Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

MAKNA JIHAD & HUKUM JIHAD DALAM ISLAM

DI SUSUN OLEH
KELOM POK 1
1. SUBHAN NAUFHAL HABIB
2. AHMAD YANI
3. MARDIANIS
4. NURFAZILA
5. LAYYA SYIFAUL A’LA

MADRASAH ALIYAH NW SAMBELIA

2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang,
Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nyakepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah
tentang limbah dan manfaatnya untukmasyarakat.
Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari
berbagai pihaksehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami
menyampaikan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segisusunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka
kami menerima segalasaran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ilmiah ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inpirasi terhadap pembaca.

Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jihad dalam sejarah umat Islam sejak masa awal, sering digunakan untuk
melegitimasi perjuangan atas nama agama. Pembahasan mengenai jihad juga biasanya
mendapat porsi yang cukup dan dibahas dalam bab tersendiri. Makna dominan yang
dapat kita temukan adalah mengacu pada kekuatan militeristik. Hal yang sama juga dapat
ditemukan dalam kitab-kitab fikih klasik yang membahas tentang jihad. Hanya saja
beberapa kalangan tidak melihat bahwa ditemukan juga sejumlah ulama yang
berargumentasi bahwa jihad harus dipahami dalam pengertian moral dan spiritual, dan
bukan semata-mata dalam pengertian militer (fisik) (Rumaidi, 2008: 132).
Pengertian semacam ini menjadi semakin memprihatinkan ketika pada era
kontemporer ini beberapa oknum justru sering menjadikan ayat-ayat Al-Qur’an (yakni
ayat-ayat yang berkaitan dengan jihad) sebagai justifikasi untuk membenarkan aksi teror
dengan target warga sipil non muslim yang tak bersalah. Perintah memerangi orang-
orang musyrikin direduksi menjadi perintah membunuh non muslim sipil sehingga tidak
ada kekafiran di muka bumi. Menurut Hisyam Rusydi, pendapat seperti itu sangat
menyimpang dari konteks ayat-ayat jihad yang sejatinya turun merespon kaum musyrikin
Mekah 2 yang telah melanggar perjanjian damai dengan kaum muslimin. (Masduqi,
2013: 156).
Fakta di atas akan sangat kontradiktif jika dibandingkan dengan pendapat Ibnu
Rusyd. Menurut Ibnu Rusyd, al-Qur’an mengizinkan perang adalah sebagai “perjuangan
defensive”, yakni perang dilakukan semata untuk melindungi jiwa dan harta kaum
muslim dari agresi luar. Bahkan Jika dikembangkan lebih lanjut, teori zaman
pertengahan tentang jihad sudah tidak lagi relevan. Sebab, pemisah dunia menjadi dar al-
Islam dan dar alharb saat ini tak lebih dari fiksi belaka. Dunia Islam sekarang mengalami
disintegrasi ke dalam sejumlah negara yang saling berselisih (rival states), bahkan
sebagian negara Islam bersekutu dengan negara-negara yang bisa dikategorikan dar al-
harb dalam memerangi sesama agama. Lagi-lagi, Ibnu Rusy menegaskan, sebagian besar
ulama sebenarnya berpandangan bahwa “ayat-ayat perang” harus dibaca dalam konteks
“ayat-ayat damai”, sehingga jihad semata-mata dimaksudkan sebagai “perjuangan
defensive” (Sirry, 2003: 71).
Kontekstualisasi tentang jihad juga disampaikan alMaududi. Menurutnya jihad
dalam Islam adalah menggunakan semua potensi dan sarana yang memungkinkan untuk
melakukan revolusi ilmiah yang menyeluruh, serta mencurahkan segenap tenaga untuk
mencapai tujuan yang luhur. Usaha-usaha yang terus-menerus dan penggunaan segenap
potensi untuk tujuan yang luhur itulah yang dinamakan dengan jihad. Maka jihad 3
merupakan istilah yang mencakup semua jenis usaha dan pencurahan segenap tenaga.
Apabila sudah mengetahui hal itu, maka mengubah arah pandangan hidup manusia,
mengubah kecenderungan dan keinginan manusia, dan melakukan revolusi pemikiran
dengan pena-pena yang tajam itu termasuk jenis jihad, sebagaimana halnya memberantas
sistem kehidupan yang zalim dengan ketajaman pedang dan membangun sistem baru
berdasarkan sendi-sendi keadilan juga termasuk jenis jihad. Demikian pula dengan
memberikan harta dan bersabar menanggung penderitaan juga merupakan pasal-pasal
