Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesehatan jiwa dapat dinilai dengan beberapa indikator. Karl

Meninger dalam Yusuf, dkk (2015) mendefinisikan orang yang sehat

jiwanya adalah orang yang mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan

diri pada lingkungan, serta berintegrasi dan berinteraksi dengan baik, tepat

dan bahagia. Michael Kirk dalam Yusuf, dkk (2015) mendefinisikan orang

yang sehat jiwa adalah orang yang bebas dari gejala gangguan psikis, serta

dapat berfungsi optimal sesuai apa yang ada padanya. Chausen dalam

Yusuf, dkk (2015) mengatakan bahwa orang yang sehat jiwanya adalah

orang yang dapat mencegah gangguan mental akibat berbagai stressor, serta

dipengaruhi oleh besar kecilnya stressor, intensitas, makna, budaya,

kepercayaan, agama dan sebagainya.

Seseorang dengan sehat jiwa dapat mengendalikan diri dalam

menghadapi stressor dilingkungan masyarakat dengan selalu berfikir positif

dalam keselarasan tanpa adanya tekanan fisik dan psikologis, baik secara

internal maupun eksternal yang mengarah pada kestabilan emosional (Nasir

& Muhith, 2011). Untuk mencapai kesehatan jiwa yang optimal, maka perlu

memperhatikan komponen – komponen sehat, yaitu otonomi dan

kemandirian, memaksimalkan potensi diri, menoleransi ketidakpastian

1
2

hidup, harga diri, menguasai lingkungan, orientasi realitas dan manajemen

stress (Videbeck, 2008 dalam Satrio, dkk, 2015).

Selain kondisi jiwa yang sehat ada keadaan dimana jiwa mengalami

gangguan baik secara internal maupun eksternal. Jiwa yang terganggu

disebut dengan gangguan jiwa. Gangguan jiwa adalah manifestasi dari

bentuk penyimpangan perilaku akibat adanya distorsi emosi sehingga

ditemukan ketidakwajaran dalam bertingkah laku. Hal ini terjadi karena

terjadi penurunan fungsi kejiwaan yang meliputi proses berfikir, emosi,

kemauan dan perilaku psikomotorik termasuk bicara. Beberapa jenis

gangguan jiwa yang sering kita temukan di masyarakat salah satunya adalah

skizofrenia (Nasir & Muhith, 2011).

Skizofrenia merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan gejala

yang parah. Pada fase aktif biasanya gejalanya lebih terlihat. Gejala

skizofrenia umumnya digambarkan sebagai positif dan negatif. Gejala

positif cenderung mencerminkan penurunan atau hilangnya fungsi normal

(delusi dan halusinasi), sedangkan gejala negatif mencerminkan penurunan

atau hilangnya fungsi normal (apatis dan anhedonia). Sebagian besar klien

menunjukkan campuran dari kedua jenis gejala. Tanda – tanda gangguan

telah berlangsung setidaknya 6 bulan (Townsend, 2018).

Sekitar 75% penderita skizofrenia mengalami gangguan

perkembangan secara bertahap, biasanya muncul pada usia antara 15 sampai

25 tahun, akan tetapi ada juga gejala awal yang muncul sebelum usia 15

tahun dan diakhir setelah usia 40 tahun. Orang yang mengalami skizofrenia
3

sering kali mengalami fase pradnormal sewaktu beberapa gejala penyakit

tersebut berkembang biasanya selama berbulan – bulan atau bertahun –

tahun sebelum gangguan itu muncul sepenuhnya (Miller, 2016 dalam

Varcarolis, 2018).

Tanda gejala positif dari skizofrenia salah satunya adalah halusinasi.

Halusinasi merupakan suatu bentuk persepsi sensorik palsu yang tidak

terkait dengan rangsangan eksternal nyata dan dapat melibatkan salah satu

panca indera. Jenis halusinasi meliputi : halusinasi pendengaran, halusinasi

visual atau persepsi yang salah terdiri dari gambar yang berbentuk,

halusinasi taktil atau persepsi yang salah tentang indera sentuhan, halusinasi

gustatory yaitu persepsi rasa yang salah, halusinasi penciuman (Townsend,

2018), sekitar 70% halusinasi yang dialami klien gangguan jiwa adalah

halusinasi dengar atau suara, 20% halusinasi penglihatan dan 10% adalah

halusinasi penghidung, pengecapan dan perabaan (Sutejo, 2019).

Masalah gangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara

keseluruhan dan kemungkinan akan bertambah luas menjadi 25% pada

tahun 2030, gangguan jiwa juga berhubungan dengan bunuh diri, lebih

dari 90% dari satu juta kasus bunuh diri setiap tahunnya akibat gangguan

jiwa (WHO, 2018). Skizofrenia merupakan gangguan mental kronis yang

menyerang lebih dari 21 juta penduduk di dunia dan lebih sering terjadi

pada laki – laki yaitu sekitar 12 juta orang, sementara pada perempuan

sekitar 9 juta orang. Skizofrenia sangat terkait dengan kecacatan yang

cukup besar dan dapat mempengaruhi kinerja pendidikan dan pekerjaan.


4

Selain itu, masalah yang muncul adalah adanya stigma, diskriminasi dan

pelanggaran hak asasi manusia bagi penderita skizofrenia (WHO, 2017).

Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia mengalami

kenaikan menjadi 1,8 per mil dari nilai sebelumnya tahun 2013 adalah 1,7

per mil. Indonesia menjadi negara tertinggi se-Asia Tenggara dengan

penderita gangguan jiwa. Provinsi dengan gangguan jiwa berat yaitu Bali

dengan prevelansi 11% dan terendah yaitu kepulauan Riau 3%, sedangkan

didaerah Lampung 6% (Riskesdes, 2018 dalam Kemenkes, 2019).

Berdasarkan data yang penulis dapat di ruang Melati Rumah Sakit

Jiwa Daerah Provinsi Lampung pada bulan Januari s.d Maret 2019 terdapat

63 pasien dengan 31 (49,2%) pasien dengan halusinasi, 26 (41,2%) pasien

dengan resiko perilaku kekerasan, 4 (6,3%) pasien dengan defisit perawatan

diri, 1 (1,6%) pasien dengan isolasi sosial, 1 (1,6%) pasien dengan harga

diri rendah (Rumah Sakit Jiwa Provinsi Lampung, 2020).

