Anda di halaman 1dari 10

ANALISIS STRATIGRAFI DAN KARAKTERISTIK PERULANGAN

FASIES FORMASI SAMBIPITU, STUDI KASUS DI SUNGAI


NGALANG, KECAMATAN GEDANG SARI, KABUPATEN GUNUNG
KIDUL
Raras Prabowo

Departemen Teknik Geologi, Institut Teknologi Nasional Yogyakarta


e-mail : raraskolibri@gmail.com

Abstrak
Daerah penelitian termasuk dalam fisiografi Zona Pegunungan Selatan, tepatnya di Sungai Ngalang, Kecamatan
Gedang Sari, Kabupaten Gunung Kidul, DIY. Penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi pola perulangan fasies dan
lingkungan pengendapan Formasi Sambipitu. Formasi Sambipitu telah dikenal memiliki distribusi fasies yang beragam.
Analisis fasies dilakukan berdasarkan data stratigrafi terukur, mikrofosil, fosil jejak, dan analisis Markov Chain. Metode
markov chain dapat digunakan untuk analisa perulangan fasies yaitu dengan melihat matriks probabilitas transisi yang dapat
memprediksi kehadiran fasies yang akan muncul selanjutnya sesuai dengan data yang ingin diketahui, yang diprediksi dengan
hadirnya fasies sebelumnya. Berdasarkan analisis kandungan fosil foraminifera planktonik, satuan batuan pada lintasan ini
berumur Early Miocene (N4-N5). Sedangkan fosil bentosnya menunjukkan adanya percampuran antara endapan lingkungan
laut dangkal dan dalam. Dengan berkurangnya material vulkanik serta meningkatnya kehadiran baham karbonat di dalam
Formasi Sambipitu, dapat diperkirakan sebagai fase penurunan dari kegiatan volkanisme di Pegunungan Selatan pada waktu
itu. Berdasarkan hasil analisis markov chain melalui uji chi square dengan nilai Degree Of Freedom adalah 100 dan A adalah
0,05, didapatkan bahwa nilai X2 hitung (240,5549 > X2 table (124,3421). Dari data tersebut, maka hipotesa nol ditolak dan
mengambil kesimpulan bahwa ada suatu pengaruh yang signifikan terhadap hadirnya suatu fasies, tergantung pada fasies
sebelumnya.

Kata Kunci : Sambipitu, Probabilitas, Markov Chain, Fasies, Stratigrafi

Abstract
The research area is included in the physiography of the Southern Mountains Zone, precisely on the Ngalang River,
Gedang Sari District, Gunung Kidul Regency, DIY. This study aims to reconstruct facies repetition patterns and the Sambipitu
Formation depositional environment. The Sambipitu Formation has been known to have a diverse facies distribution. Facies
analysis was carried out based on measured stratigraphic data, microfossils, trace fossils, and Markov Chain analysis. The
Markov chain method can be used for facies looping analysis, namely by looking at the transition probability matrix that can
predict the presence of facies that will appear later in accordance with the data that you want to know, which is predicted by
the presence of facies before. Based on the analysis of the content of fossil planktonic foraminifera, the rock units on this track
are aged Early Miocene (N4-N5). While benthic fossils show a mixture of shallow and deep marine environmental deposits.
With the reduction of volcanic material and the increased presence of carbonate material in the Sambipitu Formation, it can
be estimated as a decline phase of volcanic activity in the Southern Mountains at that time. Based on the results of the Markov
chain analysis through the chi square test with the value of Degree Of Freedom is 100 and A is 0.05, it is found that the value
of X2 counts (240.5549> X2 table (124,3421). From these data, the null hypothesis is rejected and concludes that there is a
significant influence on the presence of a facies, depending on the previous facies.

