Anda di halaman 1dari 11

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS GADJAH MADA


FAKULTAS TEKNIK
DEPARTEMEN TEKNIK GEOLOGI

LAPORAN PENUGASAN MATA KULIAH METODE GEOLOGI LAPANGAN


PETA SATUAN BATUAN TENTATIF INDIVIDU KAVLING 99

DISUSUN OLEH :
HERNANDA ALIF CAHYA SAPUTRA
(22/492670/TK/53928)
KELOMPOK 20

ASISTEN KELOMPOK :
R. JOSHUA NATHANIEL HARYANTO

DOSEN PENGAMPU :
Ir. NUGROHO IMAM SETIAWAN, S.T., M.T., D.Sc., IPM.
SALAHUDDIN HUSEIN, S.T., M.Sc., Ph.D.
Ir. MOCH. INDRA NOVIAN, S.T., M.Eng.

YOGYAKARTA
APRIL
2024
A. Pengantar

Dalam melakukan penarikan peta satuan batuan tentatif yang baik diperlukan analisis secara
menyeluruh dalam menentukan satuan batuan yang relevan yang disesuaikan atau dikorelasikan
dengan peta geologi regional yang tertera. Dasar dalam melakukan interpretasi satuan batuan
tentatif didasarkan pada beberapa dasar dalam penarikan, antara lain : rona yang dimunculkan
ketika melakukan surface analysis seperti DEMNAS yang diolah menjadi hillshade, korelasi
dengan peta dasar geologi regional, peta geomorfologi tentatif yang sudah dilakukan
interpretasi, serta evaluasi lanjut dalam melakukan penarikan atau interpretasi.

B. Bahan Dasar
1. Peta Dasar
2. Peta Kelerengan

3. Peta Pola Penyaluran


4. Peta Geologi Regional

5. Peta Geologi Tentatif


6. Peta Geomorfologi Tentatif

C. Bahan Korelasi (Data Formasi Geologi Regional)

Berdasarkan peta geologi regional, kavling 99 melingkupi lima formasi batuan yang terdiri
atas :
D. Penjelasan

Berdasarkan keenam peta sebagai bahan dasar dalam penarikan peta satuan batuan
tentatif tersebut, dapat dilakukan analisis dasar dalam menentukan satuan batuan yang sesuai.
Aspek yang dapat diamati dari keenam peta dasar diatas salah satunya berupa aspek tingkat
resistensi batuan dalam mengalami deformasi dan erosi. Melihat daerah pemetaan kavling 99
yang memiliki elevasi yang tergolong rendah – menengah dan tingkat kemiringan lereng yang
relatif rendah, maka dapat ditarik interpretasi bahwa daerah meemiliki satuan batuan dengan
tingkat resistensi yang tergolong rendah hingga menengah.

Lalu pada aspek geomorfologi menunjukkan dominasi morfologi berupa perbukitan


sinklin dan antiklin beserta kuesta yang terbentuk dari kemiringan perlapisan sedimen (dip)
yang tererosi pada permukaan mendukung daerah pengamatan berupa batuan dengan resistensi
yang tergolong rendah hingga menengah.

Pada aspek pola penyaluran juga umum berkembang pola penyaluran yang terkontrol
oleh perlipatan seperti trellis dan subtrellis (perlipatan terkontrol sesar) serta dendritik dan sub
dendritik yang umum berkembang di daerah dengan litologi cenderung homogen (sedimen
dengan perlapisan horizontal) dan dengan kondisi yang relatif datar (elevasi rendah) akibat
batuan yang tidak begitu resisten.

Sehingga dalam melakukan analisis tingkat lanjut didapatkan pola deliniasi untuk
membagi satuan batuan berdasarkan rona hillshade yang didapat dengan arah penyinaran 180o
(agar morfologi terlihat jelas (tegak lurus dengan strike perlapisan)) adalah sebagai berikut :
Dimana hasil deliniasi kavling 99 tersebut didasarkan pada penarikan hasil rona
hillshade dengan arah penyinaran 180o dari kavling kelompok 20 secara keseluruhan, sehingga
korelasi yang diperoleh dapat dilakukan dengan baik.

Alasan penggunaan analisis permukaan Hillshade dengan arah penyinaran 1800 adalah
agar tegak lurus dengan strike perlapisan dimana arah strike perlapisan dominan pada kuadran
1 yaitu pada arah NE (North – East) dengan arah dip direction cenderung ke arah selatan. Maka
dengan arah penyinaran 180o (tegak lurus strike) diharapkan morfologi perlapisan seperti
kuesta, perlipatan (antiklin, sinklin) dapat terlihat dengan jelas sehingga rona yang terbentuk
dapat dijadikan dasar dalam penarikan satuan batuan.