Halusinasi yang tidak ditangani secara baik kondisinya dapat

memburuk dan dapat menimbulkan resiko terhadap keamanan diri klien

sendiri, orang lain dan juga lingkungan sekitar (Satrio, dkk, 2015). Hal ini

dikarenakan halusinasi dengar klien berisikan perintah untuk melukai

dirinya sendiri maupun orang lain (Roger, dkk, 1990 dalam Birchwood,

2009). Penatalaksanaan pasien skizofrenia dengan gejala halusinasi dapat

dilakukan intervensi dengan cara : membantu pasien mengidentifikasi

frekuensi halusinasi, waktu terjadi halusinasi, situasi pencetus halusinasi,

perasaan dan respon, membantu mengontrol halusinasi dengan cara


5

menghardik, bercakap – cakap, melakukan aktivitas terjadwal,

menggunakan obat dengan prinsip 6 benar (Muhith, 2015).

Salah satu cara untuk menangani pasien dengan halusinasi adalah

menggunakan terapi aktivitas terjadwal. Terapi aktivitas terjadwal dibuat

untuk mengurangi resiko halusinasi muncul lagi. Dengan melakukan

aktivitas terjadwal pasien tidak akan mengalami banyak waktu luang sendiri

yang sering kali mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien yang mengalami

halusinasi dapat dibantu untuk mengatasi halusinasinya dengan cara

aktivitas secara teratur dari bangun tidur sampai tidur malam, tujuh hari

dalam seminggu (Muhith, 2015).

Terapi psikoreligius Dzikir berasal dari kata “Dzakar” yang berarti

Ingat. Dzikir juga diartikan “menjaga dalam ingatan”. Jika berdzikir kepada

Allah artinya kita tetap menjaga agar selalu ingat kepada Allah ta’alla.

Dzikir menurut syara’ adalah mengingat Allah dengan etika tertentu yang

sudah diciptakan dalam Al-Quran dan Hadist dengan tujuan mensucikan

hati dan mengagungkan Allah. Tujuan dari dzikir adalah untuk mensucikan

hati dan jiwa, bersyukur atas apa yang telah diberikan Allah, menyehatkan

tubuh, dan mencegah diri dari bahaya nafsu (Fatihuddin, 2010 dalam

Dermawan, 2017).

Penelitian terkait pengaruh psikoreligius Dzikir untuk mengontrol

halusinasi yang dilakukan oleh Wahyu Catur Hidaya, dkk (2014), tentang

terapi religius Dzikir untuk meningkatkan kemampuan mengontrol

halusinasi pendengaran pada pasien halusinasi yang dilakukan di RSJD Dr.


6

Amino Gondohutomo Semarang selama 6 hari. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui pengaruh terapi religius zikir terhadap peningkatan

kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran pada pasien halusinasi.

Hasil analisis bivarit dengan uji wilcoxon menunjakkan ada pengaruh terapi

religius zikir terhadap peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi

pendengaran diperoleh nilai p-value = 0,000, karena nilai p<α (0,05)

sehingga dapat disimpulkan terapi religius zikir berpengaruh terhadap

peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran pada pasien

halusinasi di RSJD Dr. Gondohutomo Semarang.

Artikel yang ditulis dalam Deden Dermawan (2017) dengan judul

Pengaruh Terapi Psikoreligius: Dzikir Pada Pasien Halusinasi Pendengaran

di RSJD dr. Arif Zainudin Surakarta selama 12 hari, dan didapatkan hasil

bahwa terapi psikoreligius Dzikir dapat berpengaruh pada pasien skizofrenia

yang menujukkan tanda dan gejala yang berbeda sebelum dilakukan terapi

psikoreligius Dzikir dan sesudah dilakukan terapi psikoreligius Dzikir.

Terapi spiritual atau terapi religius Dzikir, apabila dilafalkan secara

baik dan benar dapat membuat hati menjadi tenang dan rileks. Terapi Dzikir

juga dapat diterapkan pada klien halusinasi, karena ketika klien melakukan

terapi Dzikir dengan tekun dan memusatkan perhatian yang sempurna

(khusu’) dapat memberikan dampak saat halusiasinya muncul klien dapat

menghilangkan suara – suara yang tidak nyata dan lebih dapat menyibukkan

diri dengan melakukan terapi Dzikir (Hidayat, dkk, 2014).


7

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan

intervensi aktivitas terjadwal, salah satunya adalah terapi psikoreligius

Dzikir dengan judul “Penerapan Terapi Psikoreligius Dzikir Untuk

Mengontrol Halusinasi pada Pasien GSP : Halusinasi Pendengaran di Ruang

Melati RSJ Daerah Provinsi Lampung Tahun 2020”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk

mengetahui rumusan masalah pada pasien halusinasi , yaitu “Bagaimana

Penerapan Terapi Psikoreligius Dzikir Untuk Mengontrol Halusinasi pada

Pasien GSP : Halusinasi Pendengaran di Ruang Melati RSJ Daerah

Provinsi Lampung Tahun 2020?”.

C. Tujuan

1. Tujuan Umum

Secara umum dari penulisan karya tulis ini untuk mengetahui

Penerapan Terapi Psikoreligius Dzikir Untuk Mengontrol Halusinasi

pada Pasien GSP : Halusinasi Pendengaran di Ruang Melati Rumah

Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung Tahun 2020.

2. Tujuan Khusus

1) Mengetahui karakteristik pasien dengan masalah GSP : halusinasi

di Ruang Melati Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

2) Mengidentifikasi tanda gejala sebelum dilakukan terapi

psikoreligius Dzikir pada pasien GSP : halusinasi di Ruang Melati

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.


8

3) Mengidentifikasi tanda gejala sesudah dilakukan terapi

psikoreligius Dzikir pada pasien GSP : halusinasi di Ruang Melati

Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teroritis

Hasil penerapan ini dapat memberikan manfaat dalam bidang

keperawatan jiwa khususnya tentang terapi psikoreligius Dzikir pada

pasien dengan halusinasi pendengaran.