Keywords: Sambipitu, Probability, Markov Chain, Facies, Stratigraphy

1. Pendahuluan Secara lateral, penyebaran formasi ini sejajar di


Singkapan batuan pada lokasi penelitian sebelah selatan Formasi Nglanggran, di kaki selatan
memiliki variasi distribusi fasies yang beragam. Subzona Baturagung, namun menyempit dan
Fasies yang berkembang membentuk suatu suksesi kemudian menghilang di sebelah timur. Formasi ini
vertikal batuan yang menunjukkan suatu siklus tersusun oleh perselingan antara batupasir tufaan,
sedimentasi. Konsep siklus sedimentasi telah serpih dan batulanau, yang memperlihatkan ciri
diterima dan diaplikasikan dalam berbagai variasi endapan turbidit. Di bagian atas sering dijumpai
pengendapan dengan tujuan mengetahui dinamika adanya struktur slump skala besar. Satuan ini selaras
pengendapan, baik secara mekanisme maupun di atas Formasi Nglanggran, dan merupakan
lingkungan pengendapanya. Penelitian mengenai endapan lingkungan laut. Interpretasi lingkungan
Formasi Sambipitu sudah cukup banyak dan salah- pengendapan dapat ditentukan dari struktur sedimen
satunya yang sering menjadi acuan dalam penelitian yang terbentuk. pengendapan. Terjadinya struktur-
selanjutnya adalah kajian regional yang telah struktur sedimen tersebut, disebabkan oleh
dibahas oleh Surono, dkk (1992). Lokasi tipe mekanisme pengendapan dan kondisi serta
formasi ini terletak di Desa Sambipitu pada jalan lingkungan pengendapan tertentu.
raya Yogyakarta-Patuk, Wonosari kilometer 27,8.
Fasies merupakan bagian yang sangat penting
dalam mempelajari ilmu sedimentologi. Boggs
(1995), mengatakan bahwa dalam mempelajari
lingkungan pengendapan sangat penting untuk
memahami dan membedakan dengan jelas antara
lingkungan sedimentasi (sedimentary environment)
dengan lingkungan fasies (facies environment).
Fasies didefinisikan sebagai masa dari sedimen atau
batuan sedimen yang dapat dibedakan dengan masa
sedimen atau batuan yang lain berdasarkan ciri
geometri, fasies, struktur sedimen, pola arus purba
dan fosil (Selly, 1985). Setiap fasies merupakan
hasil suatu proses fisika, kimia dan biologi dari
lingkungan pengendapan tertentu. Tumpukan dari
suatu fasies akan membentuk suksesi vertikal yang
disebut dengan sekuen. Perulangan fasies atau
ritmik dalam suatu sekuen mewakili perulangan
proses sedimentasi yang sama dalam suatu
lingkungan pengendapan.