dan babbab penting dalam kitab jihad yang besar (Quth, 2010: 215).
Melihat berbagai pernyataan di atas, tentu dapat ditarik kesimpulan bahwa
memaknai jihad hanya secara tekstual -hanya bertumpu pada jihad yang terkait erat
dengan fisik/militeristikadalah sebuah pemahaman yang tidak bijak, khususnya jika
dibenturkan dengan kondisi sekarang. Lebih lanjut, menjadi sebuah perhatian saat
praktik-praktik oknum yang mengatas namakan jihad guna melegitimasi aksi terror
masih saja terjadi di berbagai belahan dunia, meski mayoritas ulama sama sekali tidak
membenarkan hal tersebut. Hal yang sama juga pernah terjadi dan masih menjadi
perhatian bagi berbagai komponen di Negeri ini. Satu dari banyak kasus semacam itu
yang pernah terjadi di Indonesia adalah Insiden bom Sarinah yang terjadi pada awal
tahun 2016. Kasus tersebut diindikasikan adanya fakta yang sangat bertentangan 4
dengan prinsip-prinsip jihad yang diajarkan dalam Islam. Dalam Islam dasar dan kaidah-
kaidah umum dalam jihad ialah: pertama, perang dimaksudkan untuk menyebarkan
ajaran Islam, maka orang yang tidak menghalangi gerak dakwah Islamiah tidak boleh
diperangi.
Hal ini untuk menjaga supaya Islam tidak menjadi obyek tuduhan terkait konsep
jihad dalam halnya dakwah Islamiah, maka umat Islam harus menyampaikan dakwah
kepada mereka umat non-Islam. Kedua, tidak boleh merusak harta benda, memotong
pohon atau membakar rumah, kecuali dalam keadaan darurat untuk menyingkirkan
halangan yang ada dihadapan gerak langkah dakwah. Ketiga, tidak boleh diperangi
apabila sudah mengikat perjanjian damai. Sehingga, dengan adanya perjanjian damai
tidak boleh menyalahi atau melanggar janji perdamaian tersebut.
Dengan demikian, terkait konsep jihad yang selama ini dipandang oleh non-
muslim khususnya non-Muslim di Indonesia, tentu hal tersebut sangat melenceng dari
prinsip-prinsip dasar dan kaidah-kaidah umum dalam jihad yang diajarkan dalam Islam
(Azam, 1991:15-16). Selain itu menurut pendapat Amin Husein sebagaimana yang
dikutip Saidurrahman (2012: 60-61) bahwa kewajiban berjihad secara fisik di Indonesia
belum layak dilakukan sebab Indonesia adalah negara yang multi agama. Sehingga
pemahaman sebagaimana yang diterangkan tersebut di atas dapat timbul dari beberapa
sebab. Salah satunya adalah pemikiran yang melihat ideologi dan agama lain sebagai
penyebab kemunduran umat 5 Islam, yang berakibat dalam umat Islam sendiri untuk
lebih menjadikan referensi isme-isme dan agama lain tersebut ketimbang pada al-Qur’an.
Oleh karena itu, paradigma ini juga dikenal sebagai golongan fundamentalis.
Bentuk dari isme dan agama lain yang diyakini sebagai “musuh Islam”, baik sosialisme,
kapitalisme, maupun zionisme, termasuk juga kekristenan. Selain itu pesatnya ancaman
bagi umat Islam, dikarenakan adanya pandangan umat Islam yang selalu menjadikan
ideology dengan agama lain sebagai faktor penyebab kemunduran umat Islam
(Salahuddin, 2009: 92). Perspektif semacam ini -menentang aksi teror dengan mengatas
namakan jihad- ternyata bukan hanya saja dimiliki oleh para ulama dan pemikir muslim.
Kalangan sineas yang sangat erat dengan dunia entertain rupanya juga menaruh perhatian
terhadap masalah tersebut. Kekhawatiran mereka akan salah faham pemaknaan jihad
melahirkan sebuah karya yang ditampilkan dalam layar lebar. Salah satu sineas yang
melakukan hal tersebut adalah Helvi Kardit, dengan film besutannya yang berjudul
“Sang Martir”. Sang Martir adalah film drama Indonesia yang dirilis pada 25 Oktober
2012 dan disutradarai langsung oleh Helvi Kardit. Film ini mendapatkan penghargaan
Asian International Film Festival dan Award (AIFFA) pada tahun 2013. Diceritakan
dalam film tersebut Rangga seorang mahasiswa berusia 20 tahun yang tinggal sejak kecil
di panti asuhan al-Quba bersama adiknya 6 Sarah. Mereka tinggal di panti asuhan yang
Islami milik Haji Rachman dan istrinya Hajjah Rosna. suatu ketika, Lili gadis panti usia
17 tahun diperkosa oleh Jerink seorang preman wilayah Panti yang dikuasai oleh Rambo.
Melihat kejadian tersebut, Rangga meminta pertanggung jawaban Jerink yang
