke bawah dan katakan pada klien bahwa tindakan
massage akan diakhiri
19. Bersihkan sisa lotion menggunakan handuk
20. Bantu klien menggunakan kembali pakaian
21. Bereskan alat-alat dan cuci tangan
Evaluasi 1. Kaji respon klien (subyektif dan obyektif)
2. Kontak pertemuan selanjutnya jika diperlukan
3. Akhiri pertemuan dengan baik

Anda mungkin juga menyukai