Di bagian bawah formasi ini, lapisan


batupasirnya masih menunjukkan sifat volkanik,
sedangkan ke arah atas sifat vulkanik ini berubah
menjadi batupasir yang bersifat karbonatan. Pada
batupasir karbonatan ini sering dijumpai fragmen Gambar 1. Lokasi Daerah Penelitian di Dusun
dari koral dan foraminifera besar yang berasal dari Karanganyar, Desa Ngalang, Kecamatan Gedang Sari,
lingkungan terumbu laut dangkal yang terseret Kabupaten Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa
masuk dalam lingkungan yang lebih dalam akibat Yogyakarta
arus turbid dalam Pandita .H, & Ashari P.(2016). 2. Metode
Disebutkan bahwa formasi ini merupakan Dalam penelitian ini tahapan penelitian yang
pencampuran antara endapan laut dangkal dengan dilakukan sebagai berikut:
endapan laut dalam. Oleh karena itu penulis ingin 2.1 Metode Pengumpulan Data
meneliti secara lebih rinci mengenai system
pengendapan formasi sambipitu melalui a. Pengumpulan hasil penelitian terdahulu
pengamatan lapangan berupa analisis litofasies pada digunakan sebagai data pendukung.
penampang stratigrafi terukur, analisis Pengambilan data lapangan dilakukan dengan
mikropaleontologi dan analisis markov chain cara melakukan measuring section pada daerah
terhadap litologi yang terdapat di lintasan Sungai penelitian.
Ngalang, Kecamatan Gedang Sari, Kabupaten
Gunung Kidul, Provinsi Daerah Istimewa 2.2 Metode Analisis Data
Yogyakarta.
a. Tahap pengolahan data yaitu dengan melakukan
Kegiatan penelitian dilakukan dengan maksud penggabungan dari hasil studi pustaka dan
untuk mengetahui dinamika pengendapan dan literatur yang dilakukan di studio dengan hasil
lingkungan pengendapan Formasi Sambipitu di pengamatan serta pengambilan data lapangan
daerah penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk yang didukung oleh analisis laboratorium, yang
mengetahui dan mengidentifikasi fasies Formasi meliputi : analisa stratigrafi terukur, analisis
Sambipitu. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan paleontologi, dan analisis markov chain. Data-
untuk mengetahui dan memahami karakteristik data lapangan berupa pengukuran penampang
satuan batuan yang menyusun Formasi Sambipitu. stratigrafi terukur (profil) dianalisis berdasarkan
Studi fasies ini akan berpengaruh terhadap sebaran aspek fasies batuan guna mengetahui lingkungan
batuan di daerah penelitian. Pada perkembangannya pengendapan berdasarkan pendekatan model-
hasil studi ini dapat digunakan sebagai kontribusi model yang telah dibuat oleh beberapa ahli.
pemahaman mengenai fasies di daerah penelitian. Analisis markov chain melalui uji chi square,
dilakukan untuk mengetahui hubungan hadirnya
suatu fasies, tergantung pada fasies sebelumnya.
b. Tahapan Evaluasi Data dan Penyusunan
Laporan. Data hasil observasi lapangan dan
analisis studio akan dievaluasi berdasarkan teori Formasi Kebo Butak
dan hasil penelitian terdahulu. Kompilasi data
tersebut akan diperoleh hasil berupa interpretasi Bothe (1929) mengatakan bahwa stratigrafi
dan kesimpulan mengenai stratigrafi di daerah Pegunungan Selatan diawali dengan Keobo Beds.
penelitian. Kebo Beds terdiri dari batupasir vulkanik, tuf, serpih
dengan sisipan lava, konglomerat serta interkalasi
2.3 Lokasi Pengambilan Data andesit basaltik. Kebo Beds berumur Oligosen (N2-
N3), dengan ketebalan sekitar 800 meter. Di atas
Secara administrative lokasi penelitian berada Kebo Beds diendapkan Butak Beds pada kala
di Desa Ngalang, Kecamatan Gedang Sari, Miosen Awal bagian bawah (N4). Butak Beds terdiri
Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa dari breksi polimik, batupasir, serpih serta
Yogyakarta. Pengambilan data lapangan tersebut konglomerat, dengan ketebalan sekitar 750 meter.
tepatnya berada di lintasan Kali Ngalang, berupa
Measuring Section dengan ketebalan batuan 100 Surono dkk. (1992) menganggap Kebo Beds
meter. Pengukuran stratigrafi terukur tersebut dan Butak Beds sebagai satu formasi, yaitu Formasi
tepatnya pada Formasi Sambipitu Bawah. Daerah Kebobutak. Bagian atas formasi ini terdiri atas
penelitian termasuk kedalam Peta Geologi Regional perselingan batupasir, batulempung, dan lapisan
lembar Surakarta-Girintoro menurut Surono, dkk tipis tuf asam, sedang di bagian bawah berupa
(1992). Sedangkan, pada Peta Rupa Bumi Indonesia batupasir, batulanau, batulempung, serpih, tuf, dan
daerah penelitian termasuk kedalam lembar Jabung aglomerat. Ketebalan formasi ini lebih dari 650
(no. 1408-313) dan lembar Wonosari (no. 1408- meter. Berdasarkan kandungan fosil foraminifera
311). kecil, umur formasi ini adalah N2-N5 atau Oligosen
akhir-Miosen Awal (Sumarso dan Ismoyowati,
2.4 Geologi Yogyakarta 1975) dan diendapkan di laut terbuka dan
terpengaruh arus turbidit.
2.4.1 Fisiografi
Aktivitas volkanik yang mulai muncul pada saat
Daerah penelitian termasuk dalam wilayah pembentukan Formasi Kebo-Butak semakin terlihat
fisiografi bagian tengah dan timur Pulau Jawa (van intensif pada saat pembentukan Formasi Semilir.
Bemmelen, 1949) (Gambar 2) yaitu zona
Pegunungan Selatan. Penelitian dipusatkan pada
daerah kali Ngalang, dusun Karanganyar.