mengakibatkan mereka terlibat duel hingga Jerink terbunuh. Rangga kemudian dipenjara
selama 3 tahun. Situasi panti setelah Rangga di penjara berubah tragis, Haji Rachman
mati oleh Rambo untuk menguasai kepemilikan areal panti. Anak-anak panti
diberhentikan sekolahnya dan dijadikan pengemis jalanan. Saat Rangga menghirup
kebebasan, dia direkrut menjadi anak buah Jerry kepala genk preman musuh bebuyutan
Rambo. Saat resmi bekerja dengan Jerry, Ketika berusaha mencari cara untuk
menyelamatkan anak-anak panti, Rangga akhirnya mendapat tawaran dari Rambo agar
meledakkan gereja yang biasa disinggahi Jerry demi kebebasan adik-adiknya di al-Quba.
Rangga menerima tawaran Rambo dan dia rela menjadi seorang Martir. Dilihat dari jalan
cerita film ini jihad direpresentasikan sebagai jihad yang bersifat defensive atau
mempertahankan apa yang harus dibela sesuai dengan prinsip-prinsip jihad dalam Islam.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini
adalah Bagaimana makna Jihad dan Hukum Jihad dala, Islam?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian Penelitian bertujuan untuk menggambarkan konsep tentang jihad
yang ditampilkan secara audio-visual dan lainlain Film Sang Martir.
2. Manfaat penelitian
a. Manfaat Teoritis Secara teori penelitian ini diharapkan dapat menambah
pemahaman khazanah keilmuan dakwah, ilmu keislaman, dan ilmu tentang
agama Islam yang bersifat damai, untuk membedakan antara dakwah dengan
kekerasan yang mengatasnamakan dakwah.
b. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan mampu menjadi tolak ukur bagi para
da’i khususnya dan umat Islam pada umumnya dalam memahami konsep
jihad, salah satunya melalui media film.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Jihad
Jihad secara bahasa berarti mengerahkan dan mencurahkan segala
kemampuannya baik berupa perkataan maupun perbuatan. Dan secara istilah syari’ah
berarti seorang muslim mengerahkan dan mencurahkan segala kemampuannya untuk
memperjuangkan dan meneggakan Islam demi mencapai ridha Allah SWT. Oleh karena
itu kata-kata jihad selalu diiringi dengan fi sabilillah untuk menunjukkan bahwa jihad
yang dilakukan umat Islam harus sesuai dengan ajaran Islam agar mendapat keridhaan
Allah SWT.
Secara umum, sebagian ulama mendefinisikan jihad sebagai “segala bentuk usaha
maksimal untuk penerapan agama Islam dan pemberantasan kedzaliman serta kejahatan,
baikterhadap diri sendir imaupun dalam masyarakat.” Ada juga yang mengartikan jihad
sebagai “berjuang dengan segala pengorbanan harta dan jiwa demi menegakkan kalimat
Allah (Islam) atau membela kepentingan agama dan umat Islam.
”Kata - kata jihad dalam al-Quran kebanyakan mengandung pengertianumum.
Artinya, pengertiannya tidak hanya terbatas pada peperangan, pertempuran, dan
ekspedisi militer, tetapimencakup segala bentuk kegiatan dan usaha yang maksimal
dalam rangka dakwah Islam, amar’makruf’nahyimunkar (memerintah kebajikan dan
mencegah kemunkaran).
Dalam pengertian umum ini, berjihad harus terus berlangsung baik dalam
keadaan perang mau pundamai, karena tegaknya Islam bergantung pada jihad.Jihad
dalam arti khusus bermakna “perang melawan kaum kafir atau musuh-musuh
Islam”.Pengertian seperti itu antara lain dikemukakan oleh Imam Syafi’ibahwa jihad
adalah“memerangi kaum kafir untuk menegakkan Islam”.
Imam Syahid Hasan Al-Banna berkata, “Yang saya maksud dengan jihad adalah;
suatu kewajiban sampai hari kiamat dan apa yang dikandung dari sabda Rasulullah
saw.,” Siapa yang mati, sedangkan ia tidak berjuang atau belum berniat berjuang, maka
ia mati dalam keadaan jahiliyah”.
Adapun urutan yang paling bawah dari jihad adalah ingkar hati, dan yang paling
tinggi perang mengangkat senjata di jalan Allah. Di antara itu ada jihad lisan, pena,
tangan dan berkata benar di hadapan penguasa tiran. Dakwah tidak akan hidup kecuali
dengan jihad, seberapa tinggi kedudukan dakwah dan cakupannya yang luas, maka jihad
merupakan jalan satu-satunya yang mengiringinya. Firman Allah,” Berjihadlah di jalan
Allah dengan sebenar-benarnya jihad” (QS Al-Hajj 78). Dengan demikian anda sebagai
aktifis dakwah tahu akan hakikat doktrin ‘ Jihad adalah Jalan Kami’