2. Manfaat Praktis

1) Bagi Penulis

Menambah wawasan serta pengetahuan dalam melakukan tindakan

keperawatan jiwa terutama manfaat dari terapi psikoreligius Dzikir

pada pasien dengan halusinasi pendengaran.

2) Bagi Tenaga Kesehatan

Diharapkan dapat memberikan informasi bagi tenaga kesehatan

khususnya pada perawat dalam upaya melakukan penatalaksaan

untuk membantu mengontrol halusinasi dengan cara terapi

psikoreligius Dzikir.

3) Bagi Pasien

Penerapan ini dapat menjadi salah satu cara pilihan untuk

mengontrol halusinasi secara mudah tanpa media apapun sehingga

sangat efisien diterapkan saat klien sudah kembali ke masyarakat

dan lingkungan sekitar.


9

4) Bagi Keluarga

Penerapan ini dapat menjadi salah satu cara yang mudah seehingga

mudah diterapkan dan keluarga akan mampu mengingatkan dan

mencontohkan suatu saat nanti ketika klien sudah kembali

kerumahnya.
10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Teori

1. Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi

a. Definisi Halusinasi

Halusinasi merupakan gangguan persepsi sensori dari suatu

obyek tanpa adanya rangsangan dari luar, gangguan persepsi

sensori ini meliputi seluruh panca indera. Salah satu gangguan jiwa

yang pasien alami adalah perubahan sensori persepsi, serta

merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,

perabaan dan penciuman. Klien merasakan stimulus yang

sebenarnya tidak ada. Klien gangguan jiwa mengalami perubahan

dalam hal orientasi realitas (Yusuf, dkk, 2015).

Halusinasi dapat didefinisikan sebagai perubahan dalam

bagaimana seseorang menginterprestasikan persepsi atau

memahami realitas. Halusinasi merupakan ketika seseorang

merasakan pengalaman panca indera yang tidak ada stimulus

eksternal. Misalnya, mendengar suara ketika suara tersebut tidak

ada). Tipe halusinasi yaitu, audiotory (pendengaran), visual

(penglihatan), olfactory (penciuman), gustatory (pengecapan) dan

tactile (perabaan) (Varcarolis, 2018).

Halusinasi merupakan suatu bentuk persepsi sensorik palsu


11

yang tidak terkait dengan rangsangan eksternal nyata dan dapat

melibatkan salah satu panca indera. Jenis halusinasi meliputi,

halusinasi pendengaran, halusinasi visual atau persepsi yang salah

terdiri dari gambar yang berbentuk, halusinasi taktil atau persepsi

yang salah tentang indera sentuhan, halusinasi gustatory yaitu

persepsi rasa yang salah, halusinasi penciuman (Townsend, 2018).

Halusinasi merupakan suatu gejala gangguan jiwa dimana

klien merasakan suatu stimulus yang sebenarnya tidak ada. Klien

mengalami perubahan sensori persepsi : merasakan sensori palsu

berupa suara, penglihatan, pengecapan, perabaan dan penciuman.

Salah satu manifestasi yang timbul adalah halusinasi membuat

klien tidak dapat memenuhi kehidupannya sehari – hari. Halusinasi

merupakan salah satu dari sekian bentuk psikopatologi yang paling

parah dan membingungkan. Secara fenomologis, halusinasi adalah

gangguan yang paling umum dan paling penting. Selain itu,

halusinasi juga dianggap karakteristik psikosis (Sutejo, 2019).

b. Jenis Halusinasi

Terdapat 7 jenis halusinasi pada klien gangguan jiwa

menurut Stuart (2009) dalam Satrio, dkk (2015) antara lain :

1) Halusinasi Pendengaran

Pada klien dengan halusinasi pendengaran didapatkan tanda

dan gejala seperti mendengar bunyi atau suara, paling sering

dalam bentuk suara, rentang suara dari suara sederhana atau


12

suara yang jelas, suara tersebut membicarakan tentang pasien,

sampai percakapan yang komplet antara dua orang atau lebih

seperti orang yang berhalusinasi. Suara yang didengar dapat

berupa perintah yang memberitahu pasien untuk melakukan

sesuatu, kadang dapat membahayakan dan mencederai. Sekitar

70% klien skizofrenia mengalami halusinasi pendengaran.

Tanda gejala pada halusinasi pendengaran antara lain : melirik

mata kekanan dan kekiri, mendengarkan dengan penuh

perhatian pada orang yang sedang berbicara atau benda mati

didekatnya, terlibat pembicaraan dengan benda mati atau orang

yang tidak tampak, menggerakkan mulut seperti mengomel.

2) Halusinasi Penciuman

Pada halusinasi penciuman klien dapat mencium bau busuk,

jorok, dan bau tengik seperti darah, urin, tinja. Bau yang

dicium oleh klien dengan halusinasi penciuman dapat

menyenangkan, biasanya halusinasi penciuman berhubungan

dengan stroke, kejang, dan demensia.

Tanda gejala pada halusinasi penciuman antara lain :

mengkerutkan hidung seperti mencium udara yang tidak enak,

menghirup bau tubuh, berespon terhadap bau dengan panik.

3) Halusinasi Penglihatan

Pada halusinasi penglihatan klien melihat cahaya, bentuk

geometris, kartun atau campuran antara gambar bayangan yang


13

kompleks. Bayangan tersebut dapat menyenangkan atau juga

sebaliknya mengerikan.

Tanda dan gejala pada halusinasi penglihatan antara lain :

tampak tergagap, ketakutan karena orang lain atau benda mati,

lari keruangan lain.

4) Halusinasi Pengecapan

Pada halusinasi pengecapan berisikan tentang klien merasakan

bahwa makanan seperti sesuatu yang lain. Rasa tersebut dapat

berupa rasa logam, pahit, busuk, tak sedap, anyir seperti darah,

urine atau feses.

Tanda dan gejala pada halusinasi pengecapan antara lain :

meludahkan makanan atau minuman, menolak makan atau

minum obat, meninggalkan meja makan.

5) Halusinasi Perabaan

Pada halusinasi perabaan berisikan tentang klien merasakan

sensasi seperti aliran listrik yang menjalar keseluruh tubuh,

klien juga dapat mengalami nyeri atau tidak nyaman tanpa

adanya stimulus.