Gambar 3. Peta Geologi Regional Zona Pegunungan


Gambar 2. Fisiografi Jawa Tengah-Jawa Timur (van-
Selatan
Bemmelen, 1949). Kotak merah lokasi penelitian.
Formasi Semilir
2.4.2 Stratigrafi
Formasi Semilir tersusun atas tuf, lapilli, breksi
Penamaan satuan litostratigrafi Pegunungan piroklastik, kadang-kadang terdapat sisipan
Selatan, telah dikemukakan oleh beberapa peneliti. lempung dan batupasir tufan, serta breksi tuf
Daerah penelitian termasuk dalam stratigrafi pumisan (Surono dkk., 1992). Formasi Semilir
Pegunungan Selatan bagian barat yang telah diperkirakan terbentuk pada Miosen Awal.
diusulkan diantaranya oleh Bothe (1929) dan Surono Lingkungan pengendapan berkisar dari darat hingga
dkk, (1992). Urutan stratigrafi daerah ini dari yang laut.
paling tua hingga paling muda adalah sebagai
berikut :
Formasi Nglanggran
Puncak aktivitas volkanik terjadi pada saat
pembentukan Formasi Nglanggran pada Kala
Miosen Awal-Miosen Tengah (Surono, dkk., 1992).
Formasi ini disusun oleh batuan berupa breksi
polimik, aglomerat, breksi piroklastik dan lava.
Aktivitas volkanik mulai menurun pada Miosen
Tengah dengan diendapkannya Formasi Sambipitu.
Formasi Sambipitu
Pada formasi ini lebih didominasi
pembentukan satuan-satuan turbidit berupa
batupasir berselang-seling dengan batupasir tufan
dan batulempung. Formasi ini juga banyak
mengandung fosil jejak yang terbentuk pada
lingkungan bathyal di bagian bawah dan
berkembang ke Neritik di bagian atas (Pandita,
2008). Satuan batuan ini berumur Miosen Bawah –
Awal Miosen Tengah atau N7-N9. Kedudukan
formasi ini menjari dan selaras di atas Formasi
Nglanggran.
Formasi Oyo
Perubahan lingkungan pada cekungan
Pegunungan Selatan semakin terlihat dengan
diendapkannya Formasi Oyo pada laut dangkal.
Formasi ini disusun oleh batupasir gampingan,
kalsilutit tufan dan konglomerat berfragmen
batugamping. Formasi Oyo diperkirakan terbentuk
pada Miosen Akhir (Pandita, dkk., 2009). Gambar 4. Stratigrafi Regional Yogyakarta dan sekitarnya
(Surono, dkk.1992)
Formasi Wonosari
3.1 Hasil dan Pembahasan
Perkembangan batugamping makin terlihat
jelas dengan pembentukan Formasi Wonosari. 3.1.1 Litologi Formasi Sambipitu bawah pada
Formasi ini disusun oleh litologi berupa lintasan Kali Ngalang.
batugamping berlapis, dan batugamping terumbu.
Bagian bawah dari Formasi Wonosari diperkirakan Formasi Sambipitu yang tersingkap baik
mempunyai hubungan menjari dengan bagian atas pada lintasan Kali Ngalang, tersusunj atas batupasir
Formasi Oyo. Umur formasi ini diperkirakan adalah kasar sampai halus, batupasir tufan, breksi
Miosen Akhir-Pliosen (Pandita, dkk, 2009). piroklastik, batupasir dengan sisipan lempung dan
Formasi Kepek batulanau. Pada lintasan ini pengaruh aktivitas
vulkanik dari Formasi Nglanggran masih terlihat,
Di atas Formasi Wonosari secara selaras dibuktikan dengan adanya material vulkanik, seperti
diendapkan satuan batuan dari Formasi Kepek. Ciri Breksi piroklastik dan batupasir tufan. Batupasir