B. Tujuan Jihad
Jihad fi sabilillah disyari’atkan Allah SWT bertujuan agar syari’at Allah tegak di
muka bumi dan dilaksanakan oleh manusia. Sehingga manusia mendapat rahmat dari
ajaran Islam dan terbebas dari fitnah. Jihad fi sabilillah bukanlah tindakan balas dendam
dan menzhalimi kaum yang lemah, tetapi sebaliknya untuk melindungi kaum yang lemah
dan tertindas di muka bumi. Jihad juga bertujuan tidak semata-mata membunuh orang
kafir dan melakukan teror terhadap mereka, karena Islam menghormati hak hidup setiap
manusia. Tetapi jihad disyariatkan dalam Islam untuk menghentikan kezhaliman dan
fitnah yang mengganggu kehidupan manusia. (QS an-Nisaa’ 74-76).

C. Macam-Macam Jihad
Jihad fi Sabilillah untuk menegakkan ajaran Islam ada beberapa macam, yaitu:
1) Jihad dengan lisan, yaitu menyampaikan, mengajarkan dan menda’wahkan ajaran
Islam kepada manusia serta menjawab tuduhan sesat yang diarahkan pada Islam.
Termasuk dalam jihad dengan lisan adalah, tabligh, ta’lim, da’wah, amar ma’ruf nahi
mungkar dan aktifitas politik yang bertujuan menegakkan kalimat Allah.
2) Jihad dengan harta, yaitu menginfakkan harta kekayaan di jalan Allah khususnya
bagi perjuangan dan peperangan untuk menegakkan kalimat Allah serta menyiapkan
keluarga mujahid yang ditinggal berjihad.
3) Jihad dengan jiwa, yaitu memerangi orang kafir yang memerangi Islam dan umat
Islam. Jihad ini biasa disebut dengan qital (berperang di jalan Allah). Dan ungkapan
jihad yang dominan disebutkan dalam al-Qur’an dan Sunnah berarti berperang di
jalan Allah.