Tanda dan gejala pada halusinasi perabaan antara lain :

menampar diri sendiri seakan – akan sedang memadamkan api,

melompat – lompat dilantai seperti menghindari sesuatu yang

menyakitkan.
14

6) Halusinasi Chenesthetik

Pada halusinasi chenesthetik klien akan merasa fungsi tubuh

seperti darah berdenyut melalui vena dan arteri, mencerna

makanan, atau bentuk urin.

7) Halusinasi Kinestetik

Terjadi ketika klien bergerak tetapi melaporkan sensasi gerakan

tubuh yang tidak lazim seperti melayang diatas tanah. Sensasi

gerakan sambil berdiri tapi tidak bergerak.

c. Fase Halusinasi

Halusinasi yang dialami klien dapat berbeda – beda

intensitas dan keparahannya. Satrio, dkk (2015) membagi fase

halusinasi menjadi 4 fase. Semakin berat fase halusinasi maka

semakin berat klien mengalami ansietas dan semakin dikendalikan

oleh halusinasinya.

Fase – fase halusinasi, yaitu :

1) Comforting ( Menyenangkan dan cemas ringan)

Klien yang berhalusinasi mengalami emosi yang intense seperti

merasa cemas, kesepian, rasa bersalah dan takut.

Perilaku pada fase comforting adalah : Tersenyum lebar,

menyeringai tetapi tampak tidak tepat, menggerakkan bibir

tanpa bersuara, pergerakan mata yang cepat, respon verbal

yang lambat namun asik, diam dan tampak asik sendiri.


15

2) Commdemning (Menjijikan dan cemas sedang)

Klien yang berhalusinasi mulai merasa kehilangan kontrol dan

mungkin berusaha menjauhkan diri, serta merasa malu dengan

adanya pengalaman sensori dan menarik diri dari orang lain.

Perilaku pada fase commdemning adalah : Menunjukkan

kecemasan, terdapat peningkatan nadi, pernapasan, dan tekanan

darah, rentang perhatian menjadi sempit, asyik dengan

sendirinya dan dapat kehilangan kemampuan untuk

membedakan halusinasi dengan realitas.

3) Controlling ( Berkuasa dan cemas berat)

Klien mencoba untuk melawan halusinasinya. Isi halusinasi

bisa menjadi menarik atau memikat. Seseorang mungkin

mengalami kesepian jika pengalaman sensori berakhir.

Perilaku pada fase controlling adalah : Arahan dari halusinasi

mungkin akan diikuti dan dituruti, mengalami kesulitan dalam

berhubungan dengan orang lain, rentang perhatian hanya dalam

beberapa detik atau menit, tampak tanda kecemasan berat

seperti berkeringat, tremor, tidak mampu mengikuti perintah.

4) Conquering (Melebur dan panik)

Pada tahap ini pengalaman sensori menjadi mengancam jika

klien tidak mengikuti perintah halusinasi. Halusinasi akan

berakhir dalam waktu empat jam atau sehari jika tidak ada

intervensi teraupetik.
16

Perilaku pada fase conquring adalah : Klien tampak seperti

dihantui terror dan panik, potensi kuat untuk bunuh diri dan

membunuh orang lain, aktivitas fisik yang digambarkan klien

menunjukkan isi dari halusinasi, misalnya melakukan

kekerasan, agitasi, menarik diri atau katatonia, klien tidak

mampu merespon perintah yang kompleks, tidak mampu

merespon lebih dari satu orang.

d. Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Halusinasi

Halusinasi merupakan salah satu gejala dalam menentukan

diagnosis klien yang mengalami psikotik, khususnya skizofrenia.

Menurut Yosep dan Sutini (2016), halusinasi dipengaruhi oleh

faktor antara lain :

1) Faktor Predisposisi antara lain :

a) Faktor Perkembangan, tugas perkembangan klien yang

terganggu misalnya rendahnya kontrol dan kehangatan

keluarga menyebabkan klien tidak mampu mandiri

sejak kecil, mudah frustasi, hilang kepercayaan diri dan

lebih rentang terhadap stress.

b) Faktor Sosiokultural, seseorang yang merasa tidak

diterima lingkungannya sejak bayi (unwanted child)

akan merasa disingkirkan, kesepian dan tidak percaya

pada lingkungannya.
17

c) Faktor Biokimia, mempunyai pengaruh terhadap

terjadinya gangguan jiwa. Adanya stress berlebihan

dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan

suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia

seperti buffofenon dan Dimetytransferase (DMP).

Akibat stress berkepanjangan menyebabkan

teraktivasinya neurotransmitter otak. Misalnya terjadi

ketidakseimbangan acetylcholin dan dopamin.

d) Faktor Psikologis, tipe kepribadian lemah dan tidak

bertanggung jawab mudah terjerumus pada

peyalahgunaan zat adaptif. Hal ini berpengaruh pada

ketidakmampuan klien dalam mengambil keputusan

yang tepat demi masa depannya. Klien lebih memilih

kesenangan sesaat dan lari dari alam nyata menuju alam

hayal.

e) Faktor Genetik dan pola asuh, penelitian menunjukkan

bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang tua

skizofrenia mengalami skizofrenia. Hasil studi

menunjukkan bahwa faktor keluarga menujukkan

hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini.

2) Faktor Presipitasi antara lain :

a) Perilaku, yaitu respon klien terhadap halusinasi dapat

berupa curiga, ketakutan, perasaan tidak aman, gelisah,


18

bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian, tidak

mampu mengambil keputusan serta tidak dapat

membedakan keadaan nyata dan tidak nyata. Menurut

Rawlins dan Haecock (1993) mencoba memecahkan

masalah halusinasi berlandasan atas hakikat keberadaan

sesorang individu sebagai makhluk yang dibangun atas

dasar unsur – unsur bio-psiko-sosial-spiritual sehingga

halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi yaitu :

1) Fisik, halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa

kondisi fisik seperti kelelahan yang luar biasa,

penggunaan obat – obatan, demam hingga delirium,

intoksikasi alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam

waktu yang lama.