litologi berupa napal dan batugamping berlapis. yang terdapat pada satuan ini secara megaskopis,
Formasi ini diperkirakan terbentuk pada Miosen memiliki karakteristik berwarna lapuk abu-abu
Akhir-Pliosen dan terendapkan di lingkungan neritic kecoklatan hingga coklat kemerahan, dan warna
(Samodra, 1984). segar abu-abu terang. Besar butir dengan ukuran
pasir kasar hingga halus, bentuk butir menyudut
Endapan Kuarter tanggung hingga membundar, kemas terbuka-
tertutup, pemilahan sedang-baik, permeabilitas baik,
Sesudah Pliosen batuan-batuan berumur tersier
kekerasan agak keras, struktur sedimen laminasi
yang terletak di cekungan Yogyakarta dan depresi
parallel, laminasi bergelombang, berlapis, mud
tengah pulau Jawa ditutupi oleh endapan-endapan
clast, convolute, dan bioturbasi, komposisi pada
volkanik muda. Endapan tersebut diperkirakan
beberapa tempat mengandung tuf dan karbonat.
terjadi sejak Kala Pleistosen sampai sekarang.
Batulempung yang terdapat pada satuan tersebut
Surono dkk. (1992) membagi kelompok endapan ini
secara megaskopis, memiliki karakteristik warna
menjadi Formasi Baturetno, alluvium tua, dan
lapuk abu-abu gelap dan warna segar abu-abu,
alluvium muda.
ukuran butir lempung, struktur laminasi parallel. 3.1.4 Kandungan Foraminifera, Lingkungan
Batulanau yang terdapat pada satuan tersebut, Pengendapan dan Umur
memiliki karakteristik warna lapuk abu-abu
kecoklatan dan warna segar abu-abu, kekerasan Analisis mikropaleontologi dilakukan untuk
agak keras, dengan struktur laminasi. Bteksi menentukan lingkungan pengendapan berdasarkan
piroklastik yang terdapat pada satuan tersebut, zona batimetri serta untuk menentukan umur dari
memiliki karakteristik warna lapuk abu-abu satuan batuan. Pada lintasan Measuring Section Kali
kecoklatan dan warna segar abu-abu kemerahan. Ngalang diambil sampel untuk analisis
Fragmen terdiri atas pecahan lava andesit, dengan mikropaleontologi. Untuk Analisa foraminifera
ukuran bom atau blok gunung api. Matrik yang ada planktonic pada satuan ini ditemukan
berupa tuff-lapilli. Struktur batuan graded bedding, Globigerinoides Primordhis, Globorotalia Obesa,
reverse graded bedding, dan masif. Globoquadrina Altispira, dan Globigerinoidea
Altiaperturus, sehingga dapat disimpulkan bahwa
3.1.2 Litofasies lingkungan ini diendapkan pada umur N4-N5
Miosen Awal. Berdasarkan analisis fosil jejak
Berdasarkan karakteristik batuan yang ditemukan adanya Thalasinoides isp. dan
tersingkap di sepanjang lintasan Kali Ngalang Chondroites isp. Thalasinoides merupakan bagian
dengan ketebalan batuan pada lintasan Measuring dari fasies Skholites yang terbentuk pada kedalaman
Section 100 meter, maka dapat dikenali 4 unit 0 – 200 m.
litofasies, yaitu :
1. Batupasir perselingan batulanau
2. Batupasir sisipan batulempung
3. Batupasir karbonatan perselingan
batulanau dengan kelimpahan bioturbasi.
4. Batupasir sisipan batulanau dan
batulempung dengan komposisi mineral
karbonat.
5. Breksi piroklastik dengan sisipan batupasir
dan batulempung