D. Keutamaan Jihad dan Mati Syahid


Beberapa ayat Alquran memberikan keutamaan tentang berjihad. Di antaranya,
(QS an-Nisaa’ 95-96)(QS as-Shaff 10-13). Rasulullah SAW bersabda: Dari Abu
Hurairah ra berkata, Rasulullah SAW ditanya: ”Amal apakah yang paling utama?” Rasul
SAW menjawab: ”Beriman kepada Allah”, sahabat berkata:”Lalu apa?” Rasul SAW
menjawab: “Jihad fi Sabilillah”, lalu apa?”, Rasul SAW menjawab: Haji mabrur”.
(Muttafaqun ‘alaihi).
Dari Anas ra, bahwa Rasulullah SAW bersabda: ”Pagi-pagi atau sore-sore keluar
berjihad di jalan Allah lebih baik dari dunia seisinya.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Dari Anas ra bahwa nabi SAW bersabda: ”Tidak ada satupun orang yang sudah
masuk surga ingin kembali ke dunia dan segala sesuatu yang ada di dunia kecuali orang
yang mati syahid, ia ingin kembali ke dunia, kemudian terbunuh 10 kali karena melihat
keutamaan syuhada.” (Muttafaqun ‘alaihi)
”Bagi orang yang mati syahid disisi Allah mendapat tujuh kebaikan: 1. Diampuni
dosanya dari mulai tetesan darah pertama. 2. Mengetahui tempatnya di surga. 3. Dihiasi
dengan perhiasan keimanan. 4. Dinikahkan dengan 72 istri dari bidadari. 5. Dijauhkan
dari siksa kubur dan dibebaskan dari ketakutan di hari Kiamat. 6. Diletakkan pada
kepalanya mahkota kewibawaan dari Yakut yang lebih baik dari dunia seisinya. 7.
Berhak memberi syafaat 70 kerabatnya.” (HR at-Tirmidzi)

E. Hukum Jihad Fi Sabilillah


Hukum Jihad fi sabilillah secara umum adalah Fardhu Kifayah, jika sebagian
umat telah melaksanakannya dengan baik dan sempurna maka sebagian yang lain
terbebas dari kewajiban tersebut. Allah SWT berfirman: “Tidak sepatutnya bagi orang-
orang yang mu’min itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari
tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan
mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka
telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya” (QS at-Taubah 122).
Jihad berubah menjadi Fardhu ‘Ain jika:
1) Muslim yang telah mukallaf sudah memasuki medan perang, maka baginya fardhu
‘ain berjihad dan tidak boleh lari. ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah
kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang membelakangi mereka
(mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak
menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu
kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka
Jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS al-Anfal 15-16).
2) Musuh sudah datang ke wilayahnya, maka jihad menjadi fardhu ‘ain bagi seluruh
penduduk di daerah atau wilayah tersebut . ”Hai orang-orang yang beriman,
perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka
menemui kekerasan daripadamu, dan ketahuilah, bahwasanya Allah beserta orang-
orang yang bertakwa.” (QS at-Taubah 123)
3) Jika pemimpin memerintahkan muslim yang mukallaf untuk berperang, maka baginya
merupakan fardhu ‘ain untuk berperang. Rasulullah SAW bersabda: ”Tidak ada hijrah
setelah futuh Mekkah, tetapi yang ada adalah jihad dan niat. Dan jika kamu
diperintahkan untuk keluar berjihad maka keluarlah (berjihad).” (HR Bukhari).
BAB III
KESIMPULAN

Peranglah dijalan Allah, dengan tujuan-tujuan Jihad yang dianjurkan, serta dengan
etika jihad yang baik. Janganlah kamu berjihad jika terdapat niat buruk didalamnya,
niatkanlah karenaAllah bukan karena niat yang lain. Dan tetaplah berjihad didalam
batasannya, karena Allah tidaksuka yang melampaui batas atau berlebih-lebihan.
DAFTAR PUSTAKA

Al Dzarwy, Ibrahim Abbas. 1993. Teori Ijtihad dalam Hukum Islam. Semarang : Dina Utama,

Aminuddin, Khairul Umam dan A. Achyar, 1989. Ushul Fiqh II, Fakultas Syari’ah, Bandung, Pustaka
Setia. cet. ke-1

Djazuli, 2003, Fiqih Siyasah: Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu


Syariah, Kencana: Jakarta, cet. ke- 3,

Dahlan, abdul Aziz, 1999, Ensiklopedi Hukum Islam,Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve

Hanafi, Ahmad. 1970. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hasyim, Umar. 1984. Membahas Khilafiyah Memecah Persatuan, Wajib Bermazhab dan Pintu Ijtihad
Tertutup?. Surabaya: Bina Ilmu

Anda mungkin juga menyukai