2) Dimensi Emosional, perasaan cemas yang berlebihan

atas dasar problem yang tidak dapat diatasi merupakan

penyebab halusinasi ini terjadi. Isi dari halusinasi dapat

berupa perintah memaksa dan menakutkan. Klien tidak

sanggup lagi menentang perintah tersebut hingga

dengan kondisi tersebut klien berbuat sesuatu terhadap

ketakutan tersebut.

3) Dimensi Intelektual, dalam dimensi intelektual ini

menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan

memperlihatkan adanya penurunan fungsi ego. Pada


19

awalnya halusinasi merupakan usaha dari ego sendiri

untuk melawan implus yang menekan, namun

merupakan suatu hal yang menimbulkan kewaspadaan

yang dapat mengambil seluruh perhatian klien dan tidak

jarang akan mengontrol semua perilaku klien.

4) Dimensi Sosial, klien mengalami gangguan interaksi

sosial dalam fase awal dan comferting, klien

menganggap bahwa hidup bersosialisasi di alam nyata

sangat membahayakan. Klien asyik dengan

halusinasinya, seolah – olah ia merupakan tempat untuk

memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri

dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata.

Isi halusinasi dijadikan sistem kontrol oleh individu

tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa

ancaman, dirinya atau oraang lain individu cenderung

untuk itu. Oleh karena itu, aspek penting dalam

melaksanakan intervensi keperawatan klien dengan

mengupayakan suatu proses interaksi yang

menimbulkan pengalaman interpersonal yang

memuaskan, serta mengusahakan agar klien tidak

menyendiri sehingga klien selalu berinteraksi dengan

lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.


20

5) Dimensi Spiritual, secara spiritual klien halusinasi

dengan kehampaan hidup, rutinitas tidak bermakna,

hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara

spiritual untuk mensucikan diri. Irama sirkardiannya

terganggu, karena ia sering tidur larut malam dan

bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan

tidak jelas tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir

tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki,

menyalahkan lingkungan dan orang lain yang

menyebabkan takdirnya memburuk.

e. Penilaian Terhadap Stressor

Penilaian seseorang terhadap stressor terdiri dari dari

respon kognitif, afektif, fisiologis, perilaku dan sosial. Hal ini

memberikan arti bahwa apabila idividu mengalami suatu stressor

maka ia akan merespon stressor tersebut dan akan tampak tanda

dan gejala yang muncul (Stuart dan Laraia, 2005 dalam Satrio,

dkk, 2015).

f. Rentang Respon Neurobiologis

Halusinasi merupakan gangguan dari persepsi sensori,

waham merupakan gangguan pada isi pikiran, keduanya

merupakan gangguan dari respons neurobiologi. Oleh karenanya

secara keseluruhan, rentang respons halusinasi mengikuti kaidah

rentang respon biologis. Menurut Yusuf, dkk (2015) rentang


21

respons neurobiologi terciptanya hubungan sosial yang harmonis.

Rentang respons yang paling maladaptif adalah adanya waham,

halusinasi, termasuk isolasi sosial menarik diri. Rentang respon

tersebut digambarkan seperti gambar dibawah ini :

Respon Adaptif Respon Maladaptif


1. Pikiran logis 1. Kadang 1. Gangguan
2. Pesepsi proses pikir proses pikir :
akurat tidak waham
3. Emosi terganggu 2. Halusinasi
konsisten 2. Ilusi 3. Kesukaran
dengan proses emosi
3. Emosi tidak
pengalaman 4. Perilaku tidak
stabil
4. Perilaku terorganisasi
cocok 4. Perilaku
5. Isolasi sosial
5. Hubungan tidak biasa
sosial 5. Menarik diri
harmonis

Gambar 2.1 : rentang respon neurobiologis halusinasi (Yusuf, dkk,

2015).

g. Sumber Koping

Sumber koping merupakan hal yang penting dalam

membantu klien dalam mengatasi stressor yang dihadapinya.

Sumber koping tersebut meliputi asset ekonomi, sosial support,

nilai dan kemampuan individu mengatasi masalah. Apabila

individu mempunyai sumber koping yang adekuat maka ia akan

mampu beradaptasi dan mengatasi stressor yang ada (Stuart dan

Laraia, 2005 dalam Satrio, dkk, 2015). Keluarga merupakan salah


22

satu sumber koping yang dibutuhkan indvidu ketika mengalami

stress. Keluarga salah satu sumber pendukung yang utama dalam

penyembuhan klien skizofrenia (Videbeck, 2008 dalam Satrio, dkk,

2015).

h. Mekanisme Koping

Mekanisme koping yang digunakan klien dengan halusinasi

menurut Sutejo (2019) meliputi :

1) Regresi

Regresi berhubungan dengan proses informasi dan upaya yang

digunakan untuk menanggulangi ansietas. Energi yang tersisa

untuk beraktivitas sehari – hari tinggal sedikit, sehingga klien

menjadi malas beraktivitas sehari - hari

2) Proteksi

Mencoba menjelaskan gangguan persepsi dengan mengalihkan

tanggung jawab kepada orang lain atau suatu benda

3) Menarik diri

Klien sulit mempercayai orang lain dan asyik dengan stimulus

internal

4) Keluarga mengingkari masalah yang dialami oleh klien.

i. Tanda – Gejala GSP : Halusinasi

Tanda dan gejala pada klien halusinasi berbeda – beda.

Tanda gejala menurut SDKI (2016) antara lain :


23

1) Tanda dan gejala mayor

a) Data Subyektif :

1) Mendengar suara bisikan atau melihat bayangan

2) Merasakan sesuatu melalui indera perabaan,

penciuman, penglihatan, pendengaran dan pengecapan

b) Data Obyektif :

1) Distorsi sensori

2) Respon tidak sesuai

3) Bersikap seolah melihat, mendengar, mengecap, meraba

atau mencium sesuatu

2) Tanda dan gejala minor

a) Data subyektif :

1) Menyatakan kesal

b) Data obyektif :

1) Disorientasi waktu, tempat, orang atau situasi

2) Curiga

3) Melihat ke arah tertentu

4) Mondar mandir

5) Bicara sendiri

2. Terapi Psikoreligius Dzikir

a. Pengertian Psikoreligius Dzikir

Salah satu cara untuk menangani klien dengan halusinasi

adalah menggunakan terapi aktivitas terjadwal. Terapi aktivitas


24

terjadwal dibuat untuk mengurangi resiko halusinasi muncul

lagi. Dengan beraktivitas secara terjadwal, klien tidak akan

mengalami banyak waktu luang sendiri yang sering kali

mencetuskan halusinasi. Untuk itu pasien yang mengalami

halusinasi dapat dibantu untuk mengatasi halusinasinya dengan

cara aktivitas secara teratur dari bangun tidur sampai tidur

malam, tujuh hari dalam seminggu (Muhith, 2015).