3.1.3 Asosiasi Fasies

Berdasarkan analisis litofasies yang telah


diamati disepanjang lintasan Kali Ngalang dengan
ketebalan batuan pada lintasan tersebut, yaitu 100 m, Gambar 5 Fosil jejak Chondrites isp pada lintasan Kali
Ngalang, Formasi Sambipitu Bawah
didapatkan beberapa karakteristik yang diamati
sebagai asosiasi dari fasies turbidit. Karakteristik ini Fasies Skholites terbentuk pada daerah tidal
diantaranya berupa batupasir massif dan bergradasi, zone didaerah Continental shelf yang memiliki arus
sebagai penunjuk bagian Ta dari fasies turbidit energi yang kuat. Munculnya Chondrites
sikuen Bouma (Boggs, 2006). Kemudian ditemukan menunjukan bahwa daerah penelitian termasuk
pula batupasir dengan struktur sedimen laminasi, lingkungan pengenadapan daerah transisi.
sebagai peninjuk Tb dari fasies turbidit sikuen Chondrites sendiri terbentuk pada lingkungan
Bouma. Lalu hadir pula struktur sedimen deformasi pengendapan zona bathyal didaerah continental
yang semakin menguatkan bahwa satuan ini slope. Selain itu lingkungan pengendapannya berupa
diendapkan pada daerah turbidit dengan kehadiran lingkungan pengendapan arus turbid (Ekdale, dkk,
struktur sedimen deformasi convolute dan laminasi 1984, dalam Pandita 2003 ).
bergelombang sebagai penunjuk Tc dari fasies
turbidit sikuen Bouma. Dan yang terakhir sebagai 3.1.5 Analisis Markov Chain
penunjuk Td dari fasies turbidit sikuen Bouma
adalah struktur sedimen laminasi parallel pada Data yang digunakan dalam analisis Markov
litologi batulanau dan batulempung. Kelimpahan Chain yaitu pada data Measuring Section dengan
aktivitas organisme yang mengakibatkan adanya ketebalan ± 40 meter atau 40% dari total Formasi
bioturbasi menunjukkan bahwa lingkungan Sambipitu yang diukur. Data tersebut diambil dari
pengendapan Formasi Sambipitu masih berada pada ketebalan 35 meter sampai 75 meter pada profil
lingkungan paparan laut dangkal / shallow marine Measuring Section. Proses Markov merupakan suatu
shelf dimana aktivitas bioturbasi masih terjadi sistem stokastik di mana kejadian di masa yang akan
secara intens. datang bergantung pada kejadian sesaat sebelumnya.
Gambar 6 Data Stratigrafi Litologi untuk analisis Markov Pada kisaran jarak 47,5- 51 meter, tersusun atas
Chain pada daerah penelitian domonasi batupasir yang semakin kasar dan tebal.
Ukuran batupasir tersebut, mulai dari 0,4 – 1,4
Kisaran jarak 35 - 47,5 meter, tersusun atas meter, dengan struktur laminasi, berlapis, dan
perselingan batulanau dan batu pasir. Batulanau massif. Pada kisaran jarak 51 – 55 meter, tersusun
semakin keatas semakin tipis dan menghilang. atas batupasir dan sisipan batulempung. Batupasir
Sebaliknya, keterdapatan batupasir semakin tebal tersebut semakin menghalus, dengan ukuran 0,8 –
dan ukuranya semakin kasar. Ketebalan batupasir 0,3 meter, dengan struktur laminasi, berlapis, dan
tersebut mulai dari 0,5 – 1,5 meter dan ukuran butir graded bedding.
bervariasi mulai dari very fine sand – coarse sand.
Pada kisaran jarak 55 – 64 meter, tersusun atas 3.2 Matriks Frekuensi Transisi Observasi
batupasir, batulanau, batupasir berfosil, dan
batupasir karbonatan. Secara umum, kenampakan Urutan litologi yang sudah disusun kemudian
batupasir tersebut mengkasar keatas, dengan ukuran dimasukkan kedalam suatu matriks atau tabel (Tabel
mulai dari 0,3 – 2 meter, dengan ukuran mulai dari 3.) yang menunjukkan angka atau nilai probabilitas
very fine sand – coarse sand, hubungan antara kemunculan masing-masing litologi.
batulanau dan batupasir tersebut , berupa sisipan.
Semakin keatas batupasir tersebut mengandung fosil
jejak dan komponen karbonat. Pada kisaran jarak 64
– 66 meter, tersusun atas perselingan batupasir kasar
dengan batulanau. Struktur sedimen batulanau
tersebut, yaitu laminasi pararel, sedangkan batupasir
tersebut, yaitu berlapis. Pada jarak 66 – 68,7 meter,
tersusun atas perselingan antara very fine sandstone
dengan medium sandstone. Pada kisaran jarak 68,7
– 72 meter, tersusun atas batupasir, perselingan
batulanau karbonatan dan batupasir. Struktur
sedimen pada batulanau berupa laminasi pararel, Tabel 3. Matriks frekuensi transisi observasi daerah
sedangkan pada batupasir berupa laminasi dan penelitian
semakin keatas menjadi massif. Kenampakan
lapisan batuan tersebut semakin mengkasar keatas, Matriks frekuensi transisi di atas dapat dibentuk
dengan ukuran batupasir tersebut mulai dari fine matriks probabilitas transisi. Berdasarkan matriks
sand – medium sand. Pada kisaran jarak 72 – 73,8 tersebut dapat dilihat jumlah ke arah baris akan sama
meter, tersusun atas batupasir karbonatan dan dengan jumlah ke arah kolom. Kecenderungan
batulempung.Kenampakan batuan tersebut terlihat perubahan dari satu keadan ke keadaan lainnya
semakin menghalus, dengan struktur sedimen pada dapat dibuat dalam bentuk fraksi desimal atau
batupasir, yaitu berlapis, sedangkan pada prosentase, dengan membagi setiap elemen dengan
batulempung, yaitu laminasi. Pada kisaran jarak jumlah ke arah baris.
73,8 – 75 meter, tersusun atas batupasir dan
batulanau. Ukuran batupasir tersebut, yaitu fine 3.3 Matriks Presentase Probabilitas Transisi
sand. Kenampakan lapisan pada jarak tersebut Nilai kemunculan litologi kemudian dinyatakan
memperlihatkan semakin kasar keatas. dalam presentase pobabilitas yang menunjukkan
Kolom stratigrafi terukur tersebut kemudian peluang kemunculan suatu litologi dengan litologi
disusun dalam suatu urutan litologi pada setiap 0,5 sebelumnya (Tabel 4). Nilai Presentase probabilitas
ini nantinya dapat digunakan sebagai prediksi
meter lapisan batuan.
kemunculan litologi selanjutnya, berdasarkan nilai
persen probabilitas terbesar.