Setelah morfologi dapat terbentuk maka akan dapat terlihat tingkat erosi pada morfologi
yang merepresentasikan resistensi dari satuan batuan penyusun dari morfologi tersebut. Daerah
dengan morfologi yang masih terlihat cukup jelas dan elevasi yang cenderung tinggi, maka akan
memperlihatkan batuan dengan resistensi lebih tinggi sementara daerah dengan elevasi rendah
yang cenderung datar akan memiliki tingkat erosi yang tinggi sehingga resitensi batuan
cenderung rendah.
Pada daerah A sebagai contoh, dapat dilihat terdapat morfologi kuesta dari perlapisan
dengan arah strike pada kuadran 1 North – East dengan arah dip direction cenderung ke selatan.
Morfologi kuesta dari perlapisan tersebut merupakan bagian dari formasi Kerek dimana formasi
tersebut menjadi formasi tertua dalam kavling 99. Dapat dilihat morfologi kuesta tersebut
memanjang dari sisi barat ke timur dengan morfologi yang masih terlihat cukup jelas sehingga
membentu tinggian yang memiliki elevasi cenderung tinggi dibandingkan dengan morfologi
lain disekitarnya. Sehingga dapat ditarik interpretasi bahwa batuan penyusun formasi ini
memiliki resistensi yang cenderung tinggi sehingga dapat ditarik satuan batuan penyusun
daerah morfologi A yang mejadi bagian dari satuan morfologi Perbukitan Kuesta Gembol
tersusun atas batuan Perselingan Batupasir Gampingan dan Napal Formasi Kerek (BtpsGp –
N).

Setelah melakukan deliniasi keseluruhan terhadap rona hasil analisis hillshade dengan
arah penyinaran 180o, lalu didapatkan peta satuan batuan tentatif yang sudah dikorelasikan
dengan satuan batuan yang tertera sesuai data formasi pada peta geologi regional daerah Ngawi
sehingga didapatkan hasil sebagai berikut :
o Peta Satuan Batuan Tentatif

o Tabel Satuan Batuan

Kode Satuan
No Batuan Formasi
Batuan
Perselingan Batupasir Gampingan
1. BtpsGp–N Formasi Kerek
dan Napal Formasi Kerek
Perselingan Napal dan
2. N–Btlm Formasi Kerek
Batulempung Formasi Kerek
Napal Sisipan Batupasir dan
3. N–Btps–TfGp Tufan–Gampingan Formasi Formasi Kalibeng
Kalibeng
Napal Sisipan Tufan–Gampingan
4. N–TG Formasi Kalibeng
Formasi Kalibeng
5. Np Napal Pejal Formasi Kalibeng Formasi Kalibeng
Breksi Tufan Anggota Banyak Anggota Banyak Formasi
6. BT
Formasi Kalibeng Kalibeng
Breksi Andesit Anggota Banyak Anggota Banyak Formasi
7. BA
Formasi Kalibeng Kalibeng
Batulanau Gunungapi Formasi
8. Btln GA Formasi Notopuro
Notopuro
Batulempung–lanau Gunungapi
9. Btlm–ln Formasi Endapan Lawu
Formasi Endapan Lawu
E. Data Pendukung (Foto Singkapan Sekitar)

Perselingan Napal dan


Batulempung Formasi
Kerek

Perselingan Batupasir
Gampingan dan Napal
Formasi Kerek

Satuan Batuan
Satuan Batuan
Napal Pejal
Napal Pejal
Formasi Kalibeng
Formasi Kalibeng

Kontak Satuan Batuan Perselingan Napal dan Batulempung


Formasi Kerek dan Napal Pejal Formasi Kalibeng
(Kemungkinan)

Satuan Batuan Breksi Tufan Anggota Banyak Formasi


Kalibeng
F. Daftar Pustaka

Bandono, dan Brahmantyo, B., 1992. Peta Geomorfologi, Masalah dan Penggunaannya dalam
Pembangunan Berwawasan Lingkungan di Indonesia. Pros. PIT IAGI XXI,
Yogyakarta, hal. 777-783.

Brahmantyo, B., dan Bandono, 1999. Geomorphologic Information in Spatial Planning of


Indonesian Region, Proc. of Indonesian Assoc. of Geologists, the 28th Ann. Conv.,
Jakarta., pp. 255- 259.

Zuidam, R.A. van, 1985. Aerial Photo-Interpretation in Terrain Analysis and


Geomorphologic Mapping. ITC, Smits Publ., Enschede, The Hagu.

Howard, A. D., 1958, Drainage evolution in north eastern Montana and northwestern North
Dakota: Geol. Soc. America Bull., v. 69, p. 575-588. • 1962, Palimpsest drainage and
Chungchou photogeologic anomaly, Taiwan: Am. Assoc. Pe troleum Geologists Bull.,
v. 46, p. 2255-2258. 1965, Photogeological interpretation of struc ture in the Amazon
basin, a test study: Geol. Soc. America Bull., v. 76, p. 385-406.

Anda mungkin juga menyukai