Terapi psikoreligius Dzikir berasal dari kata “Dzakar” yang

berarti Ingat. Dzikir juga diartikan “menjaga dalam ingatan”.

Jika berdzikir kepada Allah artinya kita tetap menjaga agar

selalu ingat kepada Allah ta’alla. Dzikir menurut syara’ adalah

mengingat Allah dengan etika tertentu yang sudah diciptakan

dalam Al-Quran dan Hadist dengan tujuan mensucikan hati dan

mengagungkan Allah. Tujuan dari dzikir adalah untuk

mensucikan hati dan jiwa, bersyukur atas apa yang telah

diberikan Allah, menyehatkan tubuh, dan mencegah diri dari

bahaya nafsu (Fatihuddin, 2010 dalam Dermawan, 2017).

Dzikir kepada Allah dapat menjadi energi positif, motivasi

hati dan dapat menjadi sebuah metode dalam mewujudkan

kesehatan mental. Merasa dekat dengan Allah, seyogyanya

menjadikan diri terawasi dan terjaga untuk tidak tergelincir dan

terjerumus ke dalam perkara – perkara yang mendatangkan

dosa dan maksiat. Dzikir memelihara diri dari was – was setan,
25

mendatangkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat,

menghantarkan kepada derajat yang tinggi di sisi Allah,

memberkian sinaran kepada hati dan menghilangkan kekotoran

psikologis (Rajab, 2011).

Terapi spiritual atau terapi religius Dzikir, apabila

dilafalkan secara baik dan benar dapat membuat hati menjadi

tenang dan rileks. Terapi Dzikir juga dapat diterapkan pada

klien halusinasi, karena ketika klien melakukan terapi Dzikir

dengan tekun dan memusatkan perhatian yang sempurna

(khusu’) dapat memberikan dampak saat halusiasinya muncul

klien dapat menghilangkan suara – suara yang tidak nyata dan

lebih dapat menyibukkan diri dengan melakukan terapi Dzikir

(Hidayat, dkk, 2014).

b. Tujuan Terapi Psikoreligius Dzikir

Tujuan dari terapi psikoreligius dzikir menurut Rajab

(2011) antara lain :

1) Mendekatkan seorang individu kepada Allah

2) Menimbulkan gelora kebahagiaan, kenikmatan dan

ketenangan karena perasaan dekat dengan Allah

3) Mengantarkan individu ke suatu kondisi kesadaran akan

pentingnya dekat dengan Allah


26

4) Melahirkan pola kesadaran bahwa individu selalu mendapat

pengawalan dan monitoring terhadap perilaku yang baik

maupun buruk

c. Standar Operasional Prosedur

Standar operasional prosedur menurut Rumah Sakit Jiwa

Daerah Provinsi Lampung, yaitu :

1) Fase Orientasi

a) Perawat mengucapkan salam pembuka

b) Perawat menanyakan tentang cara menghardik, obat

dan bercakap – cakap apakah mempunyai dampak

terhadap isi, waktu, frekuensi, situasi dan perasaan dari

halusinasi, perawat menanyakan latihan menghardik,

memanfaatkan obat, bercakap – cakap yang dilakukan

klien saat halusinasinya muncul sesuai jadwal yang

disepakati, adakah perubahan dari halusinasi yang

dialami

c) Perawat bersama klien menyepakati kontrak yang

terdiri dari topik, waktu dan tempat

d) Perawat menjelaskan tujuan interaksi yang akan

dilakukan
27

2) Fase Kerja

a) Perawat dan klien mendiskusikan :

1) Menanyakan pengetahuan klien terkait tindakan apa

saja selain menghardik, obat, bercakap – cakap yang

dapat dilakukan untuk mengurangi atau mengontrol

halusinasi

2) Perawat mendengarkan penjelasan klien dengan

sikap empati, jujur dan penuh perhatian

b) Perawat mencontohkan dan menjelaskan cara

mengontrol halusinasi dengan kegiatan terjadwal :

1) Perawat menjelaskan bila halusinasi muncul dapat

diatasi dengan kegiatan – kegiatan terjadwal yang

dapat mendistraksi atau mengalihkan halusinasi

yang dialami agar klien tidak terlarut dalam

hausinasi

2) Perawat menjelaskan kegiatan – kegiatan apa saja

yang bisa digunakan mendistraksi atau mengalihkan

halusinasi selama dirumah sakit yang dilakukan

oleh klien dan kegiatan – kegiatan dirumah

3) Perawat dan klien mengumpulkan kegiatan –

kegiatan dirumah sakit dan dirumah yang dapat

dilakukan klien dalam mengalihkan halusinasi


28

4) Perawat mencontohkan membuat daftar kegiatan –

kegiatan terjadwal dirumah sakit, dimulai dari

kegiatan klien bangun tidur sampai klien tidur

kembali

5) Perawat menjelaskan cara yang sama yang dapat

klien lakukan dirumah

6) Klien mempraktekan membuat daftar kegiatan –

kegiatan terjadwal dirumah sakit dan memilih satu

kegiatan untuk dilatih

7) Klien dilatih kegiatan yang dipilih dengan

menyebutkan pengertian, alat dan bahan serta cara

melakukan kegiatan yang dipilih

c) Perawat menganjurkan klien mempraktekan latihan

yang sudah dicontohkan perawat

d) Perawat menyarankan pada klien untuk fokus saat

latihan agar memiliki dampat positif pada kesembuhan

klien

e) Perawat dan klien memasukkan pada jadwal kegiatan

untuk latihan kegiatan terjadwal

f) Perawat mendokumentasikan yang dilakukan klien

dalam catatan kesehatan klien


29

3) Fase Terminasi

a) Perawat menanyakan perasaan klien setelah latihan

kegiatan terjadwal : psikoreligius Dzikir, yang meliputi

apa saja yang sudah didiskusikan dan apa yang

dilakukan klien jika halusinasinya muncul

b) Perawat meminta klien untuk mempraktekan kembali

cara melakukan kegiatan terjadwal : cara terapi

psikoreligius Dzikir

c) Perawat memberikan reinforcement positif terkait apa

yang dilakukan klien.