Tabel 1. Susunan litologi daerah penelitian

Table 4. Matriks Presentase Probabilitas Transisi

Dari nilai presentase diatas dapat diketahui


bahwa kemunculan litologi pada 0,5 meter
selanjutnya adalah :
1. Siltstone menjadi Siltstone
2. Very fine sandstone menjadi Very fine sandstone
3. fine sandstone menjadi fine sandstone
4. Coarse Sandstone menjadi Coarse Sandstone
Tabel 2. simbol keterangan litologi daerah penelitian 5. Medium Sandstone menjadi Medium Sandstone
6. Very Coarse Sandstone menjadi Very Coarse
Sandstone
7. Calcareous Sandstone menjadi Calcareous 9. Claystone – Siltstone - Medium Sandstone - Fine
Sandstone Sandstone - Calcareous Very Fine Sandstone -
8. Calcareous Very Fine Sandstone menjadi Calcareous Siltstone – Claystone.
Calcareous Very Fine Sandstone 10. Claystone - Siltstone - Very Fine Sandstone -
9. Calcareous coarsesandstone menjadi Fine Sandstone - Medium Sandstone - Fine
Calcareous coarsesandstone. Sandstone - Very Fine Sandstone - Siltstone -
Claystone.
Dari matriks presentase probabilitas diatas dapat
dibuat diagram siklus transisi dari fasies satu 3.5 Matriks Probabilitas Transisi Frekuensi
terhadap fasies lainnya.
Matriks probabilitas transisi ini menyatakan
3.4 Rantai Markov Chain nilai harapan dari masing-masing litologi dan
distribusikan secara merata pada setiap probabilitas
Nilai-nilai probabilitas diatas, disusun dalam
(tabel 5).
bentuk diagram yang saling berhubungan, disebut
rantai markov.

Table 5. Matriks Probabilitas Transisi Frekuensi

3.6 Matriks Transisi Random Yang


Diterapkan

Gambar 7 Rantai markov daerah penelitian

Diagram pada (gambar 7) di atas ini,


menunjukkan bahwa ada 51 siklus (tidak termasuk
transisi diri atau self transition), 10 siklus
diantaranya, antara lain : Table 6. Matriks Transisi Random Yang Diterapkan

1. Claystone - Siltstone - Very Fine Sandstone - 3.7 Tabel Chi Kuadrat


Fine Sandstone - Medium Sandstone – Siltstone
- Claystone. Maka dari perhitungan dan nilai-nilai
2. Claystone – Siltstone - Medium Sandstone - probabilitas observasi dan harapan yang sudah
Siltstone - Claystone. diperoleh, kemudian dimasukkan dalam perhitungan
3. Claystone – Siltstone - Fine Sandstone - Medium tabel chi kuadrat untuk menentukan diterima atau
Sandstone – Siltstone - Claystone. ditolaknya hipotesa (HI),tabel dapat dilihat pada
4. Claystone – Siltstone - Coarse Sandstone - (tabel 6). HO = Bahwa data tersebut berasal dari
Siltstone - Claystone. suatu populasi transisi yang random, probabilitas
5. Claystone – Siltstone - Calcareous Sandstone - urutan litologi tidak tergantung dengan litologi yang
Calcareous coarsesandstone - Siltstone - menutupi. HI = Bahwa data tersebut dari suatu
Claystone. populasi transisi yang sifatnya tidak
6. Claystone – Siltstone - Calcareous Sandstone - random,probabilitas urutan litologi bergantung
Calcareous Siltstone - Fine Sandstone - Very dengan litologi yang menutupnya.
Fine Sandstone - Siltstone - Claystone.
7. Claystone – Siltstone - Coarse Sandstone - Fine Degre of freedom (u) =
Sandstone - Calcareous Very Fine Sandstone - V= {banyak litologi – 1}2
Calcareous Siltstone - Fine Sandstone - Medium
Sandstone - Siltstone - Claystone. ={11– 1 }2 ={100}
8. Claystone – Siltstone - Fine Sandstone -
Calcareous Very Fine Sandstone - Calcareous A = 0,05 atau 5%
Siltstone – Claystone.
Tabel 7 Tabel Perhitungan Chi Kuadrat Dari hasil analisis tersebut, didapatkan bahwa nilai
X2 hitung (240,5549 > X2 table (124,3421).
Tingkat akurasi 5 % = alpha =0,05 sehingga nilai
kritis / nilai chi kuadratdari table yaitu X2 = 0,05, Maka ada suatu pengaruh yang signifikan,
(nilai Degree Of Freedom) 100 = 124,3421 bahwa kehadiran litologi dalam arti luas tergantung
pada litologi sebelumnya (litologi yang
menutupinya ) sehingga HO di tolak dan HI
diterima, dengan arti bahwa sekuen pada Measuring
Section (MS) tersebut. memiliki pola , sehingga
terdiri atas suatu transisi yang tidak random /
berpola. Hubungan lapisan batuan sebelumnya dan
sesudahnya saling berhubungan, dimana dapat
dilihat dari proses pengendepan batuan tersebut saat
terdendapatkan di lingkungnan pengendapanya.

Tabel 8 Persentase Tabel chi kuadrat


4.1 Kesimpulan Dartar Pustaka
Berdasarkan hasil analisa data di atas, maka Davis, John C., 2002, Statistics and Data Analysis In
dapat di simpulkan bahwa proses pengendapan pada Geology, John Wiley & Sons, Inc. New York.
Formasi Sambipitu diperoleh kesimpulan sebagai
berikut : Bothe, A.Ch.D., 1929, The Geology of the Hills near
Djiwo and the Southern Range, Forth Pacific
1. Berdasarkan analisis litofasies yang telah Science Congress.
diamati disepanjang lintasan Kali Ngalang
dengan ketebalan batuan pada lintasan tersebut, Surono, Toha, B., dan Sudarno, I., 1992, Peta
yaitu 100 m, didapatkan beberapa karakteristik Geologi Lembar Surakarta Giritontro, Jawa,
yang diamati sebagai asosiasi dari fasies turbidit. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi,
2. Berdasarkan analisis mikrofosil, berupa Bandung.
foraminifera planktonik didapatkan umur satuan Boggs, Sam, Jr. 1995. Principles of Sedimentology
batuan tersebut, yaitu N4-N5 (Miosen Awal). and Stratigraphy, second edition, Prentice
Berdasarkan analisis fosil jejak ditemukan Hall Englewood Cliffs, New Jersey.
adanya Thalasinoides isp. dan Chondroites isp.
maka dapat di simpulkan bahwa daerah Walker, R.G., James, Noel P., 1992. Facies Models:
penelitian terendapkan di Zona Tidal. Response to Sea Level Change, Geological
3. Berdasarkan hasil analisis markov chain dengan Association of Canada.
ketebalan batuan 40 meter, melalui uji chi square
dengan nilai Degree Of Freedom adalah 100 dan Bouma., 1962, Bouma Sequence, The
A adalah 0,05, didapatkan bahwa nilai X2 hitung Geological Society of London. Dunham,
(240,5549 > X2 table (124,3421). Dari data 1962, Clasification of Carbonate Rock
tersebut, maka hipotesa nol ditolak dan According Depositional Texture, AAPG.
mengambil kesimpulan bahwa ada suatu
Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of
pengaruh yang signifikan terhadap hadirnya
Indonesia, Vol. IA, Martinus Nijhoff, the
suatu fasies, tergantung pada fasies sebelumnya.
Hague, 732 p.
Dari hasil analisis dapat diprediksi bahwa Ekdale, A.A., Bromley, R.G and Pemberton, S.G.,
kemunculan litologi pada 0,5 meter selanjutnya 1984, Ichnology: The use of Trace Fossils in
adalah : Sedimentology and Stratigraphy, SEPM,
Tulsa-Oklahoma.
1. Siltstone menjadi Siltstone
2. Very fine sandstone menjadi Very fine Selly, R.C., 1985, Ancient Sedimentary
sandstone Environment, Cornell University Press,
3. fine sandstone menjadi fine sandstone Great Britain.
4. Coarse Sandstone menjadi Coarse
Sandstone Pandita, H., 2008, Lingkungan Pengendapan
5. Medium Sandstone menjadi Medium Formasi Sambipitu Berdasarkan Fosil Jejak
Sandstone di Daerah Nglipar, JTM, Institut Teknologi
6. Very Coarse Sandstone menjadi Very Bandung, Vol. XV, No. 2 hal 85-94. ISSN
Coarse Sandstone 0854-8528.
7. Calcareous Sandstone menjadi Calcareous
Sandstone Pandita, H., Pambudi, S., dan Winarti, 2009,
Analisis Model Fasies Formasi Sentolo Dan
8. Calcareous Very Fine Sandstone menjadi
Formasi Wonosari Sebagai Identifikasi
Calcareous Very Fine Sandstone
Awal Dasar Cekungan Togyakarta,
9. Calcareous coarsesandstone menjadi
Laporan Penelitian Hibah Bersaing Tahun II,
Calcareous coarsesandstone.
STTNAS Yogyakarta.
Ucapan Terima Kasih Sumarso & Ismoyowati, T. (1975) – Contribution to
The Stratigraphy of The Jiwo Hills and Their
Ucapan terimakasih diberikan kepada kedua Southern Surrondings (Central Java).
orangtua yang selalu mendoakan dan memberikan Proceedings Indonesian Petroleum
semangat setiap waktu, serta dosen mata kuliah Association 4 Annual Convention, vol. 2, pp
Geostatistik, Ani Apriani, S.Si.,M.Sc dan AL 19 – 26, 2006.
Hussein Flowers Rizqi, S.T., M.Eng. yang telah
membimbing dalam menyelesaikan penelitian ini.

Anda mungkin juga menyukai