d) Perawat meminta klien untuk melakukan apa saja yang

sudahdilatih sesuai jadwal

e) Perawat dan klien menyepakati kontrak berikutnya

terkait topik, waktu dan tempat untuk masalah yang lain

f) Perawat mengakhiri kegiatan dengan salam penutup

B. Penelitian Terkait

Penelitian terkait pengaruh psikoreligius Dzikir untuk mengontrol

halusinasi yang dilakukan oleh Wahyu Catur Hidaya, dkk (2014), tentang

terapi religius Dzikir untuk meningkatkan kemampuan mengontrol

halusinasi pendengaran pada pasien halusinasi yang dilakukan di RSJD

Dr. Amino Gondohutomo Semarang selama 6 hari. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui pengaruh terapi religius zikir terhadap peningkatan

kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran pada pasien halusinasi.


30

Hasil analisis bivarit dengan uji wilcoxon menunjakkan ada pengaruh

terapi religius zikir terhadap peningkatan kemampuan mengontrol

halusinasi pendengaran diperoleh nilai p-value = 0,000, karena nilai p<α

(0,05) sehingga dapat disimpulkan terapi religius zikir berpengaruh

terhadap peningkatan kemampuan mengontrol halusinasi pendengaran

pada pasien halusinasi di RSJD Dr. Gondohutomo Semarang.

Terapi psikoreligius Dzikir juga ditulis dalam artikel Deden

Dermawan (2017) dengan judul Pengaruh Terapi Psikoreligius Dzikir

Pada Pasien Halusinasi Pendengaran di RSJD dr. Arif Zainudin Surakarta

selama 12 hari, penelitian ini menggunakan desain deskriptif kualitatif

dengan pendekatan proses keperawatan (nursing proses) dengan

menggunakan instrumen wawancara, lembar observasi, perekam, buku dan

alat tulis. Peneliti memberikan tindakan Dzikir ketika pasien mendengar

suara – suara palsu, saat waktu luang dan ketika klien selesai

melaksanakan solat, dan didapatkan hasil bahwa terapi psikoreligius

Dzikir dapat berpengaruh pada pasien skizofrenia yang menujukkan tanda

dan gejala yang berbeda sebelum dilakukan terapi psikoreligius Dzikir dan

sesudah dilakukan terapi psikoreligius Dzikir.


31

BAB III

METODOLOGI PENULISAN

A. Desain

Karya tulis ilmiah ini berbentuk studi kasus. Desain penerapan

merupakan pendekatan deskritif. Metode ini bersifat mengumpulkan data

terlebih dahulu, menganalisis data lalu menarik kesimpulan data. Unit

yang menjadi kasus tersebut secara lebih jauh dianalisis dan diberikan

suatu tindakan terapi. Terapi psikoreligius Dzikir dapat mengalihkan

halusinasi pendengaran yang dialami oleh klien dengan cara Dzikir,

responden dapat mengalihkan halusinasi pendengaran yang dialami

sehingga klien merasakan ketentraman jiwa (Bulechek, dkk, 2016 dalam

Dermawan 2017), dan didukung oleh buku dan hasil jurnal – jurnal yang

mempunyai tema berkaitan dengan terapi yang dilakukan oleh penulis.

B. Subyek Penerapan

Subyek dalam karya tulis ilmiah ini adalah 1 orang pasien di

Ruang Melati Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung tahun 2020.

Adapun kriteria subyek dalam karya tulis ilmiah ini adalah :

1. Pasien bersedia menjadi responden

2. Pasien dengan masalah keperawatan utama halusinasi pendengaran

3. Pasien dalam tingkat/tahap fase ke dua (commdemning atau

menjijikkan)

4. Pasien beragama islam

5. Pasien tidak memiliki kecacatan dalam berbicara dan mendengar.


32

C. Batasan Istilah

Tabel 3.1 Batasan Istilah

No Variabel Batasan Alat Ukur Cara Hasil Ukur Skala


Istilah Ukur Ukur

1. Tanda dan Kondisi Lembar Ceklis dan Melihat -


gejala yang muncul observasi observasi perubahan
halusinasi pada pasien (terlampir) setiap tanda dan
berupa tanda ceklis gejala
dan gejala diberi skor sebelum dan
obyektif dan 10 sesudah
subyektif dilakukan
terapi
psikoreligius
Dzikir (pre
dan post)
2. Terapi Tindakkan SOP Memandu Pasien -
psikoreligius yang (Standar pasien mengungkap
Dzikir dilakukan Operasional dalam kan
oleh pasien Prosedur) melakukan perasaannya
untuk terapi setelah
mengontrol psikoreligi melakukan
halusinasi us Dzikir terapi
sesuai psikoreligius
dengan Dzikir
SOP

D. Lokasi dan Waktu Penerapan

Intervensi karya tulis ilmiah ini dilakukan di Ruang Melati Rumah

Sakit Jiwa Daerah Provinsi Lampung selama 3 hari pada bulan April.

E. Instrumen Penerapan

Instrumen penerapan yang digunakan pada pengumpulan data

adalah lembar observasi untuk mengukur tanda dan gejala pada klien

halusinasi. Terdapat 14 tanda dan gejala pada lembar Observasi, lembar

observasi dibuat oleh penulis berdasarkan buku SDKI (2016), tanda dan

gejala tersebut meliputi data subyektif dan obyektif mayor, subyektif dan
33

obyektif minor yang dilihat dengan pilihan ceklis ( ) jika ditemukan dan

(dikosongkan) jika tidak ditemukan, masing – masing tanda akan

diberikan skor (10). Jika ditemukan klien diberi skor (10) dan jika tidak

ditemukan klien diberi skor (0).

F. Pengumpulan Data

Pada proses pengumpulan data klien menggunakan cara pengkajian

terhadap pasien halusinasi. Menurut Yusuf, dkk (2015) cara pengkajian

yang digunakan adalah wawancara dan observasi meggunakan 5 tahap

yaitu pengkajian, diagnosa, intervensi, implementasi, evaluasi yang

dijabarkan sebagai berikut :

1. Pengkajian

Sebelum melakukan pengkajian penulis terlebih dahulu

memperkenalkan diri dan membina hubungan saling percaya dengan

pasien yang memenuhi kriteria sebagai responden. Setelah memenuhi

kriteria penulis melampirkan lembar informed concent kepada perawat

yang bertanggug jawab atau kepada kepala ruangan atau kepala

keluarga apabila ada keluarga berkunjung. Setelah ditanda tangani

lembar informed concent sebagai persetujuan dilakukannya penerapan

terhadap responden. Penulis melakukan pre test dengan pasien untuk

mendapatkan data subyektif dan obyektif melalui lembar observasi,

untuk mendapatkan data subyektif penulis melakukan wawancara dan

untuk data obyektif dengan melakukan observasi respon pasien.

Setelah data – data terkumpul penulis akan mencari data tambahan


34

dengan melihat catatan perkembangan pasien dari rekam medik untuk

mengetahui informasi pasien terkait masalah seputar halusinasi,

biodata dan juga semua informasi menunjang yang berkaitan dengan

masalah yang sedang dialami pasien apabila tidak ada keluarga yang

berkunjung.

2. Diagnosa

Setelah melakukan pengkajian, penulis menemukan beberapa masalah

pada klien dengan masalah utama halusinasi pendengaran. Diagnosa

yang penulis tegakkan juga diagnosa utama yang sesuai dengan

kriteria subyek dalam penerapan terapi psikoreligius Dzikir.

3. Intervensi

Intervensi yang digunakan dalam penerapan ini berfokus pada terapi

aktivitas terjadwal yaitu terapi psikoreligius Dzikir. Terapi

psikoreligius Dzikir termasuk dalam strategi pelaksanaan ke empat,

terdapat 4 srategi pelaksanaan yang dapat dilakukan yaitu menghardik,

obat, bercakap – cakap dan aktivitas terjadwal.

4. Implementasi

Sesuai dengan intervensi yang sudah ditentukan, pasien mulai

dilatihkan intervensi yaitu terapi psikoreligius Dzikir. Intervensi

dilakukan selama 3 hari secara rutin setelah solat dan tambahan saat

pasien memiliki waktu luang. Implementasi dilakukan dengan

menggunakan komunikasi teraupetik yang bertujuan untuk membantu

pasien dalam kesembuhannya. Penulis akan mencari pasien yang


35

sesuai dengan kriteria yang sudah ditentukan dan memberikan tanda

() pada lembar observasi yang sudah disiapkan, kemudian penulis

mengkaji tanda dan gejala sebelum dilakukan terapi psikoreligius

Dzikir (pre test). Kemudian, penulis mengajarkan pada pasien

bagaimana melakukan terapi psikoreligius Dzikir, setelah itu penulis

mengkaji kembali apakah ada perubahan tanda dan gejala sesudah

diberikan terapi psikoreligius Dzikir, pengkajian akan diakukan pada

hari pertama ke dua dan hari ketiga (post test).

5. Evaluasi

Setelah tahap pengumpulan data dilakukan, penulis mengevaluasi

perasaan pasien dan menanyakan tentang perubahan tanda dan gejala

pasien kepada pasien karena pasien yag merasakan secara langsung

efek dari terapi yang dilakukan. Kemudian penulis melakukan evaluasi

menggunakan lembar observasi. Observasi dimaksudan untuk

mengumpulkan data – data obyektif pada pasien, karena data tidak

akan optimal apabila hanya berfokus pada data subyektif yang

diperoleh melalui wawancara sehingga penulis melakukan

pengumpulan data dengan wawancara dan observasi.

G. Analisis Data

Analisa data merupakan proses mencari dan menyusun secara

sistematis data yang diperoleh dari wawancara, catatan lapangan dan

dokumentasi, dengan cara memilih mana yang penting dan yang akan

dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami oleh diri


36

sendiri maupun orang lain (Sugiyono, 2016). Analisis data pada karya tulis

ilmiah ini dilakukan dengan melihat perubahan sebelum diberikan terapi

psikoreligius Dzikir (pre) dan sesudah diberikan terapi psikoreligius

Dzikir (post). Hasil yang didapat akan didokumentasikan untuk disajikan

dan kemudian dibahas bagaimana hasil persentase sebelum dilakukan

terapi psikoreligius Dzikir dan hasil persentase sesudah dilakukan terapi

psikoreligius Dzikir untuk mendapatkan perbandingan.

H. Etika Penerapan

Prinsip – prinsip etik dalam penulisan karya tulis ilmiah menurut

Hidayat, (2011) sebagai berikut :

1. Informed consent (persetujuan)

Informed consent merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dan

responden. Informed consent diberikan sebelum penerapan dilakukan

dengan memberikan lembar persetujuan untuk menjadi responden.

Tujuannya adalah supaya subyek mengerti maksut dan tujuan

penerapan dilakukan. Jika subyek bersedia maka mereka harus

menandatangani persetujuan dan jika subyek tidak bersedia, maka

penulis harus menghormati hak responden sesuai prinsip menghormati

manusia.

2. Anonimity (tanpa nama)

Anonimity merupakan salah satu bentuk menghormati hak manusia

sebagai jaminan kerahasiaan atau privacy responden dengan cara tidak


37

memberikan atau mencantumkan nama responden pada lembar strategi

pelaksanaan dan hanya menuliskan inisialnya saja.

3. Confidentiality (kerahasiaan)

Memberikan jaminan kerahasiaan data maupun hasil penerapan, baik

informasi maupun masalah – masalah terkait. Semua informasi yang

telah dikumpulkan dijamin kerahasiaannya oleh penulis, hanya

beberapa data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penerapan

dengan tetap memperhatikan prinsip – prinsip lainnya.

Anda mungkin juga